Templat tesis dan disertasi

advertisement
MASKULINISASI IKAN NILA MELALUI PERENDAMAN LARVA
PADA SUHU 36 °C DAN PENGUKURAN RESIDU
17α-METILTESTOSTERON
MEGA DISSA AFPRIYANINGRUM
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul maskulinisasi ikan nila
melalui perendaman larva pada suhu 36 °C dan pengukuran residu 17αmetiltestosteron adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2016
Mega Dissa Afpriyaningrum
NIM C151140321
RINGKASAN
MEGA DISSA AFPRIYANINGRUM. Maskulinisasi ikan nila melalui
perendaman larva pada suhu 36 °C dan pengukuran residu 17α-metiltestosteron
Dibimbing oleh DINAR TRI SOELISTYOWATI dan ALIMUDDIN.
Ikan nila memiliki sifat dimorfisme kelamin, yaitu ikan jantan memiliki
pertumbuhan lebih cepat dari pada ikan betina. Sifat ini akan sangat
menguntungkan pembudidaya jika ikan nila dibudidayakan secara monoseks
jantan. Monoseks jantan dapat dihasilkan dengan pembalikan kelamin
menggunakan hormon 17α-metiltestosteron (MT) pada saat sebelum terjadi
diferensiasi kelamin. Namun, pembatasan penggunaan hormon ini perlu dilakukan
karena dampak yang ditimbulkan. Pembatasan tersebut berupa meminimalisasi
dosis dengan kombinasi peningkatan suhu inkubasi. Induksi suhu dapat
mempengaruhi ekspresi hormon yang mengarahkan diferensiasi kelamin menjadi
jantan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan dosis minimum
MT yang dikombinasikan dengan suhu 36 °C dan lama perendaman terhadap
efektivitas pengarahan kelamin jantan pada ikan nila.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan dua
kombinasi perlakuan, yakni suhu dan lama perendaman. Suhu yang digunakan
ialah suhu 26 °C dan 36 °C, sedangkan lama perendaman dilakukan selama 2 dan
4 jam. Sebanyak 300 ekor larva umur 10 hari pascatetas direndam dalam satu liter
larutan MT dosis 2 mg/L. Perendaman dilakukan dalam kantong plastik berukuran
30x50 cm2 yang diisi dengan oksigen. Untuk perendaman suhu 36 °C dilakukan di
waterbath, sedangkan untuk suhu 26 °C direndam di akuarium. Pemeriksaan
konsentrasi MT di tubuh ikan dilakukan setelah perendaman, hari ke-30, hari ke60 dan hari ke-90. Parameter uji lainnya ialah nisbah kelamin jantan, konsentrasi
glukosa darah, tingkat kelangsungan hidup, dan kualitas air.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nisbah kelamin jantan berbeda nyata
antara perlakuan dan kontrol. Kombinasi lama perendaman MT dan suhu dapat
meningkatkan kelamin jantan. Konsentrasi glukosa darah pada sebagian besar
perlakuan berbeda nyata, sedangkan perlakuan pada suhu 26 °C lama perendaman
2 jam tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol negatif. Tingkat
kelangsungan hidup sesaat setelah perendaman berbeda nyata antara suhu 26 °C
dan suhu 36 °C, sedangkan tingkat kelangsungan hidup selama pemeliharaan
tidak berbeda nyata antar perlakuan. Konsentrasi hormon MT di tubuh ikan
setelah 30 hari menurun tajam dari 23,86-16,49 ng/g menjadi 2,72-3,93 ng/g dan
setelah 90 hari menjadi 3,13-3,96 ng/g. Nilai pada hari ke-90 ini tidak berbeda
dengan kontrol.
Kata kunci: Alih kelamin, ikan nila, lama perendaman, suhu, 17αmetiltestosteron.
SUMMARY
MEGA DISSA AFPRIYANINGRUM. Masculinization of Nile Tilapia by Larva
Immersion at 36 °C and 17α-methyltestosterone Residual Measurement.
Supervised by DINAR TRI SOELISTYOWATI and ALIMUDDIN.
Tilapia has properties sex dimorphism, i.e males had faster growth rates
than female fish. These properties will greatly benefit farmers if tilapia is
cultivated in monosex males. Monosex male can be generated by sex reversal
using the 17α-methyltestosterone (MT) hormone before sex is differentiated.
However, restrictions on the use of this hormone is necessary because the impacts.
The restrictions in the form of minimizing the dose to a combination of increased
temperature incubation. Temperature induction can affect endogenous hormone
level to drive sex differentiation to male. This study aimed to evaluate
effectiveness of the use of the minimum dose of MT combined with different
temperature and immersion time on sex reversal of tilapia.
This study used a completely randomized factorial design with two
treatment combination, namely incubation temperature and duration of immersion.
The temperature used were 26 °C and 36 °C, while the dipping time was
performed for 2 and 4 hours. A total of 300 ten-day-old larvae was immersed in
one liter of MT solution at a dose of 2 mg/L. Immersion was performed using
30x50 cm2 of packing plastic that has been filled with oxygen. Temperature of
36 °C immersion is done in water bath, while the temperature 26 °C immersed in
an aquarium. Measurement of MT concentration is done after immersion, day 30,
day 60 and day 90. Other test parameters, namely the male sex ratio, blood
glucose consentration, survival rate, and water quality were also examined.
The results showed that male sex ratio were significantly different between
the treatment and control groups. MT immersion time with temperature combined
can increase male sex ratio. Blood glucose concentrations at most of the treatment
was significantly different whereas treatment at temperature 26 °C, 2 hours
immersion time was not significantly different when compare to the negative
control. The survival rate shortly after immersion significantly different between
temperature 26 °C and a temperature of 36 °C. While the survival rate for
maintenance were not significantly different between treatments. MT hormone
content in the body of the fish after 30 days dropped to 23.86-16.49 ng/g until
2.72 to 3.93 ng/g and after 90 days be 3.13 to 3.96 ng/g. Values in the 90 days
was not different from control.
Keywords: Nile tilapia, long immersion, sex reversal, temperatures, 17αmethyltestosterone.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
MASKULINISASI IKAN NILA MELALUI PERENDAMAN LARVA
PADA SUHU 36 ˚C DAN PENGUKURAN RESIDU
17α-METILTESTOSTERON
MEGA DISSA AFPRIYANINGRUM
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir M Zairin Jr, MSc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2015 ini ialah
sex reversal, dengan judul penelitian “Maskulinisasi ikan nila melalui perendaman
larva pada suhu 36 °C dan pengukuran residu 17α-metiltestosteron”. Pada
Program Studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr Ir Dinar Tri
Soelistyowati, DEA dan Bapak Dr Alimuddin, SPi, MSc selaku dosen
pembimbing serta Bapak Dian Hardyantho, SPi, MSi selaku pembimbing lapang
atas waktu, arahan, kesabaran, nasehat, serta semangat yang telah diberikan
hingga tesis ini dapat terselesaikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
Prof Dr Ir M Zairin Jr, MSc sebagai dosen penguji luar komisi dan Dr Ir
Widanarni, MSi sebagai komisi program studi yang telah memberikan saran
dalam ujian sidang tesis ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada orangtua tercinta, Bapak
Sunarya dan Ibu Samidah yang telah tulus mendoakan, memberi kasih sayang
serta semangat agar tidak mudah menyerah dan fokus dalam menyelesaikan studi.
Selain itu kepada saudara saya Lucky Dian Wijayanti dan Mellinda Rizky
Fahrizza serta keluarga besar yang telah memberikan doa dan semangat.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh dosen
Program Studi Ilmu Akuakultur Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
dan seluruh pegawai BBPBAT Sukabumi khususnya di POKJA nila, laboratorium
genetik dan laboratorium pakan dan residu yang telah memberikan saran kepada
penulis. Terimakasih kepada rekan-rekan yang telah membantu selama penelitian
serta memberikan masukan dan ide yang membangun yaitu Agung Luthfi Fauzan,
Fadilla Maharani Putri, Deny Yunus Wijaya, M. Restya Naufal serta teman-teman
mahasiswa Program Studi Ilmu Akuakultur Angkatan 2014 atas kebersamaan dan
motivasinya selama menempuh studi.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kemajuan ilmu
pengetahuan umumnya dan perikanan khususnya.
Bogor, Desember 2016
Mega Dissa Afpriyaningrum
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
1
1
2
2
2
3 METODE
Waktu dan Tempat
Alih Kelamin Jantan
Identifikasi Nisbah Kelamin Jantan
Konsentrasi Glukosa Darah
Pengukuran Kadar Hormon 17-metiltestosteron pada Tubuh Ikan
Analisis kualitas air
Parameter Uji
Nisbah kelamin jantan
Konsentrasi glukosa darah
Tingkat kelangsungan hidup
Konsentrasi 17α-metiltestosteron dalam tubuh ikan
Analisis Data
3
3
3
4
4
4
4
5
5
5
5
5
6
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Nisbah kelamin jantan
Konsentrasi glukosa darah
Tingkat kelangsungan hidup
Konsentrasi 17α-metiltestosteron
Kualitas air
Pembahasan
6
6
6
6
7
8
9
9
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
11
11
11
DAFTAR PUSTAKA
11
LAMPIRAN
15
RIWAYAT HIDUP
23
DAFTAR TABEL
1 RAL dengan perlakuan suhu dan lama perendaman dalam MT pada alih
kelamin ikan nila
2 Kualitas air
3
9
DAFTAR GAMBAR
1 Nisbah kelamin jantan yang direndam pada fase larva dalam air suhu
berbeda dan mengandung hormon 17α-metiltestosteron, dengan lama
waktu perendaman berbeda
2 Konsentrasi glukosa darah pada ikan nila sesaat setelah perendaman
dalam air suhu 36 ˚C (□) dan 36 ˚C (■) mengandung hormon 17αmetiltestosteron serta K- (kontrol negatif ░).
3 Tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan nila sesaat setelah
perendaman yang direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda, dan
mengandung hormon 17α-metiltestosteron (MT), dengan lama waktu
berbeda
4 Tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan nila selama dipelihara di
akuarium (30 hari) yang direndam pada fase larva dalam air suhu
berbeda, dan mengandung hormon 17α-metiltestosteron (MT), dengan
lama waktu berbeda
5 Tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan nila selama dipelihara di
kolam (90 hari) yang direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda,
dan mengandung hormon 17α-metiltestosteron (MT), dengan lama
waktu berbeda
6 Konsentrasi residu 17α-metiltestosteron dalam tubuh ikan nila yang
direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda (26 ˚C, dan 36 ˚C)
dan mengandung hormon 17α-metiltestosteron (MT), dengan lama
waktu berbeda
6
7
7
8
8
8
DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur analisis kadar glukosa darah menggunakan KIT Glucose GOD
FS dari DiaSys International
2 Ekstraksi tubuh ikan nila
3 Hasil uji ANOVA
16
16
17
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan nila Oreochromis niloticus merupakan salah satu jenis ikan air tawar
yang tumbuh cepat, mempunyai daya hidup tinggi dan mempunyai dimorfisme
kelamin dimana pertumbuhan ikan nila jantan lebih cepat daripada ikan betina
(Srisakultiew dan Komonrat 2013). Sifat tersebut mengarahkan untuk memelihara
ikan nila dengan jenis kelamin jantan. Monoseks jantan pada ikan nila dapat
memberikan pertumbuhan hampir dua kali lipat daripada ikan nila yang
dibudidayakan secara campuran (Dagne et al. 2013), mengurangi reproduksi yang
tidak terkontrol (Ferdous dan Ali 2011) dan menyeragamkan ukuran saat panen
(Beardmore et al. 2001). Produksi monoseks jantan efektif dilakukan
menggunakan hormon androgen yaitu 17α-metiltestosteron (Wassermann dan
Afonso 2003, Megbowon dan Mojekwu 2014).
Aplikasi hormon ini dapat dilakukan dengan perendaman, penyuntikan dan
melalui pakan (Beardmore et al. 2001). Metode perendaman lebih efisien
digunakan pada stadia larva. Larva direndam sebelum atau saat terjadi diferensiasi
kelamin atau periode kritis, yaitu otak larva masih dalam keadaan bipotensial
dalam mengarahkan pembentukan kelamin baik secara morfologi, tingkah laku
maupun fungsi (Carman et al. 2008). Perendaman larva umur 14 hari
menggunakan MT 1,8 mg/L selama 4 jam menghasilkan jantan sebanyak 91,6%
(Wasserman dan Afonso 2003), sedangkan Srisakultiew dan Komonrat (2013)
melakukan perendaman larva umur 10 hari menggunakan MT 0,5 mg/L selama 12
jam dapat menghasilkan jantan sebanyak 86,4%.
Penggunaan 17α-metiltestosteron (MT) di Indonesia menurut Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan No: KEP.52/MEN/2014 telah dilarang karena
potensi bahaya yang ditimbulkannya. Untuk menggantikan fungsi 17αmetiltestosteron beberapa peneliti telah mencari alternatif lain seperti penggunaan
madu (Soelistyowati et al. 2007), propolis (Ariyanto et al. 2012), dan purwoceng
(Arfah 2013). Hasil dari penggunaan bahan alami tersebut belum seefektif MT
yang menghasilkan ikan jantan sebanyak 100% (Zairin et al. 2002), sehingga
beberapa pembudidaya masih menggunakan MT karena efektivitas yang lebih
baik.
Dalam Internasional Standards for Resposible Tilapia Aquaculture,
penggunaan metil dan etiltestosteron masih boleh dipergunakan (WWF 2009).
Beberapa peneliti menemukan bahwa hormon ini tidak selamanya berada di tubuh
ikan. Kadar MT di plasma menurun pada jam ke-22 setelah penghentian pakan
menjadi <0,5 ng/ml (Rinchard et al. 1999). Pengeluaran MT dari tubuh ikan
setelah 100 jam berkurang menjadi 1 % (Johnstone et al. 1983). Hal ini
menunjukkan bahwa MT cepat dimetabolisme dan diekskresikan.
Selain dengan MT, maskulinisasi dapat dilakukan dengan manipulasi suhu
lingkungan berupa peningkatan suhu (Tessema et al. 2006). Suhu lingkungan
berperan dalam seks diferensiasi karena sifat nila yang termosensitif (Barroiller et
al. 1995). Semakin tinggi suhu, maka rasio kelamin jantan semakin tinggi
(Tessema et al. 2006). Larva nila umur 20 hari setelah kuning telur habis yang
direndam suhu 36,83 °C selama 28 hari dapat menghasilkan jantan 80% (Azaza et
2
al. 2008). El – Fotoh et al. (2014) juga melaporkan bahwa perendaman larva nila
umur 10 hari setelah fertilisasi selama 30 hari pada suhu 36 °C menghasilkan
jantan 81%. Dengan demikian suhu dapat dikombinasikan dengan hormon untuk
memaksimalkan produksi monoseks jantan dan meminimalkan penggunaan MT.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka maskulinisasi dengan kombinasi
perlakuan hormon MT dan suhu dapat dilakukan untuk memaksimalkan produksi
ikan jantan dan meminimalkan penggunaan MT serta pengukuran residu MT pada
tubuh ikan setelah perendaman, saat ikan berumur 30 hari, 60 hari dan 90 hari.
Selanjutnya, penelitian kombinasi MT dengan suhu juga belum banyak
dilaporkan pada ikan nila. Dengan demikian menarik untuk dikaji kombinasi
hormon MT dan suhu untuk efektivitas maskulinisasi jantan pada ikan nila.
Perumusan Masalah
Ikan nila mempunyai sifat dimorfisme kelamin di mana nila jantan
memiliki pertumbuhan lebih cepat daripada nila betina, sehingga lebih cepat besar
jika dibudidayakan secara monoseks jantan. Budidaya monoseks jantan
mempunyai keuntungan yaitu pertumbuhannya lebih cepat, mengurangi
reproduksi yang tidak diinginkan dan menyeragamkan ukuran saat panen.
Penggunaan MT efektif untuk alih kelamin jantan, tetapi penggunaan
hormon ini sudah dilarang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan karena
residu yang ditimbulkan. Selain dengan hormon, pengaruh lingkungan yaitu suhu
dapat meningkatkan nisbah kelamin jantan, begitu juga dengan lama perendaman.
Kombinasi perlakuan hormon dan suhu dengan lama perendaman 2 dan 4 jam
diharapkan dapat menurunkan dosis MT dengan tetap meningkatkan rasio kelamin
jantan. Residu yang ditimbulkan MT dapat dievaluasi dengan mengukur
konsentrasinya setelah perendaman, setelah 30 hari, 60 hari dan 90 hari.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi penggunaan MT dan suhu 36 °C
melalui perendaman larva terhadap keberhasilan alih kelamin jantan ikan nila
Oreochromis niloticus serta pengukuran residu pada tubuh ikan nila setelah
perendaman, 30 hari, 60 hari dan setelah 90 hari.
Hipotesis
1. Kombinasi perlakuan MT dan suhu 36 ˚C melalui perendaman larva akan
menurunkan ambang optimum kedua perlakuan tersebut untuk
menghasilkan monoseks jantan.
2. Penggunaan MT pada fase larva tidak menyisakan residu pada tubuh
ikan setelah pemeliharaan selama 90 hari.
3
2 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2015 sampai Juni 2016.
Penelitian bertepat di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi.
Nisbah kelamin jantan, tingkat kelangsungan hidup dan konsentrasi residu MT
dilakukan di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Analisis
glukosa darah dan histologi dilakukan di laboratorium Fisiologi dan Patologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, IPB.
Alih Kelamin Jantan
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan
kombinasi suhu dan lama perendaman dalam MT. Suhu yang digunakan ialah
suhu 26 °C dan 36 °C, sedangkan lama perendaman dilakukan selama 2 dan 4 jam.
Dosis yang digunakan sebesar 2 mg/L. Rancangan percobaan dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. RAL dengan perlakuan suhu dan lama perendaman dalam MT pada alih kelamin ikan nila
Suhu (˚C)
26 ˚C
36 ˚C
kontrol
Pa01
Pa02
Pa03
Pb01
Pb02
Pb03
Lama perendaman (jam)
2
4
Pa11
Pa21
Pa12
Pa22
Pa13
Pa23
Pb11
Pb21
Pb12
Pb22
Pb13
Pb23
Perlakuan alih kelamin dilakukan melalui perendaman larva umur 10 hari
setelah menetas (Wassermann dan Afonso 2003, Tessema et al. 2006)
menggunakan MT dan suhu, setiap perlakuan mempunyai tiga ulangan. MT
sebanyak 2 mg dilarutkan dalam alkohol 70% sebanyak 50 µL dan dicampur
menggunakan vorteks sampai larut, kemudian dicampur dalam 1 L air. Larutan ini
kemudian diukur menggunakan ELISA dan konsentrasi yang didapatkan ialah 0,1
mg/L. Larva direndam dalam larutan perlakuan sesuai rancangan percobaan
dengan kepadatan 300 ekor/L. Perendaman dilakukan menggunakan plastik
berukuran 30x50 cm2 yang telah diisi oksigen, kemudian dipelihara dalam
akuarium (40x60x60 cm3) sampai hari ke-30. Selanjutnya benih dipindahkan ke
hapa (2x1x1 m3) sampai hari ke-90. Untuk menjaga kualitas air akuarium
dilengkapi dengan aerasi serta dilakukan pergantian air sebanyak 75% setiap dua
hari sekali.
Pakan komersial dengan protein 40% diberikan setelah kuning telur habis.
Pemberian pakan dilakukan secara at satiation dengan frekuensi pemberian tiga
kali sehari. Konsentrasi glukosa darah diambil sesaat setelah perendaman.
Sampling dilakukan 30 hari sekali untuk kualitas air dan residu MT di tubuh ikan.
Tingkat kelangsungan hidup dan nisbah kelamin jantan dihitung setelah akhir
pemeliharaan di akuarium dan kolam.
4
Identifikasi Nisbah Kelamin Jantan
Identifikasi nisbah kelamin jantan dilakukan di akhir pemeliharaan (30 dan
90 hari setelah perendaman). Sampel yang diambil sebanyak 30% dari populasi.
Pemeriksaan kelamin dilakukan dengan melihat morfologi gonad ikan, kemudian
dilakukan menggunakan pewarnaan eosin (Zairin et al. 2005) dan metode
histologi (Kent 1985).
Konsentrasi Glukosa Darah
Konsentrasi glukosa darah diukur untuk melihat pengaruh pemberian
perlakuan kombinasi MT dan suhu terhadap tingkat stres larva. Konsentrasi
glukosa darah diukur menggunakan kit glucose-pap dengan prosedur sesuai
manual (Lampiran 1). Pemeriksaan ini dilakukan menggunakan kit glucose-pap.
Konsentrasi glukosa darah diperiksa setelah perendaman. Sampel ikan yang
digunakan sebanyak 300 ekor. Ikan digerus menggunakan penggerus dan
disentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama 10 menit untuk mendapatkan
plasma ikan. Sampel sebanyak 10 µl dicampur dan ditambahkan 1 mL reagen,
kemudian dihomogenkan menggunakan vorteks. Sampel diinkubasi selama 20
menit pada suhu 20-25 ˚C. Absorbansi dibaca dan dibandingkan dengan blanko
pada panjang gelombang 546 nm.
Pengukuran Konsentrasi Hormon 17α-metiltestosteron pada Tubuh Ikan
Pengukuran konsentrasi MT dilakukan menggunakan ELISA Enzyme-linked
immunosorbent assay dengan KIT RIDASCREEN metiltestosteron. Larutan
sampel yang akan diuji didapatkan dari ekstraksi ikan nila (Lampiran 2) kemudian
dimasukkan ke dalam well sebanyak 50 µl. Kemudian ditambahkan 50 µl
conjugate dan 50 µl antibodi anti metiltestosteron, plate digoyangkan secara
manual sampai tercampur merata dan diinkubasi selama 2 jam dalam keadaan
gelap. Kemudian cairan dalam well dikeluarkan dan dikeringkan menggunakan
kertas penyerap sehingga well benar-benar bersih dari cairan tersebut. Setelah itu
dibilas menggunakan wash buffer sebanyak 250 µl, penambahan wash buffer ini
dilakukan sebanyak dua kali. Substrat atau chromogen ditambahkan sebanyak 100
µl, plate digoyangkan secara manual sampai tercampur merata dan diinkubasi
selama 15 menit dalam kondisi gelap. Stop solution ditambahkan sebanyak 100 µl
kemudian plate digoyangkan secara manual sampai tercampur merata dan
konsentrasi metiltestosteron diukur dengan panjang gelombang 450 nm selama 30
menit.
Analisis Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diukur adalah suhu, oksigen terlarut, pH, dan
amonia. Pengukuran kualitas air dilakukan di awal perlakuan, saat pemeliharaan
ikan di akuarium, dan pada saat pemeliharaan ikan di hapa/kolam.
5
Parameter Uji
Nisbah kelamin jantan
Nisbah kelamin jantan merupakan jumlah ikan jantan dibandingkan
dengan jumlah ikan secara keseluruhan. Nisbah kelamin jantan dapat dihitung
dengan menggunakan rumus:
PKJ = x 100
Keterangan :
NKJ
: Nisbah jenis kelamin ikan jantan (%)
Ij
: Jumlah ikan jantan
Is
: Jumlah ikan yang diamati
Konsentrasi glukosa darah
Konsentrasi glukosa darah dapat dijadikan indikator stres pada ikan.
Konsentrasi glukosa darah dapat diukur menggunakan rumus yang mengacu pada
(Wedemeyer dan Yasutake 1977):
[GD] =
x [GSt]
Keterangan :
[GD] : Konsentrasi glukosa darah (mg/ml)
AbsSp : Absorbansi sampel
AbsSt : Absorbansi standar
[GSt] : Konsentrasi glukosa standar (mg/ml)
Tingkat kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup ikan nila dihitung untuk mengetahui persentase ikan
hidup selama penelitian. Kelangsungan hidup ikan nila dilihat setelah perendaman
dan akhir pemeliharaan di akuarium dan kolam serta dihitung menggunakan
formula berdasarkan (Zonneveld et al. 1991), yaitu sebagai berikut:
Keterangan :
TKH : Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt
: Jumlah individu hari ke-t (ekor)
No
: Jumlah individu awal (ekor)
Konsentrasi 17α-metiltestosteron dalam tubuh ikan
6
Hasil pembacaan ELISA pada panjang gelombang 450 nm yang berupa
ng/kg dikonversi ke ng/g menggunakan microsoft excel, kemudian di buat tabel
dan grafik agar mudah diamati dan dianalisis.
Analisis Data
Data nisbah kelamin jantan, konsentrasi glukosa darah, tingkat
kelangsungan hidup dan konsentrasi testosteron dalam tubuh ikan dianalisis sidik
ragam menggunakan SPSS 22.0 dengan uji lanjut Duncan dan tingkat
kepercayaan 95%.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Nisbah Kelamin jantan (%)
Nisbah kelamin jantan
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa perlakuan kombinasi suhu
dan lama perendaman berpengaruh terhadap nisbah kelamin jantan (NKJ). Nisbah
kelamin jantan pada semua perlakuan, kecuali lama perendaman 2 jam suhu 36 ˚C
dan lama perendaman 4 jam suhu 26 ˚C tidak berbeda nyata (P>0,05) (Gambar 1
dan Lampiran 3). Pada suhu 26 ˚C lama perendaman 2 dan 4 jam dapat
meningkatkan NKJ sebanyak 24% (57% menjadi 81%) dan 31% (57% menjadi
88%) dibandingkan kontrol. Pada suhu 36 ˚C lama perendaman 2 dan 4 jam dapat
meningkatkan jantan sebanyak 25% (62% menjadi 87%) dan 30% (62% menjadi
93%) dibandingkan kontrol. Penggunaan suhu 36 ˚C dapat meningkatkan jantan
sebanyak 5-6% dibandingkan suhu 26 ˚C. Dengan demikian perlakuan suhu dan
lama perendaman MT dapat meningkatkan nisbah kelamin jantan.
100
d
c
e
d
80
60
b
a
Suhu 26 ˚C
40
Suhu 36 ˚C
20
0
0
2
4
Lama Perendaman (jam)
Gambar 1. Nisbah kelamin jantan yang direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda dan
mengandung hormon 17α-metiltestosteron, dengan lama waktu perendaman berbeda.
Huruf kecil yang berbeda di atas bar menunjukkan beda nyata (p<0,05).
Konsentrasi glukosa darah
Konsentrasi glukosa darah setelah perendaman pada ikan menunjukkan
hasil yang berbeda nyata antar sebagian besar perlakuan kecuali pada suhu 26 ˚C
7
Konsentrasi glukosa darah
(mg/dL)
dengan lama perendaman 2 jam jika dibandingkan dengan kontrol negatif
(P>0,05) (Gambar 2 dan Lampiran 3).
160
140
120
bc
c
bc
a
c
bc
a
100
80
Suhu 26 ˚C
60
Suhu 36 ˚C
40
20
0
K-
0
2
4
Lama Perendaman (jam)
Gambar 2. Konsentrasi glukosa darah pada ikan nila sesaat setelah perendaman dalam air suhu 26
˚C (□) dan 36 ˚C (■) mengandung hormon 17α-metiltestosteron serta K- (kontrol
negatif ░).
Tingkat kelangsungan
hidup (%)
Tingkat kelangsungan hidup
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup (TKH)
ikan pada setelah perendaman sebanyak 92-96%. Perlakuan suhu 36 ˚C
memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap TKH (Gambar 3 dan Lampiran 3)
sedangkan lama perendaman tidak memberikan pengaruh yang nyata. TKH
selama pemeliharaan ikan di akuarium sebanyak 73-83% (Gambar 4), dan TKH di
kolam sebanyak 95-98% (Gambar 5). TKH ikan selama pemeliharaan tidak
berbeda nyata pada semua perlakuan (p>0,05) (Lampiran 3).
100
a
b
a
b
a
b
80
60
40
Suhu 26 ˚C
20
Suhu 36 ˚C
0
0
2
4
Lama perendaman (jam)
Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan nila sesaat setelah direndam pada fase larva
dalam air suhu berbeda, dan mengandung hormon 17α-metiltestosteron (MT), dengan
lama waktu berbeda. Huruf yang berbeda di atas bar menunjukkan nilai berbeda nyata
(p<0,05).
Tingkat kelangsungan
hidup di akuarium
(%)
8
100
a
a
a
a
a
a
80
60
40
Suhu 26 ˚C
20
Suhu 36 ˚C
0
0
2
4
Lama perendaman (jam)
Tingkat kelangsungan
hidup kolam (%)
Gambar 4. Tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan nila selama dipelihara di akuarium (30 hari)
yang direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda, dan mengandung hormon 17αmetiltestosteron (MT), dengan lama waktu berbeda. Huruf yang berbeda di atas bar
menunjukkan nilai berbeda nyata (p>0,05).
100
a
a
a
a
a
a
80
60
40
Suhu 26 ˚C
20
Suhu 36 ˚C
0
0
2
4
Lama perendaman (jam)
Gambar 5. Tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan nila selama dipeliharan di kolam (90 hari)
yang direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda, dan mengandung hormon 17αmetiltestosteron (MT), dengan lama waktu berbeda. Huruf yang berbeda di atas bar
menunjukkan nilai berbeda nyata (p>0,05).
Konsentrasi 17α-metiltestosteron
Dengan menggunakan metode ELISA, konsentrasi dalam tubuh larva ikan
nila setelah perendaman pada perlakuan suhu 36 ˚C yaitu 23,05-23,86 ng/g, sama
dengan kadar MT pada suhu ruang (16,49-18,35 ng/g) (Gambar 6). Konsentrasi
17α-metiltestosteron pada masa pemeliharaan hari ke-30 setelah perendaman
menurun tajam pada semua perlakuan MT dan cenderung stabil hingga hari ke-90.
Konsentrasi 17α-metiltestosteron pada ikan umur 10 hari setelah menetas tanpa
pemberian MT (kontrol) sebanyak 4,15 ng/g dan cenderung stabil sampai hari ke90 (3,86 ng/g).
9
Gambar 6. Konsentrasi residu 17α-metiltestosteron dalam tubuh ikan nila yang direndam pada fase
larva dalam air suhu berbeda (26 ˚C, dan 36 ˚C) dan mengandung hormon 17αmetiltestosteron (MT), dengan lama waktu berbeda. Lama perendaman 2 jam (2 J), dan
4 jam (4 J).
Kualitas air
Hasil pengukuran kualitas air selama pemeliharaan ikan maskulinisasi
dengan kombinasi MT dan suhu (Tabel 2).
Tabel 2. Kualitas air selama pemeliharaan
Parameter
Suhu (˚C)
pH
Oksigen terlarut (mg/L)
Amonia (mg/L)
Hasil
Akurium
24-26
6,5-7,5
7,0-7,5
0,28-0,29
Kolam
25-28
6,2-7,5
6,5-7,5
0,31-0,35
SNI 7550: 2009
25-32
6,5-8,5
>3
≤0,02
Pembahasan
Kombinasi lama perendaman dan suhu meningkatkan nisbah kelamin
jantan (Gambar 1). Selanjutnya, lama perendaman berpengaruh signifikan
terhadap nisbah kelamin jantan ikan nila. Hasil yang diperoleh relatif sama
dengan yang dilaporkan oleh Wassermann dan Afonso (2003). Namun demikian,
pada penelitian ini perendaman dilakukan satu kali pada larva umur 10 hari, air
suhu 36C mengandung MT dosis 2 mg/L, kepadatan 300 ekor/L, selama 4 jam
menghasilkan ikan nila jantan 93%. Wassermann dan Afonso (2003) merendam
larva umur 10 dan 14 hari (dua kali perendaman) setelah penetasan menggunakan
MT 1,8 mg/L, sebanyak dua kali perendaman dengan kepadatan 125 ekor/L,
menghasilkan ikan nila jantan 98,3%. Bombardelli dan Hayashi (2005),
melakukan perendaman menggunakan 2 mg/L MT pada ikan nila umur 15 hari
setelah penetasan dengan kepadatan 100 ekor/L selama 36 jam menghasilkan
jantan 85,19%.
Cara kerja MT menurut Kitano et al. (2000), ialah MT dapat menekan
ekspresi P450 arom, sehingga enzim sitokrom P450 aromatase tidak terbentuk.
Enzim ini berfungsi untuk merubah androgen menjadi esterogen sehingga terjadi
perkembangan ovarium. Adanya penekanan ekspresi P450 arom menyebabkan
testosteron tidak dirubah menjadi estrogen sehingga diarahkan kepembentukan
testis (Kitano et al. 2000).
Selain pengaruh MT, suhu juga memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap nisbah kelamin jantan ikan nila. Efek suhu lingkungan telah dilaporkan
dapat meningkatkan nisbah kelamin jantan (Tessema et al. 2006; Azaza et al.
2008; El-Fotoh et al. 2014). Mekanismenya adalah melibatkatkan enzim
aromatase (Kitano et al. 1999, Piferrer 2011). Menurut Navarro-Martin et al.
(2011), suhu tinggi dapat meningkatkan metilasi DNA pada promotor cyp19a.
Metilasi ini berbanding terbalik dengan tingkat ekspresi P450 arom, ketika
ekspresi P450 arom rendah maka enzim sitokrom P450 aromatase tidak terbentuk
sehingga testosteron tidak diubah menjadi estrogen dan diarahkan kepembentukan
testis. Selain pengaruh MT dan suhu, perendaman larva umur 10 hari setelah
10
menetas juga menentukan keberhasilan maskulinisasi karena larva masih berada
dalam masa diferensiasi kelamin. Hal ini sejalan dengan penelitian Wassermann
dan Afonso (2003), Tessema et al. (2006) yang berhasil melakukan maskulinisasi
menggunakan larva umur 10 hari setelah penetasan. Pembentukan ovarium dan
testis pada ikan nila terjadi pada 20-25 hari setelah menetas (Kobayasi et al. 2008).
Menurut Hasheesh et al. (2011) faktor yang mempengaruhi keberhasilan
maskulinisasi ialah spesies, umur larva ketika diberi perlakuan, lamanya
perlakuan, suhu, dosis dan kemurnian hormon yang digunakan.
Konsentrasi glukosa darah pada semua perlakuan berbeda nyata kecuali
pada suhu 26 ˚C lama perendaman 2 jam jika dibandingkan dengan kontrol
negatif (Gambar 2). Meningkatnya nilai glukosa darah ini disebabkan ikan
mengalami stres karena perlakuan. Stres dapat disebabkan secara fisik, kimia
maupun kondisi lingkungan (Barton 2002). Menurut Hastuti et al. (2003)
perubahan suhu lingkungan akan berpengaruh langsung terhadap proses
metabolisme sehingga akan mempengaruhi tingginya kebutuhan pasok glukosa
darah untuk termogenesis karena sifat ikan yang poikiloterm. Konsentrasi glukosa
darah pada perlakuan tanpa pemberian MT selama 0 jam baik pada suhu 26 ˚C
dan 36 ˚C lebih tinggi dari pada perlakuan pemberian MT selama 2 jam dengan
suhu 26 ˚C. Hal ini diduga karena respons stres setiap ikan berbeda. Sejalan
dengan Schyolden et al. (2005) bahwa respons perilaku dan fisiologis stres sangat
bervariasi tergantung spesies ikan, strain dan individu. Glukosa darah dapat
dijadikan indikator stres, tetapi merupakan indikator sekunder jika dibandingkan
dengan kortisol (primer) sebaiknya untuk melihat tingkat stres ikan dilakukan
pengukuran kortisol dan glukosa darah (Pottinger et al.1998).
Tingkat kelangsungan hidup sesaat setelah perendaman pada suhu 36 ˚C
lebih rendah daripada suhu 26 ˚C. Hal ini menunjukkan bahwa suhu 36 ˚C
menyebabkan kematian ikan lebih banyak daripada suhu 26 ˚C. Hal ini sejalan
dengan penelitian Pandit dan Nakamura (2010) bahwa pada suhu 37 ˚C TKH
lebih rendah (57±0,0%) daripada suhu 27 ˚C (96±3,2%). Kematian ikan
disebabkan karena ikan mengalami stres. Menurut Azwar et al. (2016) stres pada
ikan dapat menyebabkan menurunnya produktivitas dan daya tahan tubuh serta
meningkatnya angka kematian. Lama perendaman di MT tidak berpengaruh
terhadap TKH. Hal ini sesuai dengan Srisakultiew dan Komonrat (2013), bahwa
MT tidak memberikan pengaruh terhadap TKH. TKH ikan nila selama
pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5. TKH di akuarium lebih
rendah daripada di kolam, hal ini diduga karena ukuran ikan di akuarium lebih
kecil daripada di kolam. Sejalan dengan penelitian Dan dan Litte (2000), bahwa
TKH ikan kecil (<1 g) lebih rendah (34,4%) dari ikan besar (>1 g) (54%). TKH
baik di akuarium maupun di kolam tidak berbeda nyata pada semua perlakuan.
TKH ikan selama pemeliharaan didukung oleh kualitas air (Tabel 2) yang sesuai
untuk pertumbuhan ikan nila kecuali amonia. Ikan nila merupakan ikan yang
mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap stres, hal ini memberikan kontribusi
terhadap tingginya TKH (Haheesh et al. 2011).
Metode ELISA digunakan pada penelitian ini untuk mengukur konsentrasi
MT dalam tubuh ikan (Memmat et al. 2015). Berdasarkan Gambar 6, kadar MT
yang diserap tubuh ikan berkisar 16,49-23,86 ng/g. Pada suhu perendaman yang
sama, perlakuan lama perendaman tidak mempengaruhi penyerapan MT oleh
larva ikan nila. Pada Gambar 1, persentase ikan nila kelamin jantan pada
11
perlakuan suhu 36 ˚C lebih banyak daripada suhu 26 ˚C. Dengan demikian, kadar
MT yang diserap oleh tubuh larva ikan nila meningkatkan persentase kelamin
jantan, dan suhu 36 ˚C mempengaruhi penyerapan MT. Penyerapan MT yang
lebih banyak diduga karena pada perlakuan suhu 36 ˚C pergerakan ikan lebih aktif
dan pergerakan tutup insang lebih cepat dari pada suhu 26 ˚C, sehingga MT
banyak yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini sejalan dengan Tantarpale et al.
(2012), bahwa suhu 35 ˚C dapat mempercepat pergerakan tutup insang.
Seperti ditunjukkan pada Gambar 6, kadar MT menurun tajam pada H30
setelah perendaman, dan setelah itu cenderung stabil hingga H90. Hal tersebut
menunjukkan bahwa residu MT tidak ada lagi dalam tubuh ikan nila pada H90.
Penurunan kadar steroid yang cepat juga telah dilaporkan oleh Pandian dan
Kirankumar (2012), bahwa penurunan steroid sangat cepat sewaktu di awal dan
secara bertahap stabil. Tingkat penurunan kadar hormon tergantung pada spesies,
kemurnian steroid yang digunakan, organ yang dideteksi dan metode yang
digunakan. Pada penelitian ini deteksi MT dilakukan menggunakan seluruh tubuh
ikan nila.
Konsentrasi MT pada H30 hingga H90 relatif stabil dan sama dengan ikan
kontrol pada H90. Hal ini menunjukan bahwa MT tidak selamanya terakumulasi
di dalam tubuh. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mengonsumsi ikan nila
setelah H90 pascarendam relatif aman. Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan
oleh Rizkalla et al. (2004) bahwa tidak ada potensi bahaya pada orang yang
memakan ikan yang telah diberi perlakuan pemberian MT melalui pakan
sebanyak 30-120 mg/kg sewaktu larva dengan lama pemberian 28 jam.
Megbowon dan Mojekwu (2014) juga mengatakan bahwa hormon ini tidak
memberikan efek pada daging ikan ketika larvanya diberi perlakuan, tidak
berbahaya bagi manusia, pada lingkungan steroid ini juga biodegradable dan
mineralized.
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Peningkatan suhu dapat meningkatkan nisbah kelamin jantan dan kadar MT
menurun seiring dengan waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Arfah H, Soelistyowati DT, Bulkini A. 2013. Maskulinisasi ikan cupang Betta
splendes melalui perendaman embrio dalam ekstrak purwoceng Pimpinella
alpina. Jurnal Akuakultur Indonesia. 12(2): 145-150.
Ariyanto D, Robisalmi A, Larasati AK. 2012. Propolis, the alternatif natural
material for sex reversal in tilapia. Indonesian Aquaculture Journal. 7(2): 8794.
Azaza MS, Dhraief MN, Kraiem MM. 2008. Effects of water temperature on
growth and sex ratio of juvenile Nile tilapia Oreochromis niloticus (Linnaeus)
12
reared in geothermal waters in southern Tunisia. Journal of Thermal Biology.
33: 98-105.
Azwar M, Emiyarti, Yusnaini. 2016. Critical thermal dari ikan Zebrasoma scopas
yang berasal dari perairan pulau hoga kabupaten wakatobi. Sapa Laut. 1(2):6066.
Baroiller JF, Chourrout D, Fostier A, Jalabert B. 1995. Temperature and sex
chromosomes govern sex ratios of the mouthbrooding cichlid fish Oreochromis
niloticus. The Journal of Experimental Zoologi. 273:216-223.
Barton BA. 2002. Stress in fishes: A diversity of responses with particular
reference to changes in circulating corticosteroids. Integrative and
Comparative Biology. 42:517-525.
Beardmore JA, Mair GC, Lewis RI. 2001. Monosex male production in finfish as
exemplified by tilapia: applications, problems, and prospects. Aquaculture.
197: 283-301.
Bombardelli RA, Hayashi C. 2005. Masculinization of larva of Nile tilapia
Oreochromis niloticus L. by immersion baths with 17α–methyltestosterone. R
Bras Zootec. 34(2): 365-372.
Carman O, Jamal MY, Alimuddin. 2008. Pemberian 17α-metiltestosteron melalui
pakan meningkatkan persentase kelamin jantan lobster air tawar. Jurnal
Akuakultur Indonesia. 7(1):25-31.
Dagne A, Degefu F, Lakew A. 2013. Comparative growth performance of monosex and mixed-sex Nile tilapia Oreochromis niloticus L. in pond culture system
at sabeta, Ethiopian. International Journal of Aquaculture. 3(7): 30-34.
Dan NC, Little DC. 2000. Overwintering performance of Nile tilapia
Oreochromis niloticus (L.) broodfish and seed at ambient temperature in
northern Vietnam. Aquaculture Research. 35:485-493.
El-Fotoh EMA, Ayyat MS, El-Rahman GAA, Farag ME. 2014. Mono sex male
production in Nile tilapia Oreochromis niloticus using different water
temperature. Zagazig Journal of Agricultural Research. 41(1): 1-8.
Ferdous M, Ali MM. 2011. Optimization of hormonal dose during
masculinization of tilapia Oreochromis niloticus fry. Journal Bangladesh
Agricultural University. 9(2):359-364.
Firdous Z, Masum MA, Ali MM. 2011. Influence of stocking density on growth
performance and survival of monosex tilapia Oreochromis niloticu fry.
International Journal of Research in Fisheries and Aquaculture. 4(2):99-103.
Hasheesh WS, Marie MAS, Abbas HH, Eshak MG, Zahran EA. 2011. An
evolution of the effect of 17α-methyltestosterone hormone on some
biochemical, molecular and histological changes in the liver of Nile tilapia,
Oreochromis niloticus. Life Science Journal. 8(3): 343-358.
Hastuti S, Supriyono E, Mokoginta I, Subandiyono. 2003. Respon glukosa darah
ikan gurami Osphronemus gouramy LAC terhadap stres perubahan suhu dan
lingkungan. Jurnal Akuakultur Indonesia. 2(2):73-77.
Johnstone R, Macintosh DJ, Wright RS. 1983. Elimination of orally administered
17α-metyltestosterone by Oreochromis mossambicus (tilapia) and Salmo
gairdneri (rainbow trout) juveniles. Aquaculture. 35: 249-257.
Kent A. 1985. Laboratory Manual Histopathology. Balitvet Project. Bogor (ID):
Balai Penelitian Veteriner.
13
Kitano T, Takamune K, Nagahama Y, Abe S. 1999. Suppression of P450
aromatase gene expression in sex-reversed males produced by rearing
genetically female larvae at high water temperature during a periode of sex
differentiation in the Japanese flounder Paralichthys olivaceus. Journal of
Molecular Endocrinology. 23:167-176.
Kitano T, Takamune K, Nagahama Y, Abe S. 2000. Aromatase inhibitor and 17αmethyltestosterone cause sex-reversal from genetical females to phenotypic
males and suppression of P450 aromatase gene expression in Japanese flounder
Paralichthys olivaceus. Molecular Reproduction and Development. 56:1-5.
Kobayashi T, Kobayashi HK, Guan G, Nagahama Y. Sexual dimorphic
expression of DMRT1 and Sox9a during gonadal differentiation and hormoneinduced sex reversal in teleost fish Nile tilapia Oreochromis niloticus.
Developmental Dynamics. 237:287-306.
Megbowon I, Mojekwu TO. 2014. Tilapia sex reversal using methyltestosterone
(MT) and its effect on fish, man and environment. Biotechnology. 13(5): 213216.
Memmat MI, Reham AA, Omaima MD, Asmaa EH. 2015. Detection of
methyltestosterone and atrenbolone acetate hormones residue in Nile tilapia
Oreochromis niloticus. Benha Veterinary Medical Journal. 28(1): 276-280.
Navarro-Martin L, Vinas J, Ribas L, Diaz N, Gutierez A, Croce LD, Piferrer F.
2011. DNA methylation of the gonadal aromatase (cyp19a) promotor is
involved in temperature-dependent sex ratio shifts in the european sea bass.
Plos Gentics. 7(12):e1002447.
Padian TJ, Kirankumar S. 2012. Recent advances in hormonal induction of sexreversal in fish. Journal Application Aquaculuture. 13:205-230.
Pandit NP, Nakamura M. 2010. Effect oh high temperature on survival, growth
and feed conversion ratio of Nile tilapia Oreochromis niloticus. Our Nature.
8:219-224.
Piferrer P. 2011. Endocrine control of sex differentiation in fish. In: The sense,
suporting tissue, reproduction, and behavior. Farrell AP, Cech JJ, Richards JG,
stevens ED editor. Columbia, Canada (US). Encyclopedia of fish physiology:
From genome to environment. Page: 1490-1499.
Pottinger TG, Rand-Weaver M, Sumpter JP. 1998. Overwinter fasting and refeeding in rainbow trout: plasma growth hormone and cortisol levels in relation
to energy mobilization. Comparative Biochemistry and Physiology Part B.
136:403-417.
Rinchard J, Dabrowski K, Garcia-Abiado MA. 1999. Uptake and depletion of
plasma 17α-metiltestosterone during induction of masculinization in
muskellunge, Esox masquinongy: effect on plama steroids and sex reversal.
Steroids. 64(8): 518-525.
Rizkalla EH, Haleem HH, Abdel-Halim AMMRH. 2004. Evaluation of using 17αmethyltestosterone for monosex Oreochromis niloticus fry production. Egypt
Ger Soc Zool. 43(a): 315-335.
Schyolden J, Stoskhus S, Winberg S. 2005. Dose individual variation in stress
responses and agonistic behaviour reflect divergent stress coping strategies in
juvenile rainbow trout? Physiology Biochemical Zoology. 78:715–723.
14
Soelistyowati DT, Martati E, Arfah H. 2007. Efektivitas madu terhadap
pengarahan kelamin ikan gapi Poecilia reticulata Peters. Jurnal Akuakultur
Indonesia. 6(2): 155-160.
Srisakultiew P, Kamonrat W. 2013. Immersion of 17α-methyltestosterone dose &
duration on tilapia masculinization. Journal of Fisheries Science. 7(4): 302308.
Tantarpale VT, Rathord SH, Kapil S. 2012. Temperature stress on opercular beats
and respiratory rate of freshwater fish Channa punctatus. International Journal
of Scientific and Research Publication. 2(12):1-5.
Tessema M, Muller-Belecke A, Horstgen-Schwark G. 2006. Effect of rearing
temperatures on the sex ratios of Oreochromis niloticus populations.
Aquaculture. 258: 270-277.
Wassermann GJ, Afonso LOB. 2003. Sex reversal in Nile tilapia Oreochromis
niloticus Linnaeus by androgren immersion. Aquaculture Research. 34: 65-71.
Wedemeyer GA, Yasutake WT. 1977. Clinical Methode for The Assessment of
the Effect on Environmental Sress on fish health. Technical Paper of the U.S.
Fish and Wildlife Service. US Depert. Of the Interior, Fish and wildlife Service
American 89 : 1- 17.
WWF (World Wildlife Fund). 2009. International standards for responsible tilapia
aquaculture. Tilapia Aquaculture Dialoge. WWF. 38 pp.
Zairin JrM, Naufal MR, Maulana F, Setiawati M, Hardiantho D, Alimuddin. 2016
Oktober. The ratio of male and testosterone levels in tilapia immersed in
different doses of 17α-metiltestosterone. Jurnal Akuakultur Indonesia,
forthcoming.
Zairin Jr M, Nurlestyoningrum D, Raswin. 2005. Pengaruh dosis akriflavin yang
diberikan secara oral kepada larva ikan nila merah Oreochromis sp. Terhadap
nisbah kelaminya. Jurnal Akuakultur Indonesia. 4(2):131-137.
Zairin Jr M, Yuniarti, Dewi RRSPS, Sumantadinata K. 2002. Pengaruh waktu
perendaman induk di dalam larutan hormon 17α-metiltestosteron terhadap
nisbah kelamin anak ikan gapi Poecilia reticulata Peters. Jurnal Akuakultur
Indonesia. 1(1): 31-35.
Zonneveld N, Huisman EA, Boon JH. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan.
Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
15
LAMPIRAN
16
Lampiran 1 Prosedur analisis kadar glukosa darah menggunakan KIT Glucose
GOD FS dari DiaSys International
1. Mempersiapkan larutan blanko, standar dan sampel glukosa benih ikan
nila dengan menambahkan akuades atau reagen sesuai prosedur berikut
ini.
Larutan
Sampel atau standar
Aquades
Reagen
Blanko
10 µl
1000 µl
Sampel atau standar
10 µl
1000 µl
2. Homogenkan dengan bantuan vortex. Selanjutnya diinkubasi selama 20
menit pada suhu 20-25 ˚C, atau selama 10 menit pada suhu 37 ˚C.
3. Baca absorbansi dalam 60 menit dan dibandingkan dengan blanko.
Panjang gelombang yang digunakan 546 nm.
4. Penghitungan kadar glukosa:
* Dengan standar atau kalibrator:
Glukosa [mg/dl] =
x konsentrasi. Std/Cal [mg/dl]
konsentrasi Std/Cal [mg/dl] = 100 mg /dl ( 5,55 mmol/l )
* Konversi faktor:
Glukosa [mg/dl] x 0,05551 = Glukosa [mmol/l]
Lampiran 2 Ekstraksi tubuh ikan nila
Ekstraksi ikan dilakukan dengan menghaluskan ikan sebanyak 20 gram.
Kemudian diambil sebanyak 2 gram dan dicampur dengan 6 ml metanol 100%,
dihomogenasi menggunakan vorteks selama 5 menit dan diinkubasi menggunakan
over-head shaker selama 25 menit. Selanjutnya, sampel disentrifugasi dengan
kecepatan 3000 rpm pada suhu 25 ˚C selama 10 menit. Supernatan diambil
sebanyak 4 mL dan dikeringkan menggunakan nitrogen evaporator pada suhu 60
˚C. Setelah larutan kering ditambahkan 1 ml metanol 80% dan dihomogenasi
dengan vorteks selama 10 detik serta ditambahkan heksan sebanyak 2 ml,
kemudian dicampur hingga homogen dan disentrifugasi kembali dengan
kecepatan 3000 rpm pada suhu 25 ˚C selama 10 menit. Sebanyak 1 ml larutan
dibagian bawah dipindahkan ke tabung baru kemudian ditambah 2 ml 20 mM
PBS Buffer, pH 7,4. Kemudian dicuci menggunakan RIDA C18 Columnn, setelah
itu di keringkan menggunakan nitrogen evaporator. Column yang telah
dikeringkan ditambahkan 1 ml larutan methanol 80%.
17
Lampiran 3
Hasil uji ANOVA
Oneway
Uji Homogenitas Varians
Levene
Statistik
df1
df2
1.607
5
12
1.607
5
12
1.342
5
12
1.439
5
12
NKJ
TKH1
TKH akuarium
TKH kolam
ANOVA
Jumlah
Derajat
kuadrat
bebas
NKJ
Antar grup
Sig.
.232
.232
.312
.279
Kuadrat
tengah
3325.434
5
665.087
Dalam grup
58.333
12
4.861
Total
TKH1
Antar grup
Dalam grup
Total
TKH
Antar grup
akuarium
Dalam grup
Total
TKH kolam Antar grup
Dalam grup
3383.767
59.622
2.825
62.448
176.949
969.707
1146.656
23.325
37.253
60.577
17
5
12
17
5
12
17
5
12
17
Total
F
136.818
50.648
.000
35.390
80.809
.438
.814
4.665
3.104
1.503
.260
NKJ
a
Duncan
N
.000
11.924
.235
Test Post Hoc
Subset Homogen
Perlakuan
Kontrol 26 C
Kontrol 36 C
2 jam 26 C
2 jam 36 C
4 jam 26 C
4 jam 36 C
Sig.
Sig.
Subset untuk alpa = 0.05
2
3
4
1
5
3 56.6667
3
62.0833
3
80.8333
3
86.6667
3
88.3333
3
92.5000
1.000
1.000
1.000
.373
1.000
18
Rata-rata untuk kelompok subset homogeny ditampilkan.
a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 3.000.
TKH Setelah Perendaman
a
Duncan
Subset untuk alpa = 0.05
Perlakuan
N
1
2
4 jam 36 C
3
92.1100
2 jam 36 C
3
92.3333
Kontrol 36 C
3
92.5567
2 jam 26 C
3
95.8867
4 jam 26 C
3
95.8867
Kontrol 26 C
3
96.1100
Sig.
.305
.602
Rata-rata untuk kelompok subset homogeny ditampilkan.
a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 3.000.
TKH akuarium
a
Duncan
Subset untuk alpa = 0.05
Perlakuan
N
1
2 jam 36 C
3
72.5533
2 jam 26 C
3
75.4433
4 jam 26 C
3
76.7767
4 jam 36 C
3
77.5533
Kontrol 26 C
3
79.1100
Kontrol 36 C
3
82.7233
Sig.
.233
Rata-rata untuk kelompok subset homogeny ditampilkan.
a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 3.000.
19
TKH kolam
a
Duncan
Subset untuk alpa = 0.05
Perlakuan
N
1
2 jam 36 C
3
94.7767
Kontrol 26 C
3
96.0033
Kontrol 36 C
3
96.2367
2 jam 26 C
3
96.7733
4 jam 26 C
3
98.0033
4 jam 36 C
3
98.0033
Sig.
.066
Rata-rata untuk kelompok subset homogeny ditampilkan.
a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 3.000.
Uji Homogenitas Varians
Glukosa
Levene Statistic
8.452E+15
df1
df2
6
7
Sig.
.000
ANOVA
Glukosa
Antar grup
Dalam grup
Total
Jumlah kuadrat
2371.036
394.472
2765.508
Derajat
bebas
6
7
13
Kuadrat
tengah
395.173
56.353
F
7.012
Sig.
.011
20
Test Post Hoc
Subset Homogen
Glukosa
Duncana
Subset untuk alpa = 0.05
1
2
3
MT suhu 26 C, 2 jam
2 109.1875
Kontrol negatif
2 114.2050
114.2050
Tanpa MT suhu 36 C
2
129.4035
129.4035
MT suhu 26 C, 4 jam
2
129.9720
129.9720
Tanpa MT suhu 26 C
2
131.7475
131.7475
MT suhu 36 C, 4 jam
2
143.3240
MT suhu 36 C, 2 jam
2
148.0110
Sig.
.525
.063
.054
Rata-rata untuk kelompok subset homogen ditampilkan.
a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 2.000.
Perlakuan
MT1
MT30
MT60
MT90
N
Uji Homogenitas Varians
Levene
Statistic
df1
df2
.
3
.
597478970884
3
4
9990.000
.
3
.
.
3
.
MT1 Antar grup
Dalam grup
Total
MT3 Antar grup
0
Dalam grup
Total
MT6 Antar grup
0
Dalam grup
Total
MT9 Antar grup
0
Dalam grup
Total
ANOVA
Jumlah
Derajat
kuadrat
bebas
77.037
3
116.393
4
193.430
1.851
3.051
4.902
.588
.982
1.571
.745
.331
7
3
4
7
3
4
7
3
4
1.077
7
Sig.
.
.000
.
.
Kuadrat
tengah
25.679
29.098
F
.882
Sig.
.522
.617
.763
.809
.551
.196
.246
.799
.556
.248
.083
2.999
.158
21
Test Post Hoc
Subset Homogen
MT1
a
Duncan
Subset untuk alpa = 0.05
Perlakuan
N
1
4 jam 26 C
2
16.4950
2 jam 26 C
2
18.3600
4 jam 36 C
2
23.0600
2 jam 36 C
2
23.8700
Sig.
.248
Rata-rata untuk kelompok subset homogeny ditampilkan.
a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 2.000.
Duncana
MT30
Subset untuk alpa = 0.05
Perlakuan
N
1
4 jam 36 C
2
2.7250
2 jam 36 C
2
3.4200
4 jam 26 C
2
3.8550
2 jam 26 C
2
3.9400
Sig.
.242
Rata-rata untuk kelompok subset homogeny ditampilkan.
a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 2.000.
MT60
a
Duncan
Subset untuk alpa = 0.05
Perlakuan
N
1
4 jam 36 C
2
3.3950
2 jam 36 C
2
3.6350
4 jam 26 C
2
3.9600
2 jam 26 C
2
4.0850
Sig.
.241
Rata-rata untuk kelompok subset homogen ditampilkan.
a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 2.000.
22
MT90
Duncana
Perlakuan
2 jam 36 C
Subset untuk alpa = 0.05
1
2
N
2
3.1350
4 jam 26 C
2
3.4750
3.4750
2 jam 26 C
2
3.6900
3.6900
Kontrol
2
3.8000
3.8000
4jam 36 C
2
3.9700
Sig.
.056
.123
Rata-rata untuk kelompok subset homogen ditampilkan.
a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 2.000.
23
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kulon Progo pada tanggal 22 Desember 1990 dari
Bapak Sunarya dan Ibu Samidah. Penulis merupakan anak ke dua dari tiga
bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan akademik di MI At-taqwa Guppi
Wojowalur, SMPN 2 Wates, SUPMN Tegal, dan diterima di Universitas Jenderal
Soedirman melalui jalur SNMPTN tahun 2009 pada program studi Budidaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan.
Pada tahun 2014, penulis melanjutkan studinya dengan menempuh Program
Magister pada program studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjanan IPB.
Penelitian yang dilakukan penulis dalam menyelesaikan studi magister berjudul
“Makulinisasi ikan nila melalui perendaman larva pada suhu 36 ºC dan
pengukuran residu 17α-metiltestosteron”. Artikel yang berjudul “Maskulinisasi
ikan nila melalui perendaman larva pada suhu 36 ºC dan kadar residu 17αmetiltestosteron dalam tubuh ikan” telah disubmit di jurnal omniakuatika dan
telah diikutsertakan di Internasional Conferences on Aquaculture Biotechnology
dikategori poster dengan judul “Sex ratio of
Nile tilapia by 17αmethyltestosterone immersion at 36 ºC water temperature”.
Download