9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Propolis Propolis atau “bee glue” adalah zat resin atau getah yang keluar dari tunas daun dan kulit batang terutama tanaman Conifer (golongan pinus) yang dihisap lebah. Lebah menghisap resin dari tumbuhan kemudian mengolahnya dengan enzim yang dikeluarkan oleh lebah dan mencampurnya dengan lilin yang ada di dalam sarang. Ada 2 karakteristik dari propolis yaitu dari bau dan warnanya yang mempunyai bermacam kepekatan dan warna yang bervariasi dari hijau, merah sampai coklat gelap tergantung dari sumber pohon dan usianya. Propolis menjadi keras ketika terkena dingin tetapi menjadi lembut dan lengket ketika terkena panas (Burdock 1998; Ghisalberti 1979). Bahan dasar propolis (crude propolis) didapat dengan mengumpulkan propolis yang melekat pada alat yang dinamakan perangkap propolis yang dipasang pada kotak kotak tempat tinggal lebah di peternakan lebah. Secara etimologi, kata Propolis berasal dari bahasa Yunani yaitu “pro” yang artinya pertahanan dan “polis” yang artinya kota, sehingga gabungan dari propolis mempunyai arti “pertahanan sarang”. Lebah menggunakan propolis untuk penutup lubang-lubang pada sarang lebah, melembutkan pada dinding bagian dalamnya dan juga untuk menyelimuti/membalsem binatang penyusup agar tidak membusuk. Propolis juga melindungi koloni lebah dari penyakit karena kandungannya yang mempunyai efikasi sebagai antiseptik dan antimikroba (Bonvehi & Coll 2000; Castaldo & Capasso 2002; Salatino et al. 2005). Propolis sudah digunakan sejak 300 SM sebagai obat untuk menyembuhkan kulit yang luka karena mempunyai efek antiinflamasi oleh bangsa Mesir, Yunani, dan Romawi. Selain itu orang Yunani kuno juga menggunakan propolis untuk membalsem orang mati dan juga digunakan pada masa perang Boer untuk menyembuhkan luka dan regenerasi jaringan (Ghisalberti 1979). Sampai saat ini propolis masih populer digunakan dan Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 10 menjadi obat yang paling sering digunakan di Balkan. Satu dekade terakhir para peneliti telah mencari komponen yang terkandung di dalam propolis dan efek biologis dari kandungan tersebut (Bankova 2005b). 2.1.1. Kandungan Propolis 2.1.1.1. Komposisi Kimia Propolis Komposisi kimia propolis masih kurang diketahui. Komposisi propolis beragam salah satunya dapat dilihat dari warna dan aromanya yang berubah-ubah sesuai dengan sumber pohon, jenis lebah, musim dan daerah geografis (Bankova 1998, 2000, 2005b; Ghisalberti 1979). Propolis mengandung 150 sampai 300 lebih senyawa/komponen didalamnya. Secara umum komposisinya terdiri dari 30% lilin (wax), 50% resin atau balsam pohon, 10% minyak esensial dan aromatik, 5% pollen, dan 5% komponen lainnya (Burdock 1998). Pada tahun 1983, Kazmarek menemukan bahwa propolis mengandung β-amilase (Hegazi 1998). Pada sampel Propolis Brasil dengan menggunakan metode gaschromatography (GC), gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS), dan thin layer chromatography (TLC) mengungkapkan komponen utama propolis adalah komponen fenol (flavanoid, asam aromatik, dan benzopiren), di- dan triterpen, minyak esensial, dan lainnya (Bankova 2000; Burdock 1998; Sforcin 2007). Propolis juga berisi turunan asam sinamat seperti asam kafeat (3,4hidroxycinnamic acid) dan esternya, sesquiterpene, quinones dan coumarin. Komponen kimia propolis lainnya yang telah diidentifikasi yaitu terpenoid, aldehid, alkohol, asam alifatik dan ester, asam amino, steroid, gula dan lain-lain (Bankova 1992, Park et al. 1997; Koo et al. 1997; Nagy & Grancai 1996). Oleh karena kandungan aktif propolis dipengaruhi oleh letak geografis dan sumber tumbuhan, maka terdapat perbedaan antara propolis di Brasil dengan propolis di China. Propolis Brasil terutama mengandung terpenoid, turunan prenylated. Propolis China banyak mengandung flavonoid dan asam fenolat. Negara lainnya yang terbukti mempunyai kandungan flavonoid tinggi pada Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 11 propolisnya adalah Argentina, Australia, Bulgaria, Hungaria, New Zealand, dan Uruguay (Kumazawa et al. 2004). Bankova (2008) melaporkan adanya temuan kandungan kimia baru pada propolis dari berbagai negara tergantung dari iklim daerahnya. Komponen baru pada daerah beriklim sedang (temperate zone) seperti di Eropa, Amerika Utara dan daerah non tropis di Asia, Amerika Selatan, dan di New Zealand, konstituen utamanya adalah flavonoid aglycones, asam aromatik dan esternya. Propolis tipe ini disebut juga “propolis tipe poplar”, merupakan propolis yang paling sering diteliti baik dari segi kandungan kimia maupun farmakologis. Komponen baru pada daerah beriklim tropis dan subtropis seperti Amerika Selatan banyak mengandung flavonoid dan komponen terkait seperti flavones, falvonol, chalcone, isoflavonoid, dan neoflavonoid. Melalui kajian lebih dalam lagi, jenis spesifik kandungan aktif dari propolis yang pada banyak penelitian mempunyai efek biologis adalah Artepillin-C, PM3 (3-[2-dimethyl-8-(3-methyl-2 butenyl)benzopyran]-6- propenoic acid), CAPE (caffeic acid phenethyl ester), Propolin A, Propolin B, dan Propolin C. Artepillin C (3,5-diprenyl-4-hydroxycinnamic acid) diekstrak dari Propolis Brasil mempunyai berat molekul 300.40 dan memiliki efek antimikroba dan antitumor (Kimoto et al. 1998; Kimoto et al. 2001; Lotfy 2006). CAPE terkandung dalam propolis berkhasiat sebagai antiinflamasi yang kuat (Song et al. 2002), dan pada tumor berefek sebagai antiangiogenesis, menghambat invasi tumor dan antimetastatis (Orsolic et al. 2003). PM-3 diisolasi dari Propolis Brasil yang secara nyata menghalangi pertumbuhan dari sel kanker payudara manusia MCF-7 (Luo et al. 2001). Chia-Nana et al. (2004) mengisolasi 3 prenyl flavonones dari Propolis Taiwan yaitu Propolin A dan propolin B yang berkhasiat menginduksi apoptosis pada sel melanoma manusia dan propolin C merupakan antioksidan yang kuat. Struktur kimia dari ArtepillinC dan CAPE dapat dilihat pada Gambar 1. Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 12 A A B Gambar 1. Formula struktural kimia Artepillin-C (A) dan CAPE (B) Sedangkan kandungan aktif propolis Indonesia sudah diteliti oleh Syamsudin et al. (2009) yaitu meneliti kandungan kimia propolis yang berasal dari tiga tempat yang berbeda di Indonesia (Sukabumi, Batang dan Lawang) dan menemukan beberapa bahan kandungan kimia yang pertama kali ditemukan dalam propolis yaitu dimethylthioquinoline, glucofuranuronic acid, 1,3-bis(trimethylsilylloxy)-5,5-proyllbenzene, 4-oxo-2-thioxo-3-thiazolidinepropionic dofuranuronic acid, patchoulene acid, dan 3,4D3- quinolinecarboxamine. 2.1.1.2. Kandungan Gizi dalam Propolis Propolis mengandung karbohidrat, asam amino, elemen mineral dan vitamin (Bankova et al. 2000; Hegazi 1998). Mineral yang terkandung dalam propolis adalah Ca, Mg, Na, Fe, Mn, Cu, dan Zn (Bankova et al. 2000; Syamsudin et al 2009). Vitamin yang terkandung dalam propolis adalah B1, B2, B6, A, C, E, asam nikotinik dan asam pantotenik (Hegazi 1998). Propolis juga mengandung enzim suksinik dehidrogenase, glukosa-6-fosfat, adenosin trifosfat, dan asam fosfatase (Hegazi 1998). Keberadaan dari sejumlah kecil vitamin dalam propolis dari USA telah dilaporkan (Hegazi 1998) dapat dilihat pada Tabel 1. Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 13 Tabel 1. Kandungan vitamin dan mineral dalam propolis di USA (Hegazi 1998) Nama Vitamin dan mineral Vitamin A/ retinol Satuan Propolis segar Propolis kering IU/gram 6,1 8,1 Vitamin B1 µg/gram 4,5 6,5 Vitamin B2 µg/gram 20 28 Vitamin B6 µg/gram 5 - Vitamin C - - - Vitamin E - - - Tembaga (Cu) Mg/kg 26,5 - Mangan (Mn) Mg/kg 40 - Penelitian Syamsudin et al. (2009) menemukan bahwa propolis yang berasal dari tiga tempat yang berbeda di Indonesia mengandung gula dan gula alkohol seperti D-mannopyranosa, D-xylose, D-galactose, D-manitol, D-glucitol, Erythritol, Arabinofuranose, D-ribosa, Threitol, dan Arabinitol. Keempat glukosa terakhir adalah jenis glukosa yang pertama kali ditemukan dalam propolis. 2.1.2. Aktifitas Biologis dan Farmakologis Telah banyak penelitian mengenai propolis dan terbukti propolis mempunyai efek antimikrobial atau antibakteri (Alencar et al. 2007; Bonvehi & Coll 2000; Castaldo & Capasso 200; Dobrowski et al. 1991; Grange & Davey 1990; Ikeno et al. 1991; Kujumgiev et al. 1999; Orsi et al. 2005; Sforcin et al. 2000; Tosi et al. 1996;), antivirus (Amoros et al. 1994; Serkedjieva & Higashi 1992), antifungi (Murad et al. 2002; Tosi et al. 1996), antiparasit (Decastro et al. Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 14 1995), antiinflamasi (Ansorge et al. 2003; Dobrowski et al. 1991; Mirzoeva & Calder 1996; Strehl et al. 1994; Wang et al. 1993), antioksidan (Ahn et al 2007; Hamasaka et al. 2004; Kolankaya et al. 2002; Kumazawa et al. 2004; Ozen et al. 2004; Pascual et al. 1994; Shimizu et al. 2004), protektor hati (Lin et al. 1999), antihipertensif (Yoko et al. 2004), protektor otak (Ilhan et al. 2004), antiulkus (Tossoun et al.1997) dan antitumor (Bankova 2005a; Chung et al. 2004; Choi et al. 1999; Grunberger et al. 1988; Kimoto et al. 1998, Kimoto 2001a; Luo et al. 2001; Matsuno 1995; Matsuno et al. 1997; Orsolic et al. 2003a, 2003b Song et al. 2002; Scheler et al. 1989; Su et al. 1994). Berikut akan dijabarkan lebih jauh mengenai 2 aktifitas dari propolis yaitu aktifitas antioksidan dan aktifitas terhadap kanker serta hubungan diantara keduanya. 2.1.2.1. Aktifitas Antioksidan Propolis Telah diketahui bahwa propolis banyak mengandung polifenol salah satunya adalah flavonoid yang merupakan zat yang mempunyai aktifitas antioksidan. Kumazawa et al. (2004) meneliti kandungan polifenol dan flavonoid dari propolis yang berasal dari 16 negara. Komponen antioksidan diidentifikasi dengan menggunakan analisis HPLC/KCKT dan aktifitas antioksidan diukur dengan menggunakan metode β-carotene bleaching dan 1,1-diphenyl-2picrylhydrazyl (DPPH) free radical scavenging assays system. Penelitian tersebut menemukan bahwa propolis dari negara Argentina, Australia, Cina, Hungaria, dan New Zealand mempunyai aktifitas antioksidan yang tinggi dan berkorelasi dengan kandungan polifenol dan flavonoid yang dikandungnya. Selain itu diteliti lebih jauh lagi jenis flavonoid yang mempunyai efek antioksidatif yaitu caffeic acid, qurcetin, kaempferol, phenethyl caffeate, cinnamyl caffeate, dan artepillin C. Penelitian lainnya juga mendukung adanya korelasi antara kandungan flavonoid pada propolis dengan aktifitas aktioksidan. Coneac et al. (2008) meneliti pada propolis Romania dan menemukan adanya jenis flavonoid yang Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 15 mempunyai aktifitas antioksidan yaitu quercetin, rutin, caffeic acid, chrysin, apigenin dan kaempferol. Geckil et al. (2005) juga membandingkan aktifitas antioksidan pengkelat logam dari Propolis Turki dengan zat antioksidan sintetik (BHA dan BHT). Penelitian tersebut menemukan bahwa ekstrak propolis baik ethanol based maupun water based mempunyai efek metal chelating lebih baik dibanding BHA dan BHT. Selain itu ditemukan juga bahwa efek antioksidan esktrak propolis berbasis etanol lebih baik dibanding dengan berbasis air. Seperti telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, efek radikal bebas dapat merusak sel tubuh termasuk protein sitoplasmik di dalam DNA. Kejadian tersebut juga berhubungan dengan pertumbuhan tumor dimana radikal bebas mungkin beraksi sebagai pembawa pesan sekunder (secondary messengers) pada alur transduksi yang mengatur proliferasi selular. Antioksidan dapat menghambat atau menyingkirkan jumlah radikal bebas yang berlebihan sehingga mengurangi kerusakan yang terjadi akibat radikal bebas. Jadi dengan mengurangi peroksida di dalam sel oleh antioksidan akan menghambat terjadinya proses karsinogenesis (Galvao et al. 2007). Matsushige et al. (1996) mengisolasi komponen ekstrak Baccharis dracunculifolia propolis yang menunjukkan adanya aktifitas antioksidan kuat melebihi vitamin C dan E. 2.1.2.2. Aktifitas Propolis terhadap Kanker Telah banyak penelitian yang dilakukan baik secara in vitro dan in vivo untuk menguji efek propolis terhadap kanker. Beberapa aktifitas biologi propolis yang dapat melawan kanker adalah mempengaruhi siklus sel kanker, menyebabkan apoptosis sel kanker, antiangiogenesis, antimetastasis, dan memodulasi respon imun untuk menghambat kanker. Selain mempunyai efek melawan kanker, propolis juga dapat mencegah efek samping terapi konvensional kanker (kemoterapi dan radioterapi). Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 16 2.1.2.2.1. Menghambat Siklus Sel Kanker Matsuno (1995) berhasil mengisolasi bahan aktif dari Propolis Brasil yaitu PMS-1, sebuah clerodane diterpenoid baru, yang dapat menghambat pertum- buhan sel hepatoma dan menghentikan siklus sel pada fase S. Selain itu komponen aktif propolis lainnya yaitu CAPE juga dibuktikan dapat menghentikan siklus sel. Setelah inkubasi dengan CAPE selama 24 jam, persentase sel C6 glioma pada fase G0/G1 meningkat menjadi 85%, karena inhibisi fosforilasi pRB. Fosforilasi pRB oleh CDKs/siklin dipercayai sebagai kejadian penting dalam regulasi menuju fase S, dan menjadi titik restriksi pada fase G1 lanjut. Penelitian in vivo menunjukkan bahwa CAPE menurunkan pertumbuhan xenograft sel C6 glioma pada mencit dengan cara menghambat proliferasi sel. Analisis histokimia dan imunohistokimia menemukan bahwa terapi dengan CAPE dapat menurunkan mitosis sel dan sel yang positif proliferating cell nuclear antigen (PCNA) pada sel C6 glioma (Kuo et al. 2005). Turunan CAPE juga diteliti efeknya pada kanker mulut dengan menggunakan karsinoma sel skuamosa (KSS) cell line dan normal human oral fibroblast (NHOF) untuk memeriksa efek CAPE terhadap pola pertumbuhan sel, sitotoksitas, dan perubahan dalam siklus sel. CAPE menunjukkan mempunyai efek sitotoksik pada sel kanker KSS namun tidak pada sel normal (NHOF). Analisis flow cytometry menunjukkan bahwa KSS cell line berhenti pada fase G2/M. Dengan bukti ini maka CAPE mungkin berguna untuk menjadi salah satu kandidat terapi kanker mulut (Lee 2005) PM-3 yang diisolasi dari Propolis Brasil juga mempunyai efek menghambat pertumbuhan sel kanker payudara manusia MCF-7. Terapi sel MCF-7 dengan PM-3 akan menghentikan sel pada fase G1 dan ditandai dengan penurunan protein siklin D1 dan siklin E. PM-3 juga menghambat ekspresi siklin D1 pada level traskripsi (Luo et al. 2001). Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 17 2.1.2.2.2. Apoptosis Sel Kanker Matsuno et al. (1997b) menemukan juga komponen PRF-1 dari ekstrak propolis berbasis air yang terbukti mempunyai aktifitas antioksidan dan sitotoksik terhadap karsinoma haptoselular manusia, HeLa, dan sel HLC-2 karsinoma paru manusia. Komponen ini identik dengan Artepillin C dan sitotoksisitasnya sepertinya merupakan bagian dari apoptosis-like DNA fragmentation. Aktifasi p53 dapat mengubah transkripsi berbabagai macam gen yang terlibat dalam metabolisme sel, regulasi siklus sel, dan apoptosis. Penelitian Vogelstein & Kinzler (1992) menunjukkan bahwa CAPE dapat meningkatkan fosforilasi dan ekspresi dari p53 dan Bax dimana dapat membentuk heterodimer dengan Bcl-2 dalam membran mitrokondria dan mengakselerasi apoptosis. Aso et al. (2004) juga melaporkan bahwa aktifitas antitumor propolis muncul melalui induksi apoptosis via jalur caspase. Propolin A dan Propolin C dari Propolis Cina juga terbukti dapat menginduksi apoptosis pada sel melanoma dan secara bermakna menghambat aktifitas xanthine oxidase. Selain itu Propolin C juga dapat menginduksi apoptosis melalui jalur mitochondria-mediated apoptosis dengan mengeluarkan sitokrom C dari mitokondria ke sitosol (Chia-Nana et al. 2004). 2.1.2.2.3. Antiangiogenesis dan Antimetastasis Liao et al. (2003) mendemostrasikan efek penghambatan CAPE terhadap angiogenesis, invasi tumor, dan kapasitas metastasis tumor pada sel CT26. Mencit yang diterapi dengan CAPE tidak hanya menunjukkan penghambatan invasi tumor sebesar 47.8% tapi juga penurunan ekspresi matrix metalloproteinase (MMP)-2 dan -9. Produksi vascular endothelial growth faktor (VEGF) dari sel CT26 juga dihambat dengan CAPE (6μg/ml). Injeksi CAPE intraperiotoneal (10 mg/kg/hari) pada mencit BALB/c juga dapat mengurangi kapasitas metastasis pulmonal sel CT26 yang diikuti dengan menurunnya level plasma VEGF. CAPE juga dapat memperpanjang survival mencit yang Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 18 ditransplan dengan sel CT26 sehingga semakin memperkuat potensinya sebagai antimetastasis. 2.1.2.2.4. Modulasi Respon Imun Seperti dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, respon imun yang berguna untuk melawan kanker adalah sistem imun seluler yaitu sel makrofag, sel T sitotoksik (sel T CD8+), dan sel NK. Dalam maturasi dan diferensiasi sel T sitotoksik, sel ini membutuhkan sitokin IL-2 yang dikeluarkan oleh sel T CD4+ subset T helper 1/Th1 Sedangkan sitokin yang dikeluarkan oleh subset Th2 akan menghambat sel T CD8+ (Abbas 2000; Baratawidjaja & Rengganis 2009b; Male et al. 1996). Aktivasi Makrofag Pada model imunosupresi, menurut Dimov et al. (1991) pemberian propolis water soluble derivative (WSD) pada mencit (50 mg/kg) dapat mencegah efek buruk siklofosfamid dan meningkatkan laju ketahanan hidup. Peneliti juga melaporkan bahwa propolis memodulasi imunitas nonspesifik melalui aktivasi makrofag. Propolis (0.2-1.0 mg/ml) dapat menstimulasi produksi sitokin seperti IL-1β dan TNF-α pada makrofag di peritoneal mencit (Moriyasu et al. 1994). Tatefuji et al. (1996) menemukan bahwa 6 komponen propolis yang diidentifikasi sebagai turunan caffeoylquinic acid dapat meningkatkan motilitas dan penyebaran makrofag. Paparan makrofag terhadap beberapa stimulus seperti interaksi dengan mikroorganisme dan produknya, antibodi atau antigen opsonisasi dengan komponen komplek, phorbol miristate acetate (PMA), Con A, komplek imun, leukotrien, chemiotatic peptide fMLP, sitokin dan lainnya dapat mengakibatkan perubahan metabolisme lebih lanjut yaitu dengan memproduksi oksigen intermediet. Produksi zat inilah yang membuat makrofag bersifat mikrobisidal dan tumorisidal. Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 19 Makrofag juga mempunyai peranan penting dalan respon antitumor melalui antibody-dependent cellular cytotoxicity (ADCC), sekresi sitokin yang menghambat pertumbuhan tumor, dan memproduksi oksigen reaktif dan nitrogen intermediet. Terapi pada mencit dengan ekstrak propolis (50 mg/kg) dapat memodifikasi aktifitas tumorisidal makrofag dengan memproduksi faktor pengaktivasi limfosit lebih tinggi, sehingga menghambat HeLa cell line. Mencit yang diberi propolis juga menunjukkan elevasi respon splenosit terhadap mitogen poliklonal (Orsolic & Basic 2003). Aktivasi sel makrofag yang kemudian mengeluarkan mediator seperti TNF-α, H2O2 dan NO dapat menghasilkan inhibisi sintesis DNA dan dekstruksi sel tumor. Mencit yang diterapi dengan CAPE menunjukkan peningkatan produksi NO yang berhubungan dengan penurunan sintesis DNA (Orsolic et al. 2005). Aktivasi sel T limfosit Kimoto et al. (1998) menemukan bahwa Artepillin C yang diekstraksi dari Propolis Brasil selain dapat mengahambat pertumbuhan tumor terbukti juga dapat meningkatkan rasio sel T CD4/CD8 dan jumlah sel T helper secara keseluruhan. Penelitian Missima et al. (2010) pada mencit dengan melanoma dan stress diberikan propolis, ditemukan bahwa propolis menstimulasi IFN-γ dan IL2 yang dikeluarkan oleh sel T CD4 yang berguna untuk mengaktifkan respon imun seluler. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa propolis dapat mengaktivasi antitumour cell-mediated immunity. Park et al. (2004) menemukan bahwa pemberian CAPE (5, 10, 20 mg/kg) yang diekstraksi dari propolis mempunyai efek imunomodulator pada mencit BALB/c. Pemberian CAPE 20 mg/kg dapat meningkatkan secara bermakna subpopulasi sel T CD4, namun tidak meningkatkan sel B. Selain itu produksi IL2, IL-4 dan IFN-γ juga meningkat secara bermakna pada kelompok CAPE 20 Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 20 mg/kg. Hasil tersebut menunjukkan bahwa CAPE mempunyai efek imunomodulator secara in vivo. Aktivasi Sel NK Berbeda dengan sel limfosit T dan B yang membutuhkan fase pematangan dan diferensiasi sebelum aktif, sel NK akan langsung aktif begitu bertemu dengan antigen target. Selain itu sel NK juga tidak membutuhkan MHCI dan MHC-II untuk mengenali antigen. Sel NK berkerjasama dengan imunitas adaptif dengan mensekresi sitokin yang akan meregulasi sel T (Baratawidjaja & Rengganis 2009b); Abbas 2000; Male et al. 1996). Terapi propolis 10% selama 3 hari dapat meningkatkan aktifitas sitotoksik sel NK dalam melawan murine lymphoma (Sforcin et al. 2002). Penemuan ini serupa dengan penelitian sebelumnya bahwa pemberian propolis dalam waktu singkat bermanfaat pada sistem imun yaitu meningkatkan respon imun. 2.1.2.2.5. Protektif terhadap Efek Samping Terapi Kanker Lotfy (2006) mengulas kemampuan protektif propolis terhadap efek samping kemoterapi. Parasetamol dan cyclophosphamid dimetabolisme pada hati oleh cytochrome P450. Intermediat reaktif yang terbentuk bertanggung jawab atas deplesi glutathione dan lipoperoxydation dari hepatosit. Vinblastin adalah agen kemoterapi hepatotoksik dan hematotoksik. Flavonoid adalah substansi polifenol yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan memiliki efek anti-oksidatif. Sebuah penelitian dilakukan untuk melihat efek hematotoksik dan heaptotoksik dari pemberian per oral ekstrak propolis yang mengandung flavonoids (diosmine dan quercetine) sampai dengan 60 mg/kg/hari selama 14 hari versus efek hepatotoksik dari pemberian parasetamol diberikan secara oral 200 mg/kg berkorespondens ke 2/3 dari LD50 pada tikus albinos wister betina. Kedua kelompok diberikan kemoterapi dosis tunggal siklofosfamid 80 mg/kg intravena dan vinblastin 2 mg/kg intravena. Analisis dilakukan pada hari ke-1, 3, 7, dan 14 Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 21 hari setelah pemberian kemoterapi. Pada kelompok parasetomal dan cyclophosphamid, pada hari ke-1 sudah terjadi peningkatan lipid peroxide (MDA) sebanyak 120% dan penurunan hepatic glutathione termasuk pada kelompok yang menerima vinblastin (sampai dengan 210% reduksi). Selain itu juga terjadi leukopenia yang parah dan trombopenia (70% dari reduksi) yang terlihat antara hari ke-3 dan ke-14 pada tikus yang diobati dengan kemoterapi sendiri (cyclophosphamide dan vinblastine). Kombinasi antara flavonoid dengan kemoterapi sangat bermakna mereduksi toksisitas kemoterapi. Bahkan efek aplasti akibat vinblastin, dan juga leukopenia dan trombopenia akibat cyclophosphamide dapat dikoreksi sepenuhnya. Selain itu peneliti juga melihat restorasi peroxide dan glutathione. Flavonoid sepertinya dapat beraksi melalui aktivasi turnover glutathione dan enzim yang menstimulasi glutathion-stransferases sehingga memungkinkan penangkapan metabolites reaktif pada obat yang diteliti (Lahouel et al. 2004). Penelitian lainnya yang dilakukan Suzuki et al. (1999) meneliti efek WSD propolis terhadap efek samping yang ditimbulkan obat antikanker (5-FU) terhadap darah pada mencit. Penelitian tersebut menemukan bahwa propolis dapat meningkatkan kembali secara bermakna sel darah merah yang turun akibat 5-FU setelah hari ke-35. Trombosit juga meningkat setelah hari ke-20, dan peningkatan pada kelompok propolis lebih tinggi dibanding kontrol. Begitu juga dengan peningkatan leukosit terjadi bermakna pada kelompok propolis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa propolis dapat mencegah penurunan sel leukosit dan sel darah merah serta juga platelet. Sedangkan Benkovic et al. (2009) meneliti tentang efek radioprotektif dari kandungan antioksidan propolis yaitu quercetin pada mencit yang diradiasi oleh sinar γ. Penelitian tersebut menemukan bahwa mencit yang mendapat propolis setelah terapi menunjukkan peningkatan jumlah leukosit dibanding kontrol meskipun secara statistik tidak bermakna. Penelitian lainnya mengenai efek radioperotektif propolis oleh Orsolic et al. (2007) menemukan bahwa pemberian propolis yang mengandung polifenol (quercetin, naringin caffeic Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 22 acid, dan chrysin) 3 hari sebelum iradiasi dapat menunda kematian dan mengurangi gejala akibat radiasi pada mencit. 2.1.3. Dosis, Efek Samping, dan Toksisitas Propolis Propolis mempunyai toksisitas oral akut yang rendah atau bahkan tidak toksik. Pada penelitian dengan menggunakan mencit membuktikan bahwa propolis tidak toksik dan mempunyai LD50 2.000 sampai 7.300 mg/kg. Sforcin (2007) merekomendasikan konsentrasi yang aman untuk manusia adalah 1.4 mg/kg atau hampir 70 mg/hari. Kadar NOEL (No Effect Level) pada mencit adalah 1400 mg/kg (Hunter 2006). Tidak ada dosis standar untuk pemakaian propolis dalam uji klinis terhadap manusia. Dosis yang direkomendasiakan untuk penderita asma adalah larutan propolis dalam aqua 13% (Khayal et al. 2003). Pada penelitian vaginitis digunakan preparat topikal 5% (Imhof et al. 2005). Dosis yang dianjurkan dalam pencegahan infeksi saluran pernapasan pada anakanak 1 sampai 3 tahun adalah 375mg/hari selama 12 minggu (Cohen et al. 2000). Penelitian pada tikus dengan pemberian dosis propolis yang berbeda (1, 3, dan 6 mg/kg/hari), pelarut yang berbeda (air dan etanol), dan variasi lama pemberian (30, 90, dan 150 hari) didapatkan hasil tidak ada perbedaan yang bermakna dalam hal total lipid, trigliserid, kolesterol, kolesterol-HDL, AST, dan LDH. Propolis juga tidak mempengaruhi berat badan tikus setelah pemberian (Sforcin 2007). Selain itu penelitian pada tikus yang dilakukan Decastro (1995), tidak ada efek samping terlihat dalam pemberian oral dengan dosis lebih tinggi dari 4000 mg/kg/hari selama dua minggu dan dosis 1400 mg/kg/hari dalam air minum selama 90 hari. Beberapa penelitian melaporkan adanya kejadian alergi dan dermatitis kontak yang berhubungan dengan propolis, namun kejadian ini berbeda dengan kebanyakan alergi terhadap madu yang mengandung alergen dari bunga. Pelarut air dan etanol mempunyai kemampuan antialergi dengan cara menghambat pelepasan histamin pada sel mast di peritoneal tikus. Namun pada dosis yang Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 23 tinggi (300μg/ml) propolis secara langsung mengaktifasi sel mast yang mempromosikan pelepasan mediator inflamasi, terutama pada orang yang sensitif terhadap propolis (Sforcin 2007). 2.1.4. Penelitian Propolis pada Manusia Uji klinis penggunaan propolis pada manusia masih sangat terbatas, yaitu digunakan untuk mengobati sinusitis akibat candida, mengobati giardiasis, terapi neurofibromatosis, mengatasi gigi hipersensitif, menghilangkan plak di gigi, mengobati endometriosis, asma, infeksi herpes simpleks virus (HSV), mengobati sariawan, mengobati infeksi saluran pernafasan atas dan menurunkan kadar gula dalam darah (antihiperglikemia). Kovalik (1979) meneliti efek pemberian emulsi propolis dengan pelarut alkohol terhadap 12 pasien dengan sinusitis kronik akibat Candida albicans. Emulsi propolis (2-4 ml) digunakan diteteskan ke sinus setelah diirigasi dengan larutan saline isotonik. Setelah 1-2 kali perawatan dengan propolis terdapat perbaikan. Kesembuhan secara klinis terjadi pada 9 pasien, sedangkan sisanya mengalami perbaikan. Kesembuhan muncul setelah 10-17 hari. Miyares et al. (1988) melakukan penelitian tentang efikasi propolis dalam melawan giardiasis terhadap 138 orang pasien (48 anak-anak dan 90 dewasa) yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok terapi propolis dan terapi imidazole (tinidazole) sebagai kontrol. Dosis propolis untuk anak anak adalah larutan 10% dan dosis untuk orang dewasa adalah 20%. Hasil penelitian pada anak-anak menunjukkan lebih dari separuhnya mengalami kesembuhan (52%). Sedangkan pada orang dewasa dengan dosis 20%, tingkat kesembuhannya sama dengan kelompok imidazole, jika dosisnya ditingkatkan menjadi 30% pada 50 pasien dihasilkan efikasi yang lebih tinggi dibanding kontrol (60% kesembuhan vs 40% dengan imidazole). Demestre et al. (2008) melakukan uji klinis terhadap penderita Neurofibromatosis (NF), dengan memakai Bio 30 (salah satu nama dagang dari propolis dengan dosis 25 mg/kg). Sejauh ini ada 70 pasien dengan berat badan Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 24 diatas 25 kg atau umur diatas 10 tahun. Meski penelitian ini masih kurang dari 12 bulan untuk penderita NF1 dan 6 bulan untuk NF2 tapi sudah menunjukkan hasil positif dimana sudah tidak ada lagi pertumbuhan dari sel tumor, dan biaya untuk pengobatan sangat murah yaitu perorang dewasa hanya 1 dolar per hari. Khalid et al. (1999) melakukan uji klinis yang menguji efek propolis pada pada 26 subyek wanita berumur 16-40 dengan gigi hipersensitif dan untuk mengukur tingkat kepuasan diantara pasien setelah pemberian propolis. Pemberian propolis sebanyak dua kali sehari pada gigi yang sensitif selama empat minggu. Pasien akan di-follow up setelah minggu ke-1 sebagai data dasar dan ke-4 penggunaan propolis. Terjadi perbeadan bermakna antara laporan pasien pada minggu ke-1 dan ke-4. Sebanyak 70% yang pada awalnya menderita hipersensitif yang parah kemudian 50% dilaporkan menjadi hipersensitif sedang. Sebanyak 50% sampel yang menderita hipersensitif ringan menjadi 30 persen tidak hipersensitif dan 19 persen menjadi hipersensitif sedang. Sebanyak 85% mengatakan sangat puas. Propolis telah diformulasikan sebagai terapi tambahan setiap hari selama 2 bulan bagi asma derajat ringan-sedang. Khayyal et al. (2003) melakukan penelitian pendahuluan terhadap 46 pasien penderita asma dengan menggunakan propolis dan asma. Terjadi penurunan produksi mediator inflamasi dan terjadi pengurangan serangan asma nokturnal dari rata-rata 2.5 kali/minggu menjadi 1 kali/minggu. Cohen et al. (2004) melakukan uji klinis pada 430 anak-anak yang menderita infeksi saluran pernafasan atas, berumur 1 sampai 5 tahun menggunakan kombinasi produk yang berisi 50 ml Echinacea purpurea dan angustifolia, propolis 50 mg/ml dan vitamin C 10 mg/ml selama 12 minggu sebagai agen preventif, menunjukan pengurangan signifikan terhadap frekuensi episode penyakit. Terdapat juga pengurangan signifikan dari lama hari demam pada setiap anak dan pada penggunaan pada pengobatan biasa seperti antipiretik dan antibiotik terdapat pengurangan pada rhinitis dan batuk pada siang hari. Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 25 Vynograd et al. (2007) melakukan penelitan terhadap 90 pria dan wanita penderita penyakit genital HSV tipe 2 untuk membandingkan efikasi pengobatan dari salep Propolis Kanada yang mengandung flavonoid alami dengan salep acyclovir dan plasebo terhadap kemampuan menyembuhkan dan gejala pengobatannya. Sebagai hasil, proses penyembuhan terbukti lebih cepat pada grup propolis. Sehingga disimpulkan, salep yang mengandung flavonoid terbukti lebih efektif daripada salep acyclovir dan plasebo dalam mengobati genital herpes lesion dan mengurang simptom lokal. Ali dan Awadallah (2003) dalam penelitiannya terhadap 40 wanita yang tidak subur minimal 2 tahun dan menderita endometriosis ringan diberikan secara acak propolis (500 mg, dua kali sehari) atau plasebo selama 9 bulan. Sebanyak 12 orang (60 %) dari 20 orang yang diberikan propolis menjadi hamil dibandingkan dengan 4 orang (20 %) dari 20 orang yang diberikan plasebo. Tidak ada laporan mengenai efek samping dari propolis. Samet et al. (2007) melakulan uji klinis, acak, buta ganda terhadap pasien Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) dengan memberikan 500 mg propolis atau plasebo setiap hari. Analisis statistik menunjukkan propolis efektif menurunkan jumlah dari rekuren dan meningkatkan kualitas hidup dari pasien yang menderita RAS. Botushanov et al. (2001) melakukan uji klinis terhadap pasta gigi silikat dengan ekstrak propolis terhadap plak gigi. Studi ini melibatkan 42 orang yang sehat. Pasta gigi dengan propolis menunjukkan hasil yang baik sebagai pembersih plak gigi, pencegahan terbentuknya plak dan efek antiinflamasi. 2.2. Antioksidan Flavanoid adalah kelompok substansi dari alam yang mempunyai variasi struktur fenol dan banyak ditemukan pada buah, sayur, biji-bijian, kulit batang, akar, bunga, teh dan anggur (wine). Flavonoid dapat dibagi menjadi beberapa kelas berdasarkan struktur molekul yaitu kelompok flavones, flavanones, cathechins, dan anthocyanins (Kandaswami & Theoharides 2000; Manach et al. Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 26 . 2005; Nijveldt et al. 2001). Berikut (Tabel 2) adalah tabel yang menjabarkan kelompok flavonoid, jenis komponennya dan contoh sumber makanan yang mengandung flavonoid (Nijveldt et al. 2001). Efek flavonoid yang terpenting adalah dapat menangkap radikal bebas turunan oksigen reaktif. Penelitian in vitro juga menunjukkan bahwa flavomoid mempunyai efek antiinflamasi, antialergi, antivirus dan antikarsinogenik. Setiap grup flavonoid mempunyai kapasitas sebagai antioksidan (Amic et al. 2003; Manach et al. 2005; Kandaswami & Theoharides 2000; Nijveldt et al. 2001; Russo et al. 2000). Jenis flavonones dan catechins merupakan kelompok flavonoids yang terkuat dalam melindungi tubuh terhadap radikal bebas. Quercetin merupakan contoh dari kelompok flavones yang banyak diteliti efeknya (Middleton et al. 2000; Kandaswami & Theoharides 2000; Nijveldt et al. 2001). Gambar 2 menyajikan struktur molekul dari masing-masing kelompok flavonoid. Tabel 2. Kelompok utama flavonoid beserta jenis dan contoh sumber alam dari masing-masing kelompok (Nijveldt et al. 2001). Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 27 Gambar 2. Struktur molekular dari masing-masing kelompok flavonoid (Nijveldt et al. 2001). 2.2.1. Efek Radikal Bebas pada Tubuh Sel dan jaringan tubuh selalu terpapar dengan efek perusakan yang disebabkan oleh radikal bebas dan radikal bebas turunan oksigen/reactive oxygen species (ROS) yang normalnya terbentuk selama metabolisme oksigen atau dinduksi oleh kerusakan eksogen. Radikal bebas dapat menganggu fungsi selular dengan melakukan peroksidasi lipid yang berakibat kerusakan membran sel. Kerusakan ini dapat menyebabkan perubahan muatan listrik di sel, perubahan tekanan osmosis, menyebabkan pembengkakkan sel dan berakhir pada kematian sel. Radikal bebas dapat menarik bermacam-macam mediator inflamasi yang berkontribusi ke respon inflamasi dan kerusakan jaringan. Dalam rangka mempertahankan diri terhadap ROS, tubuh mempunyai beberapa mekanisme. Mekanisme pertahananan antioksidan tubuh tediri dari enzim seperti superoksida dismutase, katalase dan glutation peroksidase, dan juga non-enzim seperti glutation, asam askorbat, dan α-tokoferol. Peningkatan produksi ROS selama perlukaan menyebabkan komsumsi dan deplesi komponen antioksidan alami tubuh. Flavonoid mempunyai efek adiktif terhadap komponen antioksidan alami. Flavonoid dapat menganggu lebih dari 3 sistem penghasil Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 28 radikal bebas yang berbeda, dan juga dapat meningkatkan fungsi antioksidan endogen. 2.2.2. Aktifitas Antioksidatif Berikut adalah mekanisme antioksidan dari flavonoid yaitu mengikat radikal secara langsung (direct radical scanvenging), melalui nitrit oksida, xanthin oksidase, imobilisasi leukosit, interaksi dengan system enzim lainnya (Nijveldt et al. 2001). 2.2.2.1. Menangkap Langsung Radikal Bebas (Direct Radical Scavenging) Flavonoid dapat mencegah perlukaan yang disebabkan oleh radikal bebas. Flavonoids dapat menstabilkan ROS dengan bereaksi dengan komponen radikal bebas yang reaktif. Oleh karena tingginya reaktifitas kelompok hidroksil dari flavonoids, radikal bebas akan dibuat tidak aktif, sesuai dengan reaksi berikut (Nijveldt et al. 2001; Russo et al. 2000).: Flavonoid(OH) + R* flavonoid (O*) + RH R* adalah radikal bebas dan O* adalah radikal bebas oksigen. Flavonoid yang selektif dapat secara langsung mengikat radikal bebas, dimana flavonoid lainnya dapat mengikat ROS yang disebut peroksinitrit (peroxynitrite) (Amic et al. 2003; Middleton et al. 2000; Kandaswami & Theoharides 2000; Nijveldt et al. 2001; Russo et al. 2000). 2.2.2.2. Mengikat Nitrit Oksida Beberapa jenis flavonoid, termasuk quercetin, dapat mengurangi perlukaan iskemia-reperfusi (ischemia-reperfusion injury) dengan mengganggu aktifitas sintesis nitrit oksida yang dapat diinduksi. Nitrit oksida diproduksi oleh beberapa jenis sel yang berbeda seperti sel endothelial dan makrofag. Produksi nitrit oksida pada awalnya berguna untuk dilatasi pembuluh darah, namun jika produksi nitrit oksida yang berlebihan oleh makrofag dapat menyebabkan kerusakan oksidatif. Pada keadaan ini, makrofag yang teraktivasi dapat Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 29 menghasilkan nitrit oksida dan superoksida anion yang berlebihan terusmenerus. Nitrit oksida akan bereaksi dengan radikal bebas dan dengan demikian akan memproduksi peroksinitrit dalam jumlah besar serta bersifat merusak. Ketika flavonoid digunakan sebagai antioksidan, radikal bebas akan diikat oleh flavonoid sehingga tidak dapat bereaksi lebih lama lagi dengan nitrit oksida dan mengurangi kerusakan. Menariknya, nitrit oksida dapat dianggap sebagai radikal bebas juga dan telah dilaporkan dapat diikat juga oleh flavonoid. Oleh karena itu telah diperkirakan bahwa pengikatan nitrit oksida mempunyai peranan dalam efek terapeutik dari flavonoid. Silibin adalah salah satu flavonoid yang dapat menghambat nitrit oksida (Nijveldt et al. 2001). 2.2.2.3. Menghambat Xanthin Oksidase Alur xanthin oksidase mempunyai implikasi penting sebagai rute perlukaan oksidatif pada jaringan khususnya pada keadaan iskemia-reperfusi. Xanthin dehidrogenase dan xanthin oksidase terlibat dalam metabolisme xanthin menjadi asam urat. Xanthin dehidrogenase adalah bentuk enzim yang muncul dalam keadaan normal, namun konfigurasinya dapat berubah menjadi xanthin oksidase pada keadaan iskemik. Xanthin oksidase adalah sumber dari radikal bebas turunan oksigen reaktif. Pada fase reperfusi (reoksigenasi), xanthin oksidase bereaksi dengan molekul oksigen dengan demikian akan melepaskan radikal bebas superoksida. Sedikitnya 2 jenis flavonoid, quercetin dan silibin, menghambat xanthin oksida sehingga menurunkan perlukaan oksidatif (Nijveldt et al. 2001). 2.2.2.4. Imobilisasi Leukosit Imobilisasi dan adhesi yang kuat leukosit ke sel endotel adalah mekanisme lainnya yang bertanggungkawab untuk terbentuknya radikal bebas turunan oksigen reaktif dan juga terlepasnya oksidat sitotoksik, mediator inflamasi dan aktivasi sistim komplemen. Dalam situasi normal, leukosit bergerak dengan bebas sepanjang dinding endotel. Namun, selama kondisi iskemia dan inflamasi, beberapa mediator turunan endothelial utama dan faktor Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 30 komlemen dapat meyebabkan adhesi leukosit ke dinding endothelial, sehingga mengimobilisasi leukosit selama reperfusi. Penurunan jumlah leukosit yang imobilisaasi oleh flavonoid berhubungan dengan total komplemen di serum dan merupakan mekanisme protektif melawan kondisi yang berhubungan dengan inflamasi, seperti perlukaan reperfusi. Beberapa flavonoid dapat mencegah terhadinya degranulasi neutrofil tanpa mempengaruhi produksi superoksida, efek hambat beberapa flavonoid pada degranulasi sel mast ditunjukkan oleh karena modulasi reseptor kanak kalsium dalam membran plasma (Middleton et al. 2000; Nijveldt et al. 2001 ). 2.2.2.5. Interaksi dengan Sistem Enzim Lainnya Ketika ROS bereaksi dengan besi (Fe) maka menghasilkan peroksidasi lipid. Flavonoid spesifik dapat menyingkirkan besi (chelate iron) sehingga menghilangkan factor penyebab terjadinya radikal bebas. Quercetin diketahui mempunyai efek iron-chelating dan iron-stabilizing. Flavonoid juga dapat mengurangi aktivasi komplemen sehingga akan mengurangi adhesi sel inflamasi ke dinding endothelial dan akhirnya menghilangkan respon inflamasi. Gambaran lainnya flavonoid adalah dapat mengurangi terlepasnya peroksidase. Pengurangan ini dapat menghambat produksi ROS oleh netrofil. Efek flavonoid lainnya adalah inhibisi metabolisme asam arakidonat. Efek ini merupakan efek antiinflamasi dan antitrombogenik dari flavonoid. Pelepasan asam arakidonat adalah awal dari respon inflamasi. Neutrofil yang mengandung lipoksigenase menghasilkan komponen kemotaksis dari asam arakidonat dan juga merangsang pelepasan sitokin (Middleton et al. 2000; Nijveldt et al. 2001). 2.2.2.6. Zat Antioksidan Lainnya. Sumber antioksidan selain flavonoid adalah Zn, selenium, vitamin C dan vitamin E. Kemampuan Zn dalam melemahkan proses oksidatif telah lama Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 31 dikenal. Secara umum mekanisme antioksidan dapat dibedakan menjadi dua yaitu efek akut dan kronik. Efek kronik melibatkan paparan Zn dalam waktu lama yang menghasilkan induksi beberapa substansi yang bertujuan sebagai antioksidan seperti metallothioneins. Oleh karena itu jika terjadi kekurangan Zn jangka panjang akan menyebabkan seseorang rentan terhadap beberapa stres oksidatif. Efek akut Zn melibatkan 2 mekanisme yaitu proteksi protein sulfhydryls atau mengurangi OH dari H2O2 melalui antagonis redox-active transition metals seperti besi dan tembaga. Proteksi kelompok protein sulfhydryl diduga melibatkan reduksi reaktifitas sulfhydryl melalui 1 atau 3 mekanisme yaitu (1) pengikatan secara langsung Zn ke sulfhydryl, (2) pengikatan ke beberapa protein yang menghasilkan steric hindrance, (3) perubahan konformasi pengikatan protein ke tempat lainnya. Antagonism of redox-active, transition metal-catalyzed, site-specific reactions merupakan teori bahwa Zn dapat mengurangi cellular injury. Zn juga dapat mengurangi postischemic injury beberapa jaringan dan organ melalui mekanisme yang melibatkan antagonism of copper reactivity. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mencari mekanisme yang secara potensial dapat menemukan fungsi antioksidan dan kegunaan Zn (Powel 2000). Selenium sebagai mikromineral sangat penting bagi kesehatan manusia. Selenium dikenal sebagai konstituen selanoprotein yang mempunyai struktur dan peranan sebagai enzim. Selenium dibutuhkan untuk membentuk fungsi sistem imun dan menjadi kunci untuk melawan perkembangan virulesi dan progres HIV ke AIDS (Rayman 2000). Selain itu juga selenium mempunyai fungsi antioksidan. Defisiensi elemen ini pada hewan membuat mereka rentan terhadap stres oksidatif. Pada manusia, setidaknya ada 1 penyakit yang muncul hanya pada individu dengan defisiensi selenium (Burk 2002). Mekanisme selenium sebagai antioksidan adalah dengan menetralkan radikal bebas dengan cara menjadi radikal bebas namun tidak seberbahaya radikal bebas yang dinetralkan. Namun begitu radikal bebas yang terbentuk dari antioksidan harus diregenerasikan agar tetap efektif dan tidak merusak. Sistem Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 32 antioksidan natural dalam tubuh yaitu glutathione dan thioredoxin berfungsi untuk meregenerasi antioksidan saat mereka menetralkan radikal bebas. Glutathione peroxidase dan thioredoxin reductase merupakan enzim antioksidan yang mengandung selenium dan kerja enzim ini tergantung dari aktifitas selenium. Suplementasi selenium terbukti dapat mengurangi kerusakan DNA akibat proses oksidatif (Hansen et al. 2004). Sedangkan vitamin C dan E mempunyai aktifitas antioksidan yang sama dengan selenium (Johnson et al. 2003). 2.3. Kanker Kanker adalah pertumbuhan sel-sel yang abnormal. Sel-sel kanker sangat cepat membelah meskipun ruang dan nutrisi terbatas. Kanker bukan satu jenis penyakit namun merupakan sekelompok penyakit. Kanker sangat heterogen, yaitu lebih dari 100 jenis kanker telah diketahui saat ini dan dalam setiap organ terdapat berbagai subtipe kanker. Beberapa kanker bersifat familial (keturunan), sedangkan lainnya bersifat sporadik, terjadi secara kebetulan (Perkins & Stern 1997). 2.3.1. Epidemiologi dan Dampak Kanker Kanker saat ini merupakan masalah kesehatan utama tidak hanya di negara maju namun juga di negara berkembang. World Cancer Report melaporkan berdasarkan data the International Agency for Research on Cancer bahwa pada tahun 2010 kanker merupakan penyebab kematian nomor satu. Kasus kanker di dunia meningkat dua kali lipat antara tahun 1975 dan 2000, dan akan meningkat lagi pada tahun 2020, dan hampir tiga kali lipat pada tahun 2030. Diperkirakan 12 juta kasus kanker baru dan lebih dari 7 juta kematian akibat kanker pada tahun 2008. Jadi jika diprediksikan pada tahun 2030 akan ada 20-26 juta kasus kanker baru dan 13-17 juta kematian akibat kanker. Komunitas global memperkirakan peningkatan insiden kanker adalah 1% setiap tahun dengan peningkatan terbesar di negara Cina, Rusia, dan India (Mulcahy 2008). Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 33 Menurut data Globocan IARC tahun 2002, kasus kanker yang paling sering terjadi adalah kanker paru, kanker payudara dan kanker kolorektal. Sedangkan kanker yang paling sering menyebabkan kematian adalah kanker paru, kanker lambung dan kanker hati (Parkin et al. 2002). Menurut data WHO (2004), jenis kanker terbanyak di Asia Tenggara adalah kanker paru, kanker lambung, dan kanker kolorektal. Di Indonesia, insiden kanker secara nasional belum diketahui karena belum adanya registrasi kanker berbasis populasi. Dari data patologi anatomi yang dikumpulkan oleh Sarjadi (2001) dari 10 provinsi di Indonesia ditemukan bahwa kanker tersering di Indonesia adalah kanker kolorektal, kanker kulit dan nasofaring. Sedangkan data terbaru berdasarkan data rekam medis RS. Kanker Dharmais, lima terbesar kanker dari tahun 2002 sampai 2007 adalah kanker payudara, kanker serviks, kanker kolorektal, kanker paru dan kanker nasofaring (RSKD 2008). Selain dampak buruk terhadap fisik, pasien kanker juga mengalami dampak buruk terhadap sosial (Pardue et al. 1989), psikologis, emosi dan spiritual mereka seperti rasa takut akan kambuh kembali, depresi, body image dan rasa percaya diri, rasa bersalah, dan gangguan dalam menjalin hubungan dengan orang lain atau menjalankan peranan di rumah serta di tempat kerja (Anonim 2009b). Risiko kanker pada negara berkembang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Hal tersebut akan berimbas pada peningkatan pengeluaran untuk pengobatan (Parkin et al. 2002). Peningkatan insiden kanker tentu saja membawa dampak pada bidang ekonomi, sosial dan psikologis. Biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan kanker tidak sedikit, misalnya di Amerika Serikat untuk pasien yang tidak mempunyai asuransi harus membayar lebih dari $100000 untuk satu tahun pertama, bahkan dapat mencapai $200000 pada pasien dengan leukemia atau limfoma (Anonim 2009a). Sebuah penelitian pada tahun 1990 memperkirakan total biaya yang dikeluarkan untuk terapi kanker menghabiskan sekitar $96 juta, diantaranya secara kasar diperkirakan $27 juta Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 34 untuk pengeluaran langsung, $10 juta untuk morbiditas atau disabilitas, dan $58 juta untuk mortalitas (Chirikos 2001). Peningkatan insiden kanker berimplikasi pada perlunya peningkatan layanan dan pengobatan termasuk penyediaan obat dan pengobatan komplemen alternatif (CAM). Bila pelayanan kesehatan dan pengobatan pasien kanker semakin baik maka akan dapat meningkatkan usia harapan hidup dan kualitas hidup. 2.3.2. Sifat Kanker Secara harfiah neoplasia mempunyai arti pertumbuhan baru, dan pertumbuhan baru ini disebut neoplasma. Menurut Sir Rupert Willis (18981980), seorang onkolog dari Inggris, neoplasma adalah massa jaringan yang abnormal, tumbuh berlebihan, tidak terkoordinasi dengan jaringan normal dan tumbuh terus meskipun rangsang yang menimbulkannya telah hilang. Proliferasi atau pertumbuhan tersebut disebut sebagai proliferasi neoplastik. Proliferasi neoplastik mempunyai sifat progresif, tidak bertujuan, tidak ada hubungan dengan kebutuhan tubuh dan bersifat parasitik. Sel neoplasma bersifat parasitik maksudnya adalah sel kanker bersaing dengan sel normal untuk mendapatkan 9 segala kebutuhan untuk memenuhi metabolisme sel kanker pada penderitanya (host). Sel neoplasma bergantung pada host akan pemenuhan kebutuhan darah dan makanan, bahkan pada neoplasma tertentu diperlukan dukungan hormonal endokrin. Proliferasi neoplastik menimbulkan pembengkakan/benjolan pada jaringan tubuh yang disebut dengan istilah tumor. Jadi tumor berarti neoplasma yang menurut sifat biologiknya dibedakan atas tumor jinak dan tumor ganas. Semua tumor ganas disebut dengan kanker (Tjarta 2002). 2.3.3. Dasar Molekul Kanker Karsinogenesis adalah proses pembentukan neoplasma atau tumor (Tjarta 2002). Sel yang oleh suatu penyebab berubah menjadi sel neoplastik akan membentuk kumpulan sel yang mengalami transformasi. Patogenesis terjadinya Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 35 kanker diawali dengan terjadinya perubahan genetik sehingga disebut sebagai penyakit genetik (Liotta & Liu 2001). Perubahan genetik atau kerusakan genetik disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bahan kimia, virus, radiasi, faktor keturunan, hormon. Segala sesuatu yang menyebabkan kanker disebut dengan karsinogen (Tjarta 2002; Liotta & Liu 2001). Terdapat 3 golongan gen pengatur pertumbuhan sel secara normal yaitu proto-onkogen, tumor suppressor gene (TSG), dan gen yang mengatur apoptosis sel (kematian sel). Gen proto-onkogen bertugas dalam mengatur proliferasi dan maturasi atau diferensiasi sel normal. Sehingga gen ini merupakan sasaran utama dalam perubahan genetik yang dapat mencetuskan proliferasi berlebihan. Aktivasi proto-onkogen secara berlebihan dapat terjadi melalui perubahan struktur dalam gen, translokasi kromosom, peningkatan ekspresi gen atau mutasi pada elemen yang mengontrol ekspresi gen tersebut Mutasi demikian sering tampak pada sel-sel yang berproliferasi secara aktif. Proliferasi berlebihan dapat dicegah oleh TSG yang menghambat pertumbuhan, namun inaktivasi dan atau mutasi gen ini dapat menyebabkan hilangnya supresi pertumbuhan. Begitu juga jika terjadi inaktivasi gen yang mengatur apoptosis maka sel akan terus proliferasi. Jadi amplifikasi onkogen dan inaktivasi TSG dan gen apoptosis mengakibatkan hilangnya control pertumbuhan dan risiko terjadinya transformasi ganas (Tjarta 2002; Kresno 2008; Abbas et al. 2000). Disamping ketiga gen di atas terdapat golongan gen yang ke-empat yaitu gen yang berfungsi untuk memperbaiki kerusakan DNA yaitu gen perbaikan DNA (mismatch repair gene). Ketidakmampuan gen perbaikan DNA dalam menja lankan fungsi normalnya dapat berakibat perluasan mutasi pada gen lain dan mengakibatkan transformasi kearah kanker (Liotta & Liu 2001; Tjarta 2002). 2.3.4. Tahapan Karsinogenesis Karsinogenesis adalah proses terjadinya kanker yang merupakan proses multistep. Dari percobaan pada hewan diketahui bahwa terjadinya kanker melalui 2 tahap transformasi, yaitu tahap inisiasi dan promosi. Pada tahap inisiasi, sel Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 36 normal berubah menjadi sel yang mempunyai potensi untuk menjadi sel kanker. Pada tahap ini karsinogen yang bekerja sebagai inisiator secara langsung dan tidak langsung mengalami perubahan metabolik menjadi gugus yang dapat bereaksi dengan DNA, mengakibatkan DNA pecah, mengalami metilasi atau menghambat perbaikan kerusakan DNA. Perubahan ini menetap. Untuk terjadinya tahap inisiasi yang irreversible pembuahan sel oleh karsinogen harus paling sedikit terjadi pada satu siklus pembelahan sel. Pada tahap promosi, karsinogen misalnya bahan kimia merangsang transformasi neoplastik pada sel yang telah diinisiasi namun tidak dapat menyebabkan transformasi neoplastik oleh dirinya sendiri tanpa inisiator. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan sel yang dirangsang oleh promoter ialah reversibel (tidak menetap). Promotor merangsang proliferasi sel yang telah diinisiasi dan mengubah cara diferensiasi dan maturasi. Efek promoter mungkin terjadi akibat lanjut kelainan mutasi genetik yang bekerja sama dengan inisiator. Perubahan menetap tercapai jika telah terjadi proliferasi sel neoplasma yang selanjutnya tidak memerlukan lagi inisiator dan promoter dan sel neoplasma memperlihatkan pertumbuhan otonom, kemudian menjadi progresif invasif dan akhirnya metastasis. Pada tahap awal terjadi perubahan ekspresi gen yang mengakitbatkan fungsi tidak sempurna dan sel tumbuh autrokrin. Tahap selanjutnya terjadi rangsang pertumbuhan vaskular oleh faktor angiogenesis yang dikeluarkan oleh sel neoplasma untuk menunjang pertumbuhan sel neoplastik (Liotta & Liu 2001; Tjarta 2002). 2.3. 5. Terapi Kanker Selama ini di Indonesia ada lima (5) modalitas dalam terapi kanker yaitu: Modalitas Bedah, Radioterapi, Modalitas Kemoterapi, Modalitas Terapi Hormon, Modalitas Terapi Target. Sementara di beberapa negara seperti Cina, Jepang, India, USA dan Jerman telah menggunakan modalitas keenam yaitu complementary alternative medicine (seperti chiropractic, herbal, meditasi) sebagai pelengkap terapi. Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 37 2.3.5.1. Modalitas Bedah Metode bedah adalah metode terapi kanker yang paling lama. Bedah dapat digunakan sebagai terapi kanker secara tunggal atau kombinasi dengan modalitas lainnya. Pasien kanker sering datang dengan status nutrisi yang buruk karena anoreksia atau metabolisme katabolik akibat pertumbuhan tumor. Faktor ini dapat memperlambat atau memperburuk kesembuhan setelah operasi. Pasien dapat mengalami neutropeni atau trombositopeni, yang dapat meningkatkan risiko sepsis atau perdarahan. Oleh karena itu penilaian pre-operatif sangat penting (Aft 2002; Hohenberger 2002; Rosenberg 1997). Peranan bedah onkologi ada tiga yaitu sebagai pencegahan kanker, diagnosis kanker, dan terapi kanker. 2.3.5.2. Modalitas Radioterapi Iradiasi dapat menghancurkan sel kanker karena laju metabolik sel kanker lebih tinggi dan sel kanker tidak mempunyai kemampuan seperti sel normal dalam perbaikan DNA yang rusak. Jenis radioterapi ada 2 yaitu radiasi eksternal dan brakiterapi. Radiasi eksternal jika sumber radiasi berasal dari luar tubuh. Sedangkan brakiterapi, jika sumber radiasi diletakkan di dalam/sedekat mungkin dari sel kanker (Hellman 1997). Efek samping radioterapi dapat akut dan delayed. Efek samping akut paling sering terjadi, dapat diantisipasi dan terjadi dalam jangka waktu terbatas. Beratnya efek samping bergantung pada tipe iradiasi, region tubuh dan volume iradiasi, dan kombinasi dengan terapi lainnya terutama dengan kemoterapi. Efek samping radioterapi lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3 (Bradley 2002; Hellman 1997). 2.3.5.3. Modalitas Kemoterapi Kemoterapi adalah pengobatan kanker dengan zat atau obat yang berkhasiat untuk membunuh sel kanker. Obat tersebut disebut sitostatika, artinya penghambat kerja sel yang sedang tumbuh (proliferasi). Obat sitostatika dapat Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 38 diberikan secara sistemik (ke seluruh sistem tubuh), atau regional. Prinsip kemoterapi ada 3, yaitu membunuh/menghambat sel tumor induk dan anak sebar secara sistemik, mengetahui mekanisme kerja obat sitostatika, dan mengetahui sifat biologi sel tumor (DeVita 1997; Ratain 1997). Tujuan pemberian kemoterapi ada 2 yaitu untuk tujuan kuratif dan paliatif. Tujuan kuratif artinya untuk menyembuhkan penyakit. Sedangkan tujuan paliatif adalah untuk mengurangi gejala penyakit dan untuk meningkatkan kualitas hidup penderitanya (DeVita 1997). Tabel 3. Efek samping radioterapi akut Regio tubuh Efek samping akut Radioterapi SSP Mual muntah Kepala dan Leher Mukositis (radang mulut dan tenggorok) Hilang rasa kecap (hipo/aguesia) Hilang rasa hidu Mediastinum Esofagitis Abdomen atas Gastritis, madigestif, malabsorbsi, mual, muntah, koleretik, enteropati Pelvis Diare, colitis, malabsorbsi Sumber Hellman 1997 Obat-obat kemoterapi (sitostatika) bekerja terhadap sel yang berproliferasi baik pada sel kanker maupun sel normal. Sel kanker mempunyai kemampuan proliferasi tinggi. Sedangkan sel normal ada yang bersifat proliferatif dan non-proliferatif. Sel normal yang bersifat proliferatif adalah rambut, mukosa mulut, sumsum tulang, sperma. Dan sel normal yang bersifat non-proliferatif adalah otot, tulang, saraf, otak dan lain-lain. Kemoterapi membunuh sel dengan berbagai cara yaitu dengan menghambat fase-fase dalam siklus sel, menghambat pembentukan tetrahidrofolat, menghambat pembentukan nukleotida, menghambat pembentukan DNA dan menghambat konversi DNA menjadi RNA (Papageorgio 2002; Ratain 1997). Efek samping kemoterapi dapat bervariasi dari ringan sampai berat, tergantung dari dosis kemoterapi dan regimennya. Terjadinya efek samping kemoterapi adalah akibat kerja obat kemoterapi terhadap sel normal yang aktif Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 39 melakukan pembelahan seperti sel darah, sel saluran cerna, kulit dan rambut serta organ reproduksi. Efek samping pada sel darah yaitu terjadi penurunan sel darah merah dan putih, sehingga terdapat terjadi hal-hal seperti mudah terkena infeksi karena leukopeni, anemia menyebabkan gejala lemah, letih, lesu, dan trombositopenia menyebabkan gangguan perdarahan (memar, perdarahan). Akibat pada sel saluran cerna adalah mual-muntah, sariawan, diare atau konstipasi. Pada kulit dan rambut adalah rambut rontok, kuku atau kulit tampak hitam. Dan pada sistem reproduksi adalah terjadi amenoroe, atau tidak ada sperma (Wojtaszek 2002). Durasi berlangsungnya efek samping dapat berlangsung jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Efek samping yang berlangsung jangka pendek (beberapa jam sampai hari) yaitu mual, muntah, dan pusing. Efek samping jangka menengah (beberapa hari sampai minggu) yaitu sariawan, diare, letih, lesu, dan nafsu makan menurun. Sedangkan efek samping jangka panjang (beberapa minggu sampai bulan) yaitu mudah terkena infeksi (Wojtaszek 2002). 2.3.5.4. Modalitas Terapi Hormon Hormon adalah zat yang dikeluarkan oleh kelenjar endokrin, berfungsi untuk perkembangan organ dan mengatur fungsi organ tersebut. Hormon mempunyai mekanisme feed back sehingga jumlah dalam tubuh dapat dipertahankan, sehingga fungsi organ tetap stabil. Kelainan genetik dapat menyebabkan jumlah hormon meningkat/menurun dan kemudian mengganggu fungsi organ (Hayes & Robertson 2002; Henderson 1997). Hormon terbukti berperan penting dalam menginduksi perkembangan berbagai jenis kanker seperti kanker payudara, endometrium, ovarium, prostat, tiroid, testis, dan tulang. Secara normal pertumbuhan dan fungsi normal organorgan tersebut berada di bawah pengendalian hormon steroid atau hormon polipeptida. Hormon dapat berperan dalam perkembangan kanker tanpa memerlukan suatu inisiator luar seperti kimiawi atau radiasi ionisasi (Hayes 2002). Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 40 Peranan hormon dalam pertumbuhan kanker saat ini sudah banyak diketahui terutama untuk kanker payudara yang banyak dipengaruhi oleh estrogen. Terjadinya kanker disebabkan karena stimulasi yang berlebihan dari hormon yang bekerja melalui reseptornya pada organ tersebut (Ellis & Swain 1996; Hayes 2002; Key 1999; Sutandyo & Hariani 2005). Jenis obat pada terapi hormon antara lain estrogen, antiestrogen, progesteron, adenokortikosteroid, dan androgen. Contohnya adalah tamoksifen untuk kanker payudara bekerja pada reseptor estrogen di jaringan sehingga berefek antiestrogen. Dan aminogluthimide adalah jenis aromatase inhibitor yang bekerja pada enzim aromatase yaitu konverter estrogen sehingga berefek inhibitor sintesis estrogen (Jones & Buzdar 2004; Osborne 1998; Weippl & Goss 2006). 2.3.5.5.Modalitas Terapi Target Terapi target adalah usaha untuk mengurangi jumlah target yang potensial untuk mendapatkan efek terapi, dari beberapa ratus target menjadi 20 atau 30 target. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghambat atau menghentikan aktivasi proto-onkogen agar tetap dalam bentuk yang tidak teraktivasi atau dengan cara mengunci protein penekan tumor dalam posisi yang aktif. Cara kerja terapi target adalah dengan menutup reseptor yaitu reseptor tirosin kinase, agar tidak dapat berikatan dengan ligan spesifik sehingga tidak terjadi kaskade sinyal di bawahnya dan pada akhirnya tidak terjadi transkripsi. Bentuk terapi target yaitu berupa antibodi monoklonal, yaitu antibodi spesifik terhadap antigen yang diproduksi oleh hibridoma sel B untuk mendeteksi molekul tertentu seperti antigen tumor. Antibodi monoklonal dapat mengenali antigen spesifik tumor secara tepat sehingga dalam imunoterapi kanker diberi julukan magic bullet (Clark 1996; Ross 2005). 2.3.5.6. Pengobatan Komplementer dan Alternatif Menimbang mahalnya biaya pengobatan dan buruknya efek samping yang ditimbulkan oleh terapi kanker konvensional, terapi komplementer- Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 41 alternatif (complementer-alternative medicine/ CAM) mulai populer digunakan tidak hanya di negara Asia namun juga di Amerika dan Eropa (Boon et al. 2000; Cassileth & Deng 2004; Ernst & Cassileth 1998; Liu et al. 1997; Molassiotis 2006; Spadacio & de Barros 2008). Menurut survei di Amerika Serikat, terjadi peningkatan penggunaan CAM dari 33.8% pada tahun 1990 menjadi 42.1% pada tahun 1997 (Eisenberg et al. 1998). Bahkan pada survei tahun 2002 dilaporkan bahwa 80% pasien kanker pernah menggunakan CAM (Cassileth & Deng 2004). Terapi CAM dapat dibedakan menjadi 5 kategori yaitu terapi alternatif medis (terapi tradisional), intervensi pikiran-tubuh, terapi berbasis biologis, metode manipulatif tubuh, dan terapi energi (Cassileth & Deng 2004). Jenis CAM yang sering digunakan adalah berdoa/kekuatan spiritual, terapi herbal, dan chiropratic (Cassileth & Deng 2004; Cassileth 1999). Lebih jauh lagi dalam beberapa tahun terakhir penggunaan herbal semakin berkembang dibanding dengan CAM lainnya (Cassileth & Deng 2004; Cassileth 1999; Molassiotis 2006). Tujuan pasien kanker menggunakan terapi herbal ini adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan sistem imun (Molassiotis 2006; Shen et al. 2002). 2.4. Imunologi Kanker Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap penyakit disebut sistem imun. Sistem imun dibutuhkan tubuh untuk mempertahankan keutuhan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai sumber baik dari luar dan dalam tubuh. Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah/nonspesifik/ natural/innate/native/nonadaptif dan didapat/spesifik/adaptif/acquired. Selanjut nya akan disebut sebagai sistem imun spesifik dan non-spesifik. Pada kanker, fungsi sistem imun adalah sebagai fungsi protektif dengan mengenal dan menghancurkan sel-sel abnormal sebelum berkembang menjadi tumor atau membunuhnya kalau tumor sudah tumbuh. Peran sistem ini disebut immune Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 42 surveillance (Abbas et al. 2000; Chiplunkar 2001; Finn 2008; Kresno 2008; Mapara & Sykes 2004). Beberapa bukti yang mendukung bahwa ada peran sistem imun dalam melawan kanker adalah banyak tumor mengandung infiltrasi sel-sel mononuklear yang terdiri dari sel T, sel NK dan makrofag; tumor dapat mengalami regresi spontan; tumor lebih sering berkembang pada individu dengan imunodefisiensi atau bila fungsi sistem imun tidak efektif; dan tumor seringkali menyebabkan imunosupresi pada penderita (Abbas et al. 2000; Kresno 2008). Respon imun terhadap tumor dapat dibagi menjadi imunitas selular dan imunitas humoral (Baratawidjaja & Rengganis 2009a). 2.4.1. Imunitas Seluler Pada pemeriksaan patologi anatomi tumor, sering ditemukan infiltrat selsel yang terdiri dari fagosit mononuclear, limfosit, sedikit sel plasma dan sel mast. Meskipun pada beberapa kanker, infiltrat sel monuklear merupakan indikator prognosis yang baik, tetapi pada umumnya tidak ada hubungan antara infiltrasi sel dan prognosis. Sistem imun dapat langsung menghancurkan sel kanker yang sudah dapat sensitisasi sebelumnya. Jenis sel efektor yang berperan dalam eliminasi tumor adalah sel T sitotoksik, sel NK dan makrofag. Sel Limfosit T Sel limfosit T terdiri dari sel CD4+, CD8+, sel T naïf, NKT dan Tr/Treg. Sel limfosit T naïf yang terpajan dengan kompleks antigen MHC dan dipresentasikan antigen presenting cell (APC) atau rangsangan sitokin spesifik akan berkembang menjadi subset sel T berupa CD4+ dan CD8+ dengan fungsi efektor yang berbeda (Baratawidjaja & Rengganis 2009c). Sel CD4+ atau sel Th/T helper disebut juga sel T inducer yang merupakan subset sel T yang diperlukan dalam induksi respon imun terhadap antigen asing. Antigen yang ditangkap akan diproses dan dipresentasikan makrofag dalam kontek MHC-II ke sel CD4+. Selanjutnya sel CD4+ yang Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 43 berproliferasi dan berdiferensiasi berkembang menjadi subset sel Th1 dan Th2 (Baratawidjaja & Rengganis 2009c). Sel T CD4+ pada umumnya tidak bersifat sitotoksik bagi tumor, tetapi sel-sel itu dapat berperan dalam respon anti-tumor dengan memproduksi berbagai sitokin yang diperlukan untuk perkembangan sel lain seperti CD8+, sel B, makrofag dan sel NK. Sel T CD4+ menghasilkan IFN-γ untuk merangsang makrofag yang kemudian menghasilkan TNF-α yang bersifat sitotoksik. Sitokin IFN-γ juga akan merangsang sel NK untuk melisiskan tumor. Selain itu sel T CD4+ juga akan menghasilkan IL-2 untuk merangsang pertumbuhan sel T CD8+ yang merupakan efektor dalam mengeliminasi tumor. Sitokin TNF-α dan IFN-γ juga mampu untuk meningkatkan ekspresi molekul MHC-I dan sensitifitas tumor terhadap lisis sel T sitotoksik (Baratawidjaja & Rengganis 2009a; Kresno 2008; Mapara & Sykes 2004). Sel T CD8+ naïf yang keluar dari timus disebut juga sel T sitotoksik. Sel T sitotoksik mengenal antigen melalui kompleks antigen MHC-I yang dipresentasikan APC. Sel T sitotoksik menimbulkan sitolisi melalui perforin/granzim, FasL/Fas (apoptosis), TNF-α dan memacu produksi sitokin sel Th. Pada beberapa percobaan terbukti bahwa sel T sitotoksik menghasilkan respon imun anti-tumor yang efektor in vitro. Slovin et al. (1990) membuktikan bahwa suatu klon limfosit penderita sarcoma mampu melisiskan sel-sel segar sarcoma dan selanjutnya klon limfosit yang sama mampu melisiskan cell line yang berasal dari sarcoma bersangkutan secara konsisten. Pada banyak penelitian menunjukkan bahwa pada kanker yang mengekspresikan antigen unik dapat memacu sel T sitotoksik spesifik yang dapat menghancurkan tumor. Sel T sitotoksik biasanya mengenal peptide asal TSA yang diikat MHC I. Limfosit T yang menginfiltrasi ke jaringan tumor juga mengandung sel T sitotoksik yang memiliki kemampuan melisiskan tumor. Sel T sitotoksik tidak selalu efisien, disamping respon sel T sitotoksik tidak selalu terjadi pada tumor. Namun demikian peningkatan respon sel T sitotoksik dapat merupakan cara pendekatan Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 44 terapi yang menjanjikan di masa yang akan datang (Abbas et al. 2000; Kresno 2008). Sel NK Sel NK adalah limfosit sitotoksik yang mengenal sel sasaran yang tidak antigen spesifik dan juga tidak tergantung pada MHC. Diduga bahwa fungsi terpenting sel NK adalah antitumor. Sel NK mengekspresikan reseptor Fc yang dapat mengikat sel tumor yang dilapisi antibodi dan dapat membunuh sel sasaran melalui antibody dependent cell (mediated) cytotoxicity (ADCC) dan melalui pelepasan protease, perforin, dan granzim. Kemampuan sel NK membunuh sel tumor ditingkatkan oleh sitokin seperti IFN, TNF, IL-2 dan IL-12. Karena itu peran sel NK dalam aktifitas anti-tumor bergantung pada rangsangan yang terjadi bersamaan antara sel T dan makrofag yang memproduksi sitokin tersebut. IFN (α,β,γ) mengubah pre-NK menjadi sel NK yang mampu mengenali dan melisiskan sel tumor. Sel NK mungkin berperan terhadap tumor yang sedang tumbuh, khususnya tumor yang mengekspresikan antigen virus (Abbas et al. 2000). Sel NK juga berperan dalam mencegah metastasis dengan mengeliminasi sel tumor yang terdapat dalam sirkulasi. Hal ini dibuktikan dengan berbagai penelitian (Kresno 2009). Makrofag Makrofag memiliki enzim dengan fungsi sitotoksik dan melepas mediator oksidatif seperti superoksid dan oksida nitrit. Makrofag juga melepas TNF-α yang mengawali apoptosis. Diduga makrofag mengenal sel tumor melalui reseptor IgG yang dapat mengikat antigen tumor. Makrofag dapat memakan dan mencerna sel tumor dan mempresentasikannya ke sel CD4+ melalui MHC-II dan ke sel CD8+ melalui MHC-I. Jadi makrofag dapat berfungsi sebagai inisiator dan efektor imun terhadap tumor. Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/ 45 2.4.2. Imunitas Humoral Meskipun imunitas selular pada tumor lebih banyak berperan dibanding imunitas humoral tetapi tubuh membentuk juga antibodi terhadap antigen tumor. Antibodi tersebut ternyata dapat menghancurkan sel tumor secara langsung atau dengan bantuan komplemen atau dengan efektor ADCC. Sel efektor ADCC memiliki reseptor Fc misalnya sel NK dan makrofag (opsonisasi) atau dengan jalan mencegah adesi sel tumor. Pada penderita tumor sering ditemukan komplek imun, namun pada kebanyakan tumor sifatnya masih belum jelas. Antibodi diduga lebih berperan pada sel yang bebas (leukemia, metastasis tumor) dibanding tumor padat. Hal tersebut mungkin disebabkan karena antibodi membentuk komplek imun yang mencegah sitotoksisitas sel T. pada umumnya desktruksi sel tumor lebih efisien bila sel tumor ada dalam suspensi. Adanya destruksi tumor sulit dibuktikan pada tumor yang padat (Baratawidjaja & Rengganis 2009a; Kresno 2008). Walaupun diyakini sistim imun dapat memberikan respon terhadap pertumbuhan kanker, pada kenyataannya banyak kanker yang tetap bisa tumbuh karena immune surveillance terhadap kanker ini relatif tidak efektif. Hal ini dipengaruhi berbagai faktor yaitu komponen sistem imun, mekanisme efektor sistem imun dan imunogenitas tumor. Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/