naskah publikasi hubungan antara kecerdasan emosi dengan

advertisement
1
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN
PERILAKU AGRESIF PADA ANAK JALANAN
Oleh:
RAHMA DWIMARINI PRIBADI
H. FUAD NASHORI, S.Psi., M.Si., Psi
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2009
2
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN
PERILAKU AGRESIF PADA ANAK JALANAN
Telah Disetujui Pada Tanggal
_________________
Dosen Pembimbing Utama
(H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., Psi)
3
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN
PERILAKU AGRESIF PADA ANAK JALANAN
Rahma Dwimarini Pribadi
H. Fuad Nashori
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan negatif antara kecerdasan emosi
dengan perilaku agresif. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada
hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan perilaku agresif pada anak jalanan.
Semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah perilaku agresif anak jalanan.
Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosi maka semakin tinggi perilaku agresif anak
jalanan.
Subjek penelitian ini adalah anak jalanan yang tergabung dalam Rumah Singgah
Anak Jalanan Girlan Nusantara. Subjek penelitian berjumlah 33 responden, terdiri dari 20
orang laki-laki dan 13 orang perempuan. Skala yang digunakan adalah skala yang disusun
sendiri oleh peneliti. Adapun skala yang digunakan adalah skala perilaku agresif dengan
mengacu pada aspek-aspek yang dikemukakan oleh Berkowitz (1995) dan skala
kecerdasan emosi dengan mengacu pada aspek-aspek yang dikemukakan oleh Goleman
(2004).
Metode analisis data yang digunakan menggunakan program SPSS (Statistical
Programme for Social Science) 16,00 for Windows untuk menguji hubungan antara
kecerdaasn emosi dengan perilaku agresif. Hasil korelasi product moment
dari
Pearson manunjukkan angka korelasi sebesar rxy = -0,809 dengan p = 0,000 atau p
< 0,01 yang artinya ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kecerdasan emosi
dengan perilaku agresif pada anak jalanan. Jadi, hipotesis yang diajukan pada penelitian
ini diterima. Sumbangan efektif varibel kecerdasan emosi terhadap perilaku agresif
cukup besar, yaitu 65,4 %, dan artinya 34,6 % disebabkan oleh faktor lain yang tidak
diikut sertakan dalam penelitian ini.
Kata Kunci : Perilaku Agresif, Kecerdasan Emosi
4
PENGANTAR
Anak jalanan menurut Dinas Sosial Prop. DIY adalah anak yang berusia
5-21 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah
dan
atau
berkeliaran
di
jalanan
maupun
di
tempat-tempat
umum
(www.dinsos.pemda-diy.go.id, 27/10/08).
Merebaknya anak jalanan (anjal) di Indonesia merupakan salah satu dari
persoalan sosial yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan bukan merupakan
pilihan yang menyenangkan, karena mereka tidak memiliki masa depan yang
cerah, dan terkadang keberadaan mereka menjadi masalah bagi banyak pihak,
diantaranya keluarga, masyarakat dan negara.
Masyarakat beranggapan bahwa krisis moneter yang dimulai pada tahun
1997 merupakan penyebab
merebaknya
anak jalanan. Sulistyo (Kabid.
Kesejahteraan Sosil Prop. DIY) menjelaskan bahwa faktor yang membuat
individu menjadi anak jalanan, di antaranya adalah faktor kemiskinan dan
kekerasan dalam rumah tangga. Implikasi ketidakmampuan orang tua memenuhi
kebutuhan dan hak anak membuat anak harus bekerja keras mencari penghasilan
guna memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini kadang makin diperparah dengan
kekerasan
fisik
atau
emosional
orang
tua
terhadap
anak
(www.mitrawacanawrc.com, 28/10/08).
Jumlah anak jalanan di Yogyakarta dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Hal ini di tunjukkan melalui pemutakhiran Data Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Dinas Sosial Prop. D.I Yogyakarta, yaitu
5
anak jalanan pada tahun 2008 berjumlah 1.305 orang, dan pada tahun 1997 anak
jalanan berjumlah sekitar 1.200 orang (www.dinsos.pemda-diy.go.id, 28/10/08).
Kehidupan anak jalanan sangat rentan dengan tindak kekerasan. Anak-anak
jalanan ini dihadapkan pada permasalahan hidup seperti masalah ekonomi dan
masalah keluarga. Di jalanan banyak tuntutan yang menuntut mereka hidup secara
mandiri, membiayai diri sendiri dan keluarga, tinggal terpisah dari keluarga, serta
mengikuti aturan dan norma yang berlaku di masyarakat. Kondisi tersebut bila
disertai oleh lingkungan yang kurang kondusif dan kepribadian yang negatif dapat
menjadi pemicu timbulnya perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar hukum
dan norma yang ada di masyarakat. Hal ini didukung oleh pendapat Wilis
(Suryani, 2003) yang menyatakan bahwa remaja, termasuk anak jalanan,
cenderung melakukan reaksi negatif ketika berhadapan dengan situasi atau
permasalahan yang sulit.
Hasil penelitian Annisa (2004) menunjukkan bahwa perilaku agresif pada
anak jalanan dapat berbahaya. Hal ini bisa dilihat dari kebiasaan-kebiasaan
tertentu yang mereka jalani sehari-hari, yang dijadikan indikasi kecenderungan
perilaku agresif tersebut, misalnya mengganggu pengendara mobil yang berhenti
di persimpangan jalan. Gangguan ini bisa berupa mencaci maki pengendara mobil
yang tidak memberi uang atas jerih payahnya mengamen, menggores mobil
dengan uang logam atau dengan alat musik yang dibawa, menggedor-gedor kaca
mobil, memasang paku bahkan merampok.
Perilaku agresi ini tidak hanya ditujukan kepada orang di luar lingkungannya
tetapi juga ditujukan kepada sesama anak jalanan yang lainnya (Annisa, 2003).
6
Pendapat ini sesuai dengan hasil dari observasi dan wawancara peneliti dengan
beberapa masyarakat di sekitar wilayah tempat anak-anak jalanan ini bekerja, di
daerah Yogyakarta, sebelum peneliti melakukan penelitian. Hasil observasi dan
wawancara menunjukkan bahwa objek agresi dari anak-anak jalanan ditujukan
pada pengguna jalanan, kepada masyarakat, dan kepada sesama anak jalanan
sendiri
Ketika peneliti melakukan observasi di lapangan, terlihat beberapa bentuk
perilaku agresif yang dilakukan anak jalanan terhadap pengguna jalan,
diantaranya ada seorang anak jalanan yang memaksa seorang pengguna jalan
memberikan uang kepada mereka, dan jika tidak diberi uang maka pengguna jalan
mendapat umpatan dan caci maki dari anak jalanan. Selain mendapat umpatan dan
caci maki, kendaraan yang digunakan pengguna jalan tersebut juga ditendang oleh
anak jalanan. Menurut warga sekitar, pernah ada anak jalanan yang menyebarkan
paku di jalanan untuk mengganggu pengguna jalan.
Hasil observasi di lapangan juga menunjukkan bahwa terlihat beberapa
orang anak jalanan sedang bertengkar di tempat umum. Salah seorang anak
jalanan terlihat sedang mumukul temannya sendiri. Menurut cerita dari seorang
anak jalanan perempuan berinisial An (17 tahun), temannya yang sesama anak
jalanan laki-laki berinisial Bg (18 tahun) selalu meminta uang dengan paksa
kepada An dan kepada teman-temannya yang lain untuk membelikan
makanannya, membelikan rokok, dan memenuhi keinginan Bg lainnya. Jika
keinginan Bg tidak dipenuhi maka Bg akan memukul, meninju, menendang, dan
mengancam anak An dan anak jalanan lainnya yang tidak mau memberikan apa
7
yang dia inginkan. Berdasarkan wawancara informal peneliti dengan salah
seorang warga di sekitar wilayah tempat anak jalanan beroperasi, diperoleh
informasi bahwa
anak jalanan yang berkelahi di tempat umum sudah biasa
terjadi. Pada bulan Agustus (2008) sedikitnya ada dua orang anak jalanan yang
saling pukul-pukulan di pasar.
Selain sering terjadi pemukulan dan pemerasan, fakta lain yang ditemui
peneliti di lapangan adalah terjadi kasus perkosaan yang dilakukan seorang anak
jalanan. Sebut saja Bunga (bukan nama sebenarnya) berusia 16 tahun dan Asep
(bukan nama sebenarnya) berusia 18 tahun. Bunga
dipaksa Asep melakukan
hubungan seksual, dan dari hubungan itu Bunga memperoleh seorang anak tanpa
status, karena Asep tidak mau bertanggungjawab terhadap anak yang dilahirkan
Bunga.
Masyarakat di sekitar tempat anak jalanan beroperasi juga tidak lepas
menjadi objek agresi beberapa anak jalanan. Menurut salah satu warga, beberapa
anak jalanan juga ada yang suka memaksa warga sekitar memberikan uang kepada
mereka. Anak jalanan juga selalu membuat keributan di lingkungan tempat
mereka tinggal.
Irma (bukan nama sebenarnya) yang menjadi pengurus salah satu rumah
singgah anak jalanan di Yogyakarta, mengakui bahwa anak jalanan memang
sangat rentan melakukan perilaku agresif. Anak jalanan seringkali melawan pada
perintah orang tua, terlibat perkelahian, mengganggu orang lain, tidak mentaati
peraturan, memalak, berkata kotor atau berkata yang tidak pantas, dan emosi
mereka mudah terpancing dengan masalah-masalah kecil. Dari beberapa perilaku
8
agresif yang dilakukan anak jalanan ini pernah membuat beberapa orang dari anak
jalanan terpaksa harus ditahan oleh aparat kepolisian karena bentuk perilaku
mereka sudah mengarah kepada tindak kriminal.
Jika perilaku agresif anak jalanan ini terus berlanjut maka akan banyak
sekali dampak negatif yang mereka terima, diantaranya mereka (anak jalanan)
akan dibenci keluarga, dikucilkan dari pergaulan, di cap masyarakat sebagai
penganggu ketertiban, dianggap sebagai pelaku tindak kekerasan, dan bisa saja
mereka di jebloskan ke penjara oleh aparat kepolisian atas perilaku agresif yang
mereka lakukan. Maka dari itu, perilaku agresif penting untuk diteliti agar dapat
meminimalkan dampak negatif dari perilaku agresif tersebut.
Berbagai perilaku agresif yang ditunjukkan oleh anak-anak jalanan tersebut,
menurut Sobur (2003) merupakan bagian dari reaksi emosional. Anak-anak ini
berperilaku agresif karena berbagai faktor yang pada akhirnya menekan emosi
mereka untuk bertindak agresif.
Gani (2006) menjelaskan bahwa anak jalanan yang keadaan emosinya
kadang-kadang labil tentu saja tidak dapat menyelesaikan masalah dengan baik,
bahkan banyak sekali perilaku menyimpang yang dilakukan untuk menghindari
suatu permasalahan, dan menurut Pretonjee (Gani 2006), dalam keadaan terpaksa
dan sangat tertekan mereka akan mengakhiri, melarikan diri dari permasalahan
untuk mengurangi ketegangan dalam dirinya.
Lebih lanjut Goleman (2004) menjelaskan bahwa perilaku agresif
merupakan barometer adanya suatu ketidakmampuan remaja dalam mengatasi
masalah yang dihadapi. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa individu gagal
9
dalam memahami, mengelola dan mengendalikan emosinya ketika menghadapi
suatu permasalahan, dan mereka membutuhkan pengetahuan yang bisa membantu
mereka dalam mengatasi masalah atau konflik yang sedang dihadapi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku agresif adalah kecerdasan
emosi, yaitu kemampuan untuk mengamati degan tepat emosi diri sendiri dan
orang lain, melatih dengan benar emosi diri sendiri, dan menjalankan emosi serta
perilaku dalam berbagai situasi kehidupan, menjalin hubungan baik secara tulus
dengan keramahan dan rasa hormat, dan kecerdasan emosi terdiri dari kesadaran
diri, kontrol diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial (Goleman, 2004).
Hal ini sependapat dengan yang dikatakan Krahe (2005) bahwa pelaku
agresi yang melakukan berbagai penyerangan atau agresi dan perilaku kriminal
seringkali dibarengi dengan kontrol diri yang rendah pada aktivitas lainnya. Jika
individu memiliki kontrol diri yang baik maka individu tersebut akan mampu
mengontrol dirinya dalam menghadapi berbagai macam situasi, mampu mengelola
perasaan-perasaan yang impulsif dan emosi yang menekan, tetap tenang dan tidak
goyah ketika menghadapi situasi yang tidak menyenangkan, serta berpikir jernih
dan fokus terhadap permasalahan yang dihadapi (Goleman, 2004).
Dayakisni dan Hudaniyah (2003) juga menjelaskan bahwa kesadaran diri
yang rendah bisa memicu orang berperilaku agresif. Rendahnya kesadaran diri
dapat
menghasilkan
perasaan
tertentu
sehingga
seseorang
tidak
lagi
mempertimbangkan orang lain dan merasa tidak memiliki kebutuhan untuk takut
terhadap kecaman atau pembalasan atas perilakunya, dan membimbing individu
pada keadaan deindividuasi yang mengakibatkan perhatiannya menjadi lebih
10
rendah terhadap pikiran, perasaan, nilai-nilai dan standar perilaku yang
dimilikinya.
Survey yang telah dilakukan oleh Secapramana (1999) membuktikan bahwa
individu yang memiliki kecerdasan emosi yang rendah
lebih kesepian dan
pemurung, lebih berangasan dan kurang menghargai sopan santun, lebih gugup
dan mudah cemas, lebih impulsif dan agresif, dan bentuk dari kemerosotan emosi
(rendahnya kecerdasan emosi) tampak dalam masalah-masalah seperti berikut: (1)
Menarik diri dari pergaulan atau masalah sosial; lebih suka menyendiri, bersikap
sembunyi-sembunyi, banyak bermuram durja, kurang bersmangat, merasa tidak
bahagia, terlaluu bergantung., (2) Cemas dan depresi, menyendiri, sering takut,
ingin sempurna, merasa tidak dicintai, merasa gugup atau sedih, (3) Berperilaku
nakal atau agresif, seperti bergaul dengan anak-anak yang bermasalah, bohong
dan menipu, sering bertengkar, bersikap kasar pada orang lain, menuntut
perhatian, merusak milik orang lain, membandel di sekolah dan di rumah, keras
kepala dan suasana hatinya sering berubah-ubah, terlalu banyak bicara, sering
mengolok-olok, dan bertemperamen panas.
Mischel (Goleman, 2004) menjelaskan
emosinya secara
pribadi
lebih
bahwa
individu
yang cerdas
efektif, lebih tegas, mampu menghadapi
kekecewaan hidup, tidak mudah hancur di bawah beban stres, siap mencari
tantangan, percaya diri, yakin akan kemampuannya, dapat dipercaya dan
diandalkan, sering mengambil inisiatif, ikut secara langsung dalam menyelesaikan
masalah. Smigla dan Pastoris (Gani, 2006) juga menyimpulkan bahwa seseorang
yang memiliki kecerdasan emosi yang baik dapat mengatur emosinya, sehingga
11
mampu menyelesaikan setiap persoalan hidup dan gejolak di dalam dirinya,
memungkinkan individu untuk memulihkan kehidupan dan kesehatannya,
membangun hubungan kasih sayang dan hubungan yang baik dengan sesama,
serta dapat meraih kebahagiaan dalam hidup dan pekerjaan, jika individu sudah
bisa mengatur emosinya maka kecenderungan berperilaku agresif dapat di
minimalkan.
Goleman (2004) mengatakan bahwa setiap individu, termasuk anak jalanan,
perlu diberikan pemahaman tentang kecerdasan untuk mengelola emosi dan
pemahaman tentang emosi, dan sudah menjadi tugas lingkungan sosial, terutama
keluarga untuk memberikan pemahaman tersebut pada anak, dan membentuk
lingkungan yang baik agar terbentuk kepribadian anak yang menyenangkan. Anak
jalanan perlu mendapatkan pemahaman tentang kecerdasan emosi agar mereka
tumbuh menjadi manusia menyenangkan dan penuh kasih sayang. Dengan
memiliki kecerdasan emosi seseorang akan dapat memotivasi diri, tidak mudah
frustrasi, dan mampu mengendalikan perilaku agresifnya (Goleman, 2004).
Komponen-komponen yang terdapat dalam kecerdasan emosi dapat
digunakan untuk meminimalkan kecenderungan berperilaku agresif, komponenkomponen tersebut menurut Goleman (2004) adalah kemampuan menanggulangi
emosi mereka dengan baik dan memperhatikan kondisi emosinya (kesadaran diri),
mengolah dan merespon emosi dengan benar untuk orang lain, mampu
mengendalikan diri (kontrol diri), mampu bertahan dan terus berusaha untuk
mencapai hasil yang baik (motivasi diri), merasakan kemalangan orang lain,
mempunyai pandangan moral, simpatik dan hangat dalam hubungan-hubungan
12
mereka (empati),
mudah bergaul serta mampu menangani dan menyesuaikan
emosi dengan orang lain
(keterampilan sosial),
sedangkan individu
yang
memiliki kecerdasan emosi yang rendah bisa mengakibatkan munculnya emosi
negatif yang berlebihan, seperti ketakutan dan
permusuhan, dan kesulitan
mengarahkan perilaku ke arah yang positif.
Maka dari itu, individu yang memiliki kecerdasan emosi yang baik bisa
mengontrol perilaku agresifnya karena kecerdasan emosi memilik beberapa
komponen penting untuk mengarahkan perilakunya, yaitu kesadaran diri, kontrol
diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial. Atas dasar pemahaman ini
maka penelitian ini diarahkan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan
emosi dengan perilaku agresif pada anak jalanan.
METODE PENELITIAN
A. Subjek Penelitian
Subjek yang digunakan pada penelitian ini adalah anak-anak jalanan di
Girlan Nusantara yang berusia 16-18 tahun, dan subjek penelitian berjumlah 33
orang.
B. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan skala. Peneliti akan menggunakan dua buah skala untuk
mengukur kedua variabel, yaitu:
13
1. Skala Perilaku Agresif
Alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur perilaku agresif yaitu skala
perilaku agresif. Skala perilaku agresif yang digunakan merupakan skala yang
disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori dari Berkowitz (1999), terdiri dari
tujuh aspek yaitu agresi instrumental, agresi emosional, agresi impulsif, agresi
fisik langsung, agresi fisik tidak langsung, agresi verbal langsung, dan agresi
verbal tidak langsung.
2. Skala Kecerdasan Emosi
Alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur kecerdasan emosi yaitu
skala kecerdasan emosi. Skala kecerdasan emosi yang digunakan merupakan skala
yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori dari Goleman (2004), terdiri
dari lima aspek yaitu kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi, empati, dan
keterampilan sosial.
C. Metode Analisis Data
Penelitian ini termasuk jenis penelitian korelasional, yaitu mencari
hubungan antara kecerdasan emosi dengan perilaku agresif pada anak jalanan.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan model
analisis korelasi product moment dari Pearson, dengan menggunakan analisis
SPSS (statistic programe for social science) for Windows versi 16.
14
HASIL PENELITIAN
1. Hasil Uji Asumsi
Sebelum melakukan analisis data , terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang
meliputi uji normalitas dan uji linieritas. Uji normalitas dan uji linieritas
merupakan syarat sebelum dilakukannya pengetesan nilai korelasi, dengan
maksud agar kesimpulan yang ditarik tidak menyimpang dari kebenaran yang
seharusnya ditarik (Hadi, 2001).
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dengan menggunakan teknik one-sample KolmogorofSmirnov Test dari program SPSS 16.00 for windows menunjukkan nilai K-SZ
sebesar 1,019 dengan nilai p = 0,250 (p > 0,05) untuk perilaku agresif dan
nilai K-SZ sebesar 0,780 dengan p = 0,577 (p > 0,05) untuk kecerdasan emosi.
Hasil uji normalitas ini menunjukkan bahwa perilaku agresif dan kecerdasan
emosi memiliki sebaran normal.
b. Uji Linieritas
Hasil uji linearitas dengan menggunakan program SPSS (Statistic
Program For Social Science) 16.00 for windows dengan teknik Bivariation
Linear menunjukkan F = 122,380 dengan p = 0,000. Berdasarkan hasil analisis
di atas, dapat dikatakan bahwa hubungan kedua variabel tersebut adalah linier
karena p<0,05.
15
2. Uji Hipotesis
Untuk mengetahui adanya hubungan antara kecerdasan emosi dengan
perilaku agresif, maka digunakan uji korelasi dengan menggunakan korelasi
product moment dari Pearson dengan menggunakan program komputer SPSS
(Statistic Program For Social Science) 16.00 for windows.
Hasil analisis data menunjukkan korelasi antara variabel kecerdasan emosi
dengan perilaku agresif, nilai rxy = -8,09 dengan p = 0,000 (p<0,01). Hal ini
menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara
kecerdasan emosi dengan perilaku agresif, dan dengan demikian hipotesis
diterima.
Analisis koefisien determinasi pada korelasi antara variabel kecerdasan
emosi dengan perilaku agresif pad anak jalanan menunjukkan angka sebesar
sebesar 0,654. Ini berarti sumbangan efektif kecerdasan emosi terhadap perilaku
agresif sebesar 65,4 % dan 34,6 % disebabkan faktor lain yang tidak disertakan
dalam penelitian ini.
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kecerdasan emosi
dengan perilaku agresif pada anak jalanan. Berdasarkan hasil analisis data
penelitian, maka hipotesis yang telah diajukan, yaitu ada hubungan negatif antara
kecerdasan emosi dengan perilaku agresif dapat diterima. Hasil korelasi dengan
16
menggunakan teknik korelasi product moment dari Person menunjukkan koefisien
korelasi (r) sebesar -0,809 dengan p= 0,000 (p<0,01), dengan hasil tersebut dapat
diartikan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kecerdasan
emosi dengan perilaku agresif pada anak jalanan. Semakin tinggi kecerdasan
emosi, maka semakin rendah perilaku agresif, dan sebaliknya, semakin rendah
kecerdasan emosi, maka semakin tinggi perilaku agresif pada anak jalanan.
Adanya hubungan antara kecerdasan emosi dengan perilaku agresif semakin
memperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Secapramana (1999) yang
menemukan bahwa kecerdasan emosi berpengaruh pada perilaku seseorang,
dimana individu yang memiliki kecerdasan emosi yang rendah menghasilkan
bentuk perilaku nakal atau agresif, seperti bergaul dengan anak-anak yang
bermasalah, bohong dan menipu, sering bertengkar, bersikap kasar pada orang
lain, menuntut perhatian, merusak milik orang lain, membandel di sekolah dan di
rumah, keras kepala dan suasana hatinya sering berubah-ubah, terlalu banyak
bicara, sering mengolok-olok, dan bertemperamen panas.
Kondisi ini menunjukkan bahwa peran kecerdasan emosi sangat membantu
anak jalanan dalam mengontrol perilaku agresif mereka.
Goleman (2004)
menyatakan bahwa saat dihadapkan pada faktor pencetus perilaku agresi maka
individu yang kecerdasan emosinya tinggi dapat menanggulangi emosi mereka
dengan baik dan memperhatikan kondisi emosinya (kesadaran diri), mengolah dan
merespon emosi dengan benar untuk orang lain, mampu mengendalikan diri
(kontrol diri), mampu bertahan dan terus berusaha untuk mencapai hasil yang baik
(motivasi diri), merasakan kemalangan orang lain, mempunyai pandangan moral,
17
simpatik dan hangat dalam hubungan-hubungan mereka (empati), mudah bergaul
serta mampu menangani dan menyesuaikan emosi dengan orang lain
(keterampilan sosial), sedangkan individu yang memiliki kecerdasan emosi yang
rendah bisa mengakibatkan munculnya emosi negatif yang berlebihan, seperti
ketakutan dan permusuhan, dan kesulitan mengarahkan perilaku ke arah yang
positif.
Lebih lanjut Salovey dan Mayer (Goleman, 2004) menjelaskan bahwa
besarnya
pengaruh
kecerdasan
emosi
menyebabkan
seseorang
mampu
menentukan perasaan emosi, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain,
memilah-milah semuanya dan kemudian menggunakan informasi ini untuk
membimbing pikiran dan perilaku. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa
kecerdasan emosi dapat mempengaruhi perilaku seseorang, dan dalam penelitian
ini perilaku yang dipengaruhi kecerdasan emosi adalah perilaku agresif.
Hal tersebut sesuai dengan hasil yang ditunjukkan dari hasil analisis data
bahwa sumbangan efektif variabel kecerdasan emosi terhadap perilaku agresif
cukup besar, yaitu 65,4 %. Artinya bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
perilaku agresif adalah kecerdasan emosi, sementara sisanya 34,6 % disebabkan
oleh faktor lain yang tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Faktor-faktor lain
tersebut antara lain faktor sosial ekonomi seperti tingkat pendapatan yang rendah,
tingkat pendidikan yang rendah, dan kondisi perumahan yang buruk (Cornell,
dalam Berkowitz, 1999). Selain faktor tersebut, faktor deindividuasi, kekuasaan
dan kepatuhan, serta provokasi memberikan peran terhadap perilaku agresif
(Dayakisni dan Hudaniyah, 2003).
18
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosi anak jalanan
termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini dikarenakan kecerdasan emosi
berpengaruh pada perilaku tiap individu dalam menguasai permasalahan yang
terjadi dalam dirinya dan permasalahan yang terjadi dengan orang lain. Individu
yang memiliki kecerdasan emosi akan mampu mengendalikan perilaku agresifnya
dan mampu bertahan dalam situasi-situasi yang mendesak, tidak mudah frustrasi,
dan dapat memotivasi diri untuk menjadi lebih baik (Goleman, 2004).
Hasil penelitian ini memiliki mean empirik kecerdasan emosi sebesar 93,18
dan mean hipotetik 80. Selain itu, persentase anak jalanan yang mendapatkan
kecerdasan emosi yang tinggi sebanyak 20 orang (60,61%), sedang 8 orang
(24,24%), sangat tinggi 3 orang (9,09%), dan rendah 2 orang (6,06%).
Perilaku agresif yang diperoleh anak jalanan 67,2<X=92,4 berada dalam
kategori rendah dengan mean empirik 87,70 dan mean hipotetik 105. Persentase
anak jalanan denga tingkat perilaku agresif sangat rendah sebanyak 5 orang
(15,15%), rendah 18 orang (54,55%), sedang 4 orang (12,12%), dan tinggi
sebanyak 6 orang (18,18%).
Dari hasil analisis data, kategorisasi perilaku agresif anak jalanan dalam
penelitian ini mayoritas berada pada kategori rendah. Rendahnya perilaku agresif
anak jalanan dikarenakan mereka memiliki tingkat kecerdasan emosi yang tinggi.
Selain tingkat kecerdasan emosi yang dimiliki anak jalanan tinggi, faktor lain juga
bisa menyebabkan rendahnya perilaku agresif anak jalanan. Faktor lain tersebut
bisa saja disebabkan terjadi ketidakjujuran subjek penelitian dalam menjawab
19
pernyataan-penyataan pada skala penelitian, dan bisa juga terjadi karena terdapat
kelemahan pada penelitian.
Kelemahan dalam
penelitian ini diantaranya kelemahan peneliti dalam
membuat pernyataan-pernyataan pada skala penelitian. Skala penelitian ini dibuat
sendiri oleh peneliti, sehingga memungkinkan terdapat kata-kata atau kalimat
pada penyataan (aitem) skala penelitian yang penggunaan bahasanya masih
ambigu (rancu), dan kemungkinan pernyataan-pernyataan pada skala penelitian ini
masih belum tepat digunakan untuk subjek penelitian.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan negatif yang sangat signifikan
antara kecerdasan emosi dengan perilaku agresif pada anak jalanan yang
ditunjukkan rxy = -0,809 dengan p = 0,000 (p<0,01). Semakin tinggi kecerdasan
emosi maka semakin rendah perilaku agresif anak jalanan. Sebaliknya semakin
rendah kecerdasan emosi anak jalanan maka semakin tinggi perilaku agresif anak
jalanan. Jadi, hipotesis yang menyatakan ada hubungan negatif antara kecerdasan
emosi dengan perilaku agresif pada anak jalanan dapat diterima.
Mayoritas anak jalanan memiliki tingkat kecerdasan emosi yang tinggi
(60,61%) dan tingkat perilaku agresif yang rendah (54,55%), dan kecerdasan
emosi memiliki sumbangan efektif sebesar 6,4 % dalam mempengaruhi perilaku
20
agresif sedangkan sisanya sebear 34,6% disebabkan oleh faktor lain yang tidak
diikutsertakan dalam penelitian ini.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian ada beberapa hal yang dapat disarankan
peneliti, antara lain :
1. Anak Jalanan
Berdasarkan data penelitian yang diperoleh peneliti, diketahui bahwa
kecerdasan emosi anak jalanan berada dalam kategori tinggi. Hal ini sangat baik
dan harus dipertahankan. Dengan kecerdasan emosi yang tinggi maka anak
jalanan dapat mengontrol perilaku agresif dengan baik.
2. Bagi Pengurus Yayasan dan Rumah Singgah Anak Jalanan
Bagi pengurus yayasan dan rumah singgah anak jalanan Girlan Nusantara
agar dapat melakukan langkah-langkah untuk menindaklanjuti penelitian ini
dengan memberikan pemahaman tentang kecerdasan emosi melalui program
pelatihan mengenai kecerdasan emosi untuk para anak jalanan. Program tersebut
akan berguna bagi anak jalanan dalam memahami emosi mereka, emosi orangorang disekelilingnya, memotivasi diri, mengendalikan diri, berempati dengan
orang lain, dan memiliki keterampilan sosial yang baik sehingga terbentuk
kepribadian yang menyenangkan.
21
3. Bagi peneliti Lainnya
Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk menggali lebih lanjut mengenai
kecerdasan emosi maupun perilaku agresif dapat memfokuskan pada aspek-aspek
yang akan diteliti berdasarkan teori-teori yang sesuai.
Peneliti selanjutnya juga diharapkan lebih cermat dalam membuat
pernyataan-pernyataan pada skala penelitian, pernyataan atau aitem yang dibuat
harus mudah dipahami oleh subjek penelitian dan pernyataan atau aitem tersebut
harus tepat sasaran.
22
DAFTAR PUSTAKA
Anissa, M. 2004. Hubungan Antara Stres Dengan Kecenderungan Perilaku Agresi
Pada Anak Jalanan. Skripsi. Semarang : Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Azwar, S. 2006. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Berkowitz, L. 1995. Agresi 1, Sebab dan Akibatnya. Jakarta: Pustaka Binaman
Pressindo.
Dayakisni, T., & Hudaniah. 2003. Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.
Dinas Sosial Prop. DIY. 2008. Rekapitulasi Data PMKS Prop. DIY Tahun 2008.
www.dinsospemda-diy.go.id. 27/10/08
Gani, A. 2006. Hubungan Antara Kecerdaan Emosi & Kecerdasan Spiritual
dengan Kecenderungan Berperilaku Delinkuen Pada Remaja Awal. Tesis.
Yogyakarta: Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Goleman, D. 2004. Kecerdasan Emosi (Alih Bahasa: Hermaya, T). Jakara: PT.
Gramedia Pustaka.
Hadi, S. 2001. Statistik, Jilid 2. Yogyakarta: Andi.
Hurlock, E. B. 1999. Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Kartono, K. 2003. Pathologis Sosial 2, Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali
Press.
Kompas. 2007. Penanganan Anak Jalanan Belum Maksimal, Panti Sosial Perlu
Dibangun. www.kompascetak.comkompas. 29/10/08.
Krahe, B. 2005. Perilaku Agresif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nashori, F. 2008. Psikologi Sosial Islami. Bandung: Refika Aditama.
Radio Anak Jogja. Di DIY. 2007. Penanganan Anak Jalanan di DIY.
www.mitrawacanawrc.commod. 29/10/08
Sari, M. Y. 2005. Kecerdasan Emosi Dan Kecenderungan Psikopatik Pada
Remaja Delinkuen Di Lembaga Pemasyarakatan. Jurnal Psikodinamik, Vol.
7, No. 1.
23
Secapramana. 1999. Emotional Intelligence. http://secapramana.tripod.com.
21/11/08.
Silvia, dan F. Iriani R. D. 2003. Pengaruh Tayangan Kekerasan Dalam Film
Terhadap Perilaku Agresif pada Remaja Awal Laki-Laki. Phoronesis, Vol. 5
No. 10 Desember 2003.
Sobur, A. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Suryani. 2003. Perilaku Agresif Remaja Ditinjau Dari Pengelolaan Diri dan
Persepsi Terhadap Pola Asuh Authoritarian Orangtua. Tesis. Yogyakarta :
Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada.
Tauran. 2000. Studi Profil Anak Jalanan Sebagai Upaya Perumusan Model
Kebijakan Penanggulangannya : Suatau Studi Terhadap Profil Anak Jalanan
di Terminal Busa Tanjung Priok. Jurnal Administrasi Negara, Vol. I, No. 1.
Yuniarto, Agung. 2003. Studi Tentang Nilai-Nilai Budaya Jawa dan Agresivitas
Remaja. Jurnal Psikodinamik, Vol. 4, No. 1.
Yusuf, Y. S. 2001. Psikologi Perkembangan Anak Remaja. Bandung : Remaja
Rosda Karya.
2007. Di Jalanan Anak Itu Bekerja. httpgumunan.wordpress.com. 29/10/08.
2007. Penanganan Anak Jalanan Belum Maksimal : Panti Sosial Perlu Dibangun.
www.kompas cetak.com. 28/10/08
2008. Gepeng Jalanan Dipenuhi Wajah Baru. httpsuaramerdeka.com. 29/10/08.
24
Identitas Penulis
Nama
: Rahma Dwimarini Pribadi
Alamat
: Komplek Perumahan Pemda Kab. Siak, Prop. Riau
No. Tlp / Hp : - / 085228277733
Download