1 Menemukan Tuhan dalam Hidup di Keluarga Pengantar Iman adalah tanggapan manusia atas wahyu Allah. Rahmat Allah ini disampaikan kepada manusia melalui peristiwa berahmat. Peristiwa ini berarti mukjijat, kebangkitan, atau salib kehidupan, atau bahkan dalam peristiwa hidup sehari-hari, sebagaimana dialami oleh Yesus dalam hidup dan karyanya. Kita semua beriman, percaya pada Tuhan. Kita percaya bahwa Tuhan ada di mana-mana. Tapi dalam hidup sehari-hari sering kita kurang mengenal Tuhan yang kita imani. 1. Sebab Tuhan yang hadir dalam hidup kita ternyata sering beda dengan Tuhan yang ada dalam konsep pemikiran kita. 2. Kita hanya bisa menemukan Tuhan dalam iman. 3. Kita beriman dengan seluruh pribadi kita sebagai manusia, dengan seluruh pikiran dan perasaan kita. Jadi ada beberapa area yang menyebabkan kita rancu untuk menemukan Tuhan dalam hidup kita. Seperti misalnya paham ttg manusia, ttg Tuhan, ttg iman, pikiran, perasaan, pengalaman. Paham kita berbeda-beda. Manusia dengan seluruh dimensinya: daya pikir dan olah rasa perasa, yang menyatu dalam pengalaman hidup, kita pahami secara berbeda. Tuhan dengan seluruh keagungan cintanya, kita mengerti secara berbedabeda. Penghayatan, apalagi penwujudan iman kita amat varian dalam isi, cara dan bentuknya.. Sesuai dengan proses kehidupan, iman tumbuh dan berkembang, sesuai dengan proses perkembangan kemampuan manusia untuk berpikir dan berperasaan. Semuanya itu dimulai dan diproses di dalam keluarga. Di sana manusia mulai hidup, Tuhan mulai dicari, daya pikir dikembangkan, rasa-perasa diproses. Karena itu kesanggupan kita untuk mendidik, melatih, memanfaatkan keluarga sungguh akan menjadi modal paling berharga dalam hidup kita. Lebih dari itu akan amat bernilai untuk mengenal, mencari dan menemukan Tuhan dalam hidup kita. Tapi sayang, ada beberapa hal yang menyebabkan keluarga tidak bisa berfungsi maksimal untuk mendukung hal ini: Bermula dari awal hidup berkeluarga. Sepasang kekasih yang menikah diharapkan meyakini bahwa bukan hanya mereka yang saling memilih satu sama lain. Sebagai orang beriman, mereka diharap punya keyakinan bahwa Tuhan sendiri yang memilih, merencanakan dan memproses menjadi suami istri. Tuhan yang memangil mereka menjadi orangtua dari anak-anak mereka, di jamannya. 2 Proses pernikahan hendaknya diimani bukan hanya sebagai proses insani, tapi juga proses ilahi. Lebih tepat dikatakan proses dialektika antara insan dan khaliknya. Dalam iman mesti diyakini bahwa proses yang berlangsung dalam keluarga mereka, adalah proses dialektika antara kehendak manusia dan kehendak Allah. Ini berarti, apa pun yang terjadi di dalam keluarga mesti ditempatkan dalam iman ini. Hal apapun mesti ditempatkan dan diharapi dalam dua dimensi tersebut: insani dan ilahi. Termasuk apa pun yang di luar daya kemampuan manusiawi kita. Kalau sudah demikian, apakah Tuhan lantas mudah kita temukan? Belum. Sebab ada beberapa hal yang mesti kita kenali, kita pahami, dan kita hadapi, sebagai berikut: 1. Paham Manusia Paham ttg. Manusia: Sesuai dengan perkembangan jaman, sekarang ini, nilai pribadi manusia lebih dihargai, kalau tak boleh dibilang diagungkan. Manusia lebih dilihat sebagai makhluk individu, meski sosialitasnya masih tetap diakui. Salah satu akibatnya: nilai mengenai ada dan perlunya keluarga menjadi berkurang, jika tidak malah merosot. Paham ttg. Rasa: Di jaman ini orang sering salah mengerti tentang rasa ini. Banyak orang takut memperhatikan rasa, hanya karena takut dianggap sentimental. Mengutamakan perasaan tidak berarti mendewakan perasaan. Tanpa rasa, pengalaman tak punya tempat untuk berakar. Ini berarti nilai kemanusiaan kita menjadi minim karenanya. Memperhatikan rasa sebetulnya berarti melihat perasaan secara positif, tidak hanya sisi negatif saja. Rasa sebagai bagian dari hidup kita. Bandingkan bedanya: Ngrasani bukan ngrasakke; Ngrasani bisa dilakukan tanpa rasa sama sekali. Tak kenal rasa, juga akan sulit mengolah pengalaman hidup. Kesulitan mengenali pengalaman berarti juga kesulitan mengenali Tuhan. Maka juga akan sulit mengenal Tuhan. A. Paham dunia Paham ttg dunia/kosmos: Ada yang memahami bahwa dunia ini punya otonomi sendiri. Dunia berproses secara alami menurut hukum dunia. Ada orang lain yang berpendapat bahwa dunia ini diatur oleh daya kekuatan, di luar manusia: animisme/dinamisme. Bagi mereka ini Tuhan tak pernah dan tak perlu dicari. Idenya adalah kalau manusia ada masalah berarti manusia diganggu dunia. Dan semua gangguan harus disingkirkan dengan kekuatan lain pula. Untuk itu kalau perlu mencari orang ‘pinter.’ 3 Sementara orang beriman yakin bahwa Tuhanlah yang mengatur alam semesta. Kalau mereka ada masalah ke Tuhan. Bagaimana dengan penghayatan kita? Kalau kita punya persoalan ke mana kita lari? Tentang jodoh, kita bertanya pada siapa: tanya pada Tuhan, dalam doa, dengan Novena, atau tanya pada tukang ramal, atau horoskope Jangan-jangan kita sama dengan banyak orang lain. Tuhan sudah diketahui, tapi belum sampai dihayati. Tuhan belum secara spontan menjadi tempat mengadu yang pertama dan utama. Yang spontan lebih hidup adalah mencari yang bukan Tuhan. Dan kalau kita mau mencari Tuhan, apa tidak aneh? B. Paham keluarga Paham ttg. perkawinan Perkawinan lebih penting dan perlu dipikirkan daripada berkeluarga. Persiapan berkeluarga menjadi nomor dua daripada persiapan perkawinan. Berkeluarga diandaikan saja, seakan orang pasti bisa membangunnya. Keluarga dinilai sebagai kosekuensi dari perkawinan, bukan sebagai tujuan yang mau dicapai. Demikian sehingga pasangan suami istri sering tidak siap menghadapi masalah berkeluarga. Tuhan sering tidak diingat, apalagi dijadikan andalan hidup, yang karenanya perlu dikenal dan dicari serta ditemukan. Paham ttg. kerja: Meski jaman sudah modern, namun secara tidak sadar, rupanya orang masih memahami kerja sebagai tindakan mesti melibatkan tenaga fisik. Bila orang bekerja dengan jasa, dengan kemampuan otaknya, seakan belum dianggap bekerja. Di keluarga ini mengakibatkan orang kesulitan melihat suatu teladan hidup. Prinsip hidup berkeluarga: Kebanyakan, atau malah mungkin semua orang membangun keluarga berdasarkan tradisi lisan para sesepuhnya. Prinsip yang diberlakukan dalam keluarga adalah prinsip yang diperoleh dari keluarga entah disadari entah tidak, entah dirumuskan entah tidak, misalnya: suami atau istri itu garwo (sigaraning nyawa); istri itu konco wingking; tuna satak bathi sanak, kalau satunya sedang emosi satunya mesti diam; anak itu mesti mikul dhuwur mendem jero ketika ia masih kecil; Paham keluarga Keluarga dulu: keluarga agraris. Setiap anggota keluarga adalah anugerah bagi seluruh keluarga. Anak adalah anugerah untuk meringankan hidup keluarga karena memudahkan untuk bergotong royong. Maka ada interdependensi antara anggota keluarga, antar keluarga. Mereka saling membutuhkan dan saling dibutuhkan. Keluarga tak perlu berpengetahuan, tapi berproses secara alami. Positifnya: dalam keluarga berlangsung proses integritas berjalan pelan, tapi mantap, human dan natural Negatifnya: keluarga demikian dipandang rendah, ketinggalan, kolot. Secara implisit diakui dan dihayati bahwa Allah berkuasa atas hidup keluarga. 4 Keluarga kini: keluarga moderen: Keluarga terdiri dari kumpulan individu-individu dalam keluarga. Kelahiran baru anggota keluarga, seakan bukan untuk keluarga, tapi untuk seluruh dunia. Anggota keluarga seakan hanya merupakan salah satu fungsi dalam struktur berkeluarga. Demikian sehingga proses hidup bersama dalam keluarga jadi memudar. Dimensi pribadi anggota keluarga terlalu mendapat perhatian. Konsekuensi logisnya, anggota keluarga yang hadir dan mengganggu proses tak ada tempat lagi, malah harus disingkirkan. Cf. Aborsi sebagai rejeki pagi. Keluarga moderen memang berpengetahuan canggih, tapi kehilangan proses alami, karena polusi teknologi moderen. Karenanya keluarga moderen menjadi kurang atau tidak manusiawi. Positifnya: lebih bergengsi, uptodate, keren, tampak lahir bagus, andalkan teknologi. Negatifnya: aspek individunya lebih menonjol; profit dan hasil oriented, tak berproses, kurang human. Akibatnya ialah Allah tidak ada tempat lagi. Manusialah yang berkuasa, bukan Allah. Paham ttg. Orangtua: Dalam keluarga dulu, orangtua dipahami sebagai: - Gusti Allah katon: anak mesti mikul dhuwur mendhem jero; melawan berarti berdosa pada Tuhan. - Orang kolot, pelit, ketinggalan jaman, mau menang sendiri - Busur bagi anak panah yang mesti direntangkan Dalam keluarga agraris, orangtua tak mungkin hanya omong. Mereka mesti memberi contoh dalam hidup nyata. Dimaksudkan sebagai contoh atau bukan, tetap harus dikerjakan sebab contoh selalu jadi satu dengan kenyataan hidup. Orangtua dulu punya keyakinan jadi satu dengan hidupnya. Dalam hidup keluarga Allah jadi harapan dan andalan hidup. Dalam keluarga kini, orangtua dipahami sebagai: - Rekan bagi anaknya; - Orangtua selalu benar, tak pernah salah, kalau salah harus dimaafkan, tapi tidak pernah minta maaf; Dalam keluarga masa kini omong saja, bisa merupakan kerja yang menghasilkan uang. Maka kemampuan manusialah yang jadi andalan, bukan Allah. Orangtua kini tak punya keyakinan, bahkan kepastian pun tidak punya, (kecuali pegawai negeri.) Cf: Bibi Liong-nya Yoko: hatiku ada di hatinya, di hatinya cuma ada saya; = PD Paham ttg. Anak: Dalam keluarga agraris: setiap anak dikehendaki, ditunggu dan diharapkan, karena akan menambah armada kelangsungan hidup. Seleksi ttg anak adalah seleksi alami. Anak: rejeki; titipan Tuhan; keberuntungan/kemalangan; Dalam keluarga kini: anak dua saja, karena itu harus direncanakan baik-baik.. Ini sering diartikan dipilih yang sebaik mungkin, akibatnya yang tak terpilih akan tersingkir, yang tak dikehendaki akan dibuang. Cf aborsi. Yang disebut anak adalah sebelum mereka berumur 17 th; kebahagiaan berdua; masa depan; 5 Padahal, bukankah anak itu buah cinta. Anak adalah anugerah Tuhan yang harus dicintai, dikembangkan; manusia biasa yang sedang dalam proses tumbuh dan berkembang menuju kematangan pribadinya dengan bantuan orangtuanya, dalam proses ini mereka bisa berubah dan boleh gagal. Di mana tempat Tuhan dalam pendidikan dan pertumbuhan seorang anak? Dasar hidup bekerluarga: Tradisi lisan Yang biasa menjadi dasar hidup berkeluarga masa lalu: Gusti ora sare; sapa gawe nganggo; becik ala ketara, kambil sak janjang werno-werna; tuna satak bathi sanak, kalau rame jangan di depan anak, dll Bagaimana dengan keluarga masa kini? Tradisi iman Dalam keluarga dulu, keluarga punya tradisi iman. Mereka punya kebiasaan Doa harian, Doa bersama di malam hari, kalau kita gampang memberi juga mudah menerima; Kalau memberi bantuan, jangan hitung-hitung, beri saja yang kaupunya, Tuhan pasti akan memberi gantinya; jadi ibu, tirulah Ibu Maria: suka menyimpan dalam hatinya, tapi bukan menyimpan dendam. Bagaimana dengan keluarga masa kini?. C. Paham hidup dan cinta Prinsip hidup Orang Jawa merindukan keluarga yang itu keluarga perlu percaya pada sang dumadi. Dalam hidup menggereja masih ada pravatikan II: umat ndherek wingking urusan pastor, umat nunut pastor. harmonis. Sayang ini sering berarti apatis. Untuk nata. Dan ndherek mawon pada yang murbeng banyak orang punya sisa pengahayatan iman pastor, Kesucian di altar, di jubah dll. Iman itu Andalan hidup: Dalam iman, kita percaya bahwa Tuhan ada di mana-mana. Tapi apa Tuhan masih menjadi andalan hidup? Orang sekarang, mengandalkan pada perhitungan otak ekonomis melulu. Paham Dualistis Bentuk gabungan antara keduanya adalah suatu sisa paham lama yang kini masih hidup di dunia kita. Banyak orang punya pandangan yang dualistis: rohani dan jasmani, Dalam diri manusia dua dimensi tersebut terbedakan, tapi tidak terpisahkan. Dalam hidup di tengah keluarga, orang biasa memisahkan antara keduanya. Mereka yakin bahwa yang rohani lebih berharga daripada yang jasmani. Namun nyatanya yang rohani numpang pada yang jasmani. Hal ini sering ditambah lagi dengan suatu spiritualisme. Mereka amat yakin bahwa yang utama yang serba spiritual saja. Akibatnya adalah penghayatan ekstrim yang sering jauh dari pengalaman real manusia. Misalnya : 6 - Doa pasti lebih jos daripada usaha dan perbuatan, maka berdoa saja cukuplah. Tuhan mesti hanya berurusan dengan yang baik-baik, yang mulus-mulus saja. Gereja urusannya mesti dengan yang rohani, ibadat melulu, sembahyang melulu. Urusan sodial bukan tanggungjawab Gereja. Dll. . Paham ttg. cinta Kebanyakan orang punya paham tentang cinta yang berarti: mulus dan lurus, tidak ada cacat, tidak ada yang bengkok, menyimpang, jalan mutar dll. 1. Cinta menurut orangtua Orangtua sering mengatakan bahwa semua orangtua pasti mencintai anaknya; tak ada orangtua yang tak cinta anak. Paham dan maksudnya memang begitu. Tetapi apa cinta itu sungguh dirasa sebagai cinta? Apa cinta itu didukung dengan perbuatan, bahkan sering kata, yang berani menerima resiko dan konsekuensinya. Bahkan diajarkan bahwa cinta orangtua tak bisa dipahami oleh anak: Anak tak tahu juga tak pernah akan tahu seberapa besar cinta orangtuanya; Cinta ibu sepanjang jaman, cinta anak sepanjang …? Cf: kasus pacar beda agama, anak hamil di luar nikah. Apa anak merasakan dicintai oleh orangtuanya? Masih adakah orangtua jaman ini yang berani mencintai anaknya dengan keyakinannnya; apa orangtua punya keyakinan akan panggilan dan pengutusan Tuhan? Adakah orangtua yang berminat mempelajari minat anaknya, bukan memaksa anak punya minat pada interese bapaknya? Misalnya: power ranger, sega dll. Masihkah para orangtua kini yang sungguh menjadi tempat anak-anak mengadu, kala tak ada seorangpun di dunia tempat untuk mengadukan nasibnya? 2. Cinta menurut anak : Anak mengerti dan menginginkan cinta itu berarti memberi tanpa syarat. Menolak memberi, atau memberi dg bersyarat tidak pernah berarti cinta. Keluarga yang penuh cinta berarti rukun dan damai, tanpa pertengkaran. Tak ada damai, dan hanya ada kemarahan, marah-marah berarti tidak ada cinta. Percecokan di rumah berarti tidak ada cinta. Perceraian orangtua, apapun alasannya, tak pernah berarti cinta; apalagi diterima oleh anak. Akibatnya: Anak jadi haus cinta; tak punya kosa kata ttg kasih, persahabatan, dll. Anak cowok diperlakukan beda dengan anak cewek. Anak tak punya kesempatan cukup untuk belajar dari pergaulan: pacaran hanya boleh setelah lulus sarjana. Terlambat ya. Jika tidak ada pengalaman cinta, maka tidak akan dialami pengalaman cinta Tuhan., dan sulit sekali mengenali Tuhan, apalagi menemukan Tuhan di tengah keluarga. 7 2. Paham Iman Iman masih berkisar pada soal pengetahuan. Pastor dan orang sekitar pastor dianggap paling tahu tentang iman. Pastor, karena berjubah dan bekerja di seputar altar, mereka pasti lebih beriman. Iman yang demikian adalah iman ajaran, belum merupakan iman yang hidup. Belum ada dasar iman yang dibangun dalam hidup sehari-hari. Iman masih menjadi pengetahuan, yang sering lepas atau terpisah dari hidup batin seseorang. Iman masih iman ajaran, bukan iman yang hidup. Tahu bahwa Ibu Maria orang beriman. Tahu bahwa Yesus/Tuhan itu maha kasih, tapi hatinya belum mengakui mungkin karena belum sampai pada perumusan yang lahir dari pengalaman. Pengalamannya mungkin sudah namun dimilikinya, namun belum dapat dirumuskannya. Misalnya, menyimpan dalam hatinya apa yang didengar dari anaknya. Menyimpan tidak sama dengan memendam rasa kecewa. Tidak sama dengan menyimpan rasa dendam. Memang tidak usah menghafal Injil, namun kerangka acuan berpikirnya diangkat dari pinsip kristiani, diambil dari Injil. Paham ttg Tuhan: Mungkin merupakan sisa penghayatan iman pravatikan II: Tuhan adalah hakim yang kejam. Atau mungkin karena pengaruh budaya Jawa/non katolik: Tuhan sering dipahami sebagai penguasa yang kejam, penghukum. Ia adalah pengganjar kalau kita berbuat seperti kehendaknya. Tuhan sebagai Bapa yang penuh kasih dan kerahiman masih ada di konsep, belum banyak yang sampai pada penghayatan. Paham ttg. Gereja Kumpulan umat beriman paling kecil adalah keluarga. Karena keluarga disebut Gereja basis: Semua itu dapat dimulai dibangun, dikembangkan justru di tengah keluarga, justru karena keluarga adalah Gereja basis. Keluarga adalah komunitas beriman paling solid, paling hidup. Orang belajar beriman pertama di tengah keluarga. Orang melatih beriman juga di dalam keluarga. Paham ttg dosa Dosa hanya diartikan sebagai pelanggaran atas sepuluh perintah Allah. Dosa adalah melanggar hukum. Sering kali yang disebut dosa dan salah pada orang lain itu sama Dosa belum dipahami sebagai tindakan melawan kasih Allah. Ukurannya belum atau bukan Allah. Demimian sehingga seorang anggota keluarga tidak berani berbuat apa-apa hanya karena takut menyinggung perasaan orang, meskipun itu diyakini sebagai kehendakNya. Paham ttg harapan Dalam iman kita percaya bahwa Tuhan adalah harapan satu-satunya hidup kita. Namun benarkah hal itu masih real hidup di hati kita? Atau kita lebih suka berharap pada kemampuan otak, harta, dan relasi kita pada sesama? 8 Paham ttg salib: Kata salib sering dimengerti sebagai segala sesuatu yang harus dihindari sejauh mungkin. Pada dasarnya orang menghindari salib, karena orang menghindari derita, dan rasa sakit. Sudah terlalu banyak rasa sakit didunia ini. Tetapi juga karena orang sudah tidak bisa melihat lagi nilai suatu salib, orang tidak melihat lagi nilai sebuah proses, sebuah derita yang bukan karena ulah kita. Salib bukanlah sesuatu yang menjadi akibat ulah dan tindak kita. Salib adalah segala sesuatu yang bukan menjadi akibat atas ulah kita sendiri, namun mesti kita panggul kalau kita mau mencapai kedekatan dengan Allah. Paham ttg konflik: Sama dg paham ttg. salib, orang juga menganggap konflik tak bernilai. Tentu saja orang tidak perlu mencari konflik. Tapi kalau ada konflik mesti hadapi. Apalagi kalau konflik tersebut muncul sebagai akibat dari usaha mencari dan menemukan Tuhan. Ataukah justru banyak orang enggan mencari Tuhan karena takut konsekuensinya kalau mesti menanggung salib? Pengalaman iman: Kesanggupan seseorang untuk berbahasa amat dipengaruhi oleh seberapa banyak kosa kata yang dimilikinya. Demikian juga kesanggupan orang untuk beriman pun dipengaruhi oleh kosa iman yang dimiliki olehnya. Kosa kata ini dihimpun pelan-pelan di dalam hidup di tengah keluarga. Termasuk bagaimana kasih, harapan, syukur, terimakasih, dll. Itu dihayati di dalam keluarga. Pengalaman mendasar di keluarga dalam beriman, menjadi acuan dalam hidup iman seseorang. Allah sebagai Bapa hanya mungkin dihayati bila di tengah keluarga relasi dengan ayahnya dapat dialami. Hidup dalam suasana cinta kasih dan suasana yang berbeda, dampaknya pada anak juga berbeda. 3. Pengalaman Hidup Berkeluarga Pengalaman orangtua: Di jaman ini banyak orangtua bingung. Mereka tidak tahu apa dan bagaimana harus menjadi orangtua anak-anak mereka saat ini. Ini sering dirasa sebagai beban hidup. Akibatnya tidak sedikit orangtua khususnya ayah, yang lari keluar rumah, menyerahkan pada istri atau pada alam yang kian ganas. Mereka sendiri bingung memahami arus gerak dunia di jamannya, apalagi mengurus anak. Mereka jadi tambah bingung. Orangtua tidak siap mengikuti proses pertumbuhan anaknya: gagal, jatuh, lambat dll. Banyak orangtua tidak lagi sanggup mempraktekkan bagaimana memberi contoh pada orang lain. Orangtua tidak sempat membiasakan diri untuk bertanya dulu sebelum menjatuhkan penilaian pada anaknya. Orangtua takut memberi kesempatan kepada anaknya apalagi kalau mengandung kemungkinan salah, gagal, sehingga dapat belajar dari sana. Padahal dalam proses hidup, gagal adalah guru. Demikian pula dalam hidup beriman? Gagal adalah hak setiap insan. Tuhan pun tidak pernah mengambil hak ini. Bukankah orangtua perlu memberi waktu, untuk berproses bagi anak-anak tesebut? 9 Pengalaman anak Sebagai akibat pengalaman orangtua sebagai tersebut di atas, maka Anak kurang dikenal, apalagi dicinta. Anak jadi kurban, kambing hitam hidup kekacauan relasi orangtuanya. Anak iri hati pada saudara, pada teman, pada orangtua temannya. Anak merasa orangtua menjadikan dirinya bukan manusia, melainkan robot: Anak merasa jadi mainan orangtua. Anak merasa tak boleh punya kehendak sendiri. Anak diharapkan hidup seperti malaikat kecil yang tak pernah boleh salah, keliru, gagal, berbuat dosa? 4. Tatanilai dalam Keluarga Nilai relasi dlm keluarga: Banyak orang yang tak menyadari bahwa nilai isi, dalam hidup tidak cukup. Ada nilai relasi yang perlu dimengerti dan lebih-lebih perlu dihayati. Relasi antar manusia dalam keluarga ini akan menentukan relasi pribadi beriman dengan Allahnya. Relasi dengan Allah amat dipengaruhi oleh relasi kita dengan orangtua. Ini sama sekali tidak berarti bahwa relasi dengan orangtua mesti mulus-mulus saja. Cf. Anak-anak Belajar dari Kehidupan Dalam Keluarga, tulisan Dorothy Law Nolte: Bila seorang anak hidup dalam kritikan, Ia akan belajar untuk menyalahkan orang Bila seorang anak hidup dalam permusuhan, Ia belajar untuk melawan Bila seorang anak hidup dalam ketakutan, Ia belajar untuk selalu gelisah Bila seorang anak hidup dalam belas kasihan, Ia belajar untuk mudah memaafkan diri sendiri Bila seorang anak hidup dalam ejekan, Ia belajar jadi pemalu Bila seorang anak hidup dalam kecemburuan, Ia belajar bagaimana iri hati. Bila seorang anak hidup dalam toleransi, Ia belajar menjadi sabar Bila seorang anak hidup dalam semangat besar dan jiwa berkobar, Ia belajar jadi percaya diri. Bila seorang anak hidup dalam suasana rukun Ia belajar mencintai dirinya Bila seorang anak hidupnya diterima apa adanya, Ia belajar mencintai dalam seluruh hidupnya. Bila seorang anak hidup dalam keadilan, Ia belajar untuk membela kebenaran, Bila seorang anak hidup dalam pujian, Ia belajar untuk menghargai orang. 10 Bila seorang anak hidup dalam penghinaan, Ia belajar untuk menyesali dirinya Bila seorang anak hidup dalam kejujuran dan sportivitas, Ia belajar kebenaran dan keadilan Bila seorang anak hidup dalam rasa aman, Ia belajar percaya kepada dirinya dan kepada orang lain Bila seorang hidup penuh persahabatan, Ia belajar bahwa dunia ini merupakan suatu tempat yang indah untuk hidup Bila seorang anak hidup dalam ketentraman, Anak-anakmu akan hidup dalam ketenangan batin. Demikian sehingga anak yang tidak dikehendaki akan berdampak bahwa anak tersebut menjadi murung, pemalu, tak berani ambil resiko dll. Juga kalau di dalam keluraga ada orang lain yang bukan anggota keluarga, pasti akan mempengaruhi relasi antara anggota keluarga. Cf. Keluarga yang berbuat baik dengan memberi tumpangan pada salah seorang saudara atau saudarinya, biasanya akan menimbulkan masalah. Seperti misalnya anak sekolahnya ‘bodo’ biasanya bukan karena memang tidak mampu, melainkan karena protes pd. situasi keluarga. Orangtua dirasa menuntut berlebihan, anak yang bodo pelajarannya biasanya menggunakan alasan memalukan orangtua. Demikian banyak kasus di bawah ini dapat dihubungkan dengan masalah relasional ini: Orangtua tidak terbuka pada pilihan anak: marah/mukul; masuk jurusan kuliah harus ikut orangtua; Anak mabuk/ngebut/ngepil karena protes pada orangtuanya Anak sacrificing herself demi orangtua, Anak nikah dengan orang tak seagama, dikutuk, dihukum, divonis, bukan dikasihi, didukung; Atau orangtua takut bila terbuka pada anaknya justru malah akan makin kacau; atau orangtua takut menghadapi konflik? 5. Menerima Realita Bahasa relasional Banyak orang sudah menolak realita, sebelum lebih dulu menerimanya. Padahal yang dibutuhkan adalah suatu bahasa relasional. Kemampuan berbahasa yang sanggup menjembatani realita-realita yang ada di depan mata kita. Seperti misalnya antara Rahmat yang mulus-mulus dan salib yang menyakitkan kehendak Allah Anak mbandel dan anak yang penurut anak kreatif Orangtua jahat dan anak yang alim anak berprinsip Orang bawel orang vokal, Orang pendiam berilmu kebatinan Pandangan Dualistis pandangan integratif. 11 Jangan mencari konflik, tapi kalau ada hendaknya dihadapi, bukan dihindari, sebab di balik itu semua, ada rahmat, cinta Tuhan. 6. DOA Dua dimensi dari satu kenyataaan tersebut tidak perlu diubah, tapi perlu untuk saling mengutuhkan saling melengkapi. Kunci segalanya: DOA (Dialog Orangtua – Anak) Mengapa? Orientasi anak selalu masa kini, sementara orangtua selalu masa lalu Kesenangan anak sering berarti kecemasan orangtua Anak haus pengalaman/sedang cari pengalanan, ortu sudah kenyang pengalaman Orangtua ingin yang mapan, anak ingin yang serta baru, coba sendiri Orangtua pilih yang klasik, orang muda pilih yang pop, rap, dangdut Gagasan masih merupakan ideal bagi anak, sedang untuk orangtua sudah menjadi real. Realita Pengalaman Orangtua biasanya berhenti pada : (-) Heran: kok anaknya nakal, ngoplo Marah: kalau anaknya bohong, memalukan ortu Malu: anak tak naik kelas Tak sanggup bererfleksi : Tak manerima kenyataan diri sendiri: post power sindrom, dll. Padahal semestinya orangtua sampai pada ( + ) ikutsertakan anak dalam pengambilan keputusan makan bersama sekali sehari membiasakan sharing pengalaman Suasana DOA Kita terbiasa untuk mengejar isi, dan kurang memperhitungkan suasana pendukung isi. Demikian juga di keluarga, orangtua mesti membangun suasana DOA keluarga. Suasana agar: Anak merasa dianggap dewasa: diajak sharing, dilibatkan dlm proses dan pengambilan putusan Ayah tidak mengandalkan otaknya saja Ayah memberi kesempatan pada istri untuk tampil dan berperan Ayah juga mau minta maaf Ayah terbuka terhadap kritik Ibu mengutamakan pendidikan anak, daripada karier Ibu membuat segala ketakutan: disaingi, kemiskinan, Ibu siap dikritik Ibu tidak selalu memilik diam, Ortu rela memberi kesempatan anak untuk mengalami sendiri, meski beresiko Ortu mau belajar dari anak juga 12 Ortu refleksif terhadap pengalaman anak Ortu berani menghadapi resiko Ortu sadar bahwa yang dibutuhkan anak didengarkan, bukan diomongi Keluarga kritis dan refleksif atas pengalaman di keluarga Keluarga sepakat bahwa berproses bersama lebih bernilai daripada seluruh hasil, harta, tahta dll. Penutup Selalu benar bahwa orang yang lebih berkuasa diandaikan mesti lebih dulu membuka pintunya sebelum orang tak berdaya diharapkan masuk. Seperti orang kaya harus lebih membuka pintu gerbangnya sebelum mengundang orang miskin masuk rumahnya. Yang diberi banyak, diminta banyak. Mutunya orangmuda adalah mutunya orangtua. Hancurnya orangmuda juga hancurnya orangtua. Apa gunanya orangtua punya seluruh pulau di Indonesia, kalau anaknya tak bisa membedakan mana peta pulau dan mana pulau nyata. Tuhan tak akan dapat ditemukan di mana pun kalau di dalam keluarga orang tidak bisa merasakan kasih persaudaraan satu sama lain. Dalam hidup di tengah Keluarga, kapan merasa dicintai? Apa Tuhan hadir di sana? Anak merasa dicintai kala sakit, frustrasi, down dll. Kotabaru, 19 Desember 1997 YR Widadaprayitna, SJ