I. PENDAHULUAN Budidaya ikan patin (Pangasionodon hypothalmus) merupakan salah satu kegiatan budidaya ikan air tawar yang mempunyai prospek yang cerah. Peluang usaha patin dimulai sejak tahun 1980. Pada tahun 2004 produksinya sebesar 23.962 ton dan terus meningkat menjadi 52.470 ton pada tahun 2008. Tahun 2010 sendiri kebutuhan ikan patin diproyeksikan mencapai 132.600 ton, yang artinya 2,8 kali lipat lebih besar produksinya dibandingkan dengan tahun 2008. Patin hanya dikenal dan digemari kalangan masyarakat Sumatera dan Kalimantan sehingga harganya mahal untuk di daerah tersebut. Suksesnya pembenihan patin di Pulau Jawa diadopsi di Pulau Sumatra dan Kalimantan sehingga terjadi penurunan kegiatan pembenihan di Pulau Jawa. Pembenihan ikan patin dilakukan dengan pemijahan buatan karena telur yang telah ovulasi tidak dapat dikeluarkan oleh induk tersebut. Berkembangnya kegiatan pembenihan di luar Pulau Jawa pun mengalami kendala diantaranya adalah penyediaan ovaprim yang sulit sehingga perlu dilakukan alternatif bahan lain untuk mengganti ovaprim sehingga proses produksi dapat terus berlanjut (Khairuman, 2007). Pemijahan buatan memerlukan manipulasi hormon; manipulasi hormon yang digunakan adalah ovaprim yang berisi sGnRH (D-Arg6, Trp7, Leu8, Pro9 Net)-LHRH dan domperidone sebagai antidopamin (Nandeesha, 1990). Selain itu, Sahoo (2005) menambahkan bahan-bahan tersebut merupakan stimulus pada otak dan kelenjar hipotalamus sehingga dapat mempercepat ovulasi. Hatchery patin yang ada di wilayah Kabupaten Bogor pada umumnya menggunakan ovaprim dengan harga Rp. 175.000 – Rp. 195.000. Produk ini merupakan produk impor dari Syndel Laboratories, Kanada dan proses pembuatannya dilakukan di India, sehingga pembenihan ikan patin ini masih bergantung dengan peraturan dan syarat yang berlaku pada perdagangan internasional. Importir yang ada di Indonesia pun harus menunggu saat pasokan dan stok habis. Untuk menjamin ketersediaan benih pada kegiatan pembesaran perlu ada terobosan baru di bidang reproduksi ikan diantaranya adalah mengganti ovaprim, bahan lain yang dapat digunakan untuk perangsangan ovulasi adalah aromatase inhibitor (AI). Pada mulanya, AI digunakan dalam manipulasi sex pada individu baru (larva ikan) yang masih memiliki ketidakstabilan 11 sex. Pengarahan kelamin pada ikan perlu dilakukan karena kebutuhan pasar terhadap ikan tersebut. Pembalikkan kelamin menggunakan AI dimulai sejak tahun 2000 hingga saat ini. Pada tahun 2005, AI mulai dicoba untuk proses perangsangan ovulasi pada common carp dan catfish di tahun 2006. Oleh karena itu, AI sebagai alternatif pengganti ovaprim dikemas dalam suatu produk baru dengan nama spawnprim. Spawnprim merupakan produk Indonesia yang diproduksi sehingga harganya bisa lebih murah dan tidak perlu menunggu stok dari luar negeri. Penggunaan spawnprim diharapkan dapat menurunkan biaya produksi pada ikan patin karena adanya kompensasi dari AI yang menurunkan kandungan LHRHa. Substitusi LHRHa dengan AI dapat merangsang terjadinya ovulasi pada ikan patin. Bahan substitusi LHRHa mudah diperoleh dan murah sehingga menurunkan harga jual dari penggunaan ovaprim. Penggunaan premix spawnprim pada perangsangan ovulasi menyebabkan penurunan penggunaan ovaprim. Penelitian ini bertujuan untuk merangsang ovulasi pada ikan patin (Pangasionodon hypothalmus) dengan menggunakan premix spawnprim sebagai pengganti ovaprim sehingga diharapkan dapat menurunkan biaya produksi. 12