TRADISI SURAN SENDANG SIDUKUN DAN NILAI GOTONG

advertisement
TRADISI SURAN SENDANG SIDUKUN DAN NILAI
GOTONG-ROYONG PADA MASYARAKAT DESA TRAJI,
KECAMATAN PARAKAN, KABUPATEN TEMANGGUNG
(Kajian Antropologi-Sosiologi)
1
Hanggit Sadewa, 2 Drs.Tri Widiarto, M.Pd
E-mail : 1 [email protected], 2 [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan tradisi Suran sendang Sidukun dan nilai gotong-royong
pada masyarakat Desa Traji Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan, observasi langsung dan wawancara. Penulis berusaha
untuk memperoleh data dengan cara mengumpulkan data berdasarkan literatur yang mendukung masalah
penelitian, teknik observasi langsung berupa pengamatan langsung ke Desa Traji Kecamatan Parakan
Kabupaten Temanggung yang masih menjalankan tradisi upacara Suran. Teknik wawancara yang
dilakukan yaitu dengan tanya jawab antara penulis dan infoman. Metode yang digunakan adalah metode
kualitatif deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tradisi Suran sendang Sidukun
merupakan warisan budaya leluhur yang harus dilestarikan keberlangsungannya serta sebagai sarana
belajar, mengenal tradisi budaya leluhur sejak dini oleh generasi muda. Tradisi Suran sendang Sidukun
juga memiliki arti penting dalam kaitanya dengan nilai gotong-royong yang dapat mempengaruhi tingkah
laku masyarakat antara sesama, alam, leluhur, dan Tuhan sehingga kerukunan dan kebersamaan dalam
berkehidupan akan selalu terjaga di Desa Traji Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung.
Kata Kunci: Tradisi Suran Sendang Sidukun, Nilai Gotong-Royong
345
dengan berbagai kegiatan religi yang
dibalut dengan suatu kebudayaan
setempat sehingga menciri khaskan
daerah tersebut.
PENDAHULUAN
Kebudayaan
mencangkup
pengertian
yang
sangat
luas.
Kebudayaan merupakan hasil kreatifitas
manusia yang sangat komplek. Di
dalamnya berisi struktur-struktur yang
saling
berhubungan,
sehingga
merupakan kesatuan yang berfungsi
sebagai pedoman dalam kehidupan.
Artinya kebudayaan merupakan satu
kesatuan dari rangkaian wujud dan
unsur yang saling berkaitan satu sama
lain, salah satunya adalah tradisi (Tri
Widiarto, 2009: 10).
Begitu juga tradisi yang selalu
diadakan setiap tahunnya ketika
bertepatan dengan datangnya tahun baru
Islam (Hijriyah) dan bulan Muharram
(bulan Sura dalam penanggalan
kalender Jawa), yaitu tradisi Suran
sendang Sidukun di Desa Traji,
Kecamatan
Parakan,
Kabupaten
Temanggung yang berlangsung pada
hari Sabtu Wage (pasaran Jawa) tanggal
1 (satu) Oktober 2016. Hal ini
merupakan suatu bentuk perpaduan
antara
kebudayaan
Islam
dan
kebudayaan Jawa yang menghasilkan
tradisi baru dengan corak 2 (dua)
budaya yang tentunya tidak lepas dari
tradisi sosial budaya masyarakat Jawa
salah satunya yaitu gotong-royong.
Tradisi yang telah menjadi
budaya merupakan kegiatan rutin yang
dilakukan oleh sekelompok masyarakat
di mana kebudayaan itu tumbuh. Tradisi
dan budaya erat kaitannya dengan ritual
yang
urutan
tindakannya
telah
ditentukan dan secara periodik diulang
ketika mengadakan upacara yang sama,
ritual tersebut memberikan arti religi
dan sosial yang meliputi penggunaan
simbol-simbol budaya. Tradisi budaya
bukan
sekedar
kebiasaan
yang
dilakukan seseorang atau sekelompok
masyarakat, tetapi tradisi ini dilakukan
dengan serius dan formal yang
memerlukan pemahaman mendalam
dari
masyarakat
pendukungnya
(Clifford Geertz, 1992b: 51).
Gotong-royong
dalam
masyarakat Jawa merupakan bentuk
kerja sama yang asasnya timbal balik,
bersifat spontan “tanpa pamrih”, dan
untuk memenuhi kewajiban masyarakat.
Gotong-royong berlaku diberbagai
aspek kehidupan masyarakat tidak
terkecuali
dibidang
religi
atau
kepercayaan
yang
di
dalamnya
mengandung nilai-nilai budaya nonmaterial, tetapi berhubungan dengan
kekuatan-kekuatan
gaib
di
luar
jangkauan rasio masyarakat desa.
Kepercayaan atau agama/religi
sebagai salah satu unsur dari
kebudayaan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sistem
atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan,
atau juga disebut dengan nama Dewa
atau nama lainnya dengan ajaran
kebhaktian dan kewajiban-kewajiban
(ritual)
yang
bertalian
dengan
kepercayaan tersebut.
LANDASAN TEORI
Konsep ahli antropologi, A. L.
Kroeber dan C. Kluckhohn pada 1952
dalam bukunya yang berjudul: “Culture
A Critical Review of Concepts and
Definitions”, mengungkapkan bahwa
“Kebudayaan terdiri dari pola-pola
yang nyata maupun tersembunyi, dari
dan untuk perilaku yang diperoleh dan
dipindahkan dengan simbol-simbol,
yang menjadi hasil-hasil yang tegas
dari kelompok-kelompok manusia,
Diantara sekian banyak tradisi
yang ada di Jawa, tradisi memperingati
datangnya tahun baru Islam Hijriah
(bulan Muharram) yang disebut bulan
Sura dalam masyarakat Jawa, memiliki
makna khusus, mereka menyambutnya
346
termasuk
perwujudannya
dalam
barang-barang buatan manusia, inti
yang pokok dari kebudayaan terdiri
dari
gagasan-gagasan
tradisional
(yaitu yang diperoleh dan dipilih secara
historis) dan khususnya nilai-nilainya
yang tergabung di satu pihak, sistemsistem kebudayaan dapat dianggap
sebagai hasil-hasil tindakan, di pihak
lainnya sebagai unsur-unsur yang
mempengaruhi tindakan selanjutnya”.
Sidukun dan nilai gotong-royong yang
terkandung dalam masyarakat. Bentuk
penelitian ini akan menghasilkan sebuah
tulisan hasil dari data yang telah
dihimpun, kemudian diidentifikasi serta
dibandingkan dengan sumber lain
setelah itu ditafsirkan, dianalisis
sehingga didapatkan hasil yang valid
dan relevan dengan obyek penelitian.
Pendekatan penelitian ini adalah
pendekatan
antropologi-sosiologi.
Antropologi
adalah
ilmu
yang
mempelajari seluruh aspek kebudayaan
manusia, untuk disiplin ilmu sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari tatanan
atau struktur aktifitas manusia.
Bulan Sura merupakan bulan
pertama dalam sistem kalender Jawa.
Tahun baru Jawa ini diciptakan oleh
Sultan Agung dengan mengikuti
peredaran bulan (Kamariyah), dan juga
dipengaruhi sistem kalender tahun baru
Islam Hijriyah. Menurut tradisi Jawa,
bulan Sura dianggap sebagai bulan yang
keramat karena bulan ini dianggap
sebagai sumber malapetaka atau
bencana dalam segala aktivitas manusia.
Pendapat
ini
didasakan
pada
pertimbangan adanya berbagai gejala
peristiwa manusia atau alam yang
kurang menguntungkan bagi kehidupan
(R. A. Maharkesit, 1988/1989: 29).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Temuan Hasil Penelitian yang
Dihubungkan dengan Kajian Teori
a. Waktu
Pelaksanaan
Suran
Sendang Sidukun di Desa Traji
Kebudayaan bagi masyarakat
Indonesia merupakan suatu hal yang
melekat dan sudah mendarah daging.
Kebudayaan erat kaitanya dengan
tradisi yang mengandung ritual dan
upacara adat yang biasanya dalam
prosesi
pelaksanaannya
sudah
dipersiapkan jauh-jauh hari dan bersifat
masal dengan gotong-royong. Salah
satunya adalah tradisi Suran, secara
historis dan persepsi orang Jawa 1 (satu)
Sura khususnya dan bulan Sura
umumnya merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari sistem nilai dan
keyakinan orang Jawa, terutama
pandangan sebagian besar orang Jawa
terhadap sifat wingit dan sakral bulan
Sura. Ada keyakinan bahwa bulan Sura
sebagai bulan instropeksi diri menjadi
pantangan untuk menyelenggarakan
hajat seperti perkawinan, khitanan, dan
kegiatan lain yang berkaitan dengan
upacara siklus kehidupan. Gejala ini
berlaku bagi sebagian besar orang Jawa
yang masih kental dengan budaya
tradisi, sedangkan bagi orang Jawa yang
Prof. DR. Koentjaraningrat
mengungkapkan bahwa “Khusus untuk
gotong-royong
ialah
pengerahan
tenaga tanpa bayaran untuk suatu
proyek yang bermanfaat untuk umum.
Aktifitas gotong-royong sendiri meliputi
bidang ekonomi dan mata pencaharian
hidup,
bidang
teknologi,
dan
perlengkapan
hidup,
bidang
kemasyarakatan, bidang religi atau
kepercayaan
yang
ada
dalam
masyarakat”.
METODE PENELITIAN
Model
penelitian
kualitatif
deskriptif menghasilkan data deskriptif
yang merupakan rinci dari suatu
fenomena yang diteliti.
Penelitian kualitatif digunakan
untuk memberikan keterangan yang
jelas mengenai tradisi Suran sendang
347
memiliki keyakinan agama Islam yang
kuat atau kalangan santri, bulan Sura
dianggap sama dengan bulan yang lain.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
beberapa
informan
maka
dapat
diketahui bahwa pelaksanaan tradisi
Suran sendang Sidukun di Desa Traji,
Kecamatan
Parakan,
Kabupaten
Temanggung 1 (satu) kali dalam satu
tahun yaitu dimulai dari tanggal 1 (satu)
hari Sabtu Wage hingga 3 (tiga) hari
kedepan pada tahun baru Hijriyah bulan
Muharram dalam kalender Islam, bulan
Sura dalam kalender Jawa, di tahun
2016 jatuh pada bulan Oktober pada
kalender Masehi, tepatnya hari Minggu
Kliwon (pasaran Jawa) tanggal 2 (dua)
Oktober 2016.
Sidukun sejauh 500 m di mana prosesi
upacara Suran tersebut berlangsung.
(Wawancara/Hadi
Waluyo
(54)/06/01/2017)
Setelah prosesi upacara ritual
selesai pukul 21.00 WIB, maka kepala
desa,
istri
beserta
rombongan
meninggalkan lokasi sendang Sidukun.
Rombongan pulang ke balai desa Traji,
dalam perjalanan pulang ibu kepala
desa membeli jajanan di setiap penjual
yang berjajar menjajakan dagangannya
di sepanjang jalan Desa Traji dengan
menggunakan uang koin Rp. 500. 00
yang dibeli pun beragam, semua yang
dijajakan di pinggir jalan ketika tradisi
Suran sendang ini digelar dibeli semua
oleh ibu kepala desa, ada makanan,
mainan, bahkan pakaian, bagi pedagang
yang percaya jualannya akan laris jika
koin Rp. 500. 00 itu disimpan.
Sesampainya di balai desa dilanjutkan
dengan acara malam tirakatan, dalam
pandangan orang Jawa, bulan Sura
adalah bulan yang penuh keprihatinan.
Pergantian tahun baru Jawa dianggap
masa gawat dan genting. Oleh karena
itu cara menghadapinya juga dilakukan
dengan berbagai macam laku ritual dan
berlangsung di tempat tertentu yang
dianggap akan memberi berkah atau
tuah. Malam 1 (satu) Sura oleh
masyarakat Jawa diyakini sebagai
waktu yang tepat untuk menjalankan
laku ritual agar dalam hidupnya
mendapat keselamatan. Ketidakpastian
hidup merupakan dasar pertimbangan
manusia untuk senantiasa mawas diri
dan seraya memohon perlindungan atau
pertolongan kepada Sang Pencipta
melalui caranya sendiri-sendiri yang
bersifat spiritual. Laku spiritual, yaitu
berupa kegiatan tirakatan, dilakukan
secara individu atau secara kelompok
masal seperti yang dilakukan di balai
desa Traji. Dan selanjutnya pada hari
Minggu Kliwon (pasaran Jawa) tanggal
2 (dua) Oktober 2016 diadakan
pagelaran wayang kulit semalam suntuk
dengan lakon yang telah disepakati
b. Bentuk Upacara dan Prosesi
Pelaksanaan
Suran
Sendang
Sidukun
Tradisi Sura di Desa Traji
memiliki keunikan di mana setiap tahun
saat peringatan Sura, kepala desa dan
istri didandani layaknya pengantin. Hal
ini memiliki makna bahwa kepala desa
adalah sebagai pemimpin, di kalangan
masyarakat Jawa pemimpin identik
dengan raja, maka sang kepala desa
beserta istri harus berpakaian layaknya
raja dengan mengenakan pakaian
pengantin, karena filosofi warga
setempat pakaian raja seperti pakaian
pengantin adat Jawa. Gaya pakaiannya
pun tidak sembarangan, karena pakaian
pengantin yang dikenakan kepala desa
beserta istri, dan pakaian yang
dikenakan oleh peserta kirab sudah
ditentukan
sejak
dulu
bergaya
Yogyakarta. Gaya Yogyakarta dipilih
berdasarkan latar belakang sejarah
Kabupaten Temanggung yang tidak
lepas dari pengaruh Kerajaan Mataram
kala itu. Yang nantinya sang kepala
desa beserta istri dan para warga
masyarakat yang didaulat berbusana
adat Jawa diarak/dikirabkan bersama
gunungan hasil bumi dan sesaji dari
balai desa sampai lokasi sendang
348
bersama, kebetulan pada peringatan
Suran sendang Sidukun tahun 2016
mengusung lakon “banjaran”, lakon
banjaran dipilih karena ada keterkaitan
nilai spiritual 1 (satu) Sura dengan laku
prihatin, tradisi upacara, dan mawas diri
guna mencapai keseimbangan hidup
mikro kosmos dan makro kosmos.
Disamping itu ajaran budaya Jawa
sebagaimana tercermin dalam laku
prihatin 1 (satu) Sura dan nilai etika
moral dalam wayang, tampaknya tetap
mendasari etika hidup orang Jawa,
artinya laku ritual (prihatin) dan etika
moral wayang masih relevan dengan
kondisi kebutuhan hidup masyarakat
Jawa pada zaman sekarang ini.
(Wawancara/Sulasmono
(69)/14/01/2017)
d. Pemaknaan Nilai Gotong-Royong
Pada Tradisi Suran Sendang
Sidukun
Sistem “anda usuk” (gotongroyong) yang berjalan di masyarakat
Desa Traji pada khususnya dan di Jawa
pada umumnya ini merupakan salah
satu contoh yang dapat menambah bukti
pembenaran dari pernyataan Durkheim.
Dimana Durkheim dalam Scott (1981:
255-256) menjelaskan bahwa paham
sepadan dalam kebersamaan ini
merupakan suatu prinsip moral umum
yang terdapat pada semua kebudayaan.
Bentuk saling bantu membantu berupa
gotong-royong di Jawa merupakan
contoh kebiasaan yang sangat teratur.
Kebiasaan ini ada kaitannya dengan
“resiprositas” (timbal balik), yaitu
prinsip moral yang mendasari kegiatan
sosial di desa baik dengan sesama
manusia, alam, leluhur ataupun Tuhan
secara suka rela. Kekerasan simbolis
dalam hal pelaksanaan tradisi Suran
sendang Sidukun terwujud dalam
bentuk keharusan untuk bergotongroyong, tanpa memperdulikan pekerjaan
ataupun kegiatan pribadi masyarakat
Desa Traji. Sanksi bagi mereka yang
tidak konsisten dalam pelaksanaan
gotong-royong dalam sistem tradisi
Suran sendang Sidukun ini sifatnya
intrinsik yang tidak kelihatan, kasat
mata, tidak berupa sanksi yang
diberikan secara langsung maupun
tertulis, namun menyakitkan.
c. Arti Penting Tradisi Suran
Sendang
Sidukun
Bagi
Kehidupan Masyarakat Desa
Traji
Bagi masyarakat Desa Traji
tradisi Suran sendang Sidukun yang
telah berjalan sejak dahulu ini
merupakan aktivitas yang dianggap
penting, karena merupakan adat
kebiasaan tahunan masyarakat dalam
berkehidupan.
Berkehidupan
bagi
masyarakat Desa Traji tidak hanya
sebatas interaksi dengan sesama
manusia tetapi juga berelasi dengan
alam, dan Tuhan/leluhur. Hal ini
menjadi
kebiasaan
yang
rutin
dilaksanakan oleh masyarakat tiap
tahunnya. Apabila tradisi Suran sendang
Sidukun dilaksanakan dan telah menjadi
kebiasaan tentunya di dalam sistem
kemasyarakatan juga terdapat berbagai
hal, baik yang disadari maupun yang
tidak, yang diketahui dan dipahami oleh
setiap masyarakat sebagai upaya
pelestarian, termasuk di dalamnya
adalah nilai sosial kemasyarakatan
gotong-royong.
KESIMPULAN
Tradisi Suran sendang Sidukun
di Desa Traji merupakan upacara
memperingati datangnya tahun baru
Islam Hijriyah, bulan Muharram dalam
kalender Islam, bulan Sura dalam
penanggalan Jawa. Tradisi ini di
langsungkan di suatu sendang yang
bernama Sidukun setiap 1 (satu) tahun
sekali ketika malam tanggal 1 (satu)
Sura, prosesi upacara tradisinya
349
berlangsung sampai 3 (tiga) hari 3 (tiga
malam).
Keunikan
dari
tradisi
memperingati datangnya bulan Sura di
tempat ini yaitu dilakukan di suatu
sendang yang bernama Sidukun alasan
prosesi upacara tradisi di tempat
tersebut karena sudah menjadi adat
tradisi dan dikeramatkan oleh warga
masyarakat sejak dahulu, kemudian
dalam posesi Suran ini kepala desa dan
istri didandani selayaknya pengantin
adat Jawa dengan makna seorang kepala
desa merupakan pemimpin, dan
pemimpin dalam anggapan orang Jawa
adalah seorang Raja, raja identik dengan
pakaian
adat
kebesaran
seperti
pengantin. Dengan mengenakan pakaian
pengantin adat Jawa Yogyakarta beserta
istri dan warga yang didaulat
mendampingi, kepala desa beserta istri
dikirab bersamaan dengan aneka macam
sesaji, gunungan hasil bumi dari balai
desa menuju sendang Sidukun sejauh
500 m di mana upacara tradisi Suran
sendang itu dilangsungkan. Nilai
gotong-royong merupakan landasan
utama terlaksananya prosesi upacara
tradisi
Suran
sendang
Sidukun,
disamping itu sistem “anda usuk”
(gotong-royong)
sudah
menjadi
kesepakatan bersama, juga terdapat
pamrih dari setiap individu masyarakat
dalam melakukan kegiatan gotongroyong memperingati datangnya bulan
Sura tersebut. Beberapa arti penting
pamrih yang ada dalam diri masyarakat
dalam
melakukan
gotong-royong
tersebut seperti, pamrih mendapatkan
timbal balik oleh leluhur atau Sang
Pencipta dalam suka rela melakukan
gotong-royong
menggelar
Suran
sendang Sidukun, kekerasan simbolik
dalam undangan melakukan gotongroyong bukan semata-mata paksaan
tetapi mengandung pamrih sebagai
sarana pelestariaan kebudayaan lokal,
pamrih mendapatkan apresiasi dari
semua warga masyarakat Desa Traji
dengan tujuan tidak mendapat sanksi
sosial dalam kehidupannya.
SARAN
Dalam
menjaga
dan
melestarikan
tradisi
kebudayaan
khususnya tradisi Suran sendang
Sidukun di Desa Traji, Kecamatan
Parakan,
Temanggung,
disamping
menggelar tradisi upacara setiap
tahunnya
juga
harus
memperkenalkannya sejak dini kepada
generasi muda. Hendaknya pemerintah
mengambil sikap dan upaya untuk ikut
melestarikan budaya lokal tersebut
dengan memasukan unsur tradisi
kebudayaan lokal seperti tradisi Suran
sendang Sidukun ini ke dalam ulasan
mata pelajaran di sekolah baik di mata
pelajaran sejarah Sekolah Menengah
Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah
Atas (SMA) maupun di pelajaran
bahasa Jawa di semua tingkat
pendidikan dari SD-SMA, yang disisi
lain menjadi aset kebudayaan bangsa
Indonesia dan salah satu identitas
Kabupatn
Temanggung.
Dengan
diperhatikannya tradisi ini juga dapat
berpotensi menjadi daya tarik wisata
religi sehingga akan meningkatkan
pendapatan daerah.
Kepada masyarakat Desa Traji
pada khususnya dalam prosesi tradisi
Suran sendang Sidukun hendaknya
harus tetap mempertahankan sistem
gotong-royong, karena gotong-royong
merupakan identitas moral bangsa
Indonesia yang tidak dimiliki oleh
bangsa lain di dunia, disamping itu
gotong-royong adalah sistem sosial
kemasyarakatan
yang
dapat
mempersatukan perbedaan.
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, James. 1991. Foklor
Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng,
dll. Jakarta: PT. Pustaka Utama
Grafiti.
Djamari. 1993. Ritus-Ritul Tradisi
Jawa. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
350
Endraswara, Suwardi. 2006. Metode,
Teori,
Teknik,
Penelitian
Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama.
Rochani, Siti. 2003. Psikologi Sosial.
Surakarta: UNS Press.
Sagimun. 1980. Sistem Gotong Royong
Dalam
Masyarakat
Desa
Daerah
Jawa
Tengah.
Semarang: IDKD Jawa Tengah.
Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri,
Priyayi Dalam Masyarakat
Jawa. Jakarta: PT. Dunia
Pustaka Jaya
Saifuddin, Fedyani Achmad. 2005.
Antropologi Kontemporer Suatu
Pengantar Kritis Mengenai
Paradigma. Jakarta: Kencana
Press.
Herusatoto, Budiono. 2008. Simbolisme
Jawa. Yogyakarta: Ombak.
Kaplan, David dan Albert A. Manners.
2000.
Teori
Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sapardi. 2000. Antropologi Budaya.
Tanjung Pura: DIP Tanjung Pura
Press.
Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan
Kebudayaan
di
Indonesia.
Jakarta: Djambatan.
Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi
Pedesaan. Yogyakarta: Pustaka
Umum.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan
Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia.
Soetopo, H. B. 2002. Metode Penelitian
Kuantitatif. Surakarta: Sebelas
Maret University Press.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta: Rineka
Cipta.
Spradley, James P. 2006. Metode
Etnografi. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Mahasiswa Pasca Sarjana Sosiologi
UNS 2012. 2013. Pribadi dan
Masyarakat Jawa Masa Kini.
Yogyakarta:
Jogja
Global
Media.
Widiarto, Tri.
2003.
Pengantar
Sosiologi. Salatiga: Widya Sari
Press.
Widiarto, Tri. 2009. Psikologi Lintas
Budaya Indonesia. Salatiga:
Widya Sari Press.
Malinowski, Bronislaw. 1988. Tertib
Hukum Dalam Masyarakat
Terasing. Jakarta: Erlangga.
Maus, Marcel. 1992. Pemberian Bentuk
dan Fungsi Pertukaran di
Masyarakat Kuno. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Parson.
1951. Sambatan Dalam
Masyarakat Nusantara. Jakarta:
Kencana Press.
Purwadi. 2005. Upacara Tradisional
Jawa. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Resapandi, I Wayan Dana, Suradjinah,
Kasidi Hadiprayitno. 2005.
Suran Antara Kuasa dan
Ekspresi Seni. Yogyakarta:
Galang Press Pustaka Marwa.
351
352
Download