Untitled - Badan Kebijakan Fiskal

advertisement
BADANKE
BI
J
AKANF
I
S
KAL
KE
ME
NT
E
RI
ANKE
UANGANRI
TI
NJ
AUAN
EKONOMI
,
KEUANGAN,&F
I
S
KAL
S
i
ner
g
iRef
or
mas
iunt
ukMendor
ongPer
t
umbuhanEk
onomi
EDI
S
IV/DES
EMBER2016
EDISI V / Desember 2016
Foto Sampul : Kegiatan Kemenkeu Mengajar di SD Negeri Pisangan
Timur 10 Pagi Rawamangun
Tinjauan Kebijakan Fiskal diterbitkan oleh Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian
Keuangan, dengan periode publikasi dwi-bulanan dan memuat mengenai
perkembangan kebijakan ekonomi, fiskal, dan keuangan terkini.
Diterbitkan oleh: Badan Kebijakan Fiskal.
Pengarah: Kepala Badan Kebijakan Fiskal.
Penanggung Jawab: Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro.
Editor: Yoopi A, Noeroso L. Wahyudi, Syaifullah, Nasruddin D, Wahyu U, Thomas N, Suharto H, Ferry I, Syahrir Ika, Hidayat Amir.
Redaktur Pelaksana: Dalyono.
Dewan Redaksi: Taufan Pamungkas, Immanuel B, Indra Budi, Abdul Aziz, Fathul Kamil, Yusuf Munandar, Dwi Anggi Novianti
Desain Grafis Bramantiyo, Rizki Saputri, Johan Zulkarnain, Bagus Handoko.
Foto Sampul: Masyitha Mutiara Ramadhan
Sekretariat: Puguh, Fajar, Innes Clara, Dhoni, Adi Triyono.
Alamat Redaksi: Gedung R.M. Notohamiprodjo, Jalan Dr. Wahidin Raya Nomor 1 Jakarta 10710.
www.fiskal.kemenkeu.go.id
2
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Tinjauan
EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL
Edisi V / Desember 2016
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
3
VISI
4
“Menjadi unit terpercaya
dalam perumusan kebijakan fiskal
dan sektor keuangan yang antisipatif
dan responsif untuk mewujudkan
masyarakat Indonesia sejahtera”.
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
KATA PENGANTAR
Perkembangan ekonomi global masih mengalami perlambatan. Pada 2016, ekonomi global
diproyeksikan tumbuh sebesar 3,1 persen, menurun jika dibandingkan dengan pertumbuhan
tahun 2015 sebesar 3,2 persen. Dalam kondisi tersebut, ekonomi Indonesia masih tumbuh
mencapai 5,02 persen pada triwulan ketiga 2016. Secara keseluruhan, ekonomi Indonesia
diperkirakan akan mencapai 5,0 persen pada tahun 2016.
Sebagai upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan tersebut, pemerintah dan otoritas
terkait terus melanjutkan reformasi yang menyeluruh dan sinergis guna menghadapi
tantangan global dimaksud, sehingga kinerja perekonomian domestik tetap optimis.
Reformasi tersebut meliputi reformasi struktural dan fiskal yang didukung oleh kebijakan
moneter yang lebih akomodatif.
Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal Edisi V Tahun 2016 mengambil tajuk Sinergi
Reformasi untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi untuk mengulas sinergi reformasi
kebijakan yang dilakukan pemerintah dan otoritas terkait, baik di sisi fiskal, sektor riil, dan
moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkualitas dan
berkesinambungan.
Tinjauan ini merupakan terbitan dwi-bulanan yang menyajikan data-data dan informasi terkini
mengenai ekonomi makro dan kebijakan fiskal. Diharapkan, materi yang terangkum dalam
Tinjauan ini dapat menjadi referensi bagi para pemangku kepentingan dan masyarakat luas
dalam memahami kondisi ekonomi dan kebijakan fiskal terkini. Dengan pemahaman tersebut,
para pemangku kepentingan dan masyarakat dapat memberikan quality control terhadap
kebijakan yang disusun pemerintah. Hal ini sejalan dengan visi Badan Kebijakan Fiskal sebagai
unit perumus kebijakan fiskal yang terpercaya, antisipatif, dan responsif.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Indonesia-Australia Government Partnership
Fund yang telah mendukung kelancaran terbitnya Tinjauan ini. Kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangat kami butuhkan untuk perbaikan ke depan.
Selamat membaca.
Desember 2016
Suahasil Nazara
Kepala Badan Kebijakan Fiskal
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
5
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
5
Daftar Isi
6
Abreviasi
7
Ringkasan Eksekutif
8
Executive Summary
10
Bagian I: Tinjauan Perkembangan Ekonomi Makro
13
A. Perekonomian Global Masih Cenderung Melambat
14
B. Ekonomi Tetap Tumbuh Relatif Kuat Didorong oleh Permintaan Domestik yang Sehat 18
C. Perkembangan Suku Bunga, Inflasi, Nilai Tukar dan Keseimbangan Eksternal
21
D. Kredit Perbankan Nasional Masih Mengalami Perlambatan
26
E. Hingga Akhir November, IHSG Masih Bertahan di atas Angka 5000
28
Bagian II: Analisis Kinerja APBN Hingga Oktober 2016 dan APBN 2017 31
Sinergi Reformasi untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi
32
Kinerja APBN Sampai Dengan Oktober 2016
33
APBN 2017: Realistis, Kredibel, dan Berkelanjutan
39
Lampiran Data Ekonomi Makro dan APBN
49
A. Data Perkembangan Indikator Ekonomi Makro s.d. Oktober 2016
50
B. Data Penyerapan APBN Tahun 2014-2015
51
C. Data Penyerapan APBN Hingga Oktober 2016
52
6
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
ABREVIASI
7DRR
APBN
:
:
(suku bunga) 7-Day Reverse Repo
LNPRT
:
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Perubahan
LPG
mom
mtd
:
:
:
:
Lembaga Non-Profit yang
Melayani Rumah Tangga
Liquefied Petroleum Gas
month on month
month to date
APBNP
:
AS
:
Amerika Serikat
NPL
BBM
BLU
BOPO
:
Bahan Bakar Minyak
Badan Layanan Umum
Beban Operasional
terhadap Pendapatan
Operasional
Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial
basis points
Badan Pusat Statistik
British Exit
Capital Adequacy Ratio
conditional cash transfer
Crude Palm Oil
NPWP
OPEC
:
PBDT
PDB
PIP
PKH
PMA
PMDN
PMTB
PNBP
PPh
PPN
Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Umum
RAPBN
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Dana Bagi Hasil
Rastra
:
Beras Sejahtera
Dana Pihak Ketiga
ROA
:
Return on Asset
RPJMN
:
Rencana Pembangunan Jangka
:
:
BPJS
:
bps
BPS
Brexit
CAR
CCT
CPO
:
:
:
:
:
:
:
DAK
DAU
DBH
:
:
DPK
:
DPR
:
Dewan Perwakilan Rakyat
ICP
:
Indonesian Crude Price
IHSG
:
Indeks Harga Saham Gabungan
IMF
:
K/L
:
Kemen ESDM
:
Kemenhan
:
Kemenhub
Kemenpupera
:
kg
KKP
:
:
KUR
LDR
:
:
:
:
Non Performing Loan
Nomor Pokok Wajib Pajak
Organization of the Petroleum
Exporting Countries
Pemutakhiran Basis Data Terpadu
Produk Domestik Bruto
Program Indonesia Pintar
Program Keluarga Harapan
Penanaman Modal Asing
Penanaman Modal Dalam Negeri
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Penerimaan Negara Bukan Pajak
Pajak Penghasilan
Pajak Pertambahan Nilai
Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara
Menengah Nasional
SBN
:
Surat Berharga Negara
SDA
:
Sumber Daya Alam
Kementerian/Lembaga
SILPA
:
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran
Kementerian Energi dan Sumber
SPN
:
Surat Perbendaharaan Negara
Daya Mineral
Susenas
Survei Sosial Ekonomi Nasional
Kementerian Pertahanan
TNP2K
:
:
Kementerian Perhubungan
Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat
kilogram
Kementerian Kelautan dan
Perikanan
Kredit Usaha Rakyat
Loan to Deposit Ratio
UMKM
UU
VA
WEO
WTI
yoy
ytd
:
:
:
:
:
:
:
International Monetary Fund
Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Undang-Undang
Volt-ampere
World Economic Outlook
West Texas Intermediate
year on year
year to date
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
7
RINGKASAN EKSEKUTIF
Perekonomian global tahun 2016 diproyeksikan akan tumbuh melambat sebesar 3,1 persen,
menurun jika dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2015 sebesar 3,2 persen. Berdasarkan
proyek IMF dalam WEO Edisi Oktober 2016, pertumbuhan ekonomi negara maju tahun 2016
direvisi menurun sebesar 0,2 percentage point dari proyeksi pada Juli 2016, yakni dari 1,8
persen menjadi 1,6 persen. Sementara itu, proyeksi pertumbuhan negara berkembang
diperkirakan naik sebesar 0,1 percentage point yakni dari 4,1 persen menjadi 4,2 persen.
Koreksi atas proyeksi ekonomi negara maju merefleksikan adanya potensi dampak lanjutan
dari peristiwa Brexit serta pengaruh perkembangan politik AS yang masih dibayangi
ketidakpastian dan potensi kenaikan suku bunga acuan AS. Sementara itu, perbaikan proyeksi
di negara berkembang didorong oleh cenderung positifnya sentimen pasar keuangan seiring
dengan ekspektasi suku bunga rendah di kawasan negara maju, serta kenaikan harga
komoditas meskipun masih pada taraf terbatas.
Di sisi domestik, perekonomian Indonesia pada triwulan ketiga tahun 2016 tumbuh 5,02 persen
(yoy), melambat dibanding pertumbuhan triwulan sebelumnya yang sebesar 5,19 persen. Meski
demikian, tingkat pertumbuhan triwulan ketiga ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
triwulan yang sama tahun 2015. Terjaganya pertumbuhan ini ditopang oleh permintaan
domestik yang stabil di tengah kinerja ekspor dan impor yang masih mengalami pertumbuhan
negatif. Sektor industri yang tumbuh stabil dan sektor pertambangan yang tumbuh positif
turut mendorong pertumbuhan di triwulan ketiga 2016.
Stabilitas perekonomian masih tetap terkendali. Inflasi berada di tingkat yang rendah dan stabil,
diperkirakan mendekati batas bawah target inflasi 2016 yakni 4±1 persen. Defisit neraca
transaksi berjalan juga semakin rendah di mana pada triwulan ketiga 2016 berada di bawah 2
persen dari PDB. Fundamental ekonomi yang baik dan stabilitas perekonomian yang terkendali
pada gilirannya mendukung nilai tukar rupiah tetap stabil dan berdaya saing. Kondisi ini juga
mendorong upaya perbaikan iklim investasi sehingga pada triwulan ketiga 2016, investasi
langsung meningkat sebesar 11 persen.
Kinerja sektor jasa keuangan masih baik dengan tingkat risiko yang relatif terkendali. Di
industri perbankan, rasio CAR masih sangat memadai untuk memitigasi risiko, sedangkan NPL
berada pada tingkat yang rendah dengan tingkat kecukupan pencadangan yang tinggi.
Sementara itu, pasar saham domestik, IHSG relatif stabil.
Perkembangan ekonomi domestik yang positif perlu terus diperkuat di tengah kondisi
pemulihan perekonomian global yang masih rentan dan diliputi ketidakpastian. Pemerintah,
Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan akan terus memperkuat sinergi dan koordinasi
guna memastikan kesinambungan pemulihan perekonomian nasional. Pemantauan terhadap
perkembangan ekonomi domestik dan global serta berbagai risiko yang dapat mengemuka
8
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
akan terus dilakukan secara intensif. Sinergi kebijakan akan dilakukan secara kuat sehingga
berbagai langkah yang ditempuh menjadi kesatuan yang terintegrasi dan mendukung upaya
memperkuat ketahanan ekonomi.
Keberlanjutan fiskal relatif terjaga, walaupun masih menghadapi tantangan. Kinerja APBN
sampai dengan Oktober 2016 menunjukan perbaikan. Hal ini tidak lepas dari penerapan
kebijakan efisiensi anggaran yang telah dilakukan sejak pertengahan tahun 2016. Esensi
kebijakan tersebut adalah untuk mendorong optimalisasi pendapatan, penguatan kualitas
belanja dan upaya mitigasi risiko serta menjaga keberlanjutan fiskal jangka menengah.
Kebijakan ini menjadikan APBN 2016 lebih kredibel dan realistis.
Hingga Oktober 2016, pendapatan negara mencapai sebesar Rp1.186,8 triliun (66,4 persen
terhadap APBNP), meliputi penerimaan perpajakan sebesar Rp986,6 triliun (64,1 persen) dan
PNBP mencapai Rp198,7 trilun (81,1 persen). Sementara itu, realisasi belanja negara hingga
Oktober 2016 mencapai Rp1.455,1 triliun (69,9 persen), yang meliputi Belanja Pemerintah
Pusat mencapai Rp857,5 triliun (65,6 persen) serta Transfer ke Daerah dan Dana Desa
mencapai Rp597,6 triliun (77,0 persen). Defisit anggaran tercatat sebesar Rp268,3 triliun (2,14
persen terhadap PDB) atau lebih rendah dibanding periode yang sama tahun 2015 sebesar
Rp283,5 triliun (2,5 persen terhadap PDB).
Program Amnesti Pajak diharapkan dapat memperkecil kekurangan pendapatan negara. Pada
periode pertama, penerimaan perpajakan yang diperoleh dari program pengampunan pajak
mencapai sekitar Rp97 triliun. Jumlah tersebut diharapkan akan terus meningkat secara
signifikan selama pelaksanaan program dimaksud hingga akhir Maret 2017. Dalam upaya ini,
pemerintah secara konsisten terus melakukan diseminasi dan sosialisasi kepada seluruh
lapisan masyarakat, termasuk kepada asosiasi profesi, untuk mendorong partisipasi
masyarakat dalam menyukseskan progam dimaksud.
APBN 2017 disusun sebagai kebijakan fiskal yang ekspansif dengan menjaga prinsip kehatihatian. Target pendapatan dihitung dengan dasar perhitungan yang lebih realistis setelah
dilakukan penurunan target serta konsolidasi belanja di dalam APBNP 2016. Strategi kebijakan
fiskal diarahkan untuk mendorong agar pengelolaan fiskal lebih realistis, kredibel dan
berkelanjutan, baik dalam jangka pendek dan jangka menengah.
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
9
EXECUTIVE SUMMARY
Global economic growth is projected to continue slowing from 3.2 percent in 2015 to 3.1
percent in 2016. According to IMF, the advanced economies growth projection has been
revised down by 0.2 percentage point from 1.8 percent to 1.6 percent. The downgrade of
advanced economies growth projection reflects the risk coming from the impact of Brexit and
the uncertainty of the United States political development. While the growth projection of
emerging economies has been improving by 0.1 percentage point from 4.1 percent to 4.2
percent, supported by low interest rate expectation in the advanced economies and a little
improvement of commodity prices.
Indonesia economic growth in the third quarter 2016 was 5.02 percent (yoy), or slower
compared to the previous quarter of 5.19 percent. Nevertheless, the growth was higher than
the same quarter in 2015. The robust growth was supported by stable domestic demand in
the midst of contracting export and import. The stable manufacturing sector and positive
growth of mining sector also contributed in lifting growth in the third quarter 2016.
Economic stability remains preserved. Inflation is still under control and is expected to be at
the bottom range of 2016 target of 4±1 percent. The current account deficit is also narrower
to be below 2 percent of Gross Domestic Product in the third quarter 2016. Healthy economic
fundamental has supported the stability of Rupiah as well as buttressed investment climate
improvement. In the third quarter 2016 direct investment increased by 11 percent.
Financial service sector performance is still buoyant with relatively manageable risk level.
Credit Adequacy Ratio remains sufficient to mitigate risk and Non Performing Loan level is still
low. Moreover, capital market performance is robust highlighted by stable Jakarta Composite
Index movement.
Positive development of economic domestic needs to be strengthened in the midst of global
economic recovery that is still vulnerable and full of uncertainty. The government, Bank
Indonesia and Otoritas Jasa Keuangan will continue to extend synergy and coordination to
ensure sustainability of economy will be achieved. Synergy of policy will be strongly carried
out to support economic resilience. Moreover, surveillance of global and domestic economy
will be intensified.
The fiscal sustainability is retained despite challenges ahead. The state budget realization until
October 2016 has shown some improvements. This has been the result of budget efficiency
implemented since mid 2016. The objectives of efficiency policy are to support the
optimization of revenue, to strengthen quality of spending as well as to maintain fiscal
sustainability in medium term. The efficiency policy has helped in shaping a more credible and
realistic 2016’s State Budget.
Until October 2016, the State Revenue collected was Rp1,186.8 trillion (66.4 percent of
Revised Budget), consisted of Tax Revenue of Rp986.6 trillion (64.1 percent) and Non Tax
Revenue of Rp198.7 trillion (81.1 percent). The State Expenditure disbursed until October
10
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
2016 reached Rp1,455.1 trillion (69.9 percent), comprised of Central Government Expenditure
of Rp857.5 trillion (65.6 percent) and Transfer to Region and Village Fund of Rp597.6 triliun
(77.0 percent). Budget deficit recorded of Rp268.3 trillion (2.14 percent of Growth Domestic
Product) or lower than October 2015 budget deficit of Rp283.5 trillion (2.5 percent of Growth
Domestic Product).
Tax Amnesty program is expected to help narrowing shortfall of State Revenue. During the first
period redemption fee collected from Tax Amnesty program amounted Rp97 trillion. The
amount is predicted to rise until the end of March 2017 when the program is ended. The
government has been consistently disseminating this program to taxpayers including to
professional association to increase the participation of this program.
The 2017 State Budget was formulated as an expansive yet prudent fiscal policy instrument. The
revenue target was calculated based on a more realistic basis after the government adjusting
revenue target and consolidating expenditure in the 2016 Revised Budget. Fiscal policy
strategy is directed towards a more realistic, credible, and sustainable fiscal management in
both short and medium terms.
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
11
12
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
BAGIAN I TINJAUAN
PERKEMBANGAN
EKONOMI MAKRO
Beberapa indikator ekonomi global seperti perdagangan
dan harga komoditas berangsur membaik. Namun
pertumbuhan ekonomi global di tahun 2016 diperkirakan
masih cenderung melambat dibandingkan tahun 2015.
Di sisi domestik, ekonomi relatif terjaga dengan
pertumbuhan 5,02 persen (yoy) di triwulan ketiga 2016.
Beberapa indikator ekonomi lainnya seperti inflasi, nilai
tukar, neraca pembayaran dan perdagangan, serta
perbankan dan pasar modal juga relatif terjaga.
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
13
A. Perekonomian Global Masih Cenderung Melambat
Grafik 1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global dan Realisasi Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara
(dalam persen, yoy)
4,2
4
2015
2016
3,8
2014
2017
3,6
3,4
3,4
3,4
3,2
3,2
3,1
Jul-16
Okt-16
Apr-16
Jan-16
Okt-16
Jul-15
Apr-15
Jan-15
Jul-14
Okt-14
Jan-14
Apr-14
3
8
7
6
5
4
3
2
1
0
-1
-2
AS
Zona Euro
Jepang
Tiongkok
2015 Q1
2015 Q2
2015 Q3
2015 Q4
2016 Q1
2016 Q2
Sumber: WEO IMF
Pertumbuhan ekonomi global hingga November 2016 diperkirakan masih akan mengalami
perlambatan. Dalam WEO Oktober 2016, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global
tahun 2016 masih berada pada tingkat yang sama seperti posisi Juli 2016, yakni tumbuh
melambat sebesar 3,1 persen dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2015 sebesar 3,2
persen. Meskipun proyeksi pertumbuhan global tidak berubah, terdapat revisi atas proyeksi
pertumbuhan ekonomi untuk masing-masing negara maju dan negara berkembang. Proyeksi
pertumbuhan negara maju tahun 2016 direvisi menurun sebesar 0,2 percentage points, yakni
dari 1,8 persen pada Juli menjadi 1,6 persen pada Oktober. Sementara itu, proyeksi
pertumbuhan negara berkembang diperkirakan naik sebesar 0,1 percentage point yakni dari
4,1 persen menjadi 4,2 persen.
Koreksi atas proyeksi ekonomi negara maju merefleksikan adanya potensi dampak lanjutan
dari peristiwa Brexit serta pengaruh perkembangan politik AS yang masih dibayangi
ketidakpastian dan potensi kenaikan suku bunga acuan AS. Sementara itu, perbaikan proyeksi
di negara berkembang didorong oleh cenderung positifnya sentimen pasar keuangan seiring
dengan ekspektasi suku bunga rendah di kawasan negara maju, serta kenaikan harga
komoditas meskipun masih pada taraf terbatas. Proyeksi pertumbuhan ekonomi di beberapa
negara berkembang besar, terutama Brazil dan Rusia, juga menunjukkan sinyalemen
perbaikan.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi AS terkoreksi cukup dalam, yakni dari 2,2 persen pada Juli 2016,
menjadi 1,6 persen pada Oktober 2016. Momentum pemilihan presiden yang diwarnai isu
proteksionisme perdagangan dan anti-imigran, cukup signifikan mempengaruhi koreksi atas
proyeksi pertumbuhan ekonomi AS. Selain itu, kinerja investasi AS yang masih belum kuat juga
berkontribusi dalam penurunan proyeksi pertumbuhannya.
14
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Efek jangka pendek dari terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden AS dapat dilihat dari
indikator-indikator di pasar keuangan dan pasar modal. Nilai tukar di Eropa dan beberapa
negara di Asia mencatatkan depresiasi pasca pemilihan presiden AS. Begitu pula dengan
indeks saham di negara-negara tersebut yang mengalami koreksi. Sementara itu nilai tukar
dan indeks saham AS tercatat melonjak, yang mencerminkan fenomena risk averse di mana
para investor lebih memilih berinvestasi pada aset safe haven, mempertimbangkan ekonomi
negara berkembang yang berpotensi melemah dengan kemungkinan kebijakan
proteksionisme perdagangan AS. Namun, pergerakan tersebut sifatnya hanya temporer. Ke
depan, perlu untuk diwaspadai efek jangka menengah dan panjang yang akan bergantung
pada langkah kebijakan yang akan diambil oleh pemerintahan baru AS.
Realisasi pertumbuhan ekonomi AS pada triwulan ketiga 2016 adalah sebesar 1,5 persen (yoy),
menguat dari triwulan sebelumnya yang sebesar 1,3 persen (yoy). Membaiknya pertumbuhan
ekonomi AS pada triwulan ketiga ini didukung oleh kuatnya ekspor dan peningkatan
persediaan. Meskipun pertumbuhan ekonomi AS pada triwulan ketiga tersebut mengalami
kenaikan, namun realisasi pertumbuhan di semester pertama yang lebih rendah dari perkiraan
membuat proyeksi pertumbuhan AS untuk keseluruhan tahun 2016 hanya sebesar 1,6 persen
(yoy), lebih rendah dari pencapaian tahun 2015 sebesar 2,6 persen (yoy). Untuk tahun 2017,
pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan membaik pada tingkat 1,8 persen (yoy).
Di Zona Euro, proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2016 direvisi meningkat sebesar 0,1
percentage point yakni dari 1,6 persen pada Juli menjadi 1,7 persen pada Oktober. Namun
demikian, proyeksi tahun 2016 tersebut masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan
ekonomi tahun 2015 yang sebesar 2,0 persen. Hal tersebut menggambarkan adanya risiko
perlambatan pertumbuhan ekonomi yang salah satunya diakibatkan oleh peristiwa Brexit.
Meskipun reaksi pasar keuangan terhadap peristiwa Brexit sudah berangsur membaik, namun
tidak dapat dipungkiri bahwa ketidakpastian di sisi ekonomi, politik, institusi, serta arus
perdagangan antara Inggris dan Uni Eropa yang diprediksi akan mengalami penurunan hingga
jangka menengah, dapat memberikan dampak negatif kepada kondisi makroekonomi di
Eropa, khususnya di negara Inggris. Efek referendum Brexit juga terefleksi pada proyeksi
pertumbuhan ekonomi tahun 2017 di mana Zona Euro diperkirakan tumbuh melambat pada
tingkat 1,5 persen. Dalam jangka menengah, proyeksi pertumbuhan ekonomi di Zona Euro
juga tampak pesimis, di mana pertumbuhan pada tahun 2021 diperkirakan masih di angka 1,5
persen.
Sementara itu, realisasi pertumbuhan ekonomi Zona Euro pada triwulan ketiga 2016 adalah
sebesar 1,6 persen (yoy), tidak berubah dari pertumbuhan ekonomi triwulan sebelumnya
maupun triwulan ketiga 2015. Pertumbuhan ekonomi melambat di beberapa negara terutama
Jerman dan Spanyol, tetapi membaik di Perancis dan Italia.
Pertumbuhan ekonomi Jepang pada 2016 diperkirakan sebesar 0,5 persen, meningkat
dibandingkan proyeksi pada WEO Juli yang sebesar 0,3 persen, namun tetap jika dibandingkan
dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2015. Inflasi rendah yang berkepanjangan serta
lemahnya kegiatan industri manufaktur masih menjadi penghambat utama dalam
pertumbuhan ekonomi Jepang. Untuk triwulan ketiga 2016, ekonomi Jepang tumbuh sebesar
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
15
0,9 persen (yoy), meningkat dari triwulan sebelumnya yang sebesar 0,6 persen (yoy). Tren
apresiasi Yen yang masih terjadi sepanjang tahun 2016 diperkirakan dapat membebani
proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2016, antara lain melalui transmisi penurunan ekspor.
Untuk tahun 2017, ekonomi Jepang diproyeksikan akan membaik dengan pertumbuhan
sebesar 0,6 persen (yoy).
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada tahun 2016 diperkirakan sebesar 6,6 persen,
tetap jika dibandingkan proyeksi pada Juli 2016. Proyeksi tersebut menunjukkan masih
berlanjutnya pergeseran mesin pertumbuhan ekonomi Tiongkok dari berbasis investasi
menjadi berbasis konsumsi. Realisasi pertumbuhan ekonomi untuk triwulan ketiga 2016
adalah sebesar 6,7 persen (yoy), tidak berubah dari triwulan sebelumnya dan masih sejalan
dengan target pertumbuhan ekonomi pemerintah sebesar 6,5 persen-7 persen. Untuk
menghindari pelemahan yang lebih tajam, Pemerintah Tiongkok mencoba memberikan
dukungan kebijakan baik di sisi moneter maupun sisi fiskal. Selain itu, meningkatnya konsumsi
dan mulai beralihnya aktivitas ekonomi dari industri ke jasa, mengindikasikan bahwa proses
transformasi ekonomi Tiongkok berjalan sesuai rencana. Ke depan, hubungan antara AS
dengan Tiongkok seiring dengan terpilihnya presiden baru AS, perlu menjadi perhatian karena
dapat mempengaruhi dinamika global.
Prospek pertumbuhan ekonomi di kawasan negara berkembang terlihat bervariasi di masingmasing wilayah. Negara berkembang di kawasan Asia menunjukkan prospek perbaikan kinerja
ekonomi, sementara negara di kawasan Afrika Sub-Sahara mengalami penurunan yang tajam.
Di sisi harga, perbaikan harga beberapa jenis komoditas, seperti minyak dan logam, telah
memberi sedikit dorongan pada kondisi ekonomi negara pengekspor komoditas. Di sisi
kebijakan, sejumlah negara berkembang tercatat telah melakukan kebijakan moneter longgar,
termasuk Indonesia. Negara berkembang lain yang juga melakukan pelonggaran kebijakan
moneter adalah Malaysia, Rusia, dan Turki.
Sementara itu, perekonomian Brazil dan Rusia yang masih tercatat mengalami resesi,
diperkirakan akan segera mengalami pemulihan. Aktivitas ekonomi di Brazil diproyeksikan
akan membaik seiring dengan kenaikan sebagian harga komoditas serta meredanya risiko
politik. Pada triwulan ketiga 2016, ekonomi Brazil tercatat -3,8 persen (yoy), lebih baik
dibandingkan pertumbuhan triwulan kedua yang sebesar -5,4 persen (yoy). Proyeksi
pertumbuhan ekonomi Brazil untuk tahun 2016 dan 2017 masing-masing adalah -3,3 persen
dan 0,5 persen. Di sisi lain, Rusia yang telah menyesuaikan kondisi ekonominya terhadap
penurunan harga minyak dan sanksi internasional, juga tercatat mulai membaik. Di sisi
finansial, pasar keuangan Rusia mendapatkan stimulasi berupa penambahan capital buffer di
sektor perbankan. Realisasi pertumbuhan ekonomi Rusia untuk triwulan ketiga 2016 adalah
sebesar -0,4 persen (yoy), membaik dari pertumbuhan ekonomi sebelumnya yang sebesar 0,6 persen (yoy). Untuk keseluruhan tahun 2016, ekonomi Rusia diprediksi akan mengalami
kontraksi sebesar 0,8 persen sebelum akhirnya kembali tumbuh positif sebesar 1,1 persen di
tahun 2017.
16
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Boks 1:
Kemudahan Menjalankan Bisnis di Indonesia Meningkat
Indonesia telah mengalami perbaikan yang signifikan dalam hal kemudahan untuk
menjalankan bisnis. Menurut Bank Dunia dalam laporannya, Ease of Doing Business 2017,
Indonesia menempati peringkat 91, naik 15 peringkat dari tahun sebelumnya. Kondisi ini
menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan peningkatan terbaik, bersama
dengan Brunei Darussalam, Kazakhstan, Kenya, dan Belarus. Dari 11 indikator yang menjadi
kriteria utama, terdapat empat indikator yang menjadi penentu perbaikan peringkat
Indonesia yaitu kemudahan untuk memulai usaha, memperoleh kredit, membayar pajak,
serta akses terhadap listrik.
Dihapusnya persyaratan penyerahan modal dasar dan didorongnya penggunaan sistem online
dalam pendirian usaha, mengindikasikan semakin mudahnya mendirikan usaha di Indonesia.
Kebijakan tersebut disampaikan pemerintah melalui paket kebijakan ekonomi XII, di mana
salah satu poin utamanya adalah meringankan syarat dalam pembentukan UMKM. Merujuk
pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar
Perseroan Terbatas, pendirian perseroan terbatas dengan skala UMKM tidak perlu lagi untuk
menyediakan modal dasar sebesar Rp50 juta. Pemerintah juga menyediakan portal online
untuk memesan nama perseroan, yayasan, dan perkumpulan yang dapat diakses oleh publik.
Bunga KUR yang lebih rendah dan penggunaan portal online untuk pengurusan agunan dapat
memberikan kemudahan akses kredit kepada masyarakat. Pada awal tahun 2016, pemerintah
telah menurunkan bunga KUR dari yang sebelumnya 12 persen menjadi 9 persen. Bunga
tersebut kembali dipangkas lebih rendah di tahun 2017 mendatang menjadi sebesar 7
persen. Selain itu, pemerintah juga menyiapkan portal online yang berfungsi dalam
pengurusan jaminan dan agunan yang dapat diakses secara umum. Dengan adanya sistem
ini, pengurusan jaminan atau fidusia akan menjadi lebih cepat dengan biaya yang relatif lebih
rendah.
Pengenalan sistem online semakin memudahkan wajib pajak dalam membayar kewajibannya.
Mulai sejak 1 Juli 2016, para wajib pajak diharuskan untuk membayar pajak melalui sistem
billing atau e-Billing. Sistem ini berfungsi untuk menyederhanakan proses pengisian data
dalam rangka pembayaran pajak termasuk mengurangi terjadinya human error. Sistem ini
juga berfungsi untuk mendukung pelaksanaan cash management yang baik dengan
menyajikan informasi penerimaan negara secara real time yang didukung keandalan
teknologi informasi dalam penerapan Treasury Single Account.
Reformasi struktural dalam bidang energi mampu meningkatkan ketahanan energi nasional.
Pemerintah telah berupaya mendorong pertumbuhan investasi dalam bidang pembangunan
pembangkit listrik dengan target mencapai 35.000 megawatt dalam 5 tahun (2014-2019).
Selain itu, investasi swasta terhadap sektor energi listrik berhasil mendiversifikasi produksi
listrik sehingga mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi, di mana posisi Indonesia
saat ini merupakan net importer minyak sehingga meningkatkan persentase pemanfaatan
energi lain dalam produksi listrik yaitu gas bumi (21 persen), air (7 persen) dan panas bumi
(5 persen).
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
17
B. Ekonomi Tetap Tumbuh Relatif Kuat Didorong oleh Permintaan
Domestik yang Sehat
Perekonomian Indonesia pada triwulan ketiga tahun 2016 tumbuh 5,02 persen (yoy) melambat
dibanding pertumbuhan triwulan sebelumnya yang sebesar 5,19 persen. Meski demikian,
tingkat pertumbuhan triwulan ketiga ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan yang
sama tahun 2015. Terjaganya pertumbuhan ini ditopang oleh permintaan domestik yang stabil
di tengah kinerja ekspor dan impor yang masih mengalami pertumbuhan negatif. Sektor
industri yang tumbuh stabil dan sektor pertambangan yang tumbuh positif, turut mendorong
pertumbuhan di triwulan ketiga 2016.
Tabel 1. Pertumbuhan Sisi Pengeluaran
(dalam persen, yoy)
Komponen Pengeluaran
Konsumsi RT & LNPRT
Konsumsi Pemerintah
PMTB
Ekspor
Impor
PDB
Q1
4,7
2,9
4,6
-0,6
-2,2
4,7
Q2
4,7
2,6
3,9
0,0
-7,0
4,7
S1
4,7
2,7
4,2
-0,3
-0,6
4,7
2015
Q3
5,0
7,1
4,8
-0,6
-5,9
4,7
Q4
5,0
7,3
6,9
-6,4
-8,1
5,0
S2
5,0
7,2
5,9
3,6
7,0
4,9
Y
4,8
5,4
5,1
-2,0
-5,8
4,8
Q1
5,0
3,5
5,6
-3,5
-4,0
4,9
2016
Q2
5,1
6,2
5,1
-2,4
-2,9
5,2
Q3
5,0
-3,0
4,1
-6,0
-3,9
5,0
Sumber: BPS
Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga dan PMTB menjadi penyumbang utama
pertumbuhan pada triwulan ketiga 2016. Konsumsi rumah tangga tumbuh stabil sejalan
dengan adanya perayaan hari besar keagamaan yang diikuti dengan tingkat inflasi yang cukup
rendah, terutama untuk harga-harga kebutuhan pokok. Penguatan konsumsi rumah tangga
terutama terjadi pada komponen makanan dan minuman serta transportasi dan komunikasi.
Selain itu, kenaikan pada penjualan ritel, impor barang konsumsi, dan penjualan mobil juga
menjadi penanda masih stabilnya konsumsi. Sementara itu, pelaksanaan kegiatan organisasi
bantuan kemanusiaan dan olahraga juga turut berkontribusi pada pertumbuhan konsumsi.
Selain sisi konsumsi, investasi juga menunjukkan pertumbuhan yang relatif baik. PMTB mampu
tumbuh cukup tinggi yaitu sebesar 4,1 persen, meskipun masih lebih rendah jika dibandingkan
dengan triwulan yang sama di tahun 2015 yang sebesar 4,8 persen. Pembangunan
infrastruktur yang terus berjalan merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan PMTB,
meskipun sektor bangunan menunjukkan pertumbuhan yang lebih rendah. Selain itu,
pertumbuhan PMTB yang cukup tinggi ini juga didukung oleh pertumbuhan barang modal jenis
peralatan selain mesin dan kendaraan, yang lebih banyak dipenuhi dari dalam negeri
dibandingkan dari impor. Realisasi investasi langsung yang secara total tumbuh 10,7 persen
pada triwulan ketiga 2016, juga menjadi faktor pendukung pertumbuhan PMTB.
Meskipun demikian, pada triwulan ketiga 2016, tiga komponen pengeluaran lainnya mengalami
pertumbuhan negatif yaitu, konsumsi pemerintah, ekspor, dan impor. Konsumsi pemerintah
tumbuh -3,0 persen karena adanya pergeseran realisasi belanja pemerintah yang lebih merata
terutama pada semester pertama 2016. Perubahan pola penyerapan belanja pemerintah
18
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
tahun 2015 yang cenderung lebih tinggi di semester kedua menjadikan tingginya basis
perhitungan realisasi konsumsi pemerintah di triwulan ketiga 2016 (base effect).
Pada sisi lain, ekspor dan impor pada triwulan ketiga 2016 masih terkontraksi yaitu masingmasing tumbuh -6,0 persen dan -3,9 persen. Kondisi ini banyak dipengaruhi oleh kontraksi
pada sisi barang nonmigas yang merupakan kontributor terbesar baik ekspor maupun impor.
Rendahnya harga komoditas dan lemahnya permintaan global masih menjadi faktor yang
mempengaruhi kinerja ekspor dan impor. Meskipun ekspor nonmigas mengalami
pertumbuhan negatif, pertumbuhan ekspor jasa tumbuh positif sebesar 7,9 persen sejalan
dengan peningkatan jumlah kunjungan wisatawan yang tumbuh sebesar 13,6 persen.
Sementara itu, impor jasa mengalami pelemahan, tidak hanya terkait dengan penurunan
jumlah wisatawan nasional yang melakukan perjalanan ke luar negeri tetapi juga karena
penurunan jasa angkutan untuk ekspor dan impor.
Dari sisi produksi, kinerja seluruh sektor pada triwulan ketiga 2016 mampu tumbuh positif,
termasuk sektor pertambangan setelah 8 triwulan berturut-turut mengalami kontraksi. Sektor
industri pengolahan yang merupakan penyumbang terbesar PDB mampu tumbuh stabil.
Sektor jasa yang terkait dengan sistem logistik, seperti sektor transportasi dan pergudangan
serta sektor informasi dan komunikasi tumbuh dengan baik sejalan dengan realisasi
pembangunan infrastruktur dan peningkatan efisiensi logistik nasional.
Pada sektor primer, sektor pertanian melemah hingga mencapai 2,8 persen, lebih rendah
dibanding pertumbuhan triwulan yang sama di tahun sebelumnya. Perlambatan tersebut
terutama disebabkan oleh faktor pola musiman yang memasuki masa tanam, khususnya pada
subsektor tanaman pangan dan tanaman perkebunan, serta dampak fenomena la nina yang
menghambat produktivitas pertanian. Sementara itu, sektor pertambangan mampu kembali
tumbuh positif 0,1 persen dengan didukung oleh pertumbuhan tambang bijih logam yang
didorong oleh peningkatan ekspor konsentrat logam dari Papua. Selain itu, kinerja produksi
pertambangan migas juga mampu tumbuh positif dengan meningkatnya produksi di Blok
Cepu, sementara kinerja pertambangan batubara masih tumbuh negatif akibat harga batubara
yang masih relatif lebih rendah.
Lebih lanjut, sektor industri pengolahan tumbuh relatif stabil di kisaran 4,6 persen, dengan
didukung oleh peningkatan realisasi investasi pada sektor industri, baik PMA dan PMDN.
Dukungan paket-paket kebijakan ekonomi memberikan stimulus positif dalam mendorong
pertumbuhan industri manufaktur di tengah penurunan kinerja ekspor. Kinerja sektor industri
terutama ditopang oleh subsektor industri makanan dan minuman, yang tumbuh sejalan
dengan adanya peningkatan konsumsi domestik dan kunjungan wisatawan mancanegara.
Industri alat angkut juga tumbuh didorong oleh peningkatan produksi mobil. Di sisi lain,
industri tekstil dan produk tekstil mengalami penurunan akibat penurunan daya saing produk
lokal.
Sektor jasa-jasa secara umum memberikan kontribusi lebih tinggi dibanding rata-rata nasional.
Tiga sektor jasa yang memberikan sumbangan pertumbuhan ekonomi nasional terbesar pada
triwulan ketiga 2016 adalah sektor informasi dan komunikasi, sektor jasa keuangan, serta
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
19
sektor transportasi dan pergudangan. Sektor informasi dan komunikasi mencatat
pertumbuhan tertinggi sebesar 9,2 persen didukung oleh peningkatan penggunaan data
internet. Sektor jasa keuangan mampu menjaga momentum pertumbuhan dengan tumbuh
8,8 persen ditopang oleh peningkatan pendapatan dari kredit perbankan dan premi asuransi.
Selain itu, sektor transportasi dan pergudangan juga tumbuh cukup kuat sebesar 8,2 persen
ditopang oleh peningkatan aktivitas logistik di beberapa pelabuhan besar serta pertumbuhan
angkutan jasa transportasi udara yang meningkat seiring dengan adanya penambahan rute
penerbangan dari beberapa maskapai.
Tabel 2. Pertumbuhan PDB Sisi Produksi
(persen, yoy)
2015
Lapangan Usaha
2016
Q1
Q2
S1
Q3
Q4
S2
Y
Q1
Q2
Q3
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
4,0
6,9
5,5
3,3
1,6
2,6
4,0
1,8
3,4
2,8
Pertambangan dan Penggalian
-1,3
-5,2
-3,3
-5,7
-7,9
-6,8
-5,1
-0,8
-0,1
0,1
Industri Pengolahan
4,0
4,1
4,1
4,5
4,4
4,4
4,2
4,6
4,6
4,6
Konstruksi
6,0
5,4
5,7
6,8
8,2
7,5
6,6
7,9
6,2
5,7
Perdagangan Besar dan Eceran;
Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
4,1
1,7
2,9
1,4
2,8
2,1
2,5
4,1
4,1
3,7
Transportasi dan Pergudangan
5,8
5,9
5,9
7,3
7,7
7,5
6,7
7,9
6,9
8,2
Informasi dan Komunikasi
10,1
9,7
9,9
10,7
9,7
10,2 10,1
8,1
9,8
9,2
Jasa Keuangan dan Asuransi
8,6
2,6
5,5
10,4 12,5 11,4
8,5
9,3
13,6
8,8
Jasa-jasa lainnya
5,1
6,5
5,8
5,0
5,9
5,5
5,6
6,0
5,4
4,3
4,7
4,7
4,7
4,7
5,0
4,9
4,8
4,9
5,2
5,0
PDB
Sumber: BPS
Secara spasial, kawasan Maluku-Papua menjadi wilayah yang mampu tumbuh paling tinggi
dibandingkan kawasan lain yaitu tumbuh 13,7 persen pada triwulan ketiga tahun 2016. Dua
kawasan yang berbasis komoditas tambang lainnya menunjukkan pertumbuhan yang lebih
tinggi dari triwulan ketiga tahun 2015 yaitu Kalimantan dan Sumatera. Sementara itu, Jawa
yang merupakan wilayah berbasis industri, tumbuh stabil sejalan dengan pertumbuhan sektor
industri pengolahan. Kawasan Sulawesi dan Bali-Nusa Tenggara tumbuh sedikit lebih rendah
jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.
20
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
C. Perkembangan Inflasi, Suku Bunga, Nilai Tukar, dan Keseimbangan
Eksternal
Inflasi
Inflasi pada bulan November tahun 2016 tercatat sebesar 3,58 persen (yoy), atau masih dalam
rentang sasaran inflasi yang sebesar 4+1 persen. Inflasi tahunan pada periode ini lebih tinggi
dari bulan sebelumnya. Sementara inflasi bulanan tidak berbeda jauh dari rata-rata historis
bulan November dalam 5 tahun terakhir yang sebesar 0,45 persen (mtm). Kontribusi inflasi
terbesar dalam dua bulan terakhir berasal dari kenaikan harga bahan makanan dan
perumahan antara lain disebabkan oleh kemarau basah dan kenaikan harga komoditas energi.
Grafik 2. Komponen Pembentuk Inflasi hingga November 2016
(dalam persen, ytd)
2,59
1,74
1,76
0,62
0,42
0,51
0,33
0,25
0,31
0,35
0,47
0,57
0,70
-0,26
-0,33
-0,66
-0,61
Jan-16
0,71
1,04
0,68
0,63
0,47
0,45
0,17
-0,11
0,40
0,16
0,72
1,06 0,86
2,11
1,97
Feb-16 Mar-16 Apr-16
Inti
1,37
0,89
1,15
-0,46
-0,26
Mei-16
Jun-16
Harga diatur Pemerintah
-0,36
Jul-16
1,57
1,62
1,70
-0,33
-0,21
-0,18
Agu-16
Sep-16
Harga Bergejolak
Okt-16
Nov-16
Umum
Sumber: BPS
Dampak perlambatan ekonomi global ditunjukkan oleh kontribusi kumulatif Inflasi Inti hingga
bulan November 2016 yang merupakan terendah dalam 5 tahun terakhir. Akan tetapi,
peningkatan kontribusi komponen Inti hingga lebih besar dari kontribusi komponen noninti
menunjukkan daya beli masyarakat yang cukup terjaga. Selama bulan Oktober hingga
November, kontribusi inflasi terutama berasal dari kelompok pengeluaran perumahan yang
meliputi upah tukang bukan mandor dan pembantu rumah tangga, serta kontrak dan sewa
rumah. Komponen Inti telah menyumbang inflasi sebesar 1,7 persen sejak awal tahun 2016.
Komponen harga bergejolak mengalami kenaikan kontribusi kumulatif pada bulan November
disebabkan oleh adanya kendala kelembaban udara yang sangat berpengaruh pada komoditas
hortikultura. Kondisi ini berbeda dengan bulan sebelumnya di mana harga sebagian besar
bahan makanan terutama produk peternakan sempat mengalami penurunan akibat dukungan
pasokan yang cukup dan normalnya permintaan masyarakat. Curah hujan yang cukup tinggi
menjadi risiko kenaikan pada harga komoditas hortikultura lokal sepanjang paruh kedua tahun
ini. Sampai dengan bulan November inflasi komponen Volatile Food memberikan sumbangan
inflasi kumulatif sebesar 1,04 persen.
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
21
Sementara itu, kontribusi deflasi komponen Harga Diatur Pemerintah semakin mengecil dengan
adanya kenaikan harga pada komoditas energi. Komoditas energi yang dimaksud adalah tarif
listrik dan bahan bakar rumah tangga. Hal ini antara lain dipicu transmisi pelemahan kurs
melalui penyesuaian tarif listrik dan kenaikan harga LPG 12 kg. Dengan demikian hingga bulan
November, komponen tersebut menyumbang deflasi sebesar 0,18 persen.
Inflasi tahun kalender sampai dengan bulan November telah mencapai 2,59 persen. Angka ini
lebih rendah dari rata-rata historis dalam 5 tahun terakhir pada periode yang sama yaitu
mencapai sebesar 4,11 persen. Masih relatif rendahnya harga komoditas energi dibandingkan
dengan akhir tahun lalu serta upaya stabilisasi harga bahan pangan oleh pemerintah cukup
berperan dalam pencapaian laju inflasi yang rendah pada tahun berjalan. Kondisi ini
diindikasikan oleh deflasi komponen Harga Diatur Pemerintah dan laju inflasi komponen harga
bergejolak yang rendah. Adapun faktor risiko di bulan terakhir tahun ini cukup rendah karena
faktor Natal dan Tahun Baru yang akan mendorong permintaan pada kelompok pengeluaran
bahan makanan dan transportasi telah diperkirakan dalam perhitungan baseline inflasi.
Sementara itu, perlu diwaspadai risiko potensi inflasi yang berasal dari perubahan iklim (la
nina dan Iklim basah) serta kecenderungan kenaikan harga minyak dunia.
Suku Bunga dan Nilai Tukar
Suku bunga acuan Bank Indonesia, yaitu 7-Day Reverse Repo Rate (7DRR) kembali diturunkan
seiring dengan terjaganya stabilitas makroekonomi dan belum kuatnya pemulihan ekonomi
global. Stabilitas makroekonomi domestik yang cukup terjaga, terutama dilihat dari tingkat
inflasi yang diperkirakan mendekati batas bawah kisaran sasaran, defisit transaksi berjalan
yang lebih baik dari perkiraan, surplus neraca pembayaran yang lebih besar, dan nilai tukar
yang relatif stabil, mendorong Bank Indonesia untuk kembali menurunkan 7DRR sebesar 25
bps ke tingkat 4,75 persen pada tanggal 20 Oktober 2016. Keputusan ini bertujuan untuk
menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dengan mendorong permintaan domestik,
termasuk permintaan kredit, di tengah upaya pemulihan perekonomian global yang belum
kuat dan merata. Sementara itu, sebagai bentuk kehati-hatian dalam merespons
ketidakpastian di pasar keuangan global pasca pemilihan umum di AS, Bank Indonesia
memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga 7DRR di tingkat 4,75 persen pada
bulan November 2016.
Transmisi pelonggaran kebijakan moneter melalui jalur suku bunga terus berlangsung,
tercermin dari berlanjutnya penurunan suku bunga deposito dan suku bunga kredit. Namun
demikian, transmisi melalui jalur kredit belum optimal. Pada bulan Agustus 2016, rata-rata
suku bunga kredit kembali melanjutkan tren penurunan ke tingkat 12,30 persen dibandingkan
bulan sebelumnya yang berada di tingkat 12,35 persen. Sementara itu, pertumbuhan kredit
juga menurun dari 7,7 persen di bulan Juli menjadi 6,8 persen di bulan Agustus 2016. Pada
saat yang sama, DPK juga mengalami penurunan.
22
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Nilai tukar rupiah sedikit mengalami tekanan akibat sentimen geopolitik global, antara lain hasil
pemilu AS. Dibandingkan dengan bulan Oktober 2016, rata-rata nilai tukar rupiah per dolar AS
melemah sebesar 2,25 persen yakni dari Rp13.017 menuju Rp13.311 per dolar AS pada
November 2016. Penarikan arus modal asing serta peningkatan aktivitas hedging karena
tingginya ketidakpastian adalah faktor yang memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah dan
mata uang negara-negara lainnya. Namun demikian, tekanan tersebut bersifat temporer dan
pergerakan rupiah sudah lebih stabil. Jika dilihat pergerakan untuk keseluruhan tahun 2016,
rata-rata nilai tukar rupiah masih mengalami apresiasi sebesar 3,93 persen (ytd). Stabilitas nilai
tukar rupiah ini ditopang oleh fundamental ekonomi yang baik serta dukungan kebijakan
seperti Amnesti Pajak.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan ketiga 2016 yang lebih baik dibanding negara peers
menjadi sentimen positif bagi rupiah. Meskipun pertumbuhan ekonomi di triwulan ketiga
tercatat menurun dibandingkan triwulan sebelumnya, persepsi investor terhadap
perekonomian Indonesia masih positif seiring terjaganya stabilitas dan pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang relatif lebih tinggi dibandingkan negara lainnya. Hal ini salah satunya tercermin
dari adanya arus modal masuk dan masih besarnya minat investor asing, baik terhadap pasar
SBN maupun pasar saham domestik. Sementara itu, dana repatriasi dari Amnesti Pajak pada
periode selanjutnya juga diharapkan meningkat sehingga dapat menambah pasokan valas
dalam negeri untuk stabilisasi rupiah ke depan.
Meskipun demikian, masih terdapat beberapa risiko yang perlu diwaspadai, baik dari domestik
maupun eksternal. Dari sisi domestik, hal yang perlu dicermati antara lain perkembangan
upaya perbaikan kinerja transaksi berjalan di tengah perlambatan ekonomi di beberapa
negara mitra dagang utama serta likuiditas sektor keuangan yang dalam jangka pendek sangat
dipengaruhi oleh perkembangan pasar keuangan global. Terkait pasar keuangan global, secara
khusus perlu diwaspadai kemungkinan kenaikan suku bunga acuan oleh Federal Reserve pasca
pemilihan Presiden AS yang diperkirakan oleh sebagian besar pelaku pasar akan terjadi pada
bulan Desember 2016.
Grafik 3. Pergerakan rupiah menunjukkan kinerja positif hingga Oktober 2016
(per 1 dolar AS)
14500
13.855
14000
13.889
13.516
13.355
13.420
13500
13.311
13.180
13000
13.165
13.116
13.193
13.017
13.118
12500
Dec-15
Jan-16
Feb-16 Mar-16 Apr-16 May-16 Jun-16
Harian
Jul-16
Aug-16
Sep-16 Oct-16
Nov-16
Rata-rata bulanan
Sumber: Bank Indonesia, diolah
s
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
23
Neraca Pembayaran dan Neraca Perdagangan Indonesia
Grafik 4. Neraca Perdagangan Indonesia
(dalam miliar dolar AS)
18
10
8
16
6
14
4
12
2
0
10
-2
8
-4
Oct-13
Oct-14
Trade balance
Neraca Perdagangan
Exports
Ekspor
Oct-15
Imports
Oct-16
Impor
Sumber: BPS, data diolah
s
Neraca Perdagangan Indonesia pada Oktober 2016 mengalami surplus sebesar 1,21 miliar dolar
AS, atau sedikit lebih kecil dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 1,27 miliar dolar AS.
Kenaikan nilai impor terutama pada komoditas mesin, peralatan listrik, kapal laut, perhiasan
hingga telepon genggam murah menjadi faktor utama yang menekan surplus neraca pada
bulan ini. Impor nonmigas tercatat sebesar 9,94 miliar dolar AS, atau naik sebesar 4,27 persen
(mom) dan naik 6,33 persen (yoy). Sebaliknya, impor migas terkontraksi hingga 13,13 persen
(mom) atau turun 12,97 persen (yoy). Hal ini, dipicu oleh masih rendahnya harga komoditas
migas serta penurunan volume impor seiring dengan semakin optimalnya kilang produksi
dalam negeri.
Sementara itu dari sisi ekspor, kenaikan ekspor ditopang oleh ekspor nonmigas yang mencapai
11,65 miliar dolar AS, naik 1,22 persen (mom) atau naik 8,43 persen (yoy). Kenaikan ekspor
komoditas lemak dan minyak hewan atau nabati yang mencapai 19,02 persen atau menjadi
sebesar 287,1 juta dolar AS, menjadi pendorong naiknya ekspor di bulan ini, terutama dari
kawasan Amerika Latin. Lonjakan ekspor gas sebesar 20,82 persen menjadi 669,9 juta dolar
AS belum dapat menahan laju penurunan ekspor migas di tengah merosotnya ekspor hasil
minyak sebesar 34,31 persen menjadi 51,9 juta dolar AS dan ekspor minyak mentah sebesar
27,7 persen menjadi 309,5 juta dolar AS.
Dengan perkembangan tersebut, sampai dengan Oktober 2016, surplus neraca perdagangan
tercatat sebesar 6,93 miliar dolar AS dengan nilai kumulatif ekspor sebesar 117,09 miliar dolar
AS dan impor 110,17 miliar dolar AS.
Sementara itu, Neraca Pembayaran Indonesia triwulan ketiga 2016 mencatat surplus sebesar
5,5 miliar dolar AS. Surplus tersebut meningkat dibandingkan dengan surplus pada triwulan
sebelumnya yang sebesar 2,2 miliar dolar AS. Menurunnya defisit transaksi berjalan dan
meningkatnya surplus transaksi modal dan finansial menjadi pendorong kenaikan surplus
Neraca Pembayaran Indonesia secara keseluruhan.
24
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Grafik 5. Neraca Pembayaran Indonesia
(dalam miliar dolar AS)
20,0
15,0
10,0
5,0
0,0
-5,0
-10,0
-15,0
115,7
9,42
-4,49
Q1
Q2
Q3
Q4
2013
Capital
& Financial
Account
Neraca
Modal
dan Finansial
Q1
Q2
Q3
Q4
2014
Current
Account
Neraca
Berjalan
Q1
Q2
Q3
2015
Q4
Q1
Q2
125
105
85
65
45
25
5
Q3
2016
Overall Balance
Reserves
(RHS)
KeseimbanganForeign Exchange
Cadangan
Devisa
Sumber: BPS, data diolah
s
Defisit transaksi berjalan menurun dari 5,0 miliar dolar AS (2,2 persen PDB) pada triwulan
kedua 2016 menjadi 4,5 miliar dolar AS (1,8 persen PDB) pada triwulan ketiga 2016 yang
didorong oleh perbaikan neraca perdagangan barang dan jasa. Perbaikan neraca perdagangan
barang ini sejalan dengan membaiknya neraca perdagangan nonmigas dan neraca
perdagangan migas. Kenaikan surplus neraca perdagangan nonmigas disebabkan oleh
kenaikan harga ekspor komoditas primer dan penurunan impor nonmigas, sedangkan
penyempitan defisit neraca perdagangan migas disebabkan oleh kenaikan ekspor gas.
Sementara itu penurunan defisit neraca jasa pada triwulan ketiga 2015 disebabkan oleh
peningkatan surplus neraca jasa perjalanan akibat peningkatan jumlah wisman hingga 14,5
persen atau menjadi sebanyak 2,92 juta orang, serta peningkatan pengeluaran wisman hingga
mencapai 3,3 miliar dolar AS. Surplus neraca jasa pada periode ini tercatat sebagai surplus
tertinggi dalam sejarah jasa perjalanan.
Surplus transaksi modal dan finansial triwulan ketiga 2016 mencapai 9,4 miliar dolar AS
meningkat dibandingkan triwulan kedua 2016 sebesar 7,6 miliar dolar AS. Kondisi ini didukung
oleh sentimen positif terhadap prospek perekonomian domestik, Amnesti Pajak dan
meredanya risiko global. Peningkatan ini juga ditopang oleh aliran masuk modal investasi
langsung yang meningkat menjadi 5,2 miliar dolar AS, dipengaruhi oleh neto penarikan utang
korporasi antar-afiliasi setelah pada triwulan sebelumnya mencatat neto pembayaran utang.
Sementara itu, surplus investasi portofolio masih cukup besar didukung oleh sentimen positif
Amnesti Pajak, utamanya terlihat pada peningkatan pembelian SBN rupiah dan saham oleh
investor asing. Pada sisi lain, defisit investasi lainnya tercatat lebih rendah yang ditopang oleh
neto penarikan pinjaman luar negeri pemerintah dan neto penarikan simpanan penduduk di
luar negeri.
Posisi cadangan devisa pada akhir Oktober 2016 adalah sebesar 115,0 miliar dolar AS. Jumlah
cadangan devisa tersebut cukup untuk membiayai kebutuhan pembayaran impor dan utang
luar negeri pemerintah selama 8,4 bulan dan berada di atas standar kecukupan internasional.
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
25
D. Kredit Perbankan Nasional Masih Mengalami Perlambatan
Pelonggaran kebijakan moneter Bank Indonesia belum mampu mendorong pertumbuhan kredit
perbankan nasional. Tren perlambatan masih berlanjut dengan angka pertumbuhan kredit
pada bulan September sebesar 6,5 persen (yoy), dari 6,8 persen (yoy) di bulan sebelumnya.
Perlambatan tersebut ditengarai oleh masih melambatnya perekonomian global dan aktivitas
ekonomi domestik yang masih terbatas, sehingga mendorong masyarakat menurunkan
permintaan kredit serta mempercepat pelunasannya. Di sisi lain, rasio kredit bermasalah
mengalami penurunan di bulan September meskipun tidak terlalu signifikan. Penurunan ini
terutama dipengaruhi oleh membaiknya penyaluran kredit di sektor ritel, sementara sektor
yang terkait dengan komoditas masih relatif tidak berubah.
Grafik 6. Pertumbuhan DPK dan Kredit
(dalam persen)
j
25,0
20,0
15,0
10,0
5,0
Jan
Mar
Mei
Jul
Sep
Nov
Jan
Mar
Mei
Jul
Sep
Nov
Jan
Mar
Mei
Jul
0,0
2014
2015
2016
Kredit
DPK
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah
Secara sektoral, pertambangan masih
menjadi sektor dengan penurunan
pertumbuhan terbesar dengan rasio kredit
bermasalah lebih dari 6,0 persen.
Tingginya kredit bermasalah pada sektor
pertambangan sebagian berasal dari
kredit bermasalah tahun lalu yang belum
direstrukturisasi
oleh
perbankan.
Sementara itu, kredit bermasalah pada
sektor perdagangan dan industri
pengolahan perlu dicermati mengingat
kedua sektor tersebut memiliki porsi
terbesar dari total kredit. Beberapa analis
perbankan mengatakan bahwa macetnya
pembayaran debitur di industri otomotif
dan tekstil mendorong kenaikan kredit
bermasalah pada kedua sektor tersebut.
Grafik 7. NPL tertinggi masih dimiliki sektor pertambangan
(dalam persen, besar bubble: porsi kredit)
Pertumbuhan Kredit (yoy)
35,00
Listrik, Gas, Air
2,88
Konstruksi
4,87
Pertanian
6,48
25,00
15,00
5,00
-5,00 0,0
1,0
-15,00
-25,00
Perdagangan
19,73
Industri Pengolahan
17,65
Pinjaman multiguna
10,78
2,0
3,0
4,0
5,0
Transportasi
4,00
Non Performing Loan (NPL)
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah
26
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
6,0
7,0
8,0
Pertambangan
2,76
Grafik 8. Pertumbuhan DPK Masih Melambat
(dalam persen)
1,1
-2,7
3,2
11,5
j
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sept
DPK
Giro
2016
Tabungan
Simpanan Berjangka
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah
Dana pihak ketiga tumbuh lebih rendah
pada bulan September seiring dengan
penarikan dana oleh nasabah untuk
pembayaran tebusan program amnesti
pajak. Pertumbuhan komponen DPK
berupa tabungan dan simpanan
berjangka mengalami perlambatan di
bulan September, sementara giro
mencatatkan penurunan dibanding bulan
sebelumnya. Perbankan juga masih
menghadapi persaingan tingkat suku
bunga dengan SBN seiring dengan masih
besarnya kebutuhan pembiayaan bagi
pemerintah.
Sejalan dengan perlambatan pertumbuhan kredit dan DPK, likuiditas perbankan mulai mengetat
tercermin dari kenaikan Loan to Deposit Ratio. Likuiditas diperkirakan membaik pada akhir
tahun 2016 seiring dengan masuknya dana repatriasi program Amnesti Pajak dan kenaikan
realisasi belanja Pemerintah. Dari sisi permodalan, ketahanan industri perbankan secara
umum berada pada tingkat yang sangat mencukupi untuk mengantisipasi potensi risiko.
Rentabilitas dinilai stabil dengan tingkat efisiensi yang membaik seiring dengan penurunan
BOPO dan kenaikan Return on Assets.
Tabel 3. Indikator kinerja perbankan masih relatif sehat
(dalam persen)
Indikator
Umum
Aset
DPK
Kredit
LDR
NPL
CAR
BOPO
NIM
ROA
Satuan
(T Rp)
(%, yoy)
(%, yoy)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
Jan
6,096
6.79
9.59
90.95
2.73
21.75
84.86
5.63
2.51
Feb
6,119
6.89
8.24
89.50
2.87
21.93
84.22
5.47
2.29
Mar
6,168
6.44
8.71
89.60
2.83
22.00
82.96
5.55
2.44
Apr
6,181
6.18
7.95
89.52
2.93
21.95
82.30
5.56
2.38
2016
Mei
6,243
6.53
8.34
90.32
3.11
22.41
82.36
5.60
2.34
Juni
6,362
5.90
8.89
91.19
3.05
22.56
82.23
5.59
2.31
Juli
6,350
5.93
7.74
90.18
3.18
23.19
81.37
5.59
2.35
Agu
6,383
5.58
6.83
90.04
3.22
23.26
81.31
5.59
2.36
Sept
6,466
3.15
6.47
91.71
3.10
22.60
81.02
5.65
2.38
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
27
E. Hingga Akhir November, IHSG Masih Bertahan di atas Angka 5000
Grafik 9. Kinerja Indeks Global
(dalam persen, ytd)
16,34
16,13
15,15
12,10
18,06
16,80
SET
IHSG
0,93
2,39
4,20
KOSPI
9,74
DJIA
KLCI
4,12
5,07
-3,97
-1,18
-2,36
7,86
4,02
6,08
S&P 500
8,49
11,40
10,53
FTSE 100
STI
0,51
-2,39
-0,46
3,88
4,66
6,31
Hangseng
Nikkei
Shenzen Comp
-3,80
-8,45
-13,58
-8,13
-12,40
-15,10
-20,0 -10,0
November
j
Sumber: Bloomberg, diolah
Oktober
0,0
10,0
September
20,0
Memasuki bulan November 2016, IHSG
mengalami tekanan cukup dalam hingga
mendekati posisi terendah dalam lima
bulan terakhir. Namun demikian, di tengah
tekanan yang dihadapi, posisi indeks
masih dapat bertahan di atas tingkat
5.000. Tekanan yang dialami oleh IHSG
disebabkan oleh faktor sentimen politik
baik domestik maupun global.
Salah satu sumber tekanan yang dialami
IHSG berasal dari sentimen hasil pemilihan
presiden AS. Kondisi ini tak lepas dari
berbagai kebijakan presiden terpilih
Donald Trump yang disampaikan pada
masa kampanye. Kebijakan Trump,
apabila dilaksanakan, diprediksi akan
memberikan dampak negatif bagi
perekonomian negara-negara emerging
sehingga memicu penarikan modal dan
pembelian aset-aset safe haven. Salah
satu tekanan terbesar yang dialami IHSG
dan indeks saham global lainnya
terjadi pada tanggal 11 November 2016 di mana pelemahan IHSG hingga mencapai 4 persen
dalam sehari. Secara keseluruhan, penurunan tekanan IHSG di bulan November
menyebabkan kinerja IHSG selama tahun 2016 menjadi lebih rendah dari indeks saham
Thailand, setelah dalam beberapa bulan sebelumnya selalu mencatatkan kinerja yang lebih
baik.
Pada akhir November 2016, IHSG ditutup di level 5.148,91, lebih rendah dibandingkan posisi di
bulan sebelumnya yang mencapai 5.422,54. Dengan posisi tersebut, indeks melemah 5,0
persen dibanding bulan sebelumnya, namun secara kumulatif selama tahun 2016 masih
tercatat menguat 12,57 persen. Selama bulan November 2016, aksi jual investor nonresiden
tercatat sebesar Rp12,4 triliun sehingga secara kumulatif setahun posisi net buy investor
nonresiden turun dari Rp32,17 triliun pada bulan Oktober menjadi Rp19,81 triliun.
28
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Grafik 10. Pergerakan IHSG hingga akhir November 2016
(dalam persen, ytd)
UU Pengampunan
Pajak disetujui DPR
5600
5400
BI Rate 7,25%
BI Rate
6,75%
BI Rate
7,0%
5200
Pernyataan rencana
implementasi kebijakan
Trump
Trump menangkan
Pemilu AS
5000
4800
Pernyataan hawkish
Jennet Yellen
Jackson Hole
Hasil Referendum Brexit
4600
Sumber: Bloomberg, diolah
Nov-16
Oct-16
Sep-16
Aug-16
Jul-16
Jun-16
May-16
Apr-16
Feb-16
Mar-16
Jan-16
4400
Dari sisi sektoral, terjadi penurunan kinerja
IHSG terutama di sektor keuangan,
properti, konsumsi, dan infrastruktur.
Hampir
semua
indeks
sektoral
mencatatkan pelemahan secara bulanan,
kecuali sektor pertambangan dan
pertanian yang masih meningkat. Di
tengah tekanan yang dialami indeks,
kenaikan harga komoditas pertambangan
terutama minyak mentah dan batu bara
serta kenaikan harga CPO di pasar global
mendorong kenaikan harga saham emiten
di sektor pertambangan dan pertanian.
Sejauh ini, kenaikan harga komoditas lebih didorong oleh faktor pasokan, sementara dari sisi
permintaan, belum terlihat tanda-tanda perbaikan yang signifikan. Kenaikan harga minyak
mentah global dalam beberapa waktu terakhir sangat dipengaruhi oleh rencana pembatasan
produksi oleh OPEC, yang akhirnya memutuskan untuk memangkas sebesar 1,2 juta barel per
hari atau 4,5 persen dari output saat ini. Keputusan ini dapat menjadi sentimen positif bagi
indeks sektor pertambangan terutama emiten yang bergerak di sektor minyak.
Di sisi lain, kenaikan harga batubara global dalam beberapa bulan terakhir didorong oleh
kebijakan Pemerintah Tiongkok untuk membatasi produksi dalam rangka mendorong harga
dan menyelamatkan perusahaan tambang batubara dalam negeri. Namun demikian,
mempertimbangkan harga batubara saat ini yang dirasa telah mengalami kenaikan yang
terlalu tinggi, Pemerintah Tiongkok berencana melonggarkan kebijakan pembatasan produksi
batubara. Dari sisi komoditas kelapa sawit, kenaikan harga didorong oleh penurunan produksi
akibat faktor cuaca yang kurang mendukung di tengah permintaan yang belum menunjukkan
perkembangan yang signifikan.
Tabel 4. Indikator kinerja perbankan masih relatif sehat
(dalam persen)
Sektor
Keuangan
Manufaktur
Konsumsi
Infrastruktur
Perdagangan
Properti
Aneka Industri
Industri Dasar
Pertambangan
Pertanian
IHSG
Agust
6,0
6,2
5,1
-3,7
-0,1
1,2
4,7
12,5
-1,6
5,7
3,3
Perkembangan Bulanan (%)
Sept
Okt
0,8
0,6
-0,6
1,4
-1,5
0,6
-0,2
-2,7
-2,0
1,9
-0,3
0,0
0,9
-0,1
1,2
5,7
-0,4
13,7
-4,1
0,8
-0,4
1,1
Nov
-6,5
-4,6
-5,8
-5,5
-4,5
-6,2
-4,5
-0,4
5,6
1,2
-4,7
Ytd (%)
10,0
18,0
12,8
6,1
-2,3
8,0
23,5
32,3
71,5
6,3
12,5
Sumber: Bloomberg, diolah
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
29
30
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
BAGIAN II ANALISIS KINERJA APBN
2016 DAN ARAH
KEBIJAKAN APBN 2017
Perkembangan ekonomi domestik yang positif perlu
terus diperkuat di tengah kondisi pemulihan
perekonomian global yang masih rentan dan diliputi
ketidakpastian melalui sinergi dan koordinasi
kebijakan. Kinerja APBN sampai dengan Oktober
2016, juga menunjukan perbaikan meski masih
dibayangi tantangan pada sisi pendapatan.
Sementara itu, APBN 2017 disusun secara lebih
realistis dan kredibel.
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
31
Sinergi Reformasi untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi
Di tengah kinerja perekonomian global yang masih menghadapi berbagai risiko dan tantangan,
Indonesia masih mampu berkembang secara positif. Beberapa tantangan dan risiko yang harus
dihadapi di tataran global antara lain pertumbuhan ekonomi tahun 2016 yang diperkirakan
melambat, harga komoditas yang mengalami perbaikan namun belum optimal, permintaan
yang masih lemah yang antara lain disebabkan oleh proses rebalancing ekonomi di Tiongkok,
serta adanya ketidakpastian yang masih tinggi karena gejolak geopolitik seperti Brexit dan
arah kebijakan AS ke depan pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Namun
demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan ketiga 2016 mampu mencapai 5,02
persen, lebih tinggi dibandingkan negara-negara kawasan. Selain itu, indikator-indikator
ekonomi makro Indonesia yang lain juga cukup stabil dan terjaga.
Perkembangan ekonomi domestik yang positif perlu terus diperkuat di tengah kondisi
pemulihan perekonomian global yang masih rentan dan diliputi ketidakpastian. Pemerintah,
Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan akan terus memperkuat sinergi dan koordinasi
guna memastikan kesinambungan pemulihan perekonomian nasional. Pemantauan terhadap
perkembangan ekonomi domestik dan global serta berbagai risiko yang dapat mengemuka
akan terus dilakukan secara intensif. Sinergi kebijakan akan dilakukan secara kuat sehingga
berbagai langkah yang ditempuh menjadi kesatuan yang terintegrasi dan mendukung upaya
memperkuat ketahanan ekonomi.
Pemerintah akan terus memperkuat stimulus sambil tetap menjaga keberlangsungan fiskal.
Pemerintah berkomitmen untuk menjaga defisit APBN 2016 di tingkat 2,7 persen PDB, di
bawah batas amanat undang-undang sebesar 3 persen. Dalam kaitan ini, pemerintah
berupaya merealisasikan belanja APBNP 2016 secara lebih produktif dan efisien. Pemerintah
juga terus meningkatkan penerimaan dari perpajakan, baik melalui penerimaan rutin maupun
melalui terobosan kebijakan seperti Amnesti Pajak. Dari sisi pembiayaan, pemerintah
berupaya untuk memperoleh sumber pembiayaan yang kredibel dan berkesinambungan.
Pemerintah berkomitmen untuk terus melanjutkan reformasi di bidang fiskal, khususnya
dalam bidang perpajakan secara komprehensif. Pemerintah juga terus mengupayakan agar
belanja negara lebih berkualitas guna menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan
dan ketimpangan, serta meningkatkan produktivitas dan daya saing. Dari sisi pembiayaan,
pemerintah akan mengkaji opsi pre-funding guna meningkatkan efektivitas belanja, sambil
terus memantau perkembangan pasar keuangan domestik dan global.
Pemerintah juga berupaya untuk memperbaiki iklim investasi dan daya saing dengan melakukan
penyederhanaan birokrasi dan peraturan serta pemberian insentif. Upaya tersebut antara lain
dituangkan melalui penerbitan paket-paket kebijakan ekonomi yang hingga bulan November
2016 telah mencapai 14 paket kebijakan. Upaya tersebut telah membuahkan hasil yang
positif, tidak hanya dari kenaikan pertumbuhan investasi langsung namun juga pengakuan
dunia internasional melalui kenaikan peringkat Indonesia pada hasil survey Ease of Doing
Bussiness sebesar 15 peringkat.
32
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Di sisi lain, Bank Indonesia konsisten menempuh bauran kebijakan moneter, kebijakan
makroprudensial, dan kebijakan sistem pembayaran guna menjaga stabilitas makroekonomi.
Bank Indonesia akan terus menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang rupiah dan valas
sehingga tidak mengganggu transmisi kebijakan moneter yang telah ditempuh. Kebijakan
tersebut diperkuat koordinasi dengan pemerintah untuk memastikan bahwa operasi
keuangan pemerintah tetap sejalan dengan upaya menjaga kecukupan likuiditas. Selain itu,
koordinasi juga diarahkan untuk mengoptimalkan potensi dana repatriasi dari program
pengampunan pajak. Secara keseluruhan, berbagai kebijakan Bank Indonesia diarahkan untuk
menjaga inflasi tetap sesuai dengan sasaran, defisit transaksi berjalan masih pada tingkat yang
sehat, dan stabilitas sistem keuangan tetap terjaga dan berdaya tahan.
Otoritas Jasa Keuangan akan menempuh berbagai kebijakan untuk memastikan agar peran
intermediasi sektor jasa keuangan tetap berlangsung secara optimal dalam mendukung
kesinambungan pembangunan nasional. Di tengah kondisi likuiditas yang memadai, peluang
untuk memberikan kredit rupiah terhadap beberapa sektor prioritas akan terus didorong.
Upaya ini akan dilengkapi dengan berbagai kebijakan yang ditujukan untuk menekan potensi
kenaikan risiko kredit di perbankan dan di perusahaan pembiayaan. Kebijakan yang bertujuan
untuk meningkatkan peran serta pasar modal juga akan dilakukan agar dapat mendukung
percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional yang berjangka panjang. Dalam hal ini,
pemberdayaan dana-dana dari perusahaan asuransi dan dana pensiun akan terus ditingkatkan
untuk mendukung pembiayaan jangka panjang oleh pasar modal.
Pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan berkomitmen untuk terus
memperkuat koordinasi kebijakan guna memelihara stabilitas perekonomian dan memastikan
reformasi struktural tetap berjalan dengan baik. Berbagai sinergi kebijakan yang telah dan akan
ditempuh pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan diyakini dapat terus
memperkuat ketahanan ekonomi dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi,
sebagai respons atas kondisi ekonomi global yang masih belum menguntungkan.
Kinerja APBNP 2016 Hingga Oktober 2016
Keberlanjutan fiskal relatif terjaga, walaupun masih menghadapi tantangan. Kinerja APBN
sampai dengan Oktober 2016 menunjukan perbaikan. Hal ini tidak lepas dari penerapan
kebijakan efisiensi anggaran yang telah dilakukan sejak pertengahan tahun 2016. Esensi
kebijakan tersebut adalah untuk mendorong optimalisasi pendapatan, penguatan kualitas
belanja dan upaya mitigasi risiko serta menjaga keberlanjutan fiskal jangka menengah.
Kebijakan ini menjadikan APBN 2016 lebih kredibel dan realistis.
Dari sisi pendapatan, pencapaian sasaran pendapatan masih dibayangi oleh berbagai tantangan.
Hingga Oktober 2016, pendapatan negara telah terealisasi sebesar 66,4 persen dari sasaran
yang ditetapkan. Dari jumlah tersebut, 80 persen di antaranya merupakan sumbangan dari
penerimaan perpajakan, yang hingga Oktober 2016 telah mencapai 64,1 persen dari sasaran.
Kondisi ini memunculkan tantangan bagi pencapaian target pendapatan, mengingat perbaikan
kondisi ekonomi domestik masih dibayangi oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi global,
rendahnya harga komoditas, lemahnya kinerja ekspor dan impor, rendahnya ICP, dan kurang
optimalnya lifting minyak.
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
33
Tabel 5. Realisasi APBNP 2016 Hingga Oktober 2016
(dalam triliun rupiah)
2015
Uraian
A Pendapatan Negara dan Hibah
I. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Perpajakan
- Pajak Dalam Negeri
- Pajak Perdagangan Internasional
2. PNBP
- Penerimaan SDA
- Laba BUMN
- PNBP Lainnya
- BLU
II. Hibah
B Belanja Negara
I. Belanja Pemerintah Pusat
II. Transfer Daerah dan Dana Desa
1. Dana Perimbangan
2. Dana Otsus dan Penyesuaian
C Surplus/(Defisit) Anggaran (A-B)
%Surplus/(Defisit) Terhadap PDB
D Pembiayaan Anggaran (I+II)
I.
Pembiayaan Dalam Negeri
II. Pembiayaan Luar Negeri (neto)
Kelebihan/(Kekurangan) Pembiayaan
2016
APBNP
Realisasi
1.761,6
1.758,3
1.489,3
1.440,0
Okt
1.100,1
1.098,9
893,9
865,5
% thd
APBNP
62,4
62,5
60,0
60,1
APBNP
Realisasi
1.786,2
1.784,2
1.539,2
1.503,3
Okt
1.186.8
1.185,4
986,6
958,9
% thd
APBNP
66,4
66,4
64,1
63,8
49,3
269,1
118,9
37,0
90,1
28,4
205,0
92,0
35,5
56,9
57,6
76,2
77,3
96,1
63,2
35,9
245,1
90,5
34,2
84,1
27,7
198,7
42,9
34,5
90,5
77,3
81,1
47,4
101,1
107,6
23,1
3,3
1.984,1
1.319,5
664,6
521,8
122,1
(222,5)
(1,9)
222,5
242,5
(20,0)
0,0
20,6
1,2
1.383,6
829,7
553,9
76,1
14,9
(283,5)
(2,5)
364,8
298,0
66,8
81,3
89,4
36,0
69,7
62,9
83,3
14,6
12,2
127,4
36,3
2,0
2.082,9
1.306,7
776,3
705,5
23,8
(296,7)
(2,4)
296,7
299,3
(2,5)
0,0
30,8
1,4
1.455,1
857,5
597,6
66,0
18,5
(268,3)
(2,14)
395,3
414,1
(18,7)
121,3
84,9
72,8
69,9
65,6
77,0
9,4
77,5
90,6
163,9
122,9
(333,9)
133,2
138,4
741,8
Sumber: Kementerian Keuangan
Program Amnesti Pajak diharapkan dapat memperkecil kekurangan pendapatan negara. Pada
periode pertama, penerimaan perpajakan yang diperoleh dari program pengampunan pajak
mencapai sekitar Rp97 triliun rupiah. Jumlah tersebut diharapkan akan terus meningkat
secara signifikan selama pelaksanaan program dimaksud hingga akhir Maret 2017. Dalam
upaya ini, pemerintah secara konsisten terus melakukan diseminasi dan sosialisasi kepada
seluruh lapisan masyarakat, termasuk kepada asosiasi profesi, untuk mendorong partisipasi
masyarakat dalam menyukseskan progam dimaksud. Program Amnesti Pajak diharapkan
dapat menjadi pondasi bagi keberlanjutan fiskal jangka pendek dan jangka menengah.
Inovasi dan terobosan kebijakan masih diperlukan untuk mendongkrak kinerja pendapatan
negara. Walaupun pada awal pelaksanaan masih memunculkan keraguan, namun pencapaian
program Amnesti Pajak memberikan suntikan energi dan menjadi insentif moral untuk terus
mengembangkan berbagai inovasi dan terobosan bagi kebijakan pendapatan yang optimal.
Berbagai terobosan kebijakan untuk mendukung pencapaian target penerimaan perpajakan
antara lain optimalisasi penggalian potensi sektor unggulan dengan memanfaatkan program
geo-tagging, implementasi e-tax invoice, keberlanjutan program ekstensifikasi, khususnya
Wajib Pajak orang pribadi yang belum memiliki NPWP, dan pemeriksaan Wajib Pajak Badan
(PMA) yang menurut profiling terdapat potensi pajak. Pada sisi lain, berbagai strategi untuk
mendukung pencapaian PNBP ditempuh antara lain dengan menahan turunnya lifting,
memonitor pengetatan jadwal proyek migas on stream, dan mempercepat revisi dan
34
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
menyelesaikan berbagai peraturan jenis dan tarif PNBP serta perbaikan administrasi tata
kelola PNBP.
Tabel 6. Realisasi Penerimaan Perpajakan Hingga Oktober 2016
(dalam triliun rupiah)
2015
Jenis Pajak
I. Penerimaan Perpajakan
A. Pajak Dalam Negeri
PPh Nonmigas
PPh Migas
PPN
PBB
Cukai
Pajak Lainnya
B. Pajak Perdagangan Internasional
Bea Masuk
Bea Keluar
Realisa
si
APBNP
1.489,30
1.440,00
629,8
49,5
576,5
26,7
145,7
11,7
49,3
37,2
12,1
Okt
893,9
865,5
397,4
43,3
308,2
13,8
98,4
4,4
28,4
25,3
3,1
% thd
APBNP
60,0
60,1
63,1
87,5
53,5
51,7
67,5
37,2
57,6
67,9
25,8
APBNP
1.539,2
1.503,3
819,5
36,3
474,2
17,7
148,1
7,4
35,9
33,4
2,5
2016
Realisasi
Okt
% thd
APBNP
986,6
958,9
513,5
28,0
307,3
16,3
87,9
6,1
27,7
25,3
2,4
64,1
63,8
62,6
77,0
64,8
92,3
59,4
82,2
77,3
75,8
97,2
Sumber: Kementerian Keuangan
Tabel 7. Realisasi PNBP Hingga Oktober 2016
(dalam triliun rupiah)
2015
Uraian
Penerimaan Negara Bukan Pajak
A. Penerimaan SDA
1) SDA Migas
2) Non Migas
B. Bagian Laba BUMN
C. PNBP Lainnya
D. Pendapatan BLU
APBNP
269,1
118,9
61,6
19,8
37,0
90,1
23,1
Realisasi
Okt
205,0
92,0
70,2
21,8
35,5
56,9
20,6
% thd
APBNP
76,2
77,3
114,0
110,0
96,1
63,2
89,4
APBNP
245,1
90,5
51,3
17,4
34,2
84,1
36,3
2016
Realisasi
Okt
198,7
42,9
26,9
16,0
34,5
90,5
30,8
% thd
APBNP
81,1
47,4
52,4
92,2
101,1
107,6
84,9
Sumber: Kementerian Keuangan
Dari sisi belanja, penguatan belanja produktif dan berkualitas secara konsisten terus dilanjutkan.
Kebijakan efisiensi anggaran pada pertengahan tahun 2016 tidak membatasi belanja
pemerintah untuk sektor-sektor produktif, terutama pembangunan infrastruktur yang
memberikan dampak multiplier secara menyeluruh. Kebijakan tersebut diterapkan pada
belanja operasional yang dikategorikan sebagai non produktif, antara lain perjalanan dinas
yang tidak perlu, pembelian mobil dinas baru dan pembangunan gedung yang tidak mendesak.
Kebijakan ini juga diharapkan dapat mempercepat dan memperbaiki pola penyerapan serta
penguatan kualitas desentralisasi fiskal. Penguatan kualitas belanja adalah kunci mendorong
produktivitas dengan memanfaatkan sumber dana secara efisien guna menstimulasi
perekonomian dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
35
Tabel 8. Realisasi Belanja Pemerintah Pusat Hingga Oktober 2016
(dalam triliun rupiah)
2015
Uraian
Belanja Pemerintah Pusat
1.
Belanja Pegawai
2.
Belanja Barang
3.
Belanja Modal
4.
Pembayaran Bunga Utang
5.
Subsidi
6.
Bantuan Sosial
7.
Belanja Hibah
8.
Belanja Lain-Lain
APBNP
1319,5
293,1
238,8
275,8
155,7
212,1
107,7
4,6
31,7
Realisasi
Okt
829,7
234,2
131,5
98,9
133,4
151,4
76,0
0,6
3,7
% thd
APBNP
62,9
79,9
55,1
35,9
85,6
71,4
70,6
12,5
11,8
APBNP
1306,7
343,0
281,2
227,5
191,2
177,8
54,9
8,5
22,5
2016
Realisasi
Okt
857,5
259,3
177,7
98,0
157,0
123,2
37,7
0,8
4,0
% thd
APBNP
65,6
75,6
63,2
43,1
82,1
69,3
68,5
9,0
17,8
Sumber: Kementerian Keuangan
Perbaikan kinerja belanja negara sejalan dengan berbagai terobosan yang dilakukan.
Percepatan lelang, penyederhanaan prosedur, pemberian fleksibilitas pelaksanaan anggaran,
implementasi reward dan punishment serta monitoring pelaksanaan anggaran dan
debottlenecking secara konsisten dan periodik dievaluasi oleh TEPPRA. Secara umum, realisasi
belanja negara hingga Oktober 2016 mencapai 69,9 persen dari sasaran yang ditetapkan.
Dalam hal ini, Belanja Pemerintah Pusat mencapai 65,6 persen dan Transfer ke Daerah dan
Dana Desa mencapai 77,0 persen dari besaran sasaran yang ditetapkan.
Berbagai terobosan kebijakan berhasil mengakselerasi sekaligus memperbaiki pola penyerapan
belanja K/L. Realisasi belanja K/L sampai Oktober 2016 mencapai 62,6 persen dari sasaran yang
ditetapkan. Realisasi tersebut dipengaruhi antara lain oleh percepatan pelaksanaan lelang
pengadaan barang dan jasa dan kegiatan monitoring yang dilakukan secara periodik sehingga
dapat mengidentifikasi secara cepat faktor–faktor penghambat serta upaya perbaikannya.
Pada triwulan ketiga 2016, penyerapan belanja K/L mengalami peningkatan yang signifikan
berupa percepatan dan sekaligus perbaikan pola belanja dibandingkan periode yang sama
tahun 2015. Capaian ini diharapkan dapat meningkatkan daya dorong terhadap pertumbuhan
ekonomi sekaligus memberi kontribusi positif dalam menstimulasi perekonomian,
menggerakkan sektor riil, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan derajat
kesejahteraan.
Tabel 9. Penyerapan Belanja K/L Hingga Oktober 2016
(dalam triliun rupiah)
2015
Uraian
Belanja Pegawai
Belanja Barang
Belanja Modal
Belanja Bantuan Sosial
Jumlah
APBNP
183,7
259,4
252,8
99,6
795,5
Realisasi
Okt
148,3
131,5
98,9
76,0
454,7
% thd
APBNP
80,7
50,7
39,1
76,3
57,2
Sumber: Kementerian Keuangan
36
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
APBNP
209,0
302,8
206,6
49,4
767,8
2016
Realisasi
Okt
167,7
177,6
98,0
37,7
481,0
% thd
APBNP
80,2
58,7
47,4
76,3
62,6
Kinerja belanja K/L menunjukkan perbaikan, namun untuk belanja infrastruktur dinilai masih
belum optimal. Penyerapan belanja K/L yang terkait infrastruktur seperti Kemenpupera,
Kemenhub, Kemen ESDM dan KKP, masih belum optimal karena masih di bawah rata-rata
(62,6 persen). Sementara penyerapan belanja modal pada K/L terkait infrastruktur sudah
menunjukan perbaikan dan kondisinya lebih tinggi dari rata-rata (47,4 persen). Hal ini
diharapkan dapat memberi kontribusi dalam mengakselerasi pembangunan infrastruktur.
Secara agregat, penyerapan belanja K/L mengalami peningkatan namun daya serapnya masih
belum optimal. Walaupun telah dilakukan berbagai terobosan, namun masih banyak K/L
kemampuan penyerapan anggarannya masih di bawah rata-rata. Mempertimbangkan kondisi
tersebut, upaya percepatan dan perbaikan pola penyerapan terus dilanjutkan, antara lain
melalui perbaikan perencanaan, mendisiplinkan pelaksanaan anggaran dan penerapan reward
dan punishment secara konsisten, khususnya pada K/L yang pagunya besar namun
penyerapannya masih rendah.
Tabel 10. Realisasi Belanja Beberapa K/L Hingga Oktober 2016
(dalam triliun rupiah)
No.
Uraian
1.
Kemenhan
2.
KemenPU dan PR
3.
POLRI
4.
Kemenkes
5.
Kemenag
6.
Kemendikbud
7.
Kemenhub
8.
Kemenristek Dikti
9.
Kemenkeu
10.
Kementan
11.
Kemensos
12.
Kemenkumham
13.
KKP
14.
MA
15.
Kemen Desa, PDT, dan Trans
15 K/L dengan Pagu Terbesar
K/L Lainnya
Jumlah
APBNP
120,3
118,5
57,1
51,3
60,3
53,3
65,0
43,6
25,7
32,8
22,4
11,2
10,6
8,6
9,0
689,7
105,8
795,5
2015
Realisasi
Okt
72,5
58,9
45,3
33,5
34,9
36,5
18,5
22,8
19,9
17,2
16,8
6,3
4,8
6,3
1,9
396,1
58,6
454,7
% thd
APBNP
60,3
49,7
79,3
65,3
57,9
68,5
28,5
52,3
77,4
52,4
75,0
56,3
45,3
73,3
21,1
57,4
55,4
57,2
APBNP
108,7
97,1
79,3
62,7
56,2
43,6
42,9
40,6
38,1
27,6
13,1
11,3
10,6
8,8
8,6
649,2
118,6
767,8
2016
Realisasi
Okt
72,6
55,5
55,9
41,6
38,5
29,2
20,8
25,0
28,4
17,1
8,7
6,7
4,0
6,5
3,4
414,1
67,0
481,0
% thd
APBNP
66,8
57,2
70,5
66,3
68,5
66,9
48,5
61,7
74,5
62,0
66,6
59,0
38,1
74,4
39,7
63,8
56,5
62,6
Sumber: Kementerian Keuangan
Realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa secara persentase lebih rendah namun secara
nominal lebih tinggi. Hal tersebut terutama dipengaruhi adanya penundaan DAU dan DBH
serta penajaman DAK dan Dana Desa. Upaya penguatan desentralisasi fiskal dan peningkatan
kualitas pengelolaan keuangan di daerah masih perlu perbaikan. Upaya tersebut ditempuh
dengan membuat desain penyaluran transfer ke daerah yang disesuaikan dengan sifat
penggunaannya, misalnya untuk jenis dan Transfer ke Daerah yang bersifat blockgrant, pola
penyalurannya dilakukan secara periodik tanpa mensyaratkan laporan realisasi dari daerah.
Sementara untuk jenis dan Transfer ke Daerah yang penggunaannya sudah ditentukan, seperti
DAK, penyalurannya berdasarkan laporan kinerja penyerapan dana dari daerah.
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
37
Tabel 11. Realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa Hingga Oktober 2016
(dalam triliun rupiah)
2015
Uraian
Transfer ke Daerah dan Dana Desa
A.
Transfer ke Daerah
a. Dana Perimbangan
1. DBH
2. DAU
3. DAK
b. Dana Otonomi Khusus
c. Dana Penyesuaian
d. Dana Keistimewaan DIY
B.
Dana Desa
APBNP
664,6
746,6
624,5
110,1
352,9
161,6
17,1
104,4
0,5
20,8
Realisasi
Okt
553,9
537,3
522,4
76,1
323,3
123,0
12,8
1,6
0,4
16,6
% thd
APBNP
83,3
72,0
83,7
69,2
91,6
76,1
75,0
1,5
80,0
80,0
APBNP
776,3
729,3
705,5
109,1
385,4
211,0
18,3
5,0
0,5
47,0
2016
Realisasi
Okt
597,6
556,2
537,7
66,0
343,3
128,3
12,9
5,0
0,5
41,5
% thd
APBNP
77,0
76,3
76,2
60,6
89,1
60,8
70,7
100,0
100,0
88,3
Sumber: Kementerian Keuangan
Defisit anggaran masih rendah dan terkendali. Sampai dengan Oktober 2016, defisit anggaran
mencapai 2,14 persen dari PDB, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2015
yang sebesar 2,5 persen dari PDB. Kondisi ini dipengaruhi oleh membaiknya kinerja
pendapatan negara terutama penerimaan perpajakan dan peningkatan kinerja penyerapan
belanja K/L, terutama belanja modal. Pada tahun 2016, defisit anggaran diperkirakan akan
mencapai 2,7 persen dari PDB. Pemerintah berkomitmen untuk menjaga defisit APBN 2016 di
bawah batas amanat undang-undang sebesar 3 persen untuk menjaga kesehatan dan
kesinambungan fiskal.
Keberlanjutan pembiayaan masih terjaga, sejalan dengan mulai membaiknya pencapaian
pendapatan dan terjadinya percepatan belanja. Realisasi pembiayaan hingga Oktober 2016
mencapai Rp395,3 triliun, yang antara lain meliputi realisasi pembiayaan utang sebesar
Rp375,7 triliun (101,5 persen) dan pembiayaan investasi, sebesar negatif Rp7,2 triliun. Pada
sisi lain, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) hingga Oktober 2016 mencapai Rp121,3
triliun. Besarnya SILPA tersebut dapat memperkuat bantalan fiskal dalam menopang
kebutuhan belanja yang diperkirakan akan terus meningkat hingga akhir tahun 2016.
Tabel 12. Realisasi Pembiayaan Hingga Oktober 2016
(dalam triliun rupiah)
Uraian
Surplus/(Defisit)
Surplus/(Defisit) thd PDB
Pembiayaan
I.
Pembiayaan Utang
a. Surat Berharga Negara
b. Pinjaman
II.
Pembiayaan Investasi
III. Pemberian Pinjaman
IV. Kewajiban Penjaminan
V.
Pembiayaan Lainnya
Kelebihan/Kekurangan Pembiayaan
APBNP
(222,5)
(1,9)
222,5
283,9
297,7
(13,8)
(60,4)
(0,5)
(0,8)
0,4
2015
Realisasi
Okt
(283,5)
(2,5)
364,8
382,5
314,2
68,3
(20,6)
2,6
0,0
0,3
81,3
% thd
APBNP
127,4
0,0
163,9
134,8
105,6
(493,2)
34,1
(544,7)
78,1
Sumber: Kementerian Keuangan
38
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
APBNP
(296,7)
(2,4)
296,7
371,6
364,9
6,7
(94,0)
0,5
(0,7)
19,3
2016
Realisasi
Okt
(268,3)
(2,1)
395,3
375,7
393,1
(17,4)
(7,2)
21,5
0,0
0,2
121,3
% thd
APBNP
90,4
0,0
133,2
101,1
107,7
(260,3)
7,7
4.663,7
1,1
Keberlanjutan pembiayaan dijaga melalui bauran kebijakan yang efisien dan mendorong
pembiayaan yang kreatif dan inovatif. Upaya tersebut ditempuh agar pembiayaan mempunyai
daya ungkit (leverage) untuk meningkatkan kapasitas pembiayaan sehingga mampu
mengakselerasi pencapaian target pembangunan di tengah keterbatasan anggaran.
APBN 2017: Realistis, Kredibel, dan Berkelanjutan
Asumsi Makro APBN 2017
APBN 2017 disusun secara lebih realistis dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi
global dan domestik. Pertumbuhan ekonomi ditetapkan sebesar 5,1 persen, lebih tinggi
dibandingkan outlook 2016 sebesar 5,0 persen. Konsumsi rumah tangga dan investasi
diperkirakan akan menjadi penopang pertumbuhan 2017 didukung oleh inflasi yang lebih
terkendali serta perbaikan iklim investasi. Komitmen pemerintah untuk terus meningkatkan
belanja infrastruktur, juga diharapkan dapat mendorong produktivitas dan daya saing
domestik.
Inflasi ditetapkan pada tingkat yang terkendali sebesar 4,0 persen dan berada dalam kisaran
target Bank Indonesia sebesar 4,0 ± 1,0 persen. Beberapa faktor yang akan turut
mempengaruhi pergerakan inflasi antara lain harga komoditas energi, terutama minyak
mentah serta dinamika pergerakan nilai tukar dolar AS.
Tingkat suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan ditetapkan sebesar 5,3
persen, sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditetapkan sebesar Rp13.300.
Kenaikan suku bunga The Fed diperkirakan akan menjadi faktor yang mempengaruhi
pergerakan suku bunga dan nilai tukar. Namun, fundamental ekonomi yang sehat dan
reformasi yang terus berlanjut, diperkirakan dapat membantu stabilitas nilai tukar dan
menjaga biaya pinjaman berada pada tingkat yang aman.
Harga minyak mentah Indonesia atau ICP ditetapkan sebesar 45 dolar AS per barel, seiring
dengan perbaikan harga komoditas global, meskipun belum berada pada tingkatan yang
optimal. Sementara lifting minyak dan gas ditargetkan masing-masing sebesar 815 ribu barel
per hari dan 1.150 ribu barel per hari setara minyak.
Arah Kebijakan APBN 2017
APBN 2017 disusun sebagai kebijakan fiskal yang ekspansif dengan menjaga prinsip kehatihatian. Target pendapatan dihitung dengan dasar perhitungan yang lebih realistis setelah
dilakukan konsolidasi belanja di dalam APBNP 2016. Strategi kebijakan fiskal diarahkan untuk
mendorong agar pengelolaan fiskal lebih realistis, kredibel dan berkelanjutan, baik dalam
jangka pendek dan jangka menengah. Di dalam mewujudkan pengelolaan fiskal yang
mendukung daya saing dan pertumbuhan, pemerintah telah menetapkan berbagai langkah
seperti penyediaan insentif fiskal dan peningkatan alokasi belanja produktif untuk
memberikan stimulus. Selain itu, daya tahan dan keberlanjutan APBN juga dipelihara melalui
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
39
penyediaan bantalan fiskal, menjaga defisit pada batas yang diijinkan, keseimbangan primer
terjaga, dan tingkat utang pada batas yang aman.
Pendapatan Negara akan terus ditingkatkan, baik yang bersumber dari pajak maupun non pajak.
Upaya optimalisasi pendapatan dilakukan dengan tetap menjaga iklim investasi yang kondusif.
Dalam hal ini, reformasi pajak akan terus dilanjutkan dengan mencakup semua bidang, yaitu
administrasi pajak, kebijakan pajak, dan tata kelola. Reformasi administrasi pajak akan
mencakup pengembangan sistem IT, manajemen data, dan penegakan hukum yang lebih
efektif. Reformasi kebijakan pajak akan mencakup amandemen undang-undang pajak untuk
menciptakan sistem pajak yang lebih adil dan lebih efisien, meliputi UU Ketentuan Umum
Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan dan UU Pajak Pertambahan Nilai.
Di dalam APBN 2017, Pendapatan Negara ditetapkan sebesar Rp1.750,3 triliun, meningkat
sebesar 11,7 persen jika dibandingkan dengan outlook APBNP 2016. Penerimaan Perpajakan
ditetapkan sebesar Rp1.498,9 triliun, tumbuh sebesar 13,5 persen dibandingkan dengan
outlook APBNP 2016, sedangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ditetapkan sebesar
Rp250 triliun. Dalam periode 2007-2015, realisasi penerimaan perpajakan rata-rata tumbuh
13,6 persen per tahun. Dengan demikian, penetapan target pertumbuhan Penerimaan
Perpajakan sebesar 13,5 persen di tahun 2017 sangat realistis.
Secara umum kebijakan perpajakan akan diarahkan untuk meningkatkan tax base dan
kepatuhan wajib pajak. Beberapa langkah yang ditempuh yakni intensifikasi yang didukung
perbaikan teknologi informasi, ekstensifikasi yang didukung pemanfaatan data pihak ketiga
serta hasil Amnesti Pajak, pemberian insentif perpajakan untuk sektor strategis, perbaikan
regulasi perpajakan, pengenaan cukai untuk pengendalian konsumsi barang tertentu, serta
pertukaran informasi perpajakan internasional.
Sementara itu, kebijakan PNBP diarahkan untuk mengoptimalkan sumber-sumber yang ada
termasuk peran Kementerian/Lembaga. Untuk optimalisasi PNBP yang bersumber dari Sumber
Daya Alam (SDA), pemerintah akan melakukan beberapa upaya yakni monitoring proyek
pengembangan lapangan onstream tahun 2017, mengembangkan sistem penatausahaan
hasil hutan berbasis teknologi informasi untuk memantau pengelolaan hutan secara online,
kebijakan penetapan harga gas bumi tertentu, serta pemberantasan illegal, unreported and
unregulated fishing. Pemerintah juga akan terus memacu kinerja BUMN agar dapat
meningkatkan kontribusinya dalam APBN.
Arah dan strategi belanja esensinya adalah untuk mendorong penguatan kualitas belanja agar
lebih produktif dan efisien dalam pengalokasian anggarannya. Upaya penguatan kualitas
belanja antara lain ditempuh dengan merealokasi belanja non prioritas ke belanja produktif
dan prioritas, mempercepat dan memperbaiki pola penyerapan anggaran, memperbaiki
mekanisme penyaluran subsidi agar lebih tepat sasaran, peningkatan kualitas dan efektifitas
program perlindungan sosial, serta peningkatan efektivitas transfer ke daerah untuk
membantu pembangunan daerah dan mengurangi ketimpangan.
Sesuai dengan amanat undang-undang, Pemerintah berkomitmen untuk menjaga alokasi
anggaran pendidikan dan kesehatan masing-masing sebesar 20 persen dan 5 persen di dalam
APBN 2017. Hal ini merupakan wujud dukungan APBN terhadap penyediaan pelayanan publik
40
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
dasar. Beberapa program utama yang tercakup di dalam anggaran pendidikan adalah program
sertifikasi untuk ribuan guru dan dosen, distribusi Kartu Indonesia Pintar untuk 19,5 juta siswa,
bantuan Bidikmisi untuk ribuan mahasiswa serta Bantuan Operasional Sekolah untuk jutaan
siswa. Selain itu, di dalam anggaran pendidikan, pemerintah juga memprioritaskan rehabilitasi
ruang kelas. Sementara itu, anggaran kesehatan difokuskan untuk memperkuat upaya
promotif dan preventif serta meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan. Beberapa
program utama di dalam anggaran kesehatan adalah bantuan untuk Penerima Bantuan Iuran
(PBI) BPJS Kesehatan sebanyak 94,4 juta jiwa serta pencegahan Stunting (pendek dan sangat
pendek) pada anak umur di bawah dua tahun.
Peningkatan alokasi belanja produktif APBN 2017 ditunjukkan dengan kenaikan alokasi
anggaran infrastruktur yang mencapai Rp387,3 triliun. Jumlah ini meningkat signifikan
dibandingkan alokasi dalam APBNP 2016 yakni Rp346,6 triliun. Jumlah tersebut juga
meningkat sekitar Rp40 triliun dibandingkan RAPBN 2017, dikarenakan adanya aturan
minimal penggunaan Dana Transfer Umum untuk infrastruktur dari 15 persen menjadi 25
persen dalam rangka meningkatkan kualitas belanja APBD.
Reformasi subsidi dilanjutkan agar lebih tepat sasaran dan sinergis dengan program
perlindungan sosial lainnya. Hal ini dimaksudkan agar lebih efektif untuk mendukung program
pengentasan kemiskinan. Upaya tersebut ditempuh dengan memperbaiki mekanisme
penyaluran, meningkatkan akurasi data penerima serta mensinergikan dengan bansos (Rastra
dan PKH). Total Belanja Subisdi di dalam APBN 2017 ditetapkan sebesar Rp160,1 triliun yang
terdiri dari Subsidi Energi sebesar Rp77,3 triliun dan Subsidi Non Energi sebesar Rp82,7 triliun.
Dengan demikian, untuk pertama kalinya Subsidi Non Energi lebih tinggi dibandingkan Subsidi
Energi.
Subsidi BBM dan LPG Tabung 3 kg ditetapkan sebesar Rp32,2 triliun. Dalam hal ini, pemerintah
tetap memberlakukan subsidi tetap sebesar Rp500 per liter untuk bahan bakar solar. Secara
bertahap pola distribusi tertutup akan diberlakukan (by name by address). Sementara itu,
Subsidi Listrik ditetapkan sebesar Rp45 triliun yang diberikan kepada sekitar 19,1 juta
pelanggan yang menggunakan daya 450VA. Adapun tarif untuk rumah tangga mampu yang
menkonsumsi daya 900VA secara bertahap akan disesuaikan. Untuk subsidi non energi,
beberapa upaya yang dilakukan untuk meningkatkan akurasi dan ketepatan sasaran adalah
secara bertahap merubah pola pemberian Subsidi Pangan (Rastra) menjadi Program Bantuan
Pangan non tunai atau voucher.
Alokasi anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa pada APBN 2017 ditetapkan sebesar
Rp764,9 triliun. Jumlah ini sedikit lebih tinggi dibandingkan anggaran K/L sebesar Rp763,6
triliun. Ini menunjukkan dukungan pemerintah terhadap desentralisasi fiskal serta upaya
untuk meningkatkan peran pemerintah daerah dalam pembangunan. Beberapa langkah
strategis dilakukan seperti peningkatan efektivitas Dana Transfer Umum yang diarahkan
penggunaannya sekurang-kurangnya 25 persen untuk belanja infrastruktur daerah yang
langsung terkait dengan percepatan pembangunan fasilitas pelayanan publik dan ekonomi.
Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan
mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antardaerah.
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
41
Pengalokasian Dana Transfer Khusus dilakukan perbaikan guna mempercepat peningkatan
pelayanan dasar publik dan pencapaian prioritas nasional. Langkah perbaikan ini antara lain
dilakukan melalui pengalokasian DAK fisik (DAK Reguler, DAK Penugasan, dan DAK Afirmasi)
berdasarkan usulan daerah (proposal based) dan prioritas nasional, dengan memberikan
afirmasi kepada daerah tertinggal, perbatasan, kepulauan dan transmigrasi. Mekanisme
pengalokasian DAK tersebut juga diperbaiki melalui pengaturan proses penyusunan,
penyampaian, verifikasi dan penilaian usulan daerah. Sementara itu, anggaran Dana Desa juga
secara bertahap ditingkatkan dengan tetap memperhatikan kemampuan keuangan negara.
Pada APBN 2017, alokasi Dana Desa mencapai Rp60 triliun di mana secara rata-rata, setiap
desa akan mendapatkan alokasi sebesar Rp800,5 juta.
Dengan memperhatikan profil pendapatan dan belanja negara, defisit APBN 2017 ditetapkan
sebesar 2,41 persen terhadap PDB. Defisit fiskal tersebut diarahkan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan serta mendukung kegiatan
produktif guna meningkatkan produktivitas dan daya saing. Sumber-sumber pembiayaan
defisit diperoleh melalui penerbitan SBN yang diprioritaskan dengan denominasi rupiah,
bunga tetap, serta tenor jangka menengah panjang. Sementara untuk pinjaman dalam dan
luar negeri difokuskan untuk pemberdayaan industri dalam negeri serta pembangunan
infrastruktur. Rasio utang pemerintah akan dijaga pada tingkat yang aman yakni sekitar 28,5
persen, atau jauh di bawah tingkat utang negara-negara lain di dunia.
Grafik 11. Postur APBN 2017: Realisitis, Kredibel dan Berkelanjutan
(dalam triliun rupiah)
APBN 2016
APBN 2017
Pendapatan Negara dan Hibah
(2016: Rp1.782,6 T;
2017: Rp1.750,3) PNBP Rp245,1 T Perpajakan, Rp1539,2 T Perpajakan Rp1.498,9 T PNBP Rp250,0 T
Belanja Pemerintah Pusat
(2016: Rp1.306,7 T;
2017: Rp1.315,5 T)
Transfer ke Daerah dan Dana Desa
(2016: Rp776,3 T;
2017: Rp764,9 T)
Belanja Non KL
Rp538,9 T
Belanja K/L Belanja K/L Rp763,6
Rp767,8 T
Belanja Non K/L
Rp552,0 T
Dana Desa Rp47,0 T
Transfer ke Daerah Transfer ke Daerah Dana Desa Rp60,0 T
Rp729,3 T Rp704,9 T
Defisit
(2016: 2,35% PDB;
2017: 2,41% PDB)
Defisit Rp296,7 T Defisit Rp330,2 T
Pembiayaan
(2016: Rp296,7 T
2017: Rp330,2 T)
Pembiayaan Rp296,7 T Pembiayaan Rp330,2 T
Sumber: Kementerian Keuangan
Salah satu bagian penting dalam komponen Pembiayaan adalah pembiayaan investasi untuk
mendukung perekonomian nasional. Kebijakan ini dilakukan antara lain melalui Penanaman
Modal Negara (PMN) untuk mendukung pembangunan infrastruktur, Dana Bergulir untuk
pembiayaan perumahan, investasi pada Badan Layanan Umum Lembaga Manajemen Aset
Negara (BLU LMAN), serta peningkatan akses pembiayaan UMKM.
42
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Boks 2:
Analisis Benefit Incidence untuk Menghitung Dampak Pemberian Subsidi dan
Program Sosial terhadap Kemiskinan dan Ketimpangan
Selama satu dekade terakhir, angka kemiskinan mengalami penurunan, tetapi dengan tingkat
kecepatan yang juga menurun. Perkembangan rasio Gini juga sempat mengalami stagnasi pada
tingkat tertinggi yaitu kisaran 0,41, yang kemudian turun menjadi 0,40 pada tahun 2016. Realisasi
angka kemiskinan dan rasio Gini sejak tahun 2015 selalu di atas target RPJMN 2015-2019. Hal ini
mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi program-program yang terkait langsung dengan
kesejahteraan masyarakat, seperti subsidi dan bantuan sosial agar kebijakan fiskal dapat lebih
efektif dalam mencapai sasaran pembangunan.
Grafik 12. Perkembangan dan target angka kemiskinan dan Rasio Gini
(dalam persen)
Realisasi
Mar'16
10,86%
16
12
8
Adj.
Target
2016
10,5%
Adj.
Target
2017
10%
Target
RPJMN
7,0-8,0%
Realisasi
Mar'16
0,40
Adj.
Target
2017
0,39
0,40
0,38
0,36
0,34
0,32
Target
RPJMN
2019
0,36
0,30
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
6
0,42
Gini
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
Persen, %
14
10
0,44
Angka Kemiskinan
Indeks
18
Sumber: BPS dan Bappenas, diolah
Catatan: angka kemiskinan 2011-2016 menggunakan periode bulan Maret
Berdasarkan analisis benefit incidence dengan menggunakan data Susenas periode Maret 2014
hingga September 2015, terdapat beberapa kebijakan fiskal yang teridentifikasi berpengaruh
terhadap konsumsi rumah tangga, yaitu subsidi (LPG, listrik, solar, Rastra, dan KUR) dan bantuan
sosial (PKH dan PIP). Analisis benefit incidence mencoba menghitung dampak dari pemberian subsidi
dan bantuan sosial terhadap kemiskinan dan ketimpangan dengan menggunakan counterfactual
analysis, yaitu membandingkan antara kondisi aktual (dengan intervensi pemerintah) dengan
kondisi tanpa intervensi pemerintah.
Berdasarkan analisis ini, PKH merupakan program yang paling efektif dalam menurunkan
kemiskinan dan rasio Gini. Pada sisi lain, subsidi listrik memiliki dampak terbesar dalam menurunkan
kemiskinan (-2,6 persen) dan rasio Gini (-0,6 basis poin), karena nilai anggaran yang digunakan juga
besar. Pada tahun 2015, hasil estimasi memperkirakan nilai subsidi listrik yang diterima rumah
tangga sebesar Rp66,0 triliun. Untuk setiap rupiahnya, PKH lebih efektif menurunkan kemiskinan
dan rasio Gini. Oleh karena itu, dengan anggaran yang sama dengan subsidi listrik, dampak PKH
akan lebih besar dibandingkan dengan subsidi listrik.
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
43
Selain menghitung dampak terhadap kemiskinan dan ketimpangan, analisis benefit incidence juga
dapat memetakan distribusi penerima subsidi dan bantuan sosial. Dari hasil pemetaan tersebut,
diketahui bahwa subsidi energi (LPG 3 kg, listrik, dan solar) masih kurang tepat sasaran karena
pengeluaran subsidi lebih dinikmati oleh kelompok rumah tangga mampu.
Grafik 13. Dampak dan efektivitas subsidi dan Bansos dalam menurunkan kemiskinan dan Gini
0,2
Subsidi Solar
Perubahan Kemiskinan (%)
Subsidi Listrik
0,1
0,0
-3,0
-2,0
-1,0
PKH
Indonesia
Pintar
-0,1
1,0
Subsidi Solar
-0,2
-0,3
Subsidi -0,4
LPG -0,5
Subsidi
Listrik
PKH
0,0
-0,6
-0,7
Rastra
Perubahan Gini (bps)
-4,0
Efektivitas Penurunan
Gini
Rastra
Efektivitas Penurunan
Kemiskinan
Subsidi LPG
Indonesia Pintar
-5
0
-0,8
5
10
15
20
Indeks Efektivitas
Sumber: hasil simulasi menggunakan Susenas Maret 2014-September 2015
Catatan: dampak penurunan kemiskinan dan Gini ratio diukur dengan pendekatan counterfactual, yaitu dengan membandingkan
pengeluaran setiap rumah tangga penerima subsidi dan bantuan sosial jika tidak menerima subsidi dan bantuan sosial. Sementara indeks
efektivitas merupakan porsi perubahan kemiskinan dan rasio Gini terhadap total nilai manfaat yang diterima rumah tangga.
Secara detail, jumlah rumah tangga yang menerima LPG 3 kg pada saat pembagian paket perdana
mencapai 54,9 juta rumah tangga, padahal jumlah rumah tangga miskin dan rentan yang terdapat
dalam Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) 2015 sebesar 25,8 juta rumah tangga. Untuk
subsidi listrik, data Kementerian ESDM per Agustus 2016 menunjukkan bahwa terdapat 23,1 juta
rumah tangga pelanggan dengan daya 450 VA dan 22,9 juta rumah tangga pelanggan dengan daya
900 VA. Data Susenas menunjukkan bahwa kelompok rumah tangga mampu yang ikut menikmati
subsidi listrik ini mayoritas merupakan pengusaha di sektor pertanian dan perdagangan/restoran
yang diperkirakan relatif tidak membutuhkan daya listrik yang besar untuk usahanya.
Pada sisi lain, hasil pemetaan menunjukkan bahwa tingkat utilisasi solar bersifat regresif yang
berarti rumah tangga mampu menggunakan lebih banyak dibandingkan rumah tangga miskin dan
rentan. Tingkat utilisasi rumah tangga mampu yang lebih besar diperkirakan karena kelompok ini
merupakan pemilik aset (seperti mobil dan kapal nelayan), sedangkan rumah tangga miskin dan
rentan umumnya hanya merupakan pekerja.
Subsidi non-energi yang dapat diidentifikasi dari Susenas adalah Rastra, yaitu program yang
bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin dan rentan dalam memenuhi
kebutuhan pangan pokok (beras) dan mengendalikan gejolak harga. Pemetaan data Susenas
menunjukkan bahwa kelompok rumah tangga miskin dan rentan lebih menikmati subsidi Rastra,
meskipun masih terdapat kebocoran. Jumlah penerima Rastra sebanyak 35,1 juta rumah tangga
padahal seharusnya hanya 15,5 juta rumah tangga yang menerima. Rata-rata harga tebus di
masyarakat mencapai sekitar Rp2.000 atau di atas harga tebus yang ditetapkan yaitu Rp1.600.
Demikian juga secara volume, di mana rata-rata rumah tangga hanya menerima beras sebanyak 5
kg padahal seharusnya 15 kg.
44
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Berbeda dengan subsidi, sebaran bantuan sosial yaitu PKH dan PIP lebih bersifat progresif yaitu
rumah tangga miskin dan rentan menerima manfaat lebih besar. Hal ini karena PKH dan PIP lebih
tepat sasaran. Temuan ini juga didukung oleh studi BKF dengan World Bank tahun 2015 yang
menunjukkan bahwa PKH merupakan program yang paling efektif dalam menurunkan kemiskinan
dan ketimpangan karena sifatnya yang sangat progresif.
Berdasarkan identifikasi nilai subsidi dan bantuan sosial, diketahui bahwa kelompok 10 persen
rumah tangga termiskin menerima subsidi dan bantuan sosial sebesar 36,3 persen dari total
pengeluarannya. Menurut TNP2K, best practice negara-negara lain menunjukkan bahwa porsi nilai
subsidi dan bantuan sosial terhadap pendapatan rumah tangga yang optimal yaitu sebesar 30
persen. Oleh karena itu, di samping pemberian subsidi dan bantuan sosial, pemerintah sebaiknya
memperbesar porsi program pemberdayaan dan pelatihan untuk meningkatkan pendapatan rumah
tangga.
Tabel 13. Nilai subsidi dan manfaat bantuan sosial serta porsinya terhadap pengeluaran rumah
tangga
Desil
Pengeluaran
Termiskin
2
3
4
5
6
7
8
9
Terkaya
Nilai Manfaat Bantuan (Rp)
Porsi Subsidi/Bansos Terhadap Pengeluaran RT (%)
LPG
Listrik
Solar
Rastra
PKH
PIP
Total
Rp46.075
3,6%
Rp46.912
2,7%
Rp48.881
2,5%
Rp46.793
2,1%
Rp43.687
1,8%
Rp44.967
1,6%
Rp44.032
1,4%
Rp43.122
1,1%
Rp39.399
0,8%
Rp40.963
0,4%
Rp86.187
6,7%
Rp107.781
6,2%
Rp104.944
5,4%
Rp119.967
5,4%
Rp136.612
5,6%
Rp153.645
5,5%
Rp171.827
5,4%
Rp197.111
5,2%
Rp227.487
4,8%
Rp362.210
3,9%
Rp34.449
2,7%
Rp38.766
2,2%
Rp77.228
4,0%
Rp42.314
1,9%
Rp60.652
2,5%
Rp56.832
2,1%
Rp56.366
1,8%
Rp87.547
2,3%
Rp110.363
2,3%
Rp217.124
2,3%
Rp28.652
2,2%
Rp26.740
1,5%
Rp23.854
1,2%
Rp24.838
1,1%
Rp24.098
1,0%
Rp26.677
1,0%
Rp25.049
0,8%
Rp24.434
0,6%
Rp24.989
0,5%
Rp39.216
0,4%
Rp173.510
13,4%
Rp186.626
10,8%
Rp172.486
8,8%
Rp170.031
7,7%
Rp151.836
6,2%
Rp153.147
5,5%
Rp155.845
4,9%
Rp161.426
4,2%
Rp152.971
3,2%
Rp186.340
2,0%
Rp99.718
7,7%
Rp103.327
6,0%
Rp101.037
5,2%
Rp99.564
4,5%
Rp94.621
3,9%
Rp98.061
3,5%
Rp101.034
3,2%
Rp101.966
2,7%
Rp106.223
2,2%
Rp124.872
1,3%
Rp468.590
36,3%
Rp510.151
29,5%
Rp528.430
27,1%
Rp503.508
22,7%
Rp511.506
21,0%
Rp533.329
19,3%
Rp554.154
17,4%
Rp615.605
16,1%
Rp661.431
13,9%
Rp970.726
10,5%
Pengeluaran
RT
(Rp/RT/bln)
Rp1.291.503
Rp1.728.130
Rp1.950.069
Rp2.222.472
Rp2.435.431
Rp2.768.520
Rp3.193.093
Rp3.814.854
Rp4.757.735
Rp9.273.560
Sumber: hasil perhitungan PKEM-BKF menggunakan data Susenas
Catatan: perhitungan desil pengeluaran menggunakan disposable income (bukan market income) sehingga sudah terdapat unsur pajak dan
transfer pemerintah di dalamnya. Nilai subsidi/bantuan telah disesuaikan, yaitu menggunakan dari persentase subsidi/bantuan terhadap
pengeluaran rumah tangga di periode data yang digunakan (Maret 2014-September 2015) dikali dengan pengeluaran rumah tangga
periode September 2015.
Skala conditional cash transfer (CCT) atau bantuan tunai bersyarat di Indonesia relatif sebanding
dengan negara-negara lain yang diobservasi. Namun, progresivitas negara-negara Amerika Latin
dinilai lebih baik jika dilihat dari besarnya manfaat yang diterima desil satu dibanding desil yang lebih
kaya. Artinya, CCT di Amerika Latin lebih menyasar pada kelompok termiskin sehingga sangat efektif
dalam menurunkan kemiskinan dan ketimpangan. Untuk subsidi energi, porsi subsidi energi
terhadap pendapatan rumah tangga di Indonesia relatif lebih besar dibandingkan dengan negaranegara lain yang diobservasi.
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
45
Grafik 14. Pengalaman negara lain dalam
menyalurkan Bansos dan subsidi energi
Incidence Subsidi Energi
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Termiskin
% terhadap pendapatan
% terhadap pendapatan
Incidence CCT
Terkaya
Sumber: Amerika Latin dari Paz et al (2014), Higgins dan Pereira
(2014), Scott (2014); Sri Lanka dari preliminary result Arunatilake
(2014); Indonesia dari hasil perhitungan BKF-Kemenkeu
Catatan: Indonesia menggunakan disposable income tahun 2015,
sementara negara-negara lain menggunakan market income tahun
2012. Subsidi energi di Indonesia di antaranya LPG, solar, dan listrik
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Termiskin
Terkaya
Sumber: Amerika Latin dari Lustig dan Pessino (2014), Paz et al
(2014), Higgins dan Pereira (2014), Scott (2014), Jaramillo (2014),
Bucheli et al (2014), Lustig et al (2014); Armenia dari Younger et al
(2014), Sri Lanka dari preliminary result Arunatilake (2014);
Indonesia dari hasil perhitungan BKF-Kemenkeu
Catatan: Indonesia menggunakan disposable income tahun 2015,
sementara negara-negara lain menggunakan market income tahun
2012
Ke depan, pemerintah akan memperbaiki mekanisme penyaluran subsidi energi maupun nonenergi. Di tahun 2017, pemerintah berencana untuk menyalurkan LPG 3 kg secara lebih tepat
sasaran melalui pola distribusi tertutup (by name and by address) dan dilakukan secara bertahap
untuk 26,8 juta rumah tangga miskin dan rentan serta 2,3 juta usaha mikro. Untuk subsidi listrik,
hasil pembahasan dengan Banggar DPR-RI tanggal 20 September 2016 menetapkan bahwa subsidi
listrik hanya diperuntukkan bagi rumah tangga miskin dan rentan (40 persen termiskin) atau 19,1
juta rumah tangga pelanggan dengan daya 450 VA dan 4,05 juta rumah tangga pelanggan dengan
daya 900 VA. Demikian juga dengan mekanisme subsidi solar yang seharusnya dipergunakan untuk
transportasi umum, usaha mikro, pelayanan umum (solar subsidi dibatasi untuk nelayan dengan
kapal ikan Indonesia maksimum 30 GT) sesuai Perpres No. 191 Tahun 2014. Sedangkan untuk
penyaluran Rastra akan disempurnakan dengan meninjau kembali dan mendesain ulang Rastra, baik
dari sisi kelembagaan, penetapan sasaran, area, pengawasan dan pengendalian, termasuk
perubahan skema menjadi bantuan tunai dan disalurkan dengan layanan keuangan.
46
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Halaman ini sengaja dikosongkan
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
47
48
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
BAGIAN III
LAMPIRAN
DATA EKONOMI
MAKRO DAN APBN
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
49
Indikator
Pertumbuhan Ekonomi
Growth ( persen)
Nominal (triliun)
Inflasi ( persen)
IHK
Core
Administrative
Price
Volatile Food
Nilai Tukar (Rp/US$1)
Rata-rata
End Of Period
Suku Bunga ( persen)
BI Rate
Kredit Konsumsi
(eop)
Kredit Modal Kerja
(eop)
Kredit Investasi
(eop)
Harga Minyak
(US$/barel)
Rata-rata (ICP)
WTI
Brent
SUN dan Saham
Yield
Obligasi
(5YR)
Yield
(10YR)
Saham
IHSG
SUN,
NFB Saham,
SBI
Perbankan ( persen)
CAR
LDR
NPL
Pertumbuhan
Kredit
4,76
112,7
94,05
112,10
11,27
11,49
13,58
5,75
9.380
9.670
5,68
2,66
6,26
8.229,44
4,3
135,49
4,4
2012
8,83
8,03
105,8
97,61
108,8
11,82
12,12
13,13
7,5
10.451
12.189
11,83
16,65
5,78
9.087,28
8,38
146,84
4,98
2013
5.227
7,80
7,70
59,6
53,27
55,76
12,36
12,79
13,58
7,75
12.438
12.440
10,88
17,57
5,01
10.565,82
8,36
119
4,93
2014
4.593
8,75
8,82
35,5
37
35,8
12,12
12,46
13,88
7,5
13.362
13.795
4,84
0,39
4,79
11.540,79
3,35
122,99
3,95
2015
Dec
4.615
8,26
8,24
27,5
33,6
34,7
11,96
12,46
13,94
7,25
13.889
13.846
6,77
3,48
4,14
123,62
3,62
Jan
4.771
8,26
7,97
28,9
33,8
36,0
11,93
12,4
13,93
7,00
13.516
13.395
7,87
3,98
4,42
123,51
3,59
Feb
4.845
7,67
7,38
34,2
38,3
38,7
11,83
12,28
13,91
6,75
13.193
13.276
9,59
2,76
4,45
123,75
3,5
Mar
4.839
7,74
7,46
37,2
45,9
46,4
11,71
12,14
13,91
6,75
13.180
13.204
9,44
-0,84
3,6
123,19
3,41
Apr
4.770
7,87
7,58
44,7
49,1
48,3
11,6
11,97
13,86
6,75
13.420
13.615
8,15
-0,95
3,33
123,48
3,41
2016
Mei
5.017
7,45
7,32
44,5
48,3
48,4
11,49
11,82
13,83
6,50
13.355
13.180
8,12
-0,5
5,18
3086,559
3,45
124,29
3,49
Jun
5.216
6,94
6,76
40,7
41,6
41,0
11,45
11,78
13,82
5,25
13.116
13.094
7,14
-0,85
3,21
125,15
3,49
Jul
5.386
7,06
6,84
41,1
44,7
46,2
11,42
11,73
13,74
5,25
13.165
13.300
5,28
-0,91
2,79
125,13
3,32
Agu
5.365
7,06
6,84
42,2
48,2
47,7
11,36
11,61
13,72
5,00
13.328
12.998
6,51
-0,38
3,07
125,41
3,21
Sep
5.423
4,75
13.297
13.051
7,54
Data Perkembangan Indikator Ekonomi Makro s.d. Oktober 2016
5,19
4.274
7,24
6,70
46,6
46,9
46,7
5,02
3.216,80
3,31
125,59
3,08
0,17
Okt
4.316
-11.631
22,33
91,48
3,10
13.599
22,97
89,94
3,22
9,80
21.929
22,91
90,08
3,18
10,15
26.900
22,29
91,12
3,05
11,11
30.835
22,2
90,32
3,1
12,1
-4.390
21,73
89,52
2,93
10,38
23.798
21,76
89,6
2,83
9,13
21.229
21,7
89,5
2,87
8,88
13.871
21,51
90,95
2,73
8,05
17.476
21,16
91,95
2,49
9,31
5.353
19,40
89,42
2,2
10,12
-28.314
18,36
89,7
1,77
11,56
63.943
17,30
83,58
1,9
21,35
34.684
23,13
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
50
Uraian
APBNP
1.635,38
1.633,1
1.246,1
1.189,8
56,3
386,9
241,1
40,0
85,0
20,9
2,3
1.876,9
1.280,4
258,4
195,2
160,8
135,5
403,0
2,9
96,7
27,9
596,5
596,5
491,9
458,9
117,7
341,2
33,0
104,6
(106,0)
(241,5)
241,5
254,9
(13,4)
54,1
16,9
37,2
(3,4)
(64,2)
2014
Realisasi (LKPP
Audited)
1.550,49
1.545,5
1.146,9
1.103,2
43,6
398,6
240,8
40,3
87,7
29,7
5,0
1.777,3
1.203,6
243,7
176,6
147,3
133,4
392,0
0,9
97,9
11,7
573,7
573,7
477,1
445,2
103,9
341,2
31,9
96,7
(93,3)
(226,7)
273,6
261,2
12,4
52,6
17,8
34,8
(2,5)
(62,4)
94,8
94,6
92,0
92,7
77,6
103,0
99,9
100,8
103,3
142,3
216,5
94,7
94,0
94,3
90,5
91,6
98,5
97,3
31,8
101,3
41,7
96,2
96,2
97,0
97,0
88,3
100,0
96,6
92,4
88,1
93,9
113,3
102,5
-91,9
97,1
105,2
93,5
73,5
97,3
% thd APBNP
Data Penyerapan APBN Tahun 2014-2015
A. Pendapatan Negara dan Hibah
I. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Perpajakan
a. Pajak Dalam Negeri
b. Pajak Perdagangan Internasional
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak
a. Penerimaan Sumber Daya Alam
b. Bagian Laba BUMN
c. PNBP Lainnya
d. Pendapatan BLU
II. Hibah
B. Belanja Negara
I Belanja Pemerintah Pusat
1. Belanja Pegawai
2. Belanja Barang
3. Belanja Modal
4. Pembayaran Kewajiban Utang
5. Subsidi
6. Belanja Hibah
7. Bantuan Sosial
8. Belanja Lainnya
II. Transfer Ke Daerah Dan Dana Desa
1. Transfer ke Daerah
a. Dana Perimbangan
i. Dana Transfer Umum
- Dana Bagi Hasil
- Dana Alokasi Umum
ii. Dana Transfer Khusus
b. Dana Insentif Daerah
c. Dana Otonomi Khusus dan Keistimewaan DIY
d. Dana Transfer Lainnya
2. Dana Desa
C. Keseimbangan Primer
D. Surplus/Defisit Anggaran (A - B)
E. Pembiayaan
I. Pembiayaan Dalam Negeri
Ii. Pembiayaan Luar Negeri (neto)
1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto)
a. Pinjaman Program
b. Pinjaman Proyek
2. Penerusan SLA
3. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN
APBNP
1.761,6
1.758,3
1.489,3
1.440,0
49,3
269,1
118,9
37,0
90,1
23,1
3,3
1.984,1
1.319,5
299,3
259,7
252,8
155,7
212,1
4,6
103,6
31,7
664,6
643,8
521,8
463,0
110,1
352,9
58,8
17,6
104,4
20,8
(66,8)
(222,5)
222,5
242,5
(20,0)
48,6
7,5
41,1
(4,5)
(64,2)
2015
Realisasi
(Unaudited)
1.504,5
1.494,1
1.240,4
1.205,5
34,9
253,7
102,3
37,6
78,5
35,2
10,4
1.796,6
1.173,6
281,1
232,4
209,0
156,0
186,0
3,1
97,0
8,9
623,0
602,2
485,8
431,0
78,1
352,9
54,9
17,6
98,8
20,8
(136,1)
(292,1)
318,1
3,8
10,4
77,5
55,1
22,4
(1,1)
(66,0)
% thd APBNP
85,4
85,0
83,3
83,7
70,8
94,3
86,0
101,6
87,1
152,4
315,2
90,5
88,9
93,9
89,5
82,7
100,2
87,7
67,4
93,6
28,1
93,7
93,5
93,1
93,1
70,9
100,0
93,4
100,0
94,6
100,0
203,7
131,3
143,0
1,6
-52,0
159,5
734,7
54,5
24,4
102,8
51
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Uraian
APBNP
1.786,2
1.784,2
1.539,2
1.503,3
35,9
245,1
90,5
34,2
84,1
36,3
2,0
2.082,9
1.306,7
342,4
304,2
206,6
191,2
177,8
8,5
53,4
22,5
776,3
729,3
705,5
494,4
109,1
385,4
211,0
5,0
0,0
0,0
(49,5)
(67,7)
71,2
74,2
(2,9)
0,7
0,0
0,7
0,0
(3,6)
Jan
82,6
82,6
70,9
68,0
2,9
11,7
4,2
0,0
7,4
0,1
0,0
150,3
50,2
24,6
1,1
1,5
18,1
3,0
0,0
1,7
0,1
100,1
100,1
100,1
89,0
24,8
64,2
11,2
0,0
0,1
0,0
(61,0)
(86,7)
74,0
72,0
2,0
7,4
6,7
0,7
0,0
(5,4)
Feb
156,2
156,2
132,5
126,7
5,8
23,7
9,4
0,0
13,6
0,6
0,0
242,9
109,9
51,2
7,4
5,4
25,7
14,6
0,0
3,5
2,2
133,0
133,0
132,9
120,5
24,8
95,7
12,4
0,0
0,1
7,1
(90,3)
(143,3)
165,9
167,8
(1,9)
7,8
6,7
1,1
0,0
(9,8)
Mar
247,6
247,6
204,7
196,0
8,7
42,9
13,8
0,0
21,6
7,5
0,0
390,9
193,5
73,1
24,6
10,2
52,9
21,1
0,0
9,2
2,3
197,4
190,3
190,2
153,1
25,6
127,5
37,2
0,0
3,3
17,6
(94,7)
(158,2)
203,3
209,9
-6,7
8,9
6,7
2,2
0,0
(15,6)
2016
Apr
386,5
386,3
320,6
309,1
11,4
65,8
17,2
10
29
9,5
0,2
544,8
276,2
97,3
42,4
18
63,5
40,3
0,1
12,1
2,4
268,6
251
244,8
186,2
26,2
160
58,6
2,9
5,6
23,7
(110,2)
(189)
214,8
223,9
-9
11,7
6,7
5
(0,2)
(20,6)
Mei
496,8
496,1
406,9
392,6
14,3
89,2
23
19,8
34,2
12,1
0,7
685,8
357,4
119,9
64,5
27,2
78,8
47,5
0,2
16,8
2,5
328,4
304,8
296,3
227,4
35,1
192,3
68,9
2,9
5,6
26,8
(143,4)
(230,7)
276,6
300,9
-24,3
13,2
6,7
6,4
(0,3)
(37,2)
Jun
634,7
634,1
522
504,7
17,3
112,1
27,4
24,8
41,8
18,1
0,6
865,4
481,3
156,9
94,6
44,4
87,3
72,3
0,2
22,9
2,8
384
357,2
348,7
277,8
53,6
224,2
70,9
2,9
5,6
27,3
(140,5)
(247,8)
282,7
308,7
(26,1)
14,3
6,7
7,5
(0,3)
(40,0)
Jul
759,1
758,0
607,9
588,5
19,4
150,1
34,9
28,3
67,7
19,2
1,1
1.006,9
561,6
190,3
108,9
49,2
107,3
76,7
0,2
25,8
3,3
445,3
417,9
409,4
310,1
53,6
256,4
99,3
2,9
13,3
30,4
(145,8)
(261,8)
358,8
372,7
(13,9)
28,8
16,1
12,7
(0,9)
(41,8)
Agu
873,0
871,8
711,3
688,9
22,3
160,6
29,9
31,5
77,0
22,1
1,2
1.134,8
644,8
212,7
132,6
67,8
116,0
83,4
0,5
28,3
3,4
490,0
459,6
441,3
339,0
55,1
283,9
102,3
5,0
13,3
36,8
(77,7)
(224,3)
391,9
405,1
(13,2)
34,3
Sep
1.081,2
1.080,0
896,1
871,1
25,1
183,8
37,2
32,8
84,3
29,4
1,2
1.305,5
767,7
235,9
159,1
82,6
146,6
104,1
0,5
35,3
3,7
537,8
501,0
482,7
376,8
65,5
311,3
105,9
5,0
(1,1)
(46,5)
18,8
47,0
(105,5)
(296,7)
296,7
299,3
(2,5)
73,0
35,8
37,2
(5,8)
(69,7)
Data Penyerapan APBN Hingga Oktober 2016
A. Pendapatan Negara dan Hibah
I. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Perpajakan
a. Pajak Dalam Negeri
b. Pajak Perdagangan Internasional
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak
a. Penerimaan Sumber Daya Alam
b. Bagian Laba BUMN
c. PNBP Lainnya
d. Pendapatan BLU
II. Hibah
B. Belanja Negara
I. Belanja Pemerintah Pusat
1. Belanja Pegawai
2. Belanja Barang
3. Belanja Modal
4. Pembayaran Kewajiban Utang
5. Subsidi
6. Belanja Hibah
7. Bantuan Sosial
8. Belanja Lainnya
II. Transfer Ke Daerah Dan Dana Desa
1. Transfer ke Daerah
a. Dana Perimbangan
i. Dana Transfer Umum
- Dana Bagi Hasil
- Dana Alokasi Umum
ii. Dana Transfer Khusus
b. Dana Insentif Daerah
c. Dana Otonomi Khusus dan Keistimewaan
DIY
d. Dana Transfer Lainnya
2. Dana Desa
C. Keseimbangan Primer
D. Surplus/Defisit Anggaran (A-B)
E. Pembiayaan
I. Pembiayaan Dalam Negeri
II. Pembiayaan Luar Negeri(neto)
1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto)
a. Pinjaman Program
b. Pinjaman Proyek
2. Penerusan SLA
3. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN
Okt
1.186,8
1.185,4
986,6
958,9
27,7
198,7
42,9
34,5
90,5
30,8
1,4
1.455,1
857,5
259,3
177,7
98,0
157,0
123,2
0,8
37,7
4,0
597,6
556,2
537,7
409,4
66,0
343,3
128,3
5,0
13,5
41,5
(111,4)
(268,3)
395,3
414,1
(18,7)
35,3
21,4
14,0
(1,4)
(52,7)
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
52
Halaman ini sengaja dikosongkan
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
53
Halaman ini sengaja dikosongkan
54
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
55
56
Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Download