PENGARUH VARIETAS DAN KOMBINASI PUPUK

advertisement
1
PENGARUH VARIETAS DAN KOMBINASI PUPUK
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI
(Glycine max L.) PADA SISTEM TANAM ALUR DAN
SISIP DI LAHAN KERING MASAM
ANDRI HAMIDI
A24080097
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
ii
RINGKASAN
ANDRI HAMIDI. Pengaruh Varietas dan Kombinasi Pupuk Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max L.) pada Sistem Tanam
Alur dan Sisip di Lahan Kering Masam. (Dibimbing oleh Munif
Ghulamahdi).
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh berbagai kombinasi
pupuk dan varietas terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai pada
sistem tanam alur dan sisip di lahan kering masam. Percobaan dilakukan di lahan
kering masam Desa Krawangsari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan,
Provinsi Lampung pada bulan Februari sampai dengan September 2012.
Percobaan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak dua
faktor. Faktor pertama adalah empat varietas kedelai yaitu varietas nasional
Anjasmoro dan Tanggamus, serta galur silangan SP-30-4 dan PG-57-1. Faktor
kedua adalah 10 kombinasi pupuk yang terdiri dari
(1) tanpa pupuk, (2)
200 kg/ha SP-36, (3) 200 kg/ha SP-36 + 100 kg/ha KCl, (4) 200 kg/ha SP-36 +
100 kg/ha KCl + 1 ton/ha kapur dolomit, (5) 200 kg/ha SP-36 + 100 kg/ha KCl +
1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk kandang, (6) 200 kg/ha SP-36 +
100 kg/ha KCl + 1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk kandang sapi + mulsa
brangkasan jagung, (7) 200 kg/ha SP-36 + 1 ton/ha abu sekam, (8) 200 kg/ha
SP-36 + 1.2 ton/ha abu sekam + 1 ton/ha kapur dolomit, (9) 200 kg/ha SP-36 +
1.2 ton/ha abu sekam + 1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk kandang dan (10)
200 kg/ha SP-36 + 1.2 ton/ha abu sekam + 1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha
pupuk kandang sapi + mulsa brangkasan jagung.
Kedelai ditanam di dalam alur tanaman jagung dengan cara tanam alur dan
sisip. Luas petakan percobaan adalah 2.2 m x 5 m dan setiap perlakuan dilakukan
pengulangan tiga kali sehingga terdapat 120 satuan percobaan. Selanjutnya, hasil
pengamatan dianalisis keragamannya dan dilakukan pengujian lanjutan dengan
Duncan Multiple Range Test (DMRT) bagi sumber keragaman yang menunjukkan
perbedaan.
Hasil percobaan menunjukkan adanya perbedaan pertumbuhan dan
produksi tanaman kedelai antar taraf kombinasi pupuk. Pertumbuhan dan produksi
iii
tanaman kedelai terbaik terdapat pada kombinasi 200 kg/ha pupuk SP-36 +
1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk kandang ditambah dengan 100 kg/ha
KCl atau 1.2 ton/ha abu sekam. Pemberian mulsa brangkasan jagung pada
kombinasi pupuk tersebut tidak memberikan hasil yang berbeda nyata.
Penggunaan pupuk KCl sebagai sumber kalium tidak menunjukkan perbedaan
dengan abu sekam terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai di lahan
kering masam.
Varietas nasional Tanggamus memiliki jumlah hasil panen terbaik yaitu
1.33 ton/ha. Varietas nasional Anjasmoro dan galur silangan PG-57-1 memiliki
produktivitas yang sama yaitu 1.09 ton/ha. Sementara, galur silangan SP-30-4
memiliki produktivitas 1.00 ton/ha. Hasil pengujian statistik menunjukkan tidak
adanya perbedaan produktivitas antara galur silangan SP-30-4 dan PG-57-1
dengan varietas nasional Anjasmoro.
iv
PENGARUH VARIETAS DAN KOMBINASI PUPUK
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI
(Glycine max L.) PADA SISTEM TANAM ALUR DAN
SISIP DI LAHAN KERING MASAM
Skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura
ANDRI HAMIDI
A24080097
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
v
Judul
: PENGARUH VARIETAS DAN KOMBINASI PUPUK
TERHADAP
PERTUMBUHAN
DAN
PRODUKSI
KEDELAI (Glycine max L.) PADA SISTEM TANAM
ALUR DAN SISIP DI LAHAN KERING MASAM
Nama
: ANDRI HAMIDI
NIM
: A24080097
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS
NIP 19590505198503 1 004
Mengetahui,
Ketua Departemen
Dr Ir Agus Purwito, MSc. Agr.
NIP 19611101 198703 1 003
Tanggal lulus :
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis
dilahirkan
di
Tulang
Bawang,
Lampung
pada
tanggal
25 September 1989. Penulis merupakan anak kedua dari Bapak Suyana dan Ibu
Titin Suharti.
Penulis dinyatakan lulus dari SD Negeri 01 Bratasena Adiwarna pada
tahun 2002, kemudian penulis melanjutkan sekolah di SMP Negeri 5 Banjar
Agung dan lulus tahun 2005. Penulis melanjutkan jenjang pendidikan di SMA
Negeri 10 Bandar Lampung. Tahun 2008 penulis diterima di Departemen
Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis juga melengkapi bidang keahlian
Pengembangan Usaha Agribisnis (minor) di Departemen Agribisnis Fakultas
Ekonomi dan Manajemen IPB.
Selama studi di IPB, penulis aktif di UKM KOPMA IPB tahun 2008-2010.
Penulis menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah seperti Perancangan
Percobaan I, Ekologi Pertanian, Pasca Panen Tanaman Pertanian dan Teknik
Budidaya Tanaman. Penulis pernah mengikuti kegiatan IPB goes to field dari
LPPM IPB. Penulis juga pernah menjadi pengajar mata pelajaran Fisika SMA di
bimbingan belajar VISION (Education and Personality Consultant).
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kekuatan dan hidayahNya sehingga percobaan ini dapat diselesaikan
dengan baik. Percobaan ini berjudul “Pengaruh Varietas dan Kombinasi Pupuk
Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max L.) pada Sistem
Tanam Alur dan Sisip di Lahan Kering Masam”.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah
memberikan bimbingan dan bantuan serta saran dalam percobaan diantaranya :
1. Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah memberikan bimbingannya hingga tersusunnya skripsi ini.
2. Dr Ir Heni Purnamawati, MSc.Agr dan Dr Ir Iskandar Lubis, MS yang
telah bersedia untuk menjadi penguji dan memberi masukan guna
memperbaiki tulisan ini.
3. Prof Dr Ir Sobir, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan arahan selama penulis menyelesaikan studi di IPB.
4. Kedua orang tua dan uwa Dr Ir Illah Sailah, MS beserta
Dr Ir Abdul Basith, MS yang telah membantu dan membimbing
penulis selama studi serta selalu mendoakan kelancaran percobaan ini.
5. I-MHERE IPB dan Sime Darby-Minamas Plantation Scholarship yang
telah mendanai penelitian ini.
6. Pak Sutik, Pak Anto, Pak Giman, Pak Nanang, Pak Ainun, Pak Ponijan,
Encep, dan warga Dusun Jepang lainnya serta Hans, Arief, Ryan,
Kak Nita, Kak Mail, Kak Nofri, Pak Toyip, Elin, Rahmi, Khusnul,
Opie, Syhab serta teman Indigenous AGH 45 lainnya yang telah
membantu dalam pengamatan, mengolah data dan memberikan saran
serta masukan yang sangat bermanfaat.
Semoga percobaan ini bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang
membutuhkannya.
Bogor,
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ....................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xi
PENDAHULUAN ...................................................................................
Latar Belakang .....................................................................................
Tujuan Percobaan .................................................................................
Hipotesis ...............................................................................................
1
1
3
3
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
Pupuk ....................................................................................................
Morfologi Tanaman Kedelai ................................................................
Varietas Kedelai ...................................................................................
Lahan Kering Masam dan Permasalahannya .......................................
Sistem Tanam Alur dan Sisip ...............................................................
4
4
6
8
9
11
METODE PERCOBAAN ........................................................................
Tempat dan Waktu ...............................................................................
Alat dan Bahan .....................................................................................
Metode Percobaan ................................................................................
Pelaksanaan ..........................................................................................
Pengamatan ..........................................................................................
12
12
12
12
13
17
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................
Kondisi Umum .....................................................................................
Hasil......................................................................................................
Pembahasan ..........................................................................................
18
18
19
27
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................
Kesimpulan ...........................................................................................
Saran .....................................................................................................
36
36
36
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
37
LAMPIRAN .............................................................................................
41
ix
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Fase pertumbuhan tanaman kedelai…………………………
7
2. Jumlah daun trifoliet tanaman kedelai saat 4 MST pada
berbagai taraf kombinasi pupuk setiap varietas…….……….
19
3. Jumlah daun trifoliet tanaman kedelai pada berbagai taraf
kombinasi pupuk dan varietas……………..………………..
20
4. Tinggi tanaman kedelai saat 4 MST pada berbagai taraf
kombinasi pupuk setiap varietas ……………..…………….
21
5. Pertumbuhan tinggi tanaman kedelai pada berbagai taraf
kombinasi pupuk dan varietas……………………………….
21
6. Bobot kering tanaman kedelai saat 8 MST pada berbagai
taraf kombinasi pupuk dan varietas………………………....
23
7. Waktu 50% tanaman kedelai berbunga pada berbagai taraf
kombinasi pupuk dan varietas……………………………….
24
8. Hari panen tanaman kedelai pada berbagai taraf kombinasi
pupuk setiap varietas………………………………………..
24
9. Jumlah polong isi, polong hampa dan cabang tanaman saat
panen pada berbagai taraf kombinasi pupuk dan
varietas……………………………………..………………..
10 Bobot biji kering tanaman kedelai..…………………………
25
26
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Sistem tanam konvensional (A) dan sistem tanam alur
(B)………………………………………...……………
14
2. Alur yang terbentuk di lahan tanaman jagung…..................
14
3. Aplikasi pupuk (A), tanam kedelai (B) dan panen jagung
(C)……………………………….………………………….
15
4. Kondisi lahan setelah guludan diratakan (A) dan tanaman
menjelang dipanen (B)……..………………………….
16
5. Pola tanam di lahan kering masam Kecamatan Natar,
Lampung ..…………………………………………………
34
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Hasil analisis tanah awal……………….………………….
42
2. Deskripsi varietas kedelai Tanggamus dan Anjasmoro …..
43
3. Denah petakan percobaan…………………………………
45
4. Produktivitas tanaman kedelai pada berbagai perlakuan
kombinasi pupuk setiap varietas………………………….
46
5. Data iklim bulanan tahun 2000 – 2012 di Kecamatan
Natar………………………………………………………
47
6. Keragaan empat varietas kedelai………………………….
48
7. Hasil analisis abu sekam…………………………………..
49
8. Luasan pengambilan ubinan saat panen…………………..
50
9. Pertumbuhan dan produksi kedelai sebelum sistem tanam
sisip dan kedelai sistem tanam sisip …….……………….
51
10. Rekapitulasi hasil analisis ragam…………………………
52
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai (Glycine max L.) merupakan komoditas pangan terpenting di
Indonesia setelah padi dan jagung. Kedelai banyak dimanfaatkan sebagai bahan
pangan olahan seperti tempe, tahu, sayur, sari kedelai, tauco, kecap maupun
produk turunan lain. Permintaan kedelai tahun 2011 diprediksi mencapai 2.4 juta
ton (Kusbini, 2010). Namun, produksi kedelai Indonesia masih tergolong rendah
untuk
memenuhi
permintaan
tersebut.
Kondisi
ini
diperparah
dengan
berkurangnya produksi kedelai dalam tiga tahun terakhir. Menurut Badan Statistik
Indonesia (2012), produksi tahun 2010, 2011 dan 2012 adalah 907,000, 851,300
dan 779,700 ton.
Menurut Subandi (2007), pengembangan teknologi produksi kedelai dapat
dilakukan pada tiga tipe lahan yaitu : (1) lahan kering yang telah dimanfaatkan
untuk budidaya tanaman semusim, terutama ubi kayu, jagung, dan padi gogo; (2)
lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk budidaya tanaman tahunan, seperti
karet dan kelapa sawit yang masih muda; dan (3) lahan yang belum dimanfaatkan,
seperti padang alang-alang atau semak belukar. Kedelai dibudidayakan secara
tumpangsari maupun bergiliran pada lahan-lahan yang telah dimanfaatkan untuk
ubi kayu, jagung, dan padi gogo,.
Lahan kering memiliki beberapa kelemahan dalam kesuburan tanahnya
yang berdampak pada rendahnya produktivitas kedelai. Menurut Kuntyastuti dan
Taufiq (2008), faktor kesuburan yang menjadi kendala di lahan kering adalah
rendahnya bahan organik, pH tanah, kalium (K) dan fosfor (P) tersedia. Suharsono
dan Yusuf (2009) juga menyebutkan bahwa dengan adanya alumunium (Al),
pertumbuhan tanaman kedelai akan terganggu karena keracunan Al dan
terganggunya serapan kalsium (Ca).
Kemasaman tanah lahan kering menjadi masalah bagi tanaman kedelai.
Hal tersebut dikarenakan hara P dijerap oleh Al sehingga menjadi tidak tersedia
bagi tanaman (Hardjowigeno, 2007). Perbaikan kesuburan tanah dengan cara
menaikkan pH tanah dapat dilakukan dengan penggunaan kapur. Penggunaan
kapur dalam kegiatan budidaya dapat meningkatkan pH tanah yang berdampak
2
pada perbaikan kesuburan tanah. Keadaan tersebut mampu meningkatkan
pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai, terutama jumlah polong per tanaman
dan produksi biji per tanaman (Harmida, 2010).
Upaya lain untuk memperbaiki kesuburan tanah adalah dengan
memberikan zat hara ke dalam tanah. Selain N dan P, hara K juga banyak
dibutuhkan oleh tanaman. Sumber hara kalium dapat diperoleh dari pupuk KCl,
akan tetapi pupuk KCl sering sulit didapatkan dan harganya relatif tinggi. Sumber
kalium alternatif dapat digunakan dari abu sekam atau jerami. Menurut
Dharmaswara (2012), pemberian abu jerami tidak berbeda nyata dibandingkan
KCl terhadap komponen pertumbuhan dan komponen produksi kedelai kecuali
pada jumlah polong isi dan produksi biji petakan.
Perbaikan kesuburan lahan kering juga dapat dilakukan dengan
penggunaan bahan organik. Bahan organik yang dapat digunakan salah satunya
adalah pupuk kandang. Subandi (2007) melaporkan bahwa pemberian 2.5 ton/ha
pupuk kandang sapi pada lahan kering masam di Tulang Bawang dan Lampung
Tengah mampu meningkatkan penyerapan P tanaman dan hasil kedelai berturutturut 8.3 dan 11.1%.
Tanaman kedelai lebih optimum ditanam saat kondisi penyinaran cahaya
matahari tinggi (Karamoy, 2009). Namun, pada kondisi tersebut ketersediaan air
bagi tanaman semakin berkurang sehingga membuat tanaman tercekam
kekeringan. Menurut Saefulloh (2000), kedelai yang ditanam pada kondisi kering
akan menurunkan potensi hasil sebesar 0.01-1.06 ton/ha.
Teknologi budidaya kedelai yang dianjurkan di lahan kering masam
adalah penggabungan teknologi ameliorasi tanah masam dengan penggunaan
varietas unggul toleran tanah masam. Selain itu, waktu tanam, cara tanam,
perawatan tanaman dan panen yang tepat sangat mempengaruhi peningkatan
produksi kedelai (Atman, 2006). Pengaturan pola tanam berperan penting dalam
menyesuaikan lingkungan khususnya iklim mikro pada budidaya kedelai di lahan
kering. Sistem tanam sisip merupakan salah satu cara yang dapat digunakan dalam
mengatur pola tanam.
3
Tujuan Percobaan
Percobaan ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pertumbuhan dan produksi empat varietas kedelai pada sistem
tanam alur dan sisip di lahan kering masam
2. Memperoleh kombinasi pupuk yang tepat untuk kedelai pada sistem tanam alur
dan sisip agar diperoleh pertumbuhan dan produksi tinggi.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam percobaan ini adalah :
1. Minimal ada satu kombinasi pupuk yang memberikan hasil panen terbaik
2. Terdapat minimal satu varietas yang memiliki pertumbuhan dan produksi lebih
tinggi dibandingkan varietas lainnya di lahan kering masam
3. Terdapat suatu interaksi antara varietas dan kombinasi pupuk yang
mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kedelai.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Pupuk
Kesuburan tanah bergantung pada kelarutan zat hara, pH tanah, kapasitas
tukar kation, tekstur tanah dan jumlah bahan organik yang ada (Harjadi, 1996).
Tanah yang kurang subur dapat diperbaiki dengan cara pemupukan. Pemupukan
bertujuan meningkatkan hasil panen tanaman dengan menambahkan unsur hara
yang dibutuhkan oleh tanaman karena kurang tersedia dalam tanah. Penggunaan
bahan organik berupa kotoran sapi, kambing dan ayam 20 ton/ha pada lahan
kering jenis tanah Ultisol di daerah Lampung dapat memperbaiki sifat fisik tanah
yaitu menurunkan bobot isi dan meningkatkan permeabilitas tanah (Kuntyastuti
dan Taufiq, 2008).
Fosfor dan kalium merupakan jenis hara yang banyak dibutuhkan oleh
tanaman kedelai. Fosfor diserap oleh tanaman dalam bentuk
(
dan
). Ion
ion ortofosfat
banyak ditemukan pada tanah dengan pH
antara 5.2 sampai 7.2, sedangkan di atas pH 7.2 ion
lebih dominan tersedia.
Ketersediaan P bagi tanaman dipengaruhi oleh jumlah komponen tanah, pH tanah,
jenis-jenis kation dalam tanah, anion kempetitor, kejenuhan kompleks jerapan,
bahan organik, suhu, dan waktu pemberian pupuk. Kalium tersedia bagi tanaman
dalam bentuk ion K+. Ketersediaan K bagi tanaman dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain kadar lengas, kapasitas tukar kation (KTK), kandungan kation
lain, pH, aerasi tanah dan jenis tanaman (Munawar, 2011).
Fungsi hara fosfor antara lain 1) mempercepat pertumbuhan akar semai, 2)
mempercepat serta memperkuat pertumbuhan tanaman muda menjadi tanaman
dewasa pada umumnya, 3) mempercepat pembungaan dan pemasakan buah, biji
dan gabah, dan 4) meningkatkan produksi biji-bijian. Fungsi kalium antara lain
1) membentuk protein dan karbohidrat, 2) mengeraskan jerami dan bagian kayu
tanaman, 3) meningkatkan resistensi tanaman terhadap penyakit dan 4)
meningkatkan kualitas biji atau buah (Sutedjo, 1987).
Sumber hara kalium dapat diperoleh dari pupuk KCl. Namun, terdapat
beberapa sumber alternatif yang dapat digunakan sebagai pengganti pupuk kalium.
5
Menurut Samosir (2010), abu sekam padi mengandung hara kalium dan fosfor
yang dibutuhkan tanaman sebesar 1.59% K2O dan 0.44% P2O5. Dharmaswara
(2012) menambahkan bahwa abu sekam dapat menggantikan pupuk KCl dalam
budidaya tanaman kedelai.
Pertumbuhan tanaman kedelai terhadap pemberian P meningkat dengan
pengapuran dan pemberian pupuk kandang sapi (Leiwakabessy dan Sumawinata,
1986). Hingga pada tahun ke-2, residu kapur masih berpengaruh sangat nyata
terhadap sifat dan ciri tanah serta terhadap produksi tanaman walaupun
kandungan Ca mulai berkurang (Wahjudin, 1991).
Bahan organik bukan semata-mata memiliki kemampuan menahan air tapi
berperan juga dalam pembentukan struktur dan porositas tanah (Bailey, 1986).
Bahan organik mampu menggemburkan lapisan permukaan tanah (top soil),
meningkatkan populasi jasad renik, mempertinggi daya serap dan daya simpan air
sehingga kesuburan tanah dapat meningkat (Yuliarti, 2009).
Bahan organik tanah merupakan fraksi organik pada tanah yang meliputi
residu-residu tumbuhan dan hewan pada berbagai fase dekomposisi sel-sel hidup
dan mati, jaringan mikroba dan zat-zat yang disintesa pada populasi tanah.
Berdasarkan sumbernya, bahan organik dapat dikelompokkan ke dalam beberapa
jenis, antara lain pupuk kandang sapi (kotoran ternak), pupuk hijau (bagian
tanaman segar), mulsa (sisa-sisa tanaman), blotong (limbah pabrik dari jenis
tanaman tertentu) dan lateks (getah karet alam) (Sukartaatmadja, 2001).
Tanah yang mengandung bahan organik mempunyai lapisan humus yang
tebal. Tanah tersebut mempunyai sifat fisik yang baik karena mempunyai
kemampuan menghisap air sampai beberapa kali berat keringnya dan juga
mempunyai porositas yang tinggi. Fungsi bahan organik diantaranya 1) sebagai
mulsa mampu menekan evapotranspirasi, gulma dan laju aliran permukaan, 2)
perekat butiran-butiran tanah, memperbaiki aerasi tanah dan meningkatkan
infiltrasi tanah, 3) sumber unsur hara C, N, P, K, S dan meningkatkan KTK, 4)
sebagai sumber energi bagi mikroorganisme tanah dan 5) sumber vitamin, auksin
dan antibiotik yang sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan
tanaman (Sukartaatmadja, 2001).
6
Tanah dengan nilai produktivitas yang tinggi tidak hanya terdiri dari
komponen-komponen
padat,
cair
dan
gas
tetapi
juga
mengandung
mikroorganisme yang cukup banyak. Mikroorganisme tanah mempengaruhi
proses dekomposisi bahan organik tanah sehingga unsur hara menjadi lebih
tersedia bagi tanaman. Bahan organik merupakan unsur esensial bagi tanah
produktif karena selain mendukung perbaikan kondisi sifat fisik, biologi dan
kimia tanah, juga merupakan bahan dasar pada berbagai populasi mikroorganisme
tanah dan gudang unsur hara bagi tanaman (Sukartaatmadja, 2001).
Morfologi Tanaman Kedelai
Kedelai (Glycine max L.) termasuk tanaman jenis perdu famili
Leguminosae dengan tipe pertumbuhan indeterminit dan determinit. Tanaman
kedelai merupakan tanaman semusim dengan tinggi di daerah tropis antara
40-90 cm, bercabang, berdaun tunggal dan daun tiga, berbulu pada bagian daun
serta polongnya dan berumur antara 72-90 hari. Biji kedelai merupakan bagian
dari tanaman kedelai yang banyak dimanfaatkan. Biji kedelai dibedakan
berdasarkan ukurannya. Kedelai berbiji besar (bobot > 14 g/100 biji), sedang
(bobot 10-14 g/100 biji) dan kecil ( bobot < 10 g/100 biji) (Adie dan Krisnawati,
2007).
Pertumbuhan kedelai ditentukan oleh komponen lingkungan antara lain
lama dan intensitas sinar matahari (panjang hari), suhu, kelembaban udara dan
curah hujan. Panjang hari untuk pertumbuhan tanaman kedelai berkisar antara
11-16 jam dan optimal pada 14-15 jam. Suhu yang sesuai bagi pertumbuhan
tanaman kedelai berkisar antara 22-270C. Tanaman kedelai optimal tumbuh pada
kelembaban 57-90% pada masa vegetatif hingga pengisian polong dan 60-75%
pada saat pematangan polong hingga panen. Sementara curah hujan yang
dibutuhkan untuk tanaman kedelai adalah 360-405 mm selama tumbuh atau setara
dengan 120-135 mm/bulan (Sumarno dan Manshuri, 2007).
Pertumbuhan tanaman kedelai dapat digolongkan ke dalam dua fase
pertumbuhan yaitu fase vegetatif (V) dan fase reproduktif (R) (Tabel 1). Fase
vegetatif dimulai pada saat tanaman muncul dari tanah hingga tanaman berbunga.
7
Fase reproduktif diawali saat terbentuknya bunga hingga tanaman dipanen. Daun
kedelai akan mengalami rontok mendekati tanaman siap dipanen. Ciri-ciri
tanaman kedelai siap panen adalah jika 95% polong telah matang atau berubah
warna menjadi kecoklatan.
Tabel 1. Fase pertumbuhan tanaman kedelai
Singkatan stadia
Fase vegetative
VE
Tingkatan stadia
Uraian
Stadia pemunculan
VC
V1
Stadia kotiledon
Stadia buku pertama
V2
Stadia buku kedua
V5
Stadia buku kelima
Vn
Stadia buku ke-n
Kotiledon muncul dari
dalam tanah
Daun unifoliet berkembang
Daun terurai penuh pada
buku unifoliet
Daun trifoliet pada buku di
atas buku unifoliet
Daun terurai penuh di buku
ke lima pada batang utama
N buah buku pada batang
utama dengan daun terurai
penuh
Fase generatif
R1
Mulai berbunga
R3
Mulai berpolong
R4
Berpolong penuh
R5
Mulai berbiji
R6
Berbiji penuh
R7
Mulai matang
R8
Matang penuh
Sumber : Board and Kahlon, 2011
Bunga terbuka pada buku
manapun pada batang
Polong sepanjang 5 mm
pada salah satu diantara
4 buku teratas pada batang
dengan daun terbuka penuh
Polong sepanjang 2 cm
pada salah satu diantara
4 buku teratas pada batang
dengan daun terbuka penuh
Biji sebesar 3 mm dalam
polong pada salah satu buku
teratas dengan daun terbuka
penuh
Polong berisikan satu biji
hijau yang mengisi rongga
polong pada salah satu dari
4 buku teratas pada batang
dengan daun terbuka penuh
Satu polong pada batang
utama
telah
mencapai
warna polong matang
95% dari polong telah
mencapai warna polong
matang
8
Varietas Kedelai
Umur tanaman kedelai dapat dikelompokkan ke dalam kelompok tanaman
genjah (<80 hari), sedang (80-85 hari) dan dalam (>85 hari). Tanaman kedelai
memiliki bentuk daun yang beragam dari bulat, oval hingga lancip. Umumnya
varietas kedelai di Indonesia berkategori daun oval dan hanya sebagian kecil
berdaun lancip (Adie dan Krisnawati, 2007).
Kedelai varietas nasional Tanggamus memiliki keragaan tinggi tanaman
hingga 67 cm, umur berbunga 35 HST, umur panen 88 HST dan berpotensi
menghasilkan biji kering hingga 2.5 ton/ha. Varietas nasional Tanggamus
tergolong dalam kedelai berbiji sedang dengan bobot per 100 biji adalah 11 g.
Keunggulan lainnya adalah moderat terhadap penyakit karat daun, polong tidak
mudah pecah, kandungan protein tinggi dan toleran terhadap kemasaman tanah
yang tinggi (Litbang, 2013).
Kedelai varietas nasional Anjasmoro merupakan salah satu varietas
kedelai berbiji besar dengan bobot 100 biji antara 14.8-15.3 g. Varietas nasional
Anjasmoro memiliki tinggi tanaman antara 64-68 cm, berbunga pada hari ke
35.7-39.4 HST dan hari panen mencapai 82.5-92.5 HST. Keunggulan lainnya
adalah kandungan protein yang mencapai 41.8-42.1 % dan memiliki potensi
produksi biji kering hingga 2.03-2.25 ton/ha. Varietas ini memiliki sifat polong
yang tidak mudah pecah dan tanaman tidak mudah rebah. Selain itu, varietas
nasional Anjasmoro juga moderat terhadap karat daun (Litbang, 2013).
Galur SP-30-4 merupakan galur terseleksi berdasarkan jumlah polong
bernas yang dimilikinya. Galur tersebut memiliki jumlah polong bernas
75.2 buah per tanaman dan memiliki bobot biji 13.31 g per tanaman
(Oktaviana, 2010). Galur SP-30-4 memiliki karakter umur berbunga lebih pendek
dibandingkan dengan varietas kedelai toleran lahan kering (Tanggamus, Ceneng,
Pangrango dan Sibayak). Namun, jumlah cabang produktif, tinggi tanaman saat
panen, jumlah buku produktif, jumlah polong dan persentase polong isi galur
tersebut relatif lebih rendah dibandingkan dengan varietas Tanggamus. Bobot
100 butir galur SP-30-4 juga lebih rendah dibandingkan dengan bobot rata-rata
varietas kedelai toleran lahan kering (Fikrianti, 2010).
9
Galur PG-57-1 adalah hasil persilangan antara varietas Pangrango dan
Godeg. Galur tersebut memiliki warna biji kuning, umur berbunga 42.67 HST dan
panen 99.33 HST. Tinggi tanaman saat panen mencapai 58.1 cm, memiliki jumlah
cabang produktif 3.4 buah dan buku produktif 15.10 buah serta bobot biji per
100 butir adalah 12.3 g. Galur ini memiliki toleransi naungan yang baik di bawah
tegakan (Prasetyo, 2010).
Informasi yang diperoleh dari uji daya hasil lanjutan bahwa galur PG-57-1
merupakan galur yang tidak hanya toleran terhadap naungan, tetapi juga toleran
lahan kering masam. Galur tersebut memiliki umur berbunga dan panen 34 dan
86 HST sehingga digolongkan dalam kategori kedelai berumur dalam. Tinggi
tanaman saat panen mencapai 97.35 cm dengan jumlah cabang produktif
sebanyak 5.33 buah dan buku produktif 43 buah per tanaman. Jumlah polong total
mencapai 93.03 buah per tanaman dengan persentase polong isi 94.85%. Galur
PG-57-1 memiliki daya hasil tinggi dengan bobot biji 16.48 g per tanaman dan
bobot biji per petak mencapai 77.08 g/m2 (Yunita, 2010).
Lahan Kering Masam dan Permasalahannya
Kemasaman lahan merupakan masalah dalam praktik budidaya tanaman
karena dapat menurunkan kesuburan lahan. Permasalahan tersebut muncul akibat
dari : 1) kurang tersedianya unsur P, Ca, Mg dan Mo bagi tanaman;
2) terhambatnya fiksasi N pada kacang-kacangan; 3) unsur Fe dan Mn yang
berlebih menjadi racun bagi tanaman dan 4) kelarutan Al sangat tinggi. Kelarutan
Al yang sangat tinggi merupakan faktor penghambat pertumbuhan tanaman yang
utama pada tanah masam ( Bailey, 1986).
Lahan dikatakan masam apabila tanahnya memiliki pH di bawah tujuh.
Curah hujan yang sangat tinggi hingga melebihi evapotranspirasi dapat
menyebabkan tanah tercuci. Pencucian tanah akan mengangkut sejumlah garamgaram terlarut hasil pelapukan mineral dan sejumlah unsur basa. Pencucian tanah
yang berlangsung lama menyebabkan unsur-unsur tersebut habis kecuali unsur
yang bersifat masam seperti Al dan Fe. Akibatnya, reaksi tanah akan menjadi
masam atau sangat masam (Dikti, 1991).
10
Kemasaman lahan yang secara umum dinyatakan dengan pH tanah dapat
digunakan untuk mengetahui kesuburan lahan. Hal tersebut dikarenakan pH tanah
dapat mencerminkan ketersediaan hara tanah. Tanah mineral masam menyediakan
N-organik
yang
sangat
rendah.
Hal
tersebut
terjadi
karena
aktifitas
mikroorganisme untuk mendekomposisi N menjadi terhambat. Anion P pada
lahan yang memiliki pH tanah masam akan mengendap dalam bentuk
sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman (Barchia, 2009).
Alumunium (Al) pada lahan masam menjadi lebih larut dan bersifat toksik
bagi tanaman. Kelarutan P dan ketersediaannya bagi tanaman dikendalikan oleh
pH tanah. Fosfor tersedia bagi tanaman ketika pH tanah berkisar 5.5-6.8. Jika pH
turun di bawah pH tersebut, maka P akan bereaksi dengan Fe dan Al membentuk
senyawa fosfat Fe dan Al yang tidak mudah larut, sehingga P tidak tersedia bagi
tanaman (Munawar, 2011).
Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh pH tanah melalui dua cara yaitu,
pengaruh langsung ion hidrogen (H+) dan pengaruh tidak langsung yaitu tidak
tersedianya hara tertentu dan adanya unsur-unsur yang bersifat racun. Penyebab
utama pertumbuhan tanaman yang buruk pada lahan kering masam adalah adanya
keracunan Al. Keracunan Al menyebabkan pertumbuhan dan perpanjangan akar
terhambat, pembentukan akar lateral dan bulu akar terhalang, mengurangi
pembentukan DNA, RNA dan ADP serta menghambat pembelahan sel,
mengurangi serapan P, Ca, Mg, K, Fe, Mn, Cu dan Zn ( Bailey, 1986).
Pertumbuhan tanaman kedelai akan terganggu dan berproduksi rendah jika
pada media tumbuh terkandung Al yang berlebihan. Gangguan tersebut dikenal
dengan istilah keracunan Al yang dapat muncul pada sistem perakaran ataupun
daun. Gejala pada perakaran berupa akar tanaman yang tidak tumbuh dan
memiliki percabangan tidak normal. Gejala yang muncul pada daun berupa
adanya bercak-bercak klorosis di antara tulang daun pada daun muda. Gejala yang
lebih berat dapat menimbulkan tanaman menjadi kerdil dan daun berbentuk
seperti mangkuk. Keracunan Al sering muncul pada lahan yang memiliki pH
tanah masam dengan kejenuhan basa rendah (Marwoto et al., 2006).
11
Sistem Tanam Alur dan Sisip
Teknologi budidaya dengan sistem olah tanah secara alur yang diterapkan
pada lahan kering mampu meningkatkan produktivitas tanaman kedelai hingga
133.88%. Sistem olah tanah tersebut didukung dengan penambahan input berupa
200 kg/ha SP-36, 100 kg/ha KCl dan 1.5 ton/ha kapur dolomit yang diaplikasikan
dengan mulsa organik (Nofrianil, 2012).
Teknik budidaya sistem tanam sisip merupakan menanam dua jenis
tanaman atau lebih. Tanaman kedua ditanam setelah tanaman pertama mencapai
masa tahapan reproduktifnya, tetapi sebelum siap untuk dipanen. Umumnya,
sistem tanam sisip dapat memberikan hasil panen lebih banyak daripada sistem
tumpangsari (Sanchez, 1993). Sistem ini diterapkan dalam upaya peningkatan
intensitas tanam di lahan kering dengan pemanfaatan curah hujan yang pendek
(Abdulgani, 2000).
Keunggulan sistem tanam sisip adalah membutuhkan biaya total lebih
kecil tetapi memberikan keuntungan lebih tinggi dibandingkan dengan sistem
tanam bukan sisip (Beuerlein, 2001). Saat penanaman sisip suhu udara lebih
rendah sehingga tanaman dapat terhindar dari stres/panas. Selain memperbaiki
iklim mikro, tanam sisip mendapatkan hasil yang lebih tinggi (Bunyamin dan Aqil,
2010).
12
METODE PERCOBAAN
Tempat dan Waktu
Percobaan dilakukan di lahan petani di Dusun Jepang, Krawangsari,
Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Lokasi
berada pada ketinggian 90 m di atas permukaan laut dengan tipe iklim C2
berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman (Nurhayati et al., 2010). Waktu percobaan
dimulai pada bulan Februari sampai dengan September 2012.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan antara lain alat tanam, alat panen, alat
ukur, SP-36, KCl, pupuk kandang, abu sekam, kapur, brangkasan jagung, benih
kedelai, inokulan Rhizobium sp., insektisida, herbisida sistemik, herbisida pra dan
purna tumbuh serta perekat pestisida.
Metode Percobaan
Percobaan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT)
dua faktor.
Faktor pertama terdiri dari empat taraf
varietas antara lain
V1 (Varietas Anjasmoro), V2 (Varietas Tanggamus), V3 (Galur SP-30-4
(Sibayak x Pangrango) dan V4 (Galur PG-57-1 (Pangrango x Godek).
Faktor kedua terdiri dari sepuluh taraf
kombinasi pupuk, yaitu :
P0 (tanpa pupuk), P1 (200 kg/ha SP-36), P2 (200 kg/ha SP-36 + 100 kg/ha KCl),
P3 (200 kg/ha SP-36 + 100 kg/ha KCl + 1 ton/ha kapur dolomit), P4 (200 kg/ha
SP-36 + 100 kg/ha KCl + 1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk kandang sapi),
P5 (200 kg/ha SP-36 + 100 kg/ha KCl + 1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk
kandang sapi + mulsa brangkasan jagung), P6 (200 kg/ha SP-36 + 1 ton/ha abu
sekam), P7 (200 kg/ha SP-36 + 1 ton/ha abu sekam + 1 ton/ha kapur dolomit),
P8 (200 kg/ha SP-36 + 1 ton/ha abu sekam + 1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha
pupuk kandang sapi) dan P9 (200 kg/ha SP-36 + 1.2 ton/ha abu sekam + 1 ton/ha
kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk kandang sapi + mulsa brangkasan jagung).
13
Masing-masing perlakuan diulang tiga kali sehingga diperoleh 120 satuan
percobaan (Lampiran 3). Model linear dalam percobaan ini adalah :
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + ρk + εijk
dimana :
μ
= nilai rata-rata umum,
αi
= pengaruh perlakuan varietas ke – i (i=1, 2, 3, 4),
βj
= pengaruh perlakuan kombinasi pupuk ke–j (j=1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10),
(αβ)ij = pengaruh interaksi antara varietas ke–i dan kombinasi pupuk ke–j,
ρk
= pengaruh aditif dari kelompok ke–k (k=1, 2, 3) dan
εijk
= galat umum percobaan.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam pada α = 1 dan 5%,
kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf
α = 5%.
Pelaksanaan
Budidaya kedelai yang dilakukan di lahan kering umumnya dilakukan
dengan sistem tanam konvensional (Gambar 1A). Kegiatan budidaya tersebut
dimulai dari pengolahan lahan, pemupukan, penanaman, perawatan hingga panen.
Ketersediaan air di lahan kering sebagian besar bersumber pada curah hujan dan
air tanah (Hermantoro, 2011). Adanya fluktuasi curah hujan memungkinkan pada
kondisi tertentu ketersediaan air di lahan kering akan berkurang. Dampaknya
adalah pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan kering kurang optimal.
Salah satu upaya untuk mencegah kehilangan air yang tersedia bagi
tanaman adalah melalui penanaman dengan metode alur. Sistem tanam alur telah
diuji dalam budidaya kedelai di lahan kering oleh Nofrianil. Sistem tanam ini
merupakan inovasi dalam budidaya kedelai di lahan kering masam. Penanaman
kedelai pada sistem ini dilakukan pada sebuah alur dengan kedalaman 10 cm
(Gambar 1B). Sistem tanam alur teruji lebih baik dibandingkan dengan sistem
tanam konvensional (Nofrianil, 2012).
Pembentukan alur dalam sistem tanam alur akan menambah biaya tenaga
kerja, sehingga meningkatkan biaya produksi. Upaya untuk menekan biaya
tersebut dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan alur yang terbentuk dari
14
kegiatan pembumbunan dalam budidaya jagung (Gambar 2). Penanaman kedelai
dapat dilakukan pada alur tersebut seperti metode yang dilakukan oleh Nofrianil.
A
B
Keterangan : Gambar B dimodofikasi dari Nofrianil, 2012
Gambar 1. Sistem tanam konvensional (A) dan sistem tanam alur (B)
Gambar 2. Alur yang terbentuk di lahan tanaman jagung
Berdasarkan kondisi yang telah disebutkan di atas, maka percobaan
percobaan ini dilakukan pada lahan tanaman jagung. Tanaman jagung yang
digunakan adalah tanaman milik petani dengan luas 3,000 m2. Jagung ditanam
pada bulan Maret dengan jarak tanam 30 cm x 55 cm dan setiap lubang terdapat
2 benih atau populasi 121,212 tanaman/ha. Pupuk yang diberikan adalah
71.5 kg/ha TSP dan 71.5 kg/ha Urea. Jagung dipanen kering ketika berumur
15 MST. Pemanenan dilakukan dengan cara memangkas tanaman jagung ± 20 cm
dari tanah.
15
Persiapan lahan untuk penanaman kedelai dimulai dengan pengendalian
gulma ketika umur jagung 11 MST. Lahan jagung dipetakkan dengan ukuran
2.2 m x 5 m atau setiap petak terdapat empat lorong jagung. Petak perlakuan
berjumlah 40 buah yang diulang tiga kali sehingga terdapat 120 petak. Penanaman
kedelai menggunakan metode tanpa olah tanah. Penempatan perlakuan dilakukan
secara acak dan terbagi dalam tiga kelompok (Lampiran 3).
Aplikasi pupuk untuk kedelai dilakukan seminggu sebelum tanam atau
ketika jagung berumur 12 MST (Gambar 3A). Pupuk diberikan pada alur tanaman
jagung yang kemudian dicangkul ringan. Kedelai ditanam dengan sistem tanam
sisip pada alur tanaman jagung saat 2 minggu sebelum jagung dipanen
(Gambar 3B). Jarak tanam yang digunakan adalah 9 cm x 55 cm dengan 2 benih
per lubang atau populasi 404,040 tanaman/ha. Penyulaman tanaman kedelai
dilakukan seminggu setelah tanam.
A
B
C
Gambar 3. Aplikasi pupuk (A),tanam kedelai (B) dan panen jagung (C)
Jagung dipanen pada umur 15 MST atau ketika kedelai berumur 2 MST
(Gambar 3C). Perlakuan mulsa brangkasan jagung diberikan bersamaan dengan
waktu panen jagung. Jumlah tanaman jagung yang dijadikan mulsa adalah
12 brangkasan untuk luasan 1 m2. Brangkasan jagung yang digunakan meliputi
batang, daun dan kelobot. Mulsa ditempatkan di antara barisan tanaman kedelai.
Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman yang pertama dilakukan
saat kedelai berumur 2 MST. Hama yang dikendalikan adalah moluska dan
serangga. Moluska dikendalikan dengan moluskasida butiran berbahan aktif
metaldehida 6% w/w. Moluskasida diaplikasikan dengan cara ditempatkan di
16
sekeliling lahan percobaan dengan jarak setiap 2 m. Pengendalian serangga
menggunakan insektisida berbahan aktif kloroantraniliprol 100 g/l dan
tiametoksam 200 g/l. Aplikasi insektisida dibantu dengan bahan perekat yang
memiliki bahan aktif alkilfenol etoksilat 400 g/l dan natrium susinik ester sulfonik
400 g/l. Dosis insektisida yang digunakan adalah 60 ml/ha dan perekat 120 ml/ha
dengan volume semprot 180 l/ha.
A
B
Gambar 4. Kondisi lahan setelah guludan diratakan (A) dan tanaman
menjelang dipanen (B)
Pengendalian gulma pertama dilakukan saat tanaman kedelai berumur
3 MST. Permukaan lahan yang bergulud diratakan ke arah tanaman kedelai,
sehingga batang tanaman kedelai terkubur hingga sekitar 5 cm (Gambar 4A).
Penentuan tanaman contoh dilakukan saat tanaman kedelai berumur
3 MST. Metode yang digunakan adalah pemilihan secara acak untuk tanaman
selain tanaman pinggir. Pengamatan tanaman dilakukan pada umur 4, 6, 8 dan
10 MST pada semua tanaman contoh setiap petakan. Pengamatan destruktif
meliputi bobot kering akar, bintil akar, batang, daun dan polong dilakukan pada
umur 8 MST. Brangkasan tanaman dikeringkan menggunakan oven di
Laboratorium Pasca Panen Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB.
Panen dilakukan ketika 95% populasi mencapai masak dengan ciri-ciri
warna polong berubah menjadi kecoklatan (Gambar 4B). Penghitungan hasil
panen menggunakan metode ubinan. Luas ubinan yang digunakan adalah 4.4 m2
(Lampiran 8). Tanaman pinggir tidak dimasukkan dalam perhitungan panen
ubinan.
17
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada 10 tanaman contoh pada tiap satuan
percobaan. Secara umum pengamatan dapat dikelompokkan ke dalam pengamatan
vegetatif dan pengamatan komponen produksi. Pengamatan vegetatif meliputi
pengamatan jumlah daun dan tinggi tanaman pada 4, 6, 8 dan 10 MST serta
pengamatan destruktif umur 8 MST. Pengamatan komponen produksi meliputi
pengamatan bobot biji kering per petak dan bobot kering 100 butir serta jumlah
cabang, polong isi dan hampa per tanaman.
Daun yang diamati adalah daun trifoliet yang telah membuka sempurna.
Tinggi tanaman diamati dari permukaan tanah hingga titik tumbuh tanaman.
Pengamatan destruktif meliputi pengamatan bobot kering akar, daun, batang dan
polong. Komponen jumlah cabang, polong isi dan hampa tanaman dilakukan pada
setiap tanaman contoh saat panen. Bobot biji 100 butir diperoleh dari pengambilan
secara acak 100 biji dari 10 tanaman contoh dengan tiga kali pengulangan.
Perhitungan hasil per petak diperoleh dari hasil ubinan dengan luas 4.4 m2
(Lampiran 8).
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Pola tanam di lahan kering Natar adalah jagung-jagung. Jagung musim I
ditanam pada awal November dan panen di akhir Februari. Jagung musim II
ditanam di awal bulan Maret dan panen pada akhir bulan Juni (Gambar 5A).
Tanaman Jagung musim I dan II dipupuk dengan 71.5 kg/ha TSP dan 71.5 kg/ha
Urea. Petani telah memberikan kapur di lahan penelitian sejak dua tahun
sebelumnya. Pemberian kapur tersebut rutin dilakukan setiap dua tahun sekali.
Produktivitas tanaman jagung musim pertama mencapai 8 ton/ha. Namun
produktivitas jagung musim II lebih rendah yaitu 6.1 ton/ha.
Tanah pada lahan percobaan mengandung 25% pasir, 46% debu dan 29%
liat sehingga tergolong jenis tanah bertekstur lempung berliat menurut kriteria
USDA (Hardjowigeno, 2007). Lahan percobaan tergolong masam dengan pH 5.2
pada pH H2O. Kemasaman pH tanah percobaan berpengaruh terhadap kandungan
hara tanah. Hara P dalam bentuk P2O5 (HCl 25%) yang tergolong sedang (22
mg/100 g), sementara hara K dalam bentuk K2O (HCl 25%) tergolong sangat
rendah
(7 mg/100 g). Hasil analisis tanah juga menunjukkan bahwa kandungan bahan
organik tanah (C dan N total) tergolong sangat rendah (Lampiran 1).
Penanaman kedelai dimulai pada minggu keempat bulan Mei 2012. Curah
hujan masih cukup banyak diperoleh tanaman pada masa pertumbuhan vegetatif.
Namun, curah hujan menurun hingga tanaman kedelai siap panen. Curah hujan
yang diperoleh tanaman selama tumbuh adalah 201.4 mm (Lampiran 5).
Pertumbuhan kedelai sesuai dengan deskripsi varietas masing-masing.
Setiap
tanaman
mengalami
fase
pertumbuhan
vegetatif
dan
generatif.
Pertumbuhan setiap varietas terhenti setelah mengalami fase berbunga. Semua
varietas memiliki bunga berwarna unggu. Daun tanaman mulai rontok pada umur
10 MST.
Selain gulma, organisme pengganggu tanaman (OPT) yang menyerang
antara lain kepik hijau (Nezara viridula L.), ulat polong (Etiella zinckenella T.),
ulat grayak (Spodoptera linura F.), kumbang kedelai (Phaedonia inclusa S.),
19
belalang (Sexava sp.) dan bekicot (Achatina fulica). Serangan yang paling banyak
terjadi adalah saat tanaman jagung belum dipanen. Hama yang dominan adalah
bekicot yang memakan tanaman kedelai berumur 1-2 MST. Serangan OPT
dikendalikan dengan pengendalian secara manual dan kimia. Penyemprotan
insektisida dilakukan saat tanaman kedelai berumur 2 MST dan menjelang
pembentukan polong.
Hasil
Pertumbuhan
Jumlah daun trifoliet. Berdasarkan analisis ragam terdapat interaksi
nyata antara varietas dan kombinasi pupuk terhadap jumlah daun trifoliet umur
4 MST (Lampiran 10). Jumlah daun terbanyak terdapat pada varietas nasional
Tanggamus, sedangkan jumlah daun terkecil umumnya dimiliki oleh galur
silangan PG-57-1 (Tabel 2).
Tabel 2. Jumlah daun trifoliet tanaman kedelai saat 4 MST pada berbagai taraf
kombinasi pupuk setiap varietas
Kombinasi Pupuk
Tanpa pupuk
Sp-36+KCl
SP-36+KCl+KP
SP-36+KCl+KP+PK
SP-36+KCl+KP+PK+MS
SP-36+AS
SP-36+AS+KP
SP-36+AS+KP+PK
SP-36+AS+KP+PK+MS
Varietas
Anjasmoro
Tanggamus
SP-30-4
PG-57-1
---------------------------- Jumlah Daun ---------------------------5.13 abcdefg
4.52 efghi
5.07 abcdefg
4.73 defgh
4.87 bcdefg
5.63 abcde
4.50 efghi
3.27 k
4.53 efghi
5.83 abcd
5.17 abcdefg
4.16 hijk
5.30 abcdef
6.03 a
5.88 abc
3.42 jk
4.63 efghi
5.40 abcdef
5.03 abcdefg
4.36 fghij
4.80 cdefg
5.40 abcdef
5.37 abcdef
4.53 efghi
4.83 bcdefg
5.94 ab
5.13 abcdefg
3.57 ijk
5.13 abcdefg
6.07 a
5.40 abcdef
4.04 ghijk
5.33 abcdef
5.03 abcdefg
4.07 ghijk
4.93 abcdefg
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT α = 5% (KP = kapur, PK = pupuk kandang, MS = mulsa,
AS = abu sekam)
Jumlah daun tanaman terus bertambah hingga umur 8 MST (Tabel 3).
Terdapat perbedaan jumlah daun antar taraf kombinasi pupuk pada setiap minggu
pengamatan (Lampiran 10). Jumlah daun terbanyak terdapat pada taraf kombinasi
pupuk SP-36 + abu sekam + kapur + pupuk kandang sapi + mulsa. Walapun
20
demikian, jumlah tersebut tidak berbeda dengan kombinasi pupuk SP-36 + KCl +
kapur + pupuk kandang sapi dengan maupun tanpa mulsa.
Jumlah daun antar varietas juga menunjukkan adanya perbedaan pada
6, 8 dan 10 MST (Lampiran 10). Jumlah daun kedua galur silangan pada awal
pertumbuhan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan varietas nasional. Namun,
ketika memasuki umur 8 MST, jumlah daun galur memiliki laju pertumbuhan
lebih tinggi. Kedelai galur PG-57-1 merupakan tanaman yang memiliki jumlah
daun terbanyak saat tanaman mencapai pertumbuhan vegetatif maksimal,
Penggunaan KCl dan abu sekam sebagai sumber hara kalium tidak
menunjukkan perbedaan nyata terhadap jumlah daun. Hal ini mengindikasikan
bahwa hara kalium dari 1.2 ton/ha abu sekam yang dimanfaatkan oleh tanaman
setara dengan kalium dari 100 kg/ha KCl. Perlakuan tanpa pupuk memiliki jumlah
daun yang sama dengan kombinasi pupuk yang menggunakan SP-36, KCl atau
abu sekam dan kapur.
Tabel 3. Jumlah daun trifoliet tanaman kedelai pada berbagai taraf kombinasi
pupuk dan varietas
Perlakuan
Kombinasi pupuk
Tanpa pupuk
SP-36
SP-36+KCl
SP-36+KCl+KP
SP-36+KCl+KP+PK
SP-36+KCl+KP+PK+MS
SP-36+AS
SP-36+AS+KP
SP-36+AS+KP+PK
SP-36+AS+KP+PK+MS
Varietas
Anjasmoro
Tanggamus
SP-30-4
PG-57-1
Keterangan :
Umur Tanaman
6 MST
8 MST
10 MST
------------------- Jumlah Daun -----------------10.06 d
10.05 d
10.69 bcd
10.72 bcd
11.95 abc
12.48 a
10.50 cd
10.37 d
12.12 ab
12.99 a
17.17 d
17.03 d
18.32 cd
19.47 bcd
23.75 ab
21.66 abc
18.48 cd
22.75 abc
20.15 bcd
24.82 a
12.27 d
13.89 cd
15.41 bc
15.31 bc
18.66 ab
18.46 ab
14.81 cd
14.85 cd
15.89 bc
20.37 a
11.08 b
12.64 a
11.00 b
10.05 c
14.45 c
19.74 b
22.10 b
25.15 a
9.58 d
14.27 c
17.38 b
22.74 a
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5% (KP = kapur,
PK = pupuk kandang, MS = mulsa, AS = abu sekam)
21
Tabel 4. Tinggi tanaman kedelai saat 4 MST pada berbagai taraf kombinasi
pupuk setiap varietas
Kombinasi Pupuk
Tanpa pupuk
SP-36
SP-36+KCl
SP-36+KCl+KP
SP-36+KCl+KP+PK
SP-36+KCl+KP+PK+MS
SP-36+AS
SP-36+AS+KP
SP-36+AS+KP+PK
SP-36+AS+KP+PK+MS
Varietas
Anjasmoro Tanggamus SP-30-4
PG-57-0
------------------------------ cm -----------------------------32.77 a
22.58 efghi 20.70 hijkl 18.17 ijklm
27.85 bcd 25.50 cdefg 22.96 efgh
14.17 mn
32.35 a
22.90 efgh
20.28 hijkl 14.53 mn
27.12 bcde 21.97 fghijk 22.28 fghij 15.72 mn
31.12 ab
26.58 bcdef 23.61 defgh 14.15 mn
27.62 bcd 27.67 bcd
21.65 ghijk 17.68 jklm
28.38 abc 25.82 cdefg 22.05 fghijk 16.65 lmn
27.82 bcd 23.63 defgh 21.68 ghijk 12.92 n
29.37 abc 26.35 cdefg 21.62 ghijk 14.84 mn
29.97 abc 23.45 defgh 20.40 hijkl 17.57 klm
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada α = 5% (KP = kapur, PK = pupuk kandang,
MS = mulsa, AS = abu sekam)
Tabel 5. Pertumbuhan tinggi tanaman kedelai pada berbagai taraf kombinasi
pupuk dan varietas
Kombinasi Pupuk
Kombinasi pupuk
Tanpa pupuk
SP-36
Sp-36+KCl
SP-36+KCl+KP
SP-36+KCl+KP+PK
SP-36+KCl+KP+PK+MS
SP-36+AS
SP-36+AS+KP
SP-36+AS+KP+PK
SP-36+AS+KP+PK+MS
Varietas
Anjasmoro
Tanggamus
SP-30-4
PG-57-1
Keterangan :
Umur Tanaman
6 MST
8 MST
10 MST
--------------------------- cm --------------------------40.68 bc
40.29 bc
39.18 c
39.73 bc
40.79 bc
45.68 a
41.48 bc
40.25 bc
40.68 bc
43.84 ab
50.26 de
49.29 e
51.23 de
51.90 cde
57.08 bc
64.32 a
53.14 cde
52.00 cde
55.46 cd
60.91 ab
49.11 e
48.93 e
51.19 de
48.21 e
57.34 abc
63.04 a
53.01 cde
52.74 cde
55.36 cde
60.97 ab
50.55 a
42.73 b
39.91 c
31.84 d
54.79 b
55.57 ab
58.27 a
49.61 c
54.02 ab
53.57 ab
57.04 a
51.33 b
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5%. (KP = kapur, PK =
pupuk kandang, MS = mulsa, AS = abu sekam)
Tinggi tanaman. Terdapat interaksi sangat nyata antara kombinasi pupuk
dan varietas pada karakter pertumbuhan tinggi tanaman saat umur 4 MST
22
(Lampiran 10). Data yang tersaji dalam Tabel 4 secara umum menunjukkan
bahwa tanaman tertinggi terdapat pada varietas nasional Anjasmoro.
Tinggi tanaman kedelai pada 6, 8 dan 10 MST sangat nyata dipengaruhi
oleh kombinasi pupuk yang digunakan (Lampiran 10). Tanaman tertinggi adalah
tanaman yang diberi kombinasi pupuk SP-36 + KCl + kapur dolomit + pupuk
kandang sapi dan mulsa brangkasan jagung. Walaupun demikian, tinggi tanaman
dari kombinasi pupuk tersebut tidak berbeda nyata dengan kombinasi pupuk
SP-36 + abu sekam + kapur dolomit + pupuk kandang sapi dan mulsa brangkasan
jagung (Tabel 5).
Tinggi tanaman pada setiap minggu pengamatan juga menunjukkan
perbedaan antar varietas. Data yang tersaji dalam Tabel 5 menunjukkan bahwa
laju penambahan tinggi mulai menurun ketika tanaman berumur 8-10 MST. Galur
silangan SP-30-4 merupakan tanaman tertinggi pada saat masa vegetatif
maksimum. Namun, tinggi tersebut tidak berbeda dengan tinggi tanaman varietas
nasional Tanggamus dan tinggi varietas nasional Anjasmoro tidak berbeda dengan
varietas nasional Tanggamus. Sedangkan, galur silangan PG-57-1 memiliki
keragaan tinggi tanaman paling rendah.
Bobot kering tanaman. Bobot kering batang, daun dan akar tanaman
kedelai pada 8 MST berbeda sangat nyata antar taraf kombinasi pupuk maupun
varietas (Lampiran 10). Bobot polong kering berbeda antar varietas, namun tidak
dipengaruhi oleh kombinasi pupuk yang digunakan. Bintil akar tidak terbentuk
baik pada tiap varietas maupun tiap kombinasi pupuk (Tabel 6).
Terdapat perbedaan bobot kering tanaman yang signifikan pada kombinasi
pupuk yang ditambahkan pupuk kandang. Bobot kering pada perlakuan tersebut
relatif lebih tinggi dari kombinasi pupuk lainnya. Penambahan mulsa pada
kombinasi pupuk tersebut masih belum menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil
yang juga menarik pada pengamatan ini adalah bahwa kombinasi pupuk yang
tidak ditambahkan pupuk kandang memiliki bobot kering per tanaman yang sama
besar dengan tanaman yang tanpa diberi pupuk.
Perbedaan bobot kering tanaman juga terjadi antar varietas yang
dicobakan. Bobot kering total varietas nasional Tanggamus adalah yang tertinggi
yaitu 18.00 g per tanaman. Galur silangan SP-30-4 memiliki bobot kering total
23
sama dengan varietas nasional Anjasmoro yaitu 15.70 dan 15.23 g per tanaman.
Sementara galur silangan PG-57-1 memiliki bobot kering total relatif kecil yaitu
13.23 g per tanaman.
Tabel 6. Bobot kering tanaman kedelai saat 8 MST pada berbagai taraf
kombinasi pupuk dan varietas
Komponen Pengamatan
Perlakuan
Kombinasi pupuk
Tanpa pupuk
SP-36
SP-36+KCl
SP-36+KCl+KP
SP-36+KCl+KP+PK
SP-36+KCl+KP+PK+MS
SP-36+AS
SP-36+AS+KP
SP-36+AS+KP+PK
SP-36+AS+KP+PK+MS
Varietas
Anjasmoro
Tanggamus
SP-30-4
PG-57-1
Keterangan :
Bintil
Akar
-------------------------- g / tanaman ------------------------Batang
Daun
Polong
Akar
2.82 c
2.97 c
3.29 c
3.16 c
4.89 ab
5.26 a
3.10 c
3.15 c
3.69 bc
4.54 ab
5.01 c
5.08 c
5.96 bc
5.47 c
7.65 ab
9.58 a
5.16 c
5.49 c
6.19 bc
7.71 ab
3.63
3.19
3.92
4.18
5.38
5.26
4.03
4.47
4.27
3.49
1.12 bc
1.04 c
1.28 bc
1.22 bc
1.53 ab
1.85 a
1.05 c
1.48 abc
1.39 abc
1.42 bc
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
2.79 b
4.26 a
4.57 a
3.13 b
5.40 b
7.00 a
7.12 a
5.81 b
5.74 a
5.18 a
2.65 b
3.15 b
1.30 ab
1.56 a
1.36 ab
1.14 b
0.00
0.00
0.00
0.00
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5% (KP = kapur,
PK = pupuk kandang, MS = mulsa, AS = abu sekam)
Hari saat 50% tanaman berbunga dan panen. Hari saat 50% tanaman
berbunga dan hari panen tanaman menunjukkan hubungan interaksi sangat nyata
antara varietas dan kombinasi pupuk (Lampiran 10). Tabel 7 dan 8 menyajikan
galur silangan SP-30-4 dan PG-57-1 memiliki waktu lebih panjang untuk
berbunga dan panen dibandingkan varietas nasional Tanggamus dan Anjasmoro.
Varietas nasional Anjasmoro memiliki waktu berbunga dan panen lebih cepat
yaitu 32.00-33.33 hari dan 77.33-80.33 hari. Sementara waktu tanaman berbunga
dan panen terlama terdapat pada galur silangan PG-57-1 yaitu 38.33-41 hari dan
84-89.33 hari. Hal ini menunjukkan bahwa hari saat 50% tanaman berbunga dan
panen lebih dominan dipengaruhi oleh karakter genetik yang dimiliki setiap
varietas.
24
Tabel 7. Waktu 50% tanaman kedelai berbunga pada berbagai taraf kombinasi
pupuk dan varietas
Varietas
Anjasmoro Tanggamus SP-30-4
PG-57-2
------------------------ Hari Berbunga ---------------------33.00 j
36.67 ghi
39.00 bcdef 38.33 def
Tanpa pupuk
33.33 j
36.67 ghi
38.67 cdef
38.33 def
SP-36
32.00 j
37.67 fgh
39.00 bcdef 40.33 ab
SP-36+KCl
32.67 j
36.67 ghi
39.33 bcde 40.00 abc
SP-36+KCl+KP
32.67 j
36.33 hi
39.00 bcdef 41.00 a
SP-36+KCl+KP+PK
36.67 ghi
40.33 ab
41.00 a
SP-36+KCl+KP+PK+MS 32.00 j
32.67 j
36.00 i
39.00 bcdef 40.00 abc
SP-36+AS
32.67 j
36.33 hi
39.67 abcd 39.33 bcde
SP-36+AS+KP
32.67 j
36.67 ghi
40.00 abc
41.00 a
SP-36+AS+KP+PK
38.00 efg
39.33 bcde 41.00 a
SP-36+AS+KP+PK+MS 32.33 j
Kombinasi Pupuk
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada α = 5% (KP = kapur, PK = pupuk kandang,
MS = mulsa, AS = abu sekam)
Tabel 8. Hari panen tanaman kedelai pada berbagai taraf kombinasi pupuk dan
varietas
Kombinasi Pupuk
Tanpa pupuk
SP-36
SP-36+KCl
SP-36+KCl+KP
SP-36+KCl+KP+PK
SP-36+KCl+KP+PK+MS
SP-36+AS
SP-36+AS+KP
SP-36+AS+KP+PK
SP-36+AS+KP+PK+MS
Varietas
Anjasmoro Tanggamus SP-30-4
PG-57-1
-------------------------- Hari Panen ------------------------78.67 jk
80.67 hi
84.67 ef
84.00 fg
78.67 jk
80.67 hi
84.67 ef
84.00 fg
79.67 hij
81.00 hij
86.33 cde
87.00 bcd
79.33 ijk
80.33 hij
86.33 cde
87.33 abcd
80.00 hij
81.33 hi
89.00 ab
87.33 abcd
80.33 hij
81.67 hi
88.00 abc
88.67 ab
79.33 ijk
81.00 hij
87.33 abcd 85.67 def
77.33 k
81.00 hij
87.33 abcd 84.33 ef
80.33 hij
81.33 hi
88.33 abc
88.33 abc
80.33 hij
82.00 gh
88.33 abc
89.33 a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada α = 5% (KP = kapur, PK = pupuk kandang,
MS = mulsa, AS = abu sekam)
Jumlah polong isi, polong hampa dan cabang saat panen. Terdapat
perbedaan yang sangat nyata pada komponen jumlah polong isi, polong hampa
dan cabang saat panen antar kombinasi pupuk. Perbedaan juga terjadi antar
varietas yang digunakan, namun tidak nyata pada komponen jumlah polong
hampa (Lampiran 10).
25
Tabel 9. Jumlah polong isi, polong hampa dan cabang tanaman saat panen
pada berbagai taraf kombinasi pupuk dan varietas
Perlakuan
Tanpa pupuk
SP-36
SP-36+KCl
SP-36+KCl+KP
SP-36+KCl+KP+PK
SP-36+KCl+KP+PK+MS
SP-36+AS
SP-36+AS+KP
SP-36+AS+KP+PK
SP-36+AS+KP+PK+MS
Varietas
Anjasmoro
Tanggamus
SP-30-4
PG-57-1
Keterangan :
Jumlah
Polong isi
29.50 d
31.29 d
35.18 cd
40.16 bcd
55.50 a
56.09 a
35.58 cd
45.93 abc
50.60 ab
55.68 a
Jumlah
Polong hampa
2.53 b
1.99 b
2.08 b
3.49 ab
5.71 a
5.38 a
2.42 b
3.69 ab
4.22 ab
4.19 ab
Jumlah
Cabang
1.84 c
2.08 c
2.32 bc
2.49 bc
3.52 a
3.53 a
2.25 bc
2.86 ab
3.32 a
3.30 a
23.87 d
50.22 b
38.73 c
61.38 a
3.25
4.20
3.04
3.79
1.30 d
1.92 b
1.72 c
2.08 a
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5% (KP = kapur, MS = mulsa,
PK = pupuk kandang, AS = abu sekam)
Perbedaan yang signifikan terjadi diantara kombinasi pupuk yang tidak
ditambahkan dengan yang ditambahkan pupuk kandang sapi. Ketiga komponen
menunjukkan hasil tertinggi ketika diberi pupuk yang dikombinasikan dengan
pupuk kandang sapi. Namun, perbedaan tidak terjadi pada perlakuan kombinasi
pupuk SP-36 + abu sekam + kapur. Kombinasi pupuk yang tidak ditambahkan
pupuk kandang sapi masih memiliki nilai yang sama besar dengan tanaman yang
tanpa dipupuk. Informasi lain yang didapatkan bahwa belum terlihatnya pengaruh
baik dari pemberian mulsa brangkasan jagung terhadap tiga komponen tersebut
(Tabel 9).
Berdasarkan varietas yang dicobakan, jumlah polong isi dan cabang saat
panen dari keempat varietas menunjukkan adanya perbedaan. Namun, pada
karakter polong hampa, keempat varietas memiliki jumlah polong hampa yang
sama banyak. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa galur silangan
PG-57-1 memiliki jumlah polong isi dan cabang terbaik. Nilai tersebut berada
diatas jumlah polong isi dan cabang varietas nasional Anjasmoro dan Tanggamus.
26
Bobot 100 biji. Bobot 100 biji kedelai antar kombinasi pupuk tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Namun, perbedaan bobot terjadi sangat
nyata diantara varietas yang dicobakan (Lampiran 10). Pengujian statistik yang
tersaji pada Tabel 10 menunjukkan bahwa varietas nasional Anjasmoro memiliki
bobot biji tertinggi yaitu 11.42 g/100 biji. Kemudian bobot biji galur silangan
SP-30-4 berada di atas bobot biji varietas nasional Tanggamus yaitu 8.92 g dan
8.25 g per 100 butir biji. Sementara galur silangan PG-57-1 masih memiliki bobot
relatif rendah yaitu 5.83 g /100 biji.
Produksi biji kering kedelai. Bobot petakan tiap perlakuan diambil dari
ubinan seluas 4.4 m2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa bobot petakan
berbeda
sangat
nyata
antar
perlakuan kombinasi
pupuk dan
varietas
(Lampiran 10). Bobot tertinggi terdapat pada petakan yang dipupuk dengan
kombinasi pupuk yang ditambah pupuk kandang sapi (Tabel 10).
Tabel 10. Bobot biji kering tanaman kedelai
Perlakuan
Kombinasi pupuk
Tanpa pupuk
SP-36
SP-36+KCl
SP-36+KCl+KP
SP-36+KCl+KP+PK
SP-36+KCl+KP+PK+MS
SP-36+AS
SP-36+AS+KP
SP-36+AS+KP+PK
SP-36+AS+KP+PK+MS
Varietas
Anjasmoro
Tanggamus
SP-30-4
PG-57-1
Keterangan :
100 butir
(g)
Bobot biji kedelai
Ubinan
Produktivitas
(g/4.4 m2)
(ton/ha)
9.28
9.10
9.61
9.60
9.77
9.91
9.55
9.43
9.51
9.54
346.78 d
409.07 cd
372.91 d
517.46 bc
589.94 ab
655.49 a
424.42 d
419.62 cd
601.99 ab
625.55 ab
0.79 d
0.93 cd
0.85 d
1.18 bc
1.34 ab
1.49 a
0.96 d
0.95 cd
1.38 ab
1.42 ab
11.42 a
8.25 c
8.92 b
5.83 d
481.06 b
583.86 a
439.41 b
480.95 b
1.09 b
1.33 a
1.00 b
1.09 b
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5%. KP = kapur, PK =
pupuk kandang, MS = mulsa, AS = abu sekam
27
Penggunaan mulsa brangkasan jagung pada kombinasi pupuk terbaik
masih belum dapat meningkatkan produksi biji kering. Hasil petakan lainnya
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan hasil antara bobot petakan perlakuan
tanpa pupuk dan kombinasi pupuk yang tanpa ditambah dengan pupuk kandang
sapi.
Varietas nasional Tanggamus memiliki bobot petakan tertinggi yaitu
583.86 g/4.4 m2 atau setara dengan produktivitas 1.33 ton/ha. Bobot petakan
varietas nasional Anjasmoro setara dengan galur silangan SP-30-4 dan PG-57-1.
Jika dikonversi dalam satuan hektar, maka produktivitas varietas nasional
Anjasmoro, galur silangan SP-34-1 dan PG-57-1 adalah 1.09, 1.00 dan 1.09 ton/ha.
Pembahasan
A. Pengaruh Varietas Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada
Sistem Tanam Alur dan Sisip di Lahan Kering Masam
Tanggap varietas terhadap kombinasi pupuk pada karakter jumlah daun
(Tabel 2) dan tinggi tanaman (Tabel 4) saat 4 MST, hari berbunga (Tabel 7) dan
hari panen (Tabel 8) menunjukkan hubungan interaksi. Hubungan tersebut
memberikan
informasi
bahwa
jumlah
daun
dan
tinggi
tanaman
saat
4 MST, hari berbunga dan hari panen dipengaruhi oleh karakter genetik masingmasing varietas.
Varietas nasional Anjasmoro dan Tanggamus serta galur silangan SP-30-4
dan PG-57-1 memiliki karakter pertumbuhan dan produksi biji kedelai yang
berbeda. Varietas nasional Anjasmoro memiliki jumlah daun lebih rendah
dibandingkan varietas lainnya. Jumlah daun varietas nasional Tanggamus tidak
berbeda nyata dengan galur SP-30-4 dan jumlah daun keduanya lebih banyak
dibandingkan varietas nasional Anjasmoro. Galur PG-57-1 memiliki keragaan
jumlah daun lebih baik di antara empat varietas kedelai yang digunakan (Tabel 3).
Perbedaan tersebut diduga sebagai bentuk respon varietas kedelai terhadap lahan
kering masam. Varietas nasional Tanggamus (Arsyad et al., 2007) dan galur
silangan PG-57-1 (Yunita, 2010) merupakan varietas kedelai unggul yang adaptif
terhadap lahan kering masam.
28
Walaupun jumlah daun yang dimiliki oleh galur silangan PG-57-1
terbanyak di antara varietas yang digunakan, tetapi tinggi galur tersebut tidak
menunjukkan hal yang serupa. Galur PG-57-1 menunjukkan laju pertumbuhan
tinggi tanaman yang lambat (Tabel 5). Lambatnya laju pertumbuhan tersebut
menyebabkan tinggi tanaman masih bertambah hingga umur 10 MST, sedangkan
tinggi tanaman tiga varietas lainnya telah terhenti. Namun, hingga akhir
pertumbuhan tanaman, baik tinggi tanaman galur SP-30-4 dan PG-57-1 tidak
menunjukkan perbedaan dengan kedua varietas nasional.
Bobot kering brangkasan tanaman yang terdiri atas batang, daun, polong
dan akar berbeda antar varietas. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah biomassa
yang terbentuk berbeda antar varietas. Bobot kering daun tertinggi terdapat pada
varietas nasional Tanggamus dan galur SP-30-4 dan secara umum menunjukkan
hasil yang sama pada bagian brangkasan tanaman. Jumlah daun tetinggi yang
dimiliki oleh galur PG-57-1 (Tabel3) tidak disertai dengan besarnya biomassa
yang terbentuk (Tabel 6). Hal ini diduga adanya pengaruh dari bentuk daun kedua
varietas tersebut. Bentuk daun galur SP-30-4 menyerupai bentuk daun varietas
nasional Tanggamus yaitu lanceolate atau lancip (Lampiran 2), sehingga keadaan
tersebut memungkinkan cahaya matahari menembus bagian dalam tajuk. Oleh
karena itu, luasan bagian tanaman yang mampu berfotosintesis meningkat.
Bobot kering bintil akar tidak berbeda nyata antar varietas. Keberadaan
bintil akar tidak ditemukan pada setiap varietas saat umur 8 MST. Ketika tanah
kekurangan N, tanaman legum mampu memfiksasi N udara melalui simbiosis
dengan bakteri (Christophe et al., 2011). Namun, kondisi kering, kesuburan tanah,
suhu dan umur tanaman saat diamati merupakan faktor penentu keberadaan bintil
akar. Menurut Adie dan Krisnawati (2007), bintil akar tanaman kedelai di lahan
kering pada minggu keenam hingga ketujuh telah mengalami pelapukan.
Pelapukan ini diduga yang menjadi penyebab tidak ditemukannya bintil akar pada
tanaman kedelai umur 8 MST.
Keragaan pertumbuhan vegetatif dan generatif empat varietas tertera pada
Lampiran 6. Varietas nasional Tanggamus memiliki produktivitas tertinggi yaitu
1.33 ton/ha. Bahkan melalui penerapan pemupukan yang mengombinasikan
pupuk SP-36 + abu sekam + kapur + pupuk kandang sapi memiliki produktivitas
29
1.89 ton/ha (Lampiran 4). Hasil ini menggambarkan kemampuan adaptasi yang
baik dari varietas nasional Tanggamus di lahan kering masam. Hal ini didukung
juga dengan bobot biomassa total per tanaman yaitu 18.00 g (Tabel 6) dan jumlah
polong isi 50.22 per tanaman (Tabel 9). Bobot tersebut relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan varietas lainnya.
Bobot 100 butir kedelai keempat varietas mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan deskripsi masing-masing varietas dan hasil dari percobaan
sebelumnya (Tabel 10). Bobot 100 butir varietas nasional Anjasmoro dan
Tanggamus adalah 14.8-15.3 g dan 11.0 g (Litbang, 2013). Dengan demikian,
bobot 100 biji varietas nasional Anjasmoro dan Tanggamus turun 24.12 dan
25.00%. Bobot 100 butir galur silangan SP-30-4 dan PG-57-1 adalah 9.08 dan
8.46 g (Nofrianil, 2012). Maka, bobot 100 butir galur-galur tersebut mengalami
penurunan 1.76 dan 31.09%. Penurunan bobot biji kedelai diduga karena
pengaruh dari kekurangan air dan penggunaan jarak tanam dalam baris yang
terlalu sempit.
Curah hujan yang turun ketika tanaman memasuki fase pengisian polong
tergolong rendah yaitu 26 mm/bulan (Lampiran 5). Berdasarkan klasifikasi iklim
Oldeman, curah hujan di bawah 100 mm/bulan tergolong rendah bagi tanaman
palawija (Handoko, 1995). Tanaman akan merespon cekaman kekeringan dengan
cara mengurangi fotosintesis sehingga akan menghasilkan biomassa dalam jumlah
yang lebih sedikit (Lisar et al., 2011).
Selain pengaruh ketersediaan air, diduga penurunan bobot 100 butir
tanaman kedelai disebabkan oleh kerapatan jarak tanam. Jarak tanam dalam baris
yang digunakan adalah 9 cm dengan 2 tanaman per lubang. Kondisi ini akan
memungkinkan tajuk tanaman saling berhimpit sehingga menyebabkan banyak
daun negatif. Daun negatif tidak menghasilkan fotosintat untuk digunakan dan
disimpan oleh tanaman (Harjadi, 1996). Jumlah polong isi yang terbentuk tidak
diimbangi dengan luasan daun yang mampu berfotosistesis. Akibatnya, fotosintat
akan didistribusikan ke dalam banyak polong sehingga setiap polong tidak
mendapatkan fotosintat yang maksimal untuk disimpan.
Jarak tanam yang terlalu rapat dapat menurunkan jumlah bobot biji kedelai
(Supriono, 2000). Galur PG-57-1 memiliki jumlah daun dan polong isi terbanyak
30
yaitu 25.15 daun dan 65.17 buah. Penurunan bobot galur tersebut adalah yang
terbesar dibandingkan dengan varietas lainnya. Tinggi tanaman galur PG-57-1
rata-rata mencapai 51.33 cm. Hal ini jelas menunjukkan bahwa banyak daun yang
saling berhimpit sehingga kurang memproduksi fotosintat.
B. Pengaruh Kombinasi Pupuk Terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Kedelai pada Sistem Tanam Alur dan Sisip di Lahan Kering Masam
Taraf kombinasi pupuk yang menggunakan KCl sebagai sumber hara
kalium tidak menunjukkan perbedaan dengan abu sekam terhadap pertumbuhan
dan produksi kedelai. Hal ini diduga bahwa kandungan kalium dalam 1.2 ton abu
sekam setara dengan 100 kg KCl. Abu sekam memiliki unsur hara K 37.9 g/100 g
(Lampiran 7). Dengan demikian, penggunaan 1.2 ton/ha abu sekam setara dengan
penambahan unsur K 45.5 kg/ha dan penggunaan pupuk KCl 100 kg/ha setara
dengan unsur K 50 kg. Kandungan K antara kedua bahan pupuk yang tidak jauh
berbeda diduga menyebabkan respon tanaman terhadap kedua pupuk tersebut
tidak berbeda.
Pertumbuhan jumlah daun (Tabel 3) dan tinggi tanaman (Tabel 5)
perlakuan tanpa pupuk tidak berbeda dengan kombinasi pupuk SP-36, SP-36 yang
ditambah KCl atau abu sekam, dan SP-36 + kapur yang ditambah dengan KCl
atau abu sekam. Hal ini diduga bahwa adanya pengaruh residu pupuk dari
pemupukan di musim sebelumnya yang masih tersedia bagi tanaman kedelai.
Tanaman menggunakan pupuk P yang diberikan pada musim pertama
tidak lebih dari 20%. Sebagian P terfiksasi akan tetap tinggal di daerah
perakaran dan secara perlahan tersedia bagi tanaman pada musim berikutnya
(Munawar, 2011). Hasil analisis tanah awal menunjukkan bahwa kandungan hara
fosfor dalam bentuk
tergolong dalam kategori sedang (Lampiran 1).
Diduga tanaman kedelai tanpa pemupukan memanfaatkan hara tersebut.
Hasil analisis tanah menunjukkan nilai pH 5.2 sehingga lahan kering
percobaan dikriteriakan sebagai lahan masam. Namun, secara umum pertumbuhan
dan produksi tanaman pada perlakuan tanpa pemupukan relatif baik. Hal ini
diduga karena pengaruh dari Al yang rendah sehingga ketersediaan P yang dapat
diserap oleh tanaman relatif sedang (Lampiran 1).
31
Produksi biji kedelai didukung oleh pertumbuhan tanaman kedelai.
Tanaman dengan pertumbuhan terbaik juga memiliki produksi biji kering terbaik.
Pertumbuhan dan produksi terbaik terdapat pada tanaman kedelai dengan
pemupukan yang menggunakan kombinasi pupuk 200 kg/ha SP-36 + 1 ton/ha
kapur dolomit + 5 ton/ha pupuk kandang sapi yang ditambah dengan 100 kg/ha
KCl atau 1.2 ton/ha abu sekam.
Pertumbuhan dan produksi kedelai terbaik terdapat pada taraf kombinasi
pupuk yang menambahkan pupuk kandang sapi. Bobot biomassa dan produksi biji
kering kedelai dengan kombinasi pupuk SP-36 + KCl + kapur serta kombinasi SP36 + abu sekam + kapur akan meningkat ketika kombinasi tersebut ditambahkan
pupuk kandang sapi. Selain berpengaruh baik terhadap pertumbuhan tanaman,
kombinasi pupuk yang ditambah dengan pupuk kandang sapi juga berpengaruh
terhadap produksi biji. Perlakuan kombinasi pupuk SP-36 + kapur + pupuk
kandang sapi dengan tambahan KCl atau abu sekam memiliki hasil bobot petakan
terbaik (Tabel 10).
Pupuk kandang sapi merupakan salah satu bahan organik yang memiliki
sifat baik bagi tanah. Menurut Bailey (1986), bahan organik mampu menyimpan
air dan memperbaiki porositas, meningkatkan KTK serta membentuk struktur
tanah, dan bahan organik yang dijadikan mulsa dapat menekan laju kehilangan air
tanah (evaporasi). Sukartaatmadja (2001) menambahkan bahwa bahan organik
merupakan unsur esensial bagi tanah karena akan mendukung perbaikan kondisi
sifat fisik, biologi dan kimia tanah, juga sebagai bahan dasar pada berbagai
populasi mikroorganisme tanah.
Menurut Lumbanraja (2012), yang lebih berperan dari sifat baik pupuk
kandang sapi adalah kadar air yang dapat disimpan oleh bahan tersebut yang
mampu menjadikan tanaman kedelai tumbuh dan berproduksi lebih baik.
Sebagaimana diketahui bahwa air tanah berperan dalam melarutkan hara agar
menjadi tersedia bagi tanaman. Adanya air memungkinkan tanaman lebih banyak
menyerap hara yang tersedia dalam tanah. Hal ini dapat dilihat dari bobot
biomassa tanaman yang terbentuk. Bobot biomassa pada kombinasi pupuk yang
menambahkan pupuk kandang sapi lebih tinggi 16.25% (Tabel 6).
32
Ketersediaan air tanah berperan sangat besar dalam pemupukan khususnya
sebagai pelarut dalam tanah karena hara tersedia terdapat pada larutan tanah.
Kondisi kering menyebabkan ketersediaan hara bagi tanaman akan berkurang.
Jumin (2005) menjelaskan bahwa kandungan air tanah mempengaruhi transpor
hara dari tanah ke akar tanaman dengan cara mempengaruhi laju difusi dan aliran
massa air. Faktor tersebut mempengaruhi jumlah hara yang dapat diabsorpsi
tanaman. Koefisien difusi akan menurun delapan kali lipat ketika terjadi
penurunan air dua kali lipat.
Pengaruh positif dari penggunaan mulsa brangkasan jagung dalam
percobaan ini masih belum memberikan hasil yang signifikan kecuali pada
karakter tinggi tanaman. Penggunaan mulsa brangkasan jagung pada kombinasi
pupuk SP-36 + kapur + pupuk kandang sapi dengan tambahan KCl atau abu
sekam tidak menunjukkan perbedaan dengan tanpa penggunaan mulsa. Hal
tersebut diduga akibat dari kurangnya jumlah mulsa yang digunakan.
Menurut Lumbanraja (2012), peran utama mulsa organik adalah mampu
meningkatkan kadar air tanah. Hasil pengamatan yang menunjukkan tidak adanya
perbedaan antara tanaman yang diberi mulsa dan tidak diberi mulsa
mengindikasikan bahwa fungsi utama mulsa organik tersebut tidak dicapai.
Diduga, jumlah evaporasi yang terjadi pada lahan yang ditutupi mulsa sama
dengan tanpa ditutupi mulsa. Akibatnya, tidak terjadi peningkatan kadar air tanah
yang berdampak pada pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai.
C. Penerapan Teknologi Sistem Tanam Alur dan Sisip dalam Budidaya
Kedelai di Lahan Kering Masam
Teknologi budidaya sistem tanam alur dan sisip dengan perbaikan
kesuburan tanah melalui kombinasi pupuk mampu meningkatkan pertumbuhan
dan produksi biji kering kedelai di lahan kering masam. Hasil pengujian nilai
tengah bobot biomassa per tanaman dan produksi biji kering tanaman kedelai
antara budidaya sebelum disisipkan dan dengan sistem sisip menunjukkan adanya
perbedaan. Bobot biomassa dan produksi biji kering tanaman kedelai sistem
tanam sisip lebih tinggi dibandingkan dengan bukan sistem tanam sisip
(Lampiran 9).
33
Produksi biji kering kedelai yang diperoleh melalui teknologi tersebut
anatara lain varietas nasional Anjasmoro 1.09 ton/ha, Tanggamus 1.33 ton/ha,
galur silangan SP-30-4 1.00 ton/ha dan galur silangan PG-57-1 1.09 ton/ha. Jika
dibandingkan dengan hasil biji kering tanaman kedelai bukan sisip (pola tanam
jagung-jagung-kedelai), maka tanaman kedelai melalui sistem sisip (pola tanam
jagung-jagung-kedelai sisip) mengalami peningkatan produksi biji kering hingga
116.60% (Lampiran 9).
Sistem tanam alur dan sisip terbukti merupakan pengolahan lahan yang
dapat meningkatkan hasil panen tanaman kedelai yang dibudidayakan pada lahan
kering. Peningkatan tersebut diduga karena terjadi peningkatan curah hujan yang
diterima selama masa tumbuh tanaman kedelai. Berdasarkan curah hujan rata-rata
12 tahun terakhir menunjukkan bahwa kedelai yang ditanam sebelum disisip
(Gambar 5B) mendapatkan jumlah curah hujan 210 mm selama tumbuh. Jumlah
curah hujan yang didapatkan tanaman kedelai sisip (Gambar 5C) selama tumbuh
adalah 276 mm.
Peningkatan jumlah curah hujan yang diperoleh pada tanaman kedelai
sisip selama tumbuh masih belum memenuhi kebutuhan air optimum. Tanaman
kedelai membutuhkan sekitar 300-450 mm air selama masa pertumbuhannya
untuk mencapai pertumbuhan yang optimal (Adisarwanto et al., 2007). Belum
terpenuhinya kebutuhan air yang optimum terlihat dari penurunan bobot 100 biji.
Bobot 100 biji akan menurun dengan semakin meningkatnya cekaman kekeringan
(Kisman, 2010). Penurunan bobot 100 biji yang terjadi pada varietas nasional
Anjasmoro dan Tanggamus serta galur silangan SP-30-4 dan PG-57-1 berturutturut adalah 24.12, 25.00, 1.76 dan 31.09%. Hal tersebut mengindikasikan curah
hujan yang terjadi pada masa pertumbuhan kedelai sisip masih belum mencukupi.
Upaya untuk mendapatkan curah hujan yang dibutuhkan tanaman kedelai
agar tumbuh optimal dapat dilakukan dengan cara memajukan masa tanamnya.
Langkah yang dapat direkomendasikan adalah dengan cara menyisipkan tanaman
jagung musim II terhadap tanaman jagung musim I. Ketersediaan air melalui
langkah tersebut diharapkan dapat dipenuhi dari curah hujan yang tersedia.
34
Keterangan : = waktu aplikasi pupuk untuk tanaman kedelai, = waktu pengolahan
lahan, A = pola tanam di lahan kering Kecamatan Natar, B = pola tanam
jagung-jagung-kedelai, C = pola tanam jagung-jagung-kedelai sisip,
D = pola tanam jagung-jagung sisip-kedelai sisip
Gambar 5. Pola tanam di lahan kering masam Kecamatan Natar, Lampung
Penyisipan tanaman jagung musim II terhadap tanaman jagung musim I
dapat mempercepat masa tanam kedelai. Jagung pada pola tanam jagung-jagungkedelai sisip di tanam pada minggu awal bulan Maret. Waktu penanaman tersebut
membuat penyisipan tanaman kedelai dilakukan di minggu akhir bulan Mei.
Penyisipan jagung musim II pada jagung musim I dapat membuat waktu tanam
jagung musim II dan kedelai maju empat minggu lebih awal. Dengan demikian,
penanaman kedelai dapat dilakukan di minggu akhir bulan April (Gambar 5D).
35
Apabila dibandingkan dengan pola tanam jagung-jagung-kedelai (Gambar 5B),
maka penanaman kedelai pada pola tanam jagung-jagung sisip-kedelai sisip dapat
dilakukan sembilan minggu lebih awal.
Kelebihan pola tanam jagung-jagung sisip-kedelai sisip adalah masih
terdapatnya curah hujan yang cukup untuk pertumbuhan tanaman kedelai.
Berdasarkan curah hujan rata-rata 12 tahun terakhir (2000-2011) di Kecamatan
Natar, bulan basah terjadi pada bulan Desember sampai April dan bulan kering
terjadi pada bulan Juli sampai Oktober (Lampiran 5). Jika penanaman kedelai
sisip dapat dilakukan di minggu terakhir bulan April, maka jumlah curah hujan
yang bisa didapatkan oleh tanaman kedelai selama tumbuh adalah 319 mm. curah
hujan tersebut sudah mencukupi kebutuhan air bagi tanaman kedelai untuk
tumbuh optimal, sehingga langkah ini diduga dapat menghasilkan pertumbuhan
dan produksi kedelai yang lebih baik.
Umumnya produksi jagung musim II lebih rendah dibandingkan dengan
produksi pada musim I. Hal tersebut diduga akibat dari rendahnya curah hujan
yang terjadi pada bulan Mei. Penyisipan jagung musim II pada jagung musim I
diduga juga dapat meningkatkan produksi jagung musim II. Jika tanaman jagung
musim II ditanam sisip pada dua minggu sebelum tanaman jagung musim I
dipanen, maka waktu penanamannya akan lebih cepat empat minggu
(Gambar 5D). Melalui penanaman sisip, maka jagung musim II dapat ditanam
pada minggu awal Februari. Dengan demikian, jagung musim II akan dipanen
pada awal bulan Mei, sehingga akan terhindar dari curah hujan yang rendah.
36
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kombinasi pupuk 200 kg/ha SP-36 + 1 ton/ha kapur dolomit + 5 ton/ha
pupuk kandang sapi yang ditambah dengan 100 kg/ha KCl atau 1.2 ton/ha abu
sekam menghasilkan tinggi tanaman, jumlah daun, bobot kering dan hasil panen
kedelai yang terbaik. Penggunaan mulsa brangkasan jagung tidak berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.
Terdapat perbedaan karakter tinggi tanaman, jumlah daun, bobot kering
tanaman, waktu berbunga dan waktu panen antar varietas. Varietas nasional
Tanggamus menghasilkan tinggi, jumlah daun dan produksi biji kering terbaik
dibandingkan galur SP-30-4, PG-57-1 dan varietas nasional Anjasmoro. Produksi
biji kering varietas nasional Tanggamus mencapai 1.33 ton/ha. Varietas nasional
Anjasmoro menghasilkan biji kering 1.09 ton/ha, namun tidak berbeda nyata
dengan galur SP-30-4 dan PG-57-1 yang menghasilkan biji kering 1.00 dan
1.09 ton/ha.
Terdapat interaksi antara kombinasi pupuk dan varietas pada sistem tanam
alur dan sisip terhadap jumlah daun dan tinggi tanaman pada 4 MST, hari
berbunga dan panen tanaman kedelai. Hari berbunga dan panen varietas nasional
Anjasmoro dan Tanggamus lebih cepat daripada galur silangan SP-30-4 dan
PG-57-1.
Saran
Diperlukan percobaan lebih lanjut tentang budidaya kedelai sistem tanam
alur dan sisip terhadap jagung pada berbagai jarak tanam. Perlu juga percobaan
lebih lanjut tentang penyisipan tanaman jagung musim II pada tanaman jagung
musim I agar waktu tanam kedelai dapat dimajukan untuk mendapatkan
kecukupan air hujan.
37
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, J. Y. 2000. Tumpang Gilir (Relay Planting) antara Jagung dan
Kacang Hijau atau Kedelai Sebagai Alternatif Peningkatan Produktivitas
Lahan Kering di NTB. LPPTP Mataram. Mataram.
Adie, M. M. dan Krisnawati, A. 2007. Biologi Tanaman Kedelai, hal. 45-73
Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto dan H. Kasim (Eds).
Kedelai, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Adisarwanto, T., Subandi dan Sudaryono. 2007. Teknologi Produksi Kedelai, hal.
229-252 Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto dan H. Kasim
(Eds). Kedelai, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Arsyad, D. M., M. M. Adie dan H. Kuswantoro. 2007. Perakitan Varietas Unggul
Kedelai Spesifik Agroekologi, hal. 205-228 Dalam Sumarno, Suyamto, A.
Widjono, Hermanto dan H. Kasim (Eds). Kedelai, Teknik Produksi dan
Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Bogor.
Atman. 2006. Pengelolaan Tanaman Kedelai di Lahan Kering Masam. Jurnal
Ilmiah Tambua 3 : 281-287
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2013. Kedelai Varietas
Anjasmoro. http://eproduk.litbang.deptan.go.id/product.php?id_product=
259 [23 Januari 2013]
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2013. Kedelai Varietas
Tanggamus.http://eproduk.litbang.deptan.go.id/product.php?id.product=26
4 [23 Januari 2013]
Badan Pusat Statistik . 2012. Statistik Indonesia 2012. Badan Pusat Statistik.
Jakarta.
Bailey, H. H. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Bandar
Lampung.
Barchia, M. F. 2009. Agroekosistem Tanah Mineral Masam. UGM Press.
Yogyakarta.
Beuerlein, J. 2001. Relay Cropping Wheat and Soybeans. www.Ohioline.osu.edu/
agf-fact/0106 [7 Januari 2013].
Board, J. E. and C. S. Kahlon. 2011. Soybean Yield Formation: What Controls It
and How It Can Be Improved, p. 1-36 In H. A. El-Shemy (Ed). Soybean
Physiology and Biochemistry. InTech. Croatia.
38
Bunyamin, Z. dan M. Aqil. 2010. Analisis Iklim Mikro Tanaman Jagung
(Zea mays L.) pada Sistem Tanam Sisip. Prosiding Pekan Serealia
Nasional, 2010. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Hal. 294-300
Christophe,S., Jean-Christophe, A., Annabelle, L., Alain, O., Marion, P., and
Anne-Sophie, V. 2011. Plant N Fluxes and Modulation by Nitrogen, Heat
and Water Stresses A Review Based on Comparison of Legumes and Non
Legume Plants, p. 79-118 In A. K. Shaker and B. Venkateswarlu (Eds).
Abiotic Stress In Plants – Mechanisms and Adaptations. InTech. Croatia.
Dharmaswara, I. 2012. Pengaruh Pemupukan Abu Jerami Terhadap Pertumbuhan
dan Produksi Kedelai di Lahan Rawa Pasang Surut. Skripsi. Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
52 hal.
Direktorat Jendral Perguruan Tinggi. 1991. Kimia Tanah. Derektorat Jendral
Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Fikrianti, M. 2010. Uji Daya Hasil Lanjutan Kedelai (Glycine max (L.) Merr.)
Toleran Naungan di Bawah Tegakan Karet Rakyat di Kabupaten
Sarolangun, Jambi. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 54 hal.
Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya. Jakrta.
Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.
Harjadi, S. S. 1996. Pengantar Agronomi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Harmida.
2010.
Respons
Pertumbuhan
Galur
Harapan
Kedelai
(Glycine max (L.) Merril) pada Lahan Masam. Jurnal Percobaan Sains 13
(2) : 41-48
Hermantoro. 2011. Teknologi Inovatif Irigasi Lahan Kering dan Lahan Basah
Studi Kasus Untuk Tanaman Lada Perdu. Agroteknose 1 : 37-44
Jumin, H. B. 2005. Dasar-Dasar Agronomi. Revisi 5. PT RajaGrafindo Persada.
Jakarta.
Karamoy, L. T. 2009. Relationship Between Climate and Soybean (Glycine max
(L.) Merrill) Growth. Soil Environment 7 (1) : 65-68
Kisman. 2010. Karakter Morfologi Sebagai Penciri Adaptasi Kedelai Terhadap
Cekaman Kekeringan. Agroteksos 20 (1) : 23-29
Kuntyastuti, H. dan A. Taufiq. 2008. Komponen Teknologi Budidaya Kedelai di
Lahan Kering. Buletin Palawija 16 : 31-47
Kusbini. 2010. Dewan Kedelai Dukung Swasembada Kedelai Tahun 2014.
http//bataviase.co.id / detailberita-10527632.html. [2 Mei 2011].
39
Leiwakabessy, F. M. dan B. Sumawinata. 1986. Pengaruh Pupuk Kandang sapi
dan TSP Terhadap Berbagai Sifat Kimia Tanah Merah Tropika Basah dan
Produksi Tanaman. Laporan Percobaan. Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Lisar, S.Y.S., Motafakkerazad, R., Hossain, M.M., and Rahman, I.M.M. 2012.
Water Stress in Plants Causes, Effects and Responses, p. 1-14 In I. Md. M.
Rahman and H. Hasegawa (Eds). Water Stress. InTech. Croatia.
Lumbanraja, P. 2012. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Sapi dan Jenis Mulsa
Terhadap Kapasitas Pengang Air Tanah dan Pertumbuhan Tanaman
Kedelai (Glycine max (L.)) var Willis pada Tanah Ultisol Simalingkar.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Tinggi 5 (2) : 58-72
Marwoto, S. Hardianingsih, A. dan Taufiq. 2006. Hama Penyakit dan Masalah
Hara pada Beberapa Tanaman Kedelai Identifikasi dan Pengendaliannya.
Pusat Peneitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor
Munawar, A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. IPB Press. Bogor.
Nofrianil. 2012. Pengaruh Sistem Olah Tanah Dan Pemupukan Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Genotipe Kedelai di Lahan Kering
Masam. Tesis. Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 64 hal.
Nurhayati, Nuryadi, Basuki, Indawansani. 2010. Analisis Karakteristik Iklim
Untuk Optimalisasi Produksi Kedelai di Provinsi Lampung. Pusat
Percobaan dan Pengembangan Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika. Jakarta.
Oktaviana, L. 2010. Uji Daya Hasil Galur-Galur Harapan Kedelai (Glycine max
(L.) Merr.) Berdaya Hasil Tinggi. Skripsi. Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 60 hal.
Prasetyo, D. 2010. Uji Daya Hasil Lanjutan Kedelai (Glycine max (L.) Merr.)
Toleran Naungan di Bawah Tegakan Karet Rakyat di Provinsi Jambi.
Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. 56 hal.
Saefulloh, S. 2000. Penentuan Waktu Tanam Optimal pada Kondisi Iklim Ekstrim
dan Normal di Jember-Jawa Timur. Skripsi. Jurusan Geofisika dan
Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor. 62 hal.
Samosir, P.M. 2010. Pemberian Abu Sekam Padi dan Fosfat Alam Sebagai
Pengganti Pupuk KCL dan SP-36 Pada Pertumbuhan dan Produksi Padi
Sawah (Oryza sativa). Skripsi. Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara. 45 hal.
40
Sanchez, P. A. 1993. Sifat dan Pengolahan Tanah Tropika. Jilid 2. Penerbit ITB.
Bandung.
Subandi. 2007. Teknologi Produksi dan Strategi Pengembangan Kedelai pada
Lahan Kering Masam. Iptek Tanaman Pangan 2 (1) : 12-25
Suharsono, dan M. Yusuf. 2009. Uji Daya Hasil Beberapa Galur Kedelai di
Beberapa Lokasi Dalam Rangka Perakitan Kultivar Unggul. Laporan
Percobaan. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat,
Institut Pertanian Bogor.
Sukartaatmadja, S. 2001. Penggunaan Bahan Organik Untuk Konservasi Tanah.
Laboratorium Teknik Tanah dan Air, Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sumarno dan Manshuri, A. G. 2007. Persyaratan Tumbuh dan Wilayah Produksi
Kedelai di Indonesia, hal. 74-103 Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono,
Hermanto dan H. Kasim (Eds). Kedelai, Teknik Produksi dan
Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Bogor.
Supriono. 2000. Pengaruh Dosis Urea Tablet dan Jarak Tanam Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Kedelai Kultivar Sindoro 2 (2) : 64-71
Sutedjo, M. M. 1987. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta.
Wahyudin, U. M. 1991. Daya Ganti Pengikat Al, Fe, dan Mn Oleh Sisa Tanaman
Kacang Tanah, Padi, dan Jagung Terhadap Kebutuhan Kapur pada
Podzolik dari Gajrug Dalam Sistem Pergiliran Tanaman (Tahun ke-2).
Laporan Percobaan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Yuliarti, N. 2009. 1001 Cara Menghasilkan Pupuk Organik. Lily Publisher.
Yogyakarta.
Yunita, R. 2010. Uji Daya Hasil Lanjutan Kedelai (Glycine max (L.) Merr.)
Toleran Naungan di Bawah Tegakan Karet Rakyat di Desa Sebapo
Kabupaten Muaro, Jambi. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 63 hal.
41
LAMPIRAN
42
Lampiran 1. Hasil analisis tanah awal
Variabel
Tekstur
Pasir
Debu
Liat
Satuan
Nilai
Kriteria
%
%
%
25
46
29
Lempung berliat
5.2
Masam
pH (H2O)
Bahan Organik
C Walklel&Black
N Kjeidahl
%
%
0.80
0.08
Sangat rendah
Sangat rendah
P2O5 HCl 25%
K2O HCl 25%
P2O5 Bray 1
mg/100 g
mg/100 g
ppm
22
7
8.3
Sedang
Sangat rendah
Rendah
Nilai Tukar Kation
Ca
Mg
K
Na
KTK
KB
cmolc/kg
cmolc/kg
cmolc/kg
cmolc/kg
cmolc/kg
%
4.78
0.64
0.11
0.09
8.93
63
Rendah
Rendah
Rendah
Sangat rendah
Rendah
Tinggi
Al3+
cmolc/kg
0.04
Sangat Rendah
Keterangan : Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah, Balai Penelitian Tanah,
Balai Besar Sumber daya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Penilaian kriteria berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah (Staf
Pusat Penelitian Tanah, 1993 dalam Hardjowigeno, 2007).
43
Lampiran 2. Deskripsi varietas kedelai Tanggamus dan Anjasmoro
Deskripsi Varietas Tanggamus
Dilepas tahun
:
22 Oktober 2001
SK Mentan
:
536/Kpts/TP.240/10/2001
Hasil rata-rata
:
1.22 t/ha
Warna hipokotil
:
Ungu
Warna epikotil
:
Hijau
Warna kotiledon
:
Kuning
Warna bulu
:
Coklat
Warna bunga
:
Ungu
Warna kulit biji
:
Kuning
Warna polong masak
:
Coklat
Warna hilum
:
Coklat tua
Bentuk biji
:
Oval
Bentuk daun
:
Lanceolate
Tipe tumbuh
:
Determinit
Umur berbunga
:
35 hari
Umur saat panen
:
88 hari
Tinggi tanaman
:
67 cm
Percabangan
:
3–4 cabang
Bobot 100 biji
:
11.0 g
Ukuran biji
:
Sedang
Kandungan protein
:
44.5%
Kandungan lemak
:
12.9%
Kandungan air
:
6.1%
Kerebahan
:
Tahan rebah
Ketahanan thd penyakit :
Moderat karat daun
Sifat-sifat lain
:
Polong tidak mudah pecah
Wilayah adaptasi
:
Lahan kering masam
Pemulia
:
Darman MA., M. Muchlish Adie, Heru Kuswantoro, dan
Purwantoro
44
Lampiran 2. Lanjutan….
Deskripsi Varietas Anjasmoro
Dilepas tahun
:
22 Oktober 2001
SK Mentan
:
537/Kpts/TP.240/10/2001
Daya hasil
:
2.03–2.25 t/ha
Warna hipokotil
:
Ungu
Warna epikotil
:
Ungu
Warna daun
:
Hijau
Warna bulu
:
Putih
Warna bunga
:
Ungu
Warna kulit biji
:
Kuning
Warna polong masak
:
Coklat muda
Warna hilum
:
Kuning kecoklatan
Bentuk daun
:
Oval
Ukuran daun
:
Lebar
Tipe tumbuh
:
Determinit
Umur berbunga
:
35.7–39.4 hari
Umur polong masak
:
82.5–92.5 hari
Tinggi tanaman
:
64 - 68 cm
Percabangan
:
2.9–5.6 cabang
Jml. buku batang utama :
12.9–14.8
Bobot 100 biji
:
14.8–15.3 g
Kandungan protein
:
41.8–42.1%
Kandungan lemak
:
17.2–18.6%
Kerebahan
:
Tahan rebah
Ketahanan thd penyakit :
Moderat terhadap karat daun
Sifat-sifat lain
:
Polong tidak mudah pecah
Pemulia
:
Takashi Sanbuichi, Nagaaki Sekiya, Jamaluddin M.,
Susanto, Darman M.A., dan M. Muchlish Adie
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian
Republik Indonesia, 2013
45
Lampiran 3. Denah petak percobaan
V1P0
V2P0
V1P3
V3P8
V1P7
V4P4
V2P1
V1P1
V4P4
V2P4
V3P5
V1P8
V2P1
V1P1
V4P1
V4P0
V4P7
V2P4
V2P5
V4P6
V1P9
V4P9
V3P7
V2P8
V3P1
V4P2
V3P0
V3P6
V3P0
V2P2
V1P6
V2P7
V1P4
V2P9
V4P5
V1P7
V2P6
V3P3
V2P2
V4P8
V3P6
V4P8
V1P4
V2P9
V1P2
V3P4
V3P2
V4P7
V1P4
V1P2
V2P5
V1P6
V3P1
V2P6
V1P2
V3P4
V2P5
V4P6
V1P5
V3P9
V2P9
V3P4
V4P6
V2P7
V4P2
V3P3
V3P7
V1P3
V1P6
V2P7
V4P3
V2P3
V4P5
V3P2
V1P5
V4P3
V1P5
V4P3
V2P8
V3P8
V1P0
V2P1
V3P1
V2P6
V1P7
V4P7
V3P9
V2P3
V4P5
V3P2
V1P9
V1P0
V2P0
V1P1
V4P2
V3P3
V4P4
V2P4
V3P5
V1P8
V4P1
V4P0
V4P9
V2P0
V1P3
V4P1
V3P0
V2P2
V1P9
V4P9
V3P7
V2P8
V2P3
V1P8
V3P9
V3P5
V3P8
V4P0
V3P6
V4P8
Ulangan III
Ulangan II
Keterangan :
V = varietas
P = kombinasi pupuk
Ukuran petak percobaan = 5 m x 2.2 m
Ulangan I
U
46
Lampiran 4. Produktivitas tanaman kedelai pada berbagai perlakuan kombinasi
pupuk setiap varietas
Kombinasi pupuk
Tanpa pupuk
SP-36
Sp-36+KCl
SP-36+KCl+KP
SP-36+KCl+KP+PK
SP-36+KCl+KP+PK+MS
SP-36+AS
SP-36+AS+KP
SP-36+AS+KP+PK
SP-36+AS+KP+PK+MS
Rata-rata
Varietas
Anjasmoro Tanggamus SP-30-4 PG-57-1
-------------------------- ton/ha ------------------------
0.69
0.84
0.78
1.42
1.28
1.41
0.94
0.88
1.15
1.53
1.09
0.91
1.14
1.05
1.48
1.21
1.77
1.11
1.16
1.89
1.57
1.33
0.76
0.78
0.69
0.80
1.43
1.14
0.90
0.88
1.43
1.16
1.00
Keterangan : KP = kapur, PK = pupuk kandang, MS = mulsa, AS = abu sekam
0.78
0.96
0.87
1.00
1.44
1.65
0.90
0.90
1.01
1.42
1.09
47
Lampiran 5. Data iklim bulanan tahun 2000 – 2012 di Kecamatan Natar
Tahun
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Rataan*
------------------------------------------------ Curah Hujan (mm) --------------------------------------------------Januari
241 263 356 230 208 230 327 344 165 327
33 412 227.4
261.33
Februari
197 217 113 355 314 286 290 103 183 307 308 173 192.4
237.17
Maret
162 198 489 256 194 273 251 202 247 81.9 361 194 172.6
242.41
April
299
79 186 162 509 122 195 304 434 160 72.4 192 242.5
226.20
Mei
19 153 107 140 196 113 38.9 116 38.2 91.6 128 59.8 96.5
100.04
Juni
85.3 53.2 45.9 81.3 237 99.4 108 123 45.5 246 345 47.8 52.9
126.45
Juli
81.1 88.2 135 76.8 114 56.9 132 82.9
29 48.5 193 67.2 18.2
92.05
Agustus
114 58.8
9.5 15.6
9.8 80.8
0.4
19 135 70.7 121 33.8
57.69
September 36.7 103 154 33.1 101
0 18.2
86 19.9 180
0.5
34
66.58
Oktober
167 160 70.6 38.1 110
4.4 50.3 154 84.9 124 122 98.66
November
130 325 122 197 208 73.7
69 128 205 121 225 142 162.14
Desember
117 294 191 170 388 110 281 451 479 230 158 260.82
Bulan
Sumber : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Bandara Raden Intan II (Branti) Lampung, 2012
Keterangan :
*
-
rataan curah hujan 12 tahun (2000-2011),
tidak terdapat data
48
Lampiran 6. Keragaan empat varietas kedelai
Gambar 1. Keragaan pertanaman (kiri) dan polong (kanan) varietas nasional
Anjasmoro pada 10 MST
Gambar 2. Keragaan pertanaman (kiri) dan polong (kanan) varietas nasional
Tanggamus pada 10 MST
Gambar 3. Keragaan pertanaman (kiri) dan polong (kanan) galur SP-30-4 pada
10 MST
Gambar 4. Keragaan pertanaman (kiri) dan polong (kanan) galur PG-57-1 pada
10 MST
49
Lampiran 7. Hasil analisis abu sekam
No
1
2
3
4
Peubah analisis
pH H2O
C Walkley & Black
N Kjedahl
Eks. Total (HNO3 + HClO4)
P 2 O5
Ca
Mg
K
Na
S
Fe
Mn
Cu
Zn
Sumber : Dharmaswara, 2012
Hasil analisis
10.6
1.37%
0.22%
0.50 g/100 g
1.04 g/100 g
0.61 g/100 g
3.79 g/100 g
0.07 g/100 g
0.53 g/100 g
1418 ppm
5.31 ppm
87.24 ppm
50
Lampiran 8. Luasan pengambilan ubinan saat panen
Keterangan :
Luasan ubinan 4.4 m2
*
Tanaman kedelai
51
Lampiran 9. Pertumbuhan dan produksi kedelai sebelum sistem tanam sisip dan
kedelai sistem tanam sisip
Varietas
Anjasmoro
Tanggamus
SP-30-4
PG-57-1
rata-rata
Bobot biomassa rataan per
tanaman kedelai (g)
Sebelum sisip
Sisip
5.21
9.49
5.40
12.82
5.18
13.05
4.72
10.08
5.13 b
11.36 a
Produksi biji kering
tanaman kedelai (ton/ha)
Sebelum sisip
Sisip
0.49
1.09
0.57
1.33
0.51
1.00
0.51
1.09
0.52 b
1.13 a
Keterangan : Data bobot biomassa tanaman dan produksi biji kering belum sisip dikutip
dari Nofrianil, 2012.
Nilai rata-rata pada karakter yang sama yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji nilai tengah t-student α
5%.
52
Lampiran 10. Rekapitulasi hasil analisis ragam
Karakter pengamatan
Sumber keragaman
Varietas
Komb. pupuk
Interaksi
4 MST
*
tn
*
6 MST
**
*
tn
8 MST
**
**
tn
10 MST
*
**
tn
4 MST
*
tn
**
6 MST
**
**
tn
8 MST
**
**
tn
10 MST
**
**
tn
Batang
**
**
tn
Akar
**
**
tn
Daun
**
**
tn
Polong
**
tn
tn
Bintil akar
tn
tn
tn
Hari 50% tanaman berbunga
**
*
**
Hari panen
**
**
**
Jumlah polong isi
**
**
tn
Jumlah polong hampa
tn
**
tn
Jumlah cabang
**
**
tn
Bobot 100 biji
**
tn
tn
Bobot petakan
**
**
tn
Jumlah daun
Tinggi tanaman
Bobot kering
Keterangan: * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata dan tn = tidak berbeda
berdasarkan uji DMRT 5%
Download