Edisi 5-1.cdr

advertisement
Edisi 5 | Desember 2015
Ketenagakerjaan dan Roadmap
Talent Management Indonesia
MATAGARUDA INSTITUTE
BULLETIN
melahirkan buah pikiran | menumbuhkan gagasan | membawa perubahan
Pengantar Redaksi
Registered Bulletin ISSN: 2443-0072 | www.thinktank.matagaruda.co.id | [email protected]
T.A. Octaviani Dading
Produser Editorial MGIB
Assalamualaikum, Salam Sejahtera,
Om Swastiastu.
Suatu hari, saya membaca brosur BKPM
di dalam pesawat yang menyebutkan
beberapa “nilai tambah” Indonesia
untuk menarik investasi dari luar
negeri. Salah satunya adalah grafik
mengenai betapa rendahnya harga
buruh atau tenaga kerja di Indonesia
dibandingkan dengan negara lain di
ASEAN. Mengapa murahnya harga
tenaga manusia disebut sebagai sebuah
nilai tambah? Dan mengapa kita bangga
atas hal tersebut?
Selain itu, yang sering kita dengar
adalah pada tahun 2020-2040 kita akan
memiliki “bonus” demografi sebesar
70% usia produktif yang akan dapat
menanggung 30% orang di usia tidak
produktif. Di sisi lain, apakah kita
menyebutnya sebagai “bonus” karena
ini berarti semakin banyak orang yang
dapat dipekerjakan? Buletin MGI kali
ini mengulas pengelolaan sumber daya
manusia di Indonesia dalam kaitannya
dengan lapangan pekerjaan. Namun,
MGI berharap kita bisa tetap kritis
dalam melihat kaitan antara
pendidikan dan lapangan pekerjaan
sebagai sebuah mata rantai.
Sekolah sebagai alat pendidikan
diciptakan pada sekitar abad ke-17
untuk memasok buruh dan pekerja
yang taat ke pabrik-pabrik dalam
revolusi industri. Namun kemudian,
kritik Foucauldian ini-pun melihat
perkembangan positif pendidikan pada
abad ke-19 di mana cara berpikir kritis
bahkan terhadap pendidikan itu sendiri
makin berkembang. Kembali ke tanah
air kita sendiri, kita telah melihat
peningkatan pos subsidi pendidikan
pada APBN negara untuk memberikan
dukungan pada sektor pendidikan yang
berarti “sekolah”.
Namun, tujuan menyekolahkan
seseorang seharusnya bukan semata
untuk menjadi pekerja yang cocok
...bersambung ke hal 25
Isi:
1. Menghindari Talent Brain Drain (1)
2. Melihat & Belajar dari INDIA (3)
3. Mengapa Singapura dak kehilangan
talent? (6)
4. Sinergi BUMN & Lulusan Beasiswa
Negara (7)
5. Dinamika Ketenagakerjaan Pertanian (9)
6. ASN & Dilema Meritokrasi (12)
7. Pemanfaatan Bonus Demografi (14)
8. Cerdas Saja Tidak Cukup (16)
9. Ekspektasi Dunia Kerja Indonesia (17)
10. Sinergi LPDP & Alumninya dengan
Ins tusi Pemerintahan (20)
11. Sistem Longlife Learning (22)
12. Kaleidoscope (24)
(Illustration: aussiemigrationlaw.com.au)
1. Menghindari Indonesia's
Talent Brain Drain:
Mari, Eksplorasi Potensi
Diri Menuju Sukses!
Agustina Kusuma Dewi, S.Sos.
BPI LPDP, PK-37
Magister Desain, ITB
Dosen di DKV Unpas dan FSRD ITENAS Bandung
Ke ka berbagai bencana alam sedang
mendera Indonesia dan membuat seluruh
masyarakat berduka, apakah
pengembangan diri masih tetap diperlukan?
Ternyata pengembangan diri justru bisa
menjadi salah satu jendela yang membuka
c a k ra w a l a b a r u m e n u j u p e r b a i ka n
Indonesia. Bagaimana mungkin? Analogikan
begini, jika seseorang bertanya kepada
Anda, “Apakah yang ingin Anda raih dalam
kehidupan ini?” Mungkin berbagai macam
jawaban akan diperoleh. Untuk sebagian
orang, meraih hidup yang tenang dan
bahagia sudah lebih dari cukup – mereka
lebih suka menerima apa yang harus
diterima tanpa berusaha meningkatkan
derajat kehidupan mereka menjadi lebih
nggi lagi.
Namun untuk beberapa orang – yang sampai
saat ini masih termasuk golongan orangorang minoritas – hanya sekedar menerima
saja apa yang harus diterima daklah cukup.
Orang-orang minoritas ini percaya bahwa
se ap manusia dilahirkan dengan kelebihan
dan kemuliaan diri (disamping juga
kelemahan-kelemahan dan kekurangankekurangan diri yang sesungguhnya bisa
diop malkan dan dijadikan kelebihan untuk
konteks tertentu), yang disebut dengan akal
d a n ke s a d a ra n , ya n g m e m b e d a ka n
derajatnya dengan makhluk ciptaan Tuhan
yang lain. Dengan akal dan kesadaran ini,
kaum minoritas tersebut berusaha menggali
potensi diri yang dimiliki dengan semaksimal
mungkin, kemudian mengasah kemampuan
diri mereka untuk dapat mencerma dan
meraih segala macam momentum yang
terkandung dalam se ap peluang yang ada
dalam kehidupan, serta menciptakan
p e l u a n g - p e l u a n g te rs e b u t m e n j a d i
kesempatan yang diciptakan sendiri menjadi
'ada' dan berprospek potensial. Jika
golongan minoritas ini mampu, mengapa
kita – Anda – dak?
Kaum Minoritas vs Kaum Mayoritas.
Mungkin apa yang disampaikan di atas hanya
sebuah analogi sepihak yang sangat
tendensius. Tapi kenyataan tersebut nampak
begitu jelas terjadi – terutama saat
persaingan terbuka mbul dan semakin
ketat ke ka dunia menuju era globalisasi.
2
(Illustration: ceo.com)
Pasar bebas dengan segala kemungkinan
dan celah untuk sukses bukan
menjadikan 'kaum' minoritas
melebarkan sayapnya dan menjadi
'kaum' mayoritas, melainkan
m e ny u r u t ka n o ra n g - o ra n g y a n g
tergabung di dalamnya. Kebanyakan dari
mereka takut gagal. Ada juga yang
merasa dak percaya pada kemampuan
dan potensi diri sendiri dan memilih
menjadi penonton di luar arena saja.
Lalu muncul pertanyaan, siapakah
sesungguhnya kaum minoritas ini?
Dari berjuta-juta rakyat Indonesia,
mungkin anda dapat menyebutkan
bahwa hanya sekitar 5%-10 % dari
mereka yang mampu untuk melihat
peluang (bisnis) sebagai celah sekaligus
juga kesempatan. Golongan 5%-10%
inilah yang saya sebut sebagai kaum
minoritas – yaitu mereka yang mampu
untuk memo vasi diri dalam menggali
potensi yang dimiliki semaksimal
mungkin, untuk mencapai kesuksesan
yang juga maksimal. Sementara sisanya
– yang diis lahkan oleh saya sebagai
kaum mayoritas – adalah mereka yang
belum – bukan dak, karena saya yakin
suatu saat mereka akan menjadi –
mampu menggali potensi diri mereka
untuk meraih segala peluang yang ada
dalam kehidupan. Kaum mayoritas ini
lebih suka bekerja dan menjalani
kehidupan melalui cara-cara aman –
dalam ar an asal sudah bekerja sudah
cukup, asal memperoleh pendapatan
sudah cukup, asal dak gagal berar
semua sudah terkendali dan sukses –
tapi dak ada keinginan untuk mencapai
kesuksesan yang lebih nggi lagi. Alasan
d a n p e r m b a n ga n s e m a c a m i t u
m e m a n g d a k s e p e n u h nya b i s a
disalahkan, namun jika memang
demikian, jika kita memilih untuk
menjadi mayoritas, maka kita hanya akan
menjadi orang kebanyakan yang biasabiasa saja tanpa mengembangkan
potensi diri untuk menjadi is mewa
yang sejak lahir sesungguhnya telah
d i s e m a t ka n d a l a m s e a p j i w a
manusia. Untuk beberapa orang,
kesuksesan dianggap sebagai sesuatu
yang tergantung pada keberuntungan.
Namun dak begitu menurut Thomas
Alva Edison; menurutnya,
keberhasilan seseorang adalah 1%
keberuntungan dan 99% usaha. Lalu
usaha yang bagaimana yang
m e m u n g k i n ka n s e s e o r a n g u nt u k
berhasil dan sukses?
Self-Actualiza on: Potensi Diri Alamiah
vs Materi.
Abraham Maslow, sosiolog yang
terkenal, menyatakan bahwa dari
beberapa kebutuhan dasar manusia,
salah satu kebutuhan yang berkaitan
dengan harga diri dan kebanggaan
seseorang ditunjukkan dalam selfactualiza on atau kebutuhan akan
pemenuhan diri. Kita bukan saja ingin
mempertahankan kehidupan, tetapi juga
ingin meningkatkan kualitas kehidupan
dan juga ingin memaksimalkan potensipotensi diri. Dengan ucapan Maslow
sendiri – what a man can be, he must be
– kebutuhan akan pemenuhan diri dapat
dilakukan melalui berbagai bentuk,
antara lain: (1) mengembangkan dan
menggunakan potensi-potensi diri
dengan cara yang krea f konstruk f,
misalnya: melalui seni, musik, sains, atau
hal-hal yang mendorong pengungkapan
diri yang krea f; (2) memperkaya
ku a l i ta s ke h i d u p a n d e n ga n ca ra
memperluas rentangan dan kualitas
pengalaman serta pemuasan, misalnya
dengan jalan darmawisata ke tempattempat yang memiliki nilai historis atau
budaya (di satu sisi kita memperoleh
relaksasi dan pada sisi lain kita
mendapatkan pengetahuan); (3)
membentuk hubungan yang hangat dan
berar dengan orang-orang lain di
sekitar kita (yang lebih jauh lagi dapat
mendukung kemungkinan kita untuk
menciptakan dan memperluas
h u b u n ga n d a n j a r i n ga n ke r j a d i
kemudian hari); (4) berusaha
'memanusia', menjadi persona – diri –
yang kita dambakan (yang berkaitan erat
dengan konsep diri – bagaimana kita
memandang diri kita sendiri) (Coleman,
1976:105).
Ada kecenderungan yang tampak
dewasa ini; yaitu, pengembangan
mo vasi menjadi sesuatu yang mahal
harganya dan harus selalu didukung oleh
adanya kemampuan materi.
Sesungguhnya, materi hanya menjadi
faktor kedua setelah potensi diri yang
dimiliki sendiri. Mengapa demikian?
Seseorang yang kaya raya, namun dak
memiliki kemauan untuk menggali –
mengeksplorasi – potensi diri yang
dimilikinya semaksimal mungkin sama
saja seper nyala api yang kecil dan
lemah, yang dak mungkin sanggup
bertahan bila ter up oleh angin. Namun
seseorang yang tahu bagaimana
mengeksplorasi potensi dirinya hingga
kemudian menumbuhkan mo vasi
untuk maju dan lebih maju lagi –
didukung dengan atau tanpa
kemampuan materi – akan sanggup
b e r ta h a n s e ka l i p u n a n g i n b e s a r
menghempas dirinya. Bukankah ilmu
pengetahuan dan akal menjadi senjata
dan harta yang abadi dan potensial
dalam diri se ap manusia? Dengan kata
lain, untuk maju, seseorang harus
percaya pada kemampuan dirinya
sendiri. Tentu saja, kemampuan harus
didukung oleh faktor lain, yaitu
kemauan.
Kemauan: dari sesuatu yang abstrak
menjadi nyata.
Kemauan jarang dibicarakan secara
khusus dalam buku-buku pengantar
psikologi; walaupun orang sering
menggunakan is lah 'kuat kemauan'
atau 'kurang kemauan'. Kemauanlah
yang membuat orang besar atau kecil.
Kemauan erat kaitannya dengan
ndakan, bahkan ada yang
mendefinisikan kemauan sebagai
ndakan yang merupakan usaha
seseorang untuk mencapai tujuan.
Dalam kemauan, bila dirangkum dari
pernyataan Richard Dewey dan W.J.
Humber, terkandung keinginan untuk
mencapai suatu tujuan, pengetahuan
tentang cara-cara yang diperlukan untuk
mencapai tujuan, kecerdasan dan energi
yang mempengaruhi usaha,
pengeluaran energi yang efek f dan
efisien untuk mencapai tujuan, serta
kejelian.
Seseorang yang jeli adalah seseorang
yang – setelah mampu mengeksplorasi
3
potensi dalam dirinya – tanggap terhadap segala peluang
yang muncul dalam berbagai bidang dan menjadikannya
sebagai kesempatan yang seolah-olah memang diciptakan
hanya bagi dirinya sendiri. Kejelian terhadap peluang
tersebut harus didukung pula oleh adanya kemampuan untuk
menganalisis kekuatan dan kebutuhan pasar bisnis – sektor
laba maupun sektor nirlaba. Seseorang yang tahu peluang
dalam bisnis yang berorientasi laba, dapat meramalkan apa
yang akan dibutuhkan oleh masyarakat dan apa yang harus
diciptakan untuk menumbuhkan adanya rasa butuh dalam
diri masyarakat. Mereka tahu dan kenal aroma persaingan –
namun mereka dak takut gagal karena mereka yakin setelah
satu kesempatan gagal, akan selalu ada kesempatan yang lain.
Seseorang yang jeli akan peluang dalam bisnis yang bergerak
dalam sektor nirlaba – sekalipun orientasinya bukan
di kberatkan pada perolehan omzet/pendapatan – namun
karena ia tahu peluang, maka ia dapat membalikkan peluang
yang ada menjadi kesempatan untuk dirinya menciptakan
sektor-sektor bisnis berorientasi laba. Karena itu dibutuhkan
adanya perhitungan-perhitungan yang tepat dan rasional,
didukung adanya ins ng yang kuat yang semakin terasah
hanya dengan cara dilakukan dan digunakan.
Kegagalan adalah Keberhasilan yang Tertunda.
potensi diri dibutuhkan adanya kemauan untuk belajar,
kecerdasan dan keikhlasan untuk mengeluarkan energi; baik
energi yang sifatnya materi dan atau nonmateri, serta
pengembangan mo vasi yang didukung adanya kepercayaan
terhadap konsep diri. Setelah hal itu sanggup dilakukan, maka
dalam diri kita secara sadar ataupun dak akan muncul satu
naluri yang terasah dan peka terhadap berbagai peluang yang
mbul dalam dunia bisnis, baik yang berorientasi pada sektor
laba maupun sektor nirlaba. Dengan kejelian sekalipun
kemampuan yang ada dalam diri, kita akan sanggup untuk
mengejar dan meraih momentum yang ada dalam se ap
peluang, menjadikannya kesempatan yang seolah-olah
tercipta memang hanya untuk kita – dan meraih kesuksesan
y a n g m e m b a w a k i t a m e n c a p a i ke b u t u h a n a ka n
pengaktualisasian diri yang lebih nggi lagi. Jangan pernah
takut untuk gagal, karena kegagalan adalah proses kita
menuju pencapaian yang lebih besar lagi. Jangan pernah
takut untuk mengubah perspek f kita selama ini, karena
memandang segala hal secara lateral memungkinkan kita
untuk menemukan solusi terbaik pada perbaikan bukan
hanya sekedar alterna f solusi. Jika demikian, tunggu apa lagi,
mari eksplorasi diri menuju sukses yang abadi, bukan hanya
sekedar dalam benak, ide dan gagasan belaka! (-)
Pada akhirnya, setelah seluruh uraian diatas, kita akan
mencapai satu kesimpulan bahwa kesuksesan hanya dapat
diperoleh bila kita mampu mengeksplorasi potensi diri yang
dimiliki dengan semaksimal mungkin dan menggunakannya
secara tepat – efek f dan efisien. Dalam proses penggalian
2. Melihat & Belajar dari India
Naufal Rospriandana, S.T.
BPI LPDP, PK-10
Graduate School of Environmental Science
Hokkaido University, Japan
Dikri k karena pemerintah terus menerus membiarkan
banyak warga India pergi ke luar negeri dan menjadi aset
hebat bagi negara tujuannya, Rajiv Gandhi, mantan PM
India, dulu berkata: be er brain drain, than brain in the
drain (lebih baik menjadi penyalur otak moncer, daripada
membiarkan mereka dalam saluran). Tidak sia-sia,
meskipun secara makro, India masih bangsa berkembang,
namun kebijakan tersebut justru mengantarkan India
menjadi salah satu bangsa yang paling banyak
menelurkan diaspora sukses di dunia, India kini bahkan
diyakini beranjak menjadi penyeimbang kekuatan dari
Asia. Memang the talent's brain drain adalah salah satu
tantangan bangsa berkembang pada umumnya.
Merasakan hidup yang teramat keras di negara asal,
merasa dak dihargai kapabilitasnya sebagai ahli, tak
(© penulis)
jarang membuat orang dari negara berkembang memilih
pergi merantau ke negara maju. Di saat yang sama, negara
(Illustration © http://collegian.csufresno.edu/)
maju pun memiliki demand yang nggi terhadap sumber
daya manusia berkualitas mengingat mereka dihadapkan
pada situasi penuaan populasi (ageing popula on).
Namun memang benar, investasi sumber daya manusia
itu kadang dak bisa terukur jelas keuntungannya. Oleh
karena sulitnya melakukan valuasi, tak jarang sulit pula
berjudi menanamkan modal membangun kapasitas
(© penulis)
(© penulis)
manusia: melalui investasi pendidikan dan memberikan
pengalaman hidup. Akan tetapi, sejenak melihat dan
4
Searah jarum jam dari kiri atas: Bhimrao Ambedkar, Swaminathan, Anant
Mashelkar, Narendhra Jadhav, dan Abdul Kalam (photos © nationalarchives.nic.in)
belajar dari nenek moyang negeri
Anak Benua, India, hal menarik
justru terjadi. Di awal, sempat
dibahas mengenai Rajiv Gandhi,
mantan PM India, siapakah dia
sesungguhnya? Sungguh dak ada
relasinya dengan tokoh pendiri
India, Mahatma Gandhi, Rajiv
adalah cucu dari Jawaharlal Nehru,
mantan PM India pada era
kemerdekaan negara tersebut.
Namun, beruntungnya Rajiv yang
merupakan putra bangsawan, ia
adalah satu dari sekian warga India
yang berkesempatan mengenyam
pendidikan di Trinity College,
Cambridge, sama dengan sang
kakek, Jawaharlal Nehru. Hanya saja,
sedikit berbeda dengan sang ibu,
Indira Gandhi yang merupakan
cetakan Oxford. Memang, di tahuntahun tersebut, banyak warga India
pergi merantau ke luar negeri.
Lantas, apakah hanya dari kalangan
bangsawan saja? Tidak, sejarah dan
fakta secara jelas menunjukkan
bahwa budaya India konserva f
sesungguhnya masih kental dengan
sistem kasta, yang mana mereka
yang berasal dari kasta biasa bahkan
kasta bawah dan terbuang
mendapatkan perlakuan yang dak
adil dalam memperoleh hak hidup
seper pendidikan. Terlebih lagi,
faktor SARA juga menjadi ganjalan di
India. Dari situlah akhirnya para
kaum dak terpandang tersebut
bertekad untuk maju dan nekad
pergi merantau ke negeri asing
untuk mencari kehidupan yang lebih
b a i k . D a r i ka u m t e rs e b u t d i
antaranya adalah Bhimrao
Ambedkar, doktor lulusan London
School of Economics (LSE) (Menteri
Perburuhan India), Sambasvian
Swaminathan (lulusan Wisconsin
Madison, pencetus Green
Revolu on India), Amarthya Sen
(Profesor ekonomi Harvard), J.P.
Abdul Kalam (ahli rudal dan sistem
pertahanan, presiden India), Anant
Mashelkar (direktur CSIR India),
e ko n o m N a re n d h ra J a d h av
(pimpinan Reserve Bank of India,
lulusan University of Indiana), dan
banyak lagi.
Selain itu, tak terelakkan juga bahwa
generasi muda India saat ini banyak
memegang peranan pen ng di
b e r b a ga i p e r u s a h a a n g l o b a l .
Tercatat se daknya 14 CEO atau
pejabat teras se ngkat direktur dari
berbagai macam perusahaan global
berasal dari India. Indra Nooyi
memimpin Pepsi Co., Satya Nadella
mengepalai Microso , Anjay Banga
di Master Card. Begitu pun halnya
Direktur Pemasaran Facebook,
Kirthiga Reddy merupakan orang
India. Sebagai seorang mahasiswa di
Jepang, terdapat kasus menarik
ke ka di pertengahan 2015 lalu
sempat terjadi kecaman dari para
pengamat dan pekerja berbagai
kalangan yang menunjukkan
ke daksetujuannya kala So bank,
salah satu provider telepon seluler
asal Jepang, melakukan keputusan
dras s dengan merekrut seorang
India bernama Nikesh Arora sebagai
direkturnya. Siapa Nikesh Arora?
Sebelumnya, ia adalah Senior Vice
President Google.inc dan untuk
mendapatkan tanda tangannya,
So bank sampai harus mengganjar
16 miliar Yen (setara 1.6 triliun
Rupiah), suatu hal yang secara keras
diprotes oleh golongan pekerja
Jepang sebagai suatu bentuk
penghamburan uang dan
pelanggaran tradisi kerja berjenjang.
Lalu, sekarang pertanyaan untuk kita
semua adalah, apakah ada post-doc
atau bahkan professor asal India di
tempat kita saat ini menempuh
pendidikan? Jikalau dak banyak,
tapi seper nya pas ada, dan dalam
pemikiran sederhana saya, bila
seseorang mendapatkan
kesempatan post-doc, sudah barang
tentu Ia bukanlah orang
sembarangan.
The era of gaining (back) the brain
Dalam bukunya, New Asian
Hemisphere: The Irresis ble Shi of
Global Power to the East, professor
kebijakan publik asal Singapura
berdarah India, Kishore Mahbubani,
dari Na onal University of
Singapore, menjelaskan bahwa
kenda India di nggalkan para otak
moncernya dalam wujud brain drain,
namun India juga terus berjuang
membangun. Hebatnya adalah
konek vitas antara para tokoh India
5
Suasana saat Softbank mengumumkan penunjukan Nikesh Arora sebagai direkturnya
di luar dan dalam negeri yang masih terhubung erat dan
saling mendukung, bahkan saat ini, meskipun secara
mikro dak serta merta seragam, India diyakini akan
segera memasuki the era of gaining (back) the brain.
Sebagai control riil, dalam helatan PPI Dunia 2014 di
Tokyo, seorang rekan Indonesia yang kini bersekolah di
India, mengatakan bagaimana kampus-kampus di India
kini dikawal oleh profesor-profesor lulusan barat,
sebutlah Harvard, Cambridge, dan lain sebagainya, dan
menemui mereka daklah sulit karena hampir seluruh
waktunya ada di kampus dan memang difokuskan untuk
membangun dan mendidik mahasiswa-mahasiswa India.
Secara terpisah, seorang teman asal India juga
menjelaskan bagaimana baru-baru ini pemerintah
menggulirkan skema beasiswa besar-besaran untuk
menempuh pendidikan pascasarjana di kampus-kampus
India tersebut.
Dalam bukunya lagi, Mahbubani menjelaskan, bukan MIT
atau Harvard, kampus dengan peluang masuk
terkompe f di dunia, melainkan IIT (Indian Ins tute of
Technology) yang terdiri dari 5 kampus tersebar di India.
Apa pasal? Di tahun 2002, ke ka Harvard dan MIT
meloloskan 10.5% dan 16.2% dari keseluruhan
pelamarnya, hanya 2.3% pelamar yang berhasil dan
diijinkan masuk ke IIT. Tak pelak, merekalah juga yang
diyakini nan nya akan dibajak oleh perusahaan kelas
dunia, namun kenda demikian setengah kaki mereka
berdiri di tanah kelahirannya, India.
Studi kasus dari India tersebut selayaknya menjadi bahan
evaluasi bagaimana investasi manusia memang dak
mudah, dak murah, dan dak sebentar, namun jika
berhasil pas memiliki dampak yang besar dan berkali-
(photo © indiatoday.intoday.in)
kali lipat. Fakta dari India ini pun menunjukkan pada kita,
bahwa pada dasarnya dak bisa suatu negara lepas landas
hanya dengan investasi tunggal mendidik manusia ke luar
negeri tanpa pembangunan sendiri dan penguatan
konek vitas dengan pembangunan dalam negeri.
Berkaca pada Indonesia, di era sekarang ini, Indonesia
pun sedang gencar-gencarnya melepas putra-putrinya
untuk mengenyam pendidikan di luar negeri guna
menanamkan investasi menghadapi potensi bonus
demografi. Kenda
dak sedikit pandangan nega f
mengemuka, mulai dari yang mengkri si kebijakan
terlambat, hambur anggaran, hingga menyangsikan
seberapa ampuh kebijakan investasi manusia ini, namun
sekali lagi harus bijak kita menyikapi hal ini. Telah
disebutkan sebelumnya, pen ng menghapus keraguan
atas suatu investasi yang sulit dinilai ini, namun
sebagaimana India, investasi manusia tersebut dak
lantas cukup tanpa menggiatkan pembangunan sendiri
dan menghidupkan konek vitas. Celoteh seorang kawan
mahasiswa Indonesia di Jepang (yang memang saya salut
atas prestasinya) pernah membuat saya mengernyitkan
kening, “Jika Indonesia mampu membiayai pengiriman
manusia berotak moncer ke luar negeri tapi dak mampu
membiayai fasilitas peneli an dan pendidikan nggi
dalam negeri, berar mungkin memang benar orang
pintar di Indonesia dak dihargai”. Entahlah bagaimana
cara yang tepat untuk menanggapi dan menyikapi hal
tersebut, akan tetapi, jika tantangan tersebut dapat
dipecahkan, jika semua elemen negeri ini memang ingin
maju demi bangsanya, maka the talent's brain drain itu
cepat atau lambat akan segera menjadi ang- ang
pancang masa depan Indonesia. (-)
6
Kawasan pusat bisnis Singapore yang terus berkembang. (photo © lavishbucks.com)
3. Mengapa Singapura tidak
kehilangan talent mereka?
Ing. Muhammad Gibran, S.T., M.Sc.
BPI LPDP, PK-02,
Msc in Engineering in Coastal Environment, University of Southampton
Offshore and Marine Engineering Specialist
Sewaktu kuliah di Southampton dua tahun lalu, saya sempat
berkunjung ke St. John College Cambridge; dak sekedar untuk
perhelatan makan malam bersama, tetapi juga ingin menjalin
network; sayang rasanya jika kesempatan emas ini dak
digunakan untuk menambah kawan dan bertukar pikiran.
Cambridge, sebuah kota klasik dengan beberapa college favorit
dimana banyak banyak para elit negara dari seluruh dunia
memilih tempat ini untuk mengenyam pendidikan.
Salah satu kawan baru saya berasal dari Singapore. Saya
bertanya mengapa dak banyak pelajar Singapura di kampuskampus lain di Inggris; komunitasnya kecil dibandingkan
dengan pelajar dari India, China, Indonesia, Malaysia,
Philippina, Brunei, Thailand, dan Vietnam yang sangat banyak
dijumpai di Inggris, Eropa, dan juga Skandinavia. Dia bercerita
bahwa, pertama, universitas di Singapura sendiri untuk saat ini
sudah memenuhi kebutuhan dalam negeri, bahkan secara
rangking lebih baik dari Universitas di Inggris, Amerika dan
Eropa; yang kedua, Singapura hanya memberi beasiswa ke
beberapa universitas top di dunia, yang mana Universitas yang
bersangkutan sudah ada kerjasama dengan parlemen
Singapura.
Terkait dengan finansial, ia menambahkan bahwa kuliahnya
dibiayai oleh Kementerian Pertahanan Negara Singapura.
Mungkin seper LPDP, sama-sama dibiayai negara, namun
beasiswa Singapura sangat terintegrasi dengan parlemen atau
pemerintahannya; selain program studinya tepat sasaran
dengan kebutuhan dalam negeri, juga rasanya tak sia-sia
negara tersebut berinvestasi pendidikan untuk masa depan
generasi mudanya.
Lalu bagaimana rencana kerja setelah lulus dengan beasiswa
negara? Ia menjelaskan, tentu akan kembali ke Singapura
karena negara telah membuat kesepakatan yang sudah barang
tentu orang akan merasa bodoh jika menolaknya; berbagai
kebutuhan sudah terpenuhi baik itu posisi di pemerintahan,
gaji yang sebanding, jaminan akomodasi, dan berbagai
tunjangan lainnya. Oleh karena itu sangat jarang dijumpai
seorang warga negara Singapura yang bekerja sebagai
employee di negara lain.
Bagaimana itu bisa terjadi? Bagaimana negara dapat mengenal
Anda? Kawan tersebut menjelaskan, well, se ap laki-laki yang
telah mencapai usia 18 tahun atau telah lulus dari pendidikan
menengah ke atas wajib hukumnya mengiku Perkhidmatan
Negara (Na onal Service) selama dua tahun sebelum
melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya atau bekerja.
Bagi orang yang telah mengiku perkhidmatan, pada
umumnya gaji yang diterima bisa mencapai dua kali lipat
dibandingkan dengan mereka yang dak mengiku agenda ini.
Dalam perkhidmatan, para pelajar berla h bersama militer dan
polisi di pulau tertentu tentang bela negara, pertahanan, dan
lain sebagainya. Disitu pula mereka dinilai oleh negara; pemuda
yang memiliki talent layak mendapat posisi di pemerintahan
dan juga beasiswa.
Setelah selesai masa perkhidmatan, negara memberi
penawaran kontrak kerja di pemerintahan kepada mereka yang
mempunyai talent. Selain itu mereka juga disegerakan untuk
melanjutkan studi, mereka dapat memilih pendidikan S1, S2,
dan S3 di top 10 world universi es baik itu di dalam maupun di
luar negeri dengan beasiswa negara. Selama masa studi pula
(katakanlah 5-7 tahun) gaji mereka tetap dibayarkan oleh
negara, namun akumulasi gaji mereka hanya bisa diambil
setelah selesai studi dan telah bekerja selama 5 tahun di posisi
yang disepaka . Bayangkan saja, jika gaji fresh graduate di
lembaga pemerintahan adalah SGD5.000, - per bulan
sedangkan mereka menempuh studi selama 7 tahun, ke ka
pulang mereka telah mempunyai deposit senilai lebih dari
SGD420.000,- plus tunjangan rumah dan lain sebagainya. Siapa
yang dak akan loyal dengan sistem yang seper ini? Semangat
kerja pun mbul, op misme akan masa depan yang cerah pun
semakin terasa, disusul dengan rasa nasionalisme yang
semakin tebal.
Hampir dipas kan, dengan cara investasi yang seper ini
sebuah negara dak akan kehilangan talent-talent terbaik
7
mereka (brain drain) karena
iming-iming gaji besar di negara
lain. Jika rasa nasionalisme
sudah terpupuk, para pejabat
sudah tentu akan memikirkan
masa depan rakyatnya, dak
akan ada lagi korupsi, dan
semua kebijakan-kebijakan yang
dibuat adalah untuk
kesejahteraan rakyat.
Kesimpulan
Demikian cara negara tetangga
kita memanen talenta dari
generasi mudanya; siapa yang
melakukan investasi lebih besar
ia akan menuai lebih banyak
hasil (tentu jika caranya tepat
sasaran dan sesuai dengan
zamannya). Pada mulanya, saya
dak berfikir bahwa
nasionalisme dapat dibeli
dengan uang atau tunjangan,
namun itulah yang terjadi
hampir di se ap negara pada era
ini. Definisi nasionalisme akan
terus berubah dari zaman ke
zaman, dan menurut saya,
nasionalisme harus dijalin dari
dua arah; yakni, rakyat memberi
sumbangsih kepada negara dan
negara juga menanamkan
investasi masa depan kepada
rakyatnya. Dengan demikian
nasionalisme akan terus
tumbuh karena mbal balik
yang posi f dan terus-menerus,
bak bola salju yang terus
m e m b e s a r ka re n a
menggelinding.
Ar kel ini adalah sebuah wacana
untuk dikaji lebih lanjut oleh
pemerintah Indonesia yang
akan menghadapi bonus
demografi pada tahun 2040
ke l a k di m a na m ayor i ta s
penduduk adalah usia produk f.
Pemuda yang penuh telenta
merupakan aset berharga bagi
sebuah negara. Saya yakin,
apabila lembaga pemerintahan
kita – ekseku f, legesla f, dan
yudika f – telah satu suara dan
juga “bersih”, negara kita akan
mampu mengelola generasi
muda dengan baik. (-)
4. Wacana Sinergi BUMN dan Lulusan
Beasiswa Negara
Rio F. Rachman S.S., M.Med.Kom.
BPI LPDP, PK-9
Media dan Komunikasi, Universitas Airlangga Surabaya
Tim Kreatif MakNews.id
APA penyebab KPU di sejumlah daerah
sempat bingung lantaran dak ada calon
kepala daerah penantang incumbent? Apa
penyebab wacana calon presiden ap lima
tahun sosoknya itu-itu saja? Ya, dak
adanya sistem regenerasi poli k yang baik
(Setya, 2015).
Tidak hanya soal poli k dan ranah jabatan
kekuasaan. Problem regenerasi melingkupi
banyak aspek di beragam lingkup. Tak
terkecuali, sektor sosial, budaya, poli k,
e ko n o m i , i p te k , h u ku m , p ra n a nta
pemerintahan, dan lain sebagainya.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
sebagai simbol penggerak ekonomi
nasional, mulai yang paling mikro hingga
yang super makro, wajib melek terhadap
isu regenerasi. Negeri sebesar Indonesia
tentu dak mau terbawa arus globalisasi.
Bangsa ini tentu tak mau hanya jadi
follower yang kebakaran jenggot saat
kondisi poli k beberapa negara memanas
dan menyebabkan mata uang luluh lantak.
Regenerasi dalam BUMN dak sekadar
berkutat pada mekanisme pegawai
pensiun dan perekrutan tenaga baru. Lebih
dari itu, regenerasi juga menyentuh
tentang bagaimana wawasan dan pola pikir
BUMN dapat selalu update dan peka
terhadap tantangan global.
Ar kel ini mencetuskan sekelumit gagasan
soal pen ngnya regenerasi wawasan yang
dapat disadap dari para bibit unggul
bangsa. Regenerasi berupa penyun kkan
"darah segar" di nadi sekitar 119 BUMN
lintas bidang usaha.
Butuh Kerjasama Konkret
Sejumlah BUMN besar memiliki semacam
lembaga pendidikan khusus; atau paling
dak, memiliki beasiswa khusus yang
diperuntukkan bagi mereka yang ingin
langsung bekerja di perusahaan tersebut.
Tujuannya, menyamakan persepsi dan
teknis pekerjaan agar pendidikan dan
jobdesc di kemudian hari linier. Lebih dari
itu, rekrutmen tenaga muda yang otaknya
masih fresh juga akan menyumbang
percepatan di tubuh perusahaan.
Tapi, dak semua BUMN punya mekanisme
seper itu. Tidak semua BUMN mapan dari
sisi keuangan maupun sistem untuk
menjalankan pola serupa. Sementara itu,
semua BUMN butuh akselerasi dan
sun kan darah segar bibit-bibit unggul.
Seja nya, anak-anak bangsa berkualitas itu
dapat dilacak keberadaannya. Salah
satunya dengan melakukan
pengiden fikasian di database penerima
beasiswa negara. Beasiswa negara ini
banyak model dan bentuknya. Misalnya,
Bidikmisi, LPDP, Dik (dengan ragam
jalurnya), Dik s, Kementerian tertentu, dan
lain sebagainya.
Pertanyaannya, apakah penyelenggara
beasiswa itu sudah memiliki rantai
hubungan yang riil dengan BUMN?
Pertanyaan bisa dibalik dengan esensi yang
sama, apakah BUMN sudah pernah secara
konkret membangun kerjasama dengan
penyelenggara beasiswa dalam aspek
perekrutan tenaga kerja?
Ini bukan kerja satu BUMN saja. Untuk
memperoleh efek dan struktur kerjasama
maksimal, dibutuhkan intervensi langsung
dari kementerian BUMN. Harus ada hitam
di atas pu h antara penyelenggara
beasiswa negara, dengan kementerian
BUMN sebagai penggerak ekonomi bangsa
yang memiliki banyak lini dan ruang aplikasi
bagi para terdidik.
Pada satu k, mekanisme ini juga dak
boleh menutup pintu bagi BUMN besar
yang sudah mapan untuk tersinergi. Sebab,
logika pemikiran holding kementerian
BUMN berasas kekeluargaan dan keadilan
adalah: jika satu perusahaan terus
bertambah besar, dia wajib menggiring
perusahaan lain untuk menjadi lebih besar
pula (Buwono, 2015).
Kompleksitas Tenaga Terdidik
Regenerasi wawasan melalui bibit unggul
8
bangsa diperlukan oleh BUMN agar
semakin maju dan modern. Salah satu
langkahnya, dengan membuat skema
kerjasama riil yang pas antar
kementerian BUMN dengan instansi plat
m e r a h ( t e r m a s u k ke m e n t e r i a n )
penyelenggara beasiswa.
D i s a t u s i s i , n e ga ra d a k p e r l u
m e w a j i b ka n p e n e r i m a b e a s i s w a
mengabdi pada BUMN. Namun di sisi
lain, pada waktu bersamaan, BUMN
sudah menyiapkan ruang bagi mereka
untuk berkreasi. Biarkan mereka
memilih, asal dak terjerumus pada
sikap pragma s.
Para tenaga terdidik, khususnya para
lulusan beasiswa negara, adalah
golongan dengan kompleksitas nggi.
Baik dalam ar posi f, maupun dalam
ar nega f.
Posi fnya, mereka memiliki gagasan dan
pola pikir yang komplet. Orang-orang ini
dak hanya berpikir tentang ilmu
pengetahuan yang digelu nya. Namun
juga, soal marke ng, komunikasi, dan
perluasan jaringan. Sebab, mereka
adalah orang-orang yang terpilih dalam
seleksi ketat. Umumnya, dak hanya
hard skill yang dijadikan tolok ukur,
namun juga so skill.
Terlebih lagi bagi mereka yang memang
kuliah di luar negeri. Logikanya, orangorang dengan gairah berkompetensi
nggi ini bisa diajak untuk memikirkan
kemajuan dan modernisasi BUMN
dengan pola out of the box.
Nega fnya, jika mereka memutuskan
untuk berdiri di seberang BUMN.
Bayangkan betapa sayangnya jika aset
tersebut ternyata dijadikan “alat” oleh
pihak asing untuk meraih keuntungan di
bumi Indonesia.
Beberapa tahun belakangan,
berkembang rumor bahwa para WNI
lulusan luar negeri dak mau bekerja di
dalam negeri (atau akhirnya memilih
perusahaan asing) karena gaji yang
minim. Namun, isu itu kini sudah
bergeser, khususnya bagi lulusan
beasiswa negara yang pada proses
seleksinya sudah “ditatar ” tentang
nasionalisme dan cinta tanah air.
Bergeser ke mana? Bahwa mereka
memilih berkarya di luar negeri atau di
p e r u s a h a a n a s i n g b u ka n ka re n a
persoalan gaji. Namun, karena dak ada
perusahaan dalam negeri dengan
lowongan yang benar-benar cocok, dan
tertarik dengan isi kepala mereka.
Mereka yang memiliki mo vasi
persaingan nggi, justru dengan senang
ha mencari formula khusus untuk
membawa kemajuan di perusahaannya.
Mereka siap melangkah dari “ k nol”
untuk meraih kemajuan bersama.
Untuk hal seper ini negara dak boleh
abai terhadap skema yang pas dan
menguntungkan kedua belah pihak.
Demi mempercepat gerakan roda
ekonomi di bawah naungan
kementerian BUMN. Demi menjaga
pemuda unggulan bangsa agar dak
menari di panggung milik negara lain.(-)
Referensi
Setya, Ashari. 2015. Pilwali Mbingungi dan Gak Masuk
Akal. [online] Available at: h p://maknews.id/pilwalimbingungi-dan-gak-masuk-akal/. [Accessed on 26
August 2015].
Buwono, Akbar. 2015. PGN : Sinergi BUMN Kunci
Maksimalkan Peran Membangun Bangsa. [online]
Available at:
h p://beritadaerah.co.id/2015/08/19/pgn-sinergibumn-kunci-maksimalkan-peran-membangun-bangsa/.
[Accessed on 28 August 2015]
9
5. Dinamika Ketenagakerjaan
Pertanian Indonesia : Regulasi
Pengembangan Kedaulatan Pangan
Sumiyati Tuhuteru, S.P.
(photo © metronews.com)
BPI LPDP, PK-25
Master Of Agriculture Gadjah Mada University
(photo © korankabar.com)
(photo © mitraandalanta.com)
(photo © cahyoprayogo.lecture.ub.ac.id)
(photo © bola.kompas.com)
Indonesia merupakan negara yang
kaya akan sumber daya alam, baik
pertambangan maupun dari sektor
pertanian dan perikanan. Harga
komoditas global yang nggi
membuat sektor sumber daya
alam mampu memberi kontribusi
yang besar bagi pertumbuhan
ekonomi, ekspor dan investasi
selama satu dasawarsa terakhir ini.
Untuk itu, tujuan kedaulatan
pangan dan kesejahteraan petani
menjadi salah satu tujuan utama
pembangunan Indonesia, dengan
mengacu pada keberlanjutan
pertanian Indonesia dan
kesejahteraan petani.
Pertanian sangat berperan dalam
pembangunan dan perekonomian
di suatu daerah, hal ini sudah
dibuk kan dengan mayoritas mata
pencaharian masyarakat Indonesia
adalah bertani; terutama untuk
daerah pedesaan. Untuk itu,
dengan pertanian harapannya
mampu menciptakan lapangan
pekerjaan bagi penduduk, sebagai
sumber pendapatan, sebagai
sarana untuk berusaha, serta
sebagai sarana untuk dapat
merubah nasib ke arah yang lebih
baik lagi. Bukan hanya sebagai
sebuah pekerjaan kasar yang hanya
digelu oleh masyarakat pedesaan
atau pelosok. Oleh sebab itu,
peranan pertanian dapat
diwujudkan dengan meningkatkan
ekonomi petani dengan cara
pemberdayaan ekonomi
kerakyatan. Selain itu, besar
harapan fokus pemerintah dan
kelembagaan daerah dak hanya
berpusat pada perkotaan, tetapi
merata hingga pelosok daerah.
Terkait mengahadapi MEA 2016,
Indonesia for Global Jus ce (IGJ)
menilai strategi dan persiapan
Indonesia berpeluang gagal.
Pasalnya, dak adanya perubahan
kebijakan guna memaksimalkan
perlindungan bagi nelayan dan
petani Indonesia. “Faktanya,
pertumbuhan penduduk Indonesia
masih nggi, konsumsi pangan dan
perikanan terus meningkat, serta
80-90% kebutuhan konsumsi
p a n ga n d o m e s k I n d o n e s i a
bersumber dari produksi petani
dan nelayan kecil. Maka, kegagalan
melindungi petani dan nelayan
akan menggeser MEA 2016 dari
peluang menjadi ancaman serius
bangsa," kata direktur ekseku f
IGJ.
Menurut Riza Damanik, MEA 2016
akan mendorong liberalisasi
pangan melalui pengintegrasian
sektor pertanian dan perikanan
negara-negara ASEAN. Sebagai
informasi, Indonesia merupakan
produsen terbesar ikan di dunia
dengan total produksi sebesar
19,56 juta ton pada 2013, dan
Tabel 1. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Pertanian Tahun 2011 -2014
(Sumber: BPS)
(photo © antaranews.com)
Gambaran umum pertanian di Indonesia
10
produsen terbesar beras di dunia sebesar 36,55 juta ton.
Namun, hingga saat ini evaluasi terhadap kebijakan
subsidi belum terjawab dengan solusi yang tepat.
Diharapkan adanya penambahan alokasi subsidi benih
dan pupuk bagi petani dan pemberian subsidi BBM yang
tepat sasaran kepada nelayan dapat dikembangkan.
“Untuk itu, diperlukan strategi baru perlindungan petani
dan nelayan Indonesia, terlebih dalam menghadapi MEA
2016. Strategi yang dimaksud melipu intervensi negara
dalam mereduksi hegemoni industri dalam kegiatan
hulu-hilir pertanian maupun perikanan rakyat,” pungkas
Riza.
Investasi Sektor Pertanian
Sektor pertanian mempunyai peranan yang pen ng juga
strategis dalam pembangunan nasional. Peranan
tersebut antara lain: meningkatkan penerimaan devisa
negara, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai
tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan
konsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam
negeri serta op malisasi pengelolaan sumber daya alam
secara berkelanjutan. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya
kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domes k
Bruto (anonim, 2015). Dalam lima tahun terakhir,
kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian
nasional semakin nyata. Selama periode 2010-2014,
rata-rata kontribusi sektor pertanian terhadap PDB
mencapai 10,26% dengan pertumbuhan sekitar 3,90%.
Sub-sektor perkebunan merupakan kontributor terbesar
terhadap PDB sektor pertanian (Tabel 1). Pada periode
yang sama, sektor pertanian menyerap angkatan kerja
terbesar walaupun ada kecenderungan menurun
(Renstra Kementerian Pertanian 2015-2019).
Fakta di lapangan berbicara lain
“Orang bilang tanah Indonesia adalah tanah surga yang
memiliki banyak lahan subur dan makmur.” Bisa
dikatakan berbagai macam tanaman bisa tumbuh subur
di tanah air kita. Tapi, yang jadi pertanyaan adalah
kenapa hal tersebut dak berbanding lurus dengan nasib
para petani? Menurut Doddy Rosadi (2015), justru barubaru ini Kementerian Pertanian menyatakan se ap
tahun ada sebanyak 500 ribu rumah tangga petani yang
beralih profesi ke bidang pekerjaan lain karena selalu
mengalami kerugian.
Kendala Pembangunan
Pertanian
Salah satu kendala di sektor
p e r ta n i a n y a n g p e r l u
mendapatkan perha an
a d a l a h s t a t u s
ketenagakerjaan. Saat ini
rendahnya minat generasi
muda untuk menjadi
petani sudah sangat
rendah. Selain itu, keturunan dari petani pun diharapkan
untuk dak melanjutkan pekerjaan mereka sebagai
petani karena tak ada imbalan yang diperoleh sesuai
tenaga yang sudah tersalurkan. “Hanya untuk makan
sehari-hari sudah bisa untuk hidup dan sebagai modal
untuk menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih nggi,
bukan dengan kembali menjadi petani seper mereka,”
ujar petani. Dikarenakan adanya momok yang
mengatakan bahwa pendapatan petani seringkali sangat
rendah (hasil penjualan pasca panen mereka bahkan di
bawah harga pasaran) dibandingkan status seorang
sebagai pegawai negeri sipil, hal ini menyebabkan
terjadinya pengalihan minat petani menjadi seorang
pegawai negeri yang mampu menghasilkan upah lebih
tanpa harus berpanas-panasan dalam suatu lahan.
Padahal, menurut Antonie Clianto (2015), diketahui
bahwa pertanian merupakan tonggak bangsa dalam
pembangunan bangsa ini, yang sangat berpengaruh
terhadap dinamika perekonomian bangsa.
Selain itu, salah satu penyebab pergeseran minat dari
s e k t o r p e r t a n i a n ke n o n - p e r t a n i a n a d a l a h
perkembangan teknologi-teknologi yang dapat
menggan kan tenaga kerja. Hasil riset yang dilakukan
oleh Tri Yulianingsih (2014), menyebutkan bahwa
semakin sempitnya kesempatan kerja di sektor pertanian
kini mulai menyadari tentang pen ngnya sektor nonpertanian sebagai salah satu alterna f untuk dapat
meningkatkan kesejahteraan sekelompok besar
masyarakat pedesaan, khususnya kelompok buruh tani
dan petani sempit.
Peran Tenaga Kerja Dalam Meningkatkan Kedaulatan
Pangan
Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian pada tahun
2010 sekitar 38,69 juta tenaga kerja atau sekitar 35,76%
dari total penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2014
penyerapan tenaga kerja mengalami penurunan menjadi
35,76 juta tenaga kerja atau 30,27% (Tabel 2). Data
penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tersebut
hanya berasal dari kegiatan sektor pertanian primer,
belum termasuk sektor sekunder dan tersier dari sistem
dan usaha agrobisnis. Bila tenaga kerja dihitung dengan
yang terserap pada sektor sekunder dan tersiernya,
maka kemampuan sektor pertanian tentu akan lebih
besar.
Tabel 2. Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Tahun 2010 - 2014 (Sumber: BPS)
Tahun
Laki-laki
Pertumbuhan Perempuan Pertumbuhan
Total
Tenaga Kerja Pertumbuhan
(Orang)
(%)
(Orang)
(%)
(Orang)
(%)
2010
23,781,233
0.36
14,917,810
0.02
38,699,043
0.23
2011
22,482,257
-5.46
14,059,715
-5.75
36,541,972
-5.57
2012
22,339,140
-0.64
14,090,110
0.22
36,429,250
-0.31
2013
22,095,252
-1.09
13,952,948
-0.97
36,048,200
-1.05
2014
21,903,063
-0.87
13,866,085
-0.62
35,769,148
-0.77
Rerata 22,520,189
-1.54
14,177,334
-1.42
36,697,523
-1.49
11
Tingginya jumlah penduduk yang sebagian besar berada
di pedesaan dan memiliki budaya kerja keras merupakan
potensi tenaga kerja di sektor pertanian. Sampai saat ini,
lebih dari 35 juta tenaga kerja nasional atau 26,14 juta
rumah tangga masih menggantungkan hidupnya pada
sektor pertanian. Besarnya jumlah tenaga kerja tersebut
belum tersebar secara proporsional sesuai dengan
sebaran luas potensi lahan serta belum memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk
pengembangan pertanian yang berdaya saing. Apabila
keberadaan penduduk yang besar di suatu wilayah dapat
di ngkatkan pengetahuan dan keterampilannya untuk
dapat bekerja dan berusaha di sektor produksi,
pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, maka dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas produksi
aneka komoditas pertanian bagi pemenuhan kebutuhan
pasar nasional dan dunia. Peningkatan kapasitas
penduduk dalam hal pengetahuan dan keterampilan
pertanian dapat juga dilakukan melalui penempatan
tenaga kerja pertanian terla h di daerah yang masih
kurang penduduknya dan penyediaan fasilitas pertanian
dalam bentuk faktor produksi, bimbingan teknologi serta
pemberian jaminan pasar yang baik (Renstra
Kementerian Pertanian 2015-2019).
Di samping itu kegiatan-kegiatan yang berorientasi
pengembangan kapasitas SDM dan kelembagaan
terutama petani terus menjadi prioritas, mengingat
masih rendahnya kualitas SDM pertanian. Secara
kuan ta f tenaga kerja untuk sub-sektor tanaman
pangan tersedia di pedesaan, namun ada kecenderungan
terus menurun dengan indikasi semakin berkurangnya
minat generasi muda di pedesaan untuk bekerja di subsektor pertanian.
Dari sisi sumber daya manusia, masih rendahnya kualitas
sumberdaya manusia pertanian merupakan kendala yang
serius dalam pembangunan pertanian, karena mereka
yang berpendidikan rendah pada umumnya adalah
petani yang nggal di daerah pedesaan. Kondisi ini juga
semakin diperparah dengan kurangnya pendampingan
penyuluhan pertanian.
Arah Kebijakan & Langkah Operasional
Salah satu regulasi pengembangan yang dapat
dilaksanakan demi terwujudnya kedaulatan pangan
maupun untuk meningkatkan kesejahteraan petani
adalah mengembangkan sektor pertanian yang
berpatokan pada berbagai macam regulasi terkait
dengan lingkungan. Selain itu, untuk mencapai sasaran
yang diharapkan perlu adanya regulasi dan kelembagaan
untuk mensinergikan upaya tersebut. Oleh karena itu,
regulasi dan kelembagaan dalam pembangunan
pertanian mutlak diperlukan, sehingga dak ada
tumpang ndih kewenangan dan peraturan perundangan
dari masing-masing kementerian/lembaga. Regulasi juga
diperlukan untuk melindungi pengembangan komoditas
usaha di bidang pertanian. Pengembangan pertanian
memerlukan dukungan agar tercipta iklim yang kondusif
melalui formulasi kebijakan dan pengamanan kebijakan
fiskal dan moneter (Renstra Kementerian Pertanian 20152019).
Langkah strategis yang harus dilakukan saat ini dan ke
depan adalah dengan menggerakkan seluruh elemen di
daerah melalui peran strategis pimpinan daerah
(gubernur, bupa /walikota, sampai ke ngkat kepala
desa), sehingga program peningkatan produksi beras
nasional yang telah didukung dengan fasilitas teknologi,
sarana dan prasarana produksi, dan dukungan
pembiayaan manajemen, dapat menjadi suatu gerakan
nasional dengan satu komando kebijakan untuk dapat
mencapai dan mengawal peningkatan produksi beras
nasional secara berkelanjutan, yakni menempatkan
pangan sebagai bagian menempatkan kepen ngan
rakyat, bangsa dan negara serta rasa nasionalisme.
Pendekatan kelembagaan telah menjadi strategi pen ng
dalam pembangunan pertanian. Pengembangan
kelembagaan pertanian baik formal maupun informal
belum memberikan peran berar di perdesaan. Hal ini
disebabkan oleh peran antar lembaga pendidikan dan
pela han, Balai Peneli an dan Penyuluhan (BPP) belum
terkoordinasi dengan baik. Fungsi dan keberadaan
lembaga penyuluhan cenderung terabaikan. Koordinasi
dan kinerja lembaga keuangan perbankan perdesaan
masih rendah. Koperasi perdesaan yang bergerak di
sektor pertanian masih belum berjalan op mum.
Keberadaan lembaga-lembaga tradisional di perdesaan
belum dimanfaatkan secara op mal.
Tantangan ke depan adalah bagaimana mengubah pola
pikir generasi muda kita terhadap pertanian, bahwa
masih banyak potensi pertanian yang masih belum
dimanfaatkan secara op mal. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tarik generasi
muda pada sektor pertanian adalah membangun
pertanian lebih maju dan modern berbasis inovasi dan
teknologi yang mampu menghasilkan produk yang
bernilai ekonomi nggi yang dibutuhkan pasar.
Membangun pertanian dalam konteks industri yang sarat
dengan inovasi dan teknologi yang menangani hulu
hingga hilir akan memberikan peluang yang besar dalam
menghasilkan aneka produk pertanian yang bernilai
ekonomi nggi. Pendekatan bioindustri pertanian
menjadi sangat pen ng dan strategis untuk mewujudkan
upaya tersebut. Jika kondisi tersebut dibangun di
p e rd e s a a n , t e n t u a ka n m e n c i p ta ka n ko n d i s i
perekonomian yang meningkat dan sangat menarik bagi
generasi muda untuk dak lagi pergi ke kota, bahkan
generasi muda yang telah bekerja di perkotaan akan
kembali ke perdesaan. Untuk itu beberapa hal pen ng
harus dipersiapkan di perdesaan, yaitu :
1. Membangun dan memperbaiki infrastruktur pertanian
di perdesaan,
2. Meningkatkan kapasitas SDM generasi muda pertanian
yang lebih baik, dan
12
3. Mendorong kebijakan dan regulasi
yang tepat terutama dalam kaitannya
dengan kepas an mendapatkan
lapangan kerja yang sesuai dengan
keahlian dan keterampilan para
generasi muda.
Langkah konkret untuk ini antara lain
menjaring sebanyak-banyaknya
siswa baru di sekolah-sekolah nggi
pertanian dalam lingkup
Kementerian Pertanian, yang diiku
dengan perbaikan kurikulum dan
revitalisasi sarana prasarana belajar
mengajar termasuk SDM pengajar.
Dalam rangka penguatan dan
peningkatan kapasitas SDM
pertanian tersebut, maka dapat
dilakukan upaya-upaya diantaranya
sebagai berikut:
Ÿ Pengembangan dan penguatan
kapasitas penyuluh pertanian
polivalen di ngkat lapangan dan
penyuluh pertanian spesialis di
ngkat kabupaten/kota, propinsi
dan pusat.
Ÿ Pela han bagi aparatur sesuai
dengan kebutuhan jenjang karir
PNS.
Ÿ Pela han bagi pengelola P4S dan
pengurus gabungan kelompok tani
(gapoktan) serta pelaku agrobisnis
lainnya dilaksanakan oleh UPT
Pela han, sedangkan pela han
bagi petani pelaku utama
agrobisnis dilaksanakan oleh P4S.
Ÿ Pendidikan Tinggi bidang Rumpun
Ilmu Haya Pertanian (RIHP)
diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan tenaga fungsional
Penyuluh Pertanian, Pengamat
Organisme Pengganggu Tanaman
(POPT), Paramedik Veteriner,
Pengawas Bibit Ternak (PBT),
Pengawas Mutu Pakan Ternak,
Pengawas Mutu Hasil Pertanian,
fungsional informasi pasar dan
karan na.
Ÿ Pendidikan menengah kejuruan di
bidang pertanian diarahkan untuk
memenuhi tenaga teknisi
m e ne ngah dan m e ny iapkan
6. ASN & Dilema Meritokrasi
M. Rizki Pratama, S. IAN.
BPI LPDP, PK-19
Mahasiswa Magister Administrasi Publik
Universitas Gadjah Mada
Reformasi birokrasi hanyalah means (metode/alat/cara
dalam mencapai sesuatu) dibanding ends
(hasil/tujuan/akhir dari penggunaan means). Birokrasi
harus menjadi sehat dan dak terus menerus merugikan
kita, seper red-tape (salah satu penyakit dalam birokrasi
yang dianalogikan sebagai pita merah yang berbelit-belit
dan rumit), patologi bahkan rent-seeking (perburuan
rente, adalah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh
para pengusaha atau aktor lain yang memiliki kekuasaan
untuk mendapatkan keuntungan tertentu dari sebuah
kebijakan publik, misalkan kolusi dan monopoli
terselubung). Melihat aktualitas dari semangat reformasi
birokrasi tentu ideologi yang sering berada di pucuk
sistem adalah penegakan meritokrasi untuk para
aparatur sipil negara (ASN) yang terlebih dahulu didasari
oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara (ASN). Salah satu amanat dari UU ASN
sebagai acuan utama civil service reform adalah
terlembaganya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Komisi tersebut menurut Prof. Mi ah Thoha (2014) salah
satu tujuannya ialah menjamin terwujudnya merit system
dalam kebijakan dan manajemen ASN.
wirausahawan muda di bidang
pertanian.
Harapannya semoga menjadi acuan
p e m b a n g u n a n p e re ko n o m i a n
bangsa serta mencapai kedaulatan
pangan bahkan sebagai pasar impor
dengan mengedepankan
kesejahteraan petani. (-)
REFERENSI
Riza Damanik, 2015.Hadapi MEA, Sektor Ketenagakerjaan
Perlu Terobosan. [online] Available at:
h p://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5364440aef459/ha
dapi-mea-sektor-ketenagakerjaan-perlu-terobosan [diakses
pada 11/11/2015]
Anonim, 2015. Mengapa Pertanian Itu Begitu Pen ng. [online]
Available at:
h ps://adventuspratama.wordpress.com/mengapa-pertanianitu-begitu-pen ng-di-perekonomian-indonesia/ [diakses pada
11/11/2015]
Doddy Rosadi, 2015. Se ap Tahun Setengah Juta Petani
Beralih Profesi. [online] Available at:
h p://www.suara.com/bisnis/2015/03/12/112428/se aptahun-setengah-juta-petani-beralih-profesi [diakses pada
11/11/2015]
Antonie Clianto, 2015. Kondisi Pertanian Indonesia. [online]
Available at: h p://antoniclianto.kinja.com/kondisi-pertanianindonesia-tahun-2015-1701689134 [diakses pada
11/11/2015]
Tri Yulianingsih, Malang, 2014. Faktor Beralihnya Tenaga Kerja
di Sektor Pertanian. [online] Available at:
h p://www.researchgate.net/publica on/50515514 [diakses
pada 11/11/2015].
Renstra Pertanian, 2015. RENSTRA. [online] Available at:
h p://www.pertanian.go.id/file/RENSTRA_2015-2019.pdf
[diakses pada 11/11/2015]
Lembaga non-struktural tersebut jelas untuk
menegakkan meritokrasi. Akan tetapi meritokrasi yang
dilakukan di Indonesia tentu harus berbeda, sebab
meritokrasi tak selamanya relevan dengan situasi sosial
negara. Pengalaman negara lain dapat dijadikan rujukan.
Pengalaman Perancis yang memang dikenal sebagai
color-blind state menjadi refleksi bersama ke ka ideologi
mengharuskan dak adanya perbedaan perlakuan
terhadap warga negara (non-diskriminasi) justru
membuat etnis dan ras tertentu menjadi terdominasi
oleh kelas lainnya (diskriminasi), bahkan dalam kerja
sehari-hari birokrasi terjadi tensi nggi antara para street
level bureaucrat dengan kelas warga lainnya seper para
migran yang seringkali meletupkan aksi-aksi brutal di
jalanan, birokrasi yang dak representa f di Perancis
membuat segelin r kelompok saja yang mampu
membawa kepen ngannya di atas kepen ngan orang
lain, menimbulkan ke mpangan yang membuat banyak
warga negara yang dak terakomodir kepen ngannya.
Studi dari Meier & Hawes (2009) juga menunjukkan
sistem rekrutmen dan seleksi yang ketat telah
menghasilkan kelompok homogen di sektor publik yaitu
kelompok kelas menengah atas akibatnya dak responsif
pada kelas lain apalagi jika ditambah dengan posisi
pres se pekerjaan di sektor publik yang lebih nggi di
Perancis. Meritokrasi menghadirkan pisau bermata dua,
menghadirkan dilema.
13
(illustration © thecompanion.in)
“Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree,
it will live its whole life believing that it is stupid.” - Albert EinsteinSebuah potret tentang sistem pendidikan dan sistem dunia kerja dewasa ini
Fakta tersebut patut menjadi
per mbangan bagi para pembuat
keputusan di KASN, ke ka berharap
banyak pada sistem merit yang
mampu menghasilkan aparatur
birokrasi yang kompeten dan netral.
Akan tetapi sejauh ini dak ada buk
yang benar-benar oten k untuk
m e n gata ka n b a h wa b i ro k ra s i
merupakan organisasi yang dapat
100% netral. Akibatnya sudah sering
kali aparat terseret oleh kepen ngan
golongan tertentu yang berakibat
munculnya pola-pola predatorian
alias perburuan rente.
Harus diingat bahwa republik ini
bukan berdiri di tanah Jawa,
pengalaman kehancuran komunitas
lokal akibat penyeragaman nama
desa dapat menjadi pemahaman
bahwa masing-masing daerah yang
begitu kaya dan luas memiliki
kultural sendiri yang tak dapat
dipaksakan perubahan secara
fundamental karena memakan
waktu yang telalu lama dan
cenderung berbiaya besar sebab
menyangkut konflik yang tak dapat
diprediksi secara pas nilai
kerugiannya. Hal ini juga disepaka
oleh Hughes (1994) bahwa harus ada
cultural milieu (lingkungan budaya)
dalam administrasi publik sebagai
kerangka reformasi birokrasi.
Seleksi jabatan pimpinan nggi yang
terbuka berbasis kompetensi tentu
sangatlah baik. Akan tetapi patut
untuk dicatat apakah calon-calon
yang tersedia hanya mewakili
golongan tertentu seper etnik dan
ras tertentu yang cenderung sudah
mapan dari masa lalu, jika seper itu
maka otoma s pembangunan yang
akan dieksekusi oleh birokrasi
nan nya akan cenderung eksklusif
membiarkan para kaum inklusif
untuk mendapatkan getah pahitnya
saja. Daerah Timur Republik ini
masih ada fenomena “palang” yaitu
bentuk protes masyarakat lokal pada
kinerja birokrasi dengan menutup
kantor birokrasi secara sepihak
karena dianggap dak mampu
m e n ga ko m o d a s i ke p e n n ga n
mereka. Birokrasi harus
representa f jika nilai berbeda antar
kelompok maka birokrat
melaksanakan diskresi (Meier &
Hawes, 2009).
diinginkan. Karena pada dasarnya
adil bukan penyamarataan, tetapi
juga mendorong golongan yang
berada di bawah untuk tetap
mendaptkan akses yang digunakan
untuk mengakomodasi kepen ngan
bersama. Republik ini jelas harus
diatur dengan cara-cara yang
dis nc ve. Pola-pola khusus sudah
terjadi ke ka para pakar banyak
berbicara tentang hubungan relasi
pusat dengan daerah melalui konsep
desentralisasi yang asimetris, bukan
penyeragaman kebijakan struktural
yang tentu sulit untuk dipaksakan
menjadi satu kesuksesan yang nyata.
Pengalaman banyak negara dak ada
kebijakan yang fits at all.
Tulisan ini hanya sebuah ide filosofis
bukan teknis agar para pengambil
kebijakan dak berharap terlalu
nggi pada konsep meritokrasi sebab
Republik ini sudah jelas memiliki
nilai-nilai yang akan saling
bertabrakan dengan konsep merit,
menimbulkan konflik
berkepanjangan yang tentu menjadi
kontraproduk f dengan semangat
reformasi birokrasi sendiri. Masalah
aksesibilitas sumber daya di Republik
ini masih menjadi masalah tanpa
adanya kebijakan afirma f dalam
birokrasi sehingga akan
menimbulkan dominasi kelompok
tertentu yang memang
mendapatkan kemudahan dalam
penguasaan akses. Jangan sampai
kebijakan reformasi birokrasi dangan
asas meritokrasi justru membuat
kelompok kecil lain tenggelam dalam
n d a s a n ke l o m p o k d o m i n a n .
Ingatlah birokrasi diciptakan untuk
memudahkan masyarakat
bersamaan dengan menciptakan
keadilan dan perlindungan bukan
sebaliknya. (-)
Kebijakan Afirma f
Sangat perlu untuk menelurkan
kebijakan afirma f yang bervariasi
untuk menghargai diversitas di
Indonesia, meskipun tetap dalam
koridor berbasis merit akan tetapi
juga memberikan kesempatan yang
adil bagi seluruh calon ASN untuk
mendapatkan jabatan yang
(illustration © gilad.co.uk)
14
7. Pemanfaatan Bonus Demografi melalui Pemberdayaan
Masyarakat Usia Produktif
Tenaga Kerja, Muhaimin Iskandar, permasalahan
Rizki Ananda, S.Pd.
BPI LPDP, PK-42
Master of Applied Linguistics, University of New South Wales, Australia
Independent Researcher and Writer dan Freelance English Teacher
Indonesia sebenarnya merupakan sebuah negara yang
memiliki keuntungan sangat banyak. Selain dianugerahi
belasan ribu pulau, Indonesia dilengkapi dengan
keberagaman budaya, agama, dan sumber daya alam,
Indonesia juga diproyeksikan akan mendapatkan bonus
demografi. Sebuah negara akan memperoleh bonus ini
ke ka angka penduduk dengan usia produk f (15-64
tahun) melebihi angka penduduk yang dak produk f.
Antara tahun 2020 dan 2030, penduduk dengan usia
produk f di Indonesia mencapai 70% dari total
keseluruhan penduduk Indonesia. Data kuan ta f ini
diperkuat oleh peneli an yang dilakukan oleh Badan
Pusat Sta s cs (BPS) dengan menggunakan parameter
Depedency Ra o (angka beban ketergantungan).
Peneli an ini menemukan bahwa dependency ra o
mengalami fluktuasi dari 50.5% pada tahun 2010
menjadi 48.6% pada tahun 2015 dan akan terus
mengecil pada tahun 2020 hingga 2030. Hal tersebut
berar apabila dikelola dengan baik, maka mayoritas
masyarakat Indonesia di tahun 2020-2030 akan mampu
menanggung kehidupan minoritas masyarakat
Indonesia. Seandainya ini terjadi, sudah barang tentu
masyarakat Indonesia akan menikma kesejahteraan
seper yang diharapkan oleh bapak pendiri bangsa ini
yang diterakan dalam pembukaan UUD 1945, pada
alenia keempat (4).
Namun apa yang diinginkan oleh pendiri bangsa ini untuk
masyarakat Indonesia masih jauh dari harapan. Salah
satu buk nya adalah meningkatnya lulusan Sarjana di
Indonesia tanpa diseimbangi dengan jumlah lapangan
kerja yang tersedia. Maka outcome dari fenomena ini
adalah meningkatnya jumlah pengangguran yang
hampir semua dari mereka adalah lulusan sarjana yang
merupakan golongan masyarakat dengan usia produk f.
Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas)
menunjukkan bahwa jumlah pengangguran sarjana pada
Bulan Agustus 2014 (495.143 orang), lebih nggi dari
bulan Agustus 2013 (434.185 orang), dan Agustus 2012
(445.836 orang). Peningkatan pengangguran sarjana ini
merupakan kecemasan bagi masyarakat Indonesia dan
ini harus segera ditanggulangi sebelum tahun 2020.
Agar permasalahan ini bisa teratasi, kita perlu
memahami faktor-faktor yang menyebabkan fenomena
pengangguran “intelektual/terdidik” terjadi. Pertama,
masih banyak lulusan perguruan nggi menyelesaikan
studi tanpa dibekali kompetensi yang sesuai dengan
permintaan pasar kerja. Menurut mantan Menteri
terbesar yang menyebabkan peningkatan tren
pengangguran di Indonesia dari tahun ke tahun adalah
kurangnya kompetensi yang diharapkan oleh pasar.
Sebagai contoh konkret beliau juga menambahkan
bahwa pada tahun 2010 sendiri terda ar sebanyak 4,12
juta pencari kerja, namun lowongan kerja yang tersedia
2,38 juta, akan tetapi yang terisi hanya sekitar 1,62 juta
orang, atau 70% dari angka total. Merujuk kepada
sta s k ini, kita juga dak bisa menafikan bahwa jumlah
lapangan pekerjaan hanya mencapai setengah dari
jumlah total pencari kerja. Akan tetapi, ironisnya lagi, dari
2,38 juta lowongan kerja yang tersedia, hanya 1,62 juta
orang yang memenuhi kualifikasi. Ar nya, kompetensi
lulusan perguruan nggi yang diharapkan oleh pasar
memang belum memadai.
Akar permasalahan lain yang menyebabkan tren
pengangguran di Indonesia semakin meningkat adalah
pola pikir (mindset). Berdasarkan diskusi dengan kolega
dan pengamatan di lapangan, penulis bisa
menyimpulkan bahwa kebanyakan masyarakat di
Indonesia, khususnya mahasiswa, masih menganggap
bahwa mereka hanya memiliki dua pilihan dalam hidup:
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk makmur atau
menganggur. Ternyata hipotesis ini dibuk kan oleh data
ilmiah yang membuk kan bahwa terjadi peningkatan
pelamar PNS dari 1.612.854 pelamar di tahun 2013,
menjadi 2.603.780 orang pada tahun 2014, kata kepala
(photo © kemlu.go.id)
(photo © cirebontrust.com)
Suasana antrian pendaftaran dan ujian CPNS
15
Biro Hukum, Komunikasi dan Informasi Publik (HKIP)
KemenPAN-RB Herman Suryatman. Peningkatan jumlah
pelamar PNS yang hampir satu juta orang dalam dua
tahun terakhir menjadi buk bahwa pembenahan pola
pikir merupakan keharusan yang dilakukan pemerintah
dalam menanggulangi pengangguran di Indonesia.
Faktor terakhir adalah kurikulum perguruan nggi yang
berorientasi kepada akademik yang berlebihan (Excessive
Academic-Oriented Curriculum). Pernyataan ini seraya
dengan ungkapan Penasihat Dewan Pendidikan Jawa
Timur Daniel Rosyid yang berargumentasi bahwa,
“Kurikulum S1 terlalu menekankan pada pengajaran
akademik, hasil akhirnya membuat mental sarjana hanya
mencari kerja saja, mereka dak memikirkan cara untuk
menciptakan lapangan kerja sendiri.” Kalau kita lihat di
lapangan, pernyataan Daniel Rosyid ada benarnya.
Contohnya, jurusan pendidikan Bahasa Inggris di salah
satu Universitas di Aceh cenderung mengajarkan
bagaimana lulusannya bisa menjadi guru PNS yang baik.
Sebenarnya tujuan ini sudah sangat benar, akan tetapi
lulusan perlu juga dibekali kompetensi untuk mampu
membuka lapangan kerja setelah lulus, seper membuka
kursus-kursus, pusat pendidikan, dan konsultan
pendidikan, sehingga lapangan pekerjaan akan menjadi
lebih luas.
Solusi untuk Diper mbangkan
Setelah memaparkan permasalahan diatas, penulis
mengajukan beberapa solusi yang hendaknya
diper mbangkan oleh pemerintah dan semua pihak
terkait. Solusi pertama adalah meningkatkan
kompetensi lulusan S1. Sebelum merumuskan kurikulum,
pemerintah sebaiknya merancang pemetaan kebutuhan
sesuai yang diharapkan pasar. Contohnya, pada akhir
tahun 2015, Indonesia akan menghadapi Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA). Tentu salah satu kebutuhan yang
dibutuhkan oleh semua lulusan adalah kecakapan
komunikasi dalam bahasa Inggris dan kecakapan inilah
yang harus dimiliki oleh semua lulusan S1 di Indonesia.
Kompetensi selanjutnya yang harus di ngkatkan adalah
kemampuan dalam menghasilkan barang-barang yang
berkualitas nggi dan kemampuan dalam memberikan
pelayanan yang maksimal (excellent service) bagi yang
berprofesi
s e b a g a i
pemberi jasa, (illustration © consulthingz.com)
seper dokter
dan guru.
Solusi yang
kedua adalah
m e n a n a m ka n
m o
v a s i
wirausaha
kepada se ap
lulusan S1,
dengan memasukkan mata kuliah yang berorientasikan
bisnis, seper “English for Business” pada jurusan
pendidikan Bahasa Inggris. Ke ka usaha-usaha mulai
menjamur, maka akan terbukanya peluang kerja yang luas
bagi lulusan S1 dan situasi kehidupan masyarakat di
Indonesia akan stabil. Berdasarkan Kementrian
Keuangan, untuk mencapai situasi ideal di Indonesia,
maka maka 2% dari total penduduk harus menjalankan
usaha yang mampu membuka lapangan kerja. Ini
seharusnya menjadi prioritas utama dalam
pemerintahan Joko Widodo yang menggembargemborkan Revolusi Mental. Jadi, sudah seharusnya
pemerintah merumuskan kurikulum pada ngkat
perguruan nggi yang mampu merubah mental
mahasiswa dari mental pencari kerja kepada mental
mendirikan usaha sendiri.
Solusi yang ke ga adalah mempercepat pertumbuhan
ekonomi karena diperkirakan bahwa 1 persen
pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lebih dari
350.000 kesempatan kerja. Beberapa cara untuk
m e n i n g kat ka n p e r t u m b u h a n e ko n o m i a d a l a h
memberdayakan lulusan sarjana (university graduate
empowerment) dengan memberikan pela han-pela han
dalam mengolah sumber daya alam yang terdapat pada
tempat mereka nggal, seper bagaimana untuk
mendiversifikasi produk, dan pela han dalam
meningkatkan kemampuan pemasaran (marke ng skill).
Langkah lain adalah memberikan dukungan kepada
lulusan sarjana yang menggelu usaha usaha mikro,
seper memudahkan proses dalam mengambil kredit
usaha sehingga usaha yang dijalani masyarakat akan
mudah untuk berkembang dan pada akhirnya mampu
berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi negara Indonesia yang tercinta ini.
Meskipun masih banyak solusi yang bisa diambil oleh
pemerintah, akan tetapi ke ga solusi di atas sebaiknya
diper mbangkan oleh pemerintah untuk
diimplementasikan. Sehingga diharapkan bonus
demografi yang akan dinikma oleh Indonesia akan
benar-benar menjadi sebuah anugrah yang bisa
membawa kesejahtraan dan kemakmuran bagi bangsa
Indonesia. (-)
16
(illustration © jobcircle.pk)
8. Cerdas Saja Tidak Cukup
tersebut didapat tujuan utama manajemen talenta
paling banyak adalah sebagai berikut:
Abdul Aziz Luthfi, S.Pd.I.
BPI LPDP, PK-25
Magister Manajemen, Universitas Indonesia
Supervisor Recruitment and Training Development
Ÿ Mengembangkan karyawan yang berpotensial nggi,
Is lah manajemen talenta sudah semakin umum dan
populer dalam pengembangan sebuah organisasi.
Menurut Smilasnky dalam bukunya Developing
Execu ve Talent, manajemen talenta itu pen ng karena
berkaitan dengan memosisikan orang yang tepat di
pekerjaan yang tepat. Kesesuaian tersebut berhubungan
dengan beberapa faktor yang harus diperha kan, yaitu
mulai dari bagaimana merekrut, menempatkan,
mengembangkan, dan menjaga kinerja
karyawan yang berkompetensi dan berpotensi
nggi.
Ÿ Mengembangkan calon senior manajer di masa
Ÿ
Ÿ
Ÿ
Ÿ
depan,
Memungkinkan tercapainya tujuan strategis
perusahaan,
Mempersiapkan kebutuhan keterampilan di masa
depan,
Menjadi daya tarik dalam merekrut key person,
Mempertahankan karyawan kunci (key staff).
Faktor pertama tersebut merupakan pintu
pertama karyawan memasuki organisasi.
Perekrutan juga langkah yang paling kecil costnya bila dibandingkan faktor yang lain. Menurut
Douglas Bray, seorang filsuf di bidang industri,
lebih fokus pada perekrutan adalah lebih baik
dari pada fokus pada pengembangan. Ini karena
pengembangan bukanlah tugas yang mudah
akibat beberapa atribut kepribadian yang dak
dapat dikembangkan. Oleh karena itu merekrut
mereka dengan keterampilan yang tepat lebih
efisien bagi organisasi daripada
mengembangkan keterampilan mereka.
Sebuah survei yang diselenggarakan Chartered
Ins tute of Personal and Development di London
pada tahun 2006 menunjukkan respon posi f
terhadap manajemen talenta. Dari survei
Hasil survei Chartered Institute of Personal
and Development di London, 2006
17
Tantangan-tantangan
Mempunyai orang-orang yang
berkompetensi dan berpotensial
merupakan salah satu konsep ideal
bagi sebuah organisasi. Seringkali,
kualifikasi kompetensi didasarkan
p a d a n g ka t p e n d i d i ka n d a n
prestasinya. Menurut Guarino
(2007), kecerdasan saja dak cukup
s e k a r a n g , ke c e r d a s a n h a n y a
merupakan salah satu bagian. Ini
menjadi tantangan tersendiri bagi
sebuah organisasi dalam mengisi
tubuhnya sesuai prinsip the right
person for the right job.
Ta nta n ga n b e r i ku t nya a d a l a h
mengingat bahwa sebenarnya
potensi, kinerja dan kesiapan
bukanlah hal yang sama.
Mendapatkan karyawan dengan
kompetensi dan potensi nggi akan
membawa kesenjangan ke ka dak
diiku dengan bagaimana
mempersiapkan mereka. Terkait hal
tersebut, Bussi dan McMurrer
mengatakan mereka yang berpotensi
membutuhkan mentoring, tugas
tambahan, dan pengembangan
personal untuk membangun
keterampilan in mereka.
Selanjutnya, mendapatkan dan
mengembangkan para berpotensial
saja masih belum cukup. Organisasi
m a s i h m e m p u ny a i ta n ta n ga n
membangun komunikasi untuk
menarik para super talent dan
mempertahankan yang sudah ada.
Smilansky dalam bukunya
D e v e l o p i n g E x e c u v e Ta l e n t
berpendapat bahwa dengan
pengelolaan karir dan
pengembangan potensi bisa menarik
dan mempertahankan the best talent
di tengah persaingan yang nggi
9. Ekspektasi Dunia Kerja
Indonesia Terhadap Lulusan
Pendidikan Tinggi (S2 & S3)
Handika Prasetya Dwiyasni, S.T., M.Sc.
BPI LPDP, PK-09
Sustainable Process Engineer, University of Twente
bersama Tim Divisi Talent Hub & Strategic Partnership, MATAGARUDA
Sejak pengelolaan beasiswa oleh Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan (LPDP) berjalan, kesempatan untuk mendapatkan
beasiswa master maupun doktoral terbuka untuk semua
kalangan. Hingga kuartal I 2015, total penerima beasiswa
LPDP sudah mencapai 6.800 orang. Salah satu poin yang unik
dari beasiswa ini adalah dak adanya ikatan kerja setelah
kelulusan penerima beasiswa dan hanya diikat oleh klausul
“kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi” pada
kontrak. Kondisi yang cukup “fleksibel” ini menjadi daya tarik
tersendiri, terbuk dari jumlah pelamar dan penerima
beasiswa yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini
pun sejalan dengan target awal LPDP untuk meningkatkan
rasio lulusan pendidikan master dan doktoral terhadap
jumlah penduduk, dimana Indonesia sendiri masih ter nggal
dengan negara tetangga di kawasan ASEAN, seper Singapura
dan Malaysia.
Jika target kuan tas telah terpenuhi, maka tantangan
selanjutnya adalah bagaimana memaksimalkan potensi
sumber daya manusia tersebut sesuai dengan kapasitas dan
keahlian mereka, sesuai dengan roadmap jangka panjang
pembangunan negara. Namun tujuan di atas bukanlah hal
yang mudah, mengingat belum adanya arahan khusus dari
pemerintah mengenai keahlian apa yang dibutuhkan untuk
masa sekarang. Ini salah satunya bisa
berupa bentuk penghargaan atas
kinerja mereka.
Kesimpulan
Untuk mencapai sebuah organisasi
dengan kinerja nggi perlu didukung
karyawan-karyawan yang
berkompetensi, dan berpotensi
nggi. Kecerdasan dan prestasi saja
dak cukup untuk mengukur
kesiapan mereka terjun di dunia
kerja. Karyawan yang menjadi kunci
organisasi tersebut harus terus
didukung perkembangannya baik
dari kompetensi maupun jenjang
karir mereka. Selain itu, keberadaan
para key people ini perlu dijaga
komitmen dan mo vasi mereka
dengan komunikasi yang baik dari
organisasi melalui penghargaan dan
pengakuan. (-)
menunjang
rencana jangka
p a n j a n g
tersebut. Hal ini
diperparah pula
d e n g a n
kenyataan
bahwa rata-rata
keputusan
seseorang untuk
melanjutkan
pendidikannya ke jenjang master maupun doktoral
didasarkan pada personal intererst, yang dapat dirangkum
menjadi ga paradigma umum, yaitu:
1. Keinginan untuk menekuni dunia akademik baik
sebagai peneli maupun dosen pengajar,
2. Terbukanya kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan setelah menyelesaikan ngkat sarjana
ke ka proses seleksi pekerjaan belum selesai ataupun
belum mendapat panggilan kerja, dan
3. Keinginan untuk menaikkan daya saing personal (bagi
yang sudah bekerja) dalam menghadapi kompe si
kenaikan jabatan di dunia kerja dimana jenjang
pendidikan merupakan salah satu faktor
per mbangan yang pen ng.
Ke ga paradigma di atas memiliki nilai posi f dan nega fnya
masing-masing. Poin pertama memiliki ngkat linearitas
keilmuan yang paling nggi dibandingkan poin lainnya.
Namun perlu diingat jika kebutuhan posisi dosen pengajar,
peneli , ataupun jumlah universitas yang ada lebih sedikit
dibandingkan penambahan jumlah lulusan S2 maupun S3,
maka akan terjadi kondisi oversupply yang dapat berakibat
18
“Boleh saja rekrut kualifikasi S2, tapi bukan di bidang teknis.
Tidak ada profesor sekalipun di Indonesia yang lebih tahu
masalah perkeretaapian daripada orang kereta api itu sendiri.
Jadi level S2 yang dicari lebih ke orang dengan kualifikasi dan
pengalaman di bidang business development mengingat aset
kereta api yang magnificent,” Vice President PT KAI.
(illustration © bannerenergy.net)
nega f terhadap career path di dunia akademik dan lembaga
peneli an. Poin kedua berada pada posisi yang cukup riskan,
mengingat penerima beasiswa seper ini dapat “terjerumus”
untuk terjun ke dunia akademik tanpa direncanakan maupun
mencoba untuk bersaing mendapatkan pekerjaan dengan
lulusan sarjana karena sama-sama belum memiliki
pengalaman kerja. Poin nomor ga memiliki risiko yang
tergolong paling rendah mengingat mereka sudah memiliki
pengalaman kerja dan sudah lebih mengetahui kondisi pasar
yang ada.
Berdasarkan paparan di atas, sudah siapkah pasar kerja di
Indonesia menyerap seluruh potensi-potensi di atas?
Mampukah kita keluar dari paradigma di atas dan mulai
merambah pemanfaatan exper se yang sesuai dengan studi
yang diambil para penerima beasiswa? Tulisan ini akan
memberikan ulasan singkat terkait ekspektasi pasar kerja
terhadap lulusan S2 dan S3 (di luar dunia akademik dan
lembaga peneli an) dari beberapa pe nggi instansi-instansi
yang berpengaruh di Indonesia, seputar apakah mereka
tertarik untuk merekrut lulusan minimal S2 dan posisi apakah
yang cocok dengan kualifikasi pendidikan tersebut.
Pengalaman Kerja Lebih Diutamakan Dibandingkan Level
Pendidikan
“Tertarik sekali jika ada talent pool S2, apalagi link nya sudah
terbentuk tanpa harus jalur yang resmi (publikasi di linkedin /
jobstreet dsb - red). Sudah berpengalamankah? Dapat
diu lisasi untuk keperluan tenaga ahli dan merancang grand
design jangka panjang,” Andi Wibisono - Direktur SDM &
Umum PTPN IV.
“Lulusan S2 sebaiknya sudah berpengalaman kerja, karena
dengan begitu mereka tahu jurusan yang mereka ambil untuk
keperluan apa berdasarkan apa yang mereka alami selama di
dunia kerja, bukan hanya sekedar ikut-ikutan saja atau
meneruskan apa yang mereka ambil di S1,” Iman Nugroho
Soeko-Direktur Treasuri BTN.
“Untuk Oil and Gas, yang lebih ditekankan adalah pengalaman
kerja. Lulusan S2 memang memiliki added value, tetapi secara
jalur masuk akan sama saja berdasarkan lamanya bekerja. Dan
yang disebut berpengalaman kerja minimal 5 tahun untuk oil
and gas,” Tia Nas
Ardianto - Senior Manager Talent
Management Division Medco Energy.
“AECOM tertarik untuk merekrut lulusan S2, terutama ke ka
sang pelamar telah memiliki pengalaman kerja. Posisi atau
jabatan sesuai dengan jurusan dan pengalaman kerja kandidat.
Kami memiliki beberapa business lines (building & places,
transporta on, building engineering, environment, energy,
water & urban development) dan masing-masing jabatan dari
business lines tersebut memiliki persyaratannya,” Heryan
Aulia Dewi – Human Resources AECOM Indonesia.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan
lebih memilih untuk merekrut karyawan yang
berpengalaman karena sudah terbuk hasil kerjanya di
dunia profesional, terlepas dari seberapa nggi latar
belakang pendidikannya. Sisi lainnya yang dapat dipe k
adalah pola dan etos kerja karyawan yang berpengalaman
sudah terbentuk, sehingga meminimalkan biaya yang harus
dikeluarkan perusahaan dalam hal pengembangan SDM
perusahaan.
Lebih baik menyekolahkan pendidikan nggi ke karyawan
internal sesuai dengan kebutuhan perusahaan
“Kebutuhan lulusan S2 di Kementerian Keuangan (khususnya
di Sekretariat Jenderal) diperlukan hanya untuk lulusan S2
yang merupakan S2 profesi, misalkan psikolog. Untuk lulusan
S2 yang bukan profesi, dak terlalu dibutuhkan. Hal ini
dikarenakan pimpinan merasa lulusan S2 dak dapat bekerja
sesuai dengan harapan pimpinan. Oleh karena itu, pimpinan
lebih memilih melakukan rekrutmen lulusan S1 untuk dididik,
kemudian disekolahkan sesuai dengan bidang kerjanya, dan
kemudian akan kembali ke kantor untuk bekerja lebih baik,”
Dini Kusumawa – Tenaga Pengkaji Bidang Perencanaan
Strategik Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
a oleh salah satu
Ulasan yang lebih menarik dikemukakan
psikolog yang memiliki spesialisasi di bidang talent
management. Ada empat poin pen ng yang beliau sampaikan,
yaitu:
a. “Basic company itu kan bo om line-nya selalu
mengenai profit, jadi cost selalu ditekan. S2 umumnya
meminta gaji lebih nggi dari S1. Perusahaan berpikir
jika bisa mendapatkan S1 yang dapat bekerja dengan
bagus, kenapa harus hire S2 dengan cost yang lebih
besar? Ini mungkin terkait juga dengan lulusan S2 yang
belum dapat memberi perbedaan yang signifikan di
dunia nyata pekerjaan.”
b. “Efek competency-based talent management
membuat perusahaan lebih fokus ke kualitas
kompetensi, bukan level edukasi.”
c. “Perusahaan yang berbasis management trainee
program untuk entry level merasa lebih bisa
membentuk lewat program mereka sendiri daripada
19
(illustration © cranfield.ac.uk)
merekrut S2. Program tersebut terbuka untuk lulusan
S1 maupun S2 tanpa ada perbedaan treatment
tertentu.”
d. “Belum maksimalnya peran organisasi profesi. Ini
berlaku pada profesi-profesi tertentu yang seharusnya
diatur oleh organisasi profesi. Contoh yang baik adalah
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku organisasi profesi
dokter yang betul-betul berfungsi mengontrol peran
dokter. Namun untuk profesi lain seper psikolog
ataupun akuntan belum maksimal.”
Hal yang sama pun terjadi pula pada sebagian besar
perusahaan minyak dan gas (migas) yang menjadikan
pengalaman kerja di lapangan sebagai prioritas. Sebagai
contoh, Pertamina telah memiliki program beasiswa khusus
untuk pegawainya, namun yang terpilih adalah mereka yang
telah memiliki pengalaman kerja. Di Chevron pun pekerja yang
dapat beasiswa juga telah bekerja selama 7 tahun, sehingga
ke ka sekolah sudah diketahui orientasi kebutuhan studinya.
(illustration © profacts.be)
Perusahaan swasta seper CIMB Niaga bahkan memiliki
graduates program tersendiri dengan kualifikasi minimal S2.
Perbedaan yang dimiliki program mereka dengan jalur
management trainee pada umumnya adalah jalur fast track
dan assignment yang lebih berbobot, sehingga kenaikan karir
karyawan akan lebih cepat. Mereka pun menganggap
persaingan dalam memperebutkan talent terbaik (talent war)
sudah semakin sengit di Indonesia.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
perusahaan swasta, terutama mul na onal company lebih
siap terhadap pasar kerja dengan kualifikasi minimum S2.
Mereka memiliki segregasi yang jelas dari segi assignment
yang diberikan walaupun belum sepenuhnya menjamin
perbedaan yang signifikan dari segi gaji dan benefit lainnya
dari perusahaan. Sisi lainnya yang dapat dipe k dari kondisi
ini adalah mul na onal company berpotensi memenangkan
(lagi) talent war yang terjadi di Indonesia. Lalu, kemanakah
BUMN dan perusahaan lokal lainnya dalam persaingan
tersebut? Mampukah mereka beradaptasi dan
mengumpulkan talenta-talenta terbaik bangsa untuk
berkontribusi langsung terhadap pembangunan negeri?
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan
lebih memilih untuk membuat program jangka panjang
tersendiri di internal perusahaan dalam hal pela han dan
pengembangan karyawannya. Dengan mekanisme seper ini,
mereka yakin bahwa kemampuan karyawan mereka adalah
kemampuan yang dibutuhkan perusahaan. Sisi lainnya yang
dapat dipe k dari kondisi ini adalah adanya potensi
ke dakcocokan antara pengetahuan dan kemampuan yang
diajarkan di dunia akademik (dalam hal ini pendidikan sarjana
dan/atau politeknik) dengan pengetahuan dan kemampuan
yang dibutuhkan perusahaan, sehingga perusahaan merasa
perlu membuat sebuah pola pela han yang sesuai.
Ÿ
Perusahaan kami siap merekrut profesional untuk kualifikasi
minimal S2
Apakah terjadi mismatch keahlian dan skill antara dunia
pendidikan dan dunia kerja?
Ÿ
Apakah program studi mahasiswa saat proses seleksi
beasiswa sudah sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan
untuk pembangunan jangka panjang di Indonesia?
Ÿ
Apakah memungkinkan adanya penambahan persyaratan
pelamar beasiswa master dan doktoral dari segi
pengalaman kerja?
Ÿ
Apakah ada segregasi level pendidikan untuk berbagai
posisi/jabatan di se ap ins tusi (universitas, BUMN,
perusahaan swasta, lembaga peneli an, dsb)?
Ÿ
Apakah perusahaan tertarik untuk membuka divisi
Research and Development (R&D) internal?
Ÿ
Apakah para lulusan sarjana telah berpikir matang terkait
career path yang ingin ditempuh sebelum memutuskan
untuk mengambil pendidikan master dan doktoral? (-)
“Ya kami tertarik untuk merekrut lulusan S2 namun untuk S3
akan kami lihat dulu apakah sesuai dengan ekspektasi kedua
belah pihak (kandidat dan perusahaan). Posisi yang cocok yaitu
managerial level,” Indriarni Pramaningrum - Recruitment
Specialist Unilever Indonesia.
“Ya, sebagai perusahan mul na onal company global, kami
pas sangat tertarik merekrut lulusan S2 bahkan S3 untuk
posisi tertentu. Perusahaan kami sudah sangat siap menerima
lulusan S2 maupun S3 tersebut karena saat ini pun sudah
banyak yang bekerja di perusahaan. Posisinya bervariasi,
namun untuk lulusan S2 biasanya minimal di level manajer ke
atas,” Ade Gus an Yuwono - Head of OTC Novar s Indonesia.
Sudah saatnya para pemangku kebijakan untuk mulai
mengarahkan prioritas pengelolaan beasiswa dari kuan tas
menjadi kualitas. Mereka sebaiknya duduk bersama dengan
para pe nggi perusahaan, akademisi, LPDP berserta
alumninya untuk melakukan brainstorming dalam hal
pemetaan grand design SDM Indonesia. Beberapa isu yang
layak untuk dijadikan bahan diskusi karena menyangkut
kebutuhan lintas sektoral adalah:
20
(illustration © personalbrandingblog.com)
10. Sinergi LPDP & Alumninya dengan Institusi
Pemerintahan; Saat Kata Menerjemahkan Sketsa
Agustina Kusuma Dewi, S.Sos.
BPI LPDP, PK-37.
Magister Desain, ITB
Dosen di DKV Unpas dan FSRD ITENAS Bandung
Sejak terminologi kata Desain Komunikasi Visual
diperkenalkan di Indonesia sekitar tahun 90an, pro dan kontra
pun merebak, dan hal itu kerap kali diperdebatkan sampai
sekarang. Siapa yang merambah pada siapa – apakah desain
pada komunikasi atau komunikasi pada desain, di tengah
pujian dan pengharapan yang berkumandang yang diiku pula
oleh protes yang dimaknai dengan berbagai pemahaman –
kredibilitas dan kompetensi profesi ini banyak dipertanyakan
baik oleh para prak si maupun akademisi. Unsur komunikasi
yang dilibatkan mendapat sorotan, karena terminologi kata
Desain Komunikasi Visual bisa menimbulkan ambiguitas
makna – padahal di negeri luar profesi ini masih tetap disebut
sebagai Graphic Design, atau seper yang dinyatakan oleh
Richard Saul Wurman sejak tahun 1976 – architect
informa on.
Ke ka David Ogilvy menyatakan bahwa what to say lebih
pen ng daripada how to say, dari sisi ilmu komunikasi Harold
Lasswell mengemukakan formula Who Says What in Which
Channel to Whom With What Effect sambil memberi
penekanan bahwa per mbangan dan pemilihan how to say
menentukan efek vitas penyampaian what to say pada
audiens. How to Say diar kan sebagai saluran komunikasi yang
digunakan, dan bentuk media yang dijadikan kendaraan untuk
memperkuat struktur isi pesan atau content.
Ke ka Max Bruinsma menyatakan bahwa seniman dan
desainer bisa dikatakan sebagai informa on agents – ar nya
mereka memperdagangkan makna, mengedarkan gagasan,
konsep dan pemikiran – diwujudkan menjadi susunan-susunan
visual dan diimbuhkan konteks – singkatnya, mereka
mengentalkan informasi menjadi kebudayaan (Bruinsma, Max.
Design Interac ve Educa on. 1997), Wibur Schamm
mengungkapkan bahwa secara garis besar dalam proses
komunikasi, pesan adalah pernyataan yang didukung oleh
lambang, merupakan paduan pikiran dan perasaan (ide,
informasi, himbauan, perintah, larangan, keluhan, dsb),
dimana lambang dapat berupa verbal/bahasa (lisan mau pun
tulisan), atau pun non-verbal (visual, isyarat, gerak tubuh,
mimik). Dalam hal ini, ide atau gagasan yang disampaikan bisa
dikomunikasikan dalam bentuk gambar atau simbol atau
lambang dan tanda yang bermakna. Karena adanya unsur seni
yang didominasi oleh perasaan sekaligus unsur komunikasi
yang dilandasi kesadaran, maka gambar, simbol, lambang atau
tanda yang bermakna ini memerlukan jembatan untuk dapat
dimaknai dengan terarah sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai.
Salah satu jembatan yang digunakan adalah komunikasi dan
berbagai konsep yang menyertainya (mulai dari konsep
21
komunikasi sebagai proses siklis untuk menyamakan makna
sampai pada konsep media dan karakteris knya) yang
memberikan wacana sebagai landasan yang menyertai studi
akademik lain dalam kajian ilmu desain. Dalam informasi yang
dibangun dan dikembangkan melalui sistem jejaring
komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat, manakala
t e r j a d i s i t u a s i m a k n a d i p e r d a ga n g ka n d a n / a t a u
diinformasikan dalam
bentuk visual, sifat
p e rs u a s i f s e ka l i g u s
informa f terjadi secara
bersamaan pada proses
di dalamnya. Ke ka
informasi menjadi rumit
dengan banyak konsep
dan kata-kata struktural,
visualisasi bisa
m e m b a n t u
menguraikan kerumitan
dan menguraikan
kekusutan makna yang
mungkin terjadi.
Sebaliknya, informasi yang dituangkan dalam bentuk desain
gambar saja kadang dak cukup untuk menyamakan kerangka
berpikir antara komunikator dengan komunikan atau klien si
desainer sebagai produsen produk/jasa dengan konsumen. Di
sanalah term (ilmu) komunikasi berperan—sebagai kata yang
menerjemahkan sketsa. Menerjemahkan dalam ar an
menguraikan grafis menjadi huruf-huruf yang bisa dimaknai
sama karena sifat konsumsinya yang ditujukan pada
publik—atau secara
komunikasi lisan sekaligus
juga untuk mencegah
terjadinya double meaning
yang keluar dari konteks.
S e ka ra n g ya n g m e n j a d i
pertanyaan adalah
bagaimana selanjutnya para
desainer dengan profesi
m e r e k a m a m p u
menggunakan komunikasi
sebagai salah satu senjata
andalan untuk mendukung
kerja dan karya mereka di
dunia nyata—sehingga pada
akhirnya, dunia desain menjadi lebih kuat dan sarat nuansa
ilmu tanpa harus kehilangan akarnya sebagai seni dan budaya
yang tentunya bukan hanya emosional, namun juga
terstruktur dan rasional?
LPDP melalui beasiswa Magister telah memberikan ruang
kemungkinan untuk menemukan ragam kontribusi terkait
pertanyaan di atas. Dengan beasiswa yang diberikan untuk
mahasiswa yang melanjutkan studi pada bidang keilmuan
Teknik dengan salah satu konsentrasinya adalah Desain, maka
sangat mungkin adanya sinergi untuk pengembangan aplikasi
desain yang berlandaskan pada teori dan konsep dasar
bagaimana terjadinya sebuah proses komunikasi (pada
khalayak) – sehingga, ada
k temu pemahaman antara
Desain + Komunikasi + Visual = Desain Komunikasi Visual yang
kemudian bisa diimplementasikan secara aplika f untuk
mendukung efek vitas informasi dari pemerintah – misalkan
saja pada Divisi Humas di Instansi Pemerintah dan/atau
Depkominfo RI – salah satunya misalnya melalui Infografis
(penyajian data/informasi dalam bentuk grafis).
Saat ini, era ”pictorial
turn” yang tengah
menggejala sangat
mungkin menggiring
masyarakat pada
budaya visual. Namun
realitanya, adanya
berbagai dimensi dalam
komunikasi yang
mungkin dalam
prosesnya bisa
berbentuk intrapersona,
antarpersona,
kelompok, massa,
sampai pada komunikasi
antarbudaya yang bersifat mul kultur dan mul dimensi;
dengan pesan visual yang dak efek f, mereka dapat
mengakhiri sebuah hubungan komunikasi yang sudah terjalin
sebelumnya. Pada akhirnya, ke ka kemajuan teknologi serta
percepatan perkembangan peradaban manusia sering
menimbulkan gap komunikasi secara verbal, pesan visual
menjadi komponen pen ng terciptanya kesamaan makna
sebagai hakikat dari proses komunikasi. Ke ka pesan visual
sebagai bentukan komunikasi
nonverbal saja pun kemudian
m e n i m b u l k a n b e r b a ga i
persepsi dan menciptakan
mul -tafsir, maka tetap saja
diperlukan adanya kata
sebagai penerjemah sketsa.
Dengan adanya sinergitas
yang selaras antara alumni
LPDP yang mengambil studi
Desain khususnya Desain
Komunikasi Visual dengan
pemerintah, maka bukan tak
(illustration © cnafinance.com)
mungkin alumni LPDP dalam
bidang Desain yang
memahami konsep disiplin dalam komunikasi (communica on
is irreversible) dan di ”yakini” tahu apa yang dibutuhkan untuk
mencapai sebuah pesan komunikasi yang efek f, dan
diharapkan dapat membangun saluran terjalinnya sebuah
sinergi antara teori komunikasi dan aplikasi desain yang krea f
sehingga menciptakan terobosan karya desain komunikasi
visual yang mampu menciptakan komunikasi efek f sebagai
tuntutan dunia informasi dalam tatanan komunikasi massa –
bahkan ngkat tertentu komunikasi poli k – yang semakin
berkembang dan memerlukan pembentukan citra khalayak
yang posi f berkaitan dengan persepsi ide dan/atau gagasan
yang akan dikomunikasikan pada masyarakat. (-)
22
11. Sistem Lifelong Learning
untuk Mobilitas Sosial and
Industrial Upgrading
Rully Prassetya, SE, MPP, MSc.
BPI LPDP, PK-01
University College London
Macroeconomics, Development Policy, and Governance
Pemerintah Indonesia telah berupaya
untuk meningkatkan ngkat par sipasi
sekolah dan kualitas pendidikan melalui
program ser fikasi guru, perbaikan
kurikulum, Bantuan Operasional Sekolah
(BOS), anggaran pendidikan 20%, serta
program lainnya. Namun sayangnya, hal
ini dak cukup untuk memas kan
adanya mobilitas sosial (upward social
mobility) pada masyarakat. Pada saat ini,
orang-orang yang bekerja pada level
keahlian rendah, seper seorang office
boy, cleaning service, pelayan toko,
satpam, dan lain-lain, cenderung untuk
terhen (stuck) pada level pekerjaan
keahlian rendah tersebut. Sekali mereka
masuk pada profesi itu, sangat besar
kemungkinan bahwa mereka akan
berada pada profesi itu untuk
seterusnya. Untuk itu perlu ada
perubahan mindset di tataran
pengambilan kebijakan bahwa belajar
dak terhen pada lembaga formal saja.
Selain itu, diperlukan sistem yang
memas kan orang yang pada awalnya
merupakan orang yang kurang
beruntung, baik karena ekonomi
keluarganya maupun karena sebab
lainnya, mendapat kesempatan untuk
meningkatkan skill mereka pada saat
mereka sudah berada di dunia kerja.
Sistem di Singapura yang bernama
lifelong learning concept dapat menjadi
r u j u ka n . Ko n s e p i n i m e n j a d i ka n
perusahaan sebagai learning center bagi
para pekerja. Berdasarkan konsep ini,
para pekerja akan terus mendapatkan
pela han sehingga keahlian mereka
pada suatu bidang semakin meningkat
atau mereka dapat mempelajari
keahlian baru agar mereka dapat pindah
pada pekerjaan yang lebih produk f.
Sebagai contoh, seseorang yang saat ini
bekerja sebagai office boy, jika ia
memiliki minat untuk menjadi seorang
koki atau pengusaha restoran, maka ia
dapat mengiku pela han sebagai koki
dan pengusaha restoran. Oleh karena
itu, seseorang yang pada awal karirnya
'terpaksa' menjadi seorang office boy
memiliki kesempatan untuk move on.
Berikut adalah gagasan prak s dari
model lifelong learning Singapura
tersebut (Lim, 2015).
P E R TA M A , a d a n y a C o n n u i n g
Educa on and Training (CET) Master
Plan. Indonesia membutuhkan sebuah
master plan yang memas kan
tersedianya infrastruktur CET serta
adanya keterkaitan antara pendidikan
pada masa sebelum bekerja (preemployment) dengan ins tusi CET.
Selain itu, ins tut pendidikan bagi orang
usia dewasa (Ins tute of Adult Learning)
juga dapat disiapkan sehingga tersedia
supply pendidik bagi orang usia dewasa.
Di lingkungan eksternal yang terus
b e r u b a h , m a ste r p l a n i n i p e r l u
berprinsip flexible, result-oriented, dan
integrated.
KEDUA, penciptaan Industry-Based
training. Perusahaan mul nasional atau
perusahaan besar cenderung memiliki
sistem in-house training center yang
cukup baik. Pemerintah dapat
melakukan akreditasi terhadap training
center perusahaan ini sehingga ia
menjadi sebuah Approved Traning
Di era yang penuh kompe si, cepat
berubah, dan terintegrasi dengan
perekonomian global ini, seorang
p e ke r j a j u ga p e r l u u n t u k t e r u s
mendapatkan pela han agar
keahliannya bertambah dan dapat
b e ra d a pta s i d e n ga n p e r u b a h a n .
Berbagai inisia f integrasi
perekonomian seper ASEAN Economic
Community, Trans-Pacific Partnership,
dan inisia f lainnya memberi tantangan
bagi para pekerja untuk meningkatkan
kompetensi dan produk vitas mereka.
(illustration © assignmentpoint.com)
23
Suasana training pegawai dan pelajar di sebuah perusahaan di Singapura
O r g a n i z a o n ( ATO ) y a n g d a p a t
memberikan training bagi perusahaan
lainnya yang lebih kecil atau bagi
pemasok bahan baku pada perusahaan
tersebut. Perusahaan yang in-house
training center nya mendapatkan
akreditasi dari pemerintah dapat
diberikan grant atau insen f lainnya.
KETIGA, pembuatan Skills Development
Fund (SDF). Pemberi kerja perlu
berkontribusi melalui iuran Skills
Development untuk semua pegawainya.
Jumlah yang diterapkan di Singapura
adalah 0.25% dari total gaji pegawai,
dengan jumlah maksimum $11.25
(sekitar Rp100ribu) per pegawai se ap
bulannya. Uang ini akan dikelola oleh
Skills Development Fund (SDF) yang
kemudian dapat memberikan hibah
(grant) pada perusahaan yang
m e n g i r i m ka n p e ga wa i nya u n t u k
pela han.
KEEMPAT, training bagi UMKM. Pelaku
UMKM cenderung dak mengetahui apa
saja pela han-pela han yang dapat
mereka iku . Selain itu, biaya pela han
yang cukup nggi dan cara berpikir
jangka pendek (yaitu bagaimana agar
bisa survive dari hari ke hari) membuat
UMKM kurang berinvestasi pada
pela han. Untuk mengatasi hal ini,
sebuah jejaring (network) dan kelompok
belajar & pela han (cluster of learning
(photo © todayonline.com)
and training) dapat dibuat sehingga ada
ekosistem yang cukup besar yang
memungkinkan adanya training dan
sharing of learning experience antar
UMKM dengan biaya yang rela f lebih
rendah. Pengelompokan ini bisa
berdasarkan daerah operasi atau
kebutuhan usaha yang sama, misalnya
produk yang sama, kebutuhan fasilitas
yang sama, atau kebutuhan pela han
yang sama. Pemerintah juga dapat
menyediakan dana hibah (grant) bagi
UMKM, seper Enterprise Training
Support (ETS) dan Capability
Development Grant (CDG) yang ada di
Singapura.
KELIMA, pembuatan community
library. Budaya membaca dan
kesempatan untuk terus belajar perlu
ditanamkan sejak dini dan di lingkungan
terkecil masyarakat. Konsep community
library yang ada di Singapura dapat
diadopsi. Singapura memiliki 26 public
library yang berfungsi memajukan
b u d a y a m e m b a c a , b e l a j a r, d a n
informa on literacy di tengah
masyarakatnya. Community library ini
juga menjadikan buku dan informasi
mudah diakses bagi anak-anak kecil dan
orang usia dewasa. Community library
juga dapat menjadi community center
yang menguatkan social bonding
masyarakat suatu daerah.
Sebagai penutup, di era penuh kompe si
dan integrasi perekonomian dunia pada
saat ini, seorang pekerja perlu untuk
te r u s b e l a j a r d a n m e n i n g kat ka n
kompetensi dirinya. Sesorang yang pada
awal karirnya kurang be runtung
sehingga memiliki ngkat keahlian yang
rendah, perlu mendapatkan kesempatan
untuk meningkatkan keahliannya. Untuk
mewujudkan ini, perlu ada kerja sama
yang erat antara pemerintah,
perusahaan, dan pekerja. Pemerintah
s a j a d a k d a p a t m e ny e l e s a i ka n
persoalan ini tanpa ada par sipasi ak f,
komitmen, dan kontribusi dari pekerja
dan perusahaan. Program khusus bagi
UMKM perlu diciptakan agar hal-hal
yang menghalangi mereka dari pela han
dapat teratasi. Budaya membaca dan
belajar juga perlu ditanamkan semenjak
dini. Singapura sebagai sebuah negara
maju telah dengan serius
m e nge m ba ng ka n s i ste m l i fe l o n g
learning-nya. Tentu Indonesia sebagai
negara berkembang lebih layak untuk
m e m i l i k i s e m a n ga t l e b i h d a l a m
meningkatkan kompetensi diri. (-)
REFERENSI:
Lim, Hank. 2015. Inves ng in Workers
and Firms as Learning Centres for
Industrial Upgrading.
24
(photo © matagaruda)
12. Kaleidoscope MATAGARUDA
Connect | Collaborate | Contribute for Na on
Panitia Welcoming Alumni
Pada akhir tahun 2015, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan
(LPDP) akan memiliki tambahan alumni sebanyak 751 orang
dengan distribusi lulusan dalam negeri sebanyak 193 orang
dan lulusan luar negeri sebanyak 558 orang. Melihat semakin
bertambah besarnya jumlah alumni beasiswa LPDP dan
besarnya harapan terhadap alumni beasiswa LPDP sebagai
generasi pemimpin masa depan bangsa Indonesia, ikatan
alumni Mata Garuda bersama dengan LPDP berinisia f
merangkai sebuah kegiatan penyambutan yang bertajuk
“Welcoming Alumni” LPDP pada tanggal 31 Januari dan 1
Februari 2016 di Hotel Borobudur, Jakarta. Welcoming Alumni
sendiri bertujuan menjadi sebuah pintu gerbang bagi para
alumni beasiswa LPDP dalam mempersiapkan potensi dan
karya yang dimiliki untuk dapat dipertemukan, dikolaborasikan
dan dikontribusikan kepada bangsa Indonesia. Untuk
merealisasikan tujuan tersebut, rangkaian kegiatan Welcoming
Alumni dibagi menjadi 4 rangkaian acara:
1. Inspira ve Talks
Inspira ve talks adalah talkshow berbagi pengalaman dan ide
dari tokoh nasional dan para pemuda inspira f kepada alumni
sebagai inspirasi dan bekal mereka dalam melanjutkan langkah
hingga kelak dapat ikut ambil bagian menjadi solusi untuk
bangsa Indonesia.
Di talkshow ini akan menghadirkan: Prof. Dr. B.J. Habibie
(Presiden RI ke-3), Nadiem Makarim (Founder Gojek), Gamal
Albinsaid (Founder Indonesia Medika), dan Ainun Najib
(Founder COde4Na on)*
2. Leadership Forum
Leadership forum adalah sebuah kolaborasi antara alumni
beasiswa LPDP, prak si, akademisi dan Pemerintah Daerah di
Indonesia dalam memecahkan permasalahan daerah dengan
menggunakan konsep roundtable discussion. Diskusi akan
dibagi ke dalam beberapa meja yang merepresentasikan tema
prioritas LDPD dan berbagai bidang strategis di daerah. Pada
Leadership Forum nan nya, alumni beasiswa LPDP akan
memandu diskusi dalam se ap meja hingga dapat
menghasilkan sebuah rekomendasi pemecahan permasalahan
daerah dari berbagai sudut pandang keilmuan serta dapat
melahirkan sebuah nota kesepahaman antara alumni beasiswa
LPDP dengan Kepala Daerah dalam mengimplementasikan
rekomendasi tersebut.
3. Idea Exhibi on
Idea exhibi on adalah wadah kontribusi alumni LPDP yang
dikemas dalam bentuk pameran poster ide atau karya alumni
beasiswa LPDP. Selain itu, beberapa ide poster terbaik akan
diberikan kesempatan untuk melakukan idea pitching
langsung di depan para pengunjung acara yaitu investor,
inkubator bisnis, pemerintahan, perusahaan swasta, ins tusi
pendidikan dan juga public.
4. Gala Dinner
Gala dinner adalah acara penutup rangkaian Welcoming
Alumni LPDP. Acara Gala dinner tersebut dikhususkan kepada
alumni beasiswa LPDP untuk mendapatkan kesempatan
berjejaring dengan para pe nggi dan pemegang kebijakan di
pemerintahan pusat, pemerintahan daerah, BUMN,
perusahaan swasta, dan juga ins tusi pendidikan. Adapun
rangkaian acara utama Gala Dinner adalah penyerahan buku
rekomendasi dan peresmian nota kesepahaman hasil
leadership forum bersama Kepala Daerah serta pemberian
penghargaan kepada beberapa idea exhibi on terbaik
Sebagai penutup, Welcoming Alumni hadir sebagai sebuah
ajakan bagi para alumni LPDP yang sedang menentukan
langkah ke depan agar kelak dapat menjadi generasi yang dak
berjalan sendiri - sendiri atau bahkan hanya menjadi generasi
yang berdiam diri. (-)
*). dalam tahap konfirmasi.
25
Pengantar Redaksi...
(dari hal 1)
dengan permintaan pemilik modal karena
pemilik modal pasti akan mencari cara terbaik
untuk mendapatkan keuntungan tertinggi.
Otomatisasi pekerjaan bukanlah permasalahan
di Indonesia semata. Sebuah esai oleh Frey dan
Osborne (Oxford 2013) mengatakan, pekerjaan
yang memiliki kemungkinan otomatisasi adalah
sebesar 47% kategori termasuk akuntansi,
pekerjaan bidang hukum, penulisan teknis, dan
banyak pekerjaan kerah putih lainnya.
Selain itu, dalam hubungan antara pekerja dan
pemilik modal, Swedia yang terkenal dengan
perbedaan upah yang tidak timpang pun
mengalami makin tingginya kesenjangan antara
kelas. Di mana, banyak orang melakukan
“bullshit jobs” yang dimaknai oleh David
Graeber, seorang antropolog London School of
Economics sebagai “low- and mid-level screensitting that serves simply to occupy workers
for whom the economy no longer has much
use.”
banyak komunitas mencoba menjadi selfsufficient dan makin banyak gerakan ethical
consumerism yang makin membuat orang
semakin tidak ingin tergantung pada pemilik
modal. Indonesia tidak perlu mencapai era
industrialisasi seratus persen karena
pembangunan tidaklah linear. Kita bisa mulai
ikut memikirkan cara lain membuat kehidupan
yang lebih baik tanpa harus melalui cara
memasok manusia sebagai tenaga kerja. (-)
Pengembangan sumber daya manusia
seharusnya bukan seluruhnya demi kepentingan
pemilik modal. Dalam era post-industrialisasi,
A INSTITUTE
MATAGARUD
COMING SOON!
Buku kumpulan program dan proyek strategis pembangunan desa.
ATEGIS
R
T
S
k
e
y
o
r
P
&
m
Progra
AN DESA
N
PEMBANGU
MGI membuka kerjasama dengan berbagai pihak untuk
merealisasikan gagasan pada buku program ini.
hubungi:
[email protected]
KolomRedaksi:
MATAGARUDA INSTITUTE
BULLETIN
Edisi 5 | Dec 2015
PELINDUNG
EkoPrasetyo
DIREKTURINSTITUTE
RullyPrassetya
PIMPINANREDAKSI
MuhammadGibran
AnnisaRahmaniQastarin
PENGARAHEDITORIAL:
MuhammadGibran
VidyaSpay
ISSN: 2443-0072
PRODUSEREDITORIAL:
DeaFitriAmelia
AnnisaRahmaniQastarin
T.A.OctavianiDading
LAY-OUTdanILUSTRASI:
MuhammadGibran
VidyaSpay
KONTRIBUTOREDITORIAL:
AkbarNikmatullahDachlan
ArdittoTrianggada
AlmagFiraPradana
KONTRIBUTORARTIKEL:
AgustinaKusumaDewi,
NaufalRospriandana
MuhammadGibran
RioF.Rachman
SumiyatiTuhuteru
M.RizkiPratama
RizkiAnanda
AbdulAzizLuth i
HandikaPrasetyaDwiyasni
Download