BAB II LANDASAN TEORI II.1. Dasar-dasar Perpajakan Indonesia II

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1.
Dasar-dasar Perpajakan Indonesia
II.1.1. Definisi Pajak
Pembangunan nasional merupakan kegiatan yang berlangsung secara terusmenerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat baik materiil maupun spritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu
memperhatikan masalah pada pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk
mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan
yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak
digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama.
Apabila membahas pengertian pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan
oleh Adriani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso Brotodiharjo dalam buku
Pengantar Ilmu Hukum Pajak, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang
dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang
langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Definisi di atas lebih memfokuskan pada fungsi budgeter dari pajak, sedangkan
pajak masih mempunyai fungsi lainya yaitu fungsi regulered. Kutipan pengertian pajak
yang di kemukakan para ahli lainnya, seperti Rochmat. Soemitro dalam bukunya
Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan menyatakan pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak
14 mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan
digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian
disempurnakan, menjadi: pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada
kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public
saving yang merupakan sumber utama membiayai public investment.
Sedangkan pengertian pajak menurut Pasal 1 UU No. 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah “kontribusi wajib kepada negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara
ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah)
atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dengan
demikian, dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian
pajak, yaitu sebagai berikut:
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan
ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang”.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual
oleh pemerintah atau tidak adanya jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan)
yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya: orang yang taat membayar pajak
kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang
tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
15 3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah
dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukkannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public
investment.
5. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
6. Pemungutan pajak dapat dipaksakan apabila Wajib Pajak tidak memenuhi
kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundangundangan.
7. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara atau Anggaran
Negara
yang
diperlukan
untuk
menutup
pembiayaan
penyelenggaraan
pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur atau
regulatif).
Berkaitan dengan pajak sebagai fungsi budgeter, maka tidaklah mudah untuk
membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan
membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan
karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka
pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan, sebagai berikut:
1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan) dengan mengatur hak dan kewajiban
para Wajib Pajak yaitu pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi
syarat sebagai Wajib Pajak dan dikenakan sanksi atas pelanggaran pajak yang
diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang
dilakukan.
16 2. Pengaturan pajak harus berdasarkan UU (syarat yuridis) di Indonesia, pajak diatur
dalam Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat
untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang", ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
a. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut
harus dijamin kelancarannya,
b. Jaminan hukum bagi para Wajib Pajak untuk tidak diperlakukan secara umum,
c. Jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi para Wajib Pajak.
3. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis) yaitu
pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu
kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa.
Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan
menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil
dan menengah.
4. Pemungutan pajak harus efesien (syarat finansial) yaitu biaya-biaya yang
dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai
pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh
karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk
dilaksanakan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam
pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana, karena pajak dipungut akan sangat
menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan
memudahkan Wajib Pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai
sehingga akan memberikan dampak positif bagi para Wajib Pajak untuk
17 meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem
pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak. Syarat ini
telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.
Contoh:
1. Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
2. Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%.
3. Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan
disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan
maupun perseorangan (pribadi).
II.1.2. Jenis-Jenis Pajak
Terdapat berbagai jenis pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
pengelompokan menurut golongan, menurut sifat dan menurut lembaga pemungutnya.
1. Menurut Golongan
Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh
Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada pihak lain,
tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh) dibayar atau ditanggung oleh pihakpihak tertentu yang memperoleh penghasilan tersebut.
b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung terjadi
jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa atau perbuatan yang menyebabkan
terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang atau jasa.
18 Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terjadi karena terdapat pertambahan
nilai terhadap barang atau jasa. Pajak ini dibayarkan oleh produsen atau pihak
yang menjual barang tetapi dapat dibebankan kepada konsumen baik secara
eksplisit maupun implisit (dimasukkan dalam harga jual barang atau jasa).
Untuk menentukan apakah sesuatu termasuk pajak langsung atau tidak langsung
dalam arti ekonomis, yaitu dengan cara melihat ketiga unsur yang terdapat dalam
kewajiban pemenuhan perpajakannya. Ketiga unsur tersebut terdiri atas:
1) Penanggung jawab Pajak adalah orang yang secara formal yuridis diharuskan
melunasi pajak.
2) Penanggung Pajak adalah orang yang dalam faktanya memikul terlebih dahulu
beban pajaknya.
3) Pemikul Pajak adalah orang yang menurut undang-undang harus dibebani pajak.
Jika ketiga unsur tersebut ditemukan pada seseorang maka pajaknya disebut
Pajak Langsung, sedangkan jika ketiga unsur tersebut terpisah atau terdapat pada lebih
dari satu orang maka pajaknya disebut Pajak Tidak Langsung.
2. Menurut Sifat
Pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Pajak Subjektif adalah pajak yang pengenaannya memerhatikan keadaan pribadi
Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memerhatikan keadaan subjeknya.
Contoh: Pajak Penghasilah (PPh). Dalam PPh terdapat Subjek Pajak (Wajib
Pajak) orang pribadi. Pengenaan PPh untuk orang pribadi tersebut memerhatikan
keadaan pribadi Wajib Pajak (status perkawinan, banyaknya anak dan
tanggungan lainnya). Keadaan pribadi Wajib Pajak tersebut selanjutnya
digunakan untuk menentukan besarnya penghasilan tidak kena pajak.
19 b. Pajak Objektif adalah pajak yang pengenaannya memerhatikan objeknya baik
berupa benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya
kewajiban membayar pajak, tanpa memerhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak
(Wajib Pajak) maupun tempat tinggal.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM), serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
3. Lembaga Pemungut
Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Pajak Negara (Pajak Pusat) adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat
dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara pada umumnya.
Contoh: PPh, PPN dan PPnBM, PBB, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB)
b. Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah
tingkat I (pajak provinsi) maupun daerah tingkat II (pajak kabupaten/kota) dan
digunakan untuk membiyai rumah tangga daerah masing-masing. Pajak daerah
terdiri atas:
1. Pajak Provinsi, meliputi: Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas
Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air, Pajak
Bahan Bakar Bermotor, serta Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah dan Air Permukaan.
2. Pajak Kabupaten/Kota, meliputi: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan,
Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian
Golongan C dan Pajak Parkir.
20 II.1.3. Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Siti Resmi (2009), Dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem
pemungutan, yaitu:
1. Official Assessment System
Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan
untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif
serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan para
aparatur perpajakan. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan
pemungutan pajak banyak tergantung pada aparatur perpajakan (peranan dominan ada
pada aparatur perpajakan).
2. Self Assessment System
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam
menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif
serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan Wajib
Pajak. Wajib Pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami undangundang perpajakan yang sedang berlaku dan mempunyai kejujuran tinggi, serta
menyadari akan arti pentingnya membayar pajak.
Oleh karena itu, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk memperhitungkan
sendiri pajak yang terutang, membayar sendiri jumlah pajak yang terutang, melaporkan
sendiri jumlah pajak yang terutang dan mempertanggungjawabkan pajak yang terutang.
Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak tergantung
pada Wajib Pajaknya sendiri (peranan dominan ada pada Wajib Pajak).
21 3. With Holding System
Sistem pemungutan pajak memberi wewenang kepada pihak ketiga yang
ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Penunjukan pihak
ketiga ini dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan, keputusan
presiden dan peraturan lainnya untuk memotong dan memungut pajak, menyetor dan
mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia. Berhasil atau
tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada pihak ketiga yang
ditunjuk.
II.1.4. Fungsi Pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,
khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber
pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran
pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi pajak,
yang dikemukakan oleh Siti Resmi (2009), yaitu:
1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)
Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu sumber
penerimaan
pemerintah
untuk
membiayai
pengeluaran
baik
rutin
maupun
pembangunan. Seperti sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukkan
uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara
ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan
peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) dan lain-lain.
22 Contoh: Penerimaan negara dari pemungutan pajak dalam APBN merupakan bagian
dari penerimaan atau pendapatan dalam negeri, dimana jumlah penerimaan dalam
negeri ini bila melebihi pengeluaran rutin maka sisanya merupakan tabungan
pemerintah.
2. Fungsi Regulated (Pengatur)
Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur
atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta
mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan. Beberapa contoh penerapan
pajak sebagai fungsi pengatur adalah:
a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah. Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi transaksi jual beli barang
mewah. Semakin mewah suatu barang maka tarif pajaknya semakin tinggi sehingga
barang tersebut semakin mahal harganya. Pengenaan pajak ini dimaksudkan agar
rakyat tidak berlomba-lomba untuk mengkonsumsi barang mewah (mengurangi
gaya hidup mewah)
b. Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan: dimaksudkan agar pihak yang
memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar pajak) yang
tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapatan.
c. Tarif pajak ekspor sebesar 0% dimaksudkan agar para pengusaha terdorong
mengekspor hasil produksinya di pasar dunia sehingga dapat memperbesar devisa
negara.
d. Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industri tertentu seperti
industri semen, industri rokok, industri baja dan lain-lain: dimaksudkan agar
23 terdapat penekanan produksi terhadap industri tersebut karena dapat mengganggu
lingkungan atau polusi (membahayakan kesehatan).
e. Pembebasan pajak penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi, dimaksudkan untuk
mendorong perkembangan koperasi di Indonesia.
f. Pemberlakuan tax holiday adalah fasilitas pembebasan pajak penghasilan (PPh)
untuk periode tertentu dimaksudkan untuk menarik investor asing agar menanamkan
modalnya di Indonesia.
3. Fungsi Stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan
yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, hal ini
bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat,
pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
4. Fungsi Redistribusi Pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai
semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga
dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat.
II.1.5. Sistem Perpajakan
Sistem perpajakan menurut Norman D. Novak “Tax Administration in Theory
and Practice with Special Reference to Chile (1970)”, ada 3 unsur sistem perpajakan:
1. Kebijakan Pajak (Tax Policies)
Kebijakan perpajakan yang akan memberikan pengaruh pada undang-undang
pajak yang disusun dan selanjutnya akan menentukan administrasi pajak yang akan
digunakan dan akan berlanjut menjadi kebijakan perpajakan yang akan diambil di masa
24 yang akan datang. Menurut Mansyuri yang telah dikutip oleh Munawir (2003),
Kebijakan perpajakan setidaknya mengatur 5 (Lima) hal pokok yaitu:
a. Pajak apa yang akan dipungut.
b. Siapa yang akan menjadi subjek pajak.
c. Apa yang menjadi objek pajak.
d. Bagaimana menentukan pajak yang terhutang.
e. Bagaimana menentukan prosedur pelaksanaan kewajiban pajak terhutang.
Menurut Michael P.Devereux, (1996:9-21), issue penting dalam kebijakan pajak
adalah:
a. What should the tax base be: Income, Expenditure or a Hybrid?
b. What should the tax rate schedule be?
c. How should international income flows be taxed?
d. How should environmental taxes be designed?
2. Undang-undang Perpajakan (Tax Laws)
Undang-undang Perpajakan adalah seperangkat peraturan perpajakan yang
terdiri dari undang-undang beserta Peraturan Pelaksanaannya. Hal yang perlu diingat
adalah bahwa undang-undang perpajakan harus menjamin adanya kepastian hukum
baik bagi Fiskus maupun Wajib Pajak sehingga tidak muncul penafsiran berbeda-beda.
Untuk menjamin kepastian hukum tersebut, maka kelima hal yang dipilih dalam tax
policy harus diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Perpajakan.
3. Administrasi Perpajakan (Tax Administration)
Menurut Mansury yang telah dikutip oleh Munawir (2003), "sistem
administrasi yang baik setidaknya harus memiliki tiga pilar, yaitu:
25 a. Prosedur Perpajakan (The Procedure)
Kegiatan penyelenggaraan pungutan pajak oleh suatu instansi atau badan yang
dilaksanakan sedemikian rupa dalam rangka mencapai sasaran yang telah digariskan
dalam kebijaksanaan perpajakan berdasarkan sarana hukum yang ditentukan oleh
undang-undang perpajakan dengan efisien.
b. Lembaga (The Institution)
Suatu Instansi atau lembaga yang memeliki wewenang dan tanggung jawab
untuk menyelenggrakan pungutan pajak.
c. Pegawai (The Person who work there)
Orang-orang yang terdiri dari pejabat dan pegawai yang bekerja pada instansi
perpajakan yang secara nyata melaksanakan pemungutan pajak. Dalam penelitian ini
dibahas administrasi perpajakan khususnya pelaksanaan ekstensifikasi dengan tujuan
untuk menambah jumlah Wajib Pajak terdaftar dan hasil akhirnya adalah peningkatan
penerimaan Negara.
II.1.6. Pajak Penghasilan
Dengan semakin pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil
pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, maka perlu
dilakukan perubahan undang-undang tersebut guna meningkatkan fungsinya dan
penerapannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya
di bidang ekonomi. Undang-undang No.7 Tahun 1983 telah beberapa kali diubah dan
disempurnakan, yaitu dengan undang-undang No.17 Tahun 2000 dan yang terakhir
adalah undang-undang No. 36 Tahun 2008.
26 1. Definisi Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak
atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. Pengertian
pajak penghasilan sesuai dengan pasal 1 undang-undang pajak penghasilan yaitu Pajak
penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang
diterima dalam tahun pajak. Menurut Slamet Munawir (2002:109), definisi pajak
penghasilan adalah sebagai berikut:
“Pajak penghasilan merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang
berasal dari pendapatan rakyat, pemungutannya telah diatur dengan Undang-Undang
sehingga dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan kehidupan dalam negara
yang berdasarkan hukum”.
Dasar hukum peraturan yang mengatur Pajak Penghasilan di Indonesia adalah
UU No.7 Tahun 1983 yang telah disempurnakan dengan UU No. 7 Tahun 1991, UU
No.10 Tahun 1994, UU No.17 Tahun 2000, UU No.36 Tahun 2008, Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur
Jenderal Pajak maupun Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak.
2. Pemotongan atau Pemungutan atas Pajak Penghasilan
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan
yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan atau pemungutan yang dilakukan oleh
pihak ketiga. Adapun jenis Pajak Penghasilan yang pembayarannya melalui
pemotongan atau pemungutan adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh
Pasal 26, PPN dan PPnBM adalah sebagai berikut:
a. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
ketiga atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri
27 sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan (seperti gaji yang
diterima oleh pegawai yang dipotong oleh perusahaan tempat pegawai tersebut
bekerja).
b. Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak
ketiga sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, impor barang dan
kegiatan usaha di bidang-bidang tertentu (seperti penyerahan barang oleh rekanan
kepada bendaharawan pemerintah).
c. Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
ketiga sehubungan dengan penghasilan tertentu seperti dividen, bunga, royalty, sewa
dan jasa yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap
(BUT).
d. Pajak Penghasilan Pasal 24 adalah pajak yang dibayar atau terutang diluar negeri
atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam
negeri. PPh Pasal 24 ini boleh dikreditkan terhadap total pajak penghasilan terutang
dalam suatu tahun pajak.
e. Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah pembayaran pajak oleh wajib pajak dalam tahun
berjalan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut, Wajib Pajak membayar
sendiri pajaknya melalui angsuran setiap bulan (PPh Pasal 25). Melalui pemotongan
pemungutan oleh pihak ketiga maupun dibayar atau terutang di luar negeri (PPh
Pasal 21, 22, 23 dan 24).
f. Pajak Penghasilan Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
ketiga sehubungan dengan penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri.
Undang-undang No.36 Tahun 2008 menganut dua sistem pengenaan pajak atas
28 penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia.
Dua sistem pengenaan pajak tersebut adalah:
a. PPh Final Pasal 4 ayat 2 merupakan pajak yang sifat pemungutannya final.
Disebut final karena pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak ketiga atau
dibayar sendiri tidak dapat dikreditkan (bukan pembayaran di muka) terhadap
hutang pajak akhir tahun dalam perhitungan Pajak Penghasilan pada Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Beberapa contoh penghasilan yang dikenakan
PPh final adalah bunga deposito, penjualan tanah dan bangunan, persewaan tanah
dan bangunan, hadiah undian, bunga obligasi dan lain-lain.
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas nilai tambah
suatu barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah
pajak khusus untuk barang-barang mewah. Seperti PPh Pasal 25, pemotongan
atau pemungutan tersebut merupakan angsuran pajak. Untuk PPh dikreditkan
pada akhir tahun, sedangkan PPN dikreditkan pada masa diberlakukannya
pemungutan dengan mekanisme Pajak Keluaran (PK) dan Pajak Masukan (PM).
3. Subjek Pajak Penghasilan
Subjek Pajak Penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk
memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak Penghasilan.
Pasal 1 UU No.16 Tahun 2000 tentang KUP menyebutkan bahwa Wajib Pajak adalah
orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan
ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak dan
pemotong pajak tertentu. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UU No.36 Tahun 2008, Subjek
Pajak dikelompokkan sebagai berikut:
29 1. Subjek Pajak Orang Pribadi
Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di
Indonesia maupun di luar Indonesia.
2. Subjek Pajak Warisan
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak
pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan
yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak Pengganti dimaksudkan agar pengenaan
pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
3. Subjek Pajak Badan
Badan adalah sekelompok orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, dana
pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan Subjek
Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari
badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan dan sebagainya yang dimiliki oleh
Pemerintah Pusat dan Pemeritah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak. Dalam pengertian
pengumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan atau ikatan dari pihakpihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
30 4. Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
untuk menjalankan usaha atau melakukan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia,
berupa:
a. Tempat kedudukan manajemen.
b. Cabang perusahaan.
c. Kantor perwakilan.
d. Gedung kantor.
e. Pabrik.
f. Bengkel.
g. Gudang.
h. Ruang untuk promosi dan penjualan.
i. Pertambangan dan penggalian sumber alam.
j. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi.
k. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan atau kehutanan.
l. Proyek kontruksi, instalasi atau proyek perakitan.
m. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan.
n. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.
31 o. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia.
p. Komputer, agen elektronik atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.
5. Tidak Termasuk Subjek Pajak
Tidak termasuk Subjek Pajak berdasarkan Pasal 2 UU No.36 Tahun 2008 adalah:
a. Kantor perwakilan asing
Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan WNI dan
di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan
timbal balik.
b. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat Indonesia menjadi anggota
organisasi tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
c. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan dengan syarat bukan WNI dan tidak menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di
Indonesia.
32 Contoh: Staf Perwakilan UNESCO, UNICEF dan Organisasi Internasional lain
yang
tercantum
dalam
KMK
No.547/KMK.04/2000
jo.
KMK.
No.
230/KMK.03/2001 jo. KMK.243/KMK.03/2003.
Nama-nama organisasi atau pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional
yang tidak termasuk Subjek Pajak penghasilan diatur lebih lanjut dalam Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008.
6. Objek Pajak Penghasilan
Objek pajak dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak (barang, jasa,
kegiatan atau keadaan) yang dikenakan pajak. Objek pajak penghasilan adalah
penghasilan yang setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini.
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
c. Laba usaha.
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak.
f. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang.
33 g. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak atas harta tak berwujud (hak paten, hak
pengarang atau merk dagang).
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
n. Premi asuransi.
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
p. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak.
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
s. Surplus Bank Indonesia.
7. Tidak Termasuk Objek Pajak Penghasilan
Berdasarkan Pasal 4 ayat 3 Undang-Undang No.36 Tahun 2008, terhadap
penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak,
dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan (bukan merupakan Objek Pajak).
Penghasilan yang tidak termasuk Objek Pajak menurut ketentuan tersebut adalah:
34 a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima
oleh penerima zakat yang berhak atas sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro atau kecil, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
c. Warisan.
d. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal.
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU
PPh.
35 f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa.
g. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia.
h. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
i. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
j. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal Ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia.
l. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
m. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam
bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
36 diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
n. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
II.1.7. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
1. Kewajiban Wajib Pajak
Sebagai Wajib Pajak tentunya memiliki kewajiban yang harus mereka penuhi
sebagai wujud kepatuhan berdasarkan undang-undang dan peran serta dalam
pembangunan, kewajiban Wajib Pajak menurut undang-undang Nomor 28 Tahun 2007
adalah sebagai berikut:
a. Mendaftarkan diri pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya
diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak, apabila telah memenuhi persyaratan subjektif
dan objektif.
b. Melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayahnya
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha dan tempat
kegiatan dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
c. Mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap dan jelas dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang Rupiah,
serta menandatangani dan menyampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
37 d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam Bahasa Indonesia dengan menggunakan
satuan mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
e. Membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
f. Membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak.
g. Menyelenggarakan Pembukuan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan yang melakukan
pencatatan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.
h. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,
kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak atau objek yang terutang pajak,
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu
dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan dan/atau memberikan
keterangan lain yang perlu diperiksa apabila diperiksa.
2. Hak-hak Wajib Pajak
Hak-hak Wajib Pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 adalah
sebagai berikut:
a. Melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu) Surat Pemberitahuan Masa.
b. Mengajukan surat keberatan dan banding bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu.
38 c. Memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
d. Membetulkan surat pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan
pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan
tindakan pemeriksaan.
e. Mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
f. Mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak.
g. Mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak atau Surat
Keputusan Keberatan.
h. Menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan
memenuhi kewajiban susuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
i. Memperoleh Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas
keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak dalam hal Wajib Pajak
menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
sebelum Tahun 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi
lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah
berlakunya UU No.28 Tahun 2007.
II.1.8. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak
1. Pengertian dan Fungsi NPWP dan PKP
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) merupakan suatu sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas
39 Wajib Pajak. Setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu NPWP. Nomor Pokok Wajib
Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam
pengawasan administrasi perpajakan. Fungsi memperoleh NPWP bagi Wajib Pajak,
seperti:
a. Sebagai Pembayaran Pajak di muka (angsuran/kredit pajak) atas Fiskal Luar Negeri
yang dibayar sewaktu Wajib Pajak bertolak ke Luar Negeri.
b. Sebagai persyaratan ketika melakukan pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan
(SIUP).
c. Sebagai salah satu syarat pembuatan Rekening Koran di bank-bank.
Terhadap Wajib Pajak tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor
Pokok Wajib Pajak akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan SE-41/PJ./2003 secara garis besar
NPWP mempunyai beberapa fungsi diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Sebagai sarana dalam administrasi perpajakan.
b. Sebagai identitas Wajib Pajak.
c. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi
perpajakan.
d. Untuk dicantumkan dalam semua dokumen perpajakan.
Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah sebagai berikut:
a. Dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak.
b. Melaksanakan hak di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah.
c. Serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.
40 Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi
kewajiban untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan
Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara
jabatan. Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki
oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha
tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
2. Pendaftaran untuk mendapatkan NPWP
Berdasarkan sistem self assessment setiap Wajib Pajak yang memenuhi
persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
perpajakan wajib mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP dengan cara sebagai
berikut:
a. Datang langsung kekantor pelayanan pajak (KPP) atau kantor pelayanan
penyuluhan dan konsultasi pajak (KP2KP) yang wilayah kerja tempat tinggal atau
tempat kedudukan Wajib Pajak.
b. Melalui
Internet
di
situs
Direktorat
Jendral
Pajak
dengan
alamat
http://www.pajak.go.id.
c. Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pula terhadap wanita kawin yang ingin
dikenakan pajak secara terpisah dengan suami.
d. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha tertentu yang mempunyai tempat usaha
berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftakan diri ke KPP yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggalnya juga diwajibkan mendaftarkan diri ke KPP
yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
41 e. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, bila
sampai dengan suatu memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi
Penghasilan Tidak kena Pajak (PTKP) setahun, Wajib Pajak mendaftarkan diri
paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
f. Wajib Pajak orang pribadi lainnya yang memerlukan NPWP dapat mengajukan
permohonan untuk memperoleh NPWP.
3. Pelaporan Usaha untuk Pengukuhan PKP
a. Pengusaha yang dikenakan PPN, wajib melaporkan usahanya pada KPP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan pengusaha dan
tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi PKP.
b. Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha
berbeda dengan tempat tinggal, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan, juga wajib mendaftarkan diri ke KPP di tempat kegiatan usaha
dilakukan .
c. Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib mengajukan
pernyataan tertulis untuk dikukuhkan sebagai PKP.
d. Pengusaha kecil yang tidak memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP tetapi sampai
dengan suatu masa pajak dalam suatu tahun buku seluruh nilai peredaran bruto telah
melampaui batasan yang ditentukan sebagai pengusaha kecil, wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir masa pajak
berikutnya.
42 II.1.9. Tata Cara Pembayaran Pajak
1. SPT (Surat Pemberitahuan Pajak)
Adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan perhitungan
dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
2. Surat Setoran Pajak (SSP)
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui
kantor dan atau Bank BUMN atau Bank BUMD atau tempat pembayaran lain yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
3. Surat Tagihan Pajak (STP)
Sesuai dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Surat Tagihan
Pajak (STP) adalah surat yang digunakan untuk melakukan tagihan pajak dan/atau
sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Surat Tagihan Pajak mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak. Surat Ketetapan yang
meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
(SKPLB) atau Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Berdasarkan keputusan Direktur
Jenderal Pajak kewenangan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dilimpahkan kepada
Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Surat Ketetapan Pajak timbul berdasarkan hasil
pemeriksaan.
43 II.2.
Ketentuan Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak
Dalam istilah perpajakan di Indonesia, Ekstensifikasi adalah kegiatan yang
dilakukan untuk memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada Wajib Pajak
Orang Pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham/pemilik
dan pegawai, maupun Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha
dan/atau memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan. Kegiatan
Ekstensifikasi ini dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama melalui Seksi
Ekstensifikasi Perpajakan. Jadi, tujuan dari kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak pada
dasarnya adalah agar jumlah Wajib Pajak terdaftar pada DJP bertambah, dengan cara
mencari subjek pajak yang memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak namun belum
terdaftar atau mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak. Dasar Peraturannya adalah Per16/PJ/2007 tentang Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Orang Pribadi yang
berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham/pemilik dan pegawai melalui
pemberi kerja/bendaharawan pemerintah.
II.2.1. Ruang Lingkup Ekstensifikasi Wajib Pajak
Ruang lingkup pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak yang dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Pajak, sesuai Surat Edaran Dirjen Pajak Nomer: SE 03/PJ.01/2010 meliputi:
a. Pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP, termasuk pemberian NPWP
secara jabatan terhadap Wajib Pajak PPh orang pribadi yang berstatus karyawan
perusahaan, orang pribadi yang bertempat tinggal di wilayah atau lokasi pemukiman
atau perumahan dan orang pribadi lainnya (termasuk orang asing yang bertempat
tinggal di Indonesia atau orang pribadi berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam
44 jangka waktu 12 bulan), yang menerima atau memperoleh penghasilan melebihi
batas PTKP.
b. Pemberian NPWP di lokasi usaha termasuk pengukuhan sebagai PKP, terhadap
orang pribadi pengusaha tertentu yang mempunyai lokasi usaha di sentra
perdagangan atau perbelanjaan atau perkantoran atau mal atau plasa atau kawasan
industri dan sentra ekonomi lainnya.
c. Pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP terhadap Wajib Pajak badan
berdasarkan data yang dimiliki atau diperoleh ternyata belum terdaftar sebagai
Wajib Pajak dan atau PKP baik di domisili atau lokasi.
II.2.2. Sasaran Ekstensifikasi Wajib Pajak
Sasaran utama pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak adalah subjek pajak baik
orang pribadi, badan maupun BUT yang telah memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak,
tetapi belum mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak. Data yang digunakan untuk
pelaksanaan ekstenskasi Wajib Pajak meliputi data intern dan data ekstern, berdasarkan
Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-03/PJ./2001.
II.2.3. Unit Organisasi Pelaksana Ekstensifikasi Wajib Pajak
Unit organisasi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang melaksanakan kegiatan
ekstensifikasi Wajib Pajak adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Sedangkan bagian
yang terkait langsung adalah seksi Pengolahan Data dan Informasi (Seksi PDI) dan
Kantor Penyuluhan Pajak yang berada diluar kedudukan KPP. Dalam hal kegiatan
ekstensifikasi Wajib Pajak dimaksudkan untuk menghitung jumlah pajak terutang,
Kepala KPP dapat menunjuk petugas pada Seksi PPh, Seksi PPN dan Pajak Tidak
Langsung Lainnya (PTLL), serta petugas dari seksi lainnya di KPP yang bersangkutan
untuk diperbantukan pada seksi PDI dan atau Kantor Penyuluhan Pajak.
45 II.3.
Ketentuan Pelaksanaan Intensifikasi Wajib Pajak
Dalam rangka meningkatkan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan mengoptimalkan
penerimaan pajak, Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor:
SE-06/PJ.9/2001 Tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensiflkasi
Pajak, yang dimaksud dengan intensifikasi pajak menurut SE-06/PJ.9/2001 adalah
kegiatan optimalisasl penggalian penerimaan pajak terhadap objek serta subjek pajak
yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP dan dari hasil pelaksanaan
ekstensifikasi Wajib Pajak dan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa tujuan utama
dari kegiatan intensifikasi pajak adalah optimalisasi penerimaan pajak dari Wajib Pajak
yang sudah ada dan Wajib Pajak baru hasil kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak.
II.3.1. Ruang Lingkup Intensifikasi Pajak
Ruang lingkup intensifikasi pajak menurut SE-06/PJ.9/2001 meliputi:
1. Penentuan jumlah angsuran pajak penghasilan Pasal 25 dan atau jumlah PPN yang
harus disetor dalam tahun berjalan, dimulai sejak Januari sampai dengan akhir tahun
yang bersangkutan.
2. Penentuan jumlah PPN yang terutang atas transaksi penjualan dalam tahun berjalan,
khususnya untuk PKP Pedagang Eceran yang mempunyai usaha di sentra
perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mal atau plasa
dan sentra ekonomi lainnya.
II.3.2. Sasaran Intensifikasi Pajak
Sasaran utama pelaksanaan intensifikasi pajak adalah Wajib Pajak yang telah
tercatat atau terdaftar pada administrasi DJP dan Wajib Pajak baru hasil dari kegiatan
ekstensifikasi Wajib Pajak. Data yang digunakan untuk pelaksanaan intensifikasi pajak
46 meliputi data intern dan data ekstern yang selengkapnya dapat dilihat pada SE06/PJ.9/2001.
II.3.3. Unit Organisasi Pelaksanaan Intensifikasi Pajak.
Unit organisasi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang melaksanakan kegiatan
ekstensifikasi Wajib Pajak adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Sedangkan bagian
yang terkait langsung adalah Seksi Pengolahan Data dan Informasi (Seksi PDI) dan
Kantor Penyuluhan Pajak yang berada diluar kedudukan KPP. Dalam hal kegiatan
intensifikasi pajak dimaksudkan untuk menghitung jumlah pajak terutang, Kepala KPP
dapat menunjuk petugas pada Seksi PPh, Seksi PPN dan PTLL, serta petugas dari seksi
lainnya di KPP yang bersangkutan untuk diperbantukan pada Seksi PDI dan atau
Kantor Penyuluhan Pajak. Sedangkan petugas pelaksana yang melaksanakan kegiatan
intensifikasi pajak adalah petugas yang memenuhi kualifikasi sebagai pelaksana
kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak meliputi:
1. Petugas yang ditunjuk oleh kepala KPP.
2. Petugas Kantor Penyuluhan Pajak yang ditunjuk oleh Kepala KPP.
3. Petugas lain yang ditunjuk oleh Kepala Kanwil DJP.
47 
Download