BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Biomassa

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Biomassa adalah segala material yang berasal dari tumbuhan atau hewan
yang dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk menghasilkan panas (Abimanyu
dan Hendrana, 2014). Indonesia memiliki potensi biomassa yang cukup besar
sebagai sumber energi alternatif baik dari sektor pertanian, sektor kehutanan,
maupun dari limbah kota dan industri. Berdasarkan data Badan Energi
Internasional (International Energy Agency-IEA), kontribusi energi terbarukan
yang berasal dari biomassa pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 12,4% (Nur dan
Jusuf, 2014).
Potensi hutan Indonesia merupakan salah satu sumber daya alam yang
penting untuk dimanfaatkan. Menurut data statistik Kementerian Kehutanan
(2014), total luas daratan Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan sebesar
±187.840,9 juta ha, dengan luas areal hutan sebesar 52,2% dari total luas daratan
Indonesia. Hutan selain menghasilkan kayu juga menghasilkan non kayu yang
cukup potensial. Salah satu hasil hutan non kayu yang menjadi sumber devisa
negara adalah minyak atsiri.
Menurut data statistik Kementerian Perindustrian (2013), jumlah unit usaha
minyak atsiri di Indonesia sebanyak 32 unit usaha. Indonesia merupakan negara
1
pengekspor minyak atsiri nomor 6 (enam) di dunia. Pada tahun 1999, Indonesia
telah mengekspor minyak atsiri sebanyak 3.571.119 kg. Jumlah ekspor meningkat
pada tahun 2007 menjadi 4.857.630 kg (BPS, 1999-2007 dalam Yuliani, 2012).
Data Kementerian Perindustrian (2015) menunjukkan bahwa kontribusi hasil
hutan non kayu minyak atsiri untuk ekspor pada tahun 2013 tercatat sebesar US$
212 juta, kemudian meningkat pada tahun 2015 sebesar US$ 294 juta.
Ekaliptus (Eucalyptus sp.) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak
atsiri, terutama bagian daunnya. Ekaliptus merupakan flora endemik Australia,
namun tersebar pula di sebagian pulau Indonesia Bagian Timur (Eldridge et al.,
1997 dalam Nurtjahjaningsih et al., 2013). Di Indonesia, beberapa jenis tanaman
ekaliptus tumbuh tersebar secara alami di Irian Jaya, Sulawesi, Nusa Tenggara
Timur, dan Timor-Timur. Pohon ekaliptus dapat ditemukan di kawasan hutan
tanaman industri (HTI), salah satunya di kawasan HTI PT. Toba Pulp Lestari,
Tbk. di Sumatera Utara dengan luas kawasan 269.060 ha, jenis utama yang
ditanam yaitu Eucalyptus urophylla, Eucalyptus deglupta, Eucalyptus grandis,
dan Eucalyptus saligna (Latifah, 2004).
Minyak ekaliptus (Eucalyptus sp.) memiliki potensi strategis di pasar dunia
sebagai bahan pengikat aroma wangi pada parfum, kosmetika, obat-obatan dan
keperluan medis lainnya. Produksi minyak ekaliptus di Indonesia sekitar 300-350
ton per tahun. Nilai produksi tersebut berada dibawah nilai produksi minyak
ekaliptus di China yang mencapai 4000 ton per tahun (Antara megapolitan, 2014).
Pengolahan minyak ekaliptus akan menyisakan limbah daun yang berasal dari
proses distilasi. Menurut penelitian Kasmudjo et al. (2007) rendemen penyulingan
2
minyak ekaliptus berkisar antara 0,009% hingga 0,325%. Sehingga sisa
penyulingan sebanyak 99,991% hingga 99,675% merupakan limbah yang
berwujud daun basah dan air. Mengacu pada potensi limbah daun ekaliptus yang
cukup besar dan masih minimnya taraf pemanfaatan, maka limbah daun ekaliptus
berpeluang untuk dimanfaatkan lebih lanjut menjadi briket arang yang merupakan
salah satu energi biomassa.
Briket arang adalah arang yang diubah menjadi bentuk dan ukuran tertentu,
serta memiliki kerapatan yang tinggi, sehingga dalam penggunaanya lebih efisien
untuk menghasilkan energi panas (Hartoyo, 1983 dalam Burhanuddin, 2006).
Briket arang dibuat dengan cara pengepresan serbuk arang yang telah dicampur
dengan bahan perekat. Bahan perekat yang dapat digunakan antara lain kanji, zat
pati, tepung beras dan sebagainya (Radam et al., 2005). Keuntungan pembuatan
briket arang antara lain kerapatan arang dapat ditingkatkan, bentuk dan ukuran
dapat disesuaikan dengan kebutuhan, harga jual dan nilai kalor briket arang lebih
tinggi dibandingkan dengan arang, serta mudah dalam pengangkutan (Hasmoro,
2007). Briket arang biomassa memiliki nilai panas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan minyak tanah. Nilai panas briket arang mencapai 600-700°C, sedangkan
nilai panas minyak tanah hanya mencapai 300-400°C (Heru, 2007).
Pengaruh bahan baku terhadap kualitas briket arang dapat ditentukan dari
kandungan senyawa selulosa dan lignin. Apabila kandungan senyawa selulosa dan
lignin pada bahan baku tinggi, maka nilai kalor briket arang akan semakin besar
(Burhanuddin, 2006). Penelitian ini menggunakan bahan baku limbah daun
3
ekaliptus yang telah diekstrak minyaknya. Jenis yang digunakan yaitu Eucalyptus
alba, Eucalyptus deglupta dan Eucalyptus tereticornis.
Proses karbonisasi merupakan salah satu tahap yang penting dalam
pembuatan briket arang. Pada umumnya proses karbonisasi berlangsung pada
suhu 100°C-1000°C, dimana karakteristik arang mengalami perubahan nyata pada
suhu 200°C-500°C (Purwanto, 2011). Proses pengarangan bahan baku non kayu
tidak memerlukan suhu yang terlalu tinggi karena suhu yang terlalu tinggi
cenderung menurunkan kualitas briket arang yang dihasilkan. Pada penelitian
Thoha (2010) tentang pembuatan briket arang dari daun jati dengan menggunakan
variasi suhu karbonisasi 300°C, 350°C, dan 400°C diperoleh nilai kalor tertinggi
briket arang dihasilkan pada suhu 350°C. Meningkatnya suhu karbonisasi menjadi
400°C cenderung menurunkan nilai kalor briket arang. Pada kasus lain, dalam
penelitian Siahaan et al. (2013) yang memanfaatkan limbah sekam padi sebagai
bahan baku pembuatan briket arang dengan variasi suhu karbonisasi 400°C,
500°C, dan 600°C dihasilkan briket arang dengan kadar karbon terikat tertinggi
pada suhu 400°C. Penambahan suhu karbonisasi yang terlalu tinggi yaitu 500°C
dan 600°C cenderung menurunkan kadar karbon terikat briket arang. Berdasarkan
pertimbangan di atas, maka penelitian ini menerapkan variasi suhu karbonisasi
sebesar 250°C, 300°C, dan 350°C.
Penelitian ini dirancang untuk menghasilkan briket arang dari limbah daun
ekaliptus (Eucalyptus sp.) dengan membandingkan faktor jenis daun dan suhu
karbonisasi yang optimum. Penelitian briket arang limbah daun ekaliptus
diharapkan mampu meningkatkan nilai guna limbah daun ekaliptus sebagai salah
4
satu bahan bakar dari sumber energi terbarukan dan dapat mengurangi
permasalahan limbah daun ekaliptus yang berasal dari proses penyulingan industri
minyak atsiri. Pada penelitian sebelumnya dilakukan oleh Supriyatno dan Merry
(2010) tentang pembuatan briket arang dari sampah daun angsana, ranting
flamboyan, dan bunga pinus dengan menggunakan variasi suhu karbonisasi
250°C, 300°C dan 350°C. Penelitian tersebut menghasilkan briket arang daun
angsana dengan nilai kalor sebesar 3295,57 kal/g (250°C), 2985,33 kal/g (300°C),
dan 4279,33 kal/g (350°C); nilai kalor briket arang ranting flamboyan sebesar
3965,39 kal/g (250°C), 4578,08 kal/g (300°C), dan 3946,02 kal/g (350°C); nilai
kalor briket arang bunga pinus sebesar 4818,89 kal/g (250°C), 4834,43 kal/g
(300°C), dan 4667,63 kal/g.
5
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui sifat fisika-kimia briket arang yang dihasilkan dari berbagai jenis
daun ekaliptus (Eucalyptus sp.).
2. Mengetahui kombinasi perlakuan yang tepat antara jenis daun ekaliptus
(Eucalyptus deglupta, Eucalyptus alba, Eucalyptus tereticornis) dan suhu
karbonisasi (250°C, 300°C, 350°C) untuk menghasilkan briket arang yang
sesuai dengan standar kualitas.
1.3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan alternatif pemanfaatan
limbah daun ekaliptus yang telah diekstrak minyaknya sebagai bahan baku
pembuatan briket arang yang merupakan sumber energi terbarukan, dan
meningkatkan nilai ekonomi dari limbah daun ekaliptus (Eucalyptus sp.). Hasil
penelitian ini diharapkan juga mampu memberikan informasi mengenai sifat
fisika-kimia briket arang daun ekaliptus.
6
Download