8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Apotek Apotek

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Apotek
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik
kefarmasian oleh apoteker (Depkes RI, 2014). Apotek merupakan tempat
pengabdian dan praktek profesi apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian
untuk membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat. Untuk menunjang fungsi tersebut apotek dituntut menyelenggarakan
pelayanan farmasi yang berkualitas (Hartini dan Sulasmono, 2006). Dalam
menjalani pekerjaan kefarmasian, apoteker dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian
yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan
Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker (Menkes RI, 2009).
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Depkes
RI, 2014).
Berdasarkan kewenangan pada peraturan perundang-undangan,
pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus
kepada pengelolaan obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan
komprehensif meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasin (Depkes RI, 2014). Pelayanan
kefarmasian yang dapat dijumpai di apotek adalah pelayanan dengan resep dan
tanpa resep atau dikenal sebagai swamedikasi.
8
Universitas Sumatera Utara
2.2 Pelayanan Swamedikasi
Pelayanan swamedikasi merupakan pelayanan terhadap pasien atau klien
yang datang dengan keluhan gejala yang timbul atau dengan meminta suatu
produk obat tertentu tanpa resep dari dokter. Swamedikasi berarti mengobati
segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obatan yang dibeli bebas di apotek
atau toko obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter (Indriyanti, 2009).
Pelayanan
swamedikasi
memiliki
persentase
yang
lebih
tinggi
dibandingkan pelayanan resep, yaitu antara 20–70%. Sekarang ini, masyarakat
akan berusaha mengatasi sendiri masalah kesehatannya yang sifatnya sederhana
dan umum diderita. Hal itu dilakukan karena pengobatan sendiri (swamedikasi)
dianggap lebih murah dan praktis. Kondisi seperti ini merupakan tantangan dan
kesempatan bagi pemerintah, para tenaga kesehatan dan institusi yang
menyediakan produk-produk untuk swamedikasi sehingga dapat mendukung
tindakan swamedikasi secara tepat, aman dan rasional (BPOM, 2004; Depkes RI,
2006; Rinukti, 2005).
Pada pelayanan swamedikasi terdapat beberapa profil pelayanan yang
diberikan oleh petugas apotek kepada pasien swamedikasi yang terdiri dari patient
assessment, rekomendasi, informasi obat dan informasi non farmakologi.
2.2.1 Patient assessment
Patient assessment merupakan suatu penilaian terhadap keadaan pasien
yang penting dilakukan untuk pertimbangan apoteker dalam penentuan
identifikasi pasien sebelum membuat sebuah rekomendasi. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pengambilan tindakan oleh apoteker sebelum konseling
yang dijadikan referensi untuk rekomendasi adalah sejarah pengobatan, obat
untuk siapa, umur pasien, penyebab sakit, durasi sakit, lokasi sakit, gejala sakit,
9
Universitas Sumatera Utara
pengobatan lain yang sedang digunakan, obat sejenis lainnya yang digunakan,
alergi obat, apakah pernah terjadi sakit seperti sebelumnya, gejala lain, dan
apakah sudah ke dokter (Chua, dkk., 2006).
Kemungkinan
pertanyaan
yang
bisa
ditanyakan
oleh
apoteker
diidentifikasi berdasarkan pada WWHAM (Who the patient?, What are the
symptoms?, How long have the symptoms been presents?, Action taken?,
Medication being taken?), ASMETHOD (Age/appearance, Self/someone else,
Medication, Extra medication, Time symptoms, History, Other accompanying
symptoms, Danger symptoms), SITDOWNSIR (Site/location, Intensity/severity,
Tipe/nature,
Duration,
Onset,
With
other
symptoms,
Annoyed
by,
Spread/radiation, Incidence, Relieved by), ENCORE (Explore, No medication
option, Care, Observe, Refer, Explain) (Blenkinsopp dan Paxton, 2002).
2.2.2 Rekomendasi
Rekomendasi merupakan saran menganjurkan yang diberikan oleh petugas
apotek kepada pasien swamedikasi yaitu dapat berupa rujukan ke dokter ataupun
rekomendasi obat. Petugas apotek harus dapat membedakan tingkat keseriusan
gejala penyakit yang timbul dan tindakan yang harus diambil sehingga dapat
memberikan saran berupa pemberian obat atau rujukan ke dokter. Rekomendasi
yang tepat dapat diberikan sesuai dengan patient assessment yang telah
ditanyakan oleh petugas apotek. Apoteker dapat memberi rekomendasi rujukan ke
dokter jika gejala penyakitnya berat atau parah (Blenkinsopp dan Paxton, 2002;
Chua, dkk., 2006).
Pada kasus diare, rujukan ke dokter diperlukan jika (Spruill dan William, 2008):
a. Nyeri perut yang hebat dan kram.
b. Feses berdarah.
10
Universitas Sumatera Utara
c. Dehidrasi (haus, mulut kering, lemas, urin berwarna pekat, jarang
buang air kecil, penurunan jumlah urin, kulit kering, nadi yang cepat,
napas cepat, kram otot, otot lemah).
d. Demam tinggi (lebih dari 38ºC).
e. Penurunan berat badan lebih dari 5% total berat badan.
f. Diare berlangsung lebih dari 48 jam.
2.2.3 Informasi obat
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,
dievaluasi secara kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan
obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat (Depkes RI, 2014).
Informasi obat yang diberikan pada pasien sekurang-kurangnya meliputi:
cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas
serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Adapun
informasi yang perlu disampaikan terkait penggunaan obat bebas atau obat bebas
terbatas antara lain (Menkes RI, 2004; Depkes RI, 2006):
a. Khasiat obat: Apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat
yang bersangkutan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan
kesehatan yang dialami pasien.
b. Kontraidikasi:
pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontraindikasi
dari obat yang diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontra
indikasi dimaksud.
c. Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu diberi
informasi tentang efek samping yang mungkin muncul, serta apa yang
harus dilakukan untuk menghindari atau mengatasinya.
11
Universitas Sumatera Utara
d. Cara pemakaian: cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada
pasien untuk menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup,
dioleskan, dimasukkan melalui anus, atau cara lain.
e. Dosis: sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, Apoteker dapat
menyarankan dosis sesuai dengan yang disarankan oleh produsen
(sebagaimana petunjuk pemakaian yang tertera di etiket) atau dapat
menyarankan dosis lain sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
f. Waktu pemakaian: waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan
jelas kepada pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan
tidur.
g. Lama penggunaan: lama penggunaan obat juga harus diinformasikan
kepada pasien, agar pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan
karena penyakitnya belum hilang, padahal sudah memerlukan pertolongan
dokter.
h. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya
pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu
bersamaan.
i. Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat.
j. Cara penyimpanan obat yang baik.
k. Cara memperlakukan obat yang masih tersisa.
l. Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak.
2.2.4 Informasi non farmakologi
Dalam pengobatan diare selain informasi mengenai obat, informasi non
farmakologi juga penting untuk diberikan oleh petugas apotek karena dapat
12
Universitas Sumatera Utara
menunjang keberhasilan terapi. Beberapa informasi non farmakologi terhadap
kasus diare yang dapat diberikan antara lain (Depkes RI, 2006):
a. Minum banyak cairan (air, sari buah, sup bening). Hindari alkohol,
kopi/teh, susu.
b. Hindari makanan padat atau makanlah makanan yang tidak berasa (bubur,
roti, pisang) selama 1–2 hari.
c. Minum cairan rehidrasi oral-oralit/larutan gula garam.
d. Cucilah tangan dengan baik setiap habis buang air besar dan sebelum
menyiapkan makanan.
e. Tutuplah makanan untuk mencegah kontaminasi dari lalat, kecoa dan
tikus.
f. Simpanlah secara terpisah makanan mentah dan yang matang, simpanlah
sisa makanan di dalam kulkas.
g. Gunakan air bersih untuk memasak.
h. Air minum harus direbus terlebih dahulu.
i. Jaga kebersihan lingkungan.
2.3 Obat
2.3.1 Definisi obat
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelediki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Depkes RI,
2014).
13
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Penggolongan obat
Obat dapat dibagi menjadi 6 golongan yaitu (Menkes RI, 1990; Menkes
RI, 1993; Menkes RI, 1999; Depkes RI, 2006) :
a. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa
resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah
lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh: parasetamol, vitamin.
b. Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras
tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai
dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat
bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.
Selain tanda khusus obat bebas terbatas, terdapat pula tanda peringatan.
Tanda peringatan ini diberikan karena hanya dengan takaran dan kemasan
tertentu obat ini aman dipakai untuk pengobatan sendiri. Tanda peringatan
berupa empat persegi panjang dengan huruf putih pada dasar hitam yang
terdiri dari enam macam, yaitu:
14
Universitas Sumatera Utara
Contoh: CTM, antimo
c. Obat Keras
Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep
dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam
lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh: asam mefenamat, tetrasiklin, sefalosporin, dsb.
d. Obat Wajib Apotek (OWA)
15
Universitas Sumatera Utara
Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker
kepada pasien di apotek tanpa resep dokter.
Sampai saat ini terdapat tiga daftar obat yang diperbolehkan diserahkan
tanpa resep dokter. Peraturan mengenai Daftar Obat Wajib Apotek
tercantum dalam :
1) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 347/MenKes/SK/VII/1990
tentang Obat Wajib Apotek, berisi Daftar Obat Wajib Apotek No. 1
2) Peraturan
Menteri
Kesehatan
nomor
924/Menkes/Per/X/1993
tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 2
3) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176/Menkes/SK/X/1999
tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 3
Contoh: Asam mefenamat, salep hidrokortison, salep kloramfenikol.
e. Obat Psikotropika
Obat psikotropika adalah obat keras alamiah maupun sintetis bukan
narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku.
Contoh: diazepam, fenobarbital.
f. Obat Narkotika
Obat narkotika adalah obat keras yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan.
16
Universitas Sumatera Utara
Contoh: morfin dan petidin.
2.3.2 Penggunaaan obat swamedikasi
Dalam penatalaksanaan swamedikasi, masyarakat memerlukan pedoman
yang terpadu agar tidak terjadi kesalahan pengobatan (medication error).
Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai
pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat yang digunakan
dalam swamedikasi. Obat-obat yang dapat digunakan dalam swamedikasi adalah
obat-obat yang termasuk dalam golongan Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas dan
obat-obat dalam Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA) (Depkes RI, 1990; Depkes
RI, 2006).
Sebelum menggunakan obat, termasuk obat bebas dan bebas terbatas harus
diketahui sifat dan cara pemakaiannya agar penggunaannya tepat dan aman.
Informasi tersebut dapat diperoleh dari brosur dan etiket yang tertera pada
kemasan obat. Dalam menentukan jenis obat yang akan diberikan kepada pasien
swamedikasi ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu (Depkes RI, 2006):
a. Gejala atau keluhan penyakit.
b. Kondisi khusus misalnya hamil, menyusui, bayi, lanjut usia, diabetes
mellitus, dan lain-lain.
c. Riwayat alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat tertentu.
d. Pilihlah obat yang sesuai dengan gejala penyakit dan tidak ada
interaksinya dengan obat yang sedang diminum.
Pada pasien swamedikasi terdapat cara penggunaan obat yang harus diperhatikan
antara lain sebagai berikut (Depkes RI, 2006):
a. Penggunaan obat tidak untuk pemakaian secara terus menerus.
17
Universitas Sumatera Utara
b. Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau brosur.
c. Bila obat yang digunakan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan,
hentikan penggunaan dan tanyakan kepada apoteker dan dokter.
d. Hindarkan menggunakan obat orang lain walaupun gejala penyakit sama.
e. Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lebih lengkap,
tanyakan kepada apoteker.
2.4 Diare
2.4.1 Definisi diare
Diare (diarrheal disease) berasal dari kata diarroia (bahasa Yunani) yang
berarti mengalir terus. Diare adalah suatu keadaan kehilangan banyak cairan dan
elektrolit melalui tinja, sehingga terjadi perubahan konsistensi tinja (lembek atau
cair). Diare juga dapat didefinisikan sebagai kondisi meningkatnya frekuensi
buang air besar (BAB) dan menurunnya konsistensi feses dibandingkan pada
individu dengan kondisi saluran pencernaan yang normal. Diare yang hanya
sekali-sekali tidak berbahaya dan biasanya sembuh sendiri, tetapi diare yang berat
bisa menyebabkan dehidrasi dan bisa membahayakan jiwa (Depkes RI, 2006;
Gishan, 2003; Spruill dan William, 2008).
Diare akut adalah diare yang terjadi secara mendadak yang terjadi pada
bayi dan anak yang sebelumnya sehat dan berlangsung kurang dari 14 hari,
sedangkan diare kronis adalah diare yang berlangsung terus menerus selama lebih
dari 2 minggu. Diare secara umum terbagi atas tiga karakteristik yaitu: akut cair,
persisten dan disentri. Diare cair akut adalah diare yang berlangsung secara tibatiba selama kurang dari 14 hari. Persisten diare apabila terjadi lebih dari 14 hari,
yang secara umum diikuti kehilangan berat badan secara signifikan dan masalah
18
Universitas Sumatera Utara
nutrisi, sedangkan disentri adalah diare disertai darah pada feses (Partawihardja,
1990; WHO, 2005).
2.4.2 Manifestasi klinis
Pada bayi atau anak terlihat tanda dan gejala berupa gelisah, mudah
menangis, suhu badan mungkin meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada,
kemudian timbul diare. Feses berbentuk cair, mungkin disertai lendir dan darah.
Warna feses dapat berubah kehijauan karena bercampur dengan empedu. Gejala
muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare. Bila penderita telah banyak
kehilangan cairan dan elektrolit maka terjadi gejala dehidrasi. Berat badan
penderita pun cenderung menurun, serta selaput lendir mulut dan bibir terlihat
kering (Ngastiyah, 2005).
2.4.3 Penyebab diare
Penyebab diare berupa infeksi masih merupakan masalah yang cukup
serius di negara berkembang, dan dapat berupa infeksi parenteral (infeksi jalur
napas, saluran kencing dan infeksi sistemik) maupun infeksi enteral (bakteri,
virus, dan parasit). Infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar
saluran pencernaan yang dapat menyebabkan diare seperti otitis media akut
(OMA), tonsilofaringitis, bronkopneumonia, dsb. Bakteri merupakan penyebab
terbesar pada diare akut. Jenis bakteri yang umumnya menjadi penyebab diare
antara lain Shigella, Salmonella, Campylobacter, Staphylococcus, dan Escherichia
coli. Virus penyebab diare antara lain virus Norwalk dan rotavirus, sedangkan
infeksi parasit yang menyebabkan diare antara lain ascaris, giardia lamblia,
candida albicans, dll. (Hassan, 2005; Spruill dan William, 2008).
Malabsorpsi juga merupakan salah satu faktor penyebab diare, yaitu
malabsorpsi karbohidrat (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), malabsorpsi
19
Universitas Sumatera Utara
protein, dan malabsorpsi lemak. Makanan basi, beracun atau mempunyai alergi
terhadap makanan tertentu juga dapat menjadi penyebab diare. Faktor psikologis
seperti rasa takut dan cemas walaupun jarang, dapat menimbulkan diare terutama
pada anak yang lebih besar. Penggunaan obat-obatan dapat menjadi penyebab
diare seperti obat anti inflamasi non steroid (AINS) yang memiliki efek samping
berupa diare (Goodman dan Gilman, 2001; Hassan, 2005).
2.4.4 Klasifikasi diare
Klasifikasi
diare
berdasarkan
mekanisme
patofisiologinya,
yaitu
(Sukandar, dkk., 2009):
a. Secretory diarrhea, terjadi ketika senyawa yang strukturnya mirip (contoh:
Vasocative Intestinal Peptide (VIP) atau toksin bakteri) meningkatkan
sekresi atau menurunkan absorpsi air dan elektrolit dalam jumlah besar.
b. Osmotic diarrhea, disebabkan oleh absorpsi zat-zat yang mempertahankan
cairan intestinal.
c. Exudative diarrhea, disebabkan oleh penyakit infeksi saluran pencernaann
yang mengeluarkan mukus, protein atau darah ke dalam saluran
pencernaan.
d. Motilitas usus dapat berubah dengan mengurangi waktu kontak di usus
halus, pengosongan usus besar yang prematur dan pertumbuhan bakteri
yang berlebihan.
2.4.5 Terapi farmakologi
Menurut Spruill dan William (2008), terapi farmakologi pada diare terdiri
dari antimotilitas, adsorben, antisekresi, antibiotik, enzim, dan probiotik.
2.4.5.1 Opiat dan turunannya
20
Universitas Sumatera Utara
Opiat dan turunannya berfungsi sebagai (a) menunda transit isi
intraluminal atau (b) meningkatkan kapasitas saluran cerna, memperpanjang
waktu kontak dan absorpsi. Keterbatasan penggunaan opiat adalah potensi
terjadinya adiksi dan memperburuk penyakit pada diare yang disebabkan oleh
infeksi (Spruill dan William, 2008). Contoh produk: Lopamid®, Imodium®,
Lodia®, Diasec®, dan lain-lain (MIMS, 2013).
2.4.5.2 Adsorben
Adsorben bekerja secara tidak spesifik dengan menyerap nutrisi, toksin,
maupun obat. Pemberian bersama dengan obat lain akan mengurangi
bioavailibilitasnya (Spruill dan William, 2008). Contoh produk: Biodiar®, New
Diatabs®, Entrostop®, dan lain-lain (MIMS, 2013).
2.4.5.3 Antisekresi
Bismut subsalisilat sering digunakan untuk pengobatan atau pencegahan
diare dan memliki efek antisekresi, antiinflamasi, dan antibakteri. Bismut
subsalisilat dapat meringankan keram perut dan mengontrol diare. Oktreotid
adalah antisekresi yang digunakan selama diare berat disebabkan kemoterapi
kanker, HIV, diabetes, gangguan lambung, dan tumor gastrointestinal (Spruill dan
William, 2008). Contoh produk: Stobiol® (MIMS, 2013).
2.4.5.4 Produk lain
Sediaan
lactobacillus
seperti
Lactinex®
adalah
probiotik
yang
mengandung bakteri atau khamir (yeast) yang digunakan untuk menormalkan
fungsi pencernaan dan menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen pada
saluran pencernaan. Selain itu atropin juga dapat membantu memperpanjang
transit usus (Spruill dan William, 2008). Contoh produk: L-Bio®, Lacto-B®,
Probiokid®, dan lain-lain (MIMS, 2013).
21
Universitas Sumatera Utara
2.4.6 Terapi non farmakologi
Selain terapi farmakologi terdapat pula terapi non farmakolgi yang penting
dianjurkan oleh petugas apotek terhadap pasien swamedikasi sehingga hasil terapi
yang optimal dapat diperoleh. Menurut Spruill dan William (2008), terapi non
farmakologi pada diare terdiri dari perubahan pola makan dan pemberian cairan
dan elektrolit.
2.4.6.1 Perubahan pola makan
Kebanyakan klinisi menganjurkan untuk tidak mengonsumsi makanan
padat dan produk yang mengandung susu selama 24 jam. Bagi pasien diare yang
mengalami mual dan muntah dianjurkan mengonsumsi makanan yang bertekstur
lembut dan mudah dicerna selama 24 jam. Pemberian makanan harus tetap
diberikan kepada pasien anak dengan diare akut (Spruill dan William, 2008).
2.4.6.2 Cairan dan elektrolit
Pada pasien diare, rehidrasi dan penyeimbangan cairan dan elektrolit
merupakan tujuan terapi paling utama yang dilakukan hingga diare berhenti. Rute
parenteral dan enteral dapat digunakan untuk memberikan cairan dan elektrolit.
Cairan rehidrasi oral sangat direkomendasikan untuk mengatasi dehidrasi berat.
Pada negara berkembang, World Health Organization Oral Rehydration Solution
(WHO-ORS) berhasil menyelamatkan jutaan anak akibat diare setiap tahunnya
(Spruill dan William, 2008).
22
Universitas Sumatera Utara
Download