ANALISA INDEKS ERITROSIT BABI DOMESTIK (Sus domestica) PADA AUTOTRANSFUSI PREOPERATIF, INTRAOPERATIF SEDERHANA, DAN INTRAOPERATIF PENCUCIAN CELL SAVER SEBAGAI MODEL UNTUK MANUSIA ANITA RAHMAYANTI DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisa Indeks Eritrosit Babi Domestik (Sus domestica) pada Autotransfusi Preoperatif, Intraoperatif Sederhana, dan Intraoperatif Pencucian Cell Saver sebagai Model untuk Manusia benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2012 Anita Rahmayanti NIM B04080184 ABSTRAK ANITA RAHMAYANTI. Analisa Indeks Eritrosit Babi Domestik (Sus domestica) pada Autotransfusi Preoperatif, Intraoperatif Sederhana, dan Intraoperatif Pencucian Cell Saver sebagai Model untuk Manusia. Dibimbing oleh GUNANTI dan RIKI SISWANDI. Autotransfusi merupakan suatu proses transfusi menggunakan darah yang berasal dari darah pasien sendiri (autolog). Autotransfusi adalah salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi kondisi perdarahan parah akibat trauma. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisa indeks eritrosit dari tiga perlakuan darah yang digunakan dalam autotransfusi. Sembilan babi domestik digunakan dan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok Autotransfusi Preoperatif (AP), Autotransfusi Intraoperatif Sederhana (AIS), dan Autotransfusi Intraoperatif Pencucian cell saver (AIP). Masing – masing kelompok terdiri dari tiga ekor babi. Pada setiap babi dilakukan splenektomi sebagai bentuk simulasi perdarahan 30% akibat trauma abdomen. Sampel darah diambil sebelum splenektomi (pre autotransfusi), setelah autotransfusi (post autotransfusi), dua hari setelah autotransfusi, dan tujuh hari setelah autotransfusi. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antar kelompok perlakuan. Kata kunci : autotransfusi preoperatif, autotransfusi intraoperatif sederhana, dan autotransfusi intraoperatif pencucian cell saver, indeks eritrosit ABSTRACT ANITA RAHMAYANTI. Erythrocytes Indices Analysis of Domestic Pigs (Sus domestica) in Preoperative, Simple Intraoperative, and Cell Saver Autotransfusion as Human Model. Supervised by GUNANTI and RIKI SISWANDI. Autotransfusion is a process of transfusion which the transfused blood is taken from the patient's own blood (autologous). Autotransfusion is an alternative for treating the condition of severe bleeding due to trauma. The objective of this study was to analyze erythrocyte indices from three autotransfusion treatments. Nine domestic pigs were assigned to preoperative autotransfusion (PA), simple intraoperative autotransfusion (SIA), and cell saver autotransfusion (CSA). Each group contains three pigs. Splenectomies were performed in every pig to mimic 30% bleeding from abdominal trauma. Extravasated bloods were collected for SIA and CSA. Blood sampling were collected before splenectomy (pre autotransfusion), after autotransfusion, two days after autotransfusion, and seven days after autotransfusion. The results show no significant differences between groups. Keywords: preoperative autotransfusion, simple intraoperative autotransfusion, cell saver autotransfusion, erythrocytes indices ANALISA INDEKS ERITROSIT BABI DOMESTIK (Sus domestica) PADA AUTOTRANSFUSI PREOPERATIF, INTRAOPERATIF SEDERHANA, DAN INTRAOPERATIF PENCUCIAN CELL SAVER SEBAGAI MODEL UNTUK MANUSIA ANITA RAHMAYANTI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 Judul Skripsi : Analisa Indeks Eritrosit Babi Domestik (Sus domestica) pada Autotransfusi Preoperatif, Autotransfusi Intraoperatif Sederhana, dan Autotransfusi Pencucian Cell Saver sebagai Model untuk Manusia Nama : Anita Rahmayanti NIM : B04080184 Disetujui oleh Dr. drh. Gunanti MS. Pembimbing I drh. Riki Siswandi Pembimbing II Diketahui oleh drh. Agus Setiyono, MS, Ph. D, APVet. Wakil Dekan Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan sebaik – baiknya. Penelitian berjudul “Analisa Indeks Eritrosit Babi Domestik (Sus domestica) pada Autotransfusi Preoperatif, Autotransfusi Intraoperatif Sederhana, dan Autotransfusi Pencucian Cell Saver sebagai Model untuk Manusia” dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2011. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan studi di Program Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor untuk mencapai gelar Sarjana Kedokteran Hewan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu hingga skripsi ini berhasil diselesaikan dengan sebaik – baiknya. Terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Ayahanda Dr. H. Islahuzzaman, SE., MSi., Ak. dan ibunda drg. Hj. Rozana Mariani atas segala bentuk kasih sayang, kesabaran, dukungan, dan doa yang selalu diberikan kepada penulis. 2. Ibu Dr. drh. Gunanti, MS. dan bapak drh. Riki Siswandi selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Dr. drh. Idwan Sudirman selaku pembimbing akademik atas saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Dr. drh. Min Rachminiwati, MS. dan Dr. Ir. Etih Sudarnika, MSi. selaku dosen penguji yang telah banyak memberi masukan bermanfaat. 5. Bapak Kosasih, Bapak Katim, dan staf penunjang di Laboratorium Bagian Bedah dan Radiologi FKH IPB atas bantuan yang telah diberikan selama penelitian. 6. Veky Hidayat beserta keluarga atas doa dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis. 7. Keluarga besar AVENZOAR 45 atas motivasi yang diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga penulis terbuka terhadap kritik dan saran yang diberikan. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, November 2012 Anita Rahmayanti DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR ix DAFTAR LAMPIRAN ix PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Indeks Eritrosit 2 Babi sebagai Hewan Model untuk Manusia 3 Sel Darah Merah Babi 4 Hemoglobin 7 Hematokrit 7 Transfusi dan Autotransfusi 8 METODE Waktu dan Tempat Penelitian 9 9 Alat dan Bahan 10 Tahap persiapan 10 Tahap Pelaksanaan 10 Variabel yang Diamati 11 Analisis Data 11 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 Jumlah sel darah merah 12 Kadar Hemoglobin 13 Nilai Hematokrit 14 Volume Rata – rata Eritrosit (VER) 15 Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata - rata (KHER) 16 Hemoglobin Eritrosit Rata - rata (HER) 17 SIMPULAN DAN SARAN 17 Simpulan 17 Saran 18 DAFTAR PUSTAKA 18 LAMPIRAN 21 RIWAYAT HIDUP 27 DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Tabel 1 Terminologi stadium sel darah merah (Olver 2010) Tabel 2 Interval sel darah merah babi domestik Tabel 3 Rata – rata jumlah sel darah merah babi autotransfusi (106/μL) Tabel 4 Rata – rata kadar hemoglobin babi autotransfusi (gram/dL) Tabel 5 Rata – rata nilai hematokrit babi autotransfusi (%) Tabel 6 Rata – rata nilai volume rata – rata eritrosit/VER Tabel 7 Rata – rata nilai Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata rata/KHER (gr/dL) Tabel 8 Rata – rata nilai hemoglobin eritrosit rata - rata/HER (pg) 4 6 12 13 14 15 16 17 DAFTAR GAMBAR 1. Gambar 1 Babi lokal Indonesia (Patria 2012) 2. Gambar 2 Sel darah merah normal (Anonim 2012) 3. Gambar 3 Alur penelitian dan perlakuan bedah terhadap babi AP, AIS, dan AIP 4 5 11 DAFTAR LAMPIRAN 1. Lampiran 1 Hasil uji statistik kadar hemoglobin 2. Lampiran 2 Hasil uji statistik nilai hematokrit 3. Lampiran 3 Hasil uji statistik nilai HER 21 23 25 PENDAHULUAN Latar Belakang Kondisi kehilangan darah akibat trauma merupakan salah satu kondisi yang sering dialami oleh hewan. Jika trauma yang dialami cukup parah hingga menyebabkan perdarahan hebat, maka kemungkinan kematian hewan sulit dihindari. Hal ini tentunya tidak menyenangkan bagi pemilik hewan kesayangan maupun bagi peternak yang menggantungkan penghasilan dari hewan ternak. Kondisi ini mungkin dapat dihindari jika dapat dilakukan transfusi darah seperti yang dilakukan dalam dunia kedokteran manusia. Namun demikian, hewan memiliki berbagai jenis golongan darah yang berbeda antar spesies bahkan dalam spesiesnya sendiri. Seandainya dilakukan transfusi homolog (donor – resipien), risiko terjadinya reaksi imunologi antara antigen darah donor dengan antibodi darah resipien tidak dapat dihindari, begitupula sebaliknya. Di Indonesia sendiri, keberadaan bank darah untuk hewan bisa dikatakan tidak ada. Alternatif yang mungkin dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan melakukan transfusi darah menggunakan darah hewan itu sendiri atau dikenal sebagai transfusi autolog (autotransfusi). Salah satu keuntungan dalam melakukan autotransfusi dibandingkan dengan transfusi homolog yaitu ketersediaan sumber darah yang cepat karena berasal dari darah pasien sendiri. Sumber darah untuk autotransfusi dapat diperoleh dengan menggunakan darah preoperatif maupun intraoperatif (Capraro 2001). Darah preoperatif yaitu darah pasien yang telah disimpan, sedangkan yang termasuk dalam darah intraoperatif yaitu darah yang diperoleh langsung dari lapang operasi. Kelebihan aplikasi autotransfusi dibandingkan transfusi darah homolog yaitu minimalnya kemungkinan terjadi reaksi antigen-antibodi (Shander 2008) karena sumber darah berasal dari hewan itu sendiri. Kemudahan dalam memperoleh sumber darah untuk ditransfusikan juga dapat meminimalkan rusaknya sel darah akibat penyimpanan. Diketahui bahwa sel darah merah yang telah mengalami penyimpanan lama akan mengalami penurunan fungsi dan kelenturan membrannya akan hilang (Callan 2010). Seperti halnya pada proses transfusi homolog, hal yang sulit dihindari dari proses transfusi yaitu terjadinya proses aktivasi sel-sel proinflamasi. Aktivasi sel proinflamasi terjadi karena adanya trauma terhadap komponen darah itu sendiri sewaktu proses autotransfusi yang mengakibatkan terjadinya lisis sel, maupun akibat dari perdarahan yang diakibatkan oleh trauma yang diterima pasien. Untuk dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan berbagai jenis perlakuan darah dalam autotransfusi, maka perlu adanya pengkajian terhadap beberapa aspek terkait respon tubuh pasien terhadap proses autotransfusi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji respon tubuh terhadap autotransfusi menggunakan darah dengan berbagai perlakuan (darah simpan, darah penyaringan sederhana, dan darah pencucian cell saver) berdasarkan indeks eritrosit pasien. 2 Perumusan Masalah Diperlukan penelitian untuk melihat besarnya perubahan dalam tubuh pasien sebagai bentuk respon terhadap proses autotransfusi. Respon tubuh pasien diantaranya berupa kemampuan dalam melakukan hematopoiesis kembali serta kemampuan untuk mengembalikan kondisi homeostasis darah setelah dilakukan autotransfusi. Dengan demikian, diharapkan dapat diketahui efektifitas autotransfusi untuk diaplikasikan pada pasien yang mengalami perdarahan dan membutuhkan darah dalam jumlah banyak pada waktu singkat. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa indeks eritrosit sebagai respon tubuh pasien terhadap proses autotransfusi darah preoperatif, intraoperatif sederhana, dan intraoperatif pencucian cell saver. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini akan menyumbangkan pengetahuan mengenai respon tubuh terhadap proses autotransfusi yang menggunakan darah simpan, darah penyaringan sederhana, dan darah pencucian cell saver, melalui pembacaan indeks eritrosit. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam menggunakan autotransfusi untuk mengatasi kasus pendarahan pada hewan terutama pada saat dilakukan tindak operasi. TINJAUAN PUSTAKA Indeks Eritrosit Indeks eritrosit merupakan suatu nilai yang diperoleh setelah jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, serta nilai hematokrit diketahui (Reece 2006). Indeks eritrosit menunjukkan ukuran rata – rata dan kandungan hemoglobin dalam sel darah merah (Weiss & Tvedten 2004). Terdapat tiga indeks yang menunjukkan nilai tiap sel darah merah, yaitu volume eritrosit rata – rata/VER, konsentrasi hemoglobin eritrosit rata – rata/KHER, dan hemoglobin eritrosit ratarata/HER. Penentuan nilai VER, HER, dan KHER dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut, • Volume eritrosit rata-rata (VER) atau Mean Corpuscular Volume (MCV) VER (fL)= Hematokrit x 10 Jumlah eritrosit (106 ) 3 • Hemoglobin eritrosit rata-rata (HER) atau Mean Cell Hemoglobin Content (MCH) Hemoglobin x 10 HER (pg)= Jumlah eritrosit (106 ) • Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER) atau Mean Cellular Hemoglobin Concentration (MCHC) KHER / Hemoglobin x 100 Hematokrit Pendekatan paling tepat untuk mengklasifikasikan anemia yaitu dengan melihat ada tidaknya respon sumsum tulang pada gambaran darah (Harvey 2001). Weiss dan Tvedten (2004) mengklasifikasikan anemia berdasarkan morfologi sel darah merah yaitu, a) Anemia normositik normokromik, merupakan anemia nonregeneratif dengan jumlah retikulosit terlalu sedikit untuk meningkatkan nilai VER atau menurunkan KHER (tidak ada perubahan nilai VER maupun KHER). b) Anemia makrositik hipokromik, merupakan anemia regeneratif yang ditandai dengan peningkatan jumlah retikulosit yang relatif tinggi (VER naik) dibandingkan sel darah merah dewasa. Retikulosit tersebut tidak mengalami sintesis hemoglobin secara lengkap (KHER turun). c) Anemia makrositik normokromik, merupakan anemia dengan jumlah makrosit tinggi (makrositosis) dengan KHER normal. d) Anemia mikrositik hipokromik, merupakan anemia yang ditandai dengan rendahnya nilai VER dan KHER. Anemia jenis ini biasanya diakibatkan oleh defisiensi zat besi sehingga menghambat produksi hemoglobin. Sel darah merah yang diperoduksi berukuran kecil (VER rendah) dan mengandung sedikit hemoglobin (KHER rendah). Babi sebagai Hewan Model untuk Manusia Hewan coba merupakan komponen penting dalam melakukan penyidikan terhadap patogenesis penyakit pada manusia dan pengembangan upaya strategis dalam penanganan penyakit. Penggunaan babi lokal (Sus domestica) dalam riset biomedis telah banyak dilakukan, terutama dalam riset terkait pembedahan dan fisiologi (Svendensen 2007, Holden & Ensminger 2006, Patterson et al. 2008). Babi merupakan hewan coba primer yang sering digunakan dalam studi biomedis terkait penyakit pada manusia karena kemiripan ukuran, anatomi, dan fisiologi antara babi dengan manusia (Swenson et al. 2004, Swindle & Smith 2000). Respon imunitas babi lebih mirip dengan respon imun pada manusia (lebih dari 80%) dibandingkan dengan kemiripan respon imun tikus terhadap manusia (kurang dari 10%) (Dawson et al. 2008 dalam Kuzmuk & Schook 2011). Secara fisologis, babi memiliki suhu rektal 39,2 0C (38,7 0 – 39,8 0C), denyut jantung 70 – 120 kali per menit, dan respirasi 32 – 58 kali per menit 4 (Holden & Ensminger 2006). Secara taksonomi, babi lokal diklasifikasikan sebagai berikut, Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Artiodactyla Famili : Suidae Upfamili : Suinae Genus : Sus Spesies : scrofa Subspesies : domestica Gambar 1 Babi lokal Indonesia (Patria 2012) Proses pembentukan sel darah merah (eritopoiesis) hewan dan manusia dalam beberapa pustaka memperlihatkan adanya kesamaan dalam stadium pembentukannya. Perbedaan yang terlihat dan kadang membingungkan yaitu perbedaaan dalam penggunaan istilah (nomenklatur) di beberapa stadium perubahan sel darah merah antara penelitian manusia (human/mouse/reasearch terminology) dan hewan secara umum (veterinary terminology) seperti yang dijabarkan dalam Tabel 1. Tabel 1 Terminologi stadium sel darah merah (Olver 2010) Human/Mouse/Research Veterinary Terminology Terminology Rubriblast Proerythroblast Prorubicyte Basophilic erythroblast Basophilic rubricyte Basophilic erythroblast Polychromatophilic rubicyte Polychromatophilic erythroblast Metarubicyte Orthocrhromatic erythroblast Reticulocyte Reticulocyte Erythrocyte Erythrocyte Sel Darah Merah Babi Sel darah merah merupakan sel darah terbanyak yang beredar dalam sistem sirkulasi, yaitu sekitar 6 – 8 juta per mililiter kubik darah (Aspinall & O’Reilly 2004). Sel darah merah babi memiliki diameter sekitar 4 – 8 mikrometer dengan rata – rata 6.0 mikrometer (Lahey et al. 1952 dalam Thorn 2010), memiliki bentuk 5 menyerupai cakram atau bikonkaf dan tidak mempunyai inti seperti sel darah merah mamalia lain. Gambar 2 Sel darah merah normal (Anonim 2012) Mamalia memiliki sel darah merah dewasa yang tidak berinti dan memiliki sedikit organel sel termasuk mitokondria. Oleh karena itu, sel darah merah memproduksi ATP secara anaerob (Shier et al. 2002). Minimnya nukleus dan organel sel lain yang dimiliki menyebabkan sel darah merah tidak dapat mengganti struktur yang rusak. Sel darah merah dewasa merupakan kantung membran yang terdiri dari 65% air dan 35% padatan (terutama protein) yang terdiri dari 95% hemoglobin (Colville & Bassert 2002). Karakteristik sel darah merah dewasa pada mamalia yaitu berbentuk bulat bikonkaf, tidak memiliki inti, dan berwarna merah akibat adanya hemoglobin (Tortora & Derrickson 2006). Sel darah merah yang belum dewasa akan memiliki inti hingga fase akhir sebelum berkembang menjadi sel dewasa. Sel ini normalnya tetap berada pada sumsum tulang merah hingga mencapai dewasa dan tidak ditemukan pada peredaran darah tepi. Senescence merupakan istilah yang digunakan untuk proses penuaan. Ketika sel darah merah mengalami senescence, terjadi penurunan aktivitas enzim (terutama enzim glikolisis yang memecah glukosa) dan kehilangan kemampuan berubah bentuk. Masa hidup sel darah merah berbeda pada setiap spesies hewan domestik. Sel darah merah babi memiliki masa hidup 86±11.5 hari (Lahey et al. 1952 dalam Thorn 2010). Sel darah merah dapat mengalami krenasi dan pada kondisi sehat sel cenderung membentuk rouleaux. Sel darah merah anisocytosis terlihat pada babi dewasa, tapi lebih jelas pada babi muda. Darah pada babi muda terdiri dari banyak sel darah merah polikromatik, sel darah merah berinti, dan Howel-Jolly bodies. Sel darah merah babi dewasa dan babi masa fetus lebih tahan lisis dibandingkan sel darah merah babi lepas sapih. Daya tahan osmotis tergantung pada temperatur, pH, dan waktu, namun tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin dan breed. Tingkat laju endap darah babi lebih cepat dibandingkan hewan domestik lain. Babi dewasa memiliki volume darah berkisar 61 – 68 ml/kg dengan sistem pembekuan darah babi serupa dengan manusia (Swindle 2007). Sel darah babi memiliki jumlah yang bervariasi. Variasi ini dipengaruhi oleh usia; masa kebuntingan, kelahiran, dan laktasi; stres; dan penyakit. 6 Tabel 2 Interval sel darah merah babi domestik Kisaran Rata – rata 6 Sel darah merah (x10 /uL) 5,0 – 8,0 6,5 Hemoglobin (g/dL) 10,0 – 16,0 13,0 PCV (%) 32 – 50 42,0 MCV (fL) 50 – 68 60 MCH (pg) 17,0 – 21 19 MCHC (%) 30,0 – 34,0 32 Retikulosit (%) 0,0 – 1,0 0,4 ESR (mm in 1 h) Variable Diameter sel darah merah (mm) 4,0 – 8,0 6,0 Lama hidup SDM (hari) 86±11,5 Resistensi thdp larutan hipokromik (%) Min 0,75 Max 0,45 Rasio myeloerithtroid 1,77±0,52:1 (Lahey et al. 1952 dalam Thorn 2010) Gambaran darah berubah seiring dengan kebuntingan, kelahiran, dan menyusui. Sel darah merah pada babi betina mengalami penurunan sekitar 2 minggu sebelum kelahiran terus berlanjut hingga akhir masa laktasi. Selama periode tersebut dapat ditemukan adanya retikulosit. Pemberian recombinant porcine somatotropin, growth hormone-releasing factor, dan thyrotropinreleasing factor selama masa laktasi diketahui mempengaruhi gambaran darah babi betina (Thorn 2010). Sel darah merah berinti dapat ditemukan pada sirkulasi darah fetus setelah 30 hari kebuntingan. Jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin meningkat sementara sel darah merah berinti menurun seiring bertambahnya usia. Ukuran sel darah merah berkurang selama kebuntingan. Retikulosit berada pada jumlah maksimal (6,5%) pada pertengahan masa kebuntingan dan menurun sekitar 1% saat kelahiran. Perubahan sel darah merah juga banyak terjadi setelah kelahiran. Jumlah sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin akan mengalami penurunan 30-38% karena pembesaran volume plasma beberapa hari setelah kelahiran. Ukuran sel akan meningkat segera setelah kelahiran, berkurang menjadi ukuran terkecilnya pada usia 3-6 bulan, dan meningkat kembali menjadi ukuran dewasa. Babi menyusui umumnya memiliki retikulosit sebanyak 3-8% dan sel darah merah berinti sebanyak 5%. Jumlah ini selanjutnya akan berkurang seiring bertambahnya usia babi. Pada babi muda, bentuk polikromasia, Howel-Jolly bodies, krenasi, badan rouleaux, dan polikilocyte merupakan bentuk – bentuk sel darah merah yang sering terlihat. Jumlah sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin meningkat mencapai tingkat dewasa sekitar usia 5 bulan (Thorn 2010). Pertumbuhan yang cepat pada anak babi menyebabkan meningkatnya kebutuhan zat besi. Susu yang diperoleh anak babi tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut sehingga diperlukan suplemen tambahan untuk dapat memenuhinya. Hingga kebutuhan tersebut terpenuhi, anak babi akan mengalami 7 anemia mikrositik, normokromik, hingga hipokromik. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya serum ferritin dan kapasitas pengikatan besi total. Pemulihan secara spontan dapat timbul sekitar usia 5 minggu, yaitu ketika anak babi mulai memperoeh nutrien dari sumber lain. Hemoglobin Hemoglobin adalah molekul yang terdiri dari kandungan heme (zat besi) dan rantai polipeptida globin (alfa, beta, gama, dan delta), berada di dalam eritrosit dan bertugas untuk mengangkut oksigen (Martini 1992). Heme merupakan bagian pigmen yang dihasilkan oleh mitokondria sementara globin merupakan bagian protein yang diproduksi oleh ribosom. Setiap kelompok heme dapat mengikat sebuah molekul oksigen. Empat kelompok heme akan menempel pada setiap molekul globin. Dengan demikian, setiap molekul hemoglobin dapat membawa empat molekul oksigen. Kualitas darah ditentukan oleh kadar haemoglobin. Stuktur Hb dinyatakan dengan menyebut jumlah dan jenis rantai globin yang ada. Terdapat 141 molekul asama amino pada rantai alfa, dan 146 mol asam amino pada rantai beta, gama dan delta (Colville & Bassert 2002). Fungsi utama hemoglobin yaitu untuk transpor oksigen ke jaringan (Brown 1980). Fungsi ini terdiri dari dua tahap fisiologis yaitu terbentuknya oksihemoglobin dan deoksihemoglobin. Oksihemoglobin yaitu hemoglobin yang sedang membawa oksigen, satu molekul oksigen berikatan dengan setiap molekul besi. Hemoglobin bergabung dengan oksigen di dalam paru-paru membentuk oksihaemoglobin yang selanjutnya melepaskan oksigen ke sel-sel jaringan didalam tubuh (Frandson 1992). Deoksihemoglobin yaitu hemoglobin yang telah melepaskan oksigen dan dikenal pula dengan sebutan hemoglobin kosong (Colville & Bassert 2002). Pemeriksaan hemoglobin merupakan pemeriksaan yang penting dan cukup akurat untuk menentukan keadaan anemia. Hemoglobin dapat bekerja secara efisien ketika berikatan dengan sel darah merah (Martini 1992), maka anemia akibat gangguan pada sel darah merah (baik jumlah maupun bentuk ) akan mempengaruhi kadar hemoglobin. Namun meski hemoglobin terkandung dalam sel darah merah, jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin tidak selalu meningkat atau menurun bersamaan. Kadar hemoglobin akan berada dibawah kadar normal pada kondisi anemia dan leukemia, sedangkan pada kondisi polisitemia vera dan dehidrasi kadar hemoglobin akan meningkat diatas kadar normal (Brown 1980). Hematokrit Hematokrit atau volume eritrosit yang dimampatkan (Packed Cell Volume/PCV) adalah persentase volume eritrosit dalam darah setelah disentrifugasi. Hampir semua spesies hewan lokal memiliki nilai hematokrit 38 – 45% dengan rata – rata 40. Kuda tarik umumnya memiliki nilai hematokrit 35 – 38%, sapi perah dalam masa laktasi memiliki nilai hematokrit 32 – 35%, ayam 30 8 – 33%, dan ayam jantan dewasa memiliki nilai hematokrit mencapai 35 – 40% (Swenson 1984). Babi lokal memiliki nilai hematokrit antara 32 – 50% dengan rata – rata 42% (Lahey et al. 1952 dalam Thorn 2010). Nilai hematokrit babi neonatal rendah secara fisiologi sehingga dibutuhkan injeksi iron dextran (100 mg IM) saat masa perawatan (Swindle 2007). Saat hewan beraktivitas, limpa dapat menambah kadar sel darah merah ke dalam sirkulasi sehingga meningkatkan hematokrit hingga 25% (Akers & Denbow 2008). Nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh hormon testosteron. Hormon testosteron menstimulasi sintesis eritropoietin yang berperan dalam produksi sel darah merah (Tortora & Derrickson 2006). Kecepatan penurunan hematokrit dapat membantu dalam penilaian mekanisme terjadinya anemia. Pada penghentian total produksi sumsum tulang tanpa adanya hemolisis akan meyebabkan penurunan hematokrit tidak lebih dari 3 – 4 angka per minggu. Penurunan hematokrit yang lebih cepat tanpa adanya perubahan volume plasma yang nyata mengindikasikan adanya hemolisis (Waterbury 2000). Nilai hematokrit berhubungan erat dengan kadar hemoglobin dan jumlah sel darah merah (Brown 1980). Transfusi dan Autotransfusi Transfusi sel darah merah merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk pengobatan anemia akibat hemoragi, hemolisis, atau eritropoiesis yang tidak efektif. Transfusi sel darah merah dapat meningkatkan kapasitas angkut oksigen pada pasien anemia dan mencegah pengiriman oksigen yang tidak sesuai ke jaringan yang dapat menyebabkan jaringan hipoksia (Callan 2010). Transfusi darah umumnya menggunakan darah pengganti yang berasal dari darah homolog. Adapun yang dimaksud dengan darah homolog adalah darah yang berasal dari donor dan bukan berasal dari individu itu sendiri. Sel darah merah memiliki antigen (glikoprotein atau glikolipid) pada permukaan membran sehingga dapat diklasifikasi dalam kelompok darah. Karakteristik antigen – antigen ini yaitu dapat memicu reaksi antibodi pada inang atau donor yang berlawanan. Interaksi antigen antibodi dapat menyebabkan penghancuran sel darah merah. Sebagai contoh, kucing dengan tipe darah B yang menerima darah tipe A menyebabkan penghancuran sel darah merah yang diperantarai IgM dan komplemen sehingga melepaskan komponen vasoaktif yang poten. Hal ini dapat menyebabkan shock (Lanevschi & Wardrop 2001). Salah satu cara untuk mengatasi masalah ketersediaan darah serta meminimalisir reaksi akibat ketidakcocokan darah antara donor dengan resipien yaitu dengan menggunakan darah yang berasal dari pasien sendiri (autolog). Transfusi autolog adalah transfusi darah yang berasal dari individu yang sama atau disebut juga autotransfusi (Pfiedler Enterprices 2012). Kelebihan dari autotransfusi adalah ketersediaan darah autolog dalam waktu yang relatif singkat, terutama untuk kondisi pendarahan hebat seperti pada trauma abdomen. Terdapat beberapa macam autotransfusi, diantaranya autotransfusi preoperatif dan autotransfusi intraoperatif. Pada autotransfusi preoperatif dilakukan pengambilan darah sebelum dilakukan operasi, sedangkan pada autotransfusi intraoperatif sumber darah untuk autotransfusi berasal dari 9 perdarahan sewaktu tindakan operasi (Capraro 2001). Contoh autotransfusi preoperatif adalah autotransfusi dengan menggunakan darah simpan (stored), yaitu darah pasien yang telah diambil sebelum operasi dan disimpan dalam suhu yang dapat menjaga kestabilan sel darah. Callan (2010) mendefinisikan darah simpan (stored whole blood/SWB) sebagai darah yang disimpan selama lebih dari 8 jam, lama penyimpanan tergantung antikoagulan atau bahan pengawet (preservative solution) yang digunakan dan bervariasi dari 48 jam untuk sodium sitrat 3,8% (tanpa preservatif) hingga 4 minggu untuk penggunaan CPD-A1 (citrate, phosphate, dextrose, adenin). Darah simpan terdiri dari plasma protein dan sel darah merah, namun tidak ada platelet fungsional dan faktor antikoagulan. Autotransfusi intraoperatif merupakan autotransfusi menggunakan darah yang bersumber dari hasil pendarahan pasien pada saat operasi berlangsung. Perlakuan terhadap darah diantaranya dengan melakukan penyaringan atau pencucian. Autotransfusi Intraoperatif Sederhana (AIS) yaitu autotransfusi menggunakan darah intraoperatif yang telah disaring secara sederhana. Metode yang dilakukan berupa pengambilan darah dengan suction, penampungan dalam botol yang diberi natrium sitrat, penyaringan dengan kain kassa buikgaas, serta transfusi kembali (Widjanarko 2002). Autotransfusi pencucian dilakukan dengan menggunakan alat cell saver. Dengan menggunakan cell saver, darah hasil perdarahan pasien akan mengalami pemisahan komponen darah (sel darah merah, plasma, dan leukosit serta debris) sebelum ditansfusikan kembali ke dalam tubuh pasien. Pemisahan ini dianggap perlu karena pengambilan darah dari lapangan operasi merupakan tindakan yang traumatis yang akan menimbulkan pengaktifan lekosit pada tingkatan yang lebih besar sehingga akan timbul reaksi inflamasi yang besar pula (Rubens et al. 2008). Keunggulan lain dari penggunaan darah autolog yaitu adanya kadar 2,3 difosfogliserat yang lebih tinggi. Keberadaan 2,3 difosfogliserat yang juga dikenal sebagai 2,3 bifosfogliserat dibutuhkan untuk pengikatan oksigen di paru dan pelepasannya di jaringan karena dapat mengubah dan menurunkan afinitas oksigen terhadap hemoglobin (Pfiedler Enterprises 2012). Perbedaan suhu yang tidak terlalu signifikan antara darah auotransfusi dengan suhu tubuh pasien merupakan keuntungan lain dari proses autotransfusi intraoperatif. Pasien dengan kondisi kehilangan darah yang cukup banyak rentan mengalami kondisi hipotermi sehingga penggunaan darah dengan perbedaan suhu darah transfusi yang cukup signifikan dapat memperparah kondisi tersebut. Faktor koagulopati dalam darah autotransfusi juga masih memiliki fungsi yang lebih baik untuk proses pembekuan darah dibandingkan transfusi menggunakan darah simpan. METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan, yaitu pada bulan Mei hingga Juni 2011. Penelitian dilaksanakan di Bagian Bedah dan Radiologi Hewan Kecil, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Analisa sampel darah dilakukan di Laboratorium Yasa, Bogor. 10 Alat dan Bahan Pengambilan sampel darah dilakukan dengan menggunakan spuit 3 mL, tabung EDTA (Ethilen Diamin Tetra Acetic Acid) sebagai kontainer, kapas, alkohol 70%, dan kantung darah Citrate Phosphate Dextrose Adenine/ CPDA-1 (HL Haemopack®, HLL Lifecare Limited). Pencucian darah kelompok babi AIP menggunakan alat cell saver (Haemonetics Cell Saver® 5, THE Blood Management Company). Selama proses pembedahan digunakan seperangkat alat bedah mayor, ETT (Endo Tracheal Tube), suction pump (asahiilca®), benang jahit bahan silk dan cutgut ukuran 3/0, jarum segitiga (ukuran 4) dan bulat (ukuran 8), serta kateter kupu-kupu (IV-cath). Anastesi dilakukan dengan menggunakan seperangkat anastesi inhalasi dan obat bius yang terdiri dari ketamin 10% (Ilium ketamil®-100, Troy), xylazin 10% (Ilium xylazil®-100, Troy) dan zoletil 5% (Zoletil®, Virbac). Peralatan tambahan lain yaitu ice pack, ice box, termometer, stetoskop, kapas/tampon, plester, alat cukur, dan kamera digital. Tahap persiapan Hewan coba yang digunakan yaitu babi domestik (Sus domestica) sebanyak 9 ekor. Pemilihan babi dilakukan menggunakan metode Penarikan Contoh Acak Sederhana/PCAS. Babi dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan, masing – masing kelompok terdiri dari tiga ekor babi (untuk jumlah pengulangan tiap jenis autotransfusi) dengan bobot badan relatif sama (16 – 25 kg). Perlakuan pertama adalah kelompok Autotransfusi Preoperatif (AP). Hewan pada kelompok AP diberi perlakuan autotransfusi dengan menggunakan darah simpan, yaitu darah yang telah diekstravasasi 2 minggu sebelumnya dan disimpan dalam kantung darah CPDA-1. Perlakuan kedua adalah Autotransfusi Intraoperatif Sederhana (AIS), hewan diberi perlakuan autotransfusi dengan menggunakan darah hasil penyaringan sederhana. Perlakuan ketiga adalah Autotransfusi Intraoperatif Pencucian (AIP), hewan diberi perlakuan autotransfusi dengan menggunakan darah hasil pencucian mesin cell saver. Hewan ditempatkan dalam kandang kelompok berukuran 4x3 meter. Pakan yang diberikan berupa dedak dan hijauan. Pakan diberikan setiap pagi dan sore setelah dilakukan pengukuran suhu, nafas, dan denyut jantung. Tahap Pelaksanaan Kelompok babi AP diambil darah pada H-14 autotransfusi dan disimpan untuk keperluan autotransfusi. Pada H 0 , autotransfusi dilakukan terhadap ketiga kelompok babi setelah terjadi perdarahan 30% (dari perkiraan volume darah individu) melalui splenektomi sebagai bentuk simulasi trauma abdomen. Pada kelompok AIS dan AIP, darah yang mengalir ke rongga abdomen akibat splenektomi diaspirasi dengan menggunakan suction pump (asahiilca®) untuk selanjutnya disaring secara sederhana menggunakan kassa buikgaas (kelompok AIS) atau dicuci menggunakan cell saver (kelompok AIP). Darah yang telah diproses tersebut kemudian ditransfusikan kembali ke dalam tubuh babi. 11 Adaptasi (kelompok AP,AIS,AIP) H H - 14 Pengambilan darah simpan (kelompok AP) pre H+2 post Perdarahan 30% via splenektomi + autotransfusi (kelompok AP,AIS,AIP) H+7 Panen (kelompok AP,AIS,AIP) Gambar 3 Alur penelitian dan perlakuan bedah terhadap babi AP, AIS, dan AIP Sampel darah dari masing – masing babi diambil dalam empat tahap untuk melihat perubahan indeks eritrosit yang terjadi, yaitu darah sebelum dilakukan splenektomi (pre autotransfusi), post autotransfusi, dua hari post autotransfusi (H+2), dan tujuh hari post autotransfusi (H+7). Pengambilan darah dilakukan melalui vena auricularis, vena jugularis, dan vena femoralis. Darah diambil sebanyak 3 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung EDTA yang telah diberi label dan dihomogenkan dengan antikoagulan dengan membuat gerakan angka delapan. Darah kemudian disimpan dalam dalam suhu 4 0C selama maksimal 6 jam untuk kemudian diperiksa. Variabel yang Diamati Variabel yang diamati yaitu jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, nilai VER, HER, dan KHER pada setiap tahap pengambilan darah dari masing – masing babi. Analisis Data Data yang diperoleh dinyatakan dalam rataan dan simpangan baku. Perbedaan antar tahapan pengambilan sampel dan antar kelompok dianalisis menggunakan analisa ragam (Analyse of Variant/ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan pada selang kepercayaan 95% (α=0,05). HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ditemukan adanya perbedaan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit babi pada setiap perlakuan. 12 Jumlah sel darah merah Hasil pemeriksaan jumlah sel darah merah yang mengalami perubahan signifikan ditunjukkan oleh kelompok babi AP, yaitu antara pemeriksaan H+2 dan H+7 autotransfusi. Perbandingan respon kelompok babi terhadap penggunaan darah autotransfusi berbeda dilihat dari perubahan jumlah sel darah merahnya ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Rata – rata jumlah sel darah merah babi autotransfusi (106/μL) KELOMPOK BABI PEMERIKSAAN AP AIS AIP 4,02±0,28b,x 3,70±0,56a,x 4,28±0,26a,x PRE AUTO 4,25±0,83a,x 4,30 3,97±0,40a,x POST AUTO 3,93±0,65a,x 3,18±1,08a,x 3,70±0,10b,x H+2 a,x a,x 3,18±0,03 3,55±0,64 3,35±0,07a,x H+7 Keterangan : huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar tahapan pengambilan darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan. Data post operasi kelompok AP tidak dapat diuji antar kelompok dan antar tahapan pengambilan sampel karena n<3. Penurunan signifikan jumlah sel darah merah H+7 autotransfusi pada kelompok babi AP diduga akibat belum adanya kemampuan tubuh babi dalam memperbaiki sistem tubuhnya setelah terjadi perdarahan saat operasi, meski sebelumnya telah dilakukan transfusi darah. Diduga darah yang ditransfusikan banyak yang telah mengalami penuaan selama masa penyimpanan sehingga sel darah menjadi lebih rapuh. Callan (2010) menyatakan bahwa sel darah merah yang telah mengalami penyimpanan lama akan memiliki fungsi yang berkurang dan kelenturan membrannya akan hilang. Selama masa penyimpanan, sel darah merah tidak mengalami reproduksi dan hanya mengandalkan glukosa plasma sebagai sumber energi (Colville & Bassert 2002). Dengan demikian meski pada pemeriksaan post autotransfusi tampak adanya peningkatan jumlah sel darah merah, seiring dengan waktu dan pergerakan sel darah dalam sirkulasi, sel darah merah yang menua dan yang telah berkurang integritas membrannya mengalami lisis. Penurunan jumlah sel darah merah kelompok babi AP yang masih berlanjut hingga pemeriksaan H+7 juga diduga akibat eritropoiesis yang belum efektif. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Akers & Denbow (2008) yang menyatakan bahwa perubahan dari eritropoiesis stem sel hingga menjadi retikulosit membutuhkan waktu 3 – 5 hari. Dua hari kemudian, retikulosit yang dilepaskan dalam sirkulasi akan melepaskan ribosom dan menjadi sel darah merah. Eritropoiesis adalah proses pembentukan sel darah merah yang distimulasi oleh hormon eritropoietin (Akers & Denbow 2008). Produksi hormon eritropoietin akan meningkat ketika terjadi hipoksia jaringan (Robinson & Huxtable 2003). Masa hidup eritropoietin kurang dari satu hari sehingga dapat membantu menyediakan sejumlah sel darah merah untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan (Reece 2006). Dengan demikian, penurunan jumlah sel darah merah yang berkelanjutan pada pemeriksaan H+7 kelompok babi AP mengindikasikan bahwa sumsum tulang belum mampu menghasilkan sel darah merah dalam jumlah yang cukup untuk mengembalikan kondisi normal tubuh. 13 Penurunan jumlah sel darah merah juga terjadi pada kelompok babi AIS dan AIP meski tidak signifikan. Penurunan ini diduga akibat adanya trauma sel darah merah akibat perlakuan darah. Waters et al. (2007) menyatakan bahwa aspirasi udara bersamaan dengan darah pada saat penggunaan suction dapat menyebabkan kerusakan sel darah merah yang berakhir pada hemolisis. Namun demikian, kerusakan dan hemolisis sel darah merah tampak masih dapat diatasi oleh tubuh. Hal ini ditunjukkan pada pemeriksaan jumlah sel darah merah H+7 autotransfusi kelompok babi AIS dan AIP yang tidak menunjukkan perubahan signifikan sejak dilakukan autotransfusi. Hasil uji statistik terhadap jumlah sel darah merah kelompok babi autotransfusi tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata antar perlakuan sehingga diduga perbedaan perlakuan tidak mempengaruhi jumlah sel darah merah setelah autotransfusi. Jumlah sel darah merah pada penelitian ini berbeda dengan nilai referensi yang diperoleh, yaitu 5,0 – 8,0 x106 μL dengan rata – rata 6,5 x106 μL (Lahey et al. dalam Thorn 2010). Perbedaan ini diduga merupakan karakteristik babi lokal Indonesia karena sejauh ini belum ada data nilai normal hematologi babi lokal Indonesia. Kadar Hemoglobin Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin kelompok babi AIP menunjukkan adanya perbedaan nyata kadar hemoglobin pada H+2 autotransfusi dibandingkan pada pemeriksaan post autotransfusinya. Perubahan kadar hemoglobin kelompok babi autotransfusi berdasarkan uji statistik ditunjukkan dalam Tabel 4. Tabel 4 Rata – rata kadar hemoglobin babi autotransfusi (gram/dL) KELOMPOK BABI PEMERIKSAAN AP AIS AIP a,x a,x 10,20±2,14 9,55±1,66ab,x 8,57±0,55 PRE AUTO 8,60 10,53±2,55a,x 10,58±0,69b,x POST AUTO 7,37±0,50a,x 9,13±1,56a,x 6,68±1,98a,x H+2 a,x a,x 7,20±0,00 6,65±1,06a,x 7,77±0,7 H+7 Keterangan : huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar tahapan pengambilan darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan. Data post operasi kelompok AP tidak dapat diuji antar kelompok dan antar tahapan pengambilan sampel karena n<3. Pada pemeriksaan post autotransfusi, kelompok babi AIP menunjukkan peningkatan lebih besar dibandingkan dengan peningkatan kadar hemoglobin kedua kelompok babi lain. Hal ini diduga akibat adanya hemoglobin bebas (free hemoglobin) pada sampel darah dan terbaca pada pemeriksaan darah. Dalam penelitian Sang-Bum et al. (2011), diketahui bahwa produksi hemoglobin bebas dan rasio hemolisis meningkat ketika suction tip diposisikan di permukaan darah dibandingkan jika diposisikan di tengah – tengah darah. Penurunan signifikan kadar hemoglobin kelompok babi AIP pada pemeriksaan H+2 autoransfusi diduga akibat adanya mekanisme tubuh yang secara normal mengikat hemoglobin bebas untuk dihancurkan didalam hati. Ketika membran sel darah merah rusak dalam pembuluh darah, hemoglobin akan 14 dilepaskan langsung dalam darah. Hemoglobin bebas akan dibawa oleh protein plasma, haptoglobin, dan dibawa ke hati untuk dihancurkan oleh sistem mononuklear fagositosis (MPS) (Colville & Bassert 2002). Kadar hemoglobin kelompok babi AP dan AIS cenderung mengalami penurunan hingga pemeriksaan H+2 autotransfusi meski tidak signifikan. Peningkatan kadar hemoglobin kelompok babi AP pada pemeriksaan H+7 autotransfusi diduga merupakan usaha tubuh untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan ketika jumlah sel darah merah berkurang. Sel darah merah diduga berupaya meningkatkan pembentukan hemoglobin agar dapat mencukupi kebutuhan jaringan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar hemoglobin babi pada ketiga perlakuan hampir tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata, baik antar perlakuan maupun antar tahap pengambilan darah. Babi memiliki rentang kadar hemoglobin normal antara 10,0 – 16,0 g/dL (Lahey et al. dalam Thorn 2010) dengan rata – rata sebesar 13,0 g/dL (Reece 2006). Jika dibandingkan dengan literatur, kadar hemoglobin kelompok babi pada penelitian ini memiliki nilai dibawah nilai normal babi pada referensi yang digunakan. Hal ini juga diduga merupakan karakteristik babi lokal Indonesia. Nilai Hematokrit Nilai hematoktrit menunjukkan proporsi relatif sel darah merah terhadap plasma. Babi memiliki nilai hematokrit 32 – 50% dengan rata – rata 42% (Lahey et al. dalam Thorn 2010). Hasil pemeriksaan nilai hematokrit H+2 autotransfusi kelompok babi AIP menunjukkan adanya penurunan nilai hematokrit yang signifikan, berbeda dengan dua kelompok babi lain yang secara statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata pada setiap tahapan pemeriksaan darah. Tabel 5 Rata – rata nilai hematokrit babi autotransfusi (%) KELOMPOK BABI PEMERIKSAAN AP AIS AIP a,x a,x 26,17±2,47 30,50±6,14 28,50±4,50ab,x PRE AUTO 31,33±2,08b,x 26,00 31,67±7,51a,x POST AUTO 21,50±0,87a,x 27,67±4,04a,x 19,67±6,43a,x H+2 a,x a,x 24,00±4,24 20,00±2,83a,x 19,98±7,39 H+7 Keterangan : huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar tahapan pengambilan darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan. Data post operasi kelompok AP tidak dapat diuji antar kelompok dan antar tahapan pengambilan sampel karena n<3. Darah intraoperatif yang diproses menggunakan cell saver mengalami pemisahan komponen darah, termasuk plasma (Rubens et al. 2008). Hal ini dapat menyebabkan terjadinya hemokonsentrasi, yaitu penurunan komponen plasma darah sehingga menyebabkan peningkatan rasio sel terhadap plasma. Frandson et al. (2009) menyatakan bahwa penurunan volume plasma dapat disebabkan oleh kurangnya asupan air atau hilangnya cairan tubuh dalam jumlah banyak. Kondisi hemokonsentrasi pada pemeriksaan post autotransfusi kelompok AIP diduga karena perdarahan 30% yang dilakukan hanya ditangani dengan pengembalian sel 15 darah merah yang telah disaring dengan cell saver. Tidak ada terapi cairan khusus yang dilakukan untuk mengatasi kondisi ini saat penelitian dilaksanakan. Nilai hematokrit kelompok babi AIP mengalami penurunan drastis dari kondisi post autotransfusinya yang senilai 31,33±2,08% menjadi 19,67±6,43% pada pemeriksaan H+2 autotransfusi. Penurunan nilai hematokrit kelompok babi AIP pada pemeriksaan H+2 autotransfusi mengindikasikan telah terjadi rehidrasi cairan sebagai upaya tubuh untuk mengembalikan kondisi homeostasis. Berbeda dengan nilai hematokrit kelompok babi AIP, nilai hematokrit kelompok babi AP dan AIS tidak mengalami perubahan signifikan hingga pemeriksaan H+7 autotransfusi. Hal ini diduga karena darah yang digunakan merupakan darah penuh (whole blood), yaitu darah tanpa pemisahan komponen darah. Kemp III (2010) menuliskan bahwa darah segar (fresh whole blood) dan darah simpan (stored whole blood) masih mengandung plasma dan memiliki nilai hematokrit 40 – 50%. Tidak adanya pemisahan plasma pada darah simpan maupun darah saring diduga mempermudah tubuh dalam menerima darah perlakuan sehingga tubuh dapat mengembalikan homeostasisnya dengan baik. Volume Rata – rata Eritrosit (VER) Tabel 6 menunjukkan perubahan nilai VER ketiga kelompok babi autotransfusi berdasarkan hasil uji statistik. Tabel 6 Rata – rata nilai volume rata – rata eritrosit/VER KELOMPOK BABI PEMERIKSAAN AP AIS AIP a,x a,x 65,32±6,83 82,68±12,36 66,28±6,70a,x PRE AUTO 60,47 79,12.±11,27a,x 75,20±11,35a,x POST AUTO 72,40±21,32a,x 62,69±9,18a,x 58,10±1,24a,x H+2 a,x a,x 69,80±24,46 59,63±7,18a,x 62,64±22,78 H+7 Keterangan : huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar tahapan pengambilan darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan. Data post operasi kelompok AP tidak dapat diuji antar kelompok dan antar tahapan pengambilan sampel karena n<3. Nilai VER kelompok babi AP mengalami penurunan hingga pemeriksaan H+2 autotransfusi dan meningkat pada pemeriksaan H+7 autotransfusi. Hal berbeda terjadi pada kelompok babi AIS yang cenderung mengalami penurunan hingga pemeriksaan H+7 autotransfusi. Kelompok babi AIP menunjukkan peningkatan nilai VER pada pemeriksaan post autotransfusi dan mengalami penurunan hingga H+7 autotransfusi. Namun demikian, hasil uji statistik nilai VER kelompok babi AP, AIS, dan AIP tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada setiap tahap pemeriksaan dan antar perlakuan. Secara keseluruhan, nilai VER ketiga kelompok babi masih berada dalam kisaran normalnya, yaitu 50 – 68 fL dengan nilai rata – rata 60 fL (Lahey et al. dalam Thorn 2010). Penurunan nilai VER menunjukkan bahwa sel darah merah yang bersirkulasi berukuran kecil. Banyaknya darah yang hilang akibat perdarahan disertai lisis sel darah merah dari darah simpan yang telah kehilangan integritas 16 membrannya diduga menyebabkan sel darah merah yang beredar hanya sel darah yang menjelang penuaan dan atau telah mengalami kerusakan. Sel darah merah yang mengalami penuaan dan perubahan bentuk akan mengalami pengurangan volume sel (Colville & Bassert 2002). Hal serupa diduga juga terjadi pada darah intraoperatif sederhana dan darah intraoperatif pencucian. Peningkatan nilai VER kelompok babi AP pada pemeriksaan H+7 autotransfusi mengindikasikan adanya respon tubuh dalam mengatasi kondisi hipoksia jaringan yang tampak pada pemeriksaan H+2 autotransfusi. Peningkatan nilai VER post operasi kelompok babi AIP diduga disebabkan oleh dehidrasi akibat perlakuan darah autotransfusi. Mohandas dan Gallagher (2008) menyatakan bahwa setelah dehidrasi ekstensif sel darah merah kehilangan kemampuan mempertahankan homeostasis kation dan volume sel menjadi bertambah. Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata - rata (KHER) Nilai KHER merupakan hasil perhitungan rata-rata konsentrasi hemoglobin di dalam sel darah merah. Nilai KHER yang lebih rendah dari rentang normalnya (hipokromia) dapat ditemukan pada hewan yang mengalami anemia regeneratif dan defisiensi zat besi kronis. Peningkatan KHER hingga diatas rentang normalnya (hiperkromia) dapat terjadi akibat adanya hemolisis, lipemia, dan aglutinasi (Meyer & Harvey 2004). Tabel 7 Rata – rata nilai Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata - rata/KHER (gr/dL) KELOMPOK BABI PEMERIKSAAN AP AIS AIP a,x a,x 33,41±0,64 33,46±0,73a,x 32,80±0,99 PRE AUTO 33,78±0,14a,x 33,08 33,23±0,28a,x POST AUTO a,x a,x 32,93±0,83 34,20±1,09a,x 34,24±1,21 H+2 42,70±15,59a,x 30,48±5,39a,x 33,21±0,61a,x H+7 Keterangan : huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar tahapan pengambilan darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan. Data post operasi kelompok AP tidak dapat diuji antar kelompok dan antar tahapan pengambilan sampel karena n<3. Pada tabel 7, nilai KHER kelompok babi AP cenderung mengalami peningkatan nilai KHER pada setiap tahap pemeriksaan. Hal berbeda tampak pada kelompok babi AIS dan AIP. Kelompok babi AIS justru mengalami penurunan pada setiap tahap pemeriksaan, sementara kelompok babi AIP cenderung konstan pada setiap tahap pemeriksaan. Namun demikian hasil uji statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata, baik antar perlakuan maupun antar tahapan pengambilan sampel. Rentang nilai KHER babi normal yaitu 30,0 – 34,0% (Lahey et al. dalam Thorn 2010) dengan nilai rata – rata 32% (Reece 2006). Hasil perhitungan nilai KHER ketiga kelompok babi pada setiap tahap pemeriksaan tampak masih berada dalam rentang normal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsentrasi hemoglobin dalam sel darah merah pada ketiga kelompok babi autotransfusi cenderung tidak berubah meskipun ukuran sel darah merah berubah. 17 Hemoglobin Eritrosit Rata - rata (HER) Perhitungan nilai HER bertujuan untuk mengetahui jumlah rata-rata hemoglobin dalam sel darah merah. Rentang nilai HER normal babi yaitu 17,0 – 21 pg (Lahey et al. dalam Thorn 2010) dengan rata – rata 19 pg (Reece 2006). Ukuran sel darah merah yang lebih besar (VER tinggi/makrositik) cenderung memiliki HER yang lebih tinggi, sedangkan ukuran sel darah merah yang lebih kecil (VER rendah/mikrositik) akan memiliki nilai HER yang lebih rendah. Tabel 8 Rata – rata nilai hemoglobin eritrosit rata - rata/HER (pg) KELOMPOK BABI PEMERIKSAAN AP AIS AIP ab,x a,x 21,38±1,71 27,67±4,60 22,20±2,63a,x PRE AUTO 20,00 26,31±3,92a,x 25,40±3,82a,x POST AUTO a,x a,x 19,91±1,12 23,94±7,61 21,47±3,57a,x H+2 20,61±3,70a,x 19,82±2,75a,x 24,39±2,08b,x H+7 Keterangan : huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar tahapan pengambilan darah. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan. Data post operasi kelompok AP tidak dapat diuji antar kelompok dan antar tahapan pengambilan sampel karena n<3. Hasil perhitungan nilai HER kelompok babi AIS dan AIP cenderung mengalami penurunan hingga pemeriksaan H+7 autotransfusinya namun tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata. Berbeda dengan kelompok babi AP yang mengalami peningkatan signifikan pada pemeriksaan H+7 autotransfusi dibandingkan nilai H+2 autotransfusinya. Besarnya nilai HER kelompok babi AP pada pemeriksaan H+7 autotransfusi ini diduga disebabkan oleh adanya penurunan jumlah sel darah merah yang signifikan pada kelompok babi AP pada kedua tahap pemeriksaan sementara kadar hemoglobinnya cenderung tidak berubah. Penurunan jumlah sel darah merah akibat lisis sel darah merah yang berkelanjutan diduga menyebabkan sel darah merah memperbesar ukuran selnya (VER naik) sehingga terbentuk lebih banyak hemoglobin dalam sel (HER naik). Upaya ini tampak cukup berhasil karena pada pemeriksaan kadar hemoglobin H+7 autotransfusi diperoleh adanya peningkatan kadar hemoglobin kelompok AP meski tidak signifikan. Secara keseluruhan, nilai HER ketiga kelompok babi cenderung berada diatas kisaran normalnya. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan pemeliharan babi yang berada pada dataran tinggi. Namun demikian, tidak ada perbedaan signifikan antar kelompok babi. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel darah dan analisis data secara statistik terhadap indeks eritrosit kelompok babi autotransfusi dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada respon tubuh yang berbeda signifikan antar kelompok perlakuan. Penggunaan darah simpan, darah hasil penyaringan 18 sederhana, dan darah hasil pencucian cell saver memiliki pengaruh yang sama terhadap indeks eritrosit dalam proses autotransfusi. Saran Perlu adanya penelitian serupa dengan jumlah hewan coba yang lebih banyak dan bobot yang lebih seragam sehingga lebih terlihat signifikansinya. Diperlukan pemeriksaan laju endap darah dan pembacaan ulas darah merah untuk melihat kondisi anemia dan adanya retikulosit yang dilepaskan oleh sumsum tulang. Pemeriksaan saturasi oksigen juga diperlukan untuk melihat kemampuan sel darah merah dalam membawa oksigen ke jaringan. Dalam proses autotransfusi menggunakan cell saver sebaiknya diberikan terapi cairan terhadap pasien. DAFTAR PUSTAKA Akers RM, Denbow DM. 2008. Anatomy and Physiology of Domestic Animals. California : Blackwell Publishing. [Anonim]. 2012. Kenali anemia – gejala dan tips untuk pengidap anemia. http://www.sumbercara.co.cc/2012/04/kenali-anemia-gejala-dantips-untuk.html [7 Juli 2012]. Aspinall V, O’Reilly M. 2004. Introduction to Veterinary Anatomy and Physiology. New York : Butterworth-Heinemann. Brown BA. 1980. Haematology: Principles and Procedures 3rd edition. Philadelphia : Lea & Febiger. Callan MB. 2010. Red Blood Cell Transfusions in the Dog and Cat. Dalam Weiss DJ, Wardrop JK, editor: Schalm’s Veterinary Hematology, 6th edition. Iowa : Wiley-Blackwell. Capraro L. 2001. Transfusion Practices in Elective Surgical Procedures in Finnish Hospitals.[Disertasi]. Finland : Faculty of Medicine, University of Helsinki. Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy & Phisiology For Veterinary Technicians. Philadelphia : Mosby, Inc. Frandson, RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak IV. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Frandson RD, Wilke WL, Fais AD. 2009. Anatomy and Physiology of Farm Animals. 7th edition. Colorado : Wiley-Blackwell. Harvey JW. 2001. Atlas of Veterinary Hematology. Philadelphia : Saunders. Holden PJ, Ensminger ME. 2006. Swine Science. 7th edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Kemp III JF. 2010. Veterinary transfusion medicine. The Animal Emergency Clinic : 1 – 8. http://theaec.com/content/transfusion.pdf. Kuzmuk & Schook. 2011. Pigs as a Model for Biomedical Sciences. Dalam Rothschild MF & Ruvinsky A, ed: The Genetics of the Pigs 2nd edition. Chipppenham : CPI Anthony Rowe. Lanevschi A, Wardrop KJ. 2001. Principles of transfusion medicine in small animal. Canadian Veterinary Journal Vol. 42 : 447 – 454. 19 Martini F. 1992. Fundamentals of Anatomy and Physiology 2nd edition. New Jersey : Prentice Hall Englewood Cliffs. Meyer DJ, Harvey Jw. 2004. Veterinary Laboratory Medicine, Interpretation & Diagnosis. 3rd edition. Missouri : Saunders. Mohandas N, Gallagher PG. 2008. Red cell membrane : past, present, and future. Blood Journal No. 10 Vol. 112 : 3939-3948. Olver CS. 2010. Erythropoiesis. Dalam Weiss DJ, Wardrop JK, editor: Schalm’s Veterinary Hematology, 6th edition. Iowa : Wiley-Blackwell. Patria IKR. 2012. Peternak babi : keluhkan harga di pasaran anjlok 20%. 29 Juni 2012. http://bali-bisnis.com/index.php/peternak-babi-keluhkan-harga-dipasaran-anjlok-20/ [5 Juli 2012]. Patterson JK, Xin GL, Miller DD. 2008. The pig as an experimental model for elucidating the mechanisms governing dietary influence on mineral absorption. Experimental Biology and Medicine 233:651-664. Pfiedler Enterprices. 2012. Transfusion Therapy in Orthopaedic Surgical Procedures (A Continuing Education Self-Study Activity). Blackhawk Street, Suit 220. Reece WO. 2006. Functional Anatomy and Physiology of Domestic Animals. 3rd edition. Iowa : Blackwell Publishing. Robinson WF, Huxtable CRR. 2003. Clinicopathologic Principles for Veterinary Medicine. Cambridge : Cambridge University Press. Rubens FD, Mujoomdar A, Tien HC. 2008. Cell salvage in trauma. International Trauma Care 18(1): 35 - 41. Sang-Bum An, Eun Su Choi, Wonsik Ahn. 2011. Suction conditions for minimizing the production of free hemoglobin during blood salvage using an autotransfusion apparatus. Korean Journal Anasthesiol 60 (4): 266-271. Shander A. 2008. Blood conservation strategies. Johns Hopkins Advanced Studies in Medicine Vol. 8 No. 10: 363-368. Shier D, Butler J, Lewis R. 2002. Hole’s Human Anatomy and Physiology 9th edition. New York : McGraw-Hill Companies. Svendensen O. 2007. Toxicology. Dalam Swindle MM: Swine in the Laboratory Surgery, Anasthesia, Imaging, and Experimental Techniques 2nd edition. Florida : CRC Press. Swenson MJ, editor. 1984. Duke’s Physiology of Domestic Animals. 10th edition. New York : Cornell University Press. Swenson KS, Mazur MJ, Vashisht K, Rund LA, Beever JE, Counter CM, Schook LB. 2004. Genomics and clinical medicine: rationale for creating and effectively evaluating animal models. Experimental Biology and Medicine 229: 866–875. Swindle MM, Smith AC. 2000. Information resources on swine in biomedical research1990–2000. http://www.nal.usda.gov/awic/pubs/swine/swine.htm [15 Juli 2012]. Swindle MM. 2007. Swine in the Laboratory: Surgery, Anasthesia, Imaging, and Experimental Techniques. 2nd edition. New York : CRC Press. Thorn CE. 2010. Hematology of the Pig. Dalam Weiss DJ, Wardrop JK, editor: Schalm’s Veterinary Hematology, 6th edition. Iowa : Wiley-Blackwell. Torrtora GJ, Derrickson B. 2006. Principles of Anatomy and Physiology 11th. New Jersey : Wiley 20 Waterbury L. 2000. Keadaan – keadaan yang Berhubungan dengan Abnormalitas Pembekuan dan Trombosis. Dalam Haemotology Series, 3rd edition. Jakarta : ECG. Waters JH, Williams B, Yazer MH, Kameneva MV. 2007. Modification of suction-induced hemolysis during cell salvage. International Anesthesia Research Society Vol. 104(3):684-7. Weiss D, Tvedten H. 2004. The Complete Blood Count and Bone Marrow Examination : General Comments and Selected Techniques. Dalam Willard MD, Tvedten H, editor: Small Animal Clinical Diagnosis by Laboratory Method 4th edition. Philadelphia : Saunders. Widjanarko HG, editor. 2002. ‘Autotransfusi pada pengelolaan kehamilan ektopik terganggu (pengalaman selama 14 tahun)’. Proceeding Simposium Autotransfusi sebagai alternatif pilihan mengatasi perdarahan intraoperatif. 21 LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil uji statistik kadar hemoglobin ANOVA AP AIS AIP Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 2.681 3 .894 2.471 .159 Within Groups 2.170 6 .362 Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total 4.851 15.634 27.073 42.707 33.068 15.413 48.482 9 3 7 10 3 7 10 5.211 3.868 1.347 .334 11.023 2.202 5.006 .037 DUNCAN AP Hemoglobin a Duncan Subset for alpha = 0.05 N 1 THR 3 7.3667 PANEN 3 7.7667 PRE 3 8.5667 Sig. .056 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. AIS Hemoglobin a Duncan N Subset for alpha = 0.05 1 PANEN 2 7.2000 THR 3 9.1333 PRE 3 10.2000 POST 3 10.5333 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. .107 22 AIS Hemoglobin Duncana Subset for alpha = 0.05 N 1 PANEN 2 7.2000 THR 3 9.1333 PRE 3 10.2000 POST 3 10.5333 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,667. .107 AIP Subset for alpha = 0.05 a Duncan Hemoglobin N 1 PANEN 2 6.6500 THR 3 6.6833 PRE 3 9.5500 POST 3 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,667. 2 9.5500 10.5833 .067 .448 23 Lampiran 2 Hasil uji statistik nilai hematokrit ANOVA AP AIS AIP Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 73.024 3 24.341 1.187 .391 Within Groups 123.018 6 20.503 Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total 196.042 83.212 238.833 322.045 291.303 139.833 431.136 9 3 7 10 3 7 10 27.737 34.119 .813 .526 97.101 19.976 4.861 .039 DUNCAN AP Hematokrit Duncana Subset for alpha = 0.05 N 1 PANEN 3 19.9833 THR 3 21.5000 PRE 3 26.1667 Sig. .157 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. AIS Hematokrit a Duncan N Subset for alpha = 0.05 1 PANEN 2 24.0000 THR 3 27.6667 PRE 3 30.5000 POST 3 31.6667 Sig. .195 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,667. 24 AIP Hematokrit Duncana THR N Subset for alpha = 0.05 1 3 19.6667 PANEN 2 20.0000 PRE 3 28.5000 POST 3 Sig. .064 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,667. 2 28.5000 31.3333 .488 25 Lampiran 3 Hasil uji statistik nilai HER ANOVA AP AIS AIP Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 34.440 3 11.480 4.042 .069 Within Groups 17.041 6 2.840 Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total 51.480 9 68.416 3 22.805 .787 .538 202.919 271.335 7 10 28.988 42.970 3 14.323 1.316 .343 76.160 119.130 7 10 10.880 DUNCAN AP HER a Duncan Subset for alpha = 0.05 N 1 THR 3 19.9067 PRE 3 21.3833 PANEN 3 2 21.3833 24.3833 Sig. .324 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. .072 AIS HER a Duncan N Subset for alpha = 0.05 1 PANEN 2 20.6150 THR 3 23.9400 POST 3 26.3100 PRE 3 27.6733 Sig. .195 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. 26 AIS HER Duncana PANEN Subset for alpha = 0.05 N 1 2 20.6150 THR 3 23.9400 POST 3 26.3100 PRE 3 27.6733 Sig. .195 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,667. AIP HER Duncana PANEN N Subset for alpha = 0.05 1 2 19.8200 THR 3 21.4767 PRE 3 22.2000 POST 3 25.4000 Sig. .108 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,667. 27 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1990 di Bandung-Jawa Barat. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara pasangan bapak DR. H. Islahuzzaman, SE. MSi. Ak. dan ibu drg. Hj. Rozana Mariani. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2002 di SD Salman Al-Farisi dan melanjutkan pendidikan menengah pertama di yayasan pendidikan yang sama hingga lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2008 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 24 Bandung. Pada tahun yang sama penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dengan mayor Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis tergabung dalam beberapa organisasi kampus. Adapun organisasi yang diikuti yaitu UKM Gentra Kaheman divisi Tari (2008), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan (BEM FKH) Kabinet Katalis sebagai wakil bendahara (2009 – 2010), serta Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia (Himpro Ruminansia) sebagai bendahara umum (2010 – 2011). Penulis juga mengikuti magang profesi dan beberapa kepanitiaan kegiatan kampus FKH IPB.