BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Obat Setiap obat memiliki sifat khusus masing-masing agar dapat bekerja dengan baik. Sifat fisik obat, dapat berupa benda padat pada temperatur kamar ataupun bentuk gas, namun dapat berbeda dalam penanganannya berkaitan dengan pH kompartemen tubuh dan derajat ionisasi obat tersebut. Berat molekul obat yang bervariasi dari ukuran sangat besar sampai sangat kecil dapat memengaruhi proses difusi obat tersebut dalam kompartemen tubuh. Bentuk suatu molekul juga harus sedemikian rupa sehingga dapat berikatan dengan reseptornya. Setiap obat berinteraksi dengan reseptor berdasarkan kekuatan atau ikatan kimia. Selain itu, desain obat yang rasional berarti mampu memperkirakan struktur molekuler yang tepat berdasarkan jenis reseptor biologisnya.11 2.1.1. Mekanisme Kerja Obat Efek obat terjadi karena adanya interaksi fisika dan kimiawi antara obat atau metabolit aktif dengan reseptor atau bagian tertentu dari tubuh. Obat tidak dapat menimbulkan fungsi baru dalam jaringan tubuh atau organ, tetapi hanya dapat menambah atau memengaruhi fungsi dan proses fisiologi.12 Untuk dapat mencapai tempat kerjanya, banyak proses yang harus dilalui obat. Proses itu terdiri dari 3 fase, yaitu fase farmasetika, fase farmakokinetika, dan fase farmakodinamika. Fase farmasetika merupakan fase yang dipengaruhi oleh cara pembuatan obat, bentuk sediaan obat, dan zat tambahan yang digunakan. Fase selanjutnya yaitu fase farmakokinetika, merupakan proses kerja obat pada tubuh.11 Suatu obat selain dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia obat (zat aktif), juga dipengaruhi oleh sifat fisiologi tubuh, dan jalur atau rute pemberian obat. Suatu obat harus dapat mencapai tempat kerja yang diinginkan setelah masuk tubuh dengan jalur yang terbaik. Dalam beberapa hal, obat dapat langsung diberikan pada tempatnya bekerja, atau obat dapat diberikan secara intravena maupun per oral. Fase selanjutnya yaitu fase farmakodinamika. Proses ini merupakan pengaruh tubuh pada obat. Fase ini menjelaskan bagaimana obat berinteraksi dengan reseptornya ataupun pengaruh obat terhadap fisiologi tubuh. Fase farmakodinamika dipengaruhi oleh struktur kimia obat, jumlah obat yang sampai pada reseptor, dan afinitas obat terhadap reseptor dan sifat ikatan obat dengan reseptornya.11 2.1.2. Fase Farmasetika Fase farmasetika merupakan fase yang dipengaruhi antara lain oleh cara pembuatan obat, bentuk sediaan obat, dan zat tambahan yang digunakan. Sediaan obat yang banyak dipakai adalah sediaan padat atau cair. Untuk dapat diabsorpsi obat harus dapat melarut dalam tempat absorpsinya. Sediaan tablet merupakan bentuk sediaan farmasi yang paling banyak tantangannya dalam mendesain dan membuatnya untuk memperoleh bioavailabilitas obat penuh dan dapat dipercaya serta kohesi yang baik dari zat amorf atau gumpalan. Walaupun obat telah baik proses pembuatan, melarut, dan tidak mempunyai masalah dengan bioavailabilitas obat, masih banyak hal lain yang harus diperhatikan dalam proses farmasetika obat, mulai dari penampilan obat, pembubukan, atau pengelupasan dalam botol selama pengepakan atau penanganan. Penambahan pengikat, perekat dapat memengaruhi waktu hancur tablet, kecepatan melarut tablet, dan mungkin bioavailabilitas obat.12 2.1.3. Fase Farmakokinetika Farmakokinetika mempelajari proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat dari dalam tubuh atau ilmu yang mempelajari pengaruh tubuh terhadap obat. Proses farmakokinetika tersebut menentukan berapa cepatnya, berapa konsentrasinya, dan untuk berapa lama obat tersebut berada pada organ target.13 a. Absorpsi Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Cara pemberian obat dapat melalui saluran cerna (mulut sampai dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara pemberian obat per oral akan diabsorpsi melalui usus halus.14 Kecepatan absorpsi obat tergantung dari kecepatan obat melarut pada tempat absorpsi, derajat ionisasi, pH tempat absorpsi, dan sirkulasi darah di tempat obat melarut. Untuk dapat diabsorpsi, obat harus dapat melarut atau dalam bentuk yang sudah terlarut sehingga kecepatan melarut akan sangat menentukan kecepatan absorpsi. Untuk itu, sediaan obat padat sebaiknya diminum dengan cairan yang cukup untuk membantu mempercepat kelarutan obat. Derajat keasaman atau kebasaan (pH) berbeda jika zat berada dalam bentuk larutan. Obat yang terlarut dapat berupa ion atau non-ion. Bentuk non-ion relatif lebih mudah larut dalam lemak sehingga lebih mudah menembus membran, karena sebagian besar membran sel tersusun dari lemak. Kecepatan obat menembus membran dipengaruhi oleh pH obat dalam larutan dan pH dari lingkungan obat berada. Obat yang bersifat asam lemah akan mudah menembus membran sel pada suasana asam, karena obat relatif tidak terionisasi atau bentuk ionnya sedikit. Sebaliknya obat-obat yang bersifat basa lemah akan mudah diabsorpsi di usus halus karena juga relatif tidak terionisasi.12-14 b. Distribusi Di dalam darah obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai ikatan lemah, lalu akan disebar ke jaringan atau tempat kerjanya. Obat bebas akan keluar dari jaringan ke tempat kerja obat, ke jaringan tempat depotnya, ke hati (obat mengalami metabolisme menjadi metabolit yang dikeluarkan melalui empedu atau masuk kembali ke darah), dan ke ginjal, dimana obat/metabolitnya diekskresi ke dalam urin. Hanya obat bebas (tidak terikat) yang dapat mencapai sasaran dan mengalami metabolisme sehingga lebih mudah diekskresikan. Berkurangnya obat bebas dalam tubuh karena ekskresi akan menyebabkan pelepasan obat yang terikat oleh protein. Terjadi keseimbangan yang dinamis antara obat bebas dengan obat yang terikat. Perbandingan antara obat terikat dan obat bebas akan menentukan lama kerja (durasi) obat. Faktor fisiologi seperti blood brain barrier atau sawar darah otak yang terdapat di lapisan kapiler serebral dapat menghalangi distribusi obat ke jaringan otak. Sel-sel endotel pembuluh darah kapiler di otak membentuk tight junction (tidak ada lagi celah diantara sel-sel endotel tersebut) dan pembuluh darah kapiler ini dibalut oleh astrosit otak yang merupakan lapisan-lapisan membran sel. Sawar uri terdiri dari satu lapis sel vili dan satu lapis sel endotel kapiler dari fetus. Karena itu obat yang dapat diabsorpsi melalui pemberian oral juga dapat masuk ke fetus melalui sawar uri. Akan tetapi obat larut lemak yang merupakan substrat P-gp atau MRP (MultidrugResistance Protein) akan dikeluarkan oleh P-gp atau MRP yang terdapat pada membran sel endotel pembuluh kapiler otak. Dengan demikian P-gp menunjang fungsi sawar darah otak dan sawar uri untuk melindungi otak dan fetus dari obat yang efeknya merugikan.12-14 c. Metabolisme Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat kimia dalam jaringan biologis yang dikatalisis oleh enzim menjadi metabolit-nya. Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat di ekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini, obat aktif umumnya diubah menjadi tidak aktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya pro-drug), kurang aktif, atau menjadi toksik. Proses metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan II. Reaksi fase I terdiri dari terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat menjadi lebih polar, dengan akibat menjadi tidak aktif, lebih aktif atau kurang aktif. Reaksi fase II merupakan reaksi konjugasi dengan substrat endogen: asam glukuronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino dan hasilnya menjadi sangat polar, dengan demikian hampir selalu tidak aktif. Obat dapat mengalami reaksi fase I saja, atau reaksi fase II saja, atau reaksi fase I dan diikuti dengan reaksi fase II. Hasil reaksi fase I dapat juga sudah cukup polar untuk langsung diekskresi lewat ginjal tanpa harus melalui fase II lebih dulu. Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim sitokrom P450 (CYP), yang disebut juga enzim mono-oksigenase, atau MFO (mixed-function oxidize), dalam reticulum endoplasmic (mikrosom hati). Beberapa enzim yang penting untuk metabolisme dalam hati antara lain: CYP3A4/5, CYP2D6, CYP2C9, CYP1A1/2, dan CYP2E1. Selanjutnya reaksi fase II yang terpenting adalah glukoronidasi melalui enzim UDPGlucoronyl-Transferase (UGT), terutama terjadi dalam mikrosom hati, tetapi juga di jaringan ekstra-hepar (usus halus, ginjal, paru, kulit). Reaksi konjugasi yang lain (asetilasi, sulfasi, konjugasi dengan glutathione) terjadi di dalam sitosol.12-14 d. Ekskresi Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Tempat ekskresi obat lainnya adalah intestinal (melalui feses), paru-paru, kulit, keringat, air liur, dan air susu. Obat dieksresi melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi melalui ginjal melibatkan tiga proses, yaitu filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal, dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus. Obat yang tidak terikat protein (bentuk bebas) akan mengalami filtrasi glomerulus masuk ke tubulus. Filtrasi glomerulus menghasilkan ultra filtrat, yakni minus plasma protein, jadi semua obat bebas akan keluar dalam ultra filtrat sedangkan yang terikat protein akan tetap tinggal dalam darah. Kelarutan dan pH tidak berpengaruh pada kecepatan filtrasi glomerulus, yang berpengaruh adalah ukuran partikel, bentuk partikel, dan jumlah pori glomerulus. Obat yang tidak mengalami filtrasi glomerulus dapat masuk ke tubulus melalui sekresi di tubulus proksimal. Sekresi tubulus proksimal merupakan proses transport aktif, jadi memerlukan carrier (pembawa) dan energi. Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter membran P-gp dan MRP yang terdapat di membran sel epitel dengan selektivitas berbeda. Setelah obat sampai di tubulus, kebanyakan akan mengalami reabsorpsi kembali ke sirkulasi sistemik. Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk bentuk non-ion obat yang larut lemak. Oleh karena derajat ionisasi bergantung pada pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan untuk mempercepat ekskresi ginjal pada keracunan suatu obat asam atau basa. Kecepatan metabolisme dan ekskresi suatu obat dapat dilihat dari nilai waktu paruhnya (T1/2). Waktu paruh adalah waktu yang diperlukan sehingga kadar obat dalam darah atau jumlah obat dalam tubuh tinggal separuhnya. Perlambatan eliminasi obat dapat disebabkan oleh adanya gangguan hepar atau ginjal sehingga memperpanjang waktu paruhnya. Ekskresi obat kedua penting adalah melalui empedu ke dalam usus dan keluar bersama feses. Selain itu, ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anastetik umum. Ekskresi dalam ASI, saliva, keringat dan air mata secara kuantitatif tidak penting. Ekskresi ini bergantung terutama pada difusi pasif dari bentuk non-ion yang larut lemak melalui sel epitel kelenjar, dan pH. Parameter dalam proses farmakokinetika meliputi volume distribusi, bersihan (clearance), bioavailabilitas, dan waktu paruh. Volume distribusi adalah volume perkiraan obat terlarut dan terdistribusi dalam tubuh. Semakin besar nilai volume distribusi, semakin luas distribusinya. Besarnya volume distribusi ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, dan derajat ikatan obat dengan protein plasma dan dengan berbagai jaringan. Bersihan adalah kecepatan obat dibersihkan dari dalam tubuh atau volume plasma yang dibersihkan dari obat persatuan waktu (volume/waktu). Bersihan total adalah jumlah bersihan dari berbagai organ, seperti hepar, ginjal, empedu, paru-paru, dan lain-lain. Bersihan obat-obat yang tidak diubah melalui urin merupakan bersihan ginjal. Di dalam hati, bersihan obat melalui biotransformasi obat parent drug menjadi satu atau lebih metabolit, atau ekskresi obat yang tidak diubah (unchanged drug) ke dalam empedu, atau kedua-duanya. Bioavailabilitas adalah jumlah dan kecepatan obat yang diabsorpsi melalui jalur pemberian tertentu masuk ke sirkulasi sistemik. Untuk suatu dosis intravena dari obat, bioavailabilitas adalah sama dengan satu, atau dianggap 100% masuk ke dalam tubuh. Untuk obat yang diberikan per-oral, bioavailabilitas dapat berkurang 100% karena absorpsi yang tidak lengkap dan eliminasi first-pass.12-14 2.1.4. Fase Farmakodinamika Farmakodinamika mempelajari mekanisme kerja obat dengan tujuan meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi. Kebanyakan obat bekerja dengan berinteraksi dengan reseptor, berinteraksi dengan enzim, ataupun dengan kerja non-spesifik. Protein merupakan reseptor obat yang paling penting. Jenis-jenis protein lain yang telah diidentifikasikan sebagai reseptor obat meliputi enzim-enzim, transpor protein (misalnya Na+/K+ATPase), dan protein struktural (misalnya tubulin). Obat tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Berakhirnya kerja obat pada tingkat reseptor merupakan salah satu akibat dari serangkaian proses. Dalam beberapa hal, efek berlangsung hanya selama obat menempati reseptor sehingga dengan lepasnya obat dari reseptor efek akan segera berakhir. Ada juga kerja obat masih tetap ada walaupun obat sudah terdisosiasi disebabkan oleh adanya beberapa molekul pasangan masih dalam bentuk aktif. Semua respon farmakologi harus mempunyai suatu efek maksimum (Emax). Tidak perduli berapa konsentrasi obat yang akan dicapai, akan didapat suatu titik dimana tidak ditemukan lagi suatu respon. Kepekaan organ target pada obat dicerminkan oleh konsentrasi obat yang diperlukan untuk menghasilkan 50% dari efek maksimum. Kepekaan yang meningkat pada suatu obat biasanya ditandai oleh respon yang berlebihan pada dosis kecil atau dosis sedang.11-14 2.1.5. Faktor Genetik yang Memengaruhi Metabolisme Obat Faktor genetik dalam metabolisme obat telah diteliti sejak 60 tahun yang lalu. Polimorfisme pada gen CYP sering kali merupakan penyebab dari variasi respon tubuh terhadap obat. Fenotipe oksidasi obat yang spesifik terhadap suatu enzim CYP dapat ditentukan secara in-vitro menggunakan substrat model selektif. Secara fenotipe, variasi adalah “Poor Metabolizer” (PM) digunakan untuk carrier alel homozigot atau heterozigot dengan kehilangan fungsi lengkap (null alleles); “Extensive Metabolizer” (EM) merupakan fenotipe normal dan biasanya mewakili populasi umum; “intermediate Metabolizer” (IM); “ultra rapid Metabolizer” (UM). Polimorfisme yang menyebabkan PM, IM dan UM pada enzim CYP 1A1, 1A2, 2C8, 2E1, 2J2l dan 3A4 jarang sekali ditemukan.15 2.2. Haloperidol Haloperidol diperkenalkan pertama kali pada tahun 1958 oleh Paul Janssen dari Janssen Pharmaceutical, Belgia. Haloperidol merupakan turunan butyrophenones, yang merupakan suatu antagonis reseptor dopamin. pertama Haloperidol dikelompokkan bersama-sama dengan dalam antipsikotika thioxanthenes, generasi dibenzoxazepines, dihydroindoles, dan diphenyl.16 2.2.1. Struktur Karakteristik dari kelas butyrophenones adalah sebuah cincin finil yang terlekat pada rantai 3 karbon, yang selanjutnya rantai 3 karbon ini melekat pada kelompok amino tersier. Sebagian besar butyrophenones memiliki sebuah cincin piperidin pada kelompok amino. Haloperidol merupakan salah satu prototipe dari kelompok butyrophenones. Selain haloperidol dikenal juga droperidol dan spiperon.16 Gambar 2.1. 2.2.2. Struktur Kimia Haloperidol Farmakokinetika Konsentrasi plasma haloperidol meningkat lebih cepat selama fase absorbsi dan kemudian menurun selama fase distribusi, metabolisasi, dan eliminasi. Haloperidol diabsorpsi dengan baik apabila diberikan secara oral maupun parenteral. Pemberian parenteral dapat secara intramuskular maupun intravena, akan tetapi pemberian intramuskular lebih dianjurkan dan sering dilakukan daripada intravena. Sama seperti kebanyakan obat, pemberian parenteral tentunya lebih dapat memprediksi proses absorbsi obat dibandingkan pemberian per oral. Konsentrasi plasma haloperidol biasanya mencapai puncaknya dalam 1 sampai 4 jam setelah obat dimakan atau 30 sampai 60 menit setelah penyuntikan intramuskular. Secara umum sediaan intra-muskular mencapai kadar puncaknya lebih cepat dari sediaan oral, sehingga awitan kerja obat lebih cepat. Beberapa faktor dapat mengganggu proses absorbsi di saluran cerna diantaranya antasida, kopi, merokok dan makanan berlemak. Keadaan tetap biasanya dicapai dalam kurun waktu 3 sampai 5 hari. Bioavailabilitas (jumlah obat mencapai sirkulasi sistemik) lebih besar sampai 10 kali lipat apabila diberikan secara parenteral, dikarenakan pemberian oral akan mengurangi bioavailabilitas akibat absorbsi inkomplet dan metabolisme sewaktu melewati hati.16 Tabel 2.1. Farmakokinetika Haloperidol Bioavailabilitas (%) 40-70 Ikatan Protein (%) 92 Volume Distribusi / Vd (L/Kg) 10-35 Waktu Paruh / t½ (Jam) 12-36 Metabolit Aktif Reduced-Haloperidol Konsentrasi Plasma Setelah 12 Jam (mg/mL) 2.0-18.0 Diadaptasi dari : Van-Kammen, Hurford, Marder. First-Generation Antipsychotic. Dalam Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry, 9th Edition. 2009 Penurunan awal konsentrasi plasma haloperidol dimulai pada saat obat mulai terdistribusi masuk ke dalam berbagai kompartemen tubuh. Dikarenakan haloperidol sangat lipofilik, haloperidol cenderung mengakumulasi dalam jaringan seperti lemak, paru, dan otak. Pengukuran konsentrasi plasma cukup untuk menggambarkan konsentrasi obat dalam otak. Akan tetapi, efek obat dapat lebih lama dibandingkan dengan konsentrasi plasma. Haloperidol juga sangat tinggi terikat protein, mencapai lebih dari 90%. Kondisi-kondisi yang dapat mengubah konsentrasi protein plasma seperti malnutrisi juga akan memengaruhi bioavailabilitas obat.16 Haloperidol terutama dimetabolisme di hati dan terjadi melalui konjugasi dengan asam glukuronat, hidroksilasi, oksidasi, demetilasi, dan pembentukan sulfoksida. Haloperidol memiliki hanya satu metabolit utama, yaitu reduced-haloperidol, yang kurang aksi anti-dopaminergiknya dibandingkan komponen utama. Akan tetapi reduced-haloperidol ini diubah kembali menjadi komponen induk, dan peristiwa ini dapat berkontribusi pada aktifitas antipsikosisnya.16 2.2.3. Farmakodinamika Farmakodinamika haloperidol menggambarkan aktifitasnya pada area penting khususnya reseptor di otak. Bukti-bukti ilmiah tersaji tentang bagaimana efek dari haloperidol pada sejumlah area reseptor yang berbeda, bagaimana efek-efek ini memengaruhi sekelompok neuron, dan bagaimana aktivitas pada suatu reseptor diterjemahkan menjadi suatu aksi intraseluler.16 Hipotesis dopamin menyatakan bahwa antipsikotika mengurangi gejala psikosis dengan menurunkan aktivitas dopamin. Pada awalnya hipotesis ini diusulkan oleh Arvid Carlsson dari Swedia, didasarkan pada pengamatan haloperidol dan klorpromazin meningkatkan kadar berbagai metabolit dopamin di area yang kaya dopamin pada otak tikus. Kedua obat ini juga diamati mempunyai efek yang inkonsisten pada neurotransmiter yang lain. Arvid Carlsson menginterpretasikan ini penemuan ini dengan mengindikasikan bahwa kedua obat ini berperan sebagai antagonis dopamin dan sistem pengaturan diri sendiri/selfregulating berkompensasi dengan peningkatan produksi dopamin. Peneliti lain mengamati bahwa obat antipsikotika generasi pertama menghambat aktivasi dan perilaku streotipik mencit yang diinduksi oleh amfetamin. Bukti ilmiah lain yang mendukung peran dopamin pada psikosis datang dari kenyataan bahwa seluruh obat-obat yang dapat mengurangi psikosis adalah suatu antagonis dopamin, dan obat-obatan yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas dopamin seperti amfetamin, metilfenidat, atau kokain cenderung untuk meningkatkan neurotransmisi dopamin dan juga cenderung memperburuk pasien dengan skizofrenia. Pada dosis tinggi obat-obatan ini juga menyebabkan psikosis pada individu sehat.16 Peran dopamin pada aktivitas antipsikotika yang diusulkan Carlsson tersebut juga didukung oleh Slomon Sinder dan Philip Seeman pada tahun 1970an, yang menemukan korelasi yang kuat antara potensi antipsikotika dengan afinitas obat terhadap reseptor D 2 . Penelitian terkini menggunakan ikatan reseptor D2 selektif dan positron emission tomography (PET) mengindikasikan bahwa antagonis reseptor dopamin efektif apabila 80% reseptor D2 di striatum di okupansi oleh obat tersebut. Tingkat okupansi yang lebih tinggi dihubungkan dengan peningkatan efek samping parkinsonisme tanpa menambah efektifitas obat. 16 Neuron dopamin dengan badan sel di area tegmentum ventral berproyeksi melalui sistem dopamin meso-limbo-kortikal ke nukleus akumbens, amygdala dan neokorteks. Sel dopamin di substansia nigra berproyeksi ke putamen kaudatus melalui sistem nigrostriatal. Telah diusulkan bahwa aktivitas pada sistem meso-limbo-kortikal ini yang menerangkan aktivitas antipsikotika obat, dan efek samping neurologik seperti efek samping ekstra piramidal dan tardive diskinesia disebabkan oleh aktivitas di sistem nigrostriatal.16 2.2.4. Efek Samping Efek samping haloperidol atau antipsikotika generasi pertama diakibatkan oleh blokade reseptor dopamin di striatum dan inaktivasi neuron dopamin di substansia nigra. Hal ini menyebabkan sindrom ekstra piramidal, termasuk parkinsonisme, distonia, dan akatisia. Efek pada sistem motorik yang diakibatkan oleh antipsikotika berbeda dikarenakan awitannya yang cepat, dan toleransi terhadap efek samping ini cenderung timbul. Obat antipsikotika generasi pertama juga memengaruhi sekresi hormon dari pituitari terutama diakibatkan oleh blokade reseptor dopamin di hipotalamus atau pada pituitari itu sendiri. Hormon yang dipengaruhi terutama prolaktin, sehingga konsentrasi prolaktin meningkat. Peningkatan konsentrasi hormon ini kadang menyebabkan ginekomastia, galaktorea, dan pada laki-laki disfungsi ereksi. Hormon lain yang dipengaruhi adalah Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle-Stimulating Hormone (FSH).16 2.3. Interaksi Obat dengan Merokok Selain dampaknya terhadap kesehatan orang-orang dengan gangguan jiwa secara umum, merokok juga ternyata dilaporkan berdampak pada metabolisme obat, yang berpotensi besar menyebabkan gangguan pada pengobatan yang diberikan. Komponen asap rokok telah dilaporkan menginduksi berbagai isoenzim sitokrom P450 (CYP), yang memegang peranan penting pada metabolisme obat. Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) dari asap rokok merupakan komponen yang bertanggung jawab terhadap induksi berbagai isoenzim ini, terutama CYP1A1, CYP1A2 dan CYP2E1.4,5 Sehingga dapat disimpulkan bahwa merokok dapat memengaruhi penatalaksanaan klinis pasien-pasien dengan gangguan jiwa dikarenakan perubahan farmakokinetika obat. Tabel 2.2. Berbagai Substrat Isoenzim-Isoenzim Sitokrom P450 (CYP) Obat-Obat Psikotropika Berdasarkan studi in-vitro dan in-vivo CYP1 A1/1A 2* V v CYP2 B6 CYP2 C9 Amitriptyline Clomipramine Desipramine Imipramine v Nortriptyline Demethyl-citalopram Citalopram Fluoxetine Fluvoxamine v Paroxetine Sertraline Amfebutamone (bupropion) v Maprotiline Moclobemide Nefazodone Trazodone Venlafaxine Chlorpromazine v v Haloperidol Perphenazine Reduced-haloperidol Thioridazine Trifluoperazine v Clozapine v Olanzapine v Risperidone Sertindole Zuclopenthixol Carbamazepine Hexobarbital (hexobarbitone) Mephenytoin Phenytoin Alprazolam Clonazepam Triazolam Buspirone Caffeine v Tacrine v Zolpidem Zopiclone v *) Merokok Menginduksi CYP1A1/A2, dan CYP2E1 Dikutip dari : v CYP2 C19 v v v CYP2 D6 v v v v v v CYP3 A4 v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v Desai, HD; Seabolt, J; Jann, MW. Smoking in Patients Receiving Psychotropic Medications. A Pharmacokinetics Perspective. 2001 Organ hati merupakan tempat metabolisme xenobiotik primer yang mengandung isoenzim (CYP) pada manusia. Akan tetapi isoenzimisoenzim ini juga terdapat pada organ lain, seperti traktus intestinal, otak, dan paru-paru. Kebanyakan obat akan mengalami biotransformasi via reaksi metabolisme fase I dan fase II di hati. Isoenzim CYP terlibat pada metabolisme fase I, yang merupakan proses oksidasi yang memetabolisasi substansi eksogen dan endogen menjadi komponen yang lebih hidrofilik untuk dieliminasi. Terinduksinya isoenzim CYP ini akan menyebabkan obat tereliminasi dengan cepat.5,17 2.3.1. CYP1A1/1A2 Isoenzim CYP1A1/1A2 terhitung berkisar 13-17% dari total keseluruhan isoenzim hati. Isoenzim ini terutama ditemukan di hati, akan tetapi ditemukan juga di otak, paru-paru dan plasenta ibu yang merokok.5,17 2.3.2. CYP2E1 Isoenzim CYP2E1 terhitung berkisar 7-10% dari total keseluruhan isoenzim di hati. Isoenzim ini ditemukan juga di paru-paru, ginjal, limfosit dan plasenta.5,17 2.3.3. Mekanisme Induksi Definisi induksi adalah peningkatan jumlah dan/atau aktivitas dari sebuah enzim. Waktu tunda yang sering tampak pada induksi enzim diakibatkan oleh waktu yang dibutuhkan untuk transkripsi, translasi atau stabilisasi enzim sebelum aksinya pada target.5 Mekanisme induksi dari isoenzim CYP yang disebabkan oleh komponen asap rokok (hidrokarbon aromatik) melibatkan ikatan hidrokarbon pada reseptor intraseluler spesifik (Ah-Aryl Hydrocarbon Receptor). Kompleks hidrokarbon-Ah-reseptor ini kemudian bermigrasi ke dalam inti sel dan berinteraksi dengan ARE (Ah-responsive element), yang menyebabkan peningkatan mRNA dari aktivasi transkripsional gen CYP. mRNA ini mengarahkan pembentukan asam amino menjadi protein dalam retikulum endoplasma. Kemudian, dengan penambahan haem pada protein, produksi CYP akhirnya lengkap. Selain meningkatkan produksi CYP, diyakini pula bahwa degradasi CYP sendiri dihambat oleh hidrokarbon aromatik ini.5 Waktu awitan induksi bervariasi berdasarkan indusernya. Hal ini tampak rifampisin yang membutuhkan waktu 2 hari, fenobarbital 7 hari, dan karbamazepin 2 minggu untuk menginduksi isoenzim CYP. Data waktu awitan induksi isoenzim CYP oleh hidrokarbon sendiri sampai saat belum jelas. Begitu juga data tentang waktu perubahan stop induksi setelah berhenti merokok. Merokok sendiri tidak memengaruhi ukuran dan aliran darah hati.8 Lamanya waktu induksi dipengaruhi oleh peningkatan usia individu. Telah didemonstrasikan bahwa bersihan indikator CYP pada individu usia >40 tahun berbeda bermakna antara perokok dan tidak perokok, sedangkan pada individu yang berusia <40 tahun tidak ditemukan perbedaan.5 Jumlah rokok juga memengaruhi bersihan obat yang berarti memengaruhi isoenzim CYP. Perokok berat akan memperbesar bersihan obat. Akan tetapi belum ada kesepakatan definisi perokok berat dan perokok ringan antar penelitian. Pada penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa perbedaan signifikan ditemukan apabila individu tersebut merokok minimal 20 batang setiap harinya.5 2.4. Agitasi pada Psikosis Definisi agitasi sangat banyak diusulkan oleh para ahli. Hal ini yang menyebabkan besarnya rentang prevalensi agitasi yang ditemukan. Dari beberapa definisi yang ada, terdapat beberapa kesamaan, sehingga agitasi dapat didefinisikan sebagai hiperaktivitas psikomotor baik verbal maupun motorik yang kacau dan tidak bertujuan.18,19 Agitasi berbeda dari kecemasan, dimana kecemasan merupakan gejala subjektif dan diutarakan oleh pasien. Agitasi juga berbeda dengan agresi dimana agresi merupakan tindakan penyerangan baik verbal maupun fisik pada diri sendiri, orang lain atau pada suatu objek. Agitasi merupakan keadaan yang sering kali ditemukan pada unit gawat darurat psikiatri maupun rumah sakit umum. Agitasi dapat disebabkan oleh keadaan psikosis, mania, demensia, epilepsi dan trauma kepala. Yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah agitasi pada psikosis.19 2.4.1. Penatalaksanaan Cepat Agitasi pada Psikosis atau Rapid Neuroleptizitation Agitasi pada psikosis merupakan suatu keadaan yang harus cepat ditangani dikarenakan dapat tereskalasi menjadi perilaku agresif yang dapat membahayakan penderita maupun orang-orang di sekitarnya. Terdapat berbagai protokol pemberian antipsikotika terhadap keadaan ini, dan tidak adanya keseragaman antara keseluruhan protokol. Haloperidol baik sediaan oral maupun suntikan telah direkomendasikan di seluruh protokol dengan dosis yang berbeda-beda. Berbagai literatur/protokol merekomendasikan prosedur rapid neuroleptizitation dengan pemberian haloperidol 5-20 mg tanpa membedakan pemberian secara oral atau intramuskular.16 Salah satu protokol yang disusun berdasarkan bukti ilmiah di Amerika merekomendasikan dosis awal pemberian haloperidol per oral maupun intra-muskular 5mg, dengan pengulangan setiap 15-30 menit apabila tidak berespon, dengan dosis maksimum 20mg.20,21 2.4.2. Overt Agitation Severity Scale (OASS) Overt Agitation Severity Scale (OASS) merupakan instrumen psikometri yang dikembangkan oleh Yudofsky dkk pada tahun 1997. OASS versi aslinya telah diuji kesahihan dan kehandalannya pada pasien rawat jalan maupun rawat inap. OASS disusun berdasarkan perilaku verbal yang dapat dilihat secara objektif dan pergerakan dari ekstremitas atas maupun bawah. Perbedaan dari OASS dari instrumen yang mengukur agitasi lainnya adalah keseluruhan pemeriksaan dilakukan secara objektif.22 Pada uji kesahihan dan keandalan yang ditujukan pada pasien rawat jalan, OASS menunjukkan konsistensi internal 0,88 – 0,91, testretest 0,97-0,91 dalam 15 menit, inter rater r = 0,90, P < 0,01, validitas konstruksinya dibandingkan dengan skala lain r = 0,81, P < 0,01 dan validitas diskriminan r = 0,28, P < 0,01. Pada Uji kesahihan dan keandalan pada pasien rawat inap juga menunjukkan hasil yang hampir sama.22 Overt Agitation Severity Scale (OASS) telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Sirait PJ pada tahun 2013 dengan pembanding PANSS-EC dan menunjukkan korelasi bermakna dengan PANSS-EC dengan kekuatan korelasi kuat sampai sangat kuat (p= 0,001; r= 0,767-0,951) sedangkan uji Wilcoxon menunjukkan perbedaan bermakna (p< 0,001, z= -4,107). Reliabilitas konsistensi internal menunjukkan chronbach alpha >0,6, dan antar penilai menunjukkan nilai kappa >0,7.23 2.5. Konsep Hubungan Dosis-Respon Hubungan dosis-respon suatu obat merupakan suatu konsep yang menerangkan bagaimana interaksi obat-reseptor untuk menghasilkan efek obat. Konsep ini juga menerangkan sebab variasi respon farmakologi. Sehingga dengan mengetahui konsep ini, dapat membantu klinisi untuk menetapkan pemilihan obat yang rasional.11 Dalam konsep ini terdapat dua terminologi yang wajib diketahui oleh klinisi, yaitu potensi dan efikasi. Sebagai ilustrasi, Gambar 2.3. menampilkan hasil titrasi 4 obat berbeda dengan kurva dosis-respon yang berbeda pula.11 Gambar 2.2. Kurva Hubungan Dosis-Respon 4 Jenis Obat Obat A dan B dikatakan lebih poten dari obat C dan D karena posisi relatif kurvanya lebih di kiri dari aksis log dosis. Potensi adalah konsentrasi (EC50) atau dosis (ED50) yang dibutuhkan suatu obat untuk menghasilkan 50% efek maksimal. Sehingga potensi farmakologi dari obat B lebih dari obat B, ini disebut parsial agonis dikarenakan ED50 obat A lebih besar dari ED50 obat B. Potensi suatu obat bergantung pada afinitas (K D ) reseptor untuk mengikat obat dan juga pada seberapa banyak ikatan obat-reseptor yang memberikan efek.11 2.6. Kerangka Teori Gambar 2.3. Kerangka Teori 2.7. Kerangka Konsep SUNTIKAN HALOPERIDOL INTRAMUSKULAR RESPON KLINIS MEROKOK BMI USIA GANGGUAN MEDIS UMUM OBAT LAIN KEHAMILAN Gambar 2.4. Kerangka Konsep