(butiran) padat yang tersementasi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang
tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan–bahan organik
yang telah melapuk disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang–ruang
kosong diantara partikel–partikel padat tersebut (Das, 1988). Menurut Sutanto
(2005), secara ideal, 50% dari tubuh tanah berupa fase padat. Data tanah
digunakan dalam penyusunan managemen lahan serta monitoring lingkungan. Hal
ini dikarenakan tanah tidak hanya berpengaruh pada ketahanan pangan dan air,
namun juga berpengaruh terhadap pembangunan infrastruktur dan kepekaan
terhadap perubahan lingkungan.
Ukuran butir tanah, terutama fraksi lempung pada tanah dipilih sebagai
kajian utama dari penelitian ini. Fraksi lempung pada tanah merupakan fraksi
yang paling kecil dengan diameter kurang dari 2 mikron. Lempung memiliki sifat
plastisitas, kohesi, serta potensi kembang kerut yang tinggi dan merupakan
beberapa karakteristik yang penting dalam tanah, walaupun memiliki komposisi
yang kecil dibandingkan dengan keseluruhan komposisi dalam tanah (Al Saheya,
2001 dalam Darmawan, 2006). Tanah lempung sangat keras dalam keadaan
kering dan bersifat plastis pada kadar air sedang. Pada kadar air lebih tinggi
lempung bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak. Persentase fraksi lempung
dapat diketahui melalui pengujian secara kimia di laboratorium
Pengukuran lapangan maupun analisis laboratorium memiliki kelemahan
dalam menyediakan kenampakan menyeluruh dari suatu permukaan bumi dan
hubungan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu cara untuk
mengatasi hal tersebut, salah satunya adalah dengan memanfaatkan teknik
penginderaan jauh. Jenis data penginderaan jauh yaitu citra. Citra adalah
gambaran rekaman suatu suatu objek atau biasanya berupa gambaran objek pada
foto. Sutanto (1986) menyebutkan bahwa terdapat beberapa alasan yang
melandasi peningkatan penggunaan citra penginderaan jauh, yaitu (1) Citra
menggambarkan objek, daerah, dan gejala dipermukaan bumi dengan wujud dan
1
letaknya yang mirip dengan dipermukaan bumi,(2) Citra menggambarkan objek,
daerah, dan gejala yang relatif lengkap, meliputi daerah yang luas dan permanen,
(3) Dari jenis citra tertentu dapat ditimbulkan gambaran tiga dimensi apabila
pengamatannya dilakukan dengan stereoskop (4) Citra dapat dibuat secara cepat
meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi secara terrestrial.
Sistem penginderaan jauh itu sendiri bekerja pada dua domain, yaitu
domain elektromagnetik dan domain ruang (Danoedoro, 2012). Domain
elektromagnetik berkaitan dengan nilai radiasi yang dipantulkan, diarbsorbsi,
maupun diemisikan oleh suatu material, yang nantinya akan ditangkap oleh sensor
penginderaan jauh. Dalam domain ruang, satelit merekam pantulan dari suatu area
IFOV (Instantaneous Field of View) yang berbentuk lingkaran. Nilai yang
terekam merupakan rata-rata dari perbedaan pantulan dalam area tersebut,
kemudian dikonversikan dalam bentuk nilai piksel. Setiap piksel pada citra
memiliki asosiasi pola spektral dengan pola pantulan spektral obyek yang unik
yang diperoleh dari laboratorium atau lapangan (Borengasser et al., 2008).
Susunan
radiasi
elektromagnetik
itu
sendiri
dibagi
dalam
spektrum
elektromagnetik. Obyek akan memberikan respon yang berbeda pada spektrum
yang berbeda pula.
Teknologi penginderaan jauh semakin berkembang pesat, baik dalam
perkembangan penyediaan resolusi spasial maupun resolusi spektral, serta metode
yang dapat mengekstraksi informasi secara otomatis berdasarkan nilai pantulan
yang terekam pada citra. Dalam peningkatan resolusi spektral, dikenal citra
multispektral dan hiperspektral. Data multispektral menggunakan lebih dari dua
saluran sedangkan data hiperspektral merekam informasi spektral pada julat
gelombang yang lebih sempit dan kontinu dengan perbedaan panjang gelombang
kurang dari 5 nm (Wiwieka, 2008). Pada data multispektral, informasi diambil
melalui rata rata dari julat yang panjang, sehingga mengurangi informasi yang
lebih detil.
Ketika memperoleh data penginderaan jauh, pada dasarnya akan
didapatkan informasi nilai pantulan dari energi elektromagnetik. Faktanya,
informasi yang dibutuhkan adalah mengenai identifikasi obyek, kandungan
2
material obyek ataupun susunan obyek secara spasial di permukaan bumi.
Sehingga, sebelum kita mengindentifikasi, kita harus menerjemahkan data
pantulan tersebut menjadi identitas obyek. Secara tradisional, analisis citra
dilakukan dengan interpretasi secara visual berdasarkan kunci interpretasi, namun
saat ini telah banyak berkembang analisis citra berdasarkan pada nilai pantulan
yang terekam.
Sensor hiperspektral dapat menghasilkan pengukuran spektral yang lebih
tajam daripada sensor penginderaan jauh multispektral, sehingga data tersebut
berguna untuk identifikasi dan memodelkan karakteristik suatu ekosistem (Kumar
et al., 2001 dalam Prasad, 2004). Walau begitu, pengolahan data hiperspektral
lebih kompleks daripada data multispektral. Hal ini dikarenakan dimensionalitas
data yang tinggi. Dalam jurnal yang ditulis oleh Manokalis et al (2003) disebutkan
bahwa pemrosesan dengan berdasar pada respon spektral pada suatu obyek lebih
realistis dan terukur daripada berdasarkan bentuk/morfologi dari suatu obyek.
Contohnya, pada aplikasi militer, suatu kendaraan yang tersembunyi diantara
vegetasi, sulit diidentifikasi secara visual sehingga dibutuhkan cara lain untuk
mendeteksi kendaraan tersebut, salah satunya dengan menggunakan respon
spektral dari kendaraan tersebut.
Salah satu citra hiperspektral yang dikembangkan adalah citra Hyperion.
Citra ini bersifat open source yang dapat diunduh dengan gratis. Citra Hyperion
memiliki 242 saluran yang bekerja pada gelombang tampak hingga inframerah
tengah. Respon spektral yang terekam dalam satu piksel pada citra Hyperion
merupakan rata rata dari respon spektral pada beberapa obyek dalam suatu piksel
berukuran 30 m. Respon spektral yang terekam dalam suatu piksel dapat dianalisis
secara numerik, sehingga kita dapat mengevaluasi serta mengetahui pola dari
respon spektral itu sendiri secara kuantitatif.
1.2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
1.2.1. Rumusan Masalah
Setiap obyek di permukaan bumi akan memberikan nilai pantulan yang
berbeda, serta membentuk pola pantulan yang unik pada beberapa panjang
3
gelombang. Semakin sempit julat gelombang yang dapat direkam oleh sensor,
maka akan semakin detil informasi spektral serta pola spektral yang terekam.
Citra Hyperion dapat merekam nilai pantulan dari suatu obyek dalam julat
gelombang yang sempit (10 nm). Informasi spektral yang tinggi ini dapat
digunakan untuk mengidentifikasi respon spektral tanah secara lebih detil. Nilai
pantulan itu sendiri bergantung pada karakteristik material dari obyek. Pada obyek
tanah, nilai spektral akan dipengaruhi oleh material induk penyusun bentuklahan
serta proses geomorfologi yang terjadi. Selain itu, nilai spektral juga dipengaruhi
oleh kondisi atmosfer dan penutup lahan diatasnya. Resolusi spasial citra
Hyperion yang kecil (30 m) akan berpengaruh terhadap rata-rata nilai pantulan
tanah yang ditangkap oleh sensor karena kemungkinan akan bercampur dengan
pantulan dari obyek lain atu disebut juga mixed pixel. Disisi lain, pengolahan citra
hiperspektral lebih kompleks daripada citra multispektral. Hal ini disebabkan oleh
dimensionalitas data yang besar.
Dalam data hiperspektral juga terdapat korelasi yang tinggi antara
beberapa saluran spektral, sehingga dibutuhkan suatu metode untuk menyeleksi
saluran spektral secara optimal, dan pada saat yang sama dapat memperjelas
respon spektral untuk diskriminasi suatu material, dalam hal ini kandungan fraksi
lempung dalam tanah.
1.2.2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut, muncul pertanyaan penelitian:
1. Bagaimanakah respon spektral tanah pada kondisi bentuklahan dan
kandungan fraksi lempung yang berbeda berdasarkan informasi spektral
pada citra Hyperion di sebagian wilayah DI Yogyakarta?
2. Bagaimanakan hubungan antara kandungan fraksi lempung pada tanah
dengan nilai pantulan yang terekam pada citra Hyperion?
3. Seberapa akurat citra Hyperion digunakan untuk pemetaan persentase
fraksi lempung?
4
1.3.Tujuan
1. Untuk mengetahui respon spektral tanah pada kondisi bentuklahan dan
kandungan fraksi lempung yang berbeda berdasarkan informasi spektral
pada citra Hyperion di sebagian wilayah DI Yogyakarta.
2. Untuk menganalisa hubungan antara kandungan fraksi lempung pada tanah
dengan nilai pantulan yang terekam pada citra Hyperion.
3. Mengetahui kemampuan (dalam hal ini akurasi) pemetaan sebaran
kandungan fraksi lempung berdasarkan citra Hyperion.
1.4.Manfaat Penelitian
1. Membangun respon spektral tanah berdasarkan perbedaan bentuklahan
dan kandungan fraksi lempung berdasarkan informasi spektral pada citra
Hyperion.
2. Mengetahui hubungan antara kandungan fraksi lempung pada tanah
dengan nilai pantulan yang terekam pada citra Hyperion
3. Mengetahui sebaran kandungan fraksi lempung berdasarkan citra
Hyperion
1.5.Hasil yang Diharapkan
1. Respon spektral tanah dengan kandungan fraksi lempung yang berbeda
pada beberapa bentuklahan yang terekam pada citra Hyperion di sebagian
wilayah DI Yogyakarta
2. Analisa hubungan antara kandungan fraksi lempung pada tanah dengan
nilai pantulan yang terekam pada citra.
3. Peta sebaran persentase kandungan fraksi lempung berdasarkan citra
Hyperion
5
Download