BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Setiap perusahaan membutuhkan dana yang cukup untuk menjalankan kegiatan
operasional perusahaannya. Pendanaan jangka panjang perusahaan dapat diperoleh
dari berbagai sumber seperti dana internal atau dana eksternal. Dana internal berasal
dari laba operasional yang diperoleh perusahaan, sedangkan dana eksternal terdiri
dari dua jenis, yaitu utang dan saham. Utang dan saham tersebut dapat diperoleh
melalui publik maupun investor terbatas (Hanafi, 2004: 425-426).
Perusahaan dapat memilih sendiri sumber pendanaan bagi perusahaannya,
beberapa memilih menggunakan sumber pendanaan yang berasal dari dalam
perusahaan seperti laba operasional perusahaan, beberapa menggunakan utang dan
tidak sedikit yang menggunakan saham sebagai sumber pendanaan perusahaan.
Terbukti sejak aktifnya bursa yaitu pada tahun 1990, sebanyak 50 perusahaan tercatat
melakukan IPO (Initial Public Offering) dan jumlahnya terus meningkat dari tahun ke
tahun (Arifin, 2010). IPO adalah penawaran saham pertama pada publik umum
(Brealey, Myers, dan Marcus, 2008: 160). Initial public offering juga dapat
didefinisikan sebagai kegiatan untuk pertama kalinya suatu saham perusahaan
ditawarkan, dijual kepada publik atau masyarakat (Tim Studi Peran Regulator dan
Pihak Terkait Dalam Mendorong Perusahaan Melakukan Initial Public Offering(IPO)
di Pasar Modal Indonesia, 2010). Menurut Jay R. Ritter (1998) dalam (Tim Studi
3
Peran Regulator dan Pihak Terkait Dalam Mendorong Perusahaan Melakukan Initial
Public Offering (IPO) di Pasar Modal Indonesia, 2010). Beberapa motivasi dalam
melakukan initial public offerings atau go public adalah:
a. Go public dapat menekan cost of capital perusahaan
b. Go public sebagai strategi bagi pemegang saham untuk keluar dari
perusahaan (insiders to cash out)
c. Go public dapat membuka kesempatan untuk melakukan akuisisi
(takeover).
d. Go public sebagai langkah strategis perusahaan (Tim Studi Peran
Regulator dan Pihak Terkait Dalam Mendorong Perusahaan Melakukan
Initial Public Offering (IPO) di Pasar Modal Indonesia, 2010).
Dalam Ritter dan Welch (2002), beberapa peneliti mengungkapkan alasan
dibalik initial public offering yang dilakukan oleh perusahaan. Alasan pertama
dikemukakan oleh Zingales (1995) yaitu perusahaan memilih untuk go public dengan
asumsi bahwa perusahaan yang ingin melakukan akuisisi lebih mudah menemukan
target perusahaan yang ingin diakuisisi apabila dilakukan secara publik. Alasan kedua
perusahaan melakukan IPO dikemukakan oleh Maksimovic dan Pichler (2001) yaitu
dengan melakukan IPO khususnya bagi industri pertama yang melakukan IPO akan
memberikan keuntungan sebagai first-mover. Ketiga, Schultz dan Zaman (2001)
menyatakan bahwa perusahaan yang telah melakukan IPO dapat menggunakan
strategi pengakuisisian untuk mengurangi pesaing.
4
Pada praktiknya, IPO seringkali dikaitkan dengan tiga anomali yang sering
terjadi yaitu underpricing, “hot issue market” dan long-run underperformance
(Asquith, Jones dan Kieschnick, 1998). Dari ketiga anomali tersebut, underpricing
merupakan hal yang paling banyak dipelajari karena dinilai signifikan terhadap IPO.
Underpricing dikatakan sebagai bagian dari fitur aneh dari IPO karena adanya
lonjakan harga dari saham dibandingkan dengan harga penawaran dari penawaran
saham pada hari pertama (Falconieri, Murphy dan Weaver, 2009).
Underpricing dan overpricing merupakan perilaku harga yang sering
dipermasalahkan pada penawaran pertama pada publik ini. Underpricing sendiri
terjadi apabila perusahaan penjamin emisi menerbitkan sekuritas pada harga
penawaran yang ditetapkan di bawah nilai sekuritas sebenarnya (Brealey, Myers dan
Marcus, 2008: 416-417). Jika saham dijual kurang dari nilai sebenarnya, para pendiri
akan menderita kerugian peluang (opportunity loss) oleh karena itu perusahaan
penjamin emisi perlu melakukan stabilisasi harga dalam bentuk aktifitas aftermarket.
Bentuk aktifitas aftermarket ada tiga. Pertama, underwriter melakukan
stabilisasi dengan membeli saham dibawah harga yang ditawarkan, dengan syarat
harus dijual kembali apabila kurva permintaan diperkirakan akan memiliki
kemiringan yang negatif. Kedua, awalnya underwriter menjual saham yang berlebih
dari jumlah awal yang ditawarkan, kemudian short position tersebut diatasi dengan
melaksanakan overallotment option. Ketiga, underwriters dapat memberikan penalti
kepada pihak yang melakukan “flip”
terhadap saham. Poin pertama dan kedua
5
merupakan bentuk tindakan untuk menstimulasi permintaan sedangkan poin ketiga
dilakukan untuk membatasi penawaran saham (Aggarwal, 2000)
Stabilisasi harga pada dasarnya merupakan kegiatan untuk memanipulasi harga
yang terjadi di pasar. Di Indonesia sendiri, kegiatan tersebut diizinkan, namun dengan
kondisi-kondisi tertentu. Kondisi tersebut adalah bahwa stabilisasi dapat dilakukan
oleh perusahaan terkait dengan distribusi dari efek, baik initial offering dan
secondary offering, jika :
1. Efek tersebut merupakan efek yang diakui untuk diperdagangkan pada suatu
pasar atau permintaan untuk pendaftaran untuk diperdagangkan pada pasar
tersebut telah dibuat dan stabilisasi dilakukan dalam kerangka Peraturan
Pembelian Kembali dan Stabilisasi; atau
2. Efek tersebut tidak termasuk dalam poin 1 namun :
a. Telah diakui untuk diperdagangkan pada suatu pasar, bursa atau institusi
lain; atau
b. Permintaan untuk pendaftaran untuk diperdagangkan pasar, bursa atau
institusi tersebut telah dibuat.
c. Diperdagangkan
atau
dapat
diperdagangkan
menurut
peraturan
International Securities Market Association; dan stabilisasi atau
stabilisasi ancillary dilakukan dalam kerangka peraturan mengenai
Stabilisasi ketika Peraturan Pembelian Kembali dan Stabilisasi tidak
dapat diterapkan (Bapepam-Lembaga Keuangan).
6
Pada tahun 2007 pihak Bapepam melakukan penelitian terhadap over allotment
option dikarenakan belum adanya ketentuan yang mengatur mekanisme dari
overallotment option di Indonesia sebagai salah satu bentuk aktivitas stabilisasi yag
dapat dilakukan oleh perusahaan penjamin emisi. Pada tahun 2011, Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) akhirnya mengeluarkan
peraturan revisi mengenai stabilisasi harga saham dalam rangka penawaran umum
perdana dengan menggunakan mekanisme opsi penjatahan lebih (over allotment
option) yang tercantum dalam Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (Bapepam-LK) No.XI.B.4. Peraturan tersebut merupakan revisi dari
peraturan yang sudah ada sebelumnya yaitu Peraturan Bapepam No.XI.B.1 mengenai
stabilisasi harga untuk mempermudah penawaran umum.
Menurut pihak Bapepam, melalui peraturan ini, investor dapat memperoleh
perlindungan dari potensi risiko gejolak pasar. Over allotment option ini dikenal pula
dengan nama green shoe. Istilah green shoe berasal dari IPO yang dilakukan oleh
sebuah perusahaan di Amerika Serikat yaitu Green Shoe Corporation pada
pertengahan abad 20. Perusahaan tersebut memberikan opsi atau hak kepada
penjamin emisi untuk dapat menambah jumlah penawaran atau menjual lebih banyak
saham dari jumlah yang telah disepakati untuk ditawarkan sebelumnya apabila
ternyata permintaan masyarakat cukup besar. Sejak saat itu, perusahaan lain yang
melakukan penawaran umum kepada masyarakat dengan sistem yang sama dengan
Green Shoe Corporation disebut menjalankan opsi Green Shoe.
7
Seperti yang telah dijelaskan oleh pihak Bapepam-LK, fungsi dari peraturan
baru tersebut adalah untuk menjaga stabilisasi harga saham pada penawaran saham
perdana pada publik. Sejak tahun 2011 peraturan tersebut mulai berlaku dengan
fungsi yang sebagaimana semestinya. Stabilisasi harga hanya dapat dilakukan apabila
harga saham berada di bawah atau sama dengan harga penawaran. Berdasarkan
penelitian terdahulu, over allotment option merupakan salah satu aktifitas aftermarket
yang berfungsi untuk menstimulasi permintaan terhadap saham yang diedarkan.
Sistem ini telah dilakukan oleh beberapa negara maju seperti Amerika, Inggris dan
Hongkong dengan berbagai penyesuaian ketentuan di negara masing-masing. Bila
dibandingkan dengan negara-negara tersebut, Indonesia masih tergolong pengguna
baru over allotment option sebagai salah satu upaya untuk menstabilisasikan harga
saham penawaran umum.
Sebelum revisi dilakukan, yaitu hingga pada sekitar tahun 2007 di Indonesia
sudah sebanyak lima perseroan yang menggunakan sistem green shoe ini, empat
diantaranya merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Di Indonesia, tidak ada
peraturan tersendiri mengenai kegiatan overallotment ini, namun hal ini termasuk
pada kegiatan stabilisasi harga, oleh karena itu pihak Bapepam kemudian
menambahkan ketentuan mengenai overallotment option tersebut di dalamnya karena
kegiatan overallotment termasuk dalam kegiatan stabilisasi harga maka ketentuan
tersebut dicantumkan dalam peraturan Bapepam yang mengatur tentang stabilisasi
harga yaitu peraturan Bapepam No.XI.B.1.
8
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa fenomena underpricing merupakan
salah satu anomali yang melekat pada initial public offering dan dinilai sebagai fitur
yang aneh pada IPO menjadikan underpricing sebagai suatu objek yang menarik
untuk diteliti. Aktivitas stabilisasi sendiri merupakan kegiatan follow up dari
underpricing karena digunakan sebagai usaha untuk mengurangi kerugian yang
diderita para pendiri perusahaan. Adanya revisi terkait stabilisasi IPO menunjukkan
bahwa underpricing dan stabilisasi merupakan isu yang masih terus dapat dikaji dan
ditelaah lebih lanjut sehingga penelitian mengenai dua hal ini menarik untuk
dilakukan.
1.2
Rumusan Masalah
Fenomena underpricing merupakan fenomena yang mendunia, yaitu peristiwa
yang terjadi hampir diseluruh negara. Amerika Serikat tercatat mengalami
underpricing sebesar 15,3% pada periode 1960-1992 (Asquith, Jones dan Kieschnick,
1998), bukti tersebut menunjukkan bahwa underpricing bahkan telah terjadi sejak
tahun 1960, namun besarnya underpricing berbeda setiap tahunnya karena jumlah
perusahaan yang melakukan IPO dan besarnya harga penawaran serta harga
penutupan berbeda-beda untuk setiap perusahaan. Beberapa peneliti terdahulu ada
yang menyatakan bahwa underpricing merupakan hal yang baik, namun tidak sedikit
pula yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut merupakan bentuk perilaku harga
saham yang sifatnya merugikan, khususnya bagi pihak-pihak tertentu. Perilaku harga
yang seringkali dihadapi oleh baik investor maupun perusahaan emiten di berbagai
9
negara ini tentunya berusaha diatasi oleh pihak yang berwenang dalam mengatur
kebijakan perekonomian masing-masing negara. Sama halnya dengan negara asing,
Indonesia juga memiliki badan pemerintah yang mengatur mengenai kegiatan
perekonomian yang diberi nama Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan atau yang sering disebut BAPEPAM-LK. Pada tahun 2011, BAPEPAM
melakukan revisi terhadap peraturan mengenai upaya stabilisasi harga saham IPO
yaitu dengan menambahkan peraturan mengenai metode untuk melakukan stabilisasi
harga IPO yaitu dengan metode overallotment option.
1.3
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, dilakukannya studi lanjut mengenai aktivitas
stabilisasi oleh pihak BAPEPAM dan banyak peneliti lain yang mengangkat isu
serupa dalam penelitiannya, maka beberapa pertanyaan penelitian yang timbul adalah
sebagai berikut :
1.
Apakah terjadi underpricing pada IPO di BEI dari tahun 2008 hingga
tahun 2012?
2.
Apakah terdapat tindakan stabilisasi IPO di BEI dari tahun 2008
hingga tahun 2012?
1.4
Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki dua tujuan. Tujuan yang pertama adalah untuk
mengetahui ada atau tidaknya underpricing pada harga IPO di BEI tahun 2008 hingga
10
tahun 2012. Ada atau tidaknya underpricing dapat mengarahkan strategi bagi para
investor maupun perusahaan terkait dengan initial public offering ini.
Tujuan yang kedua adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya aktivitas
stabilisasi sebagai upaya untuk mengatasi atau meminimalkan kerugian yang
ditimbulkan oleh adanya underpricing. Ada atau tidaknya aktivitas stabilisasi dapat
memberikan pengaruh terhadap pengambilan keputusan strategis bagi perusahaan dan
investor.
1.5
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini ditujukan bagi dua pihak yaitu:
a. Perusahaan emiten
Mengurangi ketidakyakinan perusahaan emiten untuk melakukan IPO karena
kemungkinan terjadinya underpricing dapat diminimalkan.
b. Investor
Investor dapat menetapkan strategi perusahaan terkait dengan waktu yang
tepat untuk membeli dan menjual saham.
1.6
Sistematika Penulisan
Di dalam penelitian ini, sistematika penulisan yang digunakan adalah sebagai
berikut:
BAB I – Pendahuluan
11
Bab ini terdiri dari enam sub bab yang menjelaskan mengenai latar belakang
yang mendukung dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah, pertanyaan
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian ini. Sub bab tersebut merupakan hal yang
dapat ditarik dari isu yang tertulis pada judul penelitian.
BAB II – Landasan Teori
Bab ini berisi tentang teori-teori yang mendukung penelitian ini seperti pasar
modal, saham, IPO, prospektus, underwriter, underpricing, kebijakan stabilisasi, dan
overallotment option. Bab ini juga berisi mengenai hasil penelitian terdahulu sebagai
bukti pendukung terhadap penelitian ini. Bab kedua ini juga mencantumkan hipotesis
penelitian.
BAB III – Metode Penelitian
Bab ini berisi tentang jumlah data yang digunakan, sumber data, variabel yang
digunakan, definisi operasional dan pengukuran variabel, serta metode pengujian
hipotesis yang telah dicantumkan pada bab sebelumnya.
BAB IV – Analisis dan Pembahasan
Bab ini menjelaskan mengenai analisis dari penelitian serta pembahasan hasil.
Pembuktian serta pengujian hipotesis dengan menggunakan metode pengujian yang
tercantum pada Bab III.
BAB V – Simpulan dan Saran
Bab ini berisi tentang simpulan dari penelitian, keterbatasan peneliti serta saran
yang ditujukan bagi pihak yang terkait dan peneliti selanjutnya.
12
Download