BADANKE BI J AKANF I S KAL KE ME NT E RI ANKE UANGANRI TI NJ AUAN EKONOMI , KEUANGAN,&F I S KAL S i ner g iRef or mas iunt ukMendor ongPer t umbuhanEk onomi EDI S IV/DES EMBER2016 EDISI V / Desember 2016 Foto Sampul : Kegiatan Kemenkeu Mengajar di SD Negeri Pisangan Timur 10 Pagi Rawamangun Tinjauan Kebijakan Fiskal diterbitkan oleh Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, dengan periode publikasi dwi-bulanan dan memuat mengenai perkembangan kebijakan ekonomi, fiskal, dan keuangan terkini. Diterbitkan oleh: Badan Kebijakan Fiskal. Pengarah: Kepala Badan Kebijakan Fiskal. Penanggung Jawab: Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro. Editor: Yoopi A, Noeroso L. Wahyudi, Syaifullah, Nasruddin D, Wahyu U, Thomas N, Suharto H, Ferry I, Syahrir Ika, Hidayat Amir. Redaktur Pelaksana: Dalyono. Dewan Redaksi: Taufan Pamungkas, Immanuel B, Indra Budi, Abdul Aziz, Fathul Kamil, Yusuf Munandar, Dwi Anggi Novianti Desain Grafis Bramantiyo, Rizki Saputri, Johan Zulkarnain, Bagus Handoko. Foto Sampul: Masyitha Mutiara Ramadhan Sekretariat: Puguh, Fajar, Innes Clara, Dhoni, Adi Triyono. Alamat Redaksi: Gedung R.M. Notohamiprodjo, Jalan Dr. Wahidin Raya Nomor 1 Jakarta 10710. www.fiskal.kemenkeu.go.id 2 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal Tinjauan EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL Edisi V / Desember 2016 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 3 VISI 4 “Menjadi unit terpercaya dalam perumusan kebijakan fiskal dan sektor keuangan yang antisipatif dan responsif untuk mewujudkan masyarakat Indonesia sejahtera”. Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal KATA PENGANTAR Perkembangan ekonomi global masih mengalami perlambatan. Pada 2016, ekonomi global diproyeksikan tumbuh sebesar 3,1 persen, menurun jika dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2015 sebesar 3,2 persen. Dalam kondisi tersebut, ekonomi Indonesia masih tumbuh mencapai 5,02 persen pada triwulan ketiga 2016. Secara keseluruhan, ekonomi Indonesia diperkirakan akan mencapai 5,0 persen pada tahun 2016. Sebagai upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan tersebut, pemerintah dan otoritas terkait terus melanjutkan reformasi yang menyeluruh dan sinergis guna menghadapi tantangan global dimaksud, sehingga kinerja perekonomian domestik tetap optimis. Reformasi tersebut meliputi reformasi struktural dan fiskal yang didukung oleh kebijakan moneter yang lebih akomodatif. Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal Edisi V Tahun 2016 mengambil tajuk Sinergi Reformasi untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi untuk mengulas sinergi reformasi kebijakan yang dilakukan pemerintah dan otoritas terkait, baik di sisi fiskal, sektor riil, dan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkualitas dan berkesinambungan. Tinjauan ini merupakan terbitan dwi-bulanan yang menyajikan data-data dan informasi terkini mengenai ekonomi makro dan kebijakan fiskal. Diharapkan, materi yang terangkum dalam Tinjauan ini dapat menjadi referensi bagi para pemangku kepentingan dan masyarakat luas dalam memahami kondisi ekonomi dan kebijakan fiskal terkini. Dengan pemahaman tersebut, para pemangku kepentingan dan masyarakat dapat memberikan quality control terhadap kebijakan yang disusun pemerintah. Hal ini sejalan dengan visi Badan Kebijakan Fiskal sebagai unit perumus kebijakan fiskal yang terpercaya, antisipatif, dan responsif. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Indonesia-Australia Government Partnership Fund yang telah mendukung kelancaran terbitnya Tinjauan ini. Kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami butuhkan untuk perbaikan ke depan. Selamat membaca. Desember 2016 Suahasil Nazara Kepala Badan Kebijakan Fiskal Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 5 DAFTAR ISI Kata Pengantar 5 Daftar Isi 6 Abreviasi 7 Ringkasan Eksekutif 8 Executive Summary 10 Bagian I: Tinjauan Perkembangan Ekonomi Makro 13 A. Perekonomian Global Masih Cenderung Melambat 14 B. Ekonomi Tetap Tumbuh Relatif Kuat Didorong oleh Permintaan Domestik yang Sehat 18 C. Perkembangan Suku Bunga, Inflasi, Nilai Tukar dan Keseimbangan Eksternal 21 D. Kredit Perbankan Nasional Masih Mengalami Perlambatan 26 E. Hingga Akhir November, IHSG Masih Bertahan di atas Angka 5000 28 Bagian II: Analisis Kinerja APBN Hingga Oktober 2016 dan APBN 2017 31 Sinergi Reformasi untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi 32 Kinerja APBN Sampai Dengan Oktober 2016 33 APBN 2017: Realistis, Kredibel, dan Berkelanjutan 39 Lampiran Data Ekonomi Makro dan APBN 49 A. Data Perkembangan Indikator Ekonomi Makro s.d. Oktober 2016 50 B. Data Penyerapan APBN Tahun 2014-2015 51 C. Data Penyerapan APBN Hingga Oktober 2016 52 6 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal ABREVIASI 7DRR APBN : : (suku bunga) 7-Day Reverse Repo LNPRT : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan LPG mom mtd : : : : Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga Liquefied Petroleum Gas month on month month to date APBNP : AS : Amerika Serikat NPL BBM BLU BOPO : Bahan Bakar Minyak Badan Layanan Umum Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial basis points Badan Pusat Statistik British Exit Capital Adequacy Ratio conditional cash transfer Crude Palm Oil NPWP OPEC : PBDT PDB PIP PKH PMA PMDN PMTB PNBP PPh PPN Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Umum RAPBN : : : : : : : : : : : Dana Bagi Hasil Rastra : Beras Sejahtera Dana Pihak Ketiga ROA : Return on Asset RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka : : BPJS : bps BPS Brexit CAR CCT CPO : : : : : : : DAK DAU DBH : : DPK : DPR : Dewan Perwakilan Rakyat ICP : Indonesian Crude Price IHSG : Indeks Harga Saham Gabungan IMF : K/L : Kemen ESDM : Kemenhan : Kemenhub Kemenpupera : kg KKP : : KUR LDR : : : : Non Performing Loan Nomor Pokok Wajib Pajak Organization of the Petroleum Exporting Countries Pemutakhiran Basis Data Terpadu Produk Domestik Bruto Program Indonesia Pintar Program Keluarga Harapan Penanaman Modal Asing Penanaman Modal Dalam Negeri Pembentukan Modal Tetap Bruto Penerimaan Negara Bukan Pajak Pajak Penghasilan Pajak Pertambahan Nilai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Menengah Nasional SBN : Surat Berharga Negara SDA : Sumber Daya Alam Kementerian/Lembaga SILPA : Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Kementerian Energi dan Sumber SPN : Surat Perbendaharaan Negara Daya Mineral Susenas Survei Sosial Ekonomi Nasional Kementerian Pertahanan TNP2K : : Kementerian Perhubungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat kilogram Kementerian Kelautan dan Perikanan Kredit Usaha Rakyat Loan to Deposit Ratio UMKM UU VA WEO WTI yoy ytd : : : : : : : International Monetary Fund Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Undang-Undang Volt-ampere World Economic Outlook West Texas Intermediate year on year year to date Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 7 RINGKASAN EKSEKUTIF Perekonomian global tahun 2016 diproyeksikan akan tumbuh melambat sebesar 3,1 persen, menurun jika dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2015 sebesar 3,2 persen. Berdasarkan proyek IMF dalam WEO Edisi Oktober 2016, pertumbuhan ekonomi negara maju tahun 2016 direvisi menurun sebesar 0,2 percentage point dari proyeksi pada Juli 2016, yakni dari 1,8 persen menjadi 1,6 persen. Sementara itu, proyeksi pertumbuhan negara berkembang diperkirakan naik sebesar 0,1 percentage point yakni dari 4,1 persen menjadi 4,2 persen. Koreksi atas proyeksi ekonomi negara maju merefleksikan adanya potensi dampak lanjutan dari peristiwa Brexit serta pengaruh perkembangan politik AS yang masih dibayangi ketidakpastian dan potensi kenaikan suku bunga acuan AS. Sementara itu, perbaikan proyeksi di negara berkembang didorong oleh cenderung positifnya sentimen pasar keuangan seiring dengan ekspektasi suku bunga rendah di kawasan negara maju, serta kenaikan harga komoditas meskipun masih pada taraf terbatas. Di sisi domestik, perekonomian Indonesia pada triwulan ketiga tahun 2016 tumbuh 5,02 persen (yoy), melambat dibanding pertumbuhan triwulan sebelumnya yang sebesar 5,19 persen. Meski demikian, tingkat pertumbuhan triwulan ketiga ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun 2015. Terjaganya pertumbuhan ini ditopang oleh permintaan domestik yang stabil di tengah kinerja ekspor dan impor yang masih mengalami pertumbuhan negatif. Sektor industri yang tumbuh stabil dan sektor pertambangan yang tumbuh positif turut mendorong pertumbuhan di triwulan ketiga 2016. Stabilitas perekonomian masih tetap terkendali. Inflasi berada di tingkat yang rendah dan stabil, diperkirakan mendekati batas bawah target inflasi 2016 yakni 4±1 persen. Defisit neraca transaksi berjalan juga semakin rendah di mana pada triwulan ketiga 2016 berada di bawah 2 persen dari PDB. Fundamental ekonomi yang baik dan stabilitas perekonomian yang terkendali pada gilirannya mendukung nilai tukar rupiah tetap stabil dan berdaya saing. Kondisi ini juga mendorong upaya perbaikan iklim investasi sehingga pada triwulan ketiga 2016, investasi langsung meningkat sebesar 11 persen. Kinerja sektor jasa keuangan masih baik dengan tingkat risiko yang relatif terkendali. Di industri perbankan, rasio CAR masih sangat memadai untuk memitigasi risiko, sedangkan NPL berada pada tingkat yang rendah dengan tingkat kecukupan pencadangan yang tinggi. Sementara itu, pasar saham domestik, IHSG relatif stabil. Perkembangan ekonomi domestik yang positif perlu terus diperkuat di tengah kondisi pemulihan perekonomian global yang masih rentan dan diliputi ketidakpastian. Pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan akan terus memperkuat sinergi dan koordinasi guna memastikan kesinambungan pemulihan perekonomian nasional. Pemantauan terhadap perkembangan ekonomi domestik dan global serta berbagai risiko yang dapat mengemuka 8 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal akan terus dilakukan secara intensif. Sinergi kebijakan akan dilakukan secara kuat sehingga berbagai langkah yang ditempuh menjadi kesatuan yang terintegrasi dan mendukung upaya memperkuat ketahanan ekonomi. Keberlanjutan fiskal relatif terjaga, walaupun masih menghadapi tantangan. Kinerja APBN sampai dengan Oktober 2016 menunjukan perbaikan. Hal ini tidak lepas dari penerapan kebijakan efisiensi anggaran yang telah dilakukan sejak pertengahan tahun 2016. Esensi kebijakan tersebut adalah untuk mendorong optimalisasi pendapatan, penguatan kualitas belanja dan upaya mitigasi risiko serta menjaga keberlanjutan fiskal jangka menengah. Kebijakan ini menjadikan APBN 2016 lebih kredibel dan realistis. Hingga Oktober 2016, pendapatan negara mencapai sebesar Rp1.186,8 triliun (66,4 persen terhadap APBNP), meliputi penerimaan perpajakan sebesar Rp986,6 triliun (64,1 persen) dan PNBP mencapai Rp198,7 trilun (81,1 persen). Sementara itu, realisasi belanja negara hingga Oktober 2016 mencapai Rp1.455,1 triliun (69,9 persen), yang meliputi Belanja Pemerintah Pusat mencapai Rp857,5 triliun (65,6 persen) serta Transfer ke Daerah dan Dana Desa mencapai Rp597,6 triliun (77,0 persen). Defisit anggaran tercatat sebesar Rp268,3 triliun (2,14 persen terhadap PDB) atau lebih rendah dibanding periode yang sama tahun 2015 sebesar Rp283,5 triliun (2,5 persen terhadap PDB). Program Amnesti Pajak diharapkan dapat memperkecil kekurangan pendapatan negara. Pada periode pertama, penerimaan perpajakan yang diperoleh dari program pengampunan pajak mencapai sekitar Rp97 triliun. Jumlah tersebut diharapkan akan terus meningkat secara signifikan selama pelaksanaan program dimaksud hingga akhir Maret 2017. Dalam upaya ini, pemerintah secara konsisten terus melakukan diseminasi dan sosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk kepada asosiasi profesi, untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam menyukseskan progam dimaksud. APBN 2017 disusun sebagai kebijakan fiskal yang ekspansif dengan menjaga prinsip kehatihatian. Target pendapatan dihitung dengan dasar perhitungan yang lebih realistis setelah dilakukan penurunan target serta konsolidasi belanja di dalam APBNP 2016. Strategi kebijakan fiskal diarahkan untuk mendorong agar pengelolaan fiskal lebih realistis, kredibel dan berkelanjutan, baik dalam jangka pendek dan jangka menengah. Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 9 EXECUTIVE SUMMARY Global economic growth is projected to continue slowing from 3.2 percent in 2015 to 3.1 percent in 2016. According to IMF, the advanced economies growth projection has been revised down by 0.2 percentage point from 1.8 percent to 1.6 percent. The downgrade of advanced economies growth projection reflects the risk coming from the impact of Brexit and the uncertainty of the United States political development. While the growth projection of emerging economies has been improving by 0.1 percentage point from 4.1 percent to 4.2 percent, supported by low interest rate expectation in the advanced economies and a little improvement of commodity prices. Indonesia economic growth in the third quarter 2016 was 5.02 percent (yoy), or slower compared to the previous quarter of 5.19 percent. Nevertheless, the growth was higher than the same quarter in 2015. The robust growth was supported by stable domestic demand in the midst of contracting export and import. The stable manufacturing sector and positive growth of mining sector also contributed in lifting growth in the third quarter 2016. Economic stability remains preserved. Inflation is still under control and is expected to be at the bottom range of 2016 target of 4±1 percent. The current account deficit is also narrower to be below 2 percent of Gross Domestic Product in the third quarter 2016. Healthy economic fundamental has supported the stability of Rupiah as well as buttressed investment climate improvement. In the third quarter 2016 direct investment increased by 11 percent. Financial service sector performance is still buoyant with relatively manageable risk level. Credit Adequacy Ratio remains sufficient to mitigate risk and Non Performing Loan level is still low. Moreover, capital market performance is robust highlighted by stable Jakarta Composite Index movement. Positive development of economic domestic needs to be strengthened in the midst of global economic recovery that is still vulnerable and full of uncertainty. The government, Bank Indonesia and Otoritas Jasa Keuangan will continue to extend synergy and coordination to ensure sustainability of economy will be achieved. Synergy of policy will be strongly carried out to support economic resilience. Moreover, surveillance of global and domestic economy will be intensified. The fiscal sustainability is retained despite challenges ahead. The state budget realization until October 2016 has shown some improvements. This has been the result of budget efficiency implemented since mid 2016. The objectives of efficiency policy are to support the optimization of revenue, to strengthen quality of spending as well as to maintain fiscal sustainability in medium term. The efficiency policy has helped in shaping a more credible and realistic 2016’s State Budget. Until October 2016, the State Revenue collected was Rp1,186.8 trillion (66.4 percent of Revised Budget), consisted of Tax Revenue of Rp986.6 trillion (64.1 percent) and Non Tax Revenue of Rp198.7 trillion (81.1 percent). The State Expenditure disbursed until October 10 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 2016 reached Rp1,455.1 trillion (69.9 percent), comprised of Central Government Expenditure of Rp857.5 trillion (65.6 percent) and Transfer to Region and Village Fund of Rp597.6 triliun (77.0 percent). Budget deficit recorded of Rp268.3 trillion (2.14 percent of Growth Domestic Product) or lower than October 2015 budget deficit of Rp283.5 trillion (2.5 percent of Growth Domestic Product). Tax Amnesty program is expected to help narrowing shortfall of State Revenue. During the first period redemption fee collected from Tax Amnesty program amounted Rp97 trillion. The amount is predicted to rise until the end of March 2017 when the program is ended. The government has been consistently disseminating this program to taxpayers including to professional association to increase the participation of this program. The 2017 State Budget was formulated as an expansive yet prudent fiscal policy instrument. The revenue target was calculated based on a more realistic basis after the government adjusting revenue target and consolidating expenditure in the 2016 Revised Budget. Fiscal policy strategy is directed towards a more realistic, credible, and sustainable fiscal management in both short and medium terms. Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 11 12 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal BAGIAN I TINJAUAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO Beberapa indikator ekonomi global seperti perdagangan dan harga komoditas berangsur membaik. Namun pertumbuhan ekonomi global di tahun 2016 diperkirakan masih cenderung melambat dibandingkan tahun 2015. Di sisi domestik, ekonomi relatif terjaga dengan pertumbuhan 5,02 persen (yoy) di triwulan ketiga 2016. Beberapa indikator ekonomi lainnya seperti inflasi, nilai tukar, neraca pembayaran dan perdagangan, serta perbankan dan pasar modal juga relatif terjaga. Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 13 A. Perekonomian Global Masih Cenderung Melambat Grafik 1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global dan Realisasi Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara (dalam persen, yoy) 4,2 4 2015 2016 3,8 2014 2017 3,6 3,4 3,4 3,4 3,2 3,2 3,1 Jul-16 Okt-16 Apr-16 Jan-16 Okt-16 Jul-15 Apr-15 Jan-15 Jul-14 Okt-14 Jan-14 Apr-14 3 8 7 6 5 4 3 2 1 0 -1 -2 AS Zona Euro Jepang Tiongkok 2015 Q1 2015 Q2 2015 Q3 2015 Q4 2016 Q1 2016 Q2 Sumber: WEO IMF Pertumbuhan ekonomi global hingga November 2016 diperkirakan masih akan mengalami perlambatan. Dalam WEO Oktober 2016, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun 2016 masih berada pada tingkat yang sama seperti posisi Juli 2016, yakni tumbuh melambat sebesar 3,1 persen dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2015 sebesar 3,2 persen. Meskipun proyeksi pertumbuhan global tidak berubah, terdapat revisi atas proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk masing-masing negara maju dan negara berkembang. Proyeksi pertumbuhan negara maju tahun 2016 direvisi menurun sebesar 0,2 percentage points, yakni dari 1,8 persen pada Juli menjadi 1,6 persen pada Oktober. Sementara itu, proyeksi pertumbuhan negara berkembang diperkirakan naik sebesar 0,1 percentage point yakni dari 4,1 persen menjadi 4,2 persen. Koreksi atas proyeksi ekonomi negara maju merefleksikan adanya potensi dampak lanjutan dari peristiwa Brexit serta pengaruh perkembangan politik AS yang masih dibayangi ketidakpastian dan potensi kenaikan suku bunga acuan AS. Sementara itu, perbaikan proyeksi di negara berkembang didorong oleh cenderung positifnya sentimen pasar keuangan seiring dengan ekspektasi suku bunga rendah di kawasan negara maju, serta kenaikan harga komoditas meskipun masih pada taraf terbatas. Proyeksi pertumbuhan ekonomi di beberapa negara berkembang besar, terutama Brazil dan Rusia, juga menunjukkan sinyalemen perbaikan. Proyeksi pertumbuhan ekonomi AS terkoreksi cukup dalam, yakni dari 2,2 persen pada Juli 2016, menjadi 1,6 persen pada Oktober 2016. Momentum pemilihan presiden yang diwarnai isu proteksionisme perdagangan dan anti-imigran, cukup signifikan mempengaruhi koreksi atas proyeksi pertumbuhan ekonomi AS. Selain itu, kinerja investasi AS yang masih belum kuat juga berkontribusi dalam penurunan proyeksi pertumbuhannya. 14 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal Efek jangka pendek dari terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden AS dapat dilihat dari indikator-indikator di pasar keuangan dan pasar modal. Nilai tukar di Eropa dan beberapa negara di Asia mencatatkan depresiasi pasca pemilihan presiden AS. Begitu pula dengan indeks saham di negara-negara tersebut yang mengalami koreksi. Sementara itu nilai tukar dan indeks saham AS tercatat melonjak, yang mencerminkan fenomena risk averse di mana para investor lebih memilih berinvestasi pada aset safe haven, mempertimbangkan ekonomi negara berkembang yang berpotensi melemah dengan kemungkinan kebijakan proteksionisme perdagangan AS. Namun, pergerakan tersebut sifatnya hanya temporer. Ke depan, perlu untuk diwaspadai efek jangka menengah dan panjang yang akan bergantung pada langkah kebijakan yang akan diambil oleh pemerintahan baru AS. Realisasi pertumbuhan ekonomi AS pada triwulan ketiga 2016 adalah sebesar 1,5 persen (yoy), menguat dari triwulan sebelumnya yang sebesar 1,3 persen (yoy). Membaiknya pertumbuhan ekonomi AS pada triwulan ketiga ini didukung oleh kuatnya ekspor dan peningkatan persediaan. Meskipun pertumbuhan ekonomi AS pada triwulan ketiga tersebut mengalami kenaikan, namun realisasi pertumbuhan di semester pertama yang lebih rendah dari perkiraan membuat proyeksi pertumbuhan AS untuk keseluruhan tahun 2016 hanya sebesar 1,6 persen (yoy), lebih rendah dari pencapaian tahun 2015 sebesar 2,6 persen (yoy). Untuk tahun 2017, pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan membaik pada tingkat 1,8 persen (yoy). Di Zona Euro, proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2016 direvisi meningkat sebesar 0,1 percentage point yakni dari 1,6 persen pada Juli menjadi 1,7 persen pada Oktober. Namun demikian, proyeksi tahun 2016 tersebut masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi tahun 2015 yang sebesar 2,0 persen. Hal tersebut menggambarkan adanya risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi yang salah satunya diakibatkan oleh peristiwa Brexit. Meskipun reaksi pasar keuangan terhadap peristiwa Brexit sudah berangsur membaik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ketidakpastian di sisi ekonomi, politik, institusi, serta arus perdagangan antara Inggris dan Uni Eropa yang diprediksi akan mengalami penurunan hingga jangka menengah, dapat memberikan dampak negatif kepada kondisi makroekonomi di Eropa, khususnya di negara Inggris. Efek referendum Brexit juga terefleksi pada proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2017 di mana Zona Euro diperkirakan tumbuh melambat pada tingkat 1,5 persen. Dalam jangka menengah, proyeksi pertumbuhan ekonomi di Zona Euro juga tampak pesimis, di mana pertumbuhan pada tahun 2021 diperkirakan masih di angka 1,5 persen. Sementara itu, realisasi pertumbuhan ekonomi Zona Euro pada triwulan ketiga 2016 adalah sebesar 1,6 persen (yoy), tidak berubah dari pertumbuhan ekonomi triwulan sebelumnya maupun triwulan ketiga 2015. Pertumbuhan ekonomi melambat di beberapa negara terutama Jerman dan Spanyol, tetapi membaik di Perancis dan Italia. Pertumbuhan ekonomi Jepang pada 2016 diperkirakan sebesar 0,5 persen, meningkat dibandingkan proyeksi pada WEO Juli yang sebesar 0,3 persen, namun tetap jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2015. Inflasi rendah yang berkepanjangan serta lemahnya kegiatan industri manufaktur masih menjadi penghambat utama dalam pertumbuhan ekonomi Jepang. Untuk triwulan ketiga 2016, ekonomi Jepang tumbuh sebesar Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 15 0,9 persen (yoy), meningkat dari triwulan sebelumnya yang sebesar 0,6 persen (yoy). Tren apresiasi Yen yang masih terjadi sepanjang tahun 2016 diperkirakan dapat membebani proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2016, antara lain melalui transmisi penurunan ekspor. Untuk tahun 2017, ekonomi Jepang diproyeksikan akan membaik dengan pertumbuhan sebesar 0,6 persen (yoy). Proyeksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada tahun 2016 diperkirakan sebesar 6,6 persen, tetap jika dibandingkan proyeksi pada Juli 2016. Proyeksi tersebut menunjukkan masih berlanjutnya pergeseran mesin pertumbuhan ekonomi Tiongkok dari berbasis investasi menjadi berbasis konsumsi. Realisasi pertumbuhan ekonomi untuk triwulan ketiga 2016 adalah sebesar 6,7 persen (yoy), tidak berubah dari triwulan sebelumnya dan masih sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi pemerintah sebesar 6,5 persen-7 persen. Untuk menghindari pelemahan yang lebih tajam, Pemerintah Tiongkok mencoba memberikan dukungan kebijakan baik di sisi moneter maupun sisi fiskal. Selain itu, meningkatnya konsumsi dan mulai beralihnya aktivitas ekonomi dari industri ke jasa, mengindikasikan bahwa proses transformasi ekonomi Tiongkok berjalan sesuai rencana. Ke depan, hubungan antara AS dengan Tiongkok seiring dengan terpilihnya presiden baru AS, perlu menjadi perhatian karena dapat mempengaruhi dinamika global. Prospek pertumbuhan ekonomi di kawasan negara berkembang terlihat bervariasi di masingmasing wilayah. Negara berkembang di kawasan Asia menunjukkan prospek perbaikan kinerja ekonomi, sementara negara di kawasan Afrika Sub-Sahara mengalami penurunan yang tajam. Di sisi harga, perbaikan harga beberapa jenis komoditas, seperti minyak dan logam, telah memberi sedikit dorongan pada kondisi ekonomi negara pengekspor komoditas. Di sisi kebijakan, sejumlah negara berkembang tercatat telah melakukan kebijakan moneter longgar, termasuk Indonesia. Negara berkembang lain yang juga melakukan pelonggaran kebijakan moneter adalah Malaysia, Rusia, dan Turki. Sementara itu, perekonomian Brazil dan Rusia yang masih tercatat mengalami resesi, diperkirakan akan segera mengalami pemulihan. Aktivitas ekonomi di Brazil diproyeksikan akan membaik seiring dengan kenaikan sebagian harga komoditas serta meredanya risiko politik. Pada triwulan ketiga 2016, ekonomi Brazil tercatat -3,8 persen (yoy), lebih baik dibandingkan pertumbuhan triwulan kedua yang sebesar -5,4 persen (yoy). Proyeksi pertumbuhan ekonomi Brazil untuk tahun 2016 dan 2017 masing-masing adalah -3,3 persen dan 0,5 persen. Di sisi lain, Rusia yang telah menyesuaikan kondisi ekonominya terhadap penurunan harga minyak dan sanksi internasional, juga tercatat mulai membaik. Di sisi finansial, pasar keuangan Rusia mendapatkan stimulasi berupa penambahan capital buffer di sektor perbankan. Realisasi pertumbuhan ekonomi Rusia untuk triwulan ketiga 2016 adalah sebesar -0,4 persen (yoy), membaik dari pertumbuhan ekonomi sebelumnya yang sebesar 0,6 persen (yoy). Untuk keseluruhan tahun 2016, ekonomi Rusia diprediksi akan mengalami kontraksi sebesar 0,8 persen sebelum akhirnya kembali tumbuh positif sebesar 1,1 persen di tahun 2017. 16 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal Boks 1: Kemudahan Menjalankan Bisnis di Indonesia Meningkat Indonesia telah mengalami perbaikan yang signifikan dalam hal kemudahan untuk menjalankan bisnis. Menurut Bank Dunia dalam laporannya, Ease of Doing Business 2017, Indonesia menempati peringkat 91, naik 15 peringkat dari tahun sebelumnya. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan peningkatan terbaik, bersama dengan Brunei Darussalam, Kazakhstan, Kenya, dan Belarus. Dari 11 indikator yang menjadi kriteria utama, terdapat empat indikator yang menjadi penentu perbaikan peringkat Indonesia yaitu kemudahan untuk memulai usaha, memperoleh kredit, membayar pajak, serta akses terhadap listrik. Dihapusnya persyaratan penyerahan modal dasar dan didorongnya penggunaan sistem online dalam pendirian usaha, mengindikasikan semakin mudahnya mendirikan usaha di Indonesia. Kebijakan tersebut disampaikan pemerintah melalui paket kebijakan ekonomi XII, di mana salah satu poin utamanya adalah meringankan syarat dalam pembentukan UMKM. Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas, pendirian perseroan terbatas dengan skala UMKM tidak perlu lagi untuk menyediakan modal dasar sebesar Rp50 juta. Pemerintah juga menyediakan portal online untuk memesan nama perseroan, yayasan, dan perkumpulan yang dapat diakses oleh publik. Bunga KUR yang lebih rendah dan penggunaan portal online untuk pengurusan agunan dapat memberikan kemudahan akses kredit kepada masyarakat. Pada awal tahun 2016, pemerintah telah menurunkan bunga KUR dari yang sebelumnya 12 persen menjadi 9 persen. Bunga tersebut kembali dipangkas lebih rendah di tahun 2017 mendatang menjadi sebesar 7 persen. Selain itu, pemerintah juga menyiapkan portal online yang berfungsi dalam pengurusan jaminan dan agunan yang dapat diakses secara umum. Dengan adanya sistem ini, pengurusan jaminan atau fidusia akan menjadi lebih cepat dengan biaya yang relatif lebih rendah. Pengenalan sistem online semakin memudahkan wajib pajak dalam membayar kewajibannya. Mulai sejak 1 Juli 2016, para wajib pajak diharuskan untuk membayar pajak melalui sistem billing atau e-Billing. Sistem ini berfungsi untuk menyederhanakan proses pengisian data dalam rangka pembayaran pajak termasuk mengurangi terjadinya human error. Sistem ini juga berfungsi untuk mendukung pelaksanaan cash management yang baik dengan menyajikan informasi penerimaan negara secara real time yang didukung keandalan teknologi informasi dalam penerapan Treasury Single Account. Reformasi struktural dalam bidang energi mampu meningkatkan ketahanan energi nasional. Pemerintah telah berupaya mendorong pertumbuhan investasi dalam bidang pembangunan pembangkit listrik dengan target mencapai 35.000 megawatt dalam 5 tahun (2014-2019). Selain itu, investasi swasta terhadap sektor energi listrik berhasil mendiversifikasi produksi listrik sehingga mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi, di mana posisi Indonesia saat ini merupakan net importer minyak sehingga meningkatkan persentase pemanfaatan energi lain dalam produksi listrik yaitu gas bumi (21 persen), air (7 persen) dan panas bumi (5 persen). Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 17 B. Ekonomi Tetap Tumbuh Relatif Kuat Didorong oleh Permintaan Domestik yang Sehat Perekonomian Indonesia pada triwulan ketiga tahun 2016 tumbuh 5,02 persen (yoy) melambat dibanding pertumbuhan triwulan sebelumnya yang sebesar 5,19 persen. Meski demikian, tingkat pertumbuhan triwulan ketiga ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun 2015. Terjaganya pertumbuhan ini ditopang oleh permintaan domestik yang stabil di tengah kinerja ekspor dan impor yang masih mengalami pertumbuhan negatif. Sektor industri yang tumbuh stabil dan sektor pertambangan yang tumbuh positif, turut mendorong pertumbuhan di triwulan ketiga 2016. Tabel 1. Pertumbuhan Sisi Pengeluaran (dalam persen, yoy) Komponen Pengeluaran Konsumsi RT & LNPRT Konsumsi Pemerintah PMTB Ekspor Impor PDB Q1 4,7 2,9 4,6 -0,6 -2,2 4,7 Q2 4,7 2,6 3,9 0,0 -7,0 4,7 S1 4,7 2,7 4,2 -0,3 -0,6 4,7 2015 Q3 5,0 7,1 4,8 -0,6 -5,9 4,7 Q4 5,0 7,3 6,9 -6,4 -8,1 5,0 S2 5,0 7,2 5,9 3,6 7,0 4,9 Y 4,8 5,4 5,1 -2,0 -5,8 4,8 Q1 5,0 3,5 5,6 -3,5 -4,0 4,9 2016 Q2 5,1 6,2 5,1 -2,4 -2,9 5,2 Q3 5,0 -3,0 4,1 -6,0 -3,9 5,0 Sumber: BPS Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga dan PMTB menjadi penyumbang utama pertumbuhan pada triwulan ketiga 2016. Konsumsi rumah tangga tumbuh stabil sejalan dengan adanya perayaan hari besar keagamaan yang diikuti dengan tingkat inflasi yang cukup rendah, terutama untuk harga-harga kebutuhan pokok. Penguatan konsumsi rumah tangga terutama terjadi pada komponen makanan dan minuman serta transportasi dan komunikasi. Selain itu, kenaikan pada penjualan ritel, impor barang konsumsi, dan penjualan mobil juga menjadi penanda masih stabilnya konsumsi. Sementara itu, pelaksanaan kegiatan organisasi bantuan kemanusiaan dan olahraga juga turut berkontribusi pada pertumbuhan konsumsi. Selain sisi konsumsi, investasi juga menunjukkan pertumbuhan yang relatif baik. PMTB mampu tumbuh cukup tinggi yaitu sebesar 4,1 persen, meskipun masih lebih rendah jika dibandingkan dengan triwulan yang sama di tahun 2015 yang sebesar 4,8 persen. Pembangunan infrastruktur yang terus berjalan merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan PMTB, meskipun sektor bangunan menunjukkan pertumbuhan yang lebih rendah. Selain itu, pertumbuhan PMTB yang cukup tinggi ini juga didukung oleh pertumbuhan barang modal jenis peralatan selain mesin dan kendaraan, yang lebih banyak dipenuhi dari dalam negeri dibandingkan dari impor. Realisasi investasi langsung yang secara total tumbuh 10,7 persen pada triwulan ketiga 2016, juga menjadi faktor pendukung pertumbuhan PMTB. Meskipun demikian, pada triwulan ketiga 2016, tiga komponen pengeluaran lainnya mengalami pertumbuhan negatif yaitu, konsumsi pemerintah, ekspor, dan impor. Konsumsi pemerintah tumbuh -3,0 persen karena adanya pergeseran realisasi belanja pemerintah yang lebih merata terutama pada semester pertama 2016. Perubahan pola penyerapan belanja pemerintah 18 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal tahun 2015 yang cenderung lebih tinggi di semester kedua menjadikan tingginya basis perhitungan realisasi konsumsi pemerintah di triwulan ketiga 2016 (base effect). Pada sisi lain, ekspor dan impor pada triwulan ketiga 2016 masih terkontraksi yaitu masingmasing tumbuh -6,0 persen dan -3,9 persen. Kondisi ini banyak dipengaruhi oleh kontraksi pada sisi barang nonmigas yang merupakan kontributor terbesar baik ekspor maupun impor. Rendahnya harga komoditas dan lemahnya permintaan global masih menjadi faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor dan impor. Meskipun ekspor nonmigas mengalami pertumbuhan negatif, pertumbuhan ekspor jasa tumbuh positif sebesar 7,9 persen sejalan dengan peningkatan jumlah kunjungan wisatawan yang tumbuh sebesar 13,6 persen. Sementara itu, impor jasa mengalami pelemahan, tidak hanya terkait dengan penurunan jumlah wisatawan nasional yang melakukan perjalanan ke luar negeri tetapi juga karena penurunan jasa angkutan untuk ekspor dan impor. Dari sisi produksi, kinerja seluruh sektor pada triwulan ketiga 2016 mampu tumbuh positif, termasuk sektor pertambangan setelah 8 triwulan berturut-turut mengalami kontraksi. Sektor industri pengolahan yang merupakan penyumbang terbesar PDB mampu tumbuh stabil. Sektor jasa yang terkait dengan sistem logistik, seperti sektor transportasi dan pergudangan serta sektor informasi dan komunikasi tumbuh dengan baik sejalan dengan realisasi pembangunan infrastruktur dan peningkatan efisiensi logistik nasional. Pada sektor primer, sektor pertanian melemah hingga mencapai 2,8 persen, lebih rendah dibanding pertumbuhan triwulan yang sama di tahun sebelumnya. Perlambatan tersebut terutama disebabkan oleh faktor pola musiman yang memasuki masa tanam, khususnya pada subsektor tanaman pangan dan tanaman perkebunan, serta dampak fenomena la nina yang menghambat produktivitas pertanian. Sementara itu, sektor pertambangan mampu kembali tumbuh positif 0,1 persen dengan didukung oleh pertumbuhan tambang bijih logam yang didorong oleh peningkatan ekspor konsentrat logam dari Papua. Selain itu, kinerja produksi pertambangan migas juga mampu tumbuh positif dengan meningkatnya produksi di Blok Cepu, sementara kinerja pertambangan batubara masih tumbuh negatif akibat harga batubara yang masih relatif lebih rendah. Lebih lanjut, sektor industri pengolahan tumbuh relatif stabil di kisaran 4,6 persen, dengan didukung oleh peningkatan realisasi investasi pada sektor industri, baik PMA dan PMDN. Dukungan paket-paket kebijakan ekonomi memberikan stimulus positif dalam mendorong pertumbuhan industri manufaktur di tengah penurunan kinerja ekspor. Kinerja sektor industri terutama ditopang oleh subsektor industri makanan dan minuman, yang tumbuh sejalan dengan adanya peningkatan konsumsi domestik dan kunjungan wisatawan mancanegara. Industri alat angkut juga tumbuh didorong oleh peningkatan produksi mobil. Di sisi lain, industri tekstil dan produk tekstil mengalami penurunan akibat penurunan daya saing produk lokal. Sektor jasa-jasa secara umum memberikan kontribusi lebih tinggi dibanding rata-rata nasional. Tiga sektor jasa yang memberikan sumbangan pertumbuhan ekonomi nasional terbesar pada triwulan ketiga 2016 adalah sektor informasi dan komunikasi, sektor jasa keuangan, serta Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 19 sektor transportasi dan pergudangan. Sektor informasi dan komunikasi mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar 9,2 persen didukung oleh peningkatan penggunaan data internet. Sektor jasa keuangan mampu menjaga momentum pertumbuhan dengan tumbuh 8,8 persen ditopang oleh peningkatan pendapatan dari kredit perbankan dan premi asuransi. Selain itu, sektor transportasi dan pergudangan juga tumbuh cukup kuat sebesar 8,2 persen ditopang oleh peningkatan aktivitas logistik di beberapa pelabuhan besar serta pertumbuhan angkutan jasa transportasi udara yang meningkat seiring dengan adanya penambahan rute penerbangan dari beberapa maskapai. Tabel 2. Pertumbuhan PDB Sisi Produksi (persen, yoy) 2015 Lapangan Usaha 2016 Q1 Q2 S1 Q3 Q4 S2 Y Q1 Q2 Q3 Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 4,0 6,9 5,5 3,3 1,6 2,6 4,0 1,8 3,4 2,8 Pertambangan dan Penggalian -1,3 -5,2 -3,3 -5,7 -7,9 -6,8 -5,1 -0,8 -0,1 0,1 Industri Pengolahan 4,0 4,1 4,1 4,5 4,4 4,4 4,2 4,6 4,6 4,6 Konstruksi 6,0 5,4 5,7 6,8 8,2 7,5 6,6 7,9 6,2 5,7 Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 4,1 1,7 2,9 1,4 2,8 2,1 2,5 4,1 4,1 3,7 Transportasi dan Pergudangan 5,8 5,9 5,9 7,3 7,7 7,5 6,7 7,9 6,9 8,2 Informasi dan Komunikasi 10,1 9,7 9,9 10,7 9,7 10,2 10,1 8,1 9,8 9,2 Jasa Keuangan dan Asuransi 8,6 2,6 5,5 10,4 12,5 11,4 8,5 9,3 13,6 8,8 Jasa-jasa lainnya 5,1 6,5 5,8 5,0 5,9 5,5 5,6 6,0 5,4 4,3 4,7 4,7 4,7 4,7 5,0 4,9 4,8 4,9 5,2 5,0 PDB Sumber: BPS Secara spasial, kawasan Maluku-Papua menjadi wilayah yang mampu tumbuh paling tinggi dibandingkan kawasan lain yaitu tumbuh 13,7 persen pada triwulan ketiga tahun 2016. Dua kawasan yang berbasis komoditas tambang lainnya menunjukkan pertumbuhan yang lebih tinggi dari triwulan ketiga tahun 2015 yaitu Kalimantan dan Sumatera. Sementara itu, Jawa yang merupakan wilayah berbasis industri, tumbuh stabil sejalan dengan pertumbuhan sektor industri pengolahan. Kawasan Sulawesi dan Bali-Nusa Tenggara tumbuh sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. 20 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal C. Perkembangan Inflasi, Suku Bunga, Nilai Tukar, dan Keseimbangan Eksternal Inflasi Inflasi pada bulan November tahun 2016 tercatat sebesar 3,58 persen (yoy), atau masih dalam rentang sasaran inflasi yang sebesar 4+1 persen. Inflasi tahunan pada periode ini lebih tinggi dari bulan sebelumnya. Sementara inflasi bulanan tidak berbeda jauh dari rata-rata historis bulan November dalam 5 tahun terakhir yang sebesar 0,45 persen (mtm). Kontribusi inflasi terbesar dalam dua bulan terakhir berasal dari kenaikan harga bahan makanan dan perumahan antara lain disebabkan oleh kemarau basah dan kenaikan harga komoditas energi. Grafik 2. Komponen Pembentuk Inflasi hingga November 2016 (dalam persen, ytd) 2,59 1,74 1,76 0,62 0,42 0,51 0,33 0,25 0,31 0,35 0,47 0,57 0,70 -0,26 -0,33 -0,66 -0,61 Jan-16 0,71 1,04 0,68 0,63 0,47 0,45 0,17 -0,11 0,40 0,16 0,72 1,06 0,86 2,11 1,97 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Inti 1,37 0,89 1,15 -0,46 -0,26 Mei-16 Jun-16 Harga diatur Pemerintah -0,36 Jul-16 1,57 1,62 1,70 -0,33 -0,21 -0,18 Agu-16 Sep-16 Harga Bergejolak Okt-16 Nov-16 Umum Sumber: BPS Dampak perlambatan ekonomi global ditunjukkan oleh kontribusi kumulatif Inflasi Inti hingga bulan November 2016 yang merupakan terendah dalam 5 tahun terakhir. Akan tetapi, peningkatan kontribusi komponen Inti hingga lebih besar dari kontribusi komponen noninti menunjukkan daya beli masyarakat yang cukup terjaga. Selama bulan Oktober hingga November, kontribusi inflasi terutama berasal dari kelompok pengeluaran perumahan yang meliputi upah tukang bukan mandor dan pembantu rumah tangga, serta kontrak dan sewa rumah. Komponen Inti telah menyumbang inflasi sebesar 1,7 persen sejak awal tahun 2016. Komponen harga bergejolak mengalami kenaikan kontribusi kumulatif pada bulan November disebabkan oleh adanya kendala kelembaban udara yang sangat berpengaruh pada komoditas hortikultura. Kondisi ini berbeda dengan bulan sebelumnya di mana harga sebagian besar bahan makanan terutama produk peternakan sempat mengalami penurunan akibat dukungan pasokan yang cukup dan normalnya permintaan masyarakat. Curah hujan yang cukup tinggi menjadi risiko kenaikan pada harga komoditas hortikultura lokal sepanjang paruh kedua tahun ini. Sampai dengan bulan November inflasi komponen Volatile Food memberikan sumbangan inflasi kumulatif sebesar 1,04 persen. Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 21 Sementara itu, kontribusi deflasi komponen Harga Diatur Pemerintah semakin mengecil dengan adanya kenaikan harga pada komoditas energi. Komoditas energi yang dimaksud adalah tarif listrik dan bahan bakar rumah tangga. Hal ini antara lain dipicu transmisi pelemahan kurs melalui penyesuaian tarif listrik dan kenaikan harga LPG 12 kg. Dengan demikian hingga bulan November, komponen tersebut menyumbang deflasi sebesar 0,18 persen. Inflasi tahun kalender sampai dengan bulan November telah mencapai 2,59 persen. Angka ini lebih rendah dari rata-rata historis dalam 5 tahun terakhir pada periode yang sama yaitu mencapai sebesar 4,11 persen. Masih relatif rendahnya harga komoditas energi dibandingkan dengan akhir tahun lalu serta upaya stabilisasi harga bahan pangan oleh pemerintah cukup berperan dalam pencapaian laju inflasi yang rendah pada tahun berjalan. Kondisi ini diindikasikan oleh deflasi komponen Harga Diatur Pemerintah dan laju inflasi komponen harga bergejolak yang rendah. Adapun faktor risiko di bulan terakhir tahun ini cukup rendah karena faktor Natal dan Tahun Baru yang akan mendorong permintaan pada kelompok pengeluaran bahan makanan dan transportasi telah diperkirakan dalam perhitungan baseline inflasi. Sementara itu, perlu diwaspadai risiko potensi inflasi yang berasal dari perubahan iklim (la nina dan Iklim basah) serta kecenderungan kenaikan harga minyak dunia. Suku Bunga dan Nilai Tukar Suku bunga acuan Bank Indonesia, yaitu 7-Day Reverse Repo Rate (7DRR) kembali diturunkan seiring dengan terjaganya stabilitas makroekonomi dan belum kuatnya pemulihan ekonomi global. Stabilitas makroekonomi domestik yang cukup terjaga, terutama dilihat dari tingkat inflasi yang diperkirakan mendekati batas bawah kisaran sasaran, defisit transaksi berjalan yang lebih baik dari perkiraan, surplus neraca pembayaran yang lebih besar, dan nilai tukar yang relatif stabil, mendorong Bank Indonesia untuk kembali menurunkan 7DRR sebesar 25 bps ke tingkat 4,75 persen pada tanggal 20 Oktober 2016. Keputusan ini bertujuan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dengan mendorong permintaan domestik, termasuk permintaan kredit, di tengah upaya pemulihan perekonomian global yang belum kuat dan merata. Sementara itu, sebagai bentuk kehati-hatian dalam merespons ketidakpastian di pasar keuangan global pasca pemilihan umum di AS, Bank Indonesia memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga 7DRR di tingkat 4,75 persen pada bulan November 2016. Transmisi pelonggaran kebijakan moneter melalui jalur suku bunga terus berlangsung, tercermin dari berlanjutnya penurunan suku bunga deposito dan suku bunga kredit. Namun demikian, transmisi melalui jalur kredit belum optimal. Pada bulan Agustus 2016, rata-rata suku bunga kredit kembali melanjutkan tren penurunan ke tingkat 12,30 persen dibandingkan bulan sebelumnya yang berada di tingkat 12,35 persen. Sementara itu, pertumbuhan kredit juga menurun dari 7,7 persen di bulan Juli menjadi 6,8 persen di bulan Agustus 2016. Pada saat yang sama, DPK juga mengalami penurunan. 22 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal Nilai tukar rupiah sedikit mengalami tekanan akibat sentimen geopolitik global, antara lain hasil pemilu AS. Dibandingkan dengan bulan Oktober 2016, rata-rata nilai tukar rupiah per dolar AS melemah sebesar 2,25 persen yakni dari Rp13.017 menuju Rp13.311 per dolar AS pada November 2016. Penarikan arus modal asing serta peningkatan aktivitas hedging karena tingginya ketidakpastian adalah faktor yang memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah dan mata uang negara-negara lainnya. Namun demikian, tekanan tersebut bersifat temporer dan pergerakan rupiah sudah lebih stabil. Jika dilihat pergerakan untuk keseluruhan tahun 2016, rata-rata nilai tukar rupiah masih mengalami apresiasi sebesar 3,93 persen (ytd). Stabilitas nilai tukar rupiah ini ditopang oleh fundamental ekonomi yang baik serta dukungan kebijakan seperti Amnesti Pajak. Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan ketiga 2016 yang lebih baik dibanding negara peers menjadi sentimen positif bagi rupiah. Meskipun pertumbuhan ekonomi di triwulan ketiga tercatat menurun dibandingkan triwulan sebelumnya, persepsi investor terhadap perekonomian Indonesia masih positif seiring terjaganya stabilitas dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif lebih tinggi dibandingkan negara lainnya. Hal ini salah satunya tercermin dari adanya arus modal masuk dan masih besarnya minat investor asing, baik terhadap pasar SBN maupun pasar saham domestik. Sementara itu, dana repatriasi dari Amnesti Pajak pada periode selanjutnya juga diharapkan meningkat sehingga dapat menambah pasokan valas dalam negeri untuk stabilisasi rupiah ke depan. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa risiko yang perlu diwaspadai, baik dari domestik maupun eksternal. Dari sisi domestik, hal yang perlu dicermati antara lain perkembangan upaya perbaikan kinerja transaksi berjalan di tengah perlambatan ekonomi di beberapa negara mitra dagang utama serta likuiditas sektor keuangan yang dalam jangka pendek sangat dipengaruhi oleh perkembangan pasar keuangan global. Terkait pasar keuangan global, secara khusus perlu diwaspadai kemungkinan kenaikan suku bunga acuan oleh Federal Reserve pasca pemilihan Presiden AS yang diperkirakan oleh sebagian besar pelaku pasar akan terjadi pada bulan Desember 2016. Grafik 3. Pergerakan rupiah menunjukkan kinerja positif hingga Oktober 2016 (per 1 dolar AS) 14500 13.855 14000 13.889 13.516 13.355 13.420 13500 13.311 13.180 13000 13.165 13.116 13.193 13.017 13.118 12500 Dec-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 May-16 Jun-16 Harian Jul-16 Aug-16 Sep-16 Oct-16 Nov-16 Rata-rata bulanan Sumber: Bank Indonesia, diolah s Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 23 Neraca Pembayaran dan Neraca Perdagangan Indonesia Grafik 4. Neraca Perdagangan Indonesia (dalam miliar dolar AS) 18 10 8 16 6 14 4 12 2 0 10 -2 8 -4 Oct-13 Oct-14 Trade balance Neraca Perdagangan Exports Ekspor Oct-15 Imports Oct-16 Impor Sumber: BPS, data diolah s Neraca Perdagangan Indonesia pada Oktober 2016 mengalami surplus sebesar 1,21 miliar dolar AS, atau sedikit lebih kecil dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 1,27 miliar dolar AS. Kenaikan nilai impor terutama pada komoditas mesin, peralatan listrik, kapal laut, perhiasan hingga telepon genggam murah menjadi faktor utama yang menekan surplus neraca pada bulan ini. Impor nonmigas tercatat sebesar 9,94 miliar dolar AS, atau naik sebesar 4,27 persen (mom) dan naik 6,33 persen (yoy). Sebaliknya, impor migas terkontraksi hingga 13,13 persen (mom) atau turun 12,97 persen (yoy). Hal ini, dipicu oleh masih rendahnya harga komoditas migas serta penurunan volume impor seiring dengan semakin optimalnya kilang produksi dalam negeri. Sementara itu dari sisi ekspor, kenaikan ekspor ditopang oleh ekspor nonmigas yang mencapai 11,65 miliar dolar AS, naik 1,22 persen (mom) atau naik 8,43 persen (yoy). Kenaikan ekspor komoditas lemak dan minyak hewan atau nabati yang mencapai 19,02 persen atau menjadi sebesar 287,1 juta dolar AS, menjadi pendorong naiknya ekspor di bulan ini, terutama dari kawasan Amerika Latin. Lonjakan ekspor gas sebesar 20,82 persen menjadi 669,9 juta dolar AS belum dapat menahan laju penurunan ekspor migas di tengah merosotnya ekspor hasil minyak sebesar 34,31 persen menjadi 51,9 juta dolar AS dan ekspor minyak mentah sebesar 27,7 persen menjadi 309,5 juta dolar AS. Dengan perkembangan tersebut, sampai dengan Oktober 2016, surplus neraca perdagangan tercatat sebesar 6,93 miliar dolar AS dengan nilai kumulatif ekspor sebesar 117,09 miliar dolar AS dan impor 110,17 miliar dolar AS. Sementara itu, Neraca Pembayaran Indonesia triwulan ketiga 2016 mencatat surplus sebesar 5,5 miliar dolar AS. Surplus tersebut meningkat dibandingkan dengan surplus pada triwulan sebelumnya yang sebesar 2,2 miliar dolar AS. Menurunnya defisit transaksi berjalan dan meningkatnya surplus transaksi modal dan finansial menjadi pendorong kenaikan surplus Neraca Pembayaran Indonesia secara keseluruhan. 24 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal Grafik 5. Neraca Pembayaran Indonesia (dalam miliar dolar AS) 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0 -5,0 -10,0 -15,0 115,7 9,42 -4,49 Q1 Q2 Q3 Q4 2013 Capital & Financial Account Neraca Modal dan Finansial Q1 Q2 Q3 Q4 2014 Current Account Neraca Berjalan Q1 Q2 Q3 2015 Q4 Q1 Q2 125 105 85 65 45 25 5 Q3 2016 Overall Balance Reserves (RHS) KeseimbanganForeign Exchange Cadangan Devisa Sumber: BPS, data diolah s Defisit transaksi berjalan menurun dari 5,0 miliar dolar AS (2,2 persen PDB) pada triwulan kedua 2016 menjadi 4,5 miliar dolar AS (1,8 persen PDB) pada triwulan ketiga 2016 yang didorong oleh perbaikan neraca perdagangan barang dan jasa. Perbaikan neraca perdagangan barang ini sejalan dengan membaiknya neraca perdagangan nonmigas dan neraca perdagangan migas. Kenaikan surplus neraca perdagangan nonmigas disebabkan oleh kenaikan harga ekspor komoditas primer dan penurunan impor nonmigas, sedangkan penyempitan defisit neraca perdagangan migas disebabkan oleh kenaikan ekspor gas. Sementara itu penurunan defisit neraca jasa pada triwulan ketiga 2015 disebabkan oleh peningkatan surplus neraca jasa perjalanan akibat peningkatan jumlah wisman hingga 14,5 persen atau menjadi sebanyak 2,92 juta orang, serta peningkatan pengeluaran wisman hingga mencapai 3,3 miliar dolar AS. Surplus neraca jasa pada periode ini tercatat sebagai surplus tertinggi dalam sejarah jasa perjalanan. Surplus transaksi modal dan finansial triwulan ketiga 2016 mencapai 9,4 miliar dolar AS meningkat dibandingkan triwulan kedua 2016 sebesar 7,6 miliar dolar AS. Kondisi ini didukung oleh sentimen positif terhadap prospek perekonomian domestik, Amnesti Pajak dan meredanya risiko global. Peningkatan ini juga ditopang oleh aliran masuk modal investasi langsung yang meningkat menjadi 5,2 miliar dolar AS, dipengaruhi oleh neto penarikan utang korporasi antar-afiliasi setelah pada triwulan sebelumnya mencatat neto pembayaran utang. Sementara itu, surplus investasi portofolio masih cukup besar didukung oleh sentimen positif Amnesti Pajak, utamanya terlihat pada peningkatan pembelian SBN rupiah dan saham oleh investor asing. Pada sisi lain, defisit investasi lainnya tercatat lebih rendah yang ditopang oleh neto penarikan pinjaman luar negeri pemerintah dan neto penarikan simpanan penduduk di luar negeri. Posisi cadangan devisa pada akhir Oktober 2016 adalah sebesar 115,0 miliar dolar AS. Jumlah cadangan devisa tersebut cukup untuk membiayai kebutuhan pembayaran impor dan utang luar negeri pemerintah selama 8,4 bulan dan berada di atas standar kecukupan internasional. Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 25 D. Kredit Perbankan Nasional Masih Mengalami Perlambatan Pelonggaran kebijakan moneter Bank Indonesia belum mampu mendorong pertumbuhan kredit perbankan nasional. Tren perlambatan masih berlanjut dengan angka pertumbuhan kredit pada bulan September sebesar 6,5 persen (yoy), dari 6,8 persen (yoy) di bulan sebelumnya. Perlambatan tersebut ditengarai oleh masih melambatnya perekonomian global dan aktivitas ekonomi domestik yang masih terbatas, sehingga mendorong masyarakat menurunkan permintaan kredit serta mempercepat pelunasannya. Di sisi lain, rasio kredit bermasalah mengalami penurunan di bulan September meskipun tidak terlalu signifikan. Penurunan ini terutama dipengaruhi oleh membaiknya penyaluran kredit di sektor ritel, sementara sektor yang terkait dengan komoditas masih relatif tidak berubah. Grafik 6. Pertumbuhan DPK dan Kredit (dalam persen) j 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul 0,0 2014 2015 2016 Kredit DPK Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah Secara sektoral, pertambangan masih menjadi sektor dengan penurunan pertumbuhan terbesar dengan rasio kredit bermasalah lebih dari 6,0 persen. Tingginya kredit bermasalah pada sektor pertambangan sebagian berasal dari kredit bermasalah tahun lalu yang belum direstrukturisasi oleh perbankan. Sementara itu, kredit bermasalah pada sektor perdagangan dan industri pengolahan perlu dicermati mengingat kedua sektor tersebut memiliki porsi terbesar dari total kredit. Beberapa analis perbankan mengatakan bahwa macetnya pembayaran debitur di industri otomotif dan tekstil mendorong kenaikan kredit bermasalah pada kedua sektor tersebut. Grafik 7. NPL tertinggi masih dimiliki sektor pertambangan (dalam persen, besar bubble: porsi kredit) Pertumbuhan Kredit (yoy) 35,00 Listrik, Gas, Air 2,88 Konstruksi 4,87 Pertanian 6,48 25,00 15,00 5,00 -5,00 0,0 1,0 -15,00 -25,00 Perdagangan 19,73 Industri Pengolahan 17,65 Pinjaman multiguna 10,78 2,0 3,0 4,0 5,0 Transportasi 4,00 Non Performing Loan (NPL) Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah 26 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 6,0 7,0 8,0 Pertambangan 2,76 Grafik 8. Pertumbuhan DPK Masih Melambat (dalam persen) 1,1 -2,7 3,2 11,5 j Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sept DPK Giro 2016 Tabungan Simpanan Berjangka Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah Dana pihak ketiga tumbuh lebih rendah pada bulan September seiring dengan penarikan dana oleh nasabah untuk pembayaran tebusan program amnesti pajak. Pertumbuhan komponen DPK berupa tabungan dan simpanan berjangka mengalami perlambatan di bulan September, sementara giro mencatatkan penurunan dibanding bulan sebelumnya. Perbankan juga masih menghadapi persaingan tingkat suku bunga dengan SBN seiring dengan masih besarnya kebutuhan pembiayaan bagi pemerintah. Sejalan dengan perlambatan pertumbuhan kredit dan DPK, likuiditas perbankan mulai mengetat tercermin dari kenaikan Loan to Deposit Ratio. Likuiditas diperkirakan membaik pada akhir tahun 2016 seiring dengan masuknya dana repatriasi program Amnesti Pajak dan kenaikan realisasi belanja Pemerintah. Dari sisi permodalan, ketahanan industri perbankan secara umum berada pada tingkat yang sangat mencukupi untuk mengantisipasi potensi risiko. Rentabilitas dinilai stabil dengan tingkat efisiensi yang membaik seiring dengan penurunan BOPO dan kenaikan Return on Assets. Tabel 3. Indikator kinerja perbankan masih relatif sehat (dalam persen) Indikator Umum Aset DPK Kredit LDR NPL CAR BOPO NIM ROA Satuan (T Rp) (%, yoy) (%, yoy) (%) (%) (%) (%) (%) (%) Jan 6,096 6.79 9.59 90.95 2.73 21.75 84.86 5.63 2.51 Feb 6,119 6.89 8.24 89.50 2.87 21.93 84.22 5.47 2.29 Mar 6,168 6.44 8.71 89.60 2.83 22.00 82.96 5.55 2.44 Apr 6,181 6.18 7.95 89.52 2.93 21.95 82.30 5.56 2.38 2016 Mei 6,243 6.53 8.34 90.32 3.11 22.41 82.36 5.60 2.34 Juni 6,362 5.90 8.89 91.19 3.05 22.56 82.23 5.59 2.31 Juli 6,350 5.93 7.74 90.18 3.18 23.19 81.37 5.59 2.35 Agu 6,383 5.58 6.83 90.04 3.22 23.26 81.31 5.59 2.36 Sept 6,466 3.15 6.47 91.71 3.10 22.60 81.02 5.65 2.38 Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 27 E. Hingga Akhir November, IHSG Masih Bertahan di atas Angka 5000 Grafik 9. Kinerja Indeks Global (dalam persen, ytd) 16,34 16,13 15,15 12,10 18,06 16,80 SET IHSG 0,93 2,39 4,20 KOSPI 9,74 DJIA KLCI 4,12 5,07 -3,97 -1,18 -2,36 7,86 4,02 6,08 S&P 500 8,49 11,40 10,53 FTSE 100 STI 0,51 -2,39 -0,46 3,88 4,66 6,31 Hangseng Nikkei Shenzen Comp -3,80 -8,45 -13,58 -8,13 -12,40 -15,10 -20,0 -10,0 November j Sumber: Bloomberg, diolah Oktober 0,0 10,0 September 20,0 Memasuki bulan November 2016, IHSG mengalami tekanan cukup dalam hingga mendekati posisi terendah dalam lima bulan terakhir. Namun demikian, di tengah tekanan yang dihadapi, posisi indeks masih dapat bertahan di atas tingkat 5.000. Tekanan yang dialami oleh IHSG disebabkan oleh faktor sentimen politik baik domestik maupun global. Salah satu sumber tekanan yang dialami IHSG berasal dari sentimen hasil pemilihan presiden AS. Kondisi ini tak lepas dari berbagai kebijakan presiden terpilih Donald Trump yang disampaikan pada masa kampanye. Kebijakan Trump, apabila dilaksanakan, diprediksi akan memberikan dampak negatif bagi perekonomian negara-negara emerging sehingga memicu penarikan modal dan pembelian aset-aset safe haven. Salah satu tekanan terbesar yang dialami IHSG dan indeks saham global lainnya terjadi pada tanggal 11 November 2016 di mana pelemahan IHSG hingga mencapai 4 persen dalam sehari. Secara keseluruhan, penurunan tekanan IHSG di bulan November menyebabkan kinerja IHSG selama tahun 2016 menjadi lebih rendah dari indeks saham Thailand, setelah dalam beberapa bulan sebelumnya selalu mencatatkan kinerja yang lebih baik. Pada akhir November 2016, IHSG ditutup di level 5.148,91, lebih rendah dibandingkan posisi di bulan sebelumnya yang mencapai 5.422,54. Dengan posisi tersebut, indeks melemah 5,0 persen dibanding bulan sebelumnya, namun secara kumulatif selama tahun 2016 masih tercatat menguat 12,57 persen. Selama bulan November 2016, aksi jual investor nonresiden tercatat sebesar Rp12,4 triliun sehingga secara kumulatif setahun posisi net buy investor nonresiden turun dari Rp32,17 triliun pada bulan Oktober menjadi Rp19,81 triliun. 28 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal Grafik 10. Pergerakan IHSG hingga akhir November 2016 (dalam persen, ytd) UU Pengampunan Pajak disetujui DPR 5600 5400 BI Rate 7,25% BI Rate 6,75% BI Rate 7,0% 5200 Pernyataan rencana implementasi kebijakan Trump Trump menangkan Pemilu AS 5000 4800 Pernyataan hawkish Jennet Yellen Jackson Hole Hasil Referendum Brexit 4600 Sumber: Bloomberg, diolah Nov-16 Oct-16 Sep-16 Aug-16 Jul-16 Jun-16 May-16 Apr-16 Feb-16 Mar-16 Jan-16 4400 Dari sisi sektoral, terjadi penurunan kinerja IHSG terutama di sektor keuangan, properti, konsumsi, dan infrastruktur. Hampir semua indeks sektoral mencatatkan pelemahan secara bulanan, kecuali sektor pertambangan dan pertanian yang masih meningkat. Di tengah tekanan yang dialami indeks, kenaikan harga komoditas pertambangan terutama minyak mentah dan batu bara serta kenaikan harga CPO di pasar global mendorong kenaikan harga saham emiten di sektor pertambangan dan pertanian. Sejauh ini, kenaikan harga komoditas lebih didorong oleh faktor pasokan, sementara dari sisi permintaan, belum terlihat tanda-tanda perbaikan yang signifikan. Kenaikan harga minyak mentah global dalam beberapa waktu terakhir sangat dipengaruhi oleh rencana pembatasan produksi oleh OPEC, yang akhirnya memutuskan untuk memangkas sebesar 1,2 juta barel per hari atau 4,5 persen dari output saat ini. Keputusan ini dapat menjadi sentimen positif bagi indeks sektor pertambangan terutama emiten yang bergerak di sektor minyak. Di sisi lain, kenaikan harga batubara global dalam beberapa bulan terakhir didorong oleh kebijakan Pemerintah Tiongkok untuk membatasi produksi dalam rangka mendorong harga dan menyelamatkan perusahaan tambang batubara dalam negeri. Namun demikian, mempertimbangkan harga batubara saat ini yang dirasa telah mengalami kenaikan yang terlalu tinggi, Pemerintah Tiongkok berencana melonggarkan kebijakan pembatasan produksi batubara. Dari sisi komoditas kelapa sawit, kenaikan harga didorong oleh penurunan produksi akibat faktor cuaca yang kurang mendukung di tengah permintaan yang belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Tabel 4. Indikator kinerja perbankan masih relatif sehat (dalam persen) Sektor Keuangan Manufaktur Konsumsi Infrastruktur Perdagangan Properti Aneka Industri Industri Dasar Pertambangan Pertanian IHSG Agust 6,0 6,2 5,1 -3,7 -0,1 1,2 4,7 12,5 -1,6 5,7 3,3 Perkembangan Bulanan (%) Sept Okt 0,8 0,6 -0,6 1,4 -1,5 0,6 -0,2 -2,7 -2,0 1,9 -0,3 0,0 0,9 -0,1 1,2 5,7 -0,4 13,7 -4,1 0,8 -0,4 1,1 Nov -6,5 -4,6 -5,8 -5,5 -4,5 -6,2 -4,5 -0,4 5,6 1,2 -4,7 Ytd (%) 10,0 18,0 12,8 6,1 -2,3 8,0 23,5 32,3 71,5 6,3 12,5 Sumber: Bloomberg, diolah Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 29 30 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal BAGIAN II ANALISIS KINERJA APBN 2016 DAN ARAH KEBIJAKAN APBN 2017 Perkembangan ekonomi domestik yang positif perlu terus diperkuat di tengah kondisi pemulihan perekonomian global yang masih rentan dan diliputi ketidakpastian melalui sinergi dan koordinasi kebijakan. Kinerja APBN sampai dengan Oktober 2016, juga menunjukan perbaikan meski masih dibayangi tantangan pada sisi pendapatan. Sementara itu, APBN 2017 disusun secara lebih realistis dan kredibel. Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 31 Sinergi Reformasi untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Di tengah kinerja perekonomian global yang masih menghadapi berbagai risiko dan tantangan, Indonesia masih mampu berkembang secara positif. Beberapa tantangan dan risiko yang harus dihadapi di tataran global antara lain pertumbuhan ekonomi tahun 2016 yang diperkirakan melambat, harga komoditas yang mengalami perbaikan namun belum optimal, permintaan yang masih lemah yang antara lain disebabkan oleh proses rebalancing ekonomi di Tiongkok, serta adanya ketidakpastian yang masih tinggi karena gejolak geopolitik seperti Brexit dan arah kebijakan AS ke depan pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan ketiga 2016 mampu mencapai 5,02 persen, lebih tinggi dibandingkan negara-negara kawasan. Selain itu, indikator-indikator ekonomi makro Indonesia yang lain juga cukup stabil dan terjaga. Perkembangan ekonomi domestik yang positif perlu terus diperkuat di tengah kondisi pemulihan perekonomian global yang masih rentan dan diliputi ketidakpastian. Pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan akan terus memperkuat sinergi dan koordinasi guna memastikan kesinambungan pemulihan perekonomian nasional. Pemantauan terhadap perkembangan ekonomi domestik dan global serta berbagai risiko yang dapat mengemuka akan terus dilakukan secara intensif. Sinergi kebijakan akan dilakukan secara kuat sehingga berbagai langkah yang ditempuh menjadi kesatuan yang terintegrasi dan mendukung upaya memperkuat ketahanan ekonomi. Pemerintah akan terus memperkuat stimulus sambil tetap menjaga keberlangsungan fiskal. Pemerintah berkomitmen untuk menjaga defisit APBN 2016 di tingkat 2,7 persen PDB, di bawah batas amanat undang-undang sebesar 3 persen. Dalam kaitan ini, pemerintah berupaya merealisasikan belanja APBNP 2016 secara lebih produktif dan efisien. Pemerintah juga terus meningkatkan penerimaan dari perpajakan, baik melalui penerimaan rutin maupun melalui terobosan kebijakan seperti Amnesti Pajak. Dari sisi pembiayaan, pemerintah berupaya untuk memperoleh sumber pembiayaan yang kredibel dan berkesinambungan. Pemerintah berkomitmen untuk terus melanjutkan reformasi di bidang fiskal, khususnya dalam bidang perpajakan secara komprehensif. Pemerintah juga terus mengupayakan agar belanja negara lebih berkualitas guna menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan dan ketimpangan, serta meningkatkan produktivitas dan daya saing. Dari sisi pembiayaan, pemerintah akan mengkaji opsi pre-funding guna meningkatkan efektivitas belanja, sambil terus memantau perkembangan pasar keuangan domestik dan global. Pemerintah juga berupaya untuk memperbaiki iklim investasi dan daya saing dengan melakukan penyederhanaan birokrasi dan peraturan serta pemberian insentif. Upaya tersebut antara lain dituangkan melalui penerbitan paket-paket kebijakan ekonomi yang hingga bulan November 2016 telah mencapai 14 paket kebijakan. Upaya tersebut telah membuahkan hasil yang positif, tidak hanya dari kenaikan pertumbuhan investasi langsung namun juga pengakuan dunia internasional melalui kenaikan peringkat Indonesia pada hasil survey Ease of Doing Bussiness sebesar 15 peringkat. 32 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal Di sisi lain, Bank Indonesia konsisten menempuh bauran kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial, dan kebijakan sistem pembayaran guna menjaga stabilitas makroekonomi. Bank Indonesia akan terus menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang rupiah dan valas sehingga tidak mengganggu transmisi kebijakan moneter yang telah ditempuh. Kebijakan tersebut diperkuat koordinasi dengan pemerintah untuk memastikan bahwa operasi keuangan pemerintah tetap sejalan dengan upaya menjaga kecukupan likuiditas. Selain itu, koordinasi juga diarahkan untuk mengoptimalkan potensi dana repatriasi dari program pengampunan pajak. Secara keseluruhan, berbagai kebijakan Bank Indonesia diarahkan untuk menjaga inflasi tetap sesuai dengan sasaran, defisit transaksi berjalan masih pada tingkat yang sehat, dan stabilitas sistem keuangan tetap terjaga dan berdaya tahan. Otoritas Jasa Keuangan akan menempuh berbagai kebijakan untuk memastikan agar peran intermediasi sektor jasa keuangan tetap berlangsung secara optimal dalam mendukung kesinambungan pembangunan nasional. Di tengah kondisi likuiditas yang memadai, peluang untuk memberikan kredit rupiah terhadap beberapa sektor prioritas akan terus didorong. Upaya ini akan dilengkapi dengan berbagai kebijakan yang ditujukan untuk menekan potensi kenaikan risiko kredit di perbankan dan di perusahaan pembiayaan. Kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan peran serta pasar modal juga akan dilakukan agar dapat mendukung percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional yang berjangka panjang. Dalam hal ini, pemberdayaan dana-dana dari perusahaan asuransi dan dana pensiun akan terus ditingkatkan untuk mendukung pembiayaan jangka panjang oleh pasar modal. Pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan berkomitmen untuk terus memperkuat koordinasi kebijakan guna memelihara stabilitas perekonomian dan memastikan reformasi struktural tetap berjalan dengan baik. Berbagai sinergi kebijakan yang telah dan akan ditempuh pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan diyakini dapat terus memperkuat ketahanan ekonomi dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi, sebagai respons atas kondisi ekonomi global yang masih belum menguntungkan. Kinerja APBNP 2016 Hingga Oktober 2016 Keberlanjutan fiskal relatif terjaga, walaupun masih menghadapi tantangan. Kinerja APBN sampai dengan Oktober 2016 menunjukan perbaikan. Hal ini tidak lepas dari penerapan kebijakan efisiensi anggaran yang telah dilakukan sejak pertengahan tahun 2016. Esensi kebijakan tersebut adalah untuk mendorong optimalisasi pendapatan, penguatan kualitas belanja dan upaya mitigasi risiko serta menjaga keberlanjutan fiskal jangka menengah. Kebijakan ini menjadikan APBN 2016 lebih kredibel dan realistis. Dari sisi pendapatan, pencapaian sasaran pendapatan masih dibayangi oleh berbagai tantangan. Hingga Oktober 2016, pendapatan negara telah terealisasi sebesar 66,4 persen dari sasaran yang ditetapkan. Dari jumlah tersebut, 80 persen di antaranya merupakan sumbangan dari penerimaan perpajakan, yang hingga Oktober 2016 telah mencapai 64,1 persen dari sasaran. Kondisi ini memunculkan tantangan bagi pencapaian target pendapatan, mengingat perbaikan kondisi ekonomi domestik masih dibayangi oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi global, rendahnya harga komoditas, lemahnya kinerja ekspor dan impor, rendahnya ICP, dan kurang optimalnya lifting minyak. Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 33 Tabel 5. Realisasi APBNP 2016 Hingga Oktober 2016 (dalam triliun rupiah) 2015 Uraian A Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan - Pajak Dalam Negeri - Pajak Perdagangan Internasional 2. PNBP - Penerimaan SDA - Laba BUMN - PNBP Lainnya - BLU II. Hibah B Belanja Negara I. Belanja Pemerintah Pusat II. Transfer Daerah dan Dana Desa 1. Dana Perimbangan 2. Dana Otsus dan Penyesuaian C Surplus/(Defisit) Anggaran (A-B) %Surplus/(Defisit) Terhadap PDB D Pembiayaan Anggaran (I+II) I. Pembiayaan Dalam Negeri II. Pembiayaan Luar Negeri (neto) Kelebihan/(Kekurangan) Pembiayaan 2016 APBNP Realisasi 1.761,6 1.758,3 1.489,3 1.440,0 Okt 1.100,1 1.098,9 893,9 865,5 % thd APBNP 62,4 62,5 60,0 60,1 APBNP Realisasi 1.786,2 1.784,2 1.539,2 1.503,3 Okt 1.186.8 1.185,4 986,6 958,9 % thd APBNP 66,4 66,4 64,1 63,8 49,3 269,1 118,9 37,0 90,1 28,4 205,0 92,0 35,5 56,9 57,6 76,2 77,3 96,1 63,2 35,9 245,1 90,5 34,2 84,1 27,7 198,7 42,9 34,5 90,5 77,3 81,1 47,4 101,1 107,6 23,1 3,3 1.984,1 1.319,5 664,6 521,8 122,1 (222,5) (1,9) 222,5 242,5 (20,0) 0,0 20,6 1,2 1.383,6 829,7 553,9 76,1 14,9 (283,5) (2,5) 364,8 298,0 66,8 81,3 89,4 36,0 69,7 62,9 83,3 14,6 12,2 127,4 36,3 2,0 2.082,9 1.306,7 776,3 705,5 23,8 (296,7) (2,4) 296,7 299,3 (2,5) 0,0 30,8 1,4 1.455,1 857,5 597,6 66,0 18,5 (268,3) (2,14) 395,3 414,1 (18,7) 121,3 84,9 72,8 69,9 65,6 77,0 9,4 77,5 90,6 163,9 122,9 (333,9) 133,2 138,4 741,8 Sumber: Kementerian Keuangan Program Amnesti Pajak diharapkan dapat memperkecil kekurangan pendapatan negara. Pada periode pertama, penerimaan perpajakan yang diperoleh dari program pengampunan pajak mencapai sekitar Rp97 triliun rupiah. Jumlah tersebut diharapkan akan terus meningkat secara signifikan selama pelaksanaan program dimaksud hingga akhir Maret 2017. Dalam upaya ini, pemerintah secara konsisten terus melakukan diseminasi dan sosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk kepada asosiasi profesi, untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam menyukseskan progam dimaksud. Program Amnesti Pajak diharapkan dapat menjadi pondasi bagi keberlanjutan fiskal jangka pendek dan jangka menengah. Inovasi dan terobosan kebijakan masih diperlukan untuk mendongkrak kinerja pendapatan negara. Walaupun pada awal pelaksanaan masih memunculkan keraguan, namun pencapaian program Amnesti Pajak memberikan suntikan energi dan menjadi insentif moral untuk terus mengembangkan berbagai inovasi dan terobosan bagi kebijakan pendapatan yang optimal. Berbagai terobosan kebijakan untuk mendukung pencapaian target penerimaan perpajakan antara lain optimalisasi penggalian potensi sektor unggulan dengan memanfaatkan program geo-tagging, implementasi e-tax invoice, keberlanjutan program ekstensifikasi, khususnya Wajib Pajak orang pribadi yang belum memiliki NPWP, dan pemeriksaan Wajib Pajak Badan (PMA) yang menurut profiling terdapat potensi pajak. Pada sisi lain, berbagai strategi untuk mendukung pencapaian PNBP ditempuh antara lain dengan menahan turunnya lifting, memonitor pengetatan jadwal proyek migas on stream, dan mempercepat revisi dan 34 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal menyelesaikan berbagai peraturan jenis dan tarif PNBP serta perbaikan administrasi tata kelola PNBP. Tabel 6. Realisasi Penerimaan Perpajakan Hingga Oktober 2016 (dalam triliun rupiah) 2015 Jenis Pajak I. Penerimaan Perpajakan A. Pajak Dalam Negeri PPh Nonmigas PPh Migas PPN PBB Cukai Pajak Lainnya B. Pajak Perdagangan Internasional Bea Masuk Bea Keluar Realisa si APBNP 1.489,30 1.440,00 629,8 49,5 576,5 26,7 145,7 11,7 49,3 37,2 12,1 Okt 893,9 865,5 397,4 43,3 308,2 13,8 98,4 4,4 28,4 25,3 3,1 % thd APBNP 60,0 60,1 63,1 87,5 53,5 51,7 67,5 37,2 57,6 67,9 25,8 APBNP 1.539,2 1.503,3 819,5 36,3 474,2 17,7 148,1 7,4 35,9 33,4 2,5 2016 Realisasi Okt % thd APBNP 986,6 958,9 513,5 28,0 307,3 16,3 87,9 6,1 27,7 25,3 2,4 64,1 63,8 62,6 77,0 64,8 92,3 59,4 82,2 77,3 75,8 97,2 Sumber: Kementerian Keuangan Tabel 7. Realisasi PNBP Hingga Oktober 2016 (dalam triliun rupiah) 2015 Uraian Penerimaan Negara Bukan Pajak A. Penerimaan SDA 1) SDA Migas 2) Non Migas B. Bagian Laba BUMN C. PNBP Lainnya D. Pendapatan BLU APBNP 269,1 118,9 61,6 19,8 37,0 90,1 23,1 Realisasi Okt 205,0 92,0 70,2 21,8 35,5 56,9 20,6 % thd APBNP 76,2 77,3 114,0 110,0 96,1 63,2 89,4 APBNP 245,1 90,5 51,3 17,4 34,2 84,1 36,3 2016 Realisasi Okt 198,7 42,9 26,9 16,0 34,5 90,5 30,8 % thd APBNP 81,1 47,4 52,4 92,2 101,1 107,6 84,9 Sumber: Kementerian Keuangan Dari sisi belanja, penguatan belanja produktif dan berkualitas secara konsisten terus dilanjutkan. Kebijakan efisiensi anggaran pada pertengahan tahun 2016 tidak membatasi belanja pemerintah untuk sektor-sektor produktif, terutama pembangunan infrastruktur yang memberikan dampak multiplier secara menyeluruh. Kebijakan tersebut diterapkan pada belanja operasional yang dikategorikan sebagai non produktif, antara lain perjalanan dinas yang tidak perlu, pembelian mobil dinas baru dan pembangunan gedung yang tidak mendesak. Kebijakan ini juga diharapkan dapat mempercepat dan memperbaiki pola penyerapan serta penguatan kualitas desentralisasi fiskal. Penguatan kualitas belanja adalah kunci mendorong produktivitas dengan memanfaatkan sumber dana secara efisien guna menstimulasi perekonomian dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 35 Tabel 8. Realisasi Belanja Pemerintah Pusat Hingga Oktober 2016 (dalam triliun rupiah) 2015 Uraian Belanja Pemerintah Pusat 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang 3. Belanja Modal 4. Pembayaran Bunga Utang 5. Subsidi 6. Bantuan Sosial 7. Belanja Hibah 8. Belanja Lain-Lain APBNP 1319,5 293,1 238,8 275,8 155,7 212,1 107,7 4,6 31,7 Realisasi Okt 829,7 234,2 131,5 98,9 133,4 151,4 76,0 0,6 3,7 % thd APBNP 62,9 79,9 55,1 35,9 85,6 71,4 70,6 12,5 11,8 APBNP 1306,7 343,0 281,2 227,5 191,2 177,8 54,9 8,5 22,5 2016 Realisasi Okt 857,5 259,3 177,7 98,0 157,0 123,2 37,7 0,8 4,0 % thd APBNP 65,6 75,6 63,2 43,1 82,1 69,3 68,5 9,0 17,8 Sumber: Kementerian Keuangan Perbaikan kinerja belanja negara sejalan dengan berbagai terobosan yang dilakukan. Percepatan lelang, penyederhanaan prosedur, pemberian fleksibilitas pelaksanaan anggaran, implementasi reward dan punishment serta monitoring pelaksanaan anggaran dan debottlenecking secara konsisten dan periodik dievaluasi oleh TEPPRA. Secara umum, realisasi belanja negara hingga Oktober 2016 mencapai 69,9 persen dari sasaran yang ditetapkan. Dalam hal ini, Belanja Pemerintah Pusat mencapai 65,6 persen dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa mencapai 77,0 persen dari besaran sasaran yang ditetapkan. Berbagai terobosan kebijakan berhasil mengakselerasi sekaligus memperbaiki pola penyerapan belanja K/L. Realisasi belanja K/L sampai Oktober 2016 mencapai 62,6 persen dari sasaran yang ditetapkan. Realisasi tersebut dipengaruhi antara lain oleh percepatan pelaksanaan lelang pengadaan barang dan jasa dan kegiatan monitoring yang dilakukan secara periodik sehingga dapat mengidentifikasi secara cepat faktor–faktor penghambat serta upaya perbaikannya. Pada triwulan ketiga 2016, penyerapan belanja K/L mengalami peningkatan yang signifikan berupa percepatan dan sekaligus perbaikan pola belanja dibandingkan periode yang sama tahun 2015. Capaian ini diharapkan dapat meningkatkan daya dorong terhadap pertumbuhan ekonomi sekaligus memberi kontribusi positif dalam menstimulasi perekonomian, menggerakkan sektor riil, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan derajat kesejahteraan. Tabel 9. Penyerapan Belanja K/L Hingga Oktober 2016 (dalam triliun rupiah) 2015 Uraian Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Belanja Bantuan Sosial Jumlah APBNP 183,7 259,4 252,8 99,6 795,5 Realisasi Okt 148,3 131,5 98,9 76,0 454,7 % thd APBNP 80,7 50,7 39,1 76,3 57,2 Sumber: Kementerian Keuangan 36 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal APBNP 209,0 302,8 206,6 49,4 767,8 2016 Realisasi Okt 167,7 177,6 98,0 37,7 481,0 % thd APBNP 80,2 58,7 47,4 76,3 62,6 Kinerja belanja K/L menunjukkan perbaikan, namun untuk belanja infrastruktur dinilai masih belum optimal. Penyerapan belanja K/L yang terkait infrastruktur seperti Kemenpupera, Kemenhub, Kemen ESDM dan KKP, masih belum optimal karena masih di bawah rata-rata (62,6 persen). Sementara penyerapan belanja modal pada K/L terkait infrastruktur sudah menunjukan perbaikan dan kondisinya lebih tinggi dari rata-rata (47,4 persen). Hal ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam mengakselerasi pembangunan infrastruktur. Secara agregat, penyerapan belanja K/L mengalami peningkatan namun daya serapnya masih belum optimal. Walaupun telah dilakukan berbagai terobosan, namun masih banyak K/L kemampuan penyerapan anggarannya masih di bawah rata-rata. Mempertimbangkan kondisi tersebut, upaya percepatan dan perbaikan pola penyerapan terus dilanjutkan, antara lain melalui perbaikan perencanaan, mendisiplinkan pelaksanaan anggaran dan penerapan reward dan punishment secara konsisten, khususnya pada K/L yang pagunya besar namun penyerapannya masih rendah. Tabel 10. Realisasi Belanja Beberapa K/L Hingga Oktober 2016 (dalam triliun rupiah) No. Uraian 1. Kemenhan 2. KemenPU dan PR 3. POLRI 4. Kemenkes 5. Kemenag 6. Kemendikbud 7. Kemenhub 8. Kemenristek Dikti 9. Kemenkeu 10. Kementan 11. Kemensos 12. Kemenkumham 13. KKP 14. MA 15. Kemen Desa, PDT, dan Trans 15 K/L dengan Pagu Terbesar K/L Lainnya Jumlah APBNP 120,3 118,5 57,1 51,3 60,3 53,3 65,0 43,6 25,7 32,8 22,4 11,2 10,6 8,6 9,0 689,7 105,8 795,5 2015 Realisasi Okt 72,5 58,9 45,3 33,5 34,9 36,5 18,5 22,8 19,9 17,2 16,8 6,3 4,8 6,3 1,9 396,1 58,6 454,7 % thd APBNP 60,3 49,7 79,3 65,3 57,9 68,5 28,5 52,3 77,4 52,4 75,0 56,3 45,3 73,3 21,1 57,4 55,4 57,2 APBNP 108,7 97,1 79,3 62,7 56,2 43,6 42,9 40,6 38,1 27,6 13,1 11,3 10,6 8,8 8,6 649,2 118,6 767,8 2016 Realisasi Okt 72,6 55,5 55,9 41,6 38,5 29,2 20,8 25,0 28,4 17,1 8,7 6,7 4,0 6,5 3,4 414,1 67,0 481,0 % thd APBNP 66,8 57,2 70,5 66,3 68,5 66,9 48,5 61,7 74,5 62,0 66,6 59,0 38,1 74,4 39,7 63,8 56,5 62,6 Sumber: Kementerian Keuangan Realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa secara persentase lebih rendah namun secara nominal lebih tinggi. Hal tersebut terutama dipengaruhi adanya penundaan DAU dan DBH serta penajaman DAK dan Dana Desa. Upaya penguatan desentralisasi fiskal dan peningkatan kualitas pengelolaan keuangan di daerah masih perlu perbaikan. Upaya tersebut ditempuh dengan membuat desain penyaluran transfer ke daerah yang disesuaikan dengan sifat penggunaannya, misalnya untuk jenis dan Transfer ke Daerah yang bersifat blockgrant, pola penyalurannya dilakukan secara periodik tanpa mensyaratkan laporan realisasi dari daerah. Sementara untuk jenis dan Transfer ke Daerah yang penggunaannya sudah ditentukan, seperti DAK, penyalurannya berdasarkan laporan kinerja penyerapan dana dari daerah. Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 37 Tabel 11. Realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa Hingga Oktober 2016 (dalam triliun rupiah) 2015 Uraian Transfer ke Daerah dan Dana Desa A. Transfer ke Daerah a. Dana Perimbangan 1. DBH 2. DAU 3. DAK b. Dana Otonomi Khusus c. Dana Penyesuaian d. Dana Keistimewaan DIY B. Dana Desa APBNP 664,6 746,6 624,5 110,1 352,9 161,6 17,1 104,4 0,5 20,8 Realisasi Okt 553,9 537,3 522,4 76,1 323,3 123,0 12,8 1,6 0,4 16,6 % thd APBNP 83,3 72,0 83,7 69,2 91,6 76,1 75,0 1,5 80,0 80,0 APBNP 776,3 729,3 705,5 109,1 385,4 211,0 18,3 5,0 0,5 47,0 2016 Realisasi Okt 597,6 556,2 537,7 66,0 343,3 128,3 12,9 5,0 0,5 41,5 % thd APBNP 77,0 76,3 76,2 60,6 89,1 60,8 70,7 100,0 100,0 88,3 Sumber: Kementerian Keuangan Defisit anggaran masih rendah dan terkendali. Sampai dengan Oktober 2016, defisit anggaran mencapai 2,14 persen dari PDB, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2015 yang sebesar 2,5 persen dari PDB. Kondisi ini dipengaruhi oleh membaiknya kinerja pendapatan negara terutama penerimaan perpajakan dan peningkatan kinerja penyerapan belanja K/L, terutama belanja modal. Pada tahun 2016, defisit anggaran diperkirakan akan mencapai 2,7 persen dari PDB. Pemerintah berkomitmen untuk menjaga defisit APBN 2016 di bawah batas amanat undang-undang sebesar 3 persen untuk menjaga kesehatan dan kesinambungan fiskal. Keberlanjutan pembiayaan masih terjaga, sejalan dengan mulai membaiknya pencapaian pendapatan dan terjadinya percepatan belanja. Realisasi pembiayaan hingga Oktober 2016 mencapai Rp395,3 triliun, yang antara lain meliputi realisasi pembiayaan utang sebesar Rp375,7 triliun (101,5 persen) dan pembiayaan investasi, sebesar negatif Rp7,2 triliun. Pada sisi lain, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) hingga Oktober 2016 mencapai Rp121,3 triliun. Besarnya SILPA tersebut dapat memperkuat bantalan fiskal dalam menopang kebutuhan belanja yang diperkirakan akan terus meningkat hingga akhir tahun 2016. Tabel 12. Realisasi Pembiayaan Hingga Oktober 2016 (dalam triliun rupiah) Uraian Surplus/(Defisit) Surplus/(Defisit) thd PDB Pembiayaan I. Pembiayaan Utang a. Surat Berharga Negara b. Pinjaman II. Pembiayaan Investasi III. Pemberian Pinjaman IV. Kewajiban Penjaminan V. Pembiayaan Lainnya Kelebihan/Kekurangan Pembiayaan APBNP (222,5) (1,9) 222,5 283,9 297,7 (13,8) (60,4) (0,5) (0,8) 0,4 2015 Realisasi Okt (283,5) (2,5) 364,8 382,5 314,2 68,3 (20,6) 2,6 0,0 0,3 81,3 % thd APBNP 127,4 0,0 163,9 134,8 105,6 (493,2) 34,1 (544,7) 78,1 Sumber: Kementerian Keuangan 38 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal APBNP (296,7) (2,4) 296,7 371,6 364,9 6,7 (94,0) 0,5 (0,7) 19,3 2016 Realisasi Okt (268,3) (2,1) 395,3 375,7 393,1 (17,4) (7,2) 21,5 0,0 0,2 121,3 % thd APBNP 90,4 0,0 133,2 101,1 107,7 (260,3) 7,7 4.663,7 1,1 Keberlanjutan pembiayaan dijaga melalui bauran kebijakan yang efisien dan mendorong pembiayaan yang kreatif dan inovatif. Upaya tersebut ditempuh agar pembiayaan mempunyai daya ungkit (leverage) untuk meningkatkan kapasitas pembiayaan sehingga mampu mengakselerasi pencapaian target pembangunan di tengah keterbatasan anggaran. APBN 2017: Realistis, Kredibel, dan Berkelanjutan Asumsi Makro APBN 2017 APBN 2017 disusun secara lebih realistis dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi global dan domestik. Pertumbuhan ekonomi ditetapkan sebesar 5,1 persen, lebih tinggi dibandingkan outlook 2016 sebesar 5,0 persen. Konsumsi rumah tangga dan investasi diperkirakan akan menjadi penopang pertumbuhan 2017 didukung oleh inflasi yang lebih terkendali serta perbaikan iklim investasi. Komitmen pemerintah untuk terus meningkatkan belanja infrastruktur, juga diharapkan dapat mendorong produktivitas dan daya saing domestik. Inflasi ditetapkan pada tingkat yang terkendali sebesar 4,0 persen dan berada dalam kisaran target Bank Indonesia sebesar 4,0 ± 1,0 persen. Beberapa faktor yang akan turut mempengaruhi pergerakan inflasi antara lain harga komoditas energi, terutama minyak mentah serta dinamika pergerakan nilai tukar dolar AS. Tingkat suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan ditetapkan sebesar 5,3 persen, sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditetapkan sebesar Rp13.300. Kenaikan suku bunga The Fed diperkirakan akan menjadi faktor yang mempengaruhi pergerakan suku bunga dan nilai tukar. Namun, fundamental ekonomi yang sehat dan reformasi yang terus berlanjut, diperkirakan dapat membantu stabilitas nilai tukar dan menjaga biaya pinjaman berada pada tingkat yang aman. Harga minyak mentah Indonesia atau ICP ditetapkan sebesar 45 dolar AS per barel, seiring dengan perbaikan harga komoditas global, meskipun belum berada pada tingkatan yang optimal. Sementara lifting minyak dan gas ditargetkan masing-masing sebesar 815 ribu barel per hari dan 1.150 ribu barel per hari setara minyak. Arah Kebijakan APBN 2017 APBN 2017 disusun sebagai kebijakan fiskal yang ekspansif dengan menjaga prinsip kehatihatian. Target pendapatan dihitung dengan dasar perhitungan yang lebih realistis setelah dilakukan konsolidasi belanja di dalam APBNP 2016. Strategi kebijakan fiskal diarahkan untuk mendorong agar pengelolaan fiskal lebih realistis, kredibel dan berkelanjutan, baik dalam jangka pendek dan jangka menengah. Di dalam mewujudkan pengelolaan fiskal yang mendukung daya saing dan pertumbuhan, pemerintah telah menetapkan berbagai langkah seperti penyediaan insentif fiskal dan peningkatan alokasi belanja produktif untuk memberikan stimulus. Selain itu, daya tahan dan keberlanjutan APBN juga dipelihara melalui Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 39 penyediaan bantalan fiskal, menjaga defisit pada batas yang diijinkan, keseimbangan primer terjaga, dan tingkat utang pada batas yang aman. Pendapatan Negara akan terus ditingkatkan, baik yang bersumber dari pajak maupun non pajak. Upaya optimalisasi pendapatan dilakukan dengan tetap menjaga iklim investasi yang kondusif. Dalam hal ini, reformasi pajak akan terus dilanjutkan dengan mencakup semua bidang, yaitu administrasi pajak, kebijakan pajak, dan tata kelola. Reformasi administrasi pajak akan mencakup pengembangan sistem IT, manajemen data, dan penegakan hukum yang lebih efektif. Reformasi kebijakan pajak akan mencakup amandemen undang-undang pajak untuk menciptakan sistem pajak yang lebih adil dan lebih efisien, meliputi UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan dan UU Pajak Pertambahan Nilai. Di dalam APBN 2017, Pendapatan Negara ditetapkan sebesar Rp1.750,3 triliun, meningkat sebesar 11,7 persen jika dibandingkan dengan outlook APBNP 2016. Penerimaan Perpajakan ditetapkan sebesar Rp1.498,9 triliun, tumbuh sebesar 13,5 persen dibandingkan dengan outlook APBNP 2016, sedangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ditetapkan sebesar Rp250 triliun. Dalam periode 2007-2015, realisasi penerimaan perpajakan rata-rata tumbuh 13,6 persen per tahun. Dengan demikian, penetapan target pertumbuhan Penerimaan Perpajakan sebesar 13,5 persen di tahun 2017 sangat realistis. Secara umum kebijakan perpajakan akan diarahkan untuk meningkatkan tax base dan kepatuhan wajib pajak. Beberapa langkah yang ditempuh yakni intensifikasi yang didukung perbaikan teknologi informasi, ekstensifikasi yang didukung pemanfaatan data pihak ketiga serta hasil Amnesti Pajak, pemberian insentif perpajakan untuk sektor strategis, perbaikan regulasi perpajakan, pengenaan cukai untuk pengendalian konsumsi barang tertentu, serta pertukaran informasi perpajakan internasional. Sementara itu, kebijakan PNBP diarahkan untuk mengoptimalkan sumber-sumber yang ada termasuk peran Kementerian/Lembaga. Untuk optimalisasi PNBP yang bersumber dari Sumber Daya Alam (SDA), pemerintah akan melakukan beberapa upaya yakni monitoring proyek pengembangan lapangan onstream tahun 2017, mengembangkan sistem penatausahaan hasil hutan berbasis teknologi informasi untuk memantau pengelolaan hutan secara online, kebijakan penetapan harga gas bumi tertentu, serta pemberantasan illegal, unreported and unregulated fishing. Pemerintah juga akan terus memacu kinerja BUMN agar dapat meningkatkan kontribusinya dalam APBN. Arah dan strategi belanja esensinya adalah untuk mendorong penguatan kualitas belanja agar lebih produktif dan efisien dalam pengalokasian anggarannya. Upaya penguatan kualitas belanja antara lain ditempuh dengan merealokasi belanja non prioritas ke belanja produktif dan prioritas, mempercepat dan memperbaiki pola penyerapan anggaran, memperbaiki mekanisme penyaluran subsidi agar lebih tepat sasaran, peningkatan kualitas dan efektifitas program perlindungan sosial, serta peningkatan efektivitas transfer ke daerah untuk membantu pembangunan daerah dan mengurangi ketimpangan. Sesuai dengan amanat undang-undang, Pemerintah berkomitmen untuk menjaga alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan masing-masing sebesar 20 persen dan 5 persen di dalam APBN 2017. Hal ini merupakan wujud dukungan APBN terhadap penyediaan pelayanan publik 40 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal dasar. Beberapa program utama yang tercakup di dalam anggaran pendidikan adalah program sertifikasi untuk ribuan guru dan dosen, distribusi Kartu Indonesia Pintar untuk 19,5 juta siswa, bantuan Bidikmisi untuk ribuan mahasiswa serta Bantuan Operasional Sekolah untuk jutaan siswa. Selain itu, di dalam anggaran pendidikan, pemerintah juga memprioritaskan rehabilitasi ruang kelas. Sementara itu, anggaran kesehatan difokuskan untuk memperkuat upaya promotif dan preventif serta meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan. Beberapa program utama di dalam anggaran kesehatan adalah bantuan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan sebanyak 94,4 juta jiwa serta pencegahan Stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak umur di bawah dua tahun. Peningkatan alokasi belanja produktif APBN 2017 ditunjukkan dengan kenaikan alokasi anggaran infrastruktur yang mencapai Rp387,3 triliun. Jumlah ini meningkat signifikan dibandingkan alokasi dalam APBNP 2016 yakni Rp346,6 triliun. Jumlah tersebut juga meningkat sekitar Rp40 triliun dibandingkan RAPBN 2017, dikarenakan adanya aturan minimal penggunaan Dana Transfer Umum untuk infrastruktur dari 15 persen menjadi 25 persen dalam rangka meningkatkan kualitas belanja APBD. Reformasi subsidi dilanjutkan agar lebih tepat sasaran dan sinergis dengan program perlindungan sosial lainnya. Hal ini dimaksudkan agar lebih efektif untuk mendukung program pengentasan kemiskinan. Upaya tersebut ditempuh dengan memperbaiki mekanisme penyaluran, meningkatkan akurasi data penerima serta mensinergikan dengan bansos (Rastra dan PKH). Total Belanja Subisdi di dalam APBN 2017 ditetapkan sebesar Rp160,1 triliun yang terdiri dari Subsidi Energi sebesar Rp77,3 triliun dan Subsidi Non Energi sebesar Rp82,7 triliun. Dengan demikian, untuk pertama kalinya Subsidi Non Energi lebih tinggi dibandingkan Subsidi Energi. Subsidi BBM dan LPG Tabung 3 kg ditetapkan sebesar Rp32,2 triliun. Dalam hal ini, pemerintah tetap memberlakukan subsidi tetap sebesar Rp500 per liter untuk bahan bakar solar. Secara bertahap pola distribusi tertutup akan diberlakukan (by name by address). Sementara itu, Subsidi Listrik ditetapkan sebesar Rp45 triliun yang diberikan kepada sekitar 19,1 juta pelanggan yang menggunakan daya 450VA. Adapun tarif untuk rumah tangga mampu yang menkonsumsi daya 900VA secara bertahap akan disesuaikan. Untuk subsidi non energi, beberapa upaya yang dilakukan untuk meningkatkan akurasi dan ketepatan sasaran adalah secara bertahap merubah pola pemberian Subsidi Pangan (Rastra) menjadi Program Bantuan Pangan non tunai atau voucher. Alokasi anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa pada APBN 2017 ditetapkan sebesar Rp764,9 triliun. Jumlah ini sedikit lebih tinggi dibandingkan anggaran K/L sebesar Rp763,6 triliun. Ini menunjukkan dukungan pemerintah terhadap desentralisasi fiskal serta upaya untuk meningkatkan peran pemerintah daerah dalam pembangunan. Beberapa langkah strategis dilakukan seperti peningkatan efektivitas Dana Transfer Umum yang diarahkan penggunaannya sekurang-kurangnya 25 persen untuk belanja infrastruktur daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan fasilitas pelayanan publik dan ekonomi. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antardaerah. Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 41 Pengalokasian Dana Transfer Khusus dilakukan perbaikan guna mempercepat peningkatan pelayanan dasar publik dan pencapaian prioritas nasional. Langkah perbaikan ini antara lain dilakukan melalui pengalokasian DAK fisik (DAK Reguler, DAK Penugasan, dan DAK Afirmasi) berdasarkan usulan daerah (proposal based) dan prioritas nasional, dengan memberikan afirmasi kepada daerah tertinggal, perbatasan, kepulauan dan transmigrasi. Mekanisme pengalokasian DAK tersebut juga diperbaiki melalui pengaturan proses penyusunan, penyampaian, verifikasi dan penilaian usulan daerah. Sementara itu, anggaran Dana Desa juga secara bertahap ditingkatkan dengan tetap memperhatikan kemampuan keuangan negara. Pada APBN 2017, alokasi Dana Desa mencapai Rp60 triliun di mana secara rata-rata, setiap desa akan mendapatkan alokasi sebesar Rp800,5 juta. Dengan memperhatikan profil pendapatan dan belanja negara, defisit APBN 2017 ditetapkan sebesar 2,41 persen terhadap PDB. Defisit fiskal tersebut diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan serta mendukung kegiatan produktif guna meningkatkan produktivitas dan daya saing. Sumber-sumber pembiayaan defisit diperoleh melalui penerbitan SBN yang diprioritaskan dengan denominasi rupiah, bunga tetap, serta tenor jangka menengah panjang. Sementara untuk pinjaman dalam dan luar negeri difokuskan untuk pemberdayaan industri dalam negeri serta pembangunan infrastruktur. Rasio utang pemerintah akan dijaga pada tingkat yang aman yakni sekitar 28,5 persen, atau jauh di bawah tingkat utang negara-negara lain di dunia. Grafik 11. Postur APBN 2017: Realisitis, Kredibel dan Berkelanjutan (dalam triliun rupiah) APBN 2016 APBN 2017 Pendapatan Negara dan Hibah (2016: Rp1.782,6 T; 2017: Rp1.750,3) PNBP Rp245,1 T Perpajakan, Rp1539,2 T Perpajakan Rp1.498,9 T PNBP Rp250,0 T Belanja Pemerintah Pusat (2016: Rp1.306,7 T; 2017: Rp1.315,5 T) Transfer ke Daerah dan Dana Desa (2016: Rp776,3 T; 2017: Rp764,9 T) Belanja Non KL Rp538,9 T Belanja K/L Belanja K/L Rp763,6 Rp767,8 T Belanja Non K/L Rp552,0 T Dana Desa Rp47,0 T Transfer ke Daerah Transfer ke Daerah Dana Desa Rp60,0 T Rp729,3 T Rp704,9 T Defisit (2016: 2,35% PDB; 2017: 2,41% PDB) Defisit Rp296,7 T Defisit Rp330,2 T Pembiayaan (2016: Rp296,7 T 2017: Rp330,2 T) Pembiayaan Rp296,7 T Pembiayaan Rp330,2 T Sumber: Kementerian Keuangan Salah satu bagian penting dalam komponen Pembiayaan adalah pembiayaan investasi untuk mendukung perekonomian nasional. Kebijakan ini dilakukan antara lain melalui Penanaman Modal Negara (PMN) untuk mendukung pembangunan infrastruktur, Dana Bergulir untuk pembiayaan perumahan, investasi pada Badan Layanan Umum Lembaga Manajemen Aset Negara (BLU LMAN), serta peningkatan akses pembiayaan UMKM. 42 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal Boks 2: Analisis Benefit Incidence untuk Menghitung Dampak Pemberian Subsidi dan Program Sosial terhadap Kemiskinan dan Ketimpangan Selama satu dekade terakhir, angka kemiskinan mengalami penurunan, tetapi dengan tingkat kecepatan yang juga menurun. Perkembangan rasio Gini juga sempat mengalami stagnasi pada tingkat tertinggi yaitu kisaran 0,41, yang kemudian turun menjadi 0,40 pada tahun 2016. Realisasi angka kemiskinan dan rasio Gini sejak tahun 2015 selalu di atas target RPJMN 2015-2019. Hal ini mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi program-program yang terkait langsung dengan kesejahteraan masyarakat, seperti subsidi dan bantuan sosial agar kebijakan fiskal dapat lebih efektif dalam mencapai sasaran pembangunan. Grafik 12. Perkembangan dan target angka kemiskinan dan Rasio Gini (dalam persen) Realisasi Mar'16 10,86% 16 12 8 Adj. Target 2016 10,5% Adj. Target 2017 10% Target RPJMN 7,0-8,0% Realisasi Mar'16 0,40 Adj. Target 2017 0,39 0,40 0,38 0,36 0,34 0,32 Target RPJMN 2019 0,36 0,30 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 6 0,42 Gini 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 Persen, % 14 10 0,44 Angka Kemiskinan Indeks 18 Sumber: BPS dan Bappenas, diolah Catatan: angka kemiskinan 2011-2016 menggunakan periode bulan Maret Berdasarkan analisis benefit incidence dengan menggunakan data Susenas periode Maret 2014 hingga September 2015, terdapat beberapa kebijakan fiskal yang teridentifikasi berpengaruh terhadap konsumsi rumah tangga, yaitu subsidi (LPG, listrik, solar, Rastra, dan KUR) dan bantuan sosial (PKH dan PIP). Analisis benefit incidence mencoba menghitung dampak dari pemberian subsidi dan bantuan sosial terhadap kemiskinan dan ketimpangan dengan menggunakan counterfactual analysis, yaitu membandingkan antara kondisi aktual (dengan intervensi pemerintah) dengan kondisi tanpa intervensi pemerintah. Berdasarkan analisis ini, PKH merupakan program yang paling efektif dalam menurunkan kemiskinan dan rasio Gini. Pada sisi lain, subsidi listrik memiliki dampak terbesar dalam menurunkan kemiskinan (-2,6 persen) dan rasio Gini (-0,6 basis poin), karena nilai anggaran yang digunakan juga besar. Pada tahun 2015, hasil estimasi memperkirakan nilai subsidi listrik yang diterima rumah tangga sebesar Rp66,0 triliun. Untuk setiap rupiahnya, PKH lebih efektif menurunkan kemiskinan dan rasio Gini. Oleh karena itu, dengan anggaran yang sama dengan subsidi listrik, dampak PKH akan lebih besar dibandingkan dengan subsidi listrik. Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 43 Selain menghitung dampak terhadap kemiskinan dan ketimpangan, analisis benefit incidence juga dapat memetakan distribusi penerima subsidi dan bantuan sosial. Dari hasil pemetaan tersebut, diketahui bahwa subsidi energi (LPG 3 kg, listrik, dan solar) masih kurang tepat sasaran karena pengeluaran subsidi lebih dinikmati oleh kelompok rumah tangga mampu. Grafik 13. Dampak dan efektivitas subsidi dan Bansos dalam menurunkan kemiskinan dan Gini 0,2 Subsidi Solar Perubahan Kemiskinan (%) Subsidi Listrik 0,1 0,0 -3,0 -2,0 -1,0 PKH Indonesia Pintar -0,1 1,0 Subsidi Solar -0,2 -0,3 Subsidi -0,4 LPG -0,5 Subsidi Listrik PKH 0,0 -0,6 -0,7 Rastra Perubahan Gini (bps) -4,0 Efektivitas Penurunan Gini Rastra Efektivitas Penurunan Kemiskinan Subsidi LPG Indonesia Pintar -5 0 -0,8 5 10 15 20 Indeks Efektivitas Sumber: hasil simulasi menggunakan Susenas Maret 2014-September 2015 Catatan: dampak penurunan kemiskinan dan Gini ratio diukur dengan pendekatan counterfactual, yaitu dengan membandingkan pengeluaran setiap rumah tangga penerima subsidi dan bantuan sosial jika tidak menerima subsidi dan bantuan sosial. Sementara indeks efektivitas merupakan porsi perubahan kemiskinan dan rasio Gini terhadap total nilai manfaat yang diterima rumah tangga. Secara detail, jumlah rumah tangga yang menerima LPG 3 kg pada saat pembagian paket perdana mencapai 54,9 juta rumah tangga, padahal jumlah rumah tangga miskin dan rentan yang terdapat dalam Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) 2015 sebesar 25,8 juta rumah tangga. Untuk subsidi listrik, data Kementerian ESDM per Agustus 2016 menunjukkan bahwa terdapat 23,1 juta rumah tangga pelanggan dengan daya 450 VA dan 22,9 juta rumah tangga pelanggan dengan daya 900 VA. Data Susenas menunjukkan bahwa kelompok rumah tangga mampu yang ikut menikmati subsidi listrik ini mayoritas merupakan pengusaha di sektor pertanian dan perdagangan/restoran yang diperkirakan relatif tidak membutuhkan daya listrik yang besar untuk usahanya. Pada sisi lain, hasil pemetaan menunjukkan bahwa tingkat utilisasi solar bersifat regresif yang berarti rumah tangga mampu menggunakan lebih banyak dibandingkan rumah tangga miskin dan rentan. Tingkat utilisasi rumah tangga mampu yang lebih besar diperkirakan karena kelompok ini merupakan pemilik aset (seperti mobil dan kapal nelayan), sedangkan rumah tangga miskin dan rentan umumnya hanya merupakan pekerja. Subsidi non-energi yang dapat diidentifikasi dari Susenas adalah Rastra, yaitu program yang bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin dan rentan dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok (beras) dan mengendalikan gejolak harga. Pemetaan data Susenas menunjukkan bahwa kelompok rumah tangga miskin dan rentan lebih menikmati subsidi Rastra, meskipun masih terdapat kebocoran. Jumlah penerima Rastra sebanyak 35,1 juta rumah tangga padahal seharusnya hanya 15,5 juta rumah tangga yang menerima. Rata-rata harga tebus di masyarakat mencapai sekitar Rp2.000 atau di atas harga tebus yang ditetapkan yaitu Rp1.600. Demikian juga secara volume, di mana rata-rata rumah tangga hanya menerima beras sebanyak 5 kg padahal seharusnya 15 kg. 44 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal Berbeda dengan subsidi, sebaran bantuan sosial yaitu PKH dan PIP lebih bersifat progresif yaitu rumah tangga miskin dan rentan menerima manfaat lebih besar. Hal ini karena PKH dan PIP lebih tepat sasaran. Temuan ini juga didukung oleh studi BKF dengan World Bank tahun 2015 yang menunjukkan bahwa PKH merupakan program yang paling efektif dalam menurunkan kemiskinan dan ketimpangan karena sifatnya yang sangat progresif. Berdasarkan identifikasi nilai subsidi dan bantuan sosial, diketahui bahwa kelompok 10 persen rumah tangga termiskin menerima subsidi dan bantuan sosial sebesar 36,3 persen dari total pengeluarannya. Menurut TNP2K, best practice negara-negara lain menunjukkan bahwa porsi nilai subsidi dan bantuan sosial terhadap pendapatan rumah tangga yang optimal yaitu sebesar 30 persen. Oleh karena itu, di samping pemberian subsidi dan bantuan sosial, pemerintah sebaiknya memperbesar porsi program pemberdayaan dan pelatihan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Tabel 13. Nilai subsidi dan manfaat bantuan sosial serta porsinya terhadap pengeluaran rumah tangga Desil Pengeluaran Termiskin 2 3 4 5 6 7 8 9 Terkaya Nilai Manfaat Bantuan (Rp) Porsi Subsidi/Bansos Terhadap Pengeluaran RT (%) LPG Listrik Solar Rastra PKH PIP Total Rp46.075 3,6% Rp46.912 2,7% Rp48.881 2,5% Rp46.793 2,1% Rp43.687 1,8% Rp44.967 1,6% Rp44.032 1,4% Rp43.122 1,1% Rp39.399 0,8% Rp40.963 0,4% Rp86.187 6,7% Rp107.781 6,2% Rp104.944 5,4% Rp119.967 5,4% Rp136.612 5,6% Rp153.645 5,5% Rp171.827 5,4% Rp197.111 5,2% Rp227.487 4,8% Rp362.210 3,9% Rp34.449 2,7% Rp38.766 2,2% Rp77.228 4,0% Rp42.314 1,9% Rp60.652 2,5% Rp56.832 2,1% Rp56.366 1,8% Rp87.547 2,3% Rp110.363 2,3% Rp217.124 2,3% Rp28.652 2,2% Rp26.740 1,5% Rp23.854 1,2% Rp24.838 1,1% Rp24.098 1,0% Rp26.677 1,0% Rp25.049 0,8% Rp24.434 0,6% Rp24.989 0,5% Rp39.216 0,4% Rp173.510 13,4% Rp186.626 10,8% Rp172.486 8,8% Rp170.031 7,7% Rp151.836 6,2% Rp153.147 5,5% Rp155.845 4,9% Rp161.426 4,2% Rp152.971 3,2% Rp186.340 2,0% Rp99.718 7,7% Rp103.327 6,0% Rp101.037 5,2% Rp99.564 4,5% Rp94.621 3,9% Rp98.061 3,5% Rp101.034 3,2% Rp101.966 2,7% Rp106.223 2,2% Rp124.872 1,3% Rp468.590 36,3% Rp510.151 29,5% Rp528.430 27,1% Rp503.508 22,7% Rp511.506 21,0% Rp533.329 19,3% Rp554.154 17,4% Rp615.605 16,1% Rp661.431 13,9% Rp970.726 10,5% Pengeluaran RT (Rp/RT/bln) Rp1.291.503 Rp1.728.130 Rp1.950.069 Rp2.222.472 Rp2.435.431 Rp2.768.520 Rp3.193.093 Rp3.814.854 Rp4.757.735 Rp9.273.560 Sumber: hasil perhitungan PKEM-BKF menggunakan data Susenas Catatan: perhitungan desil pengeluaran menggunakan disposable income (bukan market income) sehingga sudah terdapat unsur pajak dan transfer pemerintah di dalamnya. Nilai subsidi/bantuan telah disesuaikan, yaitu menggunakan dari persentase subsidi/bantuan terhadap pengeluaran rumah tangga di periode data yang digunakan (Maret 2014-September 2015) dikali dengan pengeluaran rumah tangga periode September 2015. Skala conditional cash transfer (CCT) atau bantuan tunai bersyarat di Indonesia relatif sebanding dengan negara-negara lain yang diobservasi. Namun, progresivitas negara-negara Amerika Latin dinilai lebih baik jika dilihat dari besarnya manfaat yang diterima desil satu dibanding desil yang lebih kaya. Artinya, CCT di Amerika Latin lebih menyasar pada kelompok termiskin sehingga sangat efektif dalam menurunkan kemiskinan dan ketimpangan. Untuk subsidi energi, porsi subsidi energi terhadap pendapatan rumah tangga di Indonesia relatif lebih besar dibandingkan dengan negaranegara lain yang diobservasi. Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 45 Grafik 14. Pengalaman negara lain dalam menyalurkan Bansos dan subsidi energi Incidence Subsidi Energi 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Termiskin % terhadap pendapatan % terhadap pendapatan Incidence CCT Terkaya Sumber: Amerika Latin dari Paz et al (2014), Higgins dan Pereira (2014), Scott (2014); Sri Lanka dari preliminary result Arunatilake (2014); Indonesia dari hasil perhitungan BKF-Kemenkeu Catatan: Indonesia menggunakan disposable income tahun 2015, sementara negara-negara lain menggunakan market income tahun 2012. Subsidi energi di Indonesia di antaranya LPG, solar, dan listrik 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Termiskin Terkaya Sumber: Amerika Latin dari Lustig dan Pessino (2014), Paz et al (2014), Higgins dan Pereira (2014), Scott (2014), Jaramillo (2014), Bucheli et al (2014), Lustig et al (2014); Armenia dari Younger et al (2014), Sri Lanka dari preliminary result Arunatilake (2014); Indonesia dari hasil perhitungan BKF-Kemenkeu Catatan: Indonesia menggunakan disposable income tahun 2015, sementara negara-negara lain menggunakan market income tahun 2012 Ke depan, pemerintah akan memperbaiki mekanisme penyaluran subsidi energi maupun nonenergi. Di tahun 2017, pemerintah berencana untuk menyalurkan LPG 3 kg secara lebih tepat sasaran melalui pola distribusi tertutup (by name and by address) dan dilakukan secara bertahap untuk 26,8 juta rumah tangga miskin dan rentan serta 2,3 juta usaha mikro. Untuk subsidi listrik, hasil pembahasan dengan Banggar DPR-RI tanggal 20 September 2016 menetapkan bahwa subsidi listrik hanya diperuntukkan bagi rumah tangga miskin dan rentan (40 persen termiskin) atau 19,1 juta rumah tangga pelanggan dengan daya 450 VA dan 4,05 juta rumah tangga pelanggan dengan daya 900 VA. Demikian juga dengan mekanisme subsidi solar yang seharusnya dipergunakan untuk transportasi umum, usaha mikro, pelayanan umum (solar subsidi dibatasi untuk nelayan dengan kapal ikan Indonesia maksimum 30 GT) sesuai Perpres No. 191 Tahun 2014. Sedangkan untuk penyaluran Rastra akan disempurnakan dengan meninjau kembali dan mendesain ulang Rastra, baik dari sisi kelembagaan, penetapan sasaran, area, pengawasan dan pengendalian, termasuk perubahan skema menjadi bantuan tunai dan disalurkan dengan layanan keuangan. 46 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal Halaman ini sengaja dikosongkan Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 47 48 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal BAGIAN III LAMPIRAN DATA EKONOMI MAKRO DAN APBN Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 49 Indikator Pertumbuhan Ekonomi Growth ( persen) Nominal (triliun) Inflasi ( persen) IHK Core Administrative Price Volatile Food Nilai Tukar (Rp/US$1) Rata-rata End Of Period Suku Bunga ( persen) BI Rate Kredit Konsumsi (eop) Kredit Modal Kerja (eop) Kredit Investasi (eop) Harga Minyak (US$/barel) Rata-rata (ICP) WTI Brent SUN dan Saham Yield Obligasi (5YR) Yield (10YR) Saham IHSG SUN, NFB Saham, SBI Perbankan ( persen) CAR LDR NPL Pertumbuhan Kredit 4,76 112,7 94,05 112,10 11,27 11,49 13,58 5,75 9.380 9.670 5,68 2,66 6,26 8.229,44 4,3 135,49 4,4 2012 8,83 8,03 105,8 97,61 108,8 11,82 12,12 13,13 7,5 10.451 12.189 11,83 16,65 5,78 9.087,28 8,38 146,84 4,98 2013 5.227 7,80 7,70 59,6 53,27 55,76 12,36 12,79 13,58 7,75 12.438 12.440 10,88 17,57 5,01 10.565,82 8,36 119 4,93 2014 4.593 8,75 8,82 35,5 37 35,8 12,12 12,46 13,88 7,5 13.362 13.795 4,84 0,39 4,79 11.540,79 3,35 122,99 3,95 2015 Dec 4.615 8,26 8,24 27,5 33,6 34,7 11,96 12,46 13,94 7,25 13.889 13.846 6,77 3,48 4,14 123,62 3,62 Jan 4.771 8,26 7,97 28,9 33,8 36,0 11,93 12,4 13,93 7,00 13.516 13.395 7,87 3,98 4,42 123,51 3,59 Feb 4.845 7,67 7,38 34,2 38,3 38,7 11,83 12,28 13,91 6,75 13.193 13.276 9,59 2,76 4,45 123,75 3,5 Mar 4.839 7,74 7,46 37,2 45,9 46,4 11,71 12,14 13,91 6,75 13.180 13.204 9,44 -0,84 3,6 123,19 3,41 Apr 4.770 7,87 7,58 44,7 49,1 48,3 11,6 11,97 13,86 6,75 13.420 13.615 8,15 -0,95 3,33 123,48 3,41 2016 Mei 5.017 7,45 7,32 44,5 48,3 48,4 11,49 11,82 13,83 6,50 13.355 13.180 8,12 -0,5 5,18 3086,559 3,45 124,29 3,49 Jun 5.216 6,94 6,76 40,7 41,6 41,0 11,45 11,78 13,82 5,25 13.116 13.094 7,14 -0,85 3,21 125,15 3,49 Jul 5.386 7,06 6,84 41,1 44,7 46,2 11,42 11,73 13,74 5,25 13.165 13.300 5,28 -0,91 2,79 125,13 3,32 Agu 5.365 7,06 6,84 42,2 48,2 47,7 11,36 11,61 13,72 5,00 13.328 12.998 6,51 -0,38 3,07 125,41 3,21 Sep 5.423 4,75 13.297 13.051 7,54 Data Perkembangan Indikator Ekonomi Makro s.d. Oktober 2016 5,19 4.274 7,24 6,70 46,6 46,9 46,7 5,02 3.216,80 3,31 125,59 3,08 0,17 Okt 4.316 -11.631 22,33 91,48 3,10 13.599 22,97 89,94 3,22 9,80 21.929 22,91 90,08 3,18 10,15 26.900 22,29 91,12 3,05 11,11 30.835 22,2 90,32 3,1 12,1 -4.390 21,73 89,52 2,93 10,38 23.798 21,76 89,6 2,83 9,13 21.229 21,7 89,5 2,87 8,88 13.871 21,51 90,95 2,73 8,05 17.476 21,16 91,95 2,49 9,31 5.353 19,40 89,42 2,2 10,12 -28.314 18,36 89,7 1,77 11,56 63.943 17,30 83,58 1,9 21,35 34.684 23,13 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 50 Uraian APBNP 1.635,38 1.633,1 1.246,1 1.189,8 56,3 386,9 241,1 40,0 85,0 20,9 2,3 1.876,9 1.280,4 258,4 195,2 160,8 135,5 403,0 2,9 96,7 27,9 596,5 596,5 491,9 458,9 117,7 341,2 33,0 104,6 (106,0) (241,5) 241,5 254,9 (13,4) 54,1 16,9 37,2 (3,4) (64,2) 2014 Realisasi (LKPP Audited) 1.550,49 1.545,5 1.146,9 1.103,2 43,6 398,6 240,8 40,3 87,7 29,7 5,0 1.777,3 1.203,6 243,7 176,6 147,3 133,4 392,0 0,9 97,9 11,7 573,7 573,7 477,1 445,2 103,9 341,2 31,9 96,7 (93,3) (226,7) 273,6 261,2 12,4 52,6 17,8 34,8 (2,5) (62,4) 94,8 94,6 92,0 92,7 77,6 103,0 99,9 100,8 103,3 142,3 216,5 94,7 94,0 94,3 90,5 91,6 98,5 97,3 31,8 101,3 41,7 96,2 96,2 97,0 97,0 88,3 100,0 96,6 92,4 88,1 93,9 113,3 102,5 -91,9 97,1 105,2 93,5 73,5 97,3 % thd APBNP Data Penyerapan APBN Tahun 2014-2015 A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan a. Pajak Dalam Negeri b. Pajak Perdagangan Internasional 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak a. Penerimaan Sumber Daya Alam b. Bagian Laba BUMN c. PNBP Lainnya d. Pendapatan BLU II. Hibah B. Belanja Negara I Belanja Pemerintah Pusat 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang 3. Belanja Modal 4. Pembayaran Kewajiban Utang 5. Subsidi 6. Belanja Hibah 7. Bantuan Sosial 8. Belanja Lainnya II. Transfer Ke Daerah Dan Dana Desa 1. Transfer ke Daerah a. Dana Perimbangan i. Dana Transfer Umum - Dana Bagi Hasil - Dana Alokasi Umum ii. Dana Transfer Khusus b. Dana Insentif Daerah c. Dana Otonomi Khusus dan Keistimewaan DIY d. Dana Transfer Lainnya 2. Dana Desa C. Keseimbangan Primer D. Surplus/Defisit Anggaran (A - B) E. Pembiayaan I. Pembiayaan Dalam Negeri Ii. Pembiayaan Luar Negeri (neto) 1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto) a. Pinjaman Program b. Pinjaman Proyek 2. Penerusan SLA 3. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN APBNP 1.761,6 1.758,3 1.489,3 1.440,0 49,3 269,1 118,9 37,0 90,1 23,1 3,3 1.984,1 1.319,5 299,3 259,7 252,8 155,7 212,1 4,6 103,6 31,7 664,6 643,8 521,8 463,0 110,1 352,9 58,8 17,6 104,4 20,8 (66,8) (222,5) 222,5 242,5 (20,0) 48,6 7,5 41,1 (4,5) (64,2) 2015 Realisasi (Unaudited) 1.504,5 1.494,1 1.240,4 1.205,5 34,9 253,7 102,3 37,6 78,5 35,2 10,4 1.796,6 1.173,6 281,1 232,4 209,0 156,0 186,0 3,1 97,0 8,9 623,0 602,2 485,8 431,0 78,1 352,9 54,9 17,6 98,8 20,8 (136,1) (292,1) 318,1 3,8 10,4 77,5 55,1 22,4 (1,1) (66,0) % thd APBNP 85,4 85,0 83,3 83,7 70,8 94,3 86,0 101,6 87,1 152,4 315,2 90,5 88,9 93,9 89,5 82,7 100,2 87,7 67,4 93,6 28,1 93,7 93,5 93,1 93,1 70,9 100,0 93,4 100,0 94,6 100,0 203,7 131,3 143,0 1,6 -52,0 159,5 734,7 54,5 24,4 102,8 51 Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal Uraian APBNP 1.786,2 1.784,2 1.539,2 1.503,3 35,9 245,1 90,5 34,2 84,1 36,3 2,0 2.082,9 1.306,7 342,4 304,2 206,6 191,2 177,8 8,5 53,4 22,5 776,3 729,3 705,5 494,4 109,1 385,4 211,0 5,0 0,0 0,0 (49,5) (67,7) 71,2 74,2 (2,9) 0,7 0,0 0,7 0,0 (3,6) Jan 82,6 82,6 70,9 68,0 2,9 11,7 4,2 0,0 7,4 0,1 0,0 150,3 50,2 24,6 1,1 1,5 18,1 3,0 0,0 1,7 0,1 100,1 100,1 100,1 89,0 24,8 64,2 11,2 0,0 0,1 0,0 (61,0) (86,7) 74,0 72,0 2,0 7,4 6,7 0,7 0,0 (5,4) Feb 156,2 156,2 132,5 126,7 5,8 23,7 9,4 0,0 13,6 0,6 0,0 242,9 109,9 51,2 7,4 5,4 25,7 14,6 0,0 3,5 2,2 133,0 133,0 132,9 120,5 24,8 95,7 12,4 0,0 0,1 7,1 (90,3) (143,3) 165,9 167,8 (1,9) 7,8 6,7 1,1 0,0 (9,8) Mar 247,6 247,6 204,7 196,0 8,7 42,9 13,8 0,0 21,6 7,5 0,0 390,9 193,5 73,1 24,6 10,2 52,9 21,1 0,0 9,2 2,3 197,4 190,3 190,2 153,1 25,6 127,5 37,2 0,0 3,3 17,6 (94,7) (158,2) 203,3 209,9 -6,7 8,9 6,7 2,2 0,0 (15,6) 2016 Apr 386,5 386,3 320,6 309,1 11,4 65,8 17,2 10 29 9,5 0,2 544,8 276,2 97,3 42,4 18 63,5 40,3 0,1 12,1 2,4 268,6 251 244,8 186,2 26,2 160 58,6 2,9 5,6 23,7 (110,2) (189) 214,8 223,9 -9 11,7 6,7 5 (0,2) (20,6) Mei 496,8 496,1 406,9 392,6 14,3 89,2 23 19,8 34,2 12,1 0,7 685,8 357,4 119,9 64,5 27,2 78,8 47,5 0,2 16,8 2,5 328,4 304,8 296,3 227,4 35,1 192,3 68,9 2,9 5,6 26,8 (143,4) (230,7) 276,6 300,9 -24,3 13,2 6,7 6,4 (0,3) (37,2) Jun 634,7 634,1 522 504,7 17,3 112,1 27,4 24,8 41,8 18,1 0,6 865,4 481,3 156,9 94,6 44,4 87,3 72,3 0,2 22,9 2,8 384 357,2 348,7 277,8 53,6 224,2 70,9 2,9 5,6 27,3 (140,5) (247,8) 282,7 308,7 (26,1) 14,3 6,7 7,5 (0,3) (40,0) Jul 759,1 758,0 607,9 588,5 19,4 150,1 34,9 28,3 67,7 19,2 1,1 1.006,9 561,6 190,3 108,9 49,2 107,3 76,7 0,2 25,8 3,3 445,3 417,9 409,4 310,1 53,6 256,4 99,3 2,9 13,3 30,4 (145,8) (261,8) 358,8 372,7 (13,9) 28,8 16,1 12,7 (0,9) (41,8) Agu 873,0 871,8 711,3 688,9 22,3 160,6 29,9 31,5 77,0 22,1 1,2 1.134,8 644,8 212,7 132,6 67,8 116,0 83,4 0,5 28,3 3,4 490,0 459,6 441,3 339,0 55,1 283,9 102,3 5,0 13,3 36,8 (77,7) (224,3) 391,9 405,1 (13,2) 34,3 Sep 1.081,2 1.080,0 896,1 871,1 25,1 183,8 37,2 32,8 84,3 29,4 1,2 1.305,5 767,7 235,9 159,1 82,6 146,6 104,1 0,5 35,3 3,7 537,8 501,0 482,7 376,8 65,5 311,3 105,9 5,0 (1,1) (46,5) 18,8 47,0 (105,5) (296,7) 296,7 299,3 (2,5) 73,0 35,8 37,2 (5,8) (69,7) Data Penyerapan APBN Hingga Oktober 2016 A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan a. Pajak Dalam Negeri b. Pajak Perdagangan Internasional 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak a. Penerimaan Sumber Daya Alam b. Bagian Laba BUMN c. PNBP Lainnya d. Pendapatan BLU II. Hibah B. Belanja Negara I. Belanja Pemerintah Pusat 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang 3. Belanja Modal 4. Pembayaran Kewajiban Utang 5. Subsidi 6. Belanja Hibah 7. Bantuan Sosial 8. Belanja Lainnya II. Transfer Ke Daerah Dan Dana Desa 1. Transfer ke Daerah a. Dana Perimbangan i. Dana Transfer Umum - Dana Bagi Hasil - Dana Alokasi Umum ii. Dana Transfer Khusus b. Dana Insentif Daerah c. Dana Otonomi Khusus dan Keistimewaan DIY d. Dana Transfer Lainnya 2. Dana Desa C. Keseimbangan Primer D. Surplus/Defisit Anggaran (A-B) E. Pembiayaan I. Pembiayaan Dalam Negeri II. Pembiayaan Luar Negeri(neto) 1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto) a. Pinjaman Program b. Pinjaman Proyek 2. Penerusan SLA 3. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN Okt 1.186,8 1.185,4 986,6 958,9 27,7 198,7 42,9 34,5 90,5 30,8 1,4 1.455,1 857,5 259,3 177,7 98,0 157,0 123,2 0,8 37,7 4,0 597,6 556,2 537,7 409,4 66,0 343,3 128,3 5,0 13,5 41,5 (111,4) (268,3) 395,3 414,1 (18,7) 35,3 21,4 14,0 (1,4) (52,7) Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 52 Halaman ini sengaja dikosongkan Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 53 Halaman ini sengaja dikosongkan 54 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal Edisi V/Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 55 56 Edisi V / Desember 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal