1 PENGARUH VARIETAS DAN KOMBINASI PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max L.) PADA SISTEM TANAM ALUR DAN SISIP DI LAHAN KERING MASAM ANDRI HAMIDI A24080097 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 ii RINGKASAN ANDRI HAMIDI. Pengaruh Varietas dan Kombinasi Pupuk Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max L.) pada Sistem Tanam Alur dan Sisip di Lahan Kering Masam. (Dibimbing oleh Munif Ghulamahdi). Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh berbagai kombinasi pupuk dan varietas terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai pada sistem tanam alur dan sisip di lahan kering masam. Percobaan dilakukan di lahan kering masam Desa Krawangsari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung pada bulan Februari sampai dengan September 2012. Percobaan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak dua faktor. Faktor pertama adalah empat varietas kedelai yaitu varietas nasional Anjasmoro dan Tanggamus, serta galur silangan SP-30-4 dan PG-57-1. Faktor kedua adalah 10 kombinasi pupuk yang terdiri dari (1) tanpa pupuk, (2) 200 kg/ha SP-36, (3) 200 kg/ha SP-36 + 100 kg/ha KCl, (4) 200 kg/ha SP-36 + 100 kg/ha KCl + 1 ton/ha kapur dolomit, (5) 200 kg/ha SP-36 + 100 kg/ha KCl + 1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk kandang, (6) 200 kg/ha SP-36 + 100 kg/ha KCl + 1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk kandang sapi + mulsa brangkasan jagung, (7) 200 kg/ha SP-36 + 1 ton/ha abu sekam, (8) 200 kg/ha SP-36 + 1.2 ton/ha abu sekam + 1 ton/ha kapur dolomit, (9) 200 kg/ha SP-36 + 1.2 ton/ha abu sekam + 1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk kandang dan (10) 200 kg/ha SP-36 + 1.2 ton/ha abu sekam + 1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk kandang sapi + mulsa brangkasan jagung. Kedelai ditanam di dalam alur tanaman jagung dengan cara tanam alur dan sisip. Luas petakan percobaan adalah 2.2 m x 5 m dan setiap perlakuan dilakukan pengulangan tiga kali sehingga terdapat 120 satuan percobaan. Selanjutnya, hasil pengamatan dianalisis keragamannya dan dilakukan pengujian lanjutan dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) bagi sumber keragaman yang menunjukkan perbedaan. Hasil percobaan menunjukkan adanya perbedaan pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai antar taraf kombinasi pupuk. Pertumbuhan dan produksi iii tanaman kedelai terbaik terdapat pada kombinasi 200 kg/ha pupuk SP-36 + 1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk kandang ditambah dengan 100 kg/ha KCl atau 1.2 ton/ha abu sekam. Pemberian mulsa brangkasan jagung pada kombinasi pupuk tersebut tidak memberikan hasil yang berbeda nyata. Penggunaan pupuk KCl sebagai sumber kalium tidak menunjukkan perbedaan dengan abu sekam terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai di lahan kering masam. Varietas nasional Tanggamus memiliki jumlah hasil panen terbaik yaitu 1.33 ton/ha. Varietas nasional Anjasmoro dan galur silangan PG-57-1 memiliki produktivitas yang sama yaitu 1.09 ton/ha. Sementara, galur silangan SP-30-4 memiliki produktivitas 1.00 ton/ha. Hasil pengujian statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan produktivitas antara galur silangan SP-30-4 dan PG-57-1 dengan varietas nasional Anjasmoro. iv PENGARUH VARIETAS DAN KOMBINASI PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max L.) PADA SISTEM TANAM ALUR DAN SISIP DI LAHAN KERING MASAM Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Agronomi dan Hortikultura ANDRI HAMIDI A24080097 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 v Judul : PENGARUH VARIETAS DAN KOMBINASI PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max L.) PADA SISTEM TANAM ALUR DAN SISIP DI LAHAN KERING MASAM Nama : ANDRI HAMIDI NIM : A24080097 Menyetujui, Dosen Pembimbing Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS NIP 19590505198503 1 004 Mengetahui, Ketua Departemen Dr Ir Agus Purwito, MSc. Agr. NIP 19611101 198703 1 003 Tanggal lulus : vi RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tulang Bawang, Lampung pada tanggal 25 September 1989. Penulis merupakan anak kedua dari Bapak Suyana dan Ibu Titin Suharti. Penulis dinyatakan lulus dari SD Negeri 01 Bratasena Adiwarna pada tahun 2002, kemudian penulis melanjutkan sekolah di SMP Negeri 5 Banjar Agung dan lulus tahun 2005. Penulis melanjutkan jenjang pendidikan di SMA Negeri 10 Bandar Lampung. Tahun 2008 penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis juga melengkapi bidang keahlian Pengembangan Usaha Agribisnis (minor) di Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Selama studi di IPB, penulis aktif di UKM KOPMA IPB tahun 2008-2010. Penulis menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah seperti Perancangan Percobaan I, Ekologi Pertanian, Pasca Panen Tanaman Pertanian dan Teknik Budidaya Tanaman. Penulis pernah mengikuti kegiatan IPB goes to field dari LPPM IPB. Penulis juga pernah menjadi pengajar mata pelajaran Fisika SMA di bimbingan belajar VISION (Education and Personality Consultant). vii KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan hidayahNya sehingga percobaan ini dapat diselesaikan dengan baik. Percobaan ini berjudul “Pengaruh Varietas dan Kombinasi Pupuk Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max L.) pada Sistem Tanam Alur dan Sisip di Lahan Kering Masam”. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan bantuan serta saran dalam percobaan diantaranya : 1. Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingannya hingga tersusunnya skripsi ini. 2. Dr Ir Heni Purnamawati, MSc.Agr dan Dr Ir Iskandar Lubis, MS yang telah bersedia untuk menjadi penguji dan memberi masukan guna memperbaiki tulisan ini. 3. Prof Dr Ir Sobir, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan selama penulis menyelesaikan studi di IPB. 4. Kedua orang tua dan uwa Dr Ir Illah Sailah, MS beserta Dr Ir Abdul Basith, MS yang telah membantu dan membimbing penulis selama studi serta selalu mendoakan kelancaran percobaan ini. 5. I-MHERE IPB dan Sime Darby-Minamas Plantation Scholarship yang telah mendanai penelitian ini. 6. Pak Sutik, Pak Anto, Pak Giman, Pak Nanang, Pak Ainun, Pak Ponijan, Encep, dan warga Dusun Jepang lainnya serta Hans, Arief, Ryan, Kak Nita, Kak Mail, Kak Nofri, Pak Toyip, Elin, Rahmi, Khusnul, Opie, Syhab serta teman Indigenous AGH 45 lainnya yang telah membantu dalam pengamatan, mengolah data dan memberikan saran serta masukan yang sangat bermanfaat. Semoga percobaan ini bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkannya. Bogor, Penulis viii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................ viii DAFTAR TABEL .................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ............................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xi PENDAHULUAN ................................................................................... Latar Belakang ..................................................................................... Tujuan Percobaan ................................................................................. Hipotesis ............................................................................................... 1 1 3 3 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... Pupuk .................................................................................................... Morfologi Tanaman Kedelai ................................................................ Varietas Kedelai ................................................................................... Lahan Kering Masam dan Permasalahannya ....................................... Sistem Tanam Alur dan Sisip ............................................................... 4 4 6 8 9 11 METODE PERCOBAAN ........................................................................ Tempat dan Waktu ............................................................................... Alat dan Bahan ..................................................................................... Metode Percobaan ................................................................................ Pelaksanaan .......................................................................................... Pengamatan .......................................................................................... 12 12 12 12 13 17 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ Kondisi Umum ..................................................................................... Hasil...................................................................................................... Pembahasan .......................................................................................... 18 18 19 27 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ Kesimpulan ........................................................................................... Saran ..................................................................................................... 36 36 36 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 37 LAMPIRAN ............................................................................................. 41 ix DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Fase pertumbuhan tanaman kedelai………………………… 7 2. Jumlah daun trifoliet tanaman kedelai saat 4 MST pada berbagai taraf kombinasi pupuk setiap varietas…….………. 19 3. Jumlah daun trifoliet tanaman kedelai pada berbagai taraf kombinasi pupuk dan varietas……………..……………….. 20 4. Tinggi tanaman kedelai saat 4 MST pada berbagai taraf kombinasi pupuk setiap varietas ……………..……………. 21 5. Pertumbuhan tinggi tanaman kedelai pada berbagai taraf kombinasi pupuk dan varietas………………………………. 21 6. Bobot kering tanaman kedelai saat 8 MST pada berbagai taraf kombinasi pupuk dan varietas……………………….... 23 7. Waktu 50% tanaman kedelai berbunga pada berbagai taraf kombinasi pupuk dan varietas………………………………. 24 8. Hari panen tanaman kedelai pada berbagai taraf kombinasi pupuk setiap varietas……………………………………….. 24 9. Jumlah polong isi, polong hampa dan cabang tanaman saat panen pada berbagai taraf kombinasi pupuk dan varietas……………………………………..……………….. 10 Bobot biji kering tanaman kedelai..………………………… 25 26 x DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Sistem tanam konvensional (A) dan sistem tanam alur (B)………………………………………...…………… 14 2. Alur yang terbentuk di lahan tanaman jagung….................. 14 3. Aplikasi pupuk (A), tanam kedelai (B) dan panen jagung (C)……………………………….…………………………. 15 4. Kondisi lahan setelah guludan diratakan (A) dan tanaman menjelang dipanen (B)……..…………………………. 16 5. Pola tanam di lahan kering masam Kecamatan Natar, Lampung ..………………………………………………… 34 xi DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Hasil analisis tanah awal……………….…………………. 42 2. Deskripsi varietas kedelai Tanggamus dan Anjasmoro ….. 43 3. Denah petakan percobaan………………………………… 45 4. Produktivitas tanaman kedelai pada berbagai perlakuan kombinasi pupuk setiap varietas…………………………. 46 5. Data iklim bulanan tahun 2000 – 2012 di Kecamatan Natar……………………………………………………… 47 6. Keragaan empat varietas kedelai…………………………. 48 7. Hasil analisis abu sekam………………………………….. 49 8. Luasan pengambilan ubinan saat panen………………….. 50 9. Pertumbuhan dan produksi kedelai sebelum sistem tanam sisip dan kedelai sistem tanam sisip …….………………. 51 10. Rekapitulasi hasil analisis ragam………………………… 52 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max L.) merupakan komoditas pangan terpenting di Indonesia setelah padi dan jagung. Kedelai banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan olahan seperti tempe, tahu, sayur, sari kedelai, tauco, kecap maupun produk turunan lain. Permintaan kedelai tahun 2011 diprediksi mencapai 2.4 juta ton (Kusbini, 2010). Namun, produksi kedelai Indonesia masih tergolong rendah untuk memenuhi permintaan tersebut. Kondisi ini diperparah dengan berkurangnya produksi kedelai dalam tiga tahun terakhir. Menurut Badan Statistik Indonesia (2012), produksi tahun 2010, 2011 dan 2012 adalah 907,000, 851,300 dan 779,700 ton. Menurut Subandi (2007), pengembangan teknologi produksi kedelai dapat dilakukan pada tiga tipe lahan yaitu : (1) lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk budidaya tanaman semusim, terutama ubi kayu, jagung, dan padi gogo; (2) lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk budidaya tanaman tahunan, seperti karet dan kelapa sawit yang masih muda; dan (3) lahan yang belum dimanfaatkan, seperti padang alang-alang atau semak belukar. Kedelai dibudidayakan secara tumpangsari maupun bergiliran pada lahan-lahan yang telah dimanfaatkan untuk ubi kayu, jagung, dan padi gogo,. Lahan kering memiliki beberapa kelemahan dalam kesuburan tanahnya yang berdampak pada rendahnya produktivitas kedelai. Menurut Kuntyastuti dan Taufiq (2008), faktor kesuburan yang menjadi kendala di lahan kering adalah rendahnya bahan organik, pH tanah, kalium (K) dan fosfor (P) tersedia. Suharsono dan Yusuf (2009) juga menyebutkan bahwa dengan adanya alumunium (Al), pertumbuhan tanaman kedelai akan terganggu karena keracunan Al dan terganggunya serapan kalsium (Ca). Kemasaman tanah lahan kering menjadi masalah bagi tanaman kedelai. Hal tersebut dikarenakan hara P dijerap oleh Al sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman (Hardjowigeno, 2007). Perbaikan kesuburan tanah dengan cara menaikkan pH tanah dapat dilakukan dengan penggunaan kapur. Penggunaan kapur dalam kegiatan budidaya dapat meningkatkan pH tanah yang berdampak 2 pada perbaikan kesuburan tanah. Keadaan tersebut mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai, terutama jumlah polong per tanaman dan produksi biji per tanaman (Harmida, 2010). Upaya lain untuk memperbaiki kesuburan tanah adalah dengan memberikan zat hara ke dalam tanah. Selain N dan P, hara K juga banyak dibutuhkan oleh tanaman. Sumber hara kalium dapat diperoleh dari pupuk KCl, akan tetapi pupuk KCl sering sulit didapatkan dan harganya relatif tinggi. Sumber kalium alternatif dapat digunakan dari abu sekam atau jerami. Menurut Dharmaswara (2012), pemberian abu jerami tidak berbeda nyata dibandingkan KCl terhadap komponen pertumbuhan dan komponen produksi kedelai kecuali pada jumlah polong isi dan produksi biji petakan. Perbaikan kesuburan lahan kering juga dapat dilakukan dengan penggunaan bahan organik. Bahan organik yang dapat digunakan salah satunya adalah pupuk kandang. Subandi (2007) melaporkan bahwa pemberian 2.5 ton/ha pupuk kandang sapi pada lahan kering masam di Tulang Bawang dan Lampung Tengah mampu meningkatkan penyerapan P tanaman dan hasil kedelai berturutturut 8.3 dan 11.1%. Tanaman kedelai lebih optimum ditanam saat kondisi penyinaran cahaya matahari tinggi (Karamoy, 2009). Namun, pada kondisi tersebut ketersediaan air bagi tanaman semakin berkurang sehingga membuat tanaman tercekam kekeringan. Menurut Saefulloh (2000), kedelai yang ditanam pada kondisi kering akan menurunkan potensi hasil sebesar 0.01-1.06 ton/ha. Teknologi budidaya kedelai yang dianjurkan di lahan kering masam adalah penggabungan teknologi ameliorasi tanah masam dengan penggunaan varietas unggul toleran tanah masam. Selain itu, waktu tanam, cara tanam, perawatan tanaman dan panen yang tepat sangat mempengaruhi peningkatan produksi kedelai (Atman, 2006). Pengaturan pola tanam berperan penting dalam menyesuaikan lingkungan khususnya iklim mikro pada budidaya kedelai di lahan kering. Sistem tanam sisip merupakan salah satu cara yang dapat digunakan dalam mengatur pola tanam. 3 Tujuan Percobaan Percobaan ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui pertumbuhan dan produksi empat varietas kedelai pada sistem tanam alur dan sisip di lahan kering masam 2. Memperoleh kombinasi pupuk yang tepat untuk kedelai pada sistem tanam alur dan sisip agar diperoleh pertumbuhan dan produksi tinggi. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam percobaan ini adalah : 1. Minimal ada satu kombinasi pupuk yang memberikan hasil panen terbaik 2. Terdapat minimal satu varietas yang memiliki pertumbuhan dan produksi lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya di lahan kering masam 3. Terdapat suatu interaksi antara varietas dan kombinasi pupuk yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kedelai. 4 TINJAUAN PUSTAKA Pupuk Kesuburan tanah bergantung pada kelarutan zat hara, pH tanah, kapasitas tukar kation, tekstur tanah dan jumlah bahan organik yang ada (Harjadi, 1996). Tanah yang kurang subur dapat diperbaiki dengan cara pemupukan. Pemupukan bertujuan meningkatkan hasil panen tanaman dengan menambahkan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman karena kurang tersedia dalam tanah. Penggunaan bahan organik berupa kotoran sapi, kambing dan ayam 20 ton/ha pada lahan kering jenis tanah Ultisol di daerah Lampung dapat memperbaiki sifat fisik tanah yaitu menurunkan bobot isi dan meningkatkan permeabilitas tanah (Kuntyastuti dan Taufiq, 2008). Fosfor dan kalium merupakan jenis hara yang banyak dibutuhkan oleh tanaman kedelai. Fosfor diserap oleh tanaman dalam bentuk ( dan ). Ion ion ortofosfat banyak ditemukan pada tanah dengan pH antara 5.2 sampai 7.2, sedangkan di atas pH 7.2 ion lebih dominan tersedia. Ketersediaan P bagi tanaman dipengaruhi oleh jumlah komponen tanah, pH tanah, jenis-jenis kation dalam tanah, anion kempetitor, kejenuhan kompleks jerapan, bahan organik, suhu, dan waktu pemberian pupuk. Kalium tersedia bagi tanaman dalam bentuk ion K+. Ketersediaan K bagi tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kadar lengas, kapasitas tukar kation (KTK), kandungan kation lain, pH, aerasi tanah dan jenis tanaman (Munawar, 2011). Fungsi hara fosfor antara lain 1) mempercepat pertumbuhan akar semai, 2) mempercepat serta memperkuat pertumbuhan tanaman muda menjadi tanaman dewasa pada umumnya, 3) mempercepat pembungaan dan pemasakan buah, biji dan gabah, dan 4) meningkatkan produksi biji-bijian. Fungsi kalium antara lain 1) membentuk protein dan karbohidrat, 2) mengeraskan jerami dan bagian kayu tanaman, 3) meningkatkan resistensi tanaman terhadap penyakit dan 4) meningkatkan kualitas biji atau buah (Sutedjo, 1987). Sumber hara kalium dapat diperoleh dari pupuk KCl. Namun, terdapat beberapa sumber alternatif yang dapat digunakan sebagai pengganti pupuk kalium. 5 Menurut Samosir (2010), abu sekam padi mengandung hara kalium dan fosfor yang dibutuhkan tanaman sebesar 1.59% K2O dan 0.44% P2O5. Dharmaswara (2012) menambahkan bahwa abu sekam dapat menggantikan pupuk KCl dalam budidaya tanaman kedelai. Pertumbuhan tanaman kedelai terhadap pemberian P meningkat dengan pengapuran dan pemberian pupuk kandang sapi (Leiwakabessy dan Sumawinata, 1986). Hingga pada tahun ke-2, residu kapur masih berpengaruh sangat nyata terhadap sifat dan ciri tanah serta terhadap produksi tanaman walaupun kandungan Ca mulai berkurang (Wahjudin, 1991). Bahan organik bukan semata-mata memiliki kemampuan menahan air tapi berperan juga dalam pembentukan struktur dan porositas tanah (Bailey, 1986). Bahan organik mampu menggemburkan lapisan permukaan tanah (top soil), meningkatkan populasi jasad renik, mempertinggi daya serap dan daya simpan air sehingga kesuburan tanah dapat meningkat (Yuliarti, 2009). Bahan organik tanah merupakan fraksi organik pada tanah yang meliputi residu-residu tumbuhan dan hewan pada berbagai fase dekomposisi sel-sel hidup dan mati, jaringan mikroba dan zat-zat yang disintesa pada populasi tanah. Berdasarkan sumbernya, bahan organik dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis, antara lain pupuk kandang sapi (kotoran ternak), pupuk hijau (bagian tanaman segar), mulsa (sisa-sisa tanaman), blotong (limbah pabrik dari jenis tanaman tertentu) dan lateks (getah karet alam) (Sukartaatmadja, 2001). Tanah yang mengandung bahan organik mempunyai lapisan humus yang tebal. Tanah tersebut mempunyai sifat fisik yang baik karena mempunyai kemampuan menghisap air sampai beberapa kali berat keringnya dan juga mempunyai porositas yang tinggi. Fungsi bahan organik diantaranya 1) sebagai mulsa mampu menekan evapotranspirasi, gulma dan laju aliran permukaan, 2) perekat butiran-butiran tanah, memperbaiki aerasi tanah dan meningkatkan infiltrasi tanah, 3) sumber unsur hara C, N, P, K, S dan meningkatkan KTK, 4) sebagai sumber energi bagi mikroorganisme tanah dan 5) sumber vitamin, auksin dan antibiotik yang sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Sukartaatmadja, 2001). 6 Tanah dengan nilai produktivitas yang tinggi tidak hanya terdiri dari komponen-komponen padat, cair dan gas tetapi juga mengandung mikroorganisme yang cukup banyak. Mikroorganisme tanah mempengaruhi proses dekomposisi bahan organik tanah sehingga unsur hara menjadi lebih tersedia bagi tanaman. Bahan organik merupakan unsur esensial bagi tanah produktif karena selain mendukung perbaikan kondisi sifat fisik, biologi dan kimia tanah, juga merupakan bahan dasar pada berbagai populasi mikroorganisme tanah dan gudang unsur hara bagi tanaman (Sukartaatmadja, 2001). Morfologi Tanaman Kedelai Kedelai (Glycine max L.) termasuk tanaman jenis perdu famili Leguminosae dengan tipe pertumbuhan indeterminit dan determinit. Tanaman kedelai merupakan tanaman semusim dengan tinggi di daerah tropis antara 40-90 cm, bercabang, berdaun tunggal dan daun tiga, berbulu pada bagian daun serta polongnya dan berumur antara 72-90 hari. Biji kedelai merupakan bagian dari tanaman kedelai yang banyak dimanfaatkan. Biji kedelai dibedakan berdasarkan ukurannya. Kedelai berbiji besar (bobot > 14 g/100 biji), sedang (bobot 10-14 g/100 biji) dan kecil ( bobot < 10 g/100 biji) (Adie dan Krisnawati, 2007). Pertumbuhan kedelai ditentukan oleh komponen lingkungan antara lain lama dan intensitas sinar matahari (panjang hari), suhu, kelembaban udara dan curah hujan. Panjang hari untuk pertumbuhan tanaman kedelai berkisar antara 11-16 jam dan optimal pada 14-15 jam. Suhu yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman kedelai berkisar antara 22-270C. Tanaman kedelai optimal tumbuh pada kelembaban 57-90% pada masa vegetatif hingga pengisian polong dan 60-75% pada saat pematangan polong hingga panen. Sementara curah hujan yang dibutuhkan untuk tanaman kedelai adalah 360-405 mm selama tumbuh atau setara dengan 120-135 mm/bulan (Sumarno dan Manshuri, 2007). Pertumbuhan tanaman kedelai dapat digolongkan ke dalam dua fase pertumbuhan yaitu fase vegetatif (V) dan fase reproduktif (R) (Tabel 1). Fase vegetatif dimulai pada saat tanaman muncul dari tanah hingga tanaman berbunga. 7 Fase reproduktif diawali saat terbentuknya bunga hingga tanaman dipanen. Daun kedelai akan mengalami rontok mendekati tanaman siap dipanen. Ciri-ciri tanaman kedelai siap panen adalah jika 95% polong telah matang atau berubah warna menjadi kecoklatan. Tabel 1. Fase pertumbuhan tanaman kedelai Singkatan stadia Fase vegetative VE Tingkatan stadia Uraian Stadia pemunculan VC V1 Stadia kotiledon Stadia buku pertama V2 Stadia buku kedua V5 Stadia buku kelima Vn Stadia buku ke-n Kotiledon muncul dari dalam tanah Daun unifoliet berkembang Daun terurai penuh pada buku unifoliet Daun trifoliet pada buku di atas buku unifoliet Daun terurai penuh di buku ke lima pada batang utama N buah buku pada batang utama dengan daun terurai penuh Fase generatif R1 Mulai berbunga R3 Mulai berpolong R4 Berpolong penuh R5 Mulai berbiji R6 Berbiji penuh R7 Mulai matang R8 Matang penuh Sumber : Board and Kahlon, 2011 Bunga terbuka pada buku manapun pada batang Polong sepanjang 5 mm pada salah satu diantara 4 buku teratas pada batang dengan daun terbuka penuh Polong sepanjang 2 cm pada salah satu diantara 4 buku teratas pada batang dengan daun terbuka penuh Biji sebesar 3 mm dalam polong pada salah satu buku teratas dengan daun terbuka penuh Polong berisikan satu biji hijau yang mengisi rongga polong pada salah satu dari 4 buku teratas pada batang dengan daun terbuka penuh Satu polong pada batang utama telah mencapai warna polong matang 95% dari polong telah mencapai warna polong matang 8 Varietas Kedelai Umur tanaman kedelai dapat dikelompokkan ke dalam kelompok tanaman genjah (<80 hari), sedang (80-85 hari) dan dalam (>85 hari). Tanaman kedelai memiliki bentuk daun yang beragam dari bulat, oval hingga lancip. Umumnya varietas kedelai di Indonesia berkategori daun oval dan hanya sebagian kecil berdaun lancip (Adie dan Krisnawati, 2007). Kedelai varietas nasional Tanggamus memiliki keragaan tinggi tanaman hingga 67 cm, umur berbunga 35 HST, umur panen 88 HST dan berpotensi menghasilkan biji kering hingga 2.5 ton/ha. Varietas nasional Tanggamus tergolong dalam kedelai berbiji sedang dengan bobot per 100 biji adalah 11 g. Keunggulan lainnya adalah moderat terhadap penyakit karat daun, polong tidak mudah pecah, kandungan protein tinggi dan toleran terhadap kemasaman tanah yang tinggi (Litbang, 2013). Kedelai varietas nasional Anjasmoro merupakan salah satu varietas kedelai berbiji besar dengan bobot 100 biji antara 14.8-15.3 g. Varietas nasional Anjasmoro memiliki tinggi tanaman antara 64-68 cm, berbunga pada hari ke 35.7-39.4 HST dan hari panen mencapai 82.5-92.5 HST. Keunggulan lainnya adalah kandungan protein yang mencapai 41.8-42.1 % dan memiliki potensi produksi biji kering hingga 2.03-2.25 ton/ha. Varietas ini memiliki sifat polong yang tidak mudah pecah dan tanaman tidak mudah rebah. Selain itu, varietas nasional Anjasmoro juga moderat terhadap karat daun (Litbang, 2013). Galur SP-30-4 merupakan galur terseleksi berdasarkan jumlah polong bernas yang dimilikinya. Galur tersebut memiliki jumlah polong bernas 75.2 buah per tanaman dan memiliki bobot biji 13.31 g per tanaman (Oktaviana, 2010). Galur SP-30-4 memiliki karakter umur berbunga lebih pendek dibandingkan dengan varietas kedelai toleran lahan kering (Tanggamus, Ceneng, Pangrango dan Sibayak). Namun, jumlah cabang produktif, tinggi tanaman saat panen, jumlah buku produktif, jumlah polong dan persentase polong isi galur tersebut relatif lebih rendah dibandingkan dengan varietas Tanggamus. Bobot 100 butir galur SP-30-4 juga lebih rendah dibandingkan dengan bobot rata-rata varietas kedelai toleran lahan kering (Fikrianti, 2010). 9 Galur PG-57-1 adalah hasil persilangan antara varietas Pangrango dan Godeg. Galur tersebut memiliki warna biji kuning, umur berbunga 42.67 HST dan panen 99.33 HST. Tinggi tanaman saat panen mencapai 58.1 cm, memiliki jumlah cabang produktif 3.4 buah dan buku produktif 15.10 buah serta bobot biji per 100 butir adalah 12.3 g. Galur ini memiliki toleransi naungan yang baik di bawah tegakan (Prasetyo, 2010). Informasi yang diperoleh dari uji daya hasil lanjutan bahwa galur PG-57-1 merupakan galur yang tidak hanya toleran terhadap naungan, tetapi juga toleran lahan kering masam. Galur tersebut memiliki umur berbunga dan panen 34 dan 86 HST sehingga digolongkan dalam kategori kedelai berumur dalam. Tinggi tanaman saat panen mencapai 97.35 cm dengan jumlah cabang produktif sebanyak 5.33 buah dan buku produktif 43 buah per tanaman. Jumlah polong total mencapai 93.03 buah per tanaman dengan persentase polong isi 94.85%. Galur PG-57-1 memiliki daya hasil tinggi dengan bobot biji 16.48 g per tanaman dan bobot biji per petak mencapai 77.08 g/m2 (Yunita, 2010). Lahan Kering Masam dan Permasalahannya Kemasaman lahan merupakan masalah dalam praktik budidaya tanaman karena dapat menurunkan kesuburan lahan. Permasalahan tersebut muncul akibat dari : 1) kurang tersedianya unsur P, Ca, Mg dan Mo bagi tanaman; 2) terhambatnya fiksasi N pada kacang-kacangan; 3) unsur Fe dan Mn yang berlebih menjadi racun bagi tanaman dan 4) kelarutan Al sangat tinggi. Kelarutan Al yang sangat tinggi merupakan faktor penghambat pertumbuhan tanaman yang utama pada tanah masam ( Bailey, 1986). Lahan dikatakan masam apabila tanahnya memiliki pH di bawah tujuh. Curah hujan yang sangat tinggi hingga melebihi evapotranspirasi dapat menyebabkan tanah tercuci. Pencucian tanah akan mengangkut sejumlah garamgaram terlarut hasil pelapukan mineral dan sejumlah unsur basa. Pencucian tanah yang berlangsung lama menyebabkan unsur-unsur tersebut habis kecuali unsur yang bersifat masam seperti Al dan Fe. Akibatnya, reaksi tanah akan menjadi masam atau sangat masam (Dikti, 1991). 10 Kemasaman lahan yang secara umum dinyatakan dengan pH tanah dapat digunakan untuk mengetahui kesuburan lahan. Hal tersebut dikarenakan pH tanah dapat mencerminkan ketersediaan hara tanah. Tanah mineral masam menyediakan N-organik yang sangat rendah. Hal tersebut terjadi karena aktifitas mikroorganisme untuk mendekomposisi N menjadi terhambat. Anion P pada lahan yang memiliki pH tanah masam akan mengendap dalam bentuk sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman (Barchia, 2009). Alumunium (Al) pada lahan masam menjadi lebih larut dan bersifat toksik bagi tanaman. Kelarutan P dan ketersediaannya bagi tanaman dikendalikan oleh pH tanah. Fosfor tersedia bagi tanaman ketika pH tanah berkisar 5.5-6.8. Jika pH turun di bawah pH tersebut, maka P akan bereaksi dengan Fe dan Al membentuk senyawa fosfat Fe dan Al yang tidak mudah larut, sehingga P tidak tersedia bagi tanaman (Munawar, 2011). Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh pH tanah melalui dua cara yaitu, pengaruh langsung ion hidrogen (H+) dan pengaruh tidak langsung yaitu tidak tersedianya hara tertentu dan adanya unsur-unsur yang bersifat racun. Penyebab utama pertumbuhan tanaman yang buruk pada lahan kering masam adalah adanya keracunan Al. Keracunan Al menyebabkan pertumbuhan dan perpanjangan akar terhambat, pembentukan akar lateral dan bulu akar terhalang, mengurangi pembentukan DNA, RNA dan ADP serta menghambat pembelahan sel, mengurangi serapan P, Ca, Mg, K, Fe, Mn, Cu dan Zn ( Bailey, 1986). Pertumbuhan tanaman kedelai akan terganggu dan berproduksi rendah jika pada media tumbuh terkandung Al yang berlebihan. Gangguan tersebut dikenal dengan istilah keracunan Al yang dapat muncul pada sistem perakaran ataupun daun. Gejala pada perakaran berupa akar tanaman yang tidak tumbuh dan memiliki percabangan tidak normal. Gejala yang muncul pada daun berupa adanya bercak-bercak klorosis di antara tulang daun pada daun muda. Gejala yang lebih berat dapat menimbulkan tanaman menjadi kerdil dan daun berbentuk seperti mangkuk. Keracunan Al sering muncul pada lahan yang memiliki pH tanah masam dengan kejenuhan basa rendah (Marwoto et al., 2006). 11 Sistem Tanam Alur dan Sisip Teknologi budidaya dengan sistem olah tanah secara alur yang diterapkan pada lahan kering mampu meningkatkan produktivitas tanaman kedelai hingga 133.88%. Sistem olah tanah tersebut didukung dengan penambahan input berupa 200 kg/ha SP-36, 100 kg/ha KCl dan 1.5 ton/ha kapur dolomit yang diaplikasikan dengan mulsa organik (Nofrianil, 2012). Teknik budidaya sistem tanam sisip merupakan menanam dua jenis tanaman atau lebih. Tanaman kedua ditanam setelah tanaman pertama mencapai masa tahapan reproduktifnya, tetapi sebelum siap untuk dipanen. Umumnya, sistem tanam sisip dapat memberikan hasil panen lebih banyak daripada sistem tumpangsari (Sanchez, 1993). Sistem ini diterapkan dalam upaya peningkatan intensitas tanam di lahan kering dengan pemanfaatan curah hujan yang pendek (Abdulgani, 2000). Keunggulan sistem tanam sisip adalah membutuhkan biaya total lebih kecil tetapi memberikan keuntungan lebih tinggi dibandingkan dengan sistem tanam bukan sisip (Beuerlein, 2001). Saat penanaman sisip suhu udara lebih rendah sehingga tanaman dapat terhindar dari stres/panas. Selain memperbaiki iklim mikro, tanam sisip mendapatkan hasil yang lebih tinggi (Bunyamin dan Aqil, 2010). 12 METODE PERCOBAAN Tempat dan Waktu Percobaan dilakukan di lahan petani di Dusun Jepang, Krawangsari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Lokasi berada pada ketinggian 90 m di atas permukaan laut dengan tipe iklim C2 berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman (Nurhayati et al., 2010). Waktu percobaan dimulai pada bulan Februari sampai dengan September 2012. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan antara lain alat tanam, alat panen, alat ukur, SP-36, KCl, pupuk kandang, abu sekam, kapur, brangkasan jagung, benih kedelai, inokulan Rhizobium sp., insektisida, herbisida sistemik, herbisida pra dan purna tumbuh serta perekat pestisida. Metode Percobaan Percobaan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dua faktor. Faktor pertama terdiri dari empat taraf varietas antara lain V1 (Varietas Anjasmoro), V2 (Varietas Tanggamus), V3 (Galur SP-30-4 (Sibayak x Pangrango) dan V4 (Galur PG-57-1 (Pangrango x Godek). Faktor kedua terdiri dari sepuluh taraf kombinasi pupuk, yaitu : P0 (tanpa pupuk), P1 (200 kg/ha SP-36), P2 (200 kg/ha SP-36 + 100 kg/ha KCl), P3 (200 kg/ha SP-36 + 100 kg/ha KCl + 1 ton/ha kapur dolomit), P4 (200 kg/ha SP-36 + 100 kg/ha KCl + 1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk kandang sapi), P5 (200 kg/ha SP-36 + 100 kg/ha KCl + 1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk kandang sapi + mulsa brangkasan jagung), P6 (200 kg/ha SP-36 + 1 ton/ha abu sekam), P7 (200 kg/ha SP-36 + 1 ton/ha abu sekam + 1 ton/ha kapur dolomit), P8 (200 kg/ha SP-36 + 1 ton/ha abu sekam + 1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk kandang sapi) dan P9 (200 kg/ha SP-36 + 1.2 ton/ha abu sekam + 1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk kandang sapi + mulsa brangkasan jagung). 13 Masing-masing perlakuan diulang tiga kali sehingga diperoleh 120 satuan percobaan (Lampiran 3). Model linear dalam percobaan ini adalah : Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + ρk + εijk dimana : μ = nilai rata-rata umum, αi = pengaruh perlakuan varietas ke – i (i=1, 2, 3, 4), βj = pengaruh perlakuan kombinasi pupuk ke–j (j=1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10), (αβ)ij = pengaruh interaksi antara varietas ke–i dan kombinasi pupuk ke–j, ρk = pengaruh aditif dari kelompok ke–k (k=1, 2, 3) dan εijk = galat umum percobaan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam pada α = 1 dan 5%, kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf α = 5%. Pelaksanaan Budidaya kedelai yang dilakukan di lahan kering umumnya dilakukan dengan sistem tanam konvensional (Gambar 1A). Kegiatan budidaya tersebut dimulai dari pengolahan lahan, pemupukan, penanaman, perawatan hingga panen. Ketersediaan air di lahan kering sebagian besar bersumber pada curah hujan dan air tanah (Hermantoro, 2011). Adanya fluktuasi curah hujan memungkinkan pada kondisi tertentu ketersediaan air di lahan kering akan berkurang. Dampaknya adalah pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan kering kurang optimal. Salah satu upaya untuk mencegah kehilangan air yang tersedia bagi tanaman adalah melalui penanaman dengan metode alur. Sistem tanam alur telah diuji dalam budidaya kedelai di lahan kering oleh Nofrianil. Sistem tanam ini merupakan inovasi dalam budidaya kedelai di lahan kering masam. Penanaman kedelai pada sistem ini dilakukan pada sebuah alur dengan kedalaman 10 cm (Gambar 1B). Sistem tanam alur teruji lebih baik dibandingkan dengan sistem tanam konvensional (Nofrianil, 2012). Pembentukan alur dalam sistem tanam alur akan menambah biaya tenaga kerja, sehingga meningkatkan biaya produksi. Upaya untuk menekan biaya tersebut dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan alur yang terbentuk dari 14 kegiatan pembumbunan dalam budidaya jagung (Gambar 2). Penanaman kedelai dapat dilakukan pada alur tersebut seperti metode yang dilakukan oleh Nofrianil. A B Keterangan : Gambar B dimodofikasi dari Nofrianil, 2012 Gambar 1. Sistem tanam konvensional (A) dan sistem tanam alur (B) Gambar 2. Alur yang terbentuk di lahan tanaman jagung Berdasarkan kondisi yang telah disebutkan di atas, maka percobaan percobaan ini dilakukan pada lahan tanaman jagung. Tanaman jagung yang digunakan adalah tanaman milik petani dengan luas 3,000 m2. Jagung ditanam pada bulan Maret dengan jarak tanam 30 cm x 55 cm dan setiap lubang terdapat 2 benih atau populasi 121,212 tanaman/ha. Pupuk yang diberikan adalah 71.5 kg/ha TSP dan 71.5 kg/ha Urea. Jagung dipanen kering ketika berumur 15 MST. Pemanenan dilakukan dengan cara memangkas tanaman jagung ± 20 cm dari tanah. 15 Persiapan lahan untuk penanaman kedelai dimulai dengan pengendalian gulma ketika umur jagung 11 MST. Lahan jagung dipetakkan dengan ukuran 2.2 m x 5 m atau setiap petak terdapat empat lorong jagung. Petak perlakuan berjumlah 40 buah yang diulang tiga kali sehingga terdapat 120 petak. Penanaman kedelai menggunakan metode tanpa olah tanah. Penempatan perlakuan dilakukan secara acak dan terbagi dalam tiga kelompok (Lampiran 3). Aplikasi pupuk untuk kedelai dilakukan seminggu sebelum tanam atau ketika jagung berumur 12 MST (Gambar 3A). Pupuk diberikan pada alur tanaman jagung yang kemudian dicangkul ringan. Kedelai ditanam dengan sistem tanam sisip pada alur tanaman jagung saat 2 minggu sebelum jagung dipanen (Gambar 3B). Jarak tanam yang digunakan adalah 9 cm x 55 cm dengan 2 benih per lubang atau populasi 404,040 tanaman/ha. Penyulaman tanaman kedelai dilakukan seminggu setelah tanam. A B C Gambar 3. Aplikasi pupuk (A),tanam kedelai (B) dan panen jagung (C) Jagung dipanen pada umur 15 MST atau ketika kedelai berumur 2 MST (Gambar 3C). Perlakuan mulsa brangkasan jagung diberikan bersamaan dengan waktu panen jagung. Jumlah tanaman jagung yang dijadikan mulsa adalah 12 brangkasan untuk luasan 1 m2. Brangkasan jagung yang digunakan meliputi batang, daun dan kelobot. Mulsa ditempatkan di antara barisan tanaman kedelai. Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman yang pertama dilakukan saat kedelai berumur 2 MST. Hama yang dikendalikan adalah moluska dan serangga. Moluska dikendalikan dengan moluskasida butiran berbahan aktif metaldehida 6% w/w. Moluskasida diaplikasikan dengan cara ditempatkan di 16 sekeliling lahan percobaan dengan jarak setiap 2 m. Pengendalian serangga menggunakan insektisida berbahan aktif kloroantraniliprol 100 g/l dan tiametoksam 200 g/l. Aplikasi insektisida dibantu dengan bahan perekat yang memiliki bahan aktif alkilfenol etoksilat 400 g/l dan natrium susinik ester sulfonik 400 g/l. Dosis insektisida yang digunakan adalah 60 ml/ha dan perekat 120 ml/ha dengan volume semprot 180 l/ha. A B Gambar 4. Kondisi lahan setelah guludan diratakan (A) dan tanaman menjelang dipanen (B) Pengendalian gulma pertama dilakukan saat tanaman kedelai berumur 3 MST. Permukaan lahan yang bergulud diratakan ke arah tanaman kedelai, sehingga batang tanaman kedelai terkubur hingga sekitar 5 cm (Gambar 4A). Penentuan tanaman contoh dilakukan saat tanaman kedelai berumur 3 MST. Metode yang digunakan adalah pemilihan secara acak untuk tanaman selain tanaman pinggir. Pengamatan tanaman dilakukan pada umur 4, 6, 8 dan 10 MST pada semua tanaman contoh setiap petakan. Pengamatan destruktif meliputi bobot kering akar, bintil akar, batang, daun dan polong dilakukan pada umur 8 MST. Brangkasan tanaman dikeringkan menggunakan oven di Laboratorium Pasca Panen Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Panen dilakukan ketika 95% populasi mencapai masak dengan ciri-ciri warna polong berubah menjadi kecoklatan (Gambar 4B). Penghitungan hasil panen menggunakan metode ubinan. Luas ubinan yang digunakan adalah 4.4 m2 (Lampiran 8). Tanaman pinggir tidak dimasukkan dalam perhitungan panen ubinan. 17 Pengamatan Pengamatan dilakukan pada 10 tanaman contoh pada tiap satuan percobaan. Secara umum pengamatan dapat dikelompokkan ke dalam pengamatan vegetatif dan pengamatan komponen produksi. Pengamatan vegetatif meliputi pengamatan jumlah daun dan tinggi tanaman pada 4, 6, 8 dan 10 MST serta pengamatan destruktif umur 8 MST. Pengamatan komponen produksi meliputi pengamatan bobot biji kering per petak dan bobot kering 100 butir serta jumlah cabang, polong isi dan hampa per tanaman. Daun yang diamati adalah daun trifoliet yang telah membuka sempurna. Tinggi tanaman diamati dari permukaan tanah hingga titik tumbuh tanaman. Pengamatan destruktif meliputi pengamatan bobot kering akar, daun, batang dan polong. Komponen jumlah cabang, polong isi dan hampa tanaman dilakukan pada setiap tanaman contoh saat panen. Bobot biji 100 butir diperoleh dari pengambilan secara acak 100 biji dari 10 tanaman contoh dengan tiga kali pengulangan. Perhitungan hasil per petak diperoleh dari hasil ubinan dengan luas 4.4 m2 (Lampiran 8). 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Pola tanam di lahan kering Natar adalah jagung-jagung. Jagung musim I ditanam pada awal November dan panen di akhir Februari. Jagung musim II ditanam di awal bulan Maret dan panen pada akhir bulan Juni (Gambar 5A). Tanaman Jagung musim I dan II dipupuk dengan 71.5 kg/ha TSP dan 71.5 kg/ha Urea. Petani telah memberikan kapur di lahan penelitian sejak dua tahun sebelumnya. Pemberian kapur tersebut rutin dilakukan setiap dua tahun sekali. Produktivitas tanaman jagung musim pertama mencapai 8 ton/ha. Namun produktivitas jagung musim II lebih rendah yaitu 6.1 ton/ha. Tanah pada lahan percobaan mengandung 25% pasir, 46% debu dan 29% liat sehingga tergolong jenis tanah bertekstur lempung berliat menurut kriteria USDA (Hardjowigeno, 2007). Lahan percobaan tergolong masam dengan pH 5.2 pada pH H2O. Kemasaman pH tanah percobaan berpengaruh terhadap kandungan hara tanah. Hara P dalam bentuk P2O5 (HCl 25%) yang tergolong sedang (22 mg/100 g), sementara hara K dalam bentuk K2O (HCl 25%) tergolong sangat rendah (7 mg/100 g). Hasil analisis tanah juga menunjukkan bahwa kandungan bahan organik tanah (C dan N total) tergolong sangat rendah (Lampiran 1). Penanaman kedelai dimulai pada minggu keempat bulan Mei 2012. Curah hujan masih cukup banyak diperoleh tanaman pada masa pertumbuhan vegetatif. Namun, curah hujan menurun hingga tanaman kedelai siap panen. Curah hujan yang diperoleh tanaman selama tumbuh adalah 201.4 mm (Lampiran 5). Pertumbuhan kedelai sesuai dengan deskripsi varietas masing-masing. Setiap tanaman mengalami fase pertumbuhan vegetatif dan generatif. Pertumbuhan setiap varietas terhenti setelah mengalami fase berbunga. Semua varietas memiliki bunga berwarna unggu. Daun tanaman mulai rontok pada umur 10 MST. Selain gulma, organisme pengganggu tanaman (OPT) yang menyerang antara lain kepik hijau (Nezara viridula L.), ulat polong (Etiella zinckenella T.), ulat grayak (Spodoptera linura F.), kumbang kedelai (Phaedonia inclusa S.), 19 belalang (Sexava sp.) dan bekicot (Achatina fulica). Serangan yang paling banyak terjadi adalah saat tanaman jagung belum dipanen. Hama yang dominan adalah bekicot yang memakan tanaman kedelai berumur 1-2 MST. Serangan OPT dikendalikan dengan pengendalian secara manual dan kimia. Penyemprotan insektisida dilakukan saat tanaman kedelai berumur 2 MST dan menjelang pembentukan polong. Hasil Pertumbuhan Jumlah daun trifoliet. Berdasarkan analisis ragam terdapat interaksi nyata antara varietas dan kombinasi pupuk terhadap jumlah daun trifoliet umur 4 MST (Lampiran 10). Jumlah daun terbanyak terdapat pada varietas nasional Tanggamus, sedangkan jumlah daun terkecil umumnya dimiliki oleh galur silangan PG-57-1 (Tabel 2). Tabel 2. Jumlah daun trifoliet tanaman kedelai saat 4 MST pada berbagai taraf kombinasi pupuk setiap varietas Kombinasi Pupuk Tanpa pupuk Sp-36+KCl SP-36+KCl+KP SP-36+KCl+KP+PK SP-36+KCl+KP+PK+MS SP-36+AS SP-36+AS+KP SP-36+AS+KP+PK SP-36+AS+KP+PK+MS Varietas Anjasmoro Tanggamus SP-30-4 PG-57-1 ---------------------------- Jumlah Daun ---------------------------5.13 abcdefg 4.52 efghi 5.07 abcdefg 4.73 defgh 4.87 bcdefg 5.63 abcde 4.50 efghi 3.27 k 4.53 efghi 5.83 abcd 5.17 abcdefg 4.16 hijk 5.30 abcdef 6.03 a 5.88 abc 3.42 jk 4.63 efghi 5.40 abcdef 5.03 abcdefg 4.36 fghij 4.80 cdefg 5.40 abcdef 5.37 abcdef 4.53 efghi 4.83 bcdefg 5.94 ab 5.13 abcdefg 3.57 ijk 5.13 abcdefg 6.07 a 5.40 abcdef 4.04 ghijk 5.33 abcdef 5.03 abcdefg 4.07 ghijk 4.93 abcdefg Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT α = 5% (KP = kapur, PK = pupuk kandang, MS = mulsa, AS = abu sekam) Jumlah daun tanaman terus bertambah hingga umur 8 MST (Tabel 3). Terdapat perbedaan jumlah daun antar taraf kombinasi pupuk pada setiap minggu pengamatan (Lampiran 10). Jumlah daun terbanyak terdapat pada taraf kombinasi pupuk SP-36 + abu sekam + kapur + pupuk kandang sapi + mulsa. Walapun 20 demikian, jumlah tersebut tidak berbeda dengan kombinasi pupuk SP-36 + KCl + kapur + pupuk kandang sapi dengan maupun tanpa mulsa. Jumlah daun antar varietas juga menunjukkan adanya perbedaan pada 6, 8 dan 10 MST (Lampiran 10). Jumlah daun kedua galur silangan pada awal pertumbuhan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan varietas nasional. Namun, ketika memasuki umur 8 MST, jumlah daun galur memiliki laju pertumbuhan lebih tinggi. Kedelai galur PG-57-1 merupakan tanaman yang memiliki jumlah daun terbanyak saat tanaman mencapai pertumbuhan vegetatif maksimal, Penggunaan KCl dan abu sekam sebagai sumber hara kalium tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap jumlah daun. Hal ini mengindikasikan bahwa hara kalium dari 1.2 ton/ha abu sekam yang dimanfaatkan oleh tanaman setara dengan kalium dari 100 kg/ha KCl. Perlakuan tanpa pupuk memiliki jumlah daun yang sama dengan kombinasi pupuk yang menggunakan SP-36, KCl atau abu sekam dan kapur. Tabel 3. Jumlah daun trifoliet tanaman kedelai pada berbagai taraf kombinasi pupuk dan varietas Perlakuan Kombinasi pupuk Tanpa pupuk SP-36 SP-36+KCl SP-36+KCl+KP SP-36+KCl+KP+PK SP-36+KCl+KP+PK+MS SP-36+AS SP-36+AS+KP SP-36+AS+KP+PK SP-36+AS+KP+PK+MS Varietas Anjasmoro Tanggamus SP-30-4 PG-57-1 Keterangan : Umur Tanaman 6 MST 8 MST 10 MST ------------------- Jumlah Daun -----------------10.06 d 10.05 d 10.69 bcd 10.72 bcd 11.95 abc 12.48 a 10.50 cd 10.37 d 12.12 ab 12.99 a 17.17 d 17.03 d 18.32 cd 19.47 bcd 23.75 ab 21.66 abc 18.48 cd 22.75 abc 20.15 bcd 24.82 a 12.27 d 13.89 cd 15.41 bc 15.31 bc 18.66 ab 18.46 ab 14.81 cd 14.85 cd 15.89 bc 20.37 a 11.08 b 12.64 a 11.00 b 10.05 c 14.45 c 19.74 b 22.10 b 25.15 a 9.58 d 14.27 c 17.38 b 22.74 a Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5% (KP = kapur, PK = pupuk kandang, MS = mulsa, AS = abu sekam) 21 Tabel 4. Tinggi tanaman kedelai saat 4 MST pada berbagai taraf kombinasi pupuk setiap varietas Kombinasi Pupuk Tanpa pupuk SP-36 SP-36+KCl SP-36+KCl+KP SP-36+KCl+KP+PK SP-36+KCl+KP+PK+MS SP-36+AS SP-36+AS+KP SP-36+AS+KP+PK SP-36+AS+KP+PK+MS Varietas Anjasmoro Tanggamus SP-30-4 PG-57-0 ------------------------------ cm -----------------------------32.77 a 22.58 efghi 20.70 hijkl 18.17 ijklm 27.85 bcd 25.50 cdefg 22.96 efgh 14.17 mn 32.35 a 22.90 efgh 20.28 hijkl 14.53 mn 27.12 bcde 21.97 fghijk 22.28 fghij 15.72 mn 31.12 ab 26.58 bcdef 23.61 defgh 14.15 mn 27.62 bcd 27.67 bcd 21.65 ghijk 17.68 jklm 28.38 abc 25.82 cdefg 22.05 fghijk 16.65 lmn 27.82 bcd 23.63 defgh 21.68 ghijk 12.92 n 29.37 abc 26.35 cdefg 21.62 ghijk 14.84 mn 29.97 abc 23.45 defgh 20.40 hijkl 17.57 klm Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5% (KP = kapur, PK = pupuk kandang, MS = mulsa, AS = abu sekam) Tabel 5. Pertumbuhan tinggi tanaman kedelai pada berbagai taraf kombinasi pupuk dan varietas Kombinasi Pupuk Kombinasi pupuk Tanpa pupuk SP-36 Sp-36+KCl SP-36+KCl+KP SP-36+KCl+KP+PK SP-36+KCl+KP+PK+MS SP-36+AS SP-36+AS+KP SP-36+AS+KP+PK SP-36+AS+KP+PK+MS Varietas Anjasmoro Tanggamus SP-30-4 PG-57-1 Keterangan : Umur Tanaman 6 MST 8 MST 10 MST --------------------------- cm --------------------------40.68 bc 40.29 bc 39.18 c 39.73 bc 40.79 bc 45.68 a 41.48 bc 40.25 bc 40.68 bc 43.84 ab 50.26 de 49.29 e 51.23 de 51.90 cde 57.08 bc 64.32 a 53.14 cde 52.00 cde 55.46 cd 60.91 ab 49.11 e 48.93 e 51.19 de 48.21 e 57.34 abc 63.04 a 53.01 cde 52.74 cde 55.36 cde 60.97 ab 50.55 a 42.73 b 39.91 c 31.84 d 54.79 b 55.57 ab 58.27 a 49.61 c 54.02 ab 53.57 ab 57.04 a 51.33 b Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5%. (KP = kapur, PK = pupuk kandang, MS = mulsa, AS = abu sekam) Tinggi tanaman. Terdapat interaksi sangat nyata antara kombinasi pupuk dan varietas pada karakter pertumbuhan tinggi tanaman saat umur 4 MST 22 (Lampiran 10). Data yang tersaji dalam Tabel 4 secara umum menunjukkan bahwa tanaman tertinggi terdapat pada varietas nasional Anjasmoro. Tinggi tanaman kedelai pada 6, 8 dan 10 MST sangat nyata dipengaruhi oleh kombinasi pupuk yang digunakan (Lampiran 10). Tanaman tertinggi adalah tanaman yang diberi kombinasi pupuk SP-36 + KCl + kapur dolomit + pupuk kandang sapi dan mulsa brangkasan jagung. Walaupun demikian, tinggi tanaman dari kombinasi pupuk tersebut tidak berbeda nyata dengan kombinasi pupuk SP-36 + abu sekam + kapur dolomit + pupuk kandang sapi dan mulsa brangkasan jagung (Tabel 5). Tinggi tanaman pada setiap minggu pengamatan juga menunjukkan perbedaan antar varietas. Data yang tersaji dalam Tabel 5 menunjukkan bahwa laju penambahan tinggi mulai menurun ketika tanaman berumur 8-10 MST. Galur silangan SP-30-4 merupakan tanaman tertinggi pada saat masa vegetatif maksimum. Namun, tinggi tersebut tidak berbeda dengan tinggi tanaman varietas nasional Tanggamus dan tinggi varietas nasional Anjasmoro tidak berbeda dengan varietas nasional Tanggamus. Sedangkan, galur silangan PG-57-1 memiliki keragaan tinggi tanaman paling rendah. Bobot kering tanaman. Bobot kering batang, daun dan akar tanaman kedelai pada 8 MST berbeda sangat nyata antar taraf kombinasi pupuk maupun varietas (Lampiran 10). Bobot polong kering berbeda antar varietas, namun tidak dipengaruhi oleh kombinasi pupuk yang digunakan. Bintil akar tidak terbentuk baik pada tiap varietas maupun tiap kombinasi pupuk (Tabel 6). Terdapat perbedaan bobot kering tanaman yang signifikan pada kombinasi pupuk yang ditambahkan pupuk kandang. Bobot kering pada perlakuan tersebut relatif lebih tinggi dari kombinasi pupuk lainnya. Penambahan mulsa pada kombinasi pupuk tersebut masih belum menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil yang juga menarik pada pengamatan ini adalah bahwa kombinasi pupuk yang tidak ditambahkan pupuk kandang memiliki bobot kering per tanaman yang sama besar dengan tanaman yang tanpa diberi pupuk. Perbedaan bobot kering tanaman juga terjadi antar varietas yang dicobakan. Bobot kering total varietas nasional Tanggamus adalah yang tertinggi yaitu 18.00 g per tanaman. Galur silangan SP-30-4 memiliki bobot kering total 23 sama dengan varietas nasional Anjasmoro yaitu 15.70 dan 15.23 g per tanaman. Sementara galur silangan PG-57-1 memiliki bobot kering total relatif kecil yaitu 13.23 g per tanaman. Tabel 6. Bobot kering tanaman kedelai saat 8 MST pada berbagai taraf kombinasi pupuk dan varietas Komponen Pengamatan Perlakuan Kombinasi pupuk Tanpa pupuk SP-36 SP-36+KCl SP-36+KCl+KP SP-36+KCl+KP+PK SP-36+KCl+KP+PK+MS SP-36+AS SP-36+AS+KP SP-36+AS+KP+PK SP-36+AS+KP+PK+MS Varietas Anjasmoro Tanggamus SP-30-4 PG-57-1 Keterangan : Bintil Akar -------------------------- g / tanaman ------------------------Batang Daun Polong Akar 2.82 c 2.97 c 3.29 c 3.16 c 4.89 ab 5.26 a 3.10 c 3.15 c 3.69 bc 4.54 ab 5.01 c 5.08 c 5.96 bc 5.47 c 7.65 ab 9.58 a 5.16 c 5.49 c 6.19 bc 7.71 ab 3.63 3.19 3.92 4.18 5.38 5.26 4.03 4.47 4.27 3.49 1.12 bc 1.04 c 1.28 bc 1.22 bc 1.53 ab 1.85 a 1.05 c 1.48 abc 1.39 abc 1.42 bc 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.79 b 4.26 a 4.57 a 3.13 b 5.40 b 7.00 a 7.12 a 5.81 b 5.74 a 5.18 a 2.65 b 3.15 b 1.30 ab 1.56 a 1.36 ab 1.14 b 0.00 0.00 0.00 0.00 Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5% (KP = kapur, PK = pupuk kandang, MS = mulsa, AS = abu sekam) Hari saat 50% tanaman berbunga dan panen. Hari saat 50% tanaman berbunga dan hari panen tanaman menunjukkan hubungan interaksi sangat nyata antara varietas dan kombinasi pupuk (Lampiran 10). Tabel 7 dan 8 menyajikan galur silangan SP-30-4 dan PG-57-1 memiliki waktu lebih panjang untuk berbunga dan panen dibandingkan varietas nasional Tanggamus dan Anjasmoro. Varietas nasional Anjasmoro memiliki waktu berbunga dan panen lebih cepat yaitu 32.00-33.33 hari dan 77.33-80.33 hari. Sementara waktu tanaman berbunga dan panen terlama terdapat pada galur silangan PG-57-1 yaitu 38.33-41 hari dan 84-89.33 hari. Hal ini menunjukkan bahwa hari saat 50% tanaman berbunga dan panen lebih dominan dipengaruhi oleh karakter genetik yang dimiliki setiap varietas. 24 Tabel 7. Waktu 50% tanaman kedelai berbunga pada berbagai taraf kombinasi pupuk dan varietas Varietas Anjasmoro Tanggamus SP-30-4 PG-57-2 ------------------------ Hari Berbunga ---------------------33.00 j 36.67 ghi 39.00 bcdef 38.33 def Tanpa pupuk 33.33 j 36.67 ghi 38.67 cdef 38.33 def SP-36 32.00 j 37.67 fgh 39.00 bcdef 40.33 ab SP-36+KCl 32.67 j 36.67 ghi 39.33 bcde 40.00 abc SP-36+KCl+KP 32.67 j 36.33 hi 39.00 bcdef 41.00 a SP-36+KCl+KP+PK 36.67 ghi 40.33 ab 41.00 a SP-36+KCl+KP+PK+MS 32.00 j 32.67 j 36.00 i 39.00 bcdef 40.00 abc SP-36+AS 32.67 j 36.33 hi 39.67 abcd 39.33 bcde SP-36+AS+KP 32.67 j 36.67 ghi 40.00 abc 41.00 a SP-36+AS+KP+PK 38.00 efg 39.33 bcde 41.00 a SP-36+AS+KP+PK+MS 32.33 j Kombinasi Pupuk Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5% (KP = kapur, PK = pupuk kandang, MS = mulsa, AS = abu sekam) Tabel 8. Hari panen tanaman kedelai pada berbagai taraf kombinasi pupuk dan varietas Kombinasi Pupuk Tanpa pupuk SP-36 SP-36+KCl SP-36+KCl+KP SP-36+KCl+KP+PK SP-36+KCl+KP+PK+MS SP-36+AS SP-36+AS+KP SP-36+AS+KP+PK SP-36+AS+KP+PK+MS Varietas Anjasmoro Tanggamus SP-30-4 PG-57-1 -------------------------- Hari Panen ------------------------78.67 jk 80.67 hi 84.67 ef 84.00 fg 78.67 jk 80.67 hi 84.67 ef 84.00 fg 79.67 hij 81.00 hij 86.33 cde 87.00 bcd 79.33 ijk 80.33 hij 86.33 cde 87.33 abcd 80.00 hij 81.33 hi 89.00 ab 87.33 abcd 80.33 hij 81.67 hi 88.00 abc 88.67 ab 79.33 ijk 81.00 hij 87.33 abcd 85.67 def 77.33 k 81.00 hij 87.33 abcd 84.33 ef 80.33 hij 81.33 hi 88.33 abc 88.33 abc 80.33 hij 82.00 gh 88.33 abc 89.33 a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5% (KP = kapur, PK = pupuk kandang, MS = mulsa, AS = abu sekam) Jumlah polong isi, polong hampa dan cabang saat panen. Terdapat perbedaan yang sangat nyata pada komponen jumlah polong isi, polong hampa dan cabang saat panen antar kombinasi pupuk. Perbedaan juga terjadi antar varietas yang digunakan, namun tidak nyata pada komponen jumlah polong hampa (Lampiran 10). 25 Tabel 9. Jumlah polong isi, polong hampa dan cabang tanaman saat panen pada berbagai taraf kombinasi pupuk dan varietas Perlakuan Tanpa pupuk SP-36 SP-36+KCl SP-36+KCl+KP SP-36+KCl+KP+PK SP-36+KCl+KP+PK+MS SP-36+AS SP-36+AS+KP SP-36+AS+KP+PK SP-36+AS+KP+PK+MS Varietas Anjasmoro Tanggamus SP-30-4 PG-57-1 Keterangan : Jumlah Polong isi 29.50 d 31.29 d 35.18 cd 40.16 bcd 55.50 a 56.09 a 35.58 cd 45.93 abc 50.60 ab 55.68 a Jumlah Polong hampa 2.53 b 1.99 b 2.08 b 3.49 ab 5.71 a 5.38 a 2.42 b 3.69 ab 4.22 ab 4.19 ab Jumlah Cabang 1.84 c 2.08 c 2.32 bc 2.49 bc 3.52 a 3.53 a 2.25 bc 2.86 ab 3.32 a 3.30 a 23.87 d 50.22 b 38.73 c 61.38 a 3.25 4.20 3.04 3.79 1.30 d 1.92 b 1.72 c 2.08 a Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5% (KP = kapur, MS = mulsa, PK = pupuk kandang, AS = abu sekam) Perbedaan yang signifikan terjadi diantara kombinasi pupuk yang tidak ditambahkan dengan yang ditambahkan pupuk kandang sapi. Ketiga komponen menunjukkan hasil tertinggi ketika diberi pupuk yang dikombinasikan dengan pupuk kandang sapi. Namun, perbedaan tidak terjadi pada perlakuan kombinasi pupuk SP-36 + abu sekam + kapur. Kombinasi pupuk yang tidak ditambahkan pupuk kandang sapi masih memiliki nilai yang sama besar dengan tanaman yang tanpa dipupuk. Informasi lain yang didapatkan bahwa belum terlihatnya pengaruh baik dari pemberian mulsa brangkasan jagung terhadap tiga komponen tersebut (Tabel 9). Berdasarkan varietas yang dicobakan, jumlah polong isi dan cabang saat panen dari keempat varietas menunjukkan adanya perbedaan. Namun, pada karakter polong hampa, keempat varietas memiliki jumlah polong hampa yang sama banyak. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa galur silangan PG-57-1 memiliki jumlah polong isi dan cabang terbaik. Nilai tersebut berada diatas jumlah polong isi dan cabang varietas nasional Anjasmoro dan Tanggamus. 26 Bobot 100 biji. Bobot 100 biji kedelai antar kombinasi pupuk tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Namun, perbedaan bobot terjadi sangat nyata diantara varietas yang dicobakan (Lampiran 10). Pengujian statistik yang tersaji pada Tabel 10 menunjukkan bahwa varietas nasional Anjasmoro memiliki bobot biji tertinggi yaitu 11.42 g/100 biji. Kemudian bobot biji galur silangan SP-30-4 berada di atas bobot biji varietas nasional Tanggamus yaitu 8.92 g dan 8.25 g per 100 butir biji. Sementara galur silangan PG-57-1 masih memiliki bobot relatif rendah yaitu 5.83 g /100 biji. Produksi biji kering kedelai. Bobot petakan tiap perlakuan diambil dari ubinan seluas 4.4 m2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa bobot petakan berbeda sangat nyata antar perlakuan kombinasi pupuk dan varietas (Lampiran 10). Bobot tertinggi terdapat pada petakan yang dipupuk dengan kombinasi pupuk yang ditambah pupuk kandang sapi (Tabel 10). Tabel 10. Bobot biji kering tanaman kedelai Perlakuan Kombinasi pupuk Tanpa pupuk SP-36 SP-36+KCl SP-36+KCl+KP SP-36+KCl+KP+PK SP-36+KCl+KP+PK+MS SP-36+AS SP-36+AS+KP SP-36+AS+KP+PK SP-36+AS+KP+PK+MS Varietas Anjasmoro Tanggamus SP-30-4 PG-57-1 Keterangan : 100 butir (g) Bobot biji kedelai Ubinan Produktivitas (g/4.4 m2) (ton/ha) 9.28 9.10 9.61 9.60 9.77 9.91 9.55 9.43 9.51 9.54 346.78 d 409.07 cd 372.91 d 517.46 bc 589.94 ab 655.49 a 424.42 d 419.62 cd 601.99 ab 625.55 ab 0.79 d 0.93 cd 0.85 d 1.18 bc 1.34 ab 1.49 a 0.96 d 0.95 cd 1.38 ab 1.42 ab 11.42 a 8.25 c 8.92 b 5.83 d 481.06 b 583.86 a 439.41 b 480.95 b 1.09 b 1.33 a 1.00 b 1.09 b Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5%. KP = kapur, PK = pupuk kandang, MS = mulsa, AS = abu sekam 27 Penggunaan mulsa brangkasan jagung pada kombinasi pupuk terbaik masih belum dapat meningkatkan produksi biji kering. Hasil petakan lainnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan hasil antara bobot petakan perlakuan tanpa pupuk dan kombinasi pupuk yang tanpa ditambah dengan pupuk kandang sapi. Varietas nasional Tanggamus memiliki bobot petakan tertinggi yaitu 583.86 g/4.4 m2 atau setara dengan produktivitas 1.33 ton/ha. Bobot petakan varietas nasional Anjasmoro setara dengan galur silangan SP-30-4 dan PG-57-1. Jika dikonversi dalam satuan hektar, maka produktivitas varietas nasional Anjasmoro, galur silangan SP-34-1 dan PG-57-1 adalah 1.09, 1.00 dan 1.09 ton/ha. Pembahasan A. Pengaruh Varietas Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada Sistem Tanam Alur dan Sisip di Lahan Kering Masam Tanggap varietas terhadap kombinasi pupuk pada karakter jumlah daun (Tabel 2) dan tinggi tanaman (Tabel 4) saat 4 MST, hari berbunga (Tabel 7) dan hari panen (Tabel 8) menunjukkan hubungan interaksi. Hubungan tersebut memberikan informasi bahwa jumlah daun dan tinggi tanaman saat 4 MST, hari berbunga dan hari panen dipengaruhi oleh karakter genetik masingmasing varietas. Varietas nasional Anjasmoro dan Tanggamus serta galur silangan SP-30-4 dan PG-57-1 memiliki karakter pertumbuhan dan produksi biji kedelai yang berbeda. Varietas nasional Anjasmoro memiliki jumlah daun lebih rendah dibandingkan varietas lainnya. Jumlah daun varietas nasional Tanggamus tidak berbeda nyata dengan galur SP-30-4 dan jumlah daun keduanya lebih banyak dibandingkan varietas nasional Anjasmoro. Galur PG-57-1 memiliki keragaan jumlah daun lebih baik di antara empat varietas kedelai yang digunakan (Tabel 3). Perbedaan tersebut diduga sebagai bentuk respon varietas kedelai terhadap lahan kering masam. Varietas nasional Tanggamus (Arsyad et al., 2007) dan galur silangan PG-57-1 (Yunita, 2010) merupakan varietas kedelai unggul yang adaptif terhadap lahan kering masam. 28 Walaupun jumlah daun yang dimiliki oleh galur silangan PG-57-1 terbanyak di antara varietas yang digunakan, tetapi tinggi galur tersebut tidak menunjukkan hal yang serupa. Galur PG-57-1 menunjukkan laju pertumbuhan tinggi tanaman yang lambat (Tabel 5). Lambatnya laju pertumbuhan tersebut menyebabkan tinggi tanaman masih bertambah hingga umur 10 MST, sedangkan tinggi tanaman tiga varietas lainnya telah terhenti. Namun, hingga akhir pertumbuhan tanaman, baik tinggi tanaman galur SP-30-4 dan PG-57-1 tidak menunjukkan perbedaan dengan kedua varietas nasional. Bobot kering brangkasan tanaman yang terdiri atas batang, daun, polong dan akar berbeda antar varietas. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah biomassa yang terbentuk berbeda antar varietas. Bobot kering daun tertinggi terdapat pada varietas nasional Tanggamus dan galur SP-30-4 dan secara umum menunjukkan hasil yang sama pada bagian brangkasan tanaman. Jumlah daun tetinggi yang dimiliki oleh galur PG-57-1 (Tabel3) tidak disertai dengan besarnya biomassa yang terbentuk (Tabel 6). Hal ini diduga adanya pengaruh dari bentuk daun kedua varietas tersebut. Bentuk daun galur SP-30-4 menyerupai bentuk daun varietas nasional Tanggamus yaitu lanceolate atau lancip (Lampiran 2), sehingga keadaan tersebut memungkinkan cahaya matahari menembus bagian dalam tajuk. Oleh karena itu, luasan bagian tanaman yang mampu berfotosintesis meningkat. Bobot kering bintil akar tidak berbeda nyata antar varietas. Keberadaan bintil akar tidak ditemukan pada setiap varietas saat umur 8 MST. Ketika tanah kekurangan N, tanaman legum mampu memfiksasi N udara melalui simbiosis dengan bakteri (Christophe et al., 2011). Namun, kondisi kering, kesuburan tanah, suhu dan umur tanaman saat diamati merupakan faktor penentu keberadaan bintil akar. Menurut Adie dan Krisnawati (2007), bintil akar tanaman kedelai di lahan kering pada minggu keenam hingga ketujuh telah mengalami pelapukan. Pelapukan ini diduga yang menjadi penyebab tidak ditemukannya bintil akar pada tanaman kedelai umur 8 MST. Keragaan pertumbuhan vegetatif dan generatif empat varietas tertera pada Lampiran 6. Varietas nasional Tanggamus memiliki produktivitas tertinggi yaitu 1.33 ton/ha. Bahkan melalui penerapan pemupukan yang mengombinasikan pupuk SP-36 + abu sekam + kapur + pupuk kandang sapi memiliki produktivitas 29 1.89 ton/ha (Lampiran 4). Hasil ini menggambarkan kemampuan adaptasi yang baik dari varietas nasional Tanggamus di lahan kering masam. Hal ini didukung juga dengan bobot biomassa total per tanaman yaitu 18.00 g (Tabel 6) dan jumlah polong isi 50.22 per tanaman (Tabel 9). Bobot tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya. Bobot 100 butir kedelai keempat varietas mengalami penurunan jika dibandingkan dengan deskripsi masing-masing varietas dan hasil dari percobaan sebelumnya (Tabel 10). Bobot 100 butir varietas nasional Anjasmoro dan Tanggamus adalah 14.8-15.3 g dan 11.0 g (Litbang, 2013). Dengan demikian, bobot 100 biji varietas nasional Anjasmoro dan Tanggamus turun 24.12 dan 25.00%. Bobot 100 butir galur silangan SP-30-4 dan PG-57-1 adalah 9.08 dan 8.46 g (Nofrianil, 2012). Maka, bobot 100 butir galur-galur tersebut mengalami penurunan 1.76 dan 31.09%. Penurunan bobot biji kedelai diduga karena pengaruh dari kekurangan air dan penggunaan jarak tanam dalam baris yang terlalu sempit. Curah hujan yang turun ketika tanaman memasuki fase pengisian polong tergolong rendah yaitu 26 mm/bulan (Lampiran 5). Berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman, curah hujan di bawah 100 mm/bulan tergolong rendah bagi tanaman palawija (Handoko, 1995). Tanaman akan merespon cekaman kekeringan dengan cara mengurangi fotosintesis sehingga akan menghasilkan biomassa dalam jumlah yang lebih sedikit (Lisar et al., 2011). Selain pengaruh ketersediaan air, diduga penurunan bobot 100 butir tanaman kedelai disebabkan oleh kerapatan jarak tanam. Jarak tanam dalam baris yang digunakan adalah 9 cm dengan 2 tanaman per lubang. Kondisi ini akan memungkinkan tajuk tanaman saling berhimpit sehingga menyebabkan banyak daun negatif. Daun negatif tidak menghasilkan fotosintat untuk digunakan dan disimpan oleh tanaman (Harjadi, 1996). Jumlah polong isi yang terbentuk tidak diimbangi dengan luasan daun yang mampu berfotosistesis. Akibatnya, fotosintat akan didistribusikan ke dalam banyak polong sehingga setiap polong tidak mendapatkan fotosintat yang maksimal untuk disimpan. Jarak tanam yang terlalu rapat dapat menurunkan jumlah bobot biji kedelai (Supriono, 2000). Galur PG-57-1 memiliki jumlah daun dan polong isi terbanyak 30 yaitu 25.15 daun dan 65.17 buah. Penurunan bobot galur tersebut adalah yang terbesar dibandingkan dengan varietas lainnya. Tinggi tanaman galur PG-57-1 rata-rata mencapai 51.33 cm. Hal ini jelas menunjukkan bahwa banyak daun yang saling berhimpit sehingga kurang memproduksi fotosintat. B. Pengaruh Kombinasi Pupuk Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada Sistem Tanam Alur dan Sisip di Lahan Kering Masam Taraf kombinasi pupuk yang menggunakan KCl sebagai sumber hara kalium tidak menunjukkan perbedaan dengan abu sekam terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai. Hal ini diduga bahwa kandungan kalium dalam 1.2 ton abu sekam setara dengan 100 kg KCl. Abu sekam memiliki unsur hara K 37.9 g/100 g (Lampiran 7). Dengan demikian, penggunaan 1.2 ton/ha abu sekam setara dengan penambahan unsur K 45.5 kg/ha dan penggunaan pupuk KCl 100 kg/ha setara dengan unsur K 50 kg. Kandungan K antara kedua bahan pupuk yang tidak jauh berbeda diduga menyebabkan respon tanaman terhadap kedua pupuk tersebut tidak berbeda. Pertumbuhan jumlah daun (Tabel 3) dan tinggi tanaman (Tabel 5) perlakuan tanpa pupuk tidak berbeda dengan kombinasi pupuk SP-36, SP-36 yang ditambah KCl atau abu sekam, dan SP-36 + kapur yang ditambah dengan KCl atau abu sekam. Hal ini diduga bahwa adanya pengaruh residu pupuk dari pemupukan di musim sebelumnya yang masih tersedia bagi tanaman kedelai. Tanaman menggunakan pupuk P yang diberikan pada musim pertama tidak lebih dari 20%. Sebagian P terfiksasi akan tetap tinggal di daerah perakaran dan secara perlahan tersedia bagi tanaman pada musim berikutnya (Munawar, 2011). Hasil analisis tanah awal menunjukkan bahwa kandungan hara fosfor dalam bentuk tergolong dalam kategori sedang (Lampiran 1). Diduga tanaman kedelai tanpa pemupukan memanfaatkan hara tersebut. Hasil analisis tanah menunjukkan nilai pH 5.2 sehingga lahan kering percobaan dikriteriakan sebagai lahan masam. Namun, secara umum pertumbuhan dan produksi tanaman pada perlakuan tanpa pemupukan relatif baik. Hal ini diduga karena pengaruh dari Al yang rendah sehingga ketersediaan P yang dapat diserap oleh tanaman relatif sedang (Lampiran 1). 31 Produksi biji kedelai didukung oleh pertumbuhan tanaman kedelai. Tanaman dengan pertumbuhan terbaik juga memiliki produksi biji kering terbaik. Pertumbuhan dan produksi terbaik terdapat pada tanaman kedelai dengan pemupukan yang menggunakan kombinasi pupuk 200 kg/ha SP-36 + 1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk kandang sapi yang ditambah dengan 100 kg/ha KCl atau 1.2 ton/ha abu sekam. Pertumbuhan dan produksi kedelai terbaik terdapat pada taraf kombinasi pupuk yang menambahkan pupuk kandang sapi. Bobot biomassa dan produksi biji kering kedelai dengan kombinasi pupuk SP-36 + KCl + kapur serta kombinasi SP36 + abu sekam + kapur akan meningkat ketika kombinasi tersebut ditambahkan pupuk kandang sapi. Selain berpengaruh baik terhadap pertumbuhan tanaman, kombinasi pupuk yang ditambah dengan pupuk kandang sapi juga berpengaruh terhadap produksi biji. Perlakuan kombinasi pupuk SP-36 + kapur + pupuk kandang sapi dengan tambahan KCl atau abu sekam memiliki hasil bobot petakan terbaik (Tabel 10). Pupuk kandang sapi merupakan salah satu bahan organik yang memiliki sifat baik bagi tanah. Menurut Bailey (1986), bahan organik mampu menyimpan air dan memperbaiki porositas, meningkatkan KTK serta membentuk struktur tanah, dan bahan organik yang dijadikan mulsa dapat menekan laju kehilangan air tanah (evaporasi). Sukartaatmadja (2001) menambahkan bahwa bahan organik merupakan unsur esensial bagi tanah karena akan mendukung perbaikan kondisi sifat fisik, biologi dan kimia tanah, juga sebagai bahan dasar pada berbagai populasi mikroorganisme tanah. Menurut Lumbanraja (2012), yang lebih berperan dari sifat baik pupuk kandang sapi adalah kadar air yang dapat disimpan oleh bahan tersebut yang mampu menjadikan tanaman kedelai tumbuh dan berproduksi lebih baik. Sebagaimana diketahui bahwa air tanah berperan dalam melarutkan hara agar menjadi tersedia bagi tanaman. Adanya air memungkinkan tanaman lebih banyak menyerap hara yang tersedia dalam tanah. Hal ini dapat dilihat dari bobot biomassa tanaman yang terbentuk. Bobot biomassa pada kombinasi pupuk yang menambahkan pupuk kandang sapi lebih tinggi 16.25% (Tabel 6). 32 Ketersediaan air tanah berperan sangat besar dalam pemupukan khususnya sebagai pelarut dalam tanah karena hara tersedia terdapat pada larutan tanah. Kondisi kering menyebabkan ketersediaan hara bagi tanaman akan berkurang. Jumin (2005) menjelaskan bahwa kandungan air tanah mempengaruhi transpor hara dari tanah ke akar tanaman dengan cara mempengaruhi laju difusi dan aliran massa air. Faktor tersebut mempengaruhi jumlah hara yang dapat diabsorpsi tanaman. Koefisien difusi akan menurun delapan kali lipat ketika terjadi penurunan air dua kali lipat. Pengaruh positif dari penggunaan mulsa brangkasan jagung dalam percobaan ini masih belum memberikan hasil yang signifikan kecuali pada karakter tinggi tanaman. Penggunaan mulsa brangkasan jagung pada kombinasi pupuk SP-36 + kapur + pupuk kandang sapi dengan tambahan KCl atau abu sekam tidak menunjukkan perbedaan dengan tanpa penggunaan mulsa. Hal tersebut diduga akibat dari kurangnya jumlah mulsa yang digunakan. Menurut Lumbanraja (2012), peran utama mulsa organik adalah mampu meningkatkan kadar air tanah. Hasil pengamatan yang menunjukkan tidak adanya perbedaan antara tanaman yang diberi mulsa dan tidak diberi mulsa mengindikasikan bahwa fungsi utama mulsa organik tersebut tidak dicapai. Diduga, jumlah evaporasi yang terjadi pada lahan yang ditutupi mulsa sama dengan tanpa ditutupi mulsa. Akibatnya, tidak terjadi peningkatan kadar air tanah yang berdampak pada pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai. C. Penerapan Teknologi Sistem Tanam Alur dan Sisip dalam Budidaya Kedelai di Lahan Kering Masam Teknologi budidaya sistem tanam alur dan sisip dengan perbaikan kesuburan tanah melalui kombinasi pupuk mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi biji kering kedelai di lahan kering masam. Hasil pengujian nilai tengah bobot biomassa per tanaman dan produksi biji kering tanaman kedelai antara budidaya sebelum disisipkan dan dengan sistem sisip menunjukkan adanya perbedaan. Bobot biomassa dan produksi biji kering tanaman kedelai sistem tanam sisip lebih tinggi dibandingkan dengan bukan sistem tanam sisip (Lampiran 9). 33 Produksi biji kering kedelai yang diperoleh melalui teknologi tersebut anatara lain varietas nasional Anjasmoro 1.09 ton/ha, Tanggamus 1.33 ton/ha, galur silangan SP-30-4 1.00 ton/ha dan galur silangan PG-57-1 1.09 ton/ha. Jika dibandingkan dengan hasil biji kering tanaman kedelai bukan sisip (pola tanam jagung-jagung-kedelai), maka tanaman kedelai melalui sistem sisip (pola tanam jagung-jagung-kedelai sisip) mengalami peningkatan produksi biji kering hingga 116.60% (Lampiran 9). Sistem tanam alur dan sisip terbukti merupakan pengolahan lahan yang dapat meningkatkan hasil panen tanaman kedelai yang dibudidayakan pada lahan kering. Peningkatan tersebut diduga karena terjadi peningkatan curah hujan yang diterima selama masa tumbuh tanaman kedelai. Berdasarkan curah hujan rata-rata 12 tahun terakhir menunjukkan bahwa kedelai yang ditanam sebelum disisip (Gambar 5B) mendapatkan jumlah curah hujan 210 mm selama tumbuh. Jumlah curah hujan yang didapatkan tanaman kedelai sisip (Gambar 5C) selama tumbuh adalah 276 mm. Peningkatan jumlah curah hujan yang diperoleh pada tanaman kedelai sisip selama tumbuh masih belum memenuhi kebutuhan air optimum. Tanaman kedelai membutuhkan sekitar 300-450 mm air selama masa pertumbuhannya untuk mencapai pertumbuhan yang optimal (Adisarwanto et al., 2007). Belum terpenuhinya kebutuhan air yang optimum terlihat dari penurunan bobot 100 biji. Bobot 100 biji akan menurun dengan semakin meningkatnya cekaman kekeringan (Kisman, 2010). Penurunan bobot 100 biji yang terjadi pada varietas nasional Anjasmoro dan Tanggamus serta galur silangan SP-30-4 dan PG-57-1 berturutturut adalah 24.12, 25.00, 1.76 dan 31.09%. Hal tersebut mengindikasikan curah hujan yang terjadi pada masa pertumbuhan kedelai sisip masih belum mencukupi. Upaya untuk mendapatkan curah hujan yang dibutuhkan tanaman kedelai agar tumbuh optimal dapat dilakukan dengan cara memajukan masa tanamnya. Langkah yang dapat direkomendasikan adalah dengan cara menyisipkan tanaman jagung musim II terhadap tanaman jagung musim I. Ketersediaan air melalui langkah tersebut diharapkan dapat dipenuhi dari curah hujan yang tersedia. 34 Keterangan : = waktu aplikasi pupuk untuk tanaman kedelai, = waktu pengolahan lahan, A = pola tanam di lahan kering Kecamatan Natar, B = pola tanam jagung-jagung-kedelai, C = pola tanam jagung-jagung-kedelai sisip, D = pola tanam jagung-jagung sisip-kedelai sisip Gambar 5. Pola tanam di lahan kering masam Kecamatan Natar, Lampung Penyisipan tanaman jagung musim II terhadap tanaman jagung musim I dapat mempercepat masa tanam kedelai. Jagung pada pola tanam jagung-jagungkedelai sisip di tanam pada minggu awal bulan Maret. Waktu penanaman tersebut membuat penyisipan tanaman kedelai dilakukan di minggu akhir bulan Mei. Penyisipan jagung musim II pada jagung musim I dapat membuat waktu tanam jagung musim II dan kedelai maju empat minggu lebih awal. Dengan demikian, penanaman kedelai dapat dilakukan di minggu akhir bulan April (Gambar 5D). 35 Apabila dibandingkan dengan pola tanam jagung-jagung-kedelai (Gambar 5B), maka penanaman kedelai pada pola tanam jagung-jagung sisip-kedelai sisip dapat dilakukan sembilan minggu lebih awal. Kelebihan pola tanam jagung-jagung sisip-kedelai sisip adalah masih terdapatnya curah hujan yang cukup untuk pertumbuhan tanaman kedelai. Berdasarkan curah hujan rata-rata 12 tahun terakhir (2000-2011) di Kecamatan Natar, bulan basah terjadi pada bulan Desember sampai April dan bulan kering terjadi pada bulan Juli sampai Oktober (Lampiran 5). Jika penanaman kedelai sisip dapat dilakukan di minggu terakhir bulan April, maka jumlah curah hujan yang bisa didapatkan oleh tanaman kedelai selama tumbuh adalah 319 mm. curah hujan tersebut sudah mencukupi kebutuhan air bagi tanaman kedelai untuk tumbuh optimal, sehingga langkah ini diduga dapat menghasilkan pertumbuhan dan produksi kedelai yang lebih baik. Umumnya produksi jagung musim II lebih rendah dibandingkan dengan produksi pada musim I. Hal tersebut diduga akibat dari rendahnya curah hujan yang terjadi pada bulan Mei. Penyisipan jagung musim II pada jagung musim I diduga juga dapat meningkatkan produksi jagung musim II. Jika tanaman jagung musim II ditanam sisip pada dua minggu sebelum tanaman jagung musim I dipanen, maka waktu penanamannya akan lebih cepat empat minggu (Gambar 5D). Melalui penanaman sisip, maka jagung musim II dapat ditanam pada minggu awal Februari. Dengan demikian, jagung musim II akan dipanen pada awal bulan Mei, sehingga akan terhindar dari curah hujan yang rendah. 36 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kombinasi pupuk 200 kg/ha SP-36 + 1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk kandang sapi yang ditambah dengan 100 kg/ha KCl atau 1.2 ton/ha abu sekam menghasilkan tinggi tanaman, jumlah daun, bobot kering dan hasil panen kedelai yang terbaik. Penggunaan mulsa brangkasan jagung tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Terdapat perbedaan karakter tinggi tanaman, jumlah daun, bobot kering tanaman, waktu berbunga dan waktu panen antar varietas. Varietas nasional Tanggamus menghasilkan tinggi, jumlah daun dan produksi biji kering terbaik dibandingkan galur SP-30-4, PG-57-1 dan varietas nasional Anjasmoro. Produksi biji kering varietas nasional Tanggamus mencapai 1.33 ton/ha. Varietas nasional Anjasmoro menghasilkan biji kering 1.09 ton/ha, namun tidak berbeda nyata dengan galur SP-30-4 dan PG-57-1 yang menghasilkan biji kering 1.00 dan 1.09 ton/ha. Terdapat interaksi antara kombinasi pupuk dan varietas pada sistem tanam alur dan sisip terhadap jumlah daun dan tinggi tanaman pada 4 MST, hari berbunga dan panen tanaman kedelai. Hari berbunga dan panen varietas nasional Anjasmoro dan Tanggamus lebih cepat daripada galur silangan SP-30-4 dan PG-57-1. Saran Diperlukan percobaan lebih lanjut tentang budidaya kedelai sistem tanam alur dan sisip terhadap jagung pada berbagai jarak tanam. Perlu juga percobaan lebih lanjut tentang penyisipan tanaman jagung musim II pada tanaman jagung musim I agar waktu tanam kedelai dapat dimajukan untuk mendapatkan kecukupan air hujan. 37 DAFTAR PUSTAKA Abdulgani, J. Y. 2000. Tumpang Gilir (Relay Planting) antara Jagung dan Kacang Hijau atau Kedelai Sebagai Alternatif Peningkatan Produktivitas Lahan Kering di NTB. LPPTP Mataram. Mataram. Adie, M. M. dan Krisnawati, A. 2007. Biologi Tanaman Kedelai, hal. 45-73 Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto dan H. Kasim (Eds). Kedelai, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Adisarwanto, T., Subandi dan Sudaryono. 2007. Teknologi Produksi Kedelai, hal. 229-252 Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto dan H. Kasim (Eds). Kedelai, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Arsyad, D. M., M. M. Adie dan H. Kuswantoro. 2007. Perakitan Varietas Unggul Kedelai Spesifik Agroekologi, hal. 205-228 Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto dan H. Kasim (Eds). Kedelai, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Atman. 2006. Pengelolaan Tanaman Kedelai di Lahan Kering Masam. Jurnal Ilmiah Tambua 3 : 281-287 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2013. Kedelai Varietas Anjasmoro. http://eproduk.litbang.deptan.go.id/product.php?id_product= 259 [23 Januari 2013] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2013. Kedelai Varietas Tanggamus.http://eproduk.litbang.deptan.go.id/product.php?id.product=26 4 [23 Januari 2013] Badan Pusat Statistik . 2012. Statistik Indonesia 2012. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Bailey, H. H. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Barchia, M. F. 2009. Agroekosistem Tanah Mineral Masam. UGM Press. Yogyakarta. Beuerlein, J. 2001. Relay Cropping Wheat and Soybeans. www.Ohioline.osu.edu/ agf-fact/0106 [7 Januari 2013]. Board, J. E. and C. S. Kahlon. 2011. Soybean Yield Formation: What Controls It and How It Can Be Improved, p. 1-36 In H. A. El-Shemy (Ed). Soybean Physiology and Biochemistry. InTech. Croatia. 38 Bunyamin, Z. dan M. Aqil. 2010. Analisis Iklim Mikro Tanaman Jagung (Zea mays L.) pada Sistem Tanam Sisip. Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Hal. 294-300 Christophe,S., Jean-Christophe, A., Annabelle, L., Alain, O., Marion, P., and Anne-Sophie, V. 2011. Plant N Fluxes and Modulation by Nitrogen, Heat and Water Stresses A Review Based on Comparison of Legumes and Non Legume Plants, p. 79-118 In A. K. Shaker and B. Venkateswarlu (Eds). Abiotic Stress In Plants – Mechanisms and Adaptations. InTech. Croatia. Dharmaswara, I. 2012. Pengaruh Pemupukan Abu Jerami Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai di Lahan Rawa Pasang Surut. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 52 hal. Direktorat Jendral Perguruan Tinggi. 1991. Kimia Tanah. Derektorat Jendral Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Fikrianti, M. 2010. Uji Daya Hasil Lanjutan Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Toleran Naungan di Bawah Tegakan Karet Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 54 hal. Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya. Jakrta. Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Harjadi, S. S. 1996. Pengantar Agronomi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Harmida. 2010. Respons Pertumbuhan Galur Harapan Kedelai (Glycine max (L.) Merril) pada Lahan Masam. Jurnal Percobaan Sains 13 (2) : 41-48 Hermantoro. 2011. Teknologi Inovatif Irigasi Lahan Kering dan Lahan Basah Studi Kasus Untuk Tanaman Lada Perdu. Agroteknose 1 : 37-44 Jumin, H. B. 2005. Dasar-Dasar Agronomi. Revisi 5. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Karamoy, L. T. 2009. Relationship Between Climate and Soybean (Glycine max (L.) Merrill) Growth. Soil Environment 7 (1) : 65-68 Kisman. 2010. Karakter Morfologi Sebagai Penciri Adaptasi Kedelai Terhadap Cekaman Kekeringan. Agroteksos 20 (1) : 23-29 Kuntyastuti, H. dan A. Taufiq. 2008. Komponen Teknologi Budidaya Kedelai di Lahan Kering. Buletin Palawija 16 : 31-47 Kusbini. 2010. Dewan Kedelai Dukung Swasembada Kedelai Tahun 2014. http//bataviase.co.id / detailberita-10527632.html. [2 Mei 2011]. 39 Leiwakabessy, F. M. dan B. Sumawinata. 1986. Pengaruh Pupuk Kandang sapi dan TSP Terhadap Berbagai Sifat Kimia Tanah Merah Tropika Basah dan Produksi Tanaman. Laporan Percobaan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lisar, S.Y.S., Motafakkerazad, R., Hossain, M.M., and Rahman, I.M.M. 2012. Water Stress in Plants Causes, Effects and Responses, p. 1-14 In I. Md. M. Rahman and H. Hasegawa (Eds). Water Stress. InTech. Croatia. Lumbanraja, P. 2012. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Sapi dan Jenis Mulsa Terhadap Kapasitas Pengang Air Tanah dan Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine max (L.)) var Willis pada Tanah Ultisol Simalingkar. Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi 5 (2) : 58-72 Marwoto, S. Hardianingsih, A. dan Taufiq. 2006. Hama Penyakit dan Masalah Hara pada Beberapa Tanaman Kedelai Identifikasi dan Pengendaliannya. Pusat Peneitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor Munawar, A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. IPB Press. Bogor. Nofrianil. 2012. Pengaruh Sistem Olah Tanah Dan Pemupukan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Genotipe Kedelai di Lahan Kering Masam. Tesis. Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 64 hal. Nurhayati, Nuryadi, Basuki, Indawansani. 2010. Analisis Karakteristik Iklim Untuk Optimalisasi Produksi Kedelai di Provinsi Lampung. Pusat Percobaan dan Pengembangan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta. Oktaviana, L. 2010. Uji Daya Hasil Galur-Galur Harapan Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Berdaya Hasil Tinggi. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 60 hal. Prasetyo, D. 2010. Uji Daya Hasil Lanjutan Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Toleran Naungan di Bawah Tegakan Karet Rakyat di Provinsi Jambi. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 56 hal. Saefulloh, S. 2000. Penentuan Waktu Tanam Optimal pada Kondisi Iklim Ekstrim dan Normal di Jember-Jawa Timur. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. 62 hal. Samosir, P.M. 2010. Pemberian Abu Sekam Padi dan Fosfat Alam Sebagai Pengganti Pupuk KCL dan SP-36 Pada Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah (Oryza sativa). Skripsi. Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. 45 hal. 40 Sanchez, P. A. 1993. Sifat dan Pengolahan Tanah Tropika. Jilid 2. Penerbit ITB. Bandung. Subandi. 2007. Teknologi Produksi dan Strategi Pengembangan Kedelai pada Lahan Kering Masam. Iptek Tanaman Pangan 2 (1) : 12-25 Suharsono, dan M. Yusuf. 2009. Uji Daya Hasil Beberapa Galur Kedelai di Beberapa Lokasi Dalam Rangka Perakitan Kultivar Unggul. Laporan Percobaan. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Sukartaatmadja, S. 2001. Penggunaan Bahan Organik Untuk Konservasi Tanah. Laboratorium Teknik Tanah dan Air, Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sumarno dan Manshuri, A. G. 2007. Persyaratan Tumbuh dan Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia, hal. 74-103 Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto dan H. Kasim (Eds). Kedelai, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Supriono. 2000. Pengaruh Dosis Urea Tablet dan Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai Kultivar Sindoro 2 (2) : 64-71 Sutedjo, M. M. 1987. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta. Wahyudin, U. M. 1991. Daya Ganti Pengikat Al, Fe, dan Mn Oleh Sisa Tanaman Kacang Tanah, Padi, dan Jagung Terhadap Kebutuhan Kapur pada Podzolik dari Gajrug Dalam Sistem Pergiliran Tanaman (Tahun ke-2). Laporan Percobaan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Yuliarti, N. 2009. 1001 Cara Menghasilkan Pupuk Organik. Lily Publisher. Yogyakarta. Yunita, R. 2010. Uji Daya Hasil Lanjutan Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Toleran Naungan di Bawah Tegakan Karet Rakyat di Desa Sebapo Kabupaten Muaro, Jambi. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 63 hal. 41 LAMPIRAN 42 Lampiran 1. Hasil analisis tanah awal Variabel Tekstur Pasir Debu Liat Satuan Nilai Kriteria % % % 25 46 29 Lempung berliat 5.2 Masam pH (H2O) Bahan Organik C Walklel&Black N Kjeidahl % % 0.80 0.08 Sangat rendah Sangat rendah P2O5 HCl 25% K2O HCl 25% P2O5 Bray 1 mg/100 g mg/100 g ppm 22 7 8.3 Sedang Sangat rendah Rendah Nilai Tukar Kation Ca Mg K Na KTK KB cmolc/kg cmolc/kg cmolc/kg cmolc/kg cmolc/kg % 4.78 0.64 0.11 0.09 8.93 63 Rendah Rendah Rendah Sangat rendah Rendah Tinggi Al3+ cmolc/kg 0.04 Sangat Rendah Keterangan : Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah, Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Sumber daya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Penilaian kriteria berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah, 1993 dalam Hardjowigeno, 2007). 43 Lampiran 2. Deskripsi varietas kedelai Tanggamus dan Anjasmoro Deskripsi Varietas Tanggamus Dilepas tahun : 22 Oktober 2001 SK Mentan : 536/Kpts/TP.240/10/2001 Hasil rata-rata : 1.22 t/ha Warna hipokotil : Ungu Warna epikotil : Hijau Warna kotiledon : Kuning Warna bulu : Coklat Warna bunga : Ungu Warna kulit biji : Kuning Warna polong masak : Coklat Warna hilum : Coklat tua Bentuk biji : Oval Bentuk daun : Lanceolate Tipe tumbuh : Determinit Umur berbunga : 35 hari Umur saat panen : 88 hari Tinggi tanaman : 67 cm Percabangan : 3–4 cabang Bobot 100 biji : 11.0 g Ukuran biji : Sedang Kandungan protein : 44.5% Kandungan lemak : 12.9% Kandungan air : 6.1% Kerebahan : Tahan rebah Ketahanan thd penyakit : Moderat karat daun Sifat-sifat lain : Polong tidak mudah pecah Wilayah adaptasi : Lahan kering masam Pemulia : Darman MA., M. Muchlish Adie, Heru Kuswantoro, dan Purwantoro 44 Lampiran 2. Lanjutan…. Deskripsi Varietas Anjasmoro Dilepas tahun : 22 Oktober 2001 SK Mentan : 537/Kpts/TP.240/10/2001 Daya hasil : 2.03–2.25 t/ha Warna hipokotil : Ungu Warna epikotil : Ungu Warna daun : Hijau Warna bulu : Putih Warna bunga : Ungu Warna kulit biji : Kuning Warna polong masak : Coklat muda Warna hilum : Kuning kecoklatan Bentuk daun : Oval Ukuran daun : Lebar Tipe tumbuh : Determinit Umur berbunga : 35.7–39.4 hari Umur polong masak : 82.5–92.5 hari Tinggi tanaman : 64 - 68 cm Percabangan : 2.9–5.6 cabang Jml. buku batang utama : 12.9–14.8 Bobot 100 biji : 14.8–15.3 g Kandungan protein : 41.8–42.1% Kandungan lemak : 17.2–18.6% Kerebahan : Tahan rebah Ketahanan thd penyakit : Moderat terhadap karat daun Sifat-sifat lain : Polong tidak mudah pecah Pemulia : Takashi Sanbuichi, Nagaaki Sekiya, Jamaluddin M., Susanto, Darman M.A., dan M. Muchlish Adie Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2013 45 Lampiran 3. Denah petak percobaan V1P0 V2P0 V1P3 V3P8 V1P7 V4P4 V2P1 V1P1 V4P4 V2P4 V3P5 V1P8 V2P1 V1P1 V4P1 V4P0 V4P7 V2P4 V2P5 V4P6 V1P9 V4P9 V3P7 V2P8 V3P1 V4P2 V3P0 V3P6 V3P0 V2P2 V1P6 V2P7 V1P4 V2P9 V4P5 V1P7 V2P6 V3P3 V2P2 V4P8 V3P6 V4P8 V1P4 V2P9 V1P2 V3P4 V3P2 V4P7 V1P4 V1P2 V2P5 V1P6 V3P1 V2P6 V1P2 V3P4 V2P5 V4P6 V1P5 V3P9 V2P9 V3P4 V4P6 V2P7 V4P2 V3P3 V3P7 V1P3 V1P6 V2P7 V4P3 V2P3 V4P5 V3P2 V1P5 V4P3 V1P5 V4P3 V2P8 V3P8 V1P0 V2P1 V3P1 V2P6 V1P7 V4P7 V3P9 V2P3 V4P5 V3P2 V1P9 V1P0 V2P0 V1P1 V4P2 V3P3 V4P4 V2P4 V3P5 V1P8 V4P1 V4P0 V4P9 V2P0 V1P3 V4P1 V3P0 V2P2 V1P9 V4P9 V3P7 V2P8 V2P3 V1P8 V3P9 V3P5 V3P8 V4P0 V3P6 V4P8 Ulangan III Ulangan II Keterangan : V = varietas P = kombinasi pupuk Ukuran petak percobaan = 5 m x 2.2 m Ulangan I U 46 Lampiran 4. Produktivitas tanaman kedelai pada berbagai perlakuan kombinasi pupuk setiap varietas Kombinasi pupuk Tanpa pupuk SP-36 Sp-36+KCl SP-36+KCl+KP SP-36+KCl+KP+PK SP-36+KCl+KP+PK+MS SP-36+AS SP-36+AS+KP SP-36+AS+KP+PK SP-36+AS+KP+PK+MS Rata-rata Varietas Anjasmoro Tanggamus SP-30-4 PG-57-1 -------------------------- ton/ha ------------------------ 0.69 0.84 0.78 1.42 1.28 1.41 0.94 0.88 1.15 1.53 1.09 0.91 1.14 1.05 1.48 1.21 1.77 1.11 1.16 1.89 1.57 1.33 0.76 0.78 0.69 0.80 1.43 1.14 0.90 0.88 1.43 1.16 1.00 Keterangan : KP = kapur, PK = pupuk kandang, MS = mulsa, AS = abu sekam 0.78 0.96 0.87 1.00 1.44 1.65 0.90 0.90 1.01 1.42 1.09 47 Lampiran 5. Data iklim bulanan tahun 2000 – 2012 di Kecamatan Natar Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Rataan* ------------------------------------------------ Curah Hujan (mm) --------------------------------------------------Januari 241 263 356 230 208 230 327 344 165 327 33 412 227.4 261.33 Februari 197 217 113 355 314 286 290 103 183 307 308 173 192.4 237.17 Maret 162 198 489 256 194 273 251 202 247 81.9 361 194 172.6 242.41 April 299 79 186 162 509 122 195 304 434 160 72.4 192 242.5 226.20 Mei 19 153 107 140 196 113 38.9 116 38.2 91.6 128 59.8 96.5 100.04 Juni 85.3 53.2 45.9 81.3 237 99.4 108 123 45.5 246 345 47.8 52.9 126.45 Juli 81.1 88.2 135 76.8 114 56.9 132 82.9 29 48.5 193 67.2 18.2 92.05 Agustus 114 58.8 9.5 15.6 9.8 80.8 0.4 19 135 70.7 121 33.8 57.69 September 36.7 103 154 33.1 101 0 18.2 86 19.9 180 0.5 34 66.58 Oktober 167 160 70.6 38.1 110 4.4 50.3 154 84.9 124 122 98.66 November 130 325 122 197 208 73.7 69 128 205 121 225 142 162.14 Desember 117 294 191 170 388 110 281 451 479 230 158 260.82 Bulan Sumber : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Bandara Raden Intan II (Branti) Lampung, 2012 Keterangan : * - rataan curah hujan 12 tahun (2000-2011), tidak terdapat data 48 Lampiran 6. Keragaan empat varietas kedelai Gambar 1. Keragaan pertanaman (kiri) dan polong (kanan) varietas nasional Anjasmoro pada 10 MST Gambar 2. Keragaan pertanaman (kiri) dan polong (kanan) varietas nasional Tanggamus pada 10 MST Gambar 3. Keragaan pertanaman (kiri) dan polong (kanan) galur SP-30-4 pada 10 MST Gambar 4. Keragaan pertanaman (kiri) dan polong (kanan) galur PG-57-1 pada 10 MST 49 Lampiran 7. Hasil analisis abu sekam No 1 2 3 4 Peubah analisis pH H2O C Walkley & Black N Kjedahl Eks. Total (HNO3 + HClO4) P 2 O5 Ca Mg K Na S Fe Mn Cu Zn Sumber : Dharmaswara, 2012 Hasil analisis 10.6 1.37% 0.22% 0.50 g/100 g 1.04 g/100 g 0.61 g/100 g 3.79 g/100 g 0.07 g/100 g 0.53 g/100 g 1418 ppm 5.31 ppm 87.24 ppm 50 Lampiran 8. Luasan pengambilan ubinan saat panen Keterangan : Luasan ubinan 4.4 m2 * Tanaman kedelai 51 Lampiran 9. Pertumbuhan dan produksi kedelai sebelum sistem tanam sisip dan kedelai sistem tanam sisip Varietas Anjasmoro Tanggamus SP-30-4 PG-57-1 rata-rata Bobot biomassa rataan per tanaman kedelai (g) Sebelum sisip Sisip 5.21 9.49 5.40 12.82 5.18 13.05 4.72 10.08 5.13 b 11.36 a Produksi biji kering tanaman kedelai (ton/ha) Sebelum sisip Sisip 0.49 1.09 0.57 1.33 0.51 1.00 0.51 1.09 0.52 b 1.13 a Keterangan : Data bobot biomassa tanaman dan produksi biji kering belum sisip dikutip dari Nofrianil, 2012. Nilai rata-rata pada karakter yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji nilai tengah t-student α 5%. 52 Lampiran 10. Rekapitulasi hasil analisis ragam Karakter pengamatan Sumber keragaman Varietas Komb. pupuk Interaksi 4 MST * tn * 6 MST ** * tn 8 MST ** ** tn 10 MST * ** tn 4 MST * tn ** 6 MST ** ** tn 8 MST ** ** tn 10 MST ** ** tn Batang ** ** tn Akar ** ** tn Daun ** ** tn Polong ** tn tn Bintil akar tn tn tn Hari 50% tanaman berbunga ** * ** Hari panen ** ** ** Jumlah polong isi ** ** tn Jumlah polong hampa tn ** tn Jumlah cabang ** ** tn Bobot 100 biji ** tn tn Bobot petakan ** ** tn Jumlah daun Tinggi tanaman Bobot kering Keterangan: * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata dan tn = tidak berbeda berdasarkan uji DMRT 5%