i BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia
adalah
salah
satu
negara
yang
memiliki
kekayaan
keanekaragaman spesies primata, dimana 20% spesies primata dunia dapat
ditemukan di negara kepulauan ini. Salah satu dari spesies primata tersebut adalah
orangutan, satu-satunya spesies kera besar yang dapat ditemukan di bagian Asia
(Supriatna dan Wahyono, 2000). Secara umum, orangutan di Indonesia tersebar di
Pulau Borneo dan Sumatera, dengan spesies yaitu Pongo pygmaeus di Borneo dan
Pongo abelii di Sumatera. Orangutan di Borneo terbagi menjadi 3 subjenis, yaitu:
Pongo pygmaeus pygmaeus, Pongo pygmaeus wurmbii, dan Pongo pygmaeus
morio. Total populasi orangutan di Borneo saat ini sekitar 55.000 individu. Dari 3
sub-jenis orangutan yang ada di Borneo, 2 sub-jenis ditemukan hidup di
Kalimantan Barat, yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus dan Pongo pygmaeus
wurmbii (Magdalena, 2014). Menurut Collinge (1993) dan Meijaard et al. (2001),
populasi orangutan pada jaman pleistosen sebenarnya tersebar luas di dataran
Cina, Asia Tenggara hingga di Pulau Jawa. Namun, pada masa sekarang populasi
orangutan yang tersisa hanya terdapat di Pulau Sumatra dan Kalimantan (Rowe,
1996 ; Groves, 1999 ; Supriatna dan Wahyono, 2000). Saat ini populasi orangutan
di habitatnya mengalami penurunan drastis, diperkirakan dalam 10 tahun terakhir
populasi tersebut telah menyusut mencapai 50% (Primack et al., 1998). Penyebab
utama terjadinya penyempitan daerah sebaran populasi orangutan adalah karena
faktor manusia dan orangutan menyukai tempat hidup yang sama.
i
Tempat tersebut berupa dataran alluvial di sekitar daerah aliran sungai dan
hutan rawa gambut. Pemanfaatan lahan tersebut untuk aktivitas sosial, ekonomi,
dan budaya manusia umumnya berdampak buruk bagi orangutan. Primata
merupakan golongan hewan yang memiliki karakteristik secara fisiologi dan
genetik seperti halnya manusia. Hal ini mengakibatkan spesies tersebut rentan
terhadap virus, bakteri, fungi, protozoa, helminth, dan ektoparasit yang berpotensi
menular secara luas diantara spesies tersebut (Wolfe et al., 1998; Departemen
Kehutanan, 2009). Soehartono et al. (2007) menambahkan bahwa habitat
orangutan telah menyusut sebanyak 80% dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.
Perubahan habitat menyebabkan ketidakmampuan orangutan beradaptasi terhadap
perubahan tersebut sehingga memicu timbulnya berbagai penyakit yang
merupakan salah satu ancaman bagi orangutan.
Wahyuni (1999) melaporkan bahwa gangguan saluran pencernaan
merupakan masalah yang paling sering ditemukan pada satwa primata. Gangguan
ini biasanya ditandai dengan gejala diare dan salah satu penyebabnya adalah
bakteri enteropatogen. Menurut Ministry of Health (2012), gangguan saluran
pencernaan atau yang dikenal sebagai gastroenteritis akut adalah kejadian diare
dan/atau muntah yang terjadi secara tiba-tiba dengan frekuensi kejadian tiga kali
atau lebih. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal melalui jalur oral, yaitu
toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme tertentu.
Enteropatogen yang paling sering menginfeksi orangutan adalah Shigella,
Escherichia coli, dan Salmonella (Aieolo, 2000). Salmonellosis dan shigellosis
juga termasuk di dalam daftar 25 penyakit yang mengkhawatirkan pada orangutan
ii
(Orangutan Concervancy, 2010). Salmonellosis merupakan penyakit serius pada
orangutan di Bukit Lawang, Sumatera Utara,
setelah penyakit disentri yang
disebabkan oleh amuba, orangutan dapat terinfeksi melalui kontak dengan
manusia, air yang kotor, ataupun sampah wisatawan (Singleton, 2009). Disentri
basiler (shigellosis) adalah penyakit serius dengan angka kematian yang tinggi
pada primata di penangkaran. Penyebaran bakteri Shigella juga sangat tinggi dan
dosis minimal infeksinya sangat rendah yaitu hanya sekitar 102 bakteri akan dapat
menyebabkan wabah infeksi pada primata dewasa dan manusia (Fowler dan
Miller, 2003). Good et al. (1969) juga menyatakan bahwa spesies Shigella
merupakan patogen penting yang memengaruhi morbiditas dan mortalitas pada
kera.
Perubahan lingkungan dan ekosistem akibat banyak faktor pemicu pada
habitatnya akan mendukung perluasan sebaran agen patogen pada orangutan
(Wolfe et al., 1998). Berdasarkan laporan yang diperoleh FKH UGM melalui
beberapa instansi konservasi orangutan, yakni Yayasan Konservasi Alam
Orangutan Yogyakarta dan Borneo bahwa kejadian gastroenteritis menjadi salah
satu penyebab meningkatnya angka morbiditas di penangkaran orangutan pada
habitat ex-situ.
Menurunnya jumlah populasi orangutan menimbulkan berbagai dampak
yang buruk, seperti kerugian ekonomi bagi pihak konservasi serta status
kelestariannya sebagai satwa endemik Indonesia menjadi langka. Seperti yang
dikutip dari pendapat Wibowo et al. (2016), diperoleh sebuah gambaran bahwa
penelitian medis pada orangutan merupakan penelitian yang paling sedikit
iii
mendapatkan perhatian di Indonesia. Sejauh ini penelitian orangutan lebih banyak
ditekankan pada behavior, fisiologi, ekologi, survival serta biodiversitas. Data
mikrobiologi penyebab penyakit pada orangutan belum banyak diungkap,
khususnya mikroflora yang terdapat pada sistem pencernaan meskipun penelitian
penyakit parasiter pada orangutan di Indonesia telah lebih banyak dilaporkan. Hal
ini menyebabkan informasi medis terkait mikroorganisme dalam saluran
pencernaan menjadi salah satu faktor penting dalam langkah menunjang viabilitas
satwa endemik ini di habitatnya.
Pengendalian angka kejadian penyakit gastrointestinal serta pencegahan
penularan diantara sesama orangutan, maka langkah yang dapat dilakukan adalah
mengidentifikasi bakteri yang cenderung menyebabkan gangguan diare pada
orangutan. Selain itu, perlu diidentifikasi sifat kepekaannya pada beberapa
antibiotika yang berkontribusi menyebabkan penyakit pada kasus diare maupun
gastroenteritis terhadap orangutan sehingga upaya pengobatan dapat dilakukan
secara terencana dan lebih awal.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri yang berhubungan
dengan kasus diare pada saluran pencernaan orangutan (Pongo pygmaeus) asal
Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta (YKAY) dan Yayasan Borneo Orangutan
Survival (BOS) dari sampel swab feses, serta mengetahui sifat sensitivitas dan
resistensi terhadap 20 jenis antibiotika, terutama antibiotika yang sering
digunakan di instansi konservasi tersebut, meliputi : Ciprofloxacin, Amoxicillin,
iv
Cefoxitin, Levofloxacin, Tigecycline, Enrofloxacin, Norfloxacin, Flumequin,
Sulphametoxazole/
Trimetrophrim,
Carbenicillin,
Amikacin,
Cefixime,
Cefotaxime, Ceftriaxone, Cefaclor, Gentamicin, Streptomycin, Ampicillin,
Chlorampenicol dan Oxytetracycline.
Manfaat
Dengan mengidentifikasi jenis bakteri yang terdapat pada feses orangutan,
maka hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat berupa
informasi mikrobiologis tentang bakteri pada kasus diare orangutan. Selain itu,
diperoleh informasi sensitivitas bakteri terhadap berbagai antibiotika. Hal tersebut
dapat menjadi strategi dalam pengobatan kasus gastroenteritis dan sebagai
petunjuk awal dalam pemakaian antibiotik yang tepat dalam rangka menunjang
kelestarian orangutan.
v
Download