Kami Segenap Tim Redaksi Al-Falah SMK Muhammadiyah 1

advertisement
ia lebih menuruti ibunya daripada bapaknya.
Bersamaan dengan itu sang anak menganggap
bapaknya sebagai musuh. Jika sang anak berakal,
niscaya dia akan menyimpulkan bahwa sang ibu
merupakan musuh sesungguhnya dalam wujud
teman dekat. Karena larangan sang ibu untuk
berbekam akan menggiringnya kepada penyakit
yang lebih besar dibandingkan sakit karena
berbekam. Karena itu, teman yang jahil lebih
berbahaya dari seorang musuh yang berakal.
SMK MUHAMMADIYAH 1
SUKOHARJO
Dan setiap orang menjadi teman dirinya sendiri,
akan tetapi nafsu merupakan teman yang jahil.
Nafsu akan berbuat pada dirinya apa yang tidak
diperbuat oleh musuh.” [Minhajul Qashidin hal
281-282 (dalam A sySyariah)]. Wallohu ta’ala
a’lam bish-showab.
Edisi III/ 15 Mei 2015
Menjaga Nikmat dengan Syukur
TIM Redaksi
Pelindung
Drs.H.Mustadjab,M.Pd
Pembina
Taofik Ridwan,S.Pd
Kami Segenap Tim Redaksi Al-Falah
Ah Zanin Nu’man,M.Pd.I
SMK Muhammadiyah 1 Sukoharjo
Rendi Dwi Santoso
mengucapkan Selamat dan Sukses atas Kelulusan
Rubyanto Prabowo
Siswa-Siswi Kelas XII
SMK Muhammadiyah 1 Sukoharjo
2014/2015
Ketua Umum
Ketua Redaksi
Editor
Ah. Zanin Nu’man,M.Pd.I
Supriyono,S.Pd
Layout
Galih Aditya Putra
Distributor
Firman Priyanto
INFO : Bagi antum yang mengaku siswa SMK MUTUHARJO silahkan kirimkan tulisan antum ke
Redaksi kami, apabila tulisan antum dimuat maka, akan mendapatkan SESUATU dari redaksi.
E-mail : [email protected], BBM : 3258D25C, Hp : 087812848308, Facebook : Facebook.com/
pripmsmkmutuharjo
Wahai saudaraku, dalam perjalanan hidup kita sampai detik ini,
mungkin kita pernah merasakan akan adanya nilai atau harga dari sesuatu hal
saat sesuatu itu sudah tidak ada. Saat sesuatu itu masih ada, seringkali kita
menganggapnya biasa atau bahkan menyia-nyiakannya. Dan saat sesuatu itu
sudah tidak ada atau hilang dari diri kita, baru kita bisa merasakan betapa
bernilai dan berharganya sesuatu itu bagi diri kita.
Nikmat sehat misalnya, saat kita masih memiliki tubuh yang sehat
mungkin kita menganggap kesehatan itu sebagai nikmat yang biasa dan kadang
tidak menghargainya. Namun berbeda saat nikmat sehat itu mulai berkurang
dari diri kita atau saat kita ditimpa suatu penyakit, kita baru menyadari betapa
besarnya nikmat sehat itu bagi kita.
Di dalam Islam, Allah mengajarkan agar kita senantiasa mensyukuri
setiap nikmat dan karunia yang Allah berikan kepada kita. Allah subhanahu wa
ta'ala berfirman:
Ibrohim Munib,S.Pd.I
Muhammad Tafrikhan
Semoga Ilmunya Bermanfa’at
(oleh: Arif Rohman, S.Pd.I)
(Guru Al-Islam dan Kemuhammadiyahan)
Danil Rizal Iransyah
“Dan (ingatlah juga) tatkala Rabb-mu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika
kamu bersyukur,pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmatKu), sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”. (Q.S Ibrahim
(14) ayat 7)
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam juga pernah memuji
keistimewaan seorang mukmin dalam menyikapi segala kebaikan Allah
subhanahu wa ta'ala dengan penuh rasa syukur. Beliau shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:
“Sungguh ajaib perkara seorang mukmin itu. Sesungguhnya segala sesuatu
baginya adalah kebaikan. Dan tidak-lah yang
demikian itu berlaku pada seseorang kecuali orang
-orang mukmin. Jika menda-patkan kelapangan ia
bersyukur, dan itu kebaikan baginya. Dan jika
mendapatkan kesu-karan ia bersabar, dan itu pun
kebaikan baginya.” (HR. Muslim, no. 2999 dari
Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu).
Seorang mukmin bisa bersikap ajaib
seperti itu karena dia tidak menjadikan dunia ini
sebagai tolak ukur utama sebuah kesuksesan dan
kebahagiaan. Saat mereka ditimpa suatu musibah
mereka bisa bersikap sabar karena memang dia bisa
memahami bahwa itu adalah ujian yang datang dari
Allah dan hal itu tidak hanya menimpa dirinya
seorang. Selain itu mereka tahu bahwa Allah tidak
akan memberikan ujian kepada hamba-Nya
melebihi batas kemampuannya. Sebagaimana
firman Allah subhanahu wa ta'ala di dalam:
“Allah tidak akan membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya…” (Q.S al-Baqarah
(2) ayat 286)
Dan memang segala bentuk kesusahan dan
kegundahan yang menimpa umat manusia di dunia
ini mempunyai batas akhir, sebagaimana dunia ini.
Dan saat seorang mukmin mendapat suatu
nikmat dan karunia dari Allah subhanahu wa
ta'ala mereka akan senantiasa mensyukuri nikmat
itu. Mereka paham bahwa nikmat itu tidak akan
mengekalkannya dan Allah bisa saja mencabut
nikmat itu kapan saja. Jadi seorang mukmin akan
benar-benar mempergunakan nikmat dan karunia
yang Allah berikan itu dengan sebaik-baiknya.
Renungkanlah apa yang dipaparkan oleh ummul
mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha (dalam
riwayat Bukhori nomor 1062), yang melihat Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam mendirikan
sholat malam sampai kakinya bengkak, hal itu
dilakukan sebagai bentuk rasa syukur beliau
shallallahu 'alaihi wasallam.
Begitulah seorang mukmin bersyukur.
Karunia Allah subhanahu wa ta'ala yang begitu luas
itu akan ia gunakan untuk mengabdi dengan sebaikbaik pengabdian seorang hamba kepada Khaliq-nya.
Yakni dengan banyak berdoa kepada Allah di kala
lapang maupun sempit dan beribadah dengan sebaikbaik ibadah.
Rasa syukur itulah yang akan
membuatnya memperoleh kedamaian hati, yaitu saat
mereka bisa bersyukur atas
limpahan nikmat
karunia-Nya. Dan juga membuahkan keutamaan
besar yang akan ia raih di negeri akhirat kelak.
Ada satu kaidah yang perlu dipahami
bersama dalam hidup ini. Dalam hal akhirat (ilmu
dan iman) kita harus memandang ke atas (fi umurilakhiroh naro ilal a’la), agar kita senantiasa menjadi
hamba Allah yang tawadhu’ (rendah hati) dan
senantiasa memperbaiki diri. Namun dalam hal
keduniawian, kita harus memandang ke bawah (fi
umurid-dunya naro ila adna), agar kita senantiasa
menjadi hamba Allah yang bersyukur, dan tidak lalai
kepada asal muasal nikmat itu berasal.
Renungkanlah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam berikut:
“Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan
jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena
yang demikian lebih patut, agar kalian tidak
meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan
kepadamu” (HR al-Bukhari no. 6490, dari sahabat Abu
Hurairah radhiyallahu anhu).
Wahai saudaraku, ketahuilah, bahwa rasa
syukur kita kepada Allah subhanahu wa ta'ala
menyebabkan terjaganya nikmat-nikmat yang sudah
kita miliki, dan menyebabkan datangnya nikmatnikmat Allah yang lain. Dan sebagaimana dijelaskan
oleh Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam kitab beliau Madarijus Salikin (1998), bahwa syukur itu baru
bisa terwujud jika dibangun oleh lima sendi: Orang
yang bersyukur tunduk kepada yang disyukuri,
mencintai-Nya, mengakui nikmat-Nya, memuji-Nya
karena nikmat itu, dan tidak menggunakan nikmat itu
untuk sesuatu yang dibenci-Nya.
Selain berbagai keutamaan tentang syukur
yang dipaparkan di atas, kita juga harus memahami
tentang akibat sifat kufur terhadap nikmat Allah subhanahu wa ta'ala. Sifat kufur terhadap nikmat Allah
akan mengakibatkan pelakunya berada pada satu dari
dua keadaan. Kemungkinan yang pertama, Allah akan
mencabut nikmat itu darinya dan kemungkinan yang
kedua, sifat kufur itu akan menambah berat siksanya di
akhirat kelak.
Wallahul musta’an. Tentunya kita tidak ingin terjatuh
ke dalam salah satu dari keadaan tersebut.
Wahai saudaraku, ada satu lagi yang harus
kita pahami. Bahwa nikmat terbesar yang Allah subhanahu wa ta'ala berikan kepada hamba-Nya adalah
nikmat ber-Islam, yang dengannya kita bisa merasakan
nikmat yang lain secara hakiki, nikmat Allah yang bisa
mengantarkan kita ke surga, jadi kita harus bersyukur
dengan menjaganya. Dan kufur nikmat adalah salah
satu penyebab tercabutnya nikmat, membuat dada
menjadi sesak dan hati menjadi resah, serta menambah
berat siksa di akhirat kelak, jadi kita harus menjauhinya.
Untaian Indah Ibnu Qudamah
Sebagai penutup, berikut penulis nukilkan
untaian indah dari seorang ulama besar dari Palestina,
Ibnu Qudamah rahimahullahu ta’ala. Beliau pernah
menyampaikan untaian yang begitu indah tentang
sifat syukur, beliau mengatakan:
“Ketahuilah bahwa segala yang dicari oleh setiap
orang adalah nikmat. Akan tetapi kenikmatan
yang hakiki adalah kebahagiaan di akhirat kelak
dan segala nikmat selainnya akan lenyap. Semua
perkara yang disandarkan kepada kita ada empat
macam:
Pertama: Sesuatu yang bermanfaat di dunia dan
di akhirat seperti ilmu dan akhlak yang baik.
Inilah kenikmatan yang hakiki.
Kedua: Sesuatu yang memudaratkan di dunia
dan di akhirat. Ini merupakan bala’ (kerugian)
yang hakiki.
Ketiga: Bermanfaat di dunia akan tetapi
memudaratkan di akhirat seperti berlezat-lezat
dan mengikuti hawa nafsu. Ini sesungguhnya
bala bagi orang yang berakal, sekalipun orang
jahil menganggapnya nikmat. Seperti seseorang
yang sedang lapar lalu menemukan madu yang
bercampur racun. Bila tidak mengetahuinya, dia
menganggap
sebuah
nikmat
dan
jika
mengetahuinya dia menganggapnya sebagai
malapetaka.
Keempat: Memudaratkan di dunia namun akan
bermanfaat di akhirat sebagai nikmat bagi orang
yang berakal. Contohnya obat, bila dirasakan
sangat pahit dan pada akhirnya akan
menyembuhkan (dengan seizin Allah subhanahu
wa ta'ala).
Seorang anak bila dipaksa untuk meminumnya
dia menyangka sebagai malapetaka dan orang
yang berakal akan menganggapnya sebagai
nikmat. Demikian juga bila seorang anak butuh
untuk dibekam, sang bapak berusaha menyuruh
dan memerintahkan anaknya
untuk melakukannya. Namun sang anak tidak
bisa melihat akibat di belakang yang akan
muncul berupa kesembuhan.
(Begitupun) sang ibu akan berusaha mencegah
karena cintanya yang tinggi kepada anak tersebut
karena sang ibu tidak tahu tentang maslahat yang
akan muncul dari pengobatan tersebut. Sang anak
menuruti apa kata ibunya. Hal ini disebabkan
oleh ketidaktahuannya sehingga
Download