TRADISI SURAN SENDANG SIDUKUN DAN NILAI GOTONG-ROYONG PADA MASYARAKAT DESA TRAJI, KECAMATAN PARAKAN, KABUPATEN TEMANGGUNG (Kajian Antropologi-Sosiologi) 1 Hanggit Sadewa, 2 Drs.Tri Widiarto, M.Pd E-mail : 1 [email protected], 2 [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan tradisi Suran sendang Sidukun dan nilai gotong-royong pada masyarakat Desa Traji Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan, observasi langsung dan wawancara. Penulis berusaha untuk memperoleh data dengan cara mengumpulkan data berdasarkan literatur yang mendukung masalah penelitian, teknik observasi langsung berupa pengamatan langsung ke Desa Traji Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung yang masih menjalankan tradisi upacara Suran. Teknik wawancara yang dilakukan yaitu dengan tanya jawab antara penulis dan infoman. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tradisi Suran sendang Sidukun merupakan warisan budaya leluhur yang harus dilestarikan keberlangsungannya serta sebagai sarana belajar, mengenal tradisi budaya leluhur sejak dini oleh generasi muda. Tradisi Suran sendang Sidukun juga memiliki arti penting dalam kaitanya dengan nilai gotong-royong yang dapat mempengaruhi tingkah laku masyarakat antara sesama, alam, leluhur, dan Tuhan sehingga kerukunan dan kebersamaan dalam berkehidupan akan selalu terjaga di Desa Traji Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung. Kata Kunci: Tradisi Suran Sendang Sidukun, Nilai Gotong-Royong 345 dengan berbagai kegiatan religi yang dibalut dengan suatu kebudayaan setempat sehingga menciri khaskan daerah tersebut. PENDAHULUAN Kebudayaan mencangkup pengertian yang sangat luas. Kebudayaan merupakan hasil kreatifitas manusia yang sangat komplek. Di dalamnya berisi struktur-struktur yang saling berhubungan, sehingga merupakan kesatuan yang berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan. Artinya kebudayaan merupakan satu kesatuan dari rangkaian wujud dan unsur yang saling berkaitan satu sama lain, salah satunya adalah tradisi (Tri Widiarto, 2009: 10). Begitu juga tradisi yang selalu diadakan setiap tahunnya ketika bertepatan dengan datangnya tahun baru Islam (Hijriyah) dan bulan Muharram (bulan Sura dalam penanggalan kalender Jawa), yaitu tradisi Suran sendang Sidukun di Desa Traji, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung yang berlangsung pada hari Sabtu Wage (pasaran Jawa) tanggal 1 (satu) Oktober 2016. Hal ini merupakan suatu bentuk perpaduan antara kebudayaan Islam dan kebudayaan Jawa yang menghasilkan tradisi baru dengan corak 2 (dua) budaya yang tentunya tidak lepas dari tradisi sosial budaya masyarakat Jawa salah satunya yaitu gotong-royong. Tradisi yang telah menjadi budaya merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat di mana kebudayaan itu tumbuh. Tradisi dan budaya erat kaitannya dengan ritual yang urutan tindakannya telah ditentukan dan secara periodik diulang ketika mengadakan upacara yang sama, ritual tersebut memberikan arti religi dan sosial yang meliputi penggunaan simbol-simbol budaya. Tradisi budaya bukan sekedar kebiasaan yang dilakukan seseorang atau sekelompok masyarakat, tetapi tradisi ini dilakukan dengan serius dan formal yang memerlukan pemahaman mendalam dari masyarakat pendukungnya (Clifford Geertz, 1992b: 51). Gotong-royong dalam masyarakat Jawa merupakan bentuk kerja sama yang asasnya timbal balik, bersifat spontan “tanpa pamrih”, dan untuk memenuhi kewajiban masyarakat. Gotong-royong berlaku diberbagai aspek kehidupan masyarakat tidak terkecuali dibidang religi atau kepercayaan yang di dalamnya mengandung nilai-nilai budaya nonmaterial, tetapi berhubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib di luar jangkauan rasio masyarakat desa. Kepercayaan atau agama/religi sebagai salah satu unsur dari kebudayaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban (ritual) yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. LANDASAN TEORI Konsep ahli antropologi, A. L. Kroeber dan C. Kluckhohn pada 1952 dalam bukunya yang berjudul: “Culture A Critical Review of Concepts and Definitions”, mengungkapkan bahwa “Kebudayaan terdiri dari pola-pola yang nyata maupun tersembunyi, dari dan untuk perilaku yang diperoleh dan dipindahkan dengan simbol-simbol, yang menjadi hasil-hasil yang tegas dari kelompok-kelompok manusia, Diantara sekian banyak tradisi yang ada di Jawa, tradisi memperingati datangnya tahun baru Islam Hijriah (bulan Muharram) yang disebut bulan Sura dalam masyarakat Jawa, memiliki makna khusus, mereka menyambutnya 346 termasuk perwujudannya dalam barang-barang buatan manusia, inti yang pokok dari kebudayaan terdiri dari gagasan-gagasan tradisional (yaitu yang diperoleh dan dipilih secara historis) dan khususnya nilai-nilainya yang tergabung di satu pihak, sistemsistem kebudayaan dapat dianggap sebagai hasil-hasil tindakan, di pihak lainnya sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi tindakan selanjutnya”. Sidukun dan nilai gotong-royong yang terkandung dalam masyarakat. Bentuk penelitian ini akan menghasilkan sebuah tulisan hasil dari data yang telah dihimpun, kemudian diidentifikasi serta dibandingkan dengan sumber lain setelah itu ditafsirkan, dianalisis sehingga didapatkan hasil yang valid dan relevan dengan obyek penelitian. Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan antropologi-sosiologi. Antropologi adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek kebudayaan manusia, untuk disiplin ilmu sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tatanan atau struktur aktifitas manusia. Bulan Sura merupakan bulan pertama dalam sistem kalender Jawa. Tahun baru Jawa ini diciptakan oleh Sultan Agung dengan mengikuti peredaran bulan (Kamariyah), dan juga dipengaruhi sistem kalender tahun baru Islam Hijriyah. Menurut tradisi Jawa, bulan Sura dianggap sebagai bulan yang keramat karena bulan ini dianggap sebagai sumber malapetaka atau bencana dalam segala aktivitas manusia. Pendapat ini didasakan pada pertimbangan adanya berbagai gejala peristiwa manusia atau alam yang kurang menguntungkan bagi kehidupan (R. A. Maharkesit, 1988/1989: 29). HASIL DAN PEMBAHASAN Temuan Hasil Penelitian yang Dihubungkan dengan Kajian Teori a. Waktu Pelaksanaan Suran Sendang Sidukun di Desa Traji Kebudayaan bagi masyarakat Indonesia merupakan suatu hal yang melekat dan sudah mendarah daging. Kebudayaan erat kaitanya dengan tradisi yang mengandung ritual dan upacara adat yang biasanya dalam prosesi pelaksanaannya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari dan bersifat masal dengan gotong-royong. Salah satunya adalah tradisi Suran, secara historis dan persepsi orang Jawa 1 (satu) Sura khususnya dan bulan Sura umumnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai dan keyakinan orang Jawa, terutama pandangan sebagian besar orang Jawa terhadap sifat wingit dan sakral bulan Sura. Ada keyakinan bahwa bulan Sura sebagai bulan instropeksi diri menjadi pantangan untuk menyelenggarakan hajat seperti perkawinan, khitanan, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan upacara siklus kehidupan. Gejala ini berlaku bagi sebagian besar orang Jawa yang masih kental dengan budaya tradisi, sedangkan bagi orang Jawa yang Prof. DR. Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa “Khusus untuk gotong-royong ialah pengerahan tenaga tanpa bayaran untuk suatu proyek yang bermanfaat untuk umum. Aktifitas gotong-royong sendiri meliputi bidang ekonomi dan mata pencaharian hidup, bidang teknologi, dan perlengkapan hidup, bidang kemasyarakatan, bidang religi atau kepercayaan yang ada dalam masyarakat”. METODE PENELITIAN Model penelitian kualitatif deskriptif menghasilkan data deskriptif yang merupakan rinci dari suatu fenomena yang diteliti. Penelitian kualitatif digunakan untuk memberikan keterangan yang jelas mengenai tradisi Suran sendang 347 memiliki keyakinan agama Islam yang kuat atau kalangan santri, bulan Sura dianggap sama dengan bulan yang lain. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan maka dapat diketahui bahwa pelaksanaan tradisi Suran sendang Sidukun di Desa Traji, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung 1 (satu) kali dalam satu tahun yaitu dimulai dari tanggal 1 (satu) hari Sabtu Wage hingga 3 (tiga) hari kedepan pada tahun baru Hijriyah bulan Muharram dalam kalender Islam, bulan Sura dalam kalender Jawa, di tahun 2016 jatuh pada bulan Oktober pada kalender Masehi, tepatnya hari Minggu Kliwon (pasaran Jawa) tanggal 2 (dua) Oktober 2016. Sidukun sejauh 500 m di mana prosesi upacara Suran tersebut berlangsung. (Wawancara/Hadi Waluyo (54)/06/01/2017) Setelah prosesi upacara ritual selesai pukul 21.00 WIB, maka kepala desa, istri beserta rombongan meninggalkan lokasi sendang Sidukun. Rombongan pulang ke balai desa Traji, dalam perjalanan pulang ibu kepala desa membeli jajanan di setiap penjual yang berjajar menjajakan dagangannya di sepanjang jalan Desa Traji dengan menggunakan uang koin Rp. 500. 00 yang dibeli pun beragam, semua yang dijajakan di pinggir jalan ketika tradisi Suran sendang ini digelar dibeli semua oleh ibu kepala desa, ada makanan, mainan, bahkan pakaian, bagi pedagang yang percaya jualannya akan laris jika koin Rp. 500. 00 itu disimpan. Sesampainya di balai desa dilanjutkan dengan acara malam tirakatan, dalam pandangan orang Jawa, bulan Sura adalah bulan yang penuh keprihatinan. Pergantian tahun baru Jawa dianggap masa gawat dan genting. Oleh karena itu cara menghadapinya juga dilakukan dengan berbagai macam laku ritual dan berlangsung di tempat tertentu yang dianggap akan memberi berkah atau tuah. Malam 1 (satu) Sura oleh masyarakat Jawa diyakini sebagai waktu yang tepat untuk menjalankan laku ritual agar dalam hidupnya mendapat keselamatan. Ketidakpastian hidup merupakan dasar pertimbangan manusia untuk senantiasa mawas diri dan seraya memohon perlindungan atau pertolongan kepada Sang Pencipta melalui caranya sendiri-sendiri yang bersifat spiritual. Laku spiritual, yaitu berupa kegiatan tirakatan, dilakukan secara individu atau secara kelompok masal seperti yang dilakukan di balai desa Traji. Dan selanjutnya pada hari Minggu Kliwon (pasaran Jawa) tanggal 2 (dua) Oktober 2016 diadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan lakon yang telah disepakati b. Bentuk Upacara dan Prosesi Pelaksanaan Suran Sendang Sidukun Tradisi Sura di Desa Traji memiliki keunikan di mana setiap tahun saat peringatan Sura, kepala desa dan istri didandani layaknya pengantin. Hal ini memiliki makna bahwa kepala desa adalah sebagai pemimpin, di kalangan masyarakat Jawa pemimpin identik dengan raja, maka sang kepala desa beserta istri harus berpakaian layaknya raja dengan mengenakan pakaian pengantin, karena filosofi warga setempat pakaian raja seperti pakaian pengantin adat Jawa. Gaya pakaiannya pun tidak sembarangan, karena pakaian pengantin yang dikenakan kepala desa beserta istri, dan pakaian yang dikenakan oleh peserta kirab sudah ditentukan sejak dulu bergaya Yogyakarta. Gaya Yogyakarta dipilih berdasarkan latar belakang sejarah Kabupaten Temanggung yang tidak lepas dari pengaruh Kerajaan Mataram kala itu. Yang nantinya sang kepala desa beserta istri dan para warga masyarakat yang didaulat berbusana adat Jawa diarak/dikirabkan bersama gunungan hasil bumi dan sesaji dari balai desa sampai lokasi sendang 348 bersama, kebetulan pada peringatan Suran sendang Sidukun tahun 2016 mengusung lakon “banjaran”, lakon banjaran dipilih karena ada keterkaitan nilai spiritual 1 (satu) Sura dengan laku prihatin, tradisi upacara, dan mawas diri guna mencapai keseimbangan hidup mikro kosmos dan makro kosmos. Disamping itu ajaran budaya Jawa sebagaimana tercermin dalam laku prihatin 1 (satu) Sura dan nilai etika moral dalam wayang, tampaknya tetap mendasari etika hidup orang Jawa, artinya laku ritual (prihatin) dan etika moral wayang masih relevan dengan kondisi kebutuhan hidup masyarakat Jawa pada zaman sekarang ini. (Wawancara/Sulasmono (69)/14/01/2017) d. Pemaknaan Nilai Gotong-Royong Pada Tradisi Suran Sendang Sidukun Sistem “anda usuk” (gotongroyong) yang berjalan di masyarakat Desa Traji pada khususnya dan di Jawa pada umumnya ini merupakan salah satu contoh yang dapat menambah bukti pembenaran dari pernyataan Durkheim. Dimana Durkheim dalam Scott (1981: 255-256) menjelaskan bahwa paham sepadan dalam kebersamaan ini merupakan suatu prinsip moral umum yang terdapat pada semua kebudayaan. Bentuk saling bantu membantu berupa gotong-royong di Jawa merupakan contoh kebiasaan yang sangat teratur. Kebiasaan ini ada kaitannya dengan “resiprositas” (timbal balik), yaitu prinsip moral yang mendasari kegiatan sosial di desa baik dengan sesama manusia, alam, leluhur ataupun Tuhan secara suka rela. Kekerasan simbolis dalam hal pelaksanaan tradisi Suran sendang Sidukun terwujud dalam bentuk keharusan untuk bergotongroyong, tanpa memperdulikan pekerjaan ataupun kegiatan pribadi masyarakat Desa Traji. Sanksi bagi mereka yang tidak konsisten dalam pelaksanaan gotong-royong dalam sistem tradisi Suran sendang Sidukun ini sifatnya intrinsik yang tidak kelihatan, kasat mata, tidak berupa sanksi yang diberikan secara langsung maupun tertulis, namun menyakitkan. c. Arti Penting Tradisi Suran Sendang Sidukun Bagi Kehidupan Masyarakat Desa Traji Bagi masyarakat Desa Traji tradisi Suran sendang Sidukun yang telah berjalan sejak dahulu ini merupakan aktivitas yang dianggap penting, karena merupakan adat kebiasaan tahunan masyarakat dalam berkehidupan. Berkehidupan bagi masyarakat Desa Traji tidak hanya sebatas interaksi dengan sesama manusia tetapi juga berelasi dengan alam, dan Tuhan/leluhur. Hal ini menjadi kebiasaan yang rutin dilaksanakan oleh masyarakat tiap tahunnya. Apabila tradisi Suran sendang Sidukun dilaksanakan dan telah menjadi kebiasaan tentunya di dalam sistem kemasyarakatan juga terdapat berbagai hal, baik yang disadari maupun yang tidak, yang diketahui dan dipahami oleh setiap masyarakat sebagai upaya pelestarian, termasuk di dalamnya adalah nilai sosial kemasyarakatan gotong-royong. KESIMPULAN Tradisi Suran sendang Sidukun di Desa Traji merupakan upacara memperingati datangnya tahun baru Islam Hijriyah, bulan Muharram dalam kalender Islam, bulan Sura dalam penanggalan Jawa. Tradisi ini di langsungkan di suatu sendang yang bernama Sidukun setiap 1 (satu) tahun sekali ketika malam tanggal 1 (satu) Sura, prosesi upacara tradisinya 349 berlangsung sampai 3 (tiga) hari 3 (tiga malam). Keunikan dari tradisi memperingati datangnya bulan Sura di tempat ini yaitu dilakukan di suatu sendang yang bernama Sidukun alasan prosesi upacara tradisi di tempat tersebut karena sudah menjadi adat tradisi dan dikeramatkan oleh warga masyarakat sejak dahulu, kemudian dalam posesi Suran ini kepala desa dan istri didandani selayaknya pengantin adat Jawa dengan makna seorang kepala desa merupakan pemimpin, dan pemimpin dalam anggapan orang Jawa adalah seorang Raja, raja identik dengan pakaian adat kebesaran seperti pengantin. Dengan mengenakan pakaian pengantin adat Jawa Yogyakarta beserta istri dan warga yang didaulat mendampingi, kepala desa beserta istri dikirab bersamaan dengan aneka macam sesaji, gunungan hasil bumi dari balai desa menuju sendang Sidukun sejauh 500 m di mana upacara tradisi Suran sendang itu dilangsungkan. Nilai gotong-royong merupakan landasan utama terlaksananya prosesi upacara tradisi Suran sendang Sidukun, disamping itu sistem “anda usuk” (gotong-royong) sudah menjadi kesepakatan bersama, juga terdapat pamrih dari setiap individu masyarakat dalam melakukan kegiatan gotongroyong memperingati datangnya bulan Sura tersebut. Beberapa arti penting pamrih yang ada dalam diri masyarakat dalam melakukan gotong-royong tersebut seperti, pamrih mendapatkan timbal balik oleh leluhur atau Sang Pencipta dalam suka rela melakukan gotong-royong menggelar Suran sendang Sidukun, kekerasan simbolik dalam undangan melakukan gotongroyong bukan semata-mata paksaan tetapi mengandung pamrih sebagai sarana pelestariaan kebudayaan lokal, pamrih mendapatkan apresiasi dari semua warga masyarakat Desa Traji dengan tujuan tidak mendapat sanksi sosial dalam kehidupannya. SARAN Dalam menjaga dan melestarikan tradisi kebudayaan khususnya tradisi Suran sendang Sidukun di Desa Traji, Kecamatan Parakan, Temanggung, disamping menggelar tradisi upacara setiap tahunnya juga harus memperkenalkannya sejak dini kepada generasi muda. Hendaknya pemerintah mengambil sikap dan upaya untuk ikut melestarikan budaya lokal tersebut dengan memasukan unsur tradisi kebudayaan lokal seperti tradisi Suran sendang Sidukun ini ke dalam ulasan mata pelajaran di sekolah baik di mata pelajaran sejarah Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun di pelajaran bahasa Jawa di semua tingkat pendidikan dari SD-SMA, yang disisi lain menjadi aset kebudayaan bangsa Indonesia dan salah satu identitas Kabupatn Temanggung. Dengan diperhatikannya tradisi ini juga dapat berpotensi menjadi daya tarik wisata religi sehingga akan meningkatkan pendapatan daerah. Kepada masyarakat Desa Traji pada khususnya dalam prosesi tradisi Suran sendang Sidukun hendaknya harus tetap mempertahankan sistem gotong-royong, karena gotong-royong merupakan identitas moral bangsa Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa lain di dunia, disamping itu gotong-royong adalah sistem sosial kemasyarakatan yang dapat mempersatukan perbedaan. DAFTAR PUSTAKA Danandjaja, James. 1991. Foklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dll. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti. Djamari. 1993. Ritus-Ritul Tradisi Jawa. Yogyakarta: Pustaka Belajar. 350 Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik, Penelitian Budaya. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Rochani, Siti. 2003. Psikologi Sosial. Surakarta: UNS Press. Sagimun. 1980. Sistem Gotong Royong Dalam Masyarakat Desa Daerah Jawa Tengah. Semarang: IDKD Jawa Tengah. Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya Saifuddin, Fedyani Achmad. 2005. Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana Press. Herusatoto, Budiono. 2008. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak. Kaplan, David dan Albert A. Manners. 2000. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sapardi. 2000. Antropologi Budaya. Tanjung Pura: DIP Tanjung Pura Press. Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Pustaka Umum. Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Soetopo, H. B. 2002. Metode Penelitian Kuantitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Mahasiswa Pasca Sarjana Sosiologi UNS 2012. 2013. Pribadi dan Masyarakat Jawa Masa Kini. Yogyakarta: Jogja Global Media. Widiarto, Tri. 2003. Pengantar Sosiologi. Salatiga: Widya Sari Press. Widiarto, Tri. 2009. Psikologi Lintas Budaya Indonesia. Salatiga: Widya Sari Press. Malinowski, Bronislaw. 1988. Tertib Hukum Dalam Masyarakat Terasing. Jakarta: Erlangga. Maus, Marcel. 1992. Pemberian Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Parson. 1951. Sambatan Dalam Masyarakat Nusantara. Jakarta: Kencana Press. Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Resapandi, I Wayan Dana, Suradjinah, Kasidi Hadiprayitno. 2005. Suran Antara Kuasa dan Ekspresi Seni. Yogyakarta: Galang Press Pustaka Marwa. 351 352