BAB II LANDASAN TEORI II.1. Dasar-dasar Perpajakan Indonesia II.1.1. Definisi Pajak Pembangunan nasional merupakan kegiatan yang berlangsung secara terusmenerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil maupun spritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu memperhatikan masalah pada pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Apabila membahas pengertian pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Adriani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso Brotodiharjo dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Pajak, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Definisi di atas lebih memfokuskan pada fungsi budgeter dari pajak, sedangkan pajak masih mempunyai fungsi lainya yaitu fungsi regulered. Kutipan pengertian pajak yang di kemukakan para ahli lainnya, seperti Rochmat. Soemitro dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan menyatakan pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak 14 mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian disempurnakan, menjadi: pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama membiayai public investment. Sedangkan pengertian pajak menurut Pasal 1 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak, yaitu sebagai berikut: 1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang”. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah atau tidak adanya jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya: orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor. 15 3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan. 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukkannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment. 5. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 6. Pemungutan pajak dapat dipaksakan apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundangundangan. 7. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara atau Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur atau regulatif). Berkaitan dengan pajak sebagai fungsi budgeter, maka tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan, sebagai berikut: 1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan) dengan mengatur hak dan kewajiban para Wajib Pajak yaitu pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak dan dikenakan sanksi atas pelanggaran pajak yang diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan. 16 2. Pengaturan pajak harus berdasarkan UU (syarat yuridis) di Indonesia, pajak diatur dalam Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu: a. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya, b. Jaminan hukum bagi para Wajib Pajak untuk tidak diperlakukan secara umum, c. Jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi para Wajib Pajak. 3. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis) yaitu pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah. 4. Pemungutan pajak harus efesien (syarat finansial) yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu. 5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana, karena pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan Wajib Pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dampak positif bagi para Wajib Pajak untuk 17 meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru. Contoh: 1. Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif. 2. Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%. 3. Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (pribadi). II.1.2. Jenis-Jenis Pajak Terdapat berbagai jenis pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pengelompokan menurut golongan, menurut sifat dan menurut lembaga pemungutnya. 1. Menurut Golongan Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a. Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh) dibayar atau ditanggung oleh pihakpihak tertentu yang memperoleh penghasilan tersebut. b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung terjadi jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa atau perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang atau jasa. 18 Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terjadi karena terdapat pertambahan nilai terhadap barang atau jasa. Pajak ini dibayarkan oleh produsen atau pihak yang menjual barang tetapi dapat dibebankan kepada konsumen baik secara eksplisit maupun implisit (dimasukkan dalam harga jual barang atau jasa). Untuk menentukan apakah sesuatu termasuk pajak langsung atau tidak langsung dalam arti ekonomis, yaitu dengan cara melihat ketiga unsur yang terdapat dalam kewajiban pemenuhan perpajakannya. Ketiga unsur tersebut terdiri atas: 1) Penanggung jawab Pajak adalah orang yang secara formal yuridis diharuskan melunasi pajak. 2) Penanggung Pajak adalah orang yang dalam faktanya memikul terlebih dahulu beban pajaknya. 3) Pemikul Pajak adalah orang yang menurut undang-undang harus dibebani pajak. Jika ketiga unsur tersebut ditemukan pada seseorang maka pajaknya disebut Pajak Langsung, sedangkan jika ketiga unsur tersebut terpisah atau terdapat pada lebih dari satu orang maka pajaknya disebut Pajak Tidak Langsung. 2. Menurut Sifat Pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a. Pajak Subjektif adalah pajak yang pengenaannya memerhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memerhatikan keadaan subjeknya. Contoh: Pajak Penghasilah (PPh). Dalam PPh terdapat Subjek Pajak (Wajib Pajak) orang pribadi. Pengenaan PPh untuk orang pribadi tersebut memerhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (status perkawinan, banyaknya anak dan tanggungan lainnya). Keadaan pribadi Wajib Pajak tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan besarnya penghasilan tidak kena pajak. 19 b. Pajak Objektif adalah pajak yang pengenaannya memerhatikan objeknya baik berupa benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa memerhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak) maupun tempat tinggal. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 3. Lembaga Pemungut Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a. Pajak Negara (Pajak Pusat) adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara pada umumnya. Contoh: PPh, PPN dan PPnBM, PBB, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) b. Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah tingkat I (pajak provinsi) maupun daerah tingkat II (pajak kabupaten/kota) dan digunakan untuk membiyai rumah tangga daerah masing-masing. Pajak daerah terdiri atas: 1. Pajak Provinsi, meliputi: Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air, Pajak Bahan Bakar Bermotor, serta Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. 2. Pajak Kabupaten/Kota, meliputi: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C dan Pajak Parkir. 20 II.1.3. Sistem Pemungutan Pajak Menurut Siti Resmi (2009), Dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan, yaitu: 1. Official Assessment System Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan para aparatur perpajakan. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada aparatur perpajakan (peranan dominan ada pada aparatur perpajakan). 2. Self Assessment System Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan Wajib Pajak. Wajib Pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami undangundang perpajakan yang sedang berlaku dan mempunyai kejujuran tinggi, serta menyadari akan arti pentingnya membayar pajak. Oleh karena itu, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk memperhitungkan sendiri pajak yang terutang, membayar sendiri jumlah pajak yang terutang, melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang dan mempertanggungjawabkan pajak yang terutang. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak tergantung pada Wajib Pajaknya sendiri (peranan dominan ada pada Wajib Pajak). 21 3. With Holding System Sistem pemungutan pajak memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Penunjukan pihak ketiga ini dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan, keputusan presiden dan peraturan lainnya untuk memotong dan memungut pajak, menyetor dan mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia. Berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada pihak ketiga yang ditunjuk. II.1.4. Fungsi Pajak Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi pajak, yang dikemukakan oleh Siti Resmi (2009), yaitu: 1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara) Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Seperti sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan lain-lain. 22 Contoh: Penerimaan negara dari pemungutan pajak dalam APBN merupakan bagian dari penerimaan atau pendapatan dalam negeri, dimana jumlah penerimaan dalam negeri ini bila melebihi pengeluaran rutin maka sisanya merupakan tabungan pemerintah. 2. Fungsi Regulated (Pengatur) Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan. Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi pengatur adalah: a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi transaksi jual beli barang mewah. Semakin mewah suatu barang maka tarif pajaknya semakin tinggi sehingga barang tersebut semakin mahal harganya. Pengenaan pajak ini dimaksudkan agar rakyat tidak berlomba-lomba untuk mengkonsumsi barang mewah (mengurangi gaya hidup mewah) b. Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan: dimaksudkan agar pihak yang memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar pajak) yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapatan. c. Tarif pajak ekspor sebesar 0% dimaksudkan agar para pengusaha terdorong mengekspor hasil produksinya di pasar dunia sehingga dapat memperbesar devisa negara. d. Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industri tertentu seperti industri semen, industri rokok, industri baja dan lain-lain: dimaksudkan agar 23 terdapat penekanan produksi terhadap industri tersebut karena dapat mengganggu lingkungan atau polusi (membahayakan kesehatan). e. Pembebasan pajak penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi, dimaksudkan untuk mendorong perkembangan koperasi di Indonesia. f. Pemberlakuan tax holiday adalah fasilitas pembebasan pajak penghasilan (PPh) untuk periode tertentu dimaksudkan untuk menarik investor asing agar menanamkan modalnya di Indonesia. 3. Fungsi Stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien. 4. Fungsi Redistribusi Pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. II.1.5. Sistem Perpajakan Sistem perpajakan menurut Norman D. Novak “Tax Administration in Theory and Practice with Special Reference to Chile (1970)”, ada 3 unsur sistem perpajakan: 1. Kebijakan Pajak (Tax Policies) Kebijakan perpajakan yang akan memberikan pengaruh pada undang-undang pajak yang disusun dan selanjutnya akan menentukan administrasi pajak yang akan digunakan dan akan berlanjut menjadi kebijakan perpajakan yang akan diambil di masa 24 yang akan datang. Menurut Mansyuri yang telah dikutip oleh Munawir (2003), Kebijakan perpajakan setidaknya mengatur 5 (Lima) hal pokok yaitu: a. Pajak apa yang akan dipungut. b. Siapa yang akan menjadi subjek pajak. c. Apa yang menjadi objek pajak. d. Bagaimana menentukan pajak yang terhutang. e. Bagaimana menentukan prosedur pelaksanaan kewajiban pajak terhutang. Menurut Michael P.Devereux, (1996:9-21), issue penting dalam kebijakan pajak adalah: a. What should the tax base be: Income, Expenditure or a Hybrid? b. What should the tax rate schedule be? c. How should international income flows be taxed? d. How should environmental taxes be designed? 2. Undang-undang Perpajakan (Tax Laws) Undang-undang Perpajakan adalah seperangkat peraturan perpajakan yang terdiri dari undang-undang beserta Peraturan Pelaksanaannya. Hal yang perlu diingat adalah bahwa undang-undang perpajakan harus menjamin adanya kepastian hukum baik bagi Fiskus maupun Wajib Pajak sehingga tidak muncul penafsiran berbeda-beda. Untuk menjamin kepastian hukum tersebut, maka kelima hal yang dipilih dalam tax policy harus diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Perpajakan. 3. Administrasi Perpajakan (Tax Administration) Menurut Mansury yang telah dikutip oleh Munawir (2003), "sistem administrasi yang baik setidaknya harus memiliki tiga pilar, yaitu: 25 a. Prosedur Perpajakan (The Procedure) Kegiatan penyelenggaraan pungutan pajak oleh suatu instansi atau badan yang dilaksanakan sedemikian rupa dalam rangka mencapai sasaran yang telah digariskan dalam kebijaksanaan perpajakan berdasarkan sarana hukum yang ditentukan oleh undang-undang perpajakan dengan efisien. b. Lembaga (The Institution) Suatu Instansi atau lembaga yang memeliki wewenang dan tanggung jawab untuk menyelenggrakan pungutan pajak. c. Pegawai (The Person who work there) Orang-orang yang terdiri dari pejabat dan pegawai yang bekerja pada instansi perpajakan yang secara nyata melaksanakan pemungutan pajak. Dalam penelitian ini dibahas administrasi perpajakan khususnya pelaksanaan ekstensifikasi dengan tujuan untuk menambah jumlah Wajib Pajak terdaftar dan hasil akhirnya adalah peningkatan penerimaan Negara. II.1.6. Pajak Penghasilan Dengan semakin pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, maka perlu dilakukan perubahan undang-undang tersebut guna meningkatkan fungsinya dan penerapannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi. Undang-undang No.7 Tahun 1983 telah beberapa kali diubah dan disempurnakan, yaitu dengan undang-undang No.17 Tahun 2000 dan yang terakhir adalah undang-undang No. 36 Tahun 2008. 26 1. Definisi Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. Pengertian pajak penghasilan sesuai dengan pasal 1 undang-undang pajak penghasilan yaitu Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima dalam tahun pajak. Menurut Slamet Munawir (2002:109), definisi pajak penghasilan adalah sebagai berikut: “Pajak penghasilan merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang berasal dari pendapatan rakyat, pemungutannya telah diatur dengan Undang-Undang sehingga dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan kehidupan dalam negara yang berdasarkan hukum”. Dasar hukum peraturan yang mengatur Pajak Penghasilan di Indonesia adalah UU No.7 Tahun 1983 yang telah disempurnakan dengan UU No. 7 Tahun 1991, UU No.10 Tahun 1994, UU No.17 Tahun 2000, UU No.36 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jenderal Pajak maupun Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak. 2. Pemotongan atau Pemungutan atas Pajak Penghasilan Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan atau pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Adapun jenis Pajak Penghasilan yang pembayarannya melalui pemotongan atau pemungutan adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPN dan PPnBM adalah sebagai berikut: a. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri 27 sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan (seperti gaji yang diterima oleh pegawai yang dipotong oleh perusahaan tempat pegawai tersebut bekerja). b. Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, impor barang dan kegiatan usaha di bidang-bidang tertentu (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemerintah). c. Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga sehubungan dengan penghasilan tertentu seperti dividen, bunga, royalty, sewa dan jasa yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). d. Pajak Penghasilan Pasal 24 adalah pajak yang dibayar atau terutang diluar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri. PPh Pasal 24 ini boleh dikreditkan terhadap total pajak penghasilan terutang dalam suatu tahun pajak. e. Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah pembayaran pajak oleh wajib pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut, Wajib Pajak membayar sendiri pajaknya melalui angsuran setiap bulan (PPh Pasal 25). Melalui pemotongan pemungutan oleh pihak ketiga maupun dibayar atau terutang di luar negeri (PPh Pasal 21, 22, 23 dan 24). f. Pajak Penghasilan Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga sehubungan dengan penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri. Undang-undang No.36 Tahun 2008 menganut dua sistem pengenaan pajak atas 28 penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia. Dua sistem pengenaan pajak tersebut adalah: a. PPh Final Pasal 4 ayat 2 merupakan pajak yang sifat pemungutannya final. Disebut final karena pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak ketiga atau dibayar sendiri tidak dapat dikreditkan (bukan pembayaran di muka) terhadap hutang pajak akhir tahun dalam perhitungan Pajak Penghasilan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Beberapa contoh penghasilan yang dikenakan PPh final adalah bunga deposito, penjualan tanah dan bangunan, persewaan tanah dan bangunan, hadiah undian, bunga obligasi dan lain-lain. b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas nilai tambah suatu barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah pajak khusus untuk barang-barang mewah. Seperti PPh Pasal 25, pemotongan atau pemungutan tersebut merupakan angsuran pajak. Untuk PPh dikreditkan pada akhir tahun, sedangkan PPN dikreditkan pada masa diberlakukannya pemungutan dengan mekanisme Pajak Keluaran (PK) dan Pajak Masukan (PM). 3. Subjek Pajak Penghasilan Subjek Pajak Penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak Penghasilan. Pasal 1 UU No.16 Tahun 2000 tentang KUP menyebutkan bahwa Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak dan pemotong pajak tertentu. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UU No.36 Tahun 2008, Subjek Pajak dikelompokkan sebagai berikut: 29 1. Subjek Pajak Orang Pribadi Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia maupun di luar Indonesia. 2. Subjek Pajak Warisan Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak Pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. 3. Subjek Pajak Badan Badan adalah sekelompok orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemeritah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak. Dalam pengertian pengumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan atau ikatan dari pihakpihak yang mempunyai kepentingan yang sama. 30 4. Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, berupa: a. Tempat kedudukan manajemen. b. Cabang perusahaan. c. Kantor perwakilan. d. Gedung kantor. e. Pabrik. f. Bengkel. g. Gudang. h. Ruang untuk promosi dan penjualan. i. Pertambangan dan penggalian sumber alam. j. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi. k. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan atau kehutanan. l. Proyek kontruksi, instalasi atau proyek perakitan. m. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. n. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas. 31 o. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia. p. Komputer, agen elektronik atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet. 5. Tidak Termasuk Subjek Pajak Tidak termasuk Subjek Pajak berdasarkan Pasal 2 UU No.36 Tahun 2008 adalah: a. Kantor perwakilan asing Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan WNI dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. b. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota. c. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat bukan WNI dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia. 32 Contoh: Staf Perwakilan UNESCO, UNICEF dan Organisasi Internasional lain yang tercantum dalam KMK No.547/KMK.04/2000 jo. KMK. No. 230/KMK.03/2001 jo. KMK.243/KMK.03/2003. Nama-nama organisasi atau pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang tidak termasuk Subjek Pajak penghasilan diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008. 6. Objek Pajak Penghasilan Objek pajak dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak (barang, jasa, kegiatan atau keadaan) yang dikenakan pajak. Objek pajak penghasilan adalah penghasilan yang setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk: a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan. c. Laba usaha. d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta. e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak. f. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. 33 g. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak atas harta tak berwujud (hak paten, hak pengarang atau merk dagang). i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing. m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. n. Premi asuransi. o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. p. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah. r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. s. Surplus Bank Indonesia. 7. Tidak Termasuk Objek Pajak Penghasilan Berdasarkan Pasal 4 ayat 3 Undang-Undang No.36 Tahun 2008, terhadap penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan (bukan merupakan Objek Pajak). Penghasilan yang tidak termasuk Objek Pajak menurut ketentuan tersebut adalah: 34 a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atas sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro atau kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. c. Warisan. d. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh. 35 f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa. g. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. h. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai. i. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. j. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif. k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal Ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia. l. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. m. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak 36 diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. n. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. II.1.7. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak 1. Kewajiban Wajib Pajak Sebagai Wajib Pajak tentunya memiliki kewajiban yang harus mereka penuhi sebagai wujud kepatuhan berdasarkan undang-undang dan peran serta dalam pembangunan, kewajiban Wajib Pajak menurut undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 adalah sebagai berikut: a. Mendaftarkan diri pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak, apabila telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. b. Melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayahnya kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. c. Mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap dan jelas dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang Rupiah, serta menandatangani dan menyampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. 37 d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam Bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. e. Membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. f. Membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak. g. Menyelenggarakan Pembukuan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan yang melakukan pencatatan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. h. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak atau objek yang terutang pajak, memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan dan/atau memberikan keterangan lain yang perlu diperiksa apabila diperiksa. 2. Hak-hak Wajib Pajak Hak-hak Wajib Pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 adalah sebagai berikut: a. Melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu) Surat Pemberitahuan Masa. b. Mengajukan surat keberatan dan banding bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu. 38 c. Memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak. d. Membetulkan surat pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. e. Mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. f. Mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak. g. Mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak atau Surat Keputusan Keberatan. h. Menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban susuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. i. Memperoleh Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak dalam hal Wajib Pajak menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya UU No.28 Tahun 2007. II.1.8. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak 1. Pengertian dan Fungsi NPWP dan PKP Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas 39 Wajib Pajak. Setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu NPWP. Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Fungsi memperoleh NPWP bagi Wajib Pajak, seperti: a. Sebagai Pembayaran Pajak di muka (angsuran/kredit pajak) atas Fiskal Luar Negeri yang dibayar sewaktu Wajib Pajak bertolak ke Luar Negeri. b. Sebagai persyaratan ketika melakukan pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). c. Sebagai salah satu syarat pembuatan Rekening Koran di bank-bank. Terhadap Wajib Pajak tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan SE-41/PJ./2003 secara garis besar NPWP mempunyai beberapa fungsi diantaranya adalah sebagai berikut: a. Sebagai sarana dalam administrasi perpajakan. b. Sebagai identitas Wajib Pajak. c. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan. d. Untuk dicantumkan dalam semua dokumen perpajakan. Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah sebagai berikut: a. Dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak. b. Melaksanakan hak di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. c. Serta untuk pengawasan administrasi perpajakan. 40 Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. 2. Pendaftaran untuk mendapatkan NPWP Berdasarkan sistem self assessment setiap Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP dengan cara sebagai berikut: a. Datang langsung kekantor pelayanan pajak (KPP) atau kantor pelayanan penyuluhan dan konsultasi pajak (KP2KP) yang wilayah kerja tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak. b. Melalui Internet di situs Direktorat Jendral Pajak dengan alamat http://www.pajak.go.id. c. Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pula terhadap wanita kawin yang ingin dikenakan pajak secara terpisah dengan suami. d. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha tertentu yang mempunyai tempat usaha berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftakan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya juga diwajibkan mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan. 41 e. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, bila sampai dengan suatu memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi Penghasilan Tidak kena Pajak (PTKP) setahun, Wajib Pajak mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya. f. Wajib Pajak orang pribadi lainnya yang memerlukan NPWP dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh NPWP. 3. Pelaporan Usaha untuk Pengukuhan PKP a. Pengusaha yang dikenakan PPN, wajib melaporkan usahanya pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi PKP. b. Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha berbeda dengan tempat tinggal, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, juga wajib mendaftarkan diri ke KPP di tempat kegiatan usaha dilakukan . c. Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib mengajukan pernyataan tertulis untuk dikukuhkan sebagai PKP. d. Pengusaha kecil yang tidak memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP tetapi sampai dengan suatu masa pajak dalam suatu tahun buku seluruh nilai peredaran bruto telah melampaui batasan yang ditentukan sebagai pengusaha kecil, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir masa pajak berikutnya. 42 II.1.9. Tata Cara Pembayaran Pajak 1. SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) Adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. 2. Surat Setoran Pajak (SSP) Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui kantor dan atau Bank BUMN atau Bank BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. 3. Surat Tagihan Pajak (STP) Sesuai dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat yang digunakan untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak. Surat Ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) atau Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pajak kewenangan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dilimpahkan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Surat Ketetapan Pajak timbul berdasarkan hasil pemeriksaan. 43 II.2. Ketentuan Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak Dalam istilah perpajakan di Indonesia, Ekstensifikasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham/pemilik dan pegawai, maupun Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan. Kegiatan Ekstensifikasi ini dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama melalui Seksi Ekstensifikasi Perpajakan. Jadi, tujuan dari kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak pada dasarnya adalah agar jumlah Wajib Pajak terdaftar pada DJP bertambah, dengan cara mencari subjek pajak yang memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak namun belum terdaftar atau mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak. Dasar Peraturannya adalah Per16/PJ/2007 tentang Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham/pemilik dan pegawai melalui pemberi kerja/bendaharawan pemerintah. II.2.1. Ruang Lingkup Ekstensifikasi Wajib Pajak Ruang lingkup pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak, sesuai Surat Edaran Dirjen Pajak Nomer: SE 03/PJ.01/2010 meliputi: a. Pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP, termasuk pemberian NPWP secara jabatan terhadap Wajib Pajak PPh orang pribadi yang berstatus karyawan perusahaan, orang pribadi yang bertempat tinggal di wilayah atau lokasi pemukiman atau perumahan dan orang pribadi lainnya (termasuk orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 44 jangka waktu 12 bulan), yang menerima atau memperoleh penghasilan melebihi batas PTKP. b. Pemberian NPWP di lokasi usaha termasuk pengukuhan sebagai PKP, terhadap orang pribadi pengusaha tertentu yang mempunyai lokasi usaha di sentra perdagangan atau perbelanjaan atau perkantoran atau mal atau plasa atau kawasan industri dan sentra ekonomi lainnya. c. Pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP terhadap Wajib Pajak badan berdasarkan data yang dimiliki atau diperoleh ternyata belum terdaftar sebagai Wajib Pajak dan atau PKP baik di domisili atau lokasi. II.2.2. Sasaran Ekstensifikasi Wajib Pajak Sasaran utama pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak adalah subjek pajak baik orang pribadi, badan maupun BUT yang telah memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak, tetapi belum mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak. Data yang digunakan untuk pelaksanaan ekstenskasi Wajib Pajak meliputi data intern dan data ekstern, berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-03/PJ./2001. II.2.3. Unit Organisasi Pelaksana Ekstensifikasi Wajib Pajak Unit organisasi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang melaksanakan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Sedangkan bagian yang terkait langsung adalah seksi Pengolahan Data dan Informasi (Seksi PDI) dan Kantor Penyuluhan Pajak yang berada diluar kedudukan KPP. Dalam hal kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dimaksudkan untuk menghitung jumlah pajak terutang, Kepala KPP dapat menunjuk petugas pada Seksi PPh, Seksi PPN dan Pajak Tidak Langsung Lainnya (PTLL), serta petugas dari seksi lainnya di KPP yang bersangkutan untuk diperbantukan pada seksi PDI dan atau Kantor Penyuluhan Pajak. 45 II.3. Ketentuan Pelaksanaan Intensifikasi Wajib Pajak Dalam rangka meningkatkan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan mengoptimalkan penerimaan pajak, Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor: SE-06/PJ.9/2001 Tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensiflkasi Pajak, yang dimaksud dengan intensifikasi pajak menurut SE-06/PJ.9/2001 adalah kegiatan optimalisasl penggalian penerimaan pajak terhadap objek serta subjek pajak yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak dan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa tujuan utama dari kegiatan intensifikasi pajak adalah optimalisasi penerimaan pajak dari Wajib Pajak yang sudah ada dan Wajib Pajak baru hasil kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak. II.3.1. Ruang Lingkup Intensifikasi Pajak Ruang lingkup intensifikasi pajak menurut SE-06/PJ.9/2001 meliputi: 1. Penentuan jumlah angsuran pajak penghasilan Pasal 25 dan atau jumlah PPN yang harus disetor dalam tahun berjalan, dimulai sejak Januari sampai dengan akhir tahun yang bersangkutan. 2. Penentuan jumlah PPN yang terutang atas transaksi penjualan dalam tahun berjalan, khususnya untuk PKP Pedagang Eceran yang mempunyai usaha di sentra perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mal atau plasa dan sentra ekonomi lainnya. II.3.2. Sasaran Intensifikasi Pajak Sasaran utama pelaksanaan intensifikasi pajak adalah Wajib Pajak yang telah tercatat atau terdaftar pada administrasi DJP dan Wajib Pajak baru hasil dari kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak. Data yang digunakan untuk pelaksanaan intensifikasi pajak 46 meliputi data intern dan data ekstern yang selengkapnya dapat dilihat pada SE06/PJ.9/2001. II.3.3. Unit Organisasi Pelaksanaan Intensifikasi Pajak. Unit organisasi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang melaksanakan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Sedangkan bagian yang terkait langsung adalah Seksi Pengolahan Data dan Informasi (Seksi PDI) dan Kantor Penyuluhan Pajak yang berada diluar kedudukan KPP. Dalam hal kegiatan intensifikasi pajak dimaksudkan untuk menghitung jumlah pajak terutang, Kepala KPP dapat menunjuk petugas pada Seksi PPh, Seksi PPN dan PTLL, serta petugas dari seksi lainnya di KPP yang bersangkutan untuk diperbantukan pada Seksi PDI dan atau Kantor Penyuluhan Pajak. Sedangkan petugas pelaksana yang melaksanakan kegiatan intensifikasi pajak adalah petugas yang memenuhi kualifikasi sebagai pelaksana kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak meliputi: 1. Petugas yang ditunjuk oleh kepala KPP. 2. Petugas Kantor Penyuluhan Pajak yang ditunjuk oleh Kepala KPP. 3. Petugas lain yang ditunjuk oleh Kepala Kanwil DJP. 47