USHUL FIQH: ALTERNATIF MEMBANGUN WAWASAN

advertisement
USHUL FIQH: ALTERNATIF MEMBANGUN
WAWASAN PLURALISME DI TENGAH
KONFLIK PEMAHAMAN KEAGAMAAN
Wahyu Setiawan
STAIN Jurai Siwo Metro
Email: [email protected]
Abstrak
Artikel ini berusaha mendeskripsikan ushul fiqh sebagai
sarana untuk membangun wawasan pluralisme dalam rangka
meminimalisir konflik keagamaan di Indonesia. Hal ini penting
dilakukan karena, pertama, Indonesia sebagai negara yang
multi ras, multi kultur dan multi agama dan keyakinan sangat
rentan terhadap konflik. Kedua, konflik yang terjadi atau yang
mungkin terjadi harus diselesaikan sesuai dengan faktor yang
melatarbelakanginya. Bila yang menjadi faktor adalah agama
atau keyakinan, maka penyelesaiannya juga mengedepankan
pendekatan keagamaan. Ushul fiqh sebagai metode dan kajian
dalam hukum islam bisa menjadi alternatif untuk meminimalisir
dan mengantisipasi konflik keagamaan tersebut. Tulisan ini
berdasarkan data kepustakaan yang danalisa secara deduktif.
Hasil pembahasan menunjukkan bahwa rekonstruksi aksiologi
ushul fiqh harus dilakukan melalui tiga langkah: (1) pengujian
konsep ontologi syariah sebagai objek ushl fiqh, (2) klasifikasi
antara sisi teori dan sisi praktis ushul fiqh, (3) pengembangan
struktur praktis ushul fiqh.
Kata kunci: Ushul fiqh, Aksiologi, Wawasan pluralisme
Abstract
This article seeks to describe ushul fiqh as a means to build
pluralistic insights to minimize religious conflicts in Indonesia.
Such an effort is really important on account of : firstly, Indonesia,
as a multi-racial, cultural, as well as multi-religious country,
is very prone to social conflicts. Secondly, the conflicts, happen
already or that may occur, must be resolved in accordance with
the factors behind them. If the factor is religion or belief, then
the solution must emphasize a religious approach. Ushul Fiqh
(Principles of Jurisprudence) as a method of producing law in
Islam, actually, can be made as an alternative to minimize and
anticipate religious conflicts. Based on the literatures analyzed
deductively, this study reveals that the axiological reconstruction
of ushul fiqh should be done through three steps: (1) reformulating
ontological concept of the Shari’a (Islamic Law) as an object of
ushul fiqh, (2) classifying between the theoretical and practical
sides of ushul fiqh, (3) developing practical structure of ushul
fiqh.
Keywords: Ushul Fiqh, Axiology, religious pluralism
Pendahuluan
Perkembangan pemikiran keagamaan (Islam) dalam
komunitas muslim Indonesia menunjukkan fenomena yang
menarik. Munculnya perdebatan-perdebatan interpretasi sosioreligius memunculkan pluralisme pemahaman keagamaan di
tengah masyarakat. Dari perdebatan tersebut membuat masyarakat
terpolarisasi ke dalam dua tradisi pemikiran yang sebenarnya
telah mengalami perdebatan paralel di setiap wilayah dunia Islam
lebih dari dua abad yang lalu.
Tradisi pertama disebut sebagai Islam tradisionalis yang
ditandai oleh kebiasaan-kebiasaan kedaerahan. Tradisi ini
meniscayakan umat Islam untuk memahami Islam dengan konteks
tradisi di mana mereka hidup. Juga menyangkut pertunjukanpertunjukan ritual keagamaan dan kekuatan yang mengekspresikan
tradisi budaya daerah. Ia merepresentasikan mayoritas umat Islam
di berbagai negara. Namun, tradisi keagamaan tersebut bukan
merupakan sebuah fenomena pemersatu, karena setiap wilayah
dunia Islam memiliki praktik adat masing-masing yang cenderung
dijustifikasi pada tingkat lokal, tidak pada tingkat global.1
Tradisi kedua adalah Islam literalis yang berpegang secara
ketat kepada arti literal doktrin Islam. Tradisi ini menyerang
interpretasi adat (customary interpretation) yang kurang memberi
perhatian terhadap inti doktrin Islam. Proyek peradaban yang
digarap adalah menghidupkan kembali Islam sebagai agama,
budaya, dan peradaban. Sehingga melahirkan sikap dan
pandangan idealis terhadap ajaran Islam yang bersifat totalistik.2
Banyak analisis tentang perdebatan Islam terfokus pada
kedua tradisi tersebut yang telah terlibat persaingan terus menerus.
Padahal di antara kedua tradisi ini seharusnya tidak dianggap
berbeda atau homogen secara internal dan saling melengkapi.
Pemerhadapan kedua tradisi pemahaman keagamaan dan konflik
yang tidak pernah berakhir hingga kini sering mengabaikan
keresahan pihak ketiga yaitu masyarakat yang mayoritas berada
di tengah pertentangan kedua tradisi tersebut. Akibatnya terjadi
fragmentasi isu yang memunculkan fenomena sosial yang
memprihatinkan. Ada sebagian kalangan yang bersikap sinis
melihat hukum Islam dan lembaga-lembaga pendukungnya. Di
lain pihak, mayoritas masyarakat kebingungan mencari identitas
dan bentuk Islam yang sebenarnya dari pertentangan kedua tradisi
tersebut. Mereka lebih sering menjadi korban daripada menikmati
hasil dari sebuah gerakan pembaharuan.
Pemerhadapan antara tradisi pemikiran hukum Islam
sehingga terlihat secara diametral bertentangan disebabkan sudut
pandang yang seringkali hanya melibatkan persoalan detail (furû`,
fiqh) dan kurang melibatkan kerangka berpikir hukum Islam.
William A. Graham, “Traditionalism in Islam: An Essay in
Interpretation”, Journal of Interdisciplinary History, Vol. 23, 1993, h. 499
2
Ernest Gellner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University
Press, 1981), h. 156. Assyaukanie memasukkan tradisi Islam literalis ke dalam
tipologi ketiga, ideal-totalistik, dalam wacana pemikiran Arab kontemporer
sebagai penentuan sikap budaya kepada dua isu besar: tradisi dan modernitas.
Dua tipologi lainnya adalah transformatik dan reformistik. Lebih lanjut baca
A. Luthfi Assyaukanie, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”,
Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1, No. 1, Juli-Desember 1998, h. 61-88
1
Menurut Akh. Minhaji jika cara berpikir yang berorientasi praktis
tanpa memahami landasan berpikir yang ada ini dipertahankan,
penyelesaian persoalan hukum akan selalu bersifat tambal sulam
dan tidak pernah menyentuh persoalan sebenarnya. Implikasi lain,
perdebatan hukum yang demikian dalam perjalanan sejarahnya
cenderung membawa umat Islam melihat persoalan secara hitam
putih, benar salah, halal haram, dan semacamnya.3
Dari fenomena masyarakat dan cara pandang di atas,
peran ushul fiqh sebagai kerangka berpikir dari hukum Islam (fiqh)
menjadi fenomena yang sulit dihindarkan. Rekonstruksi ilmu ushul
fiqh perlu dilakukan khususnya dalam ranah aksiologisnya dalam
upaya membangun wawasan pluralisme pemahaman keagamaan
di masyarakat. Didukung oleh realitas masyarakat Indonesia
yang menunjukkan bahwa Islam telah menjadi “tradisi” dan pola
hidup masyarakat Indonesia. Mayoritas penduduk Indonesia
memiliki tekad kuat untuk memelihara pengaruh Islam dalam
kehidupan hukum dan sosial. Bahkan menganggap hukum Islam
sebagai hukum indegenus, natural, dan tak terelakkan. Sehingga
posisi ushul fiqh sebagai salah satu khazanah intelektual Islam
yang sering disebut sebagai the queen of all Islamic sciences,4 perlu
dilakukan kajian secara sistematik dan mendalam. Hal ini penting
mengingat adanya indikasi bahwa kajian ushul fiqh semakin
kurang mendapat perhatian dan teralienasi dari umat Islam itu
sendiri. Padahal selain sebagai sebuah metodologi penemuan
hukum dan sekaligus epistemologinya, ushul fiqh juga dapat
diaplikasikan sebagai alat analisis resolusi konflik pemahaman
keagamaan di kalangan umat Islam. Nilai aplikatif ilmu ushul
fiqh yang terakhir ini dirasakan sangat urgen pada masa sekarang
terutama dalam melihat perdebatan panjang tentang hukum Islam
di tengah masyarakat. Untuk dapat menerapkan nilai aplikatif
tersebut makalah ini berupaya untuk merekonstruksi ranah
aksiologi ilmu ushul fiqh.
Akh. Minhaji, “Respon Kelompok Tradisionalis terhadap Misi
Pembaharuan Ahmad Hasan,” dalam Riyanta et. al, Neo Ushul Fiqh: Menuju
Ijtihad Kontekstual (Yogyakarta: Fakultas Syari‟ah Press, 2004), h. 96
4
Akh. Minhaji, “Posisi Ushul Fiqh dalam Kajian Islam,” Makalah
disampaikan pada Studium General Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, 27
November 1997
3
Pembahasan
A. Rekonstruksi Aksiologi Ushul Fiqh
Aksiologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki
hakikat nilai (axios). Richard Lanigan mendefinisikan aksiologi
sebagai asas mengenai cara bagaimana menggunakan ilmu
pengetahuan yang secara epistemologis diperoleh dan disusun.5
Secara terminologi, aksiologi adalah nilai akhir (ultimate value)
kebenaran. Aksiologi adalah seperangkat kategori normatif yang
dipegangi ilmuan dalam menjalankan proses investigasi ilmiah
dan kemudian dalam penggunaan ilmu.
Persoalan nilai sering menjadi perdebatan dalam
pembahasan filsafat ilmu pengetahuan. Bahkan telah terjadi
perdebatan panjang di kalangan filosof dan ulama tentang nilai
(tujuan dan kegunaan) ilmu pengetahuan. Sebagian berpendapat,
pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang
menekuninya. Mereka mengatakan, “ilmu pengetahuan untuk
ilmu pengetahuan.” Sebagian lagi berpendapat, tujuan ilmu
pengetahuan adalah upaya para peneliti menjadikannya sebagai
alat atau jalan untuk menambah kesenangan manusia secara
keseluruhan.6 Menurut teori pragmatisme, kebenaran suatu ilmu
pengetahuan adalah suatu yang praktis dapat membawa manfaat.
Suatu proses tindakan di mana kebenaran diukur menurut efeknya
secara praktis. Pragmatisme berusaha menguji kebenaran suatu
pengetahuan melalui konsekuensi dari praktik pelaksanaannya.
Ide itu belum dikatakan benar atau salah jika belum diuji di dalam
praktiknya. Ia dikatakan benar jika mampu menyelesaikan problem
yang ada. Seorang tokoh pragmatisme, Charles S. Peire (1839-1914)
mengatakan bahwa kebenaran itu adalah fakta efek yang dirasakan
bukan ide itu sendiri. Jika efek dirasakan menghantarkan kepada
kesenangan maka itu adalah benar. Lebih lanjut, W. James (18241910) menyatakan bahwa kriteria kebenaran hendaknya dicari
dalam taraf seberapa jauh kita secara pribadi dan secara pikiran
merasa puas dalam persoalan tersebut.
5
Richard Lanigan, Communication Models in Philosophy, Review and
Commentary (Cambridge: Cambridge University Press, tt.), h. 15
6
`Alî `Abd al-`Adzîm, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif al-qur`an,
alih bahasa Khalilullah Ahmad Masykur (Bandung: Rosda, 1989), h. 268
Jadi, nilai bagi ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang harus
ada karena merupakan komponen pokok dari suatu pengetahuan,
tak terkecuali ushul fiqh. Unsur pokok yang harus ada dalam sebuah
ilmu pengetahuan adalah sistem tertentu, pengetahuan ilmiah,
kebenaran ilmiah, dan kebahagiaan umat manusia. Sistem tertentu
dan pengetahuan ilmiah merupakan unsur statis karena dua hal
ini adalah keadaan hakiki yang melekat pada ilmu pengetahuan
yang merupakan kerangka pokok atau pola dasarnya atau menjadi
ontologinya. Sedangkan kebenaran ilmiah dan kebahagiaan umat
manusia merupakan unsur dinamis, karena dua unsur ini dapat
memberikan pengarahan dalam mengusahakan ilmu pengetahuan
atau dalam melakukan kegiatan-kegiatan ilmiah.7
Apabila dilakukan kajian tentang aksiologi suatu
pengetahuan, maka kedua unsur terakhir (unsur dinamis) lah
yang digunakan sebagai landasan untuk menemukan sebuah
jawaban. Begitu juga pada saat melakukan verifikasi ushul fiqh
sebagai ilmu pengetahuan, salah satunya harus dikaitkan dengan
nilai yang ada pada ushul fiqh itu sendiri. Sebab, melalui nilai
akan nampak kebenaran, kegunaan, dan manfaat suatu ilmu
pengetahuan.
Oleh karena itu, upaya menerapkan ushul fiqh sebagai
alat membangun wawasan pluralisme pemahaman keagamaan
dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: pertama, menelaah konsep
ontologis dari keilmuan syariah itu sendiri sebagai obyek kajian
ushul fiqh; kedua, memilah antara konsep teoretis dan praktis dari
ilmu ushul fiqh; ketiga, membangun struktur keilmuan ushul fiqh
yang bersifat praktis.
1. Ushul Fiqh sebagai Sebuah Realitas Ontologis
Model pendekatan dan teori hukum yang belakangan
dikenal dengan ushul fiqh mulai muncul sejak awal Islam dan
dikatakan baru berkembang sejak akhir abad ke-2 H atau awal
abad ke-3 H. Ilmu ini merupakan metodologi terpenting yang
ditemukan oleh dunia pemikiran Islam yang tidak dimiliki oleh
umat lain.8 Pada dasarnya, ushul fiqh merupakan metodologi
7
8
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat., h. 5-6
Dikutip oleh Amin Abdullah dalam Thaha Jabir al-Alwani, “Source
baku bagi seluruh pemikiran intelektual Islam. Namun sejarah
pemikiran Islam mempersempit ruang geraknya hanya pada
wilayah pemikiran hukum.
Ushul fiqh sebagai sebuah ilmu mempunyai ciri spesifik
yang tersusun dari tiga komponen, yaitu ontologis, epistemologis,
dan aksiologis. Komponen ontologis suatu ilmu adalah obyek
yang menjadi sasaran penyelidikan dari ilmu itu. Setiap ilmu
harus memiliki sasaran tertentu sebagai salah satu syarat
agar kajian tersebut dapat disebut sebagai ilmu. Komponen
epistemologis adalah metode dan cara bagaimana menangkap
pengetahuan ilmiah mengenai obyek yang dikaji. Sementara
komponen aksiologis adalah seperangkat kategori normatif yang
dipegangi ilmuan dalam menjalankan proses investigasi ilmiah
dan kemudian dalam penggunaan ilmu.
Ketiga komponen tersebut saling berkaitan, maka kajian
terhadap ontologi ushul fiqh terkait dengan epistemologinya.
Begitu juga epistemologi ushul fiqh terkait dengan aksiologinya,
dan seterusnya. Di samping itu, dalam upaya membangun
pemahaman komprehensif terhadap ontologi ushul fiqh, juga
dikaji obyek kajian dari ilmu hukum Islam.
Al-Gazzâlî menjelaskan sisi yang menjadi perhatian
ahli hukum Islam untuk dikaji dari keseluruhan obyek kajian
ilmu-ilmu keagamaan Islam dengan mengatakan, “ahli hukum
mengambil satu sisi tertentu, yaitu tingkah laku subyek hukum
yang diselidikinya dalam kaitan dengan diktum hukum.”9 Jadi,
perbuatan manusia sebagai subyek hukum diklasifikasi menurut
klasifikasi hukum syar`î itu sendiri. Klasifikasi dilakukan
berdasarkan kepada dalil-dalil tertentu dan dalil itu dipahami
dengan metode tertentu pula. Metode inilah yang disebut sebagai
ilmu ushul fiqh. Meskipun ushul fiqh tidak terbatas hanya sebagai
kajian mengenai metode penemuan hukum Islam, tapi juga berisi
Methodology in Islamic Jurisprudence”, Amin Abdullah, “Paradigma Alternatif
Pengembangan Usul Fiqh dan Dampaknya Pada Fiqh Kontemporer”, dalam
Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Usul Fiqh Kontemporer, Ainurrafiq (Ed.)
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), h. 117
9
Al-Gazzâlî mengatakan “al-faqîh yanzuru fî nisbati fi`l al-mukallaf ilâ khitâb
asy-syar`.” Al-Gazzâlî, al-Mustasfâ min `Ilm al-Usûl (Kairo: Syirkah at-Tibâ`ah alFanniyyah al-Muttahidah, 1971), h. 13
penjelasan tentang hukum secara lebih luas sehingga mendorong
para ahli menyebutnya sebagai teori hukum Islam.
Konsepsi yang ditawarkan al-Gazzâlî tersebut berbeda
dengan pengertian yang lazim dipergunakan dalam pendefinisian
ilmu hukum Islam, yaitu bahwa hukum Islam adalah ilmu
yang mengkaji hukum-hukum atau norma-norma syariah yang
disimpulkan dari dalil-dalilnya berupa teks al-qur`an, hadis,
dan sumber subsider lainnya. Menurut al-Gazzâlî, obyek kajian
ilmu syariah adalah tingkah laku dalam kaitannya dengan norma
hukum. Sehingga memunculkan pertanyaan, apakah ilmu syariah
mengkaji norma-norma atau mengkaji tingkah laku? Dengan
pernyataan lain, apakah ilmu syariah adalah suatu ilmu normatif
murni atau suatu ilmu perilaku?
Sejarah klasik perkembangan hukum Islam menunjukkan
bahwa ilmu syariah ditekankan sebagai ilmu yang menyelidiki
norma-norma. Jika dikatakan sebagai pengetahuan normanorma, maka bayangan yang ada dalam pikiran seseorang
adalah adanya berbagai kaidah-kaidah, aturan-aturan, undangundang, atau dasar-dasar sesuatu. Memang pada kenyataannya
demikian, sehingga ilmu ushul sering didefinisikan sebagai
“pengetahuan tentang dalil-dalil umum fiqh (beberapa metode
atau kaidah), cara memanfaatkannya dan pengetahuan tentang
orang yang memanfaatkan dalil-dalil umum itu.10 Pendefinisian
ini ditunjang oleh suatu postulat yang berasal dari sistem teologi
tertentu bahwa hukum tidak dapat ditemukan di luar teks
keagamaan. Paradigma berpikir ini akhirnya membawa hukum
Islam menjadi sebuah ilmu teks. Sehingga analisis hukum adalah
merupakan analisis teks.
Tawaran konseptual al-Gazzâlî menjadi sangat menarik
karena memberi peluang kepada pendekatan empiris dalam kajian
hukum. Konsekuensi definisi tersebut adalah bahwa analisis
hukum bukan semata analisis teks tetapi juga berarti analisis
tingkah laku dari suatu konteks sosial dan institusional. Konsepsi
inilah yang dijadikan pijakan dalam upaya rekonstruksi aksiologi
ushul fiqh pada tahap selanjutnya.
„Ali ibn `Abd al-Kâfî as-Subkî, al-Ibhâj fî Syarh al-Minhâj (Beirut: Dâr
al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1416/1995), I: 19
10
2.
Ushul Fiqh: Antara Konsep Teoretis dan Praktis
Upaya membangun konsep ushul fiqh yang membumi di
tengah masyarakat harus dilakukan dengan cara dan ekspresi
sedemikian rupa menurut kesanggupan zaman dan daya pikir
masyarakat lokal. Pentingnya pemikiran manusia (human reasoning)
harus menjadi pedoman utama. Untuk mencapai tujuan tersebut,
maka dilakukan seleksi, klasifikasi, dan reduksi ruang lingkup
kajian ilmu ushul fiqh. Seleksi dan klasifikasi dilakukan dengan
membedah sistematika kajian ushul fiqh dilihat dari segi kajian
teoretis dan praktisnya. Sementara reduksi dilakukan dengan
menghilangkan kajian yang bersifat teoretis dan kurang relevan
dengan tujuan yang akan dicapai. Sehingga dalam bahasan berikut
akan dilihat sistematika penulisan ushul fiqh yang dilakukan para
teoretisi hukum Islam.
Para teoretisi hukum Islam (ushûliyyûn) pada umumnya
membuat rumusan sistematik dalam menyusun karya di bidang
ushul. Dari sistematika tersebut akan tergambar ruang lingkup
kajian keilmuan ini. Sistematika umum yang digunakan dimulai
dengan kajian mengenai bahasa hukum dan premis-premis
kebahasaan dalam penalaran hukum. Dilanjutkan dengan dalildalil hukum baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan.
Bagian berikutnya diteruskan dengan pembahasan tentang
mujtahid dan aktifitas ijtihad serta konsep-konsep terkait seperti
istiftâ’ dan taklid. Kemudian diakhiri dengan kajian tarjîh. Tentu
saja terdapat perbedaan dalam detail pengorganisasian materi ini.
Asy-Syâfi`î misalnya, sebagai orang pertama yang karya ushulnya
sampai ke zaman modern memulai pembahasan teori hukumnya
dalam ar-Risâlah dengan kajian tentang wacana hukum (al-bayân).
Syamsul Anwar juga menyatakan bahwa sistematika asy-Syâfi`î
inipun juga diikuti oleh Abû al-Husain al-Bashrî dalam karyanya
al-Mu`tamad. Demikian pula dalam al-Burhân karya al-Juwainî dan
Ushûl as-Sarakhsî karya as-Sarakhsî.
Namun demikian, dari berbagai sistematika yang
digunakan para teoretisi hukum Islam tersebut, dapat diambil
satu benang merah tentang ruang lingkup kajian ushul fiqh.
Berhubung tujuan ushul fiqh adalah untuk menjelaskan cara-cara
menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya dan penemuan
hukum itu adalah hasil akhir dari keilmuan ushul fiqh, maka
kajian ushul fiqh sebenarnya bertujuan untuk menjawab empat
pertanyaan pokok yang tersusun dan berurutan secara logis.11
Pertanyaan pertama adalah “apakah hukum syar`î?”. Setelah
diketahui definisi dan hakikat hukum syar`î, pertanyaan kedua
adalah “di mana hukum itu ditemukan?” atau “apakah sumber
hukum syar`î tersebut?”. Setelah pertanyaan ini terjawab timbul
pertanyaan ketiga, “bagaimana cara menemukan hukum di
dalam sumber hukum itu?” atau “bagaimana metode penemuan
hukum syar`î?”. Pertanyaan terakhir adalah “siapakah yang
berwenang melakukan penemuan hukum dari sumber-sumber
tersebut?”.
Dari keempat pertanyaan tersebut maka pokok kajian
ushul fiqh meliputi empat masalah: hukum, sumber hukum,
metode penemuan hukum, serta mujtahid dan aktivitasnya yaitu
ijtihad dan konsep-konsep terkait. Empat masalah pokok ini
kemudian dirinci ke dalam berbagai aspek teori dan epistemologi
hukum Islam. Sehingga dalam ushul fiqh harus dijelaskan konsep
pengetahuan, nalar yang sah untuk memperolehnya dan kriteria
kebenarannya. Namun perlu diperhatikan bahwa sejumlah
kebenaran dasar dalam ushul fiqh diterima begitu saja (taken for
granted) dari teologi Islam (ilmu kalam), dalam pengertian ushul
fiqh tidak lagi membuktikannya karena pembuktiannya dilakukan
dalam ilmu kalam. Misalnya kebenaran tentang wahyu, kenabian,
dan syariat.
Pokok bahasan pertama tentang hukum dititik beratkan
pada masalah hakikat hukum syar`î, pembagian dan kategorisasi
hukum (taklîfî dan wadh`î), dan unsur atau konstituen hukum
(arkân al-hukm) yang meliputi materi hukum itu sendiri, pembuat
hukum (al-Hâkim/asy-Syâri`), subyek hukum (al-mahkûm `alaih),12
dan obyek hukum (mahkûm fîh).
Uraian pokok bahasan kedua tentang sumber-sumber
Lihat Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam dalam al-Mustashfâ min
`Ilm al-Ushûl Karya al-Gazzâlî (450-505H/1058-1111), disertasi yang diajukan pada
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000, tidak diterbitkan, h. 103-104
12
Uraian tentang subyek hukum berkaitan dengan manusia (almukallaf) sebagai pendukung hak dan kewajiban serta tingkat-tingkat kecakapan
hukumnya
11
hukum menegaskan bahwa sumber hukum dalam pemikiran
hukum Islam ada empat, yaitu al-qur`an, sunnah, ijma`
(konsensus), dan dalil akal. Namun dalam sebagian karya teoretisi
hukum Islam menyebutkan bahwa sumber pengetahuan hukum
hanya satu, yaitu Allah. Pemikiran ini merupakan implikasi
dari definisi bahwa hukum merupakan titah ilahi (khithâbullâh)
sehingga dapat dipahami bahwa hukum berasal dari Tuhan.
Hanya Tuhan-lah yang menjadi sumber hukum. Hal ini tampak
dalam pernyataan ahli-ahli ushul, khususnya al-Gazzâlî, yang
menyatakan bahwa sumber hukum itu adalah satu yaitu Tuhan.
Rasulullah saw tidak merupakan sumber hukum dilihat dari sisi
bahwa beliau hanyalah seorang utusan yang menyampaikan
hukum ilahi. Namun ketika hadis dan sunnah dianggap juga
sebagai sumber hukum, hal itu disebabkan adanya legitimasi
Tuhan bahwa sabda tersebut bersumber dari-Nya. Sehingga
hakikatnya hukum hanyalah milik Tuhan semata dan berada
dalam tatanan kegaiban-Nya.13 Hanya saja manusia tidak
bisa langsung mengetahui hukum Allah, melainkan melalui
perantaraan rasul-Nya. Kemudian ijma‟ menunjuk kepada
sunnah rasul, sehingga keduanya dijadikan sumber hukum pula
dalam pengertian yang diperluas. Pembahasan tentang sumber
hukum ini mempunyai keterkaitan erat dengan persoalan
epistemologi hukum tentang apa sumber untuk memperoleh
pengetahuan hukum syar`î yang melibatkan diskusi tentang
hubungan wahyu dan akal. Sehingga dalam karya-karya klasik,
pembahasan tentang sumber hukum ini cukup banyak menyita
halaman. Hal ini merupakan imbas dari perdebatan antara
paham rasionalis yang diwakili oleh Muktazilah dengan paham
tradisionalis yang diwakili antara lain oleh kaum Sunnî dalam
bidang teologi yang menjalar ke dalam studi hukum melalui
ushul fiqh. Sementara dalil akal tidak merupakan sumber
untuk menetapkan adanya hukum, tetapi sebaliknya untuk
menetapkan tiadanya hukum apabila tidak ada nash. Sehingga
kreativitas akal dalam pembahasan ini dimasukkan ke dalam
kategori dalil hukum untuk membedakannya dari sumber
hukum. Wahbah dalam mengklasifikasi sumber hukum dan
dalil hukum menyatakan bahwa teori hukum Islam (Islamic legal
theories; ushul fiqh) mengenal berbagai sumber yang darinya dan
Al-Gazzâlî, al-Mustasyfâ, h. 119, Ibn Qudâmah, Raudhah an-Nadzîr wa
Jannahal-Munâdzir (Beirut: Dâr al-Kitâb al-`Arabî, 1992), h. 60
13
melaluinya hukum dikonkretisasi. Sumber yang darinya hukum
diambil adalah al-qur`an dan sunnah Nabi saw, yang keduanya
memberikan materi hukum. Sedangkan sumber-sumber yang
melaluinya hukum berasal adalah pencapaian sebuah konsensus
(ijmâ`) dan penalaran akal.14
Pokok bahasan ketiga tentang metode penemuan
hukum dipandang sebagai sendi dari ilmu ushul fiqh. Sebab
ia bertujuan untuk menyimpulkan dan menemukan hukum
syar`î sebagai norma-norma yang harus dilaksanakan oleh
subyek hukum. Secara umum perangkat metodologi tersebut
membahas tentang tiga teori penalaran hukum, yaitu metode
penalaran bayânî (interpretasi linguistik), metode kausasi
(ta`lîlî), dan metode teleologis (istishlâhî). Akan tetapi beberapa
ahli hukum Islam modern melihat dua metode penalaran yang
disebut terakhir (ta`lîlî dan istishlâhî) masuk dalam pendekatan
makna yang dikenal dengan al-qawâ`id al-ma`nawiyyah yang
mendekati sumber hukum Islam dari sisi makna dan tujuan
yang terkandung di sebalik teks.15 Sementara metode pertama
termasuk ke dalam pendekatan bahasa yang dikenal dengan
al-qawâ`id al-lughawiyyah yang mendekati sumber hukum
Islam dari sisi kebahasaan. Kemudian mereka menambahkan
dengan satu pendekatan lain, yaitu pendekatan sinkronisasi
(al-ijtihâd at-taufîqî).
Sementara pokok bahasan terakhir lebih menitikberatkan
pada posisi seorang mujtahid dan syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk dianggap qualified sebagai penafsir maksud
Tuhan. Pada masalah ijtihad, terkait rukun, hukum ijtihad, dan
status sebuah ijtihad dipandang menurut syara`. Di samping itu
juga dalam beberapa karya ushul tentang masalah taklid, tarjih
dan kiat mujtahid dalam menghadapi pertentangan dalil-dalil
(ta`ârudh al-adillah).
Dari uraian di atas, maka ruang lingkup kajian ushul fiqh
dapat dibuat bagan sebagai berikut:
14
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories. An Introduction to
Sunni Ushul al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), h. 1
15
`Alî Hasaballâh, Ushûl at-Tasyrî’ al-Islâmî (Mesir: Dâr al-Ma‟ârif, 1971),
h. 201
Berdasarkan skematik ruang lingkup kajian ushul fiqh,
terlihat dua unsur fundamental dalam bangunan keilmuan
ushul, yaitu unsur teoretis dan unsur praktis. Unsur teoretis
lebih memfokuskan kajian tentang ontologi dan epistemologi
yang mencakup tentang hakikat, sumber, dan konsep kebenaran
pengetahuan. Unsur teoretis dimaksud terutama pada bagian
pokok bahasan pertama, kedua, dan keempat dari ruang lingkup
kajian ushul fiqh, yaitu tentang konsep hukum, sumber hukum,
dan mujtahid serta aktivitasnya. Kajian ushul fiqh pada tiga
ranah ini lebih banyak bersifat dialogis dan lebih-lebih polemis.
Analisis yang dipergunakan lebih bersifat retoris sebagai upaya
untuk memberikan balance atau bahkan mengalahkan pihak lain
yang berseberangan paham. Kritik-kritik yang disampaikan
tidak berupaya mencari titik temu di antara mazhab pemikiran
ushul, akan tetapi justru untuk menunjukkan hegemoni salah satu
mazhab. Para pengkaji pemula ushul fiqh, seringkali mengalami
hambatan besar untuk memahami berbagai konsep teoretis
tersebut. Diperparah dengan minimnya pengetahuan bahasa Arab
yang dimiliki. Sementara term-term yang dipergunakan dalam
disiplin ilmu ini sangat sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa
lainnya, termasuk bahasa Indonesia. Padahal term-term tersebut
merupakan konsep-konsep kunci yang digunakan dalam ushul fiqh.
Adapun unsur praktis dari ilmu ushul fiqh adalah pada
bagian metodologi penemuan hukum. Sebab tujuan utama dari
ilmu ushul adalah upaya untuk menemukan dan interpretasi
hukum dari sumber-sumbernya. Kebutuhan kepada interpretasi
untuk menemukan hukum bagi kasus yang sedang dihadapi
bukan hanya fenomena di dalam hukum Islam. Semua sistem
hukum memerlukan tafsir, baik karena rumusan yang ada di
dalam pasal undang-undang kurang atau tidak jelas, atau semula
jelas namun kasus yang dihadapi telah berkembang jauh lebih
kompleks daripada yang digambarkan ketika undang-undang
itu dibuat. Para ahli hukum Islam menyadari hal ini sehingga
terkenal adagium yang menyatakan bahwa “teks-teks hukum
terbatas adanya sementara kasus-kasus hukum tiada terbatas.”16
Sehingga perangkat metodologis guna menemukan hukum dalam
upaya lebih mendekatkan pemahaman kepada maksud-maksud
pensyari‟atan hukum menjadi sangat sentral dan bersifat praktis
empiris. Meskipun demikian, dalam pokok bahasan metodologi
penemuan hukum inipun tersirat bahasan teoretis berupa posisiposisi epistemologis yang melandasi metode-metode tersebut.
Seperti kajian tentang kriteria kebenaran „illat hukum, postulatpostulat epistemologis dalam interpretasi linguistik, asumsi
dasar tentang bahasa, justifikasi qiyas, dan sebagainya.
3.
Ushul Fiqh sebagai Alat Resolusi Konflik
Berdasarkan sub bahasan di atas, maka dapat dibangun
konsepsi ushul fiqh praktis untuk menengahi konflik pemahaman
keagamaan di tengah masyarakat. Konsepsi tersebut dibangun
dengan cara membedah metodologi penemuan hukum dengan
meninggalkan aspek teoretis di dalamnya. Aspek teoretis
dimaksud adalah permasalahan epistemologi yang berkaitan
dengan justifikasi kebenaran suatu metode yang ada dalam
kajian ushul fiqh. Semua metode yang dipergunakan oleh ulama
diuraikan tanpa melibatkan perdebatan di kalangan teoretisi
hukum Islam tentang keabsahannya sebagai salah satu metode
penemuan hukum. Sebab dalam perjalanan sejarahnya, metodeDikutip oleh asy-Syahrastânî, al-Milal wa an-Nihal (Mesir: Matba`ah
Mustafâ al-Bâb al-Halabî wa Aulâduh, 1967), I: 199
16
metode yang dianggap lemah sekalipun tetap dipergunakan
dalam upaya interpretasi hukum Islam. Di antara metode yang
diperdebatkan adalah metode istihsân, istishlâh, istishhâb, dan
bahkan dalam beberapa aspek qiyâs.
Namun sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang
justifikasi status hukum syar`î dan proses penemuan hukum dalam
kerangka ushul fiqh. Hal ini untuk membangun paradigma berpikir
masyarakat tentang realitas objektif dari hukum Islam.
a. Justifikasi hukum dan proses penemuan hukum syar`î
Konsepsi ilmu hukum Islam menganut suatu paham bahwa
setiap usaha perumusan hukum Islam tidak lain merupakan daya
upaya pencarian dan penemuan kehendak ilahi. Dapat dikatakan
bahwa hukum Islam adalah man-discovered-law dan bukan manmade-law. Dengan kata lain, bahwa hukum Islam tidak dibuat,
melainkan ditemukan dan para mujtahid tidak menetapkan, akan
tetapi menemukan hukum.17 Di kalangan teoretisi hukum Islam
terkenal adagium al-ijtihâd mudzhir li al-ahkâm wa laisa bi musybit
(ijtihad itu menemukan hukum dan bukan menetapkannya).18
Jadi, bangunan produk hukum Islam merupakan
implementasi proses intelektual untuk mentransformasikan titah
(khithâb) ilahi menjadi suatu sistem norma-norma yang dapat
ditegakkan secara hukum.19 Ini, seperti ditegaskan oleh Bernard
Weiss, menggambarkan suatu pengertian yang sangat khas orang
muslim bagaimana suatu yang transendental memasuki ruang
waktu dalam tatanan ciptaan.20 Di sinilah suatu proses panjang
terjadi menyangkut konsepsi hukum Islam yang berkaitan erat
dengan pemahaman dan penerapan titah ilahi ke dalam situasi
konkrit manusia. Sehingga dapat dilihat bahwa berbagai produk
hukum bukan sebagai harga mati, tetapi lebih sebagai hasil proses
dialog para ahli hukum Islam dengan realitas yang ada. Dengan
Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam., h. 305
Mûsâ Tawânâ, al-Ijtihâd wa Madâ Hâjâtinâ ilaihi fî Hâzâ al-`Asr (Kairo:
Dâr al-Kutub al-Hadîsah, tt), h. 152
19
N. J. Coulson, Conflict and Tensions in Islamic Jurisprudence (ChicagoLondon: The University of Chicago Press, 1969), h. 1-2
20
Bernard G. Weiss, The Search for God’s Law. Islamic Jurisprudence in the
Writings of Sayf al-Din al-Amidi (Salt Lake City: University of Utah Press, 1993),
h. 56.
17
18
kata lain bahwa hukum Islam adalah produk pemikiran manusia
pada saat menginterpretasikan kehendak Tuhan. Realitas ini
akan membawa pemahaman masyarakat bahwa hukum dalam
formulasi fiqh bukanlah hukum Tuhan ansich sehingga tidak
terjadi sakralitas pemikiran keagamaan (taqdîs al-afkâr ad-dînî).
Di dalam Islam, semua teks (al-qur`an dan hadis) yang
berbentuk tentatif (dzannî) maka makna yang muncul dari teks
itu selalu dirumuskan dalam kesimpulan yang berbeda-beda
(mukhtalaf fîh). Apalagi ketika bahasa yang dipergunakan, seperti
yang terjadi dalam banyak kasus, memiliki struktur yang kompleks
–metapora, homonim, dan sebagainya– yang tidak mungkin
berpindah tanpa adanya distorsi.
Menurut teori tashwîb dan penganutnya disebut golongan
mushawwibah bahwa semua kesimpulan yang beda-beda itu, yang
benar tidak satu, bahkan bisa juga semuanya benar. Demikian
jika semua mujtahidnya menampilkan kerangka berfikir yang
sejalan dengan jalur ushul fiqh. Sedangkan pengikut mukhaththi’ah
(harfiah berarti orang-orang yang menganggap salah) akan
berpendapat bahwa semua kesimpulan yang banyak itu, yang
benar cuma satu saja, apalagi jika beberapa kesimpulan tadi ada
nilai kontradiktif. Penganut teori ini memiliki paham bahwa untuk
setiap kasus apapun telah terdapat hukum Allah yang tertentu.
Tugas mujtahid adalah menemukan hukum yang sudah tertentu
itu. Sehingga apabila hasil ijtihadnya berbeda dengan hukum yang
telah tertentu itu dia dinyatakan keliru dalam ijtihad tersebut.
Penilaian semacam ini muncul karena ushul fiqh atau
kerangka berfikir fiqh memanfaatkan penalaran subjektif dan
paradigma kualitatif. Sehingga kurang memiliki kebenaran pada
tingkat tertentu. Kebenaran ushul fiqh dianggap spekulatif yang
merancang. Tentu saja asumsi ini tidak selalu benar. Namun,
pengembangan ushul fiqh seyogyanya berusaha keras untuk
meyakinkan orang lain, bahwa fiqh yang diproduksinya memiliki
kadar logika dan kebenaran.
Upaya yang perlu dielaborasi lebih lanjut untuk membangun
dan meningkatkan kerukunan dan toleransi di antara pemahaman
keagamaan adalah melalui pengembangan dan sosialisasi teori
tashwîb. Teori ini dapat berguna untuk mencari titik temu fenomena
pluralitas pemahaman keagamaan dan menekan sikap truth claim
dari berbagai aliran pemikiran. Ada satu praanggapan dasar
dalam teori tashwîb, yaitu “setiap mujtahid itu benar.” Maksudnya
setiap mujtahid dalam kasus-kasus yang tidak ada nash yang
tegas dan qath`î (pasti) mengenainya melakukan ijtihad, maka
status hukum yang dihasilkan adalah benar meskipun berbeda
dengan hasil ijtihad mujtahid lain. Dalam kasus seperti ini hukum
Allah mengikuti dzann mujtahid. Jadi, kebenaran dalam ushul
fiqh adalah nisbi (dzannî) dan relatif (mukhtalaf fîh), dan menganut
hukum probabilitas (ijtihâdiyyah). Titik tolak para teoretisi hukum
Islam adalah kebenaran kreatif cerdas.
Ajaran tentang dzann (asumsi kuat) mujtahid dan teori
tasywîb secara substansial berakar dari asumsi dasar mengenai
triumfalisme hukum (nadzariyyah asy-syumûliyyah) asy-Syâfi`î. Ia
menyatakan bahwa hukum Allah telah sempurna dan tiada suatu
kasus pun yang dihadapi manusia melainkan di dalam syariah
telah terdapat hukumnya atau petunjuk hukum mengenainya.21
Maksud pernyataan ini adalah bahwa hukum Islam telah sempurna
dan lengkap dalam prinsip-prinsipnya. Wujud dari kelengkapan
dan kesempurnaan itu adalah bahwa dalam masalah-masalah
pokok hukum Islam memberikan aturan hukum yang bersifat
rinci dan dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan hukum yang
tegas dan univokal sifatnya. Sementara dalam masalah-masalah
yang terkait dengan perkembangan masyarakat, hukum Islam
tidak merumuskan ketentuan-ketentuan hukum detail. Allah
memberikan aturan-aturan umum, tanda-tanda hukum, petunjukpetunjuk kontekstual, dan prinsip-prinsip umum yang dapat
diinterpretasi untuk menghadapi kasus-kasus yang baru muncul.
Sehingga kreativitas seorang mujtahid sangat dituntut. Meskipun
manifestasi hukum dari suatu masalah dzanniyyah ditetapkan
berdasarkan dzann (pengetahuan asumtif) mujtahid, namun tidak
dilakukan dengan semena-mena. Sudah ada aturan-aturan umum
dan prinsip-prinsip yang dapat dipedomani dalam menetapkan
hukum melalui ijtihad berdasarkan petunjuk-petunjuk dan tandatanda hukum yang sudah ada.
Muhammad ibn Idrîs asy-Syâfi`î, ar-Risâlah (Kairo: Maktabah Dâr atTurâs, 1979), h. 20 dan 477
21
Atas dasar itu apabila seorang mujtahid yang memenuhi
syarat-syarat untuk berijtihad,22 maka ijtihadnya adalah benar
meskipun hasilnya berbeda dengan ijtihad mujtahid lain yang
juga benar selama ijtihad-ijtihad itu berada dalam lingkaran daya
jangkau aturan-aturan pokok dan prinsip-prinsip umum yang
berlaku. Dalam kaitan ini al-Gazhâlî mengatakan:
...kita menerima bahwa hukum ditetapkan hanyalah
berdasarkan tauqîf (wahyu ilahi), hanya saja cara mengetahui tauqîf
mengenai hukum itu tidak semata-mata melalui nash yang tegas,
tetapi di samping nash adalah juga pernyataan-pernyataan umum,
pengertian-pengertian tersirat, petunjuk-petunjuk kontekstual,
dan kesaksian-kesaksian prinsip-prinsip pokok serta berbagai
dalil lainnya.23
Jadi, status hukum yang dihasilkan dari berbagai metode
penemuan hukum dapat diklaim sebagai hukum syar`î. Sebab pada
hakikatnya mujtahid tidak membuat hukum yang sama sekali baru.
Mujtahid hanya memperluas berlakunya hukum, merinci aturan
pokok, dan mengkonkritkan prinsip umum yang ada.
Dari penjelasan di atas, maka terlihat bahwa hukum Islam
melewati proses intelektual manusia yang panjang. Proses tersebut
dilakukan melalui metode-metode penemuan hukum yang
digunakan untuk menginterpretasikan kehendak Tuhan dalam
kaitannya dengan berbagai persoalan kehidupan manusia. Hasil
dari proses itulah yang membentuk hukum Islam (fiqh). Interpretasi
dilakukan terhadap wahyu Tuhan yang dimanifestasikan berupa
teks keagamaan, al-qur`an dan sunnah Nabi saw. Proses ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Ijtihad artinya mengerahkan semua potensi intelektual manusia
dalam rangka manifestasi hukum yang merepresentasikan tujuan-tujuan dan
kemaslahatan manusia dalam hidup ini yang selaras dengan kehendak alMusyarri` yang Maha Bijaksana menurut sudut pandang para mujtahid terhadap
segala sisi kehidupan
23
Al-Gazzâlî, al-Mustasfâ, h. 426-427
22
Posisi ijtihad atau proses penemuan hukum syar`î melalui
berbagai metode penemuan hukum Islam menjadi sangat sentral.
Ia merupakan kerangka berpikir dari sebuah ketentuan hukum
Islam. Sehingga peran ushul fiqh dalam diskursus pemikiran
hukum Islam menjadi sangat penting. Namun dalam tataran
praktis di tengah-tengah masyarakat yang mengalami perdebatan
pemahaman keagamaan, posisi sentral ini terpinggirkan bahkan
hilang. Akibatnya, kontroversi yang terjadi tidak pernah sampai
pada titik kerangka pikir yang dapat memberikan wawasan
luas tentang realitas hukum Islam yang sangat memungkinkan
terjadinya pluralisme pemahaman keagamaan. Lebih lanjut,
bahwa paradigma yang terbangun selama ini mengarahkan ilmu
ushul fiqh hanya sebagai alat atau metode penemuan hukum
saja. Memang pada dasarnya inilah tujuan pokok dari keilmuan
ushul fiqh. Tetapi dengan menggunakan sudut pandang lainnya,
ilmu ini lebih dapat bermanfaat positif bagi pengelolaan konflik
pemahaman keagamaan di tengah masyarakat.
B. Ushul Fiqh: antara Metode Penemuan Hukum dan
Metode Justifikasi Hukum
Sebagaimana uraian di atas, tujuan utama dari penyusunan
teori hukum Islam memang adalah untuk memformulasikan
hukum-hukum yang berkenaan dengan kasus-kasus yang
solusinya belum dinyatakan secara eksplisit dalam sumber hukum
Islam. Realitas ini menuntut pengembangan metode penafsiran
yang variatif-kreatif dengan cara-cara yang dapat menentukan
kumpulan hukum dari al-qur`an dan sunnah. Ditambah kenyataan
historis yang mengarahkan kecenderungan usul fiqh klasik
agak tekstualis dan cenderung mengabaikan aspek empirisme.24
Implikasi yang ditimbulkan adalah pendekatan yang deduktif dan
bukan induktif. Paradigma ini pula yang membuat para pakar ushul
modern memfokuskan studi dalam kerangka ushul fiqh dengan
cara mengembangkan berbagai model metode penemuan hukum
syar`î. Fazlur Rahman, misalnya, yang menawarkan konsep double
24
Mohammed Arkoun, Pemikiran Arab, alih bahasa Yudian W. Asmin
(Yogyakarta: Pustaka, 1996), h. 71
movement, Mahmûd Syaltot dengan model muqâranah al-madzâhib,
Yûsuf al-Qardhâwî dengan pendekatan ijtihâd intiqâ’î dan insyâ’î,
„Ali Syariati dengan teks dan konteksnya, Mahmood Mahmed
Thoha dan Abdullâhi Ahmed an-Na`îm dengan naskh model baru.
Selain itu, Hassan Hanafî menawarkan pemikiran tradisi dan
pembaruannya (at-turâsy wa at-tajdîd), Nashr Hâmid Abû Zaid
dengan teori ta’wîl dan takwîn, Mohammed Arkoun dengan cara
logosentrisme melalui tiga ilmu penting: linguistik, sejarah, dan
antropologi, al-Jabirî dengan model bayânî, burhânî, dan ‘irfânî, dan
Muhammad Syahrûr dengan teori hudûd-nya. Walaupun metodemetode dan teori-teori tersebut memiliki perbedaan karena
perbedaan milieu masing-masing tokoh, akan tetapi semuanya
bertolak pada satu titik, yaitu upaya menerjemahkan wahyu
Tuhan (yang berupa teks) sesuai dengan tuntutan masyarakat,
tempat, dan waktu. Di sini dialektika teks dan konteks merupakan
suatu keniscayaan.
Jadi, dari sudut pandang ini bahwa proyek peradaban yang
ingin dibangun adalah untuk memahami pentingnya dialektika
antara teks dan konteks. Di samping itu tentang bagaimana
mekanisme dari metode dan teori tersebut dalam menjawab
persoalan umat. Dengan kata lain, ushul fiqh lebih terarah pada
fungsi ilmu sebagai alat atau „metode penemuan hukum Islam‟.
Tujuan dan kegunaan ini masih sangat diperlukan, bahkan dapat
dikatakan inilah kegunaan pokok ilmu ushul fiqh.
Namun di sisi lain, sudut pandang ini membuat ushul
fiqh hanya berkembang di kalangan elit keagamaan belaka.
Bahkan, konsep-konsep yang ditawarkan pun seringkali
dirasakan “kurang” membumi di tengah masyarakat awam
yang merupakan mayoritas dari umat Islam sendiri. Oleh sebab
itu kerangka paradigma aksiologi ushul fiqh harus dilengkapi
dengan cara kombinasi antara fungsi sebagai „metode penemuan
hukum‟ dengan „metode justifikasi hukum‟. Paradigma pertama
melihat ushul fiqh lebih bersifat up to down dalam artian
bagaimana dari sumber hukum diperoleh ketentuan dan status
hukum suatu masalah. Sementara paradigma kedua bersifat
down on top. Artinya ketetapan-ketetapan hukum yang telah
dihasilkan dan dipraktekkan oleh masyarakat dijustifikasi
melalui kerangka pikir ushul fiqh dengan memperhatikan metode
yang dipergunakan dari setiap ketentuan hukum tersebut.
Sebab pluralitas manifestasi hukum dalam tradisi pemikiran
masyarakat tertentu-little tradition-sesungguhnya adalah mosaik
dari realitas universal agama-great tradition. Pola pikir demikian
semakin bermakna jika dipertautkan dengan realitas kehidupan
keagamaan saat ini. Berbagai polemik di bidang hukum Islam
dapat ditarik pada upaya mencari titik temu dalam kerangka
berpikir ushul fiqh.
Paradigma aksiologi ushul fiqh ini meniscayakan sebuah
bangunan struktur keilmuan ushul yang bersifat praktis. Dari
uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa unsur praktis
dari ilmu ushul fiqh ada pada tataran metodologi penemuan
hukum. Hanya saja fungsi dari metodologi ini diarahkan
sebagai „alat untuk menjustifikasi‟ berbagai produk hukum
yang dihasilkan sebelumnya. Dialektika antara kerangka pikir
(ushul fiqh) dan hasil pikir (fiqh) menjadi tujuan akhir dari
paradigma ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa antara proses penemuan
hukum dan terbentuknya suatu ketentuan hukum adalah sebuah
peristiwa sejarah manusia yang terjadi dalam kurun waktu tertentu.
Bagi generasi yang berada di sekitar peristiwa tersebut atau yang
memahami bangunan keilmuan ushul fiqh, justifikasi hukum
konkrit dari proses berpikir tidak merupakan suatu masalah.
Namun bagi generasi kemudian yang datang sesudahnya, peristiwa
tersebut berada di luar jangkauan pengalaman empiris mereka.
Diperparah dengan teralienasinya ilmu ushul fiqh dari masyarakat
muslim sendiri. Sehingga terjadi keterputusan sejarah antara fiqh
yang hidup di masyarakat dengan ushul fiqh sebagai ilmu tentang
kerangka pikir hukum.
Realitas ini tidak menimbulkan suatu permasalahan sosial
apabila ketentuan hukum yang dipraktekkan suatu masyarakat
mempunyai keseragaman. Dalam artian kesamaan dalam afiliasi
terhadap mazhab fiqh tertentu seperti mazhab Syâfi`î ataupun
pemilihan terhadap salah satu pranata sosial keagamaan seperti
komunitas NU atau Muhammadiyah. Namun sebaliknya, saat
dalam sebuah struktur sosial terdapat berbagai aliran pemahaman
keagamaan, maka tidak dapat terhindarkan pertentangan dan
konflik antar kelompok sosial yang mengarah pada disharmoni
dalam interaksi intern umat Islam.
Upaya untuk mempertautkan kembali dan menghidupkan
hubungan dialogis antara produk hukum dan kerangka pikir hukum
dilakukan dengan mensistematisir pola pikir penetapan hukum itu
sendiri. Langkah ini dapat diragakan berikut ini.
Diagram di atas menunjukkan bahwa ushul fiqh sebagai
alat untuk memformulasikan hukum syar`î lebih pada penerapan
prinsip logika deduktif. Sementara ushul fiqh sebagai alat
justifikasi hukum bergerak berdasarkan logika induktif. Dengan
penerapan logika induktif ini diharapkan dapat menjembatani
keterputusan sejarah intelektual pemikiran hukum Islam yang
terjadi di masyarakat. Adanya dialog antara produk hukum dan
kerangka pikir yang melandasi setiap produk hukum diharapkan
mampu mengembangkan wawasan masyarakat. Implikasi lebih
lanjut adalah mendorong kedewasaan dalam beragama.
Kedewasaan dalam beragama antara lain bisa dilihat dari
bagaimana cara merespon berbagai persoalan termasuk pluralitas
pemahaman keagamaan yang ada dalam agamanya. Sehingga
konsepsi perdamaian dan penghargaan terhadap kemanusiaan
bisa diwujudkan. Toleransi dan pengakuan terhadap pluralitas
dalam masyarakat merupakan sebuah keniscayaan yang akan
menghindarkan kelompok-kelompok masyarakat bersikap
eksklusif, bahkan sektarian.
Simpulan
Upaya menerapkan ushul fiqh sebagai alat membangun
wawasan pluralisme pemahaman keagamaan di tengah
perdebatan interpretasi religius dalam masyarakat adalah
dengan cara rekonstruksi aksiologis keilmuan ini. Langkah
rekonstruksi dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: pertama,
menelaah konsep ontologis dari keilmuan syari‟ah itu sendiri
bahwa konsep ontologis ilmu ushul fiqh bukan semata ilmu
analisis teks tetapi juga berarti ilmu analisis tingkah laku
dari suatu konteks sosial dan institusional; kedua, memilah
antara konsep teoretis dan praktis dari ilmu ushul fiqh lalu
mengeliminasi konsep teoretis dan mengedepankan konsep
praktis empirisnya; ketiga, membangun struktur keilmuan
ushul fiqh yang bersifat praktis dengan cara kombinasi antara
fungsi sebagai “metode penemuan hukum” dengan “metode
justifikasi hukum.”
Makalah ini berujung dengan pembentukan kerangka pikir
dalam memandang sisi aksiologi keilmuan ushul fiqh. Proyek
yang lebih besar ke depan adalah dilakukannya tindak lanjut
berupa pembumian ilmu ini di tengah masyarakat. Upaya yang
perlu dilakukan adalah dengan menerjemahkan berbagai konsep
metodologis, istilah-istilah, term-term yang ada pada ushul fiqh
ke dalam bahasa yang mudah untuk dipahami masyarakat.
Berkaitan dengan berbagai metode penemuan hukum yang ada
dalam khazanah ushul fiqh dielaborasi pada tingkat praktis dan
lebih pada cara kerja atau prosedur teknis dari metode tersebut
tidak pada konsep teoretisnya.
Daftar Pustaka
Akh. Minhaji, “Posisi Ushul Fiqh dalam Kajian Islam,” Makalah
disampaikan pada Studium General Universitas
Cokroaminoto Yogyakarta, 27 November (1997).
-----, “Respon Kelompok Tradisionalis terhadap Misi Pembaharuan
Ahmad Hasan,” dalam Riyanta et. al, Neo Ushul Fiqh:
Menuju Ijtihad Kontekstual, Yogyakarta: Fakultas Syari‟ah
Press, 2004.
Arkoun, M., “The Concept of Authority in islamic Thought,”
dalam Klaus Ferdinand dan Mehdi Mozaffari (ed.), Islam:
State and Society, London: Curzon Press, 1988.
Assyaukanie, A. Luthfi, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab
Kontemporer”, Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1,
No. 1, Juli-Desember 1998.
Coulson, N. J., Conflict and Tensions in Islamic Jurisprudence, ChicagoLondon: The University of Chicago Press, 1969.
al-Gazzâlî, al-Mustashfâ min `Ilm al-Ushûl, Kairo: Syirkah athThibâ`ah al-Fanniyyah al-Muttahidah, 1971.
Gellner, Ernest, Muslim Society, Cambridge: Cambridge University
Press, 1981.
Graham, William A., “Traditionalism in Islam: An Essay in
Interpretation”, Journal of Interdisciplinary History, Vol. 23,
1993.
Hasaballâh, `Alî, Ushûl at-Tasyrî’ al-Islâmî, Mesir: Dâr al-Ma‟ârif,
1971.
Hallaq, “Was al-Shâfi‟î the Master Architect of Islamic
Jurisprudence,” IJMES, 25 (1993).
-----, A History of Islamic Legal Theories. An Introduction to Sunni Ushul
al-Fiqh, Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
al-Jâbirî, Bunyah al-`Aql al-`Arabî: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah
li Nudzûm al-Ma`rifah fi as-Saqâfah al-`Arabiyyah, BeirutCasablanca: al-Markaz as-Saqâfî al-`Arabî, 1993.
Qudâmah, Ibn, Raudhah an-Nadzîr wa Jannahal-Munâdzir, Beirut:
Dâr al-Kitâb al-`Arabî, 1992.
as-Subkî, „Ali ibn `Abd al-Kâfî, al-Ibhâj fî Syarh al-Minhâj, Beirut:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1416/1995.
asy-Syahrastânî, al-Milal wa an-Nihal, Mesir: Mathba`ah
Mushthafâ al-Bâb al-Halabî wa Aulâduh, 1967.
Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam dalam al-Mustashfâ min
`Ilm al-Ushûl Karya al-Gazzâlî (450-505H/1058-1111),
disertasi yang diajukan pada IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2000, tidak diterbitkan.
Weiss, Bernard G., The Search for God’s Law. Islamic Jurisprudence
in the Writings of Sayf al-Din al-Amidi, Salt Lake City:
University of Utah Press, 1993.
Download