MASKULINISASI IKAN NILA MELALUI PERENDAMAN LARVA PADA SUHU 36 °C DAN PENGUKURAN RESIDU 17α-METILTESTOSTERON MEGA DISSA AFPRIYANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul maskulinisasi ikan nila melalui perendaman larva pada suhu 36 °C dan pengukuran residu 17αmetiltestosteron adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2016 Mega Dissa Afpriyaningrum NIM C151140321 RINGKASAN MEGA DISSA AFPRIYANINGRUM. Maskulinisasi ikan nila melalui perendaman larva pada suhu 36 °C dan pengukuran residu 17α-metiltestosteron Dibimbing oleh DINAR TRI SOELISTYOWATI dan ALIMUDDIN. Ikan nila memiliki sifat dimorfisme kelamin, yaitu ikan jantan memiliki pertumbuhan lebih cepat dari pada ikan betina. Sifat ini akan sangat menguntungkan pembudidaya jika ikan nila dibudidayakan secara monoseks jantan. Monoseks jantan dapat dihasilkan dengan pembalikan kelamin menggunakan hormon 17α-metiltestosteron (MT) pada saat sebelum terjadi diferensiasi kelamin. Namun, pembatasan penggunaan hormon ini perlu dilakukan karena dampak yang ditimbulkan. Pembatasan tersebut berupa meminimalisasi dosis dengan kombinasi peningkatan suhu inkubasi. Induksi suhu dapat mempengaruhi ekspresi hormon yang mengarahkan diferensiasi kelamin menjadi jantan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan dosis minimum MT yang dikombinasikan dengan suhu 36 °C dan lama perendaman terhadap efektivitas pengarahan kelamin jantan pada ikan nila. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan dua kombinasi perlakuan, yakni suhu dan lama perendaman. Suhu yang digunakan ialah suhu 26 °C dan 36 °C, sedangkan lama perendaman dilakukan selama 2 dan 4 jam. Sebanyak 300 ekor larva umur 10 hari pascatetas direndam dalam satu liter larutan MT dosis 2 mg/L. Perendaman dilakukan dalam kantong plastik berukuran 30x50 cm2 yang diisi dengan oksigen. Untuk perendaman suhu 36 °C dilakukan di waterbath, sedangkan untuk suhu 26 °C direndam di akuarium. Pemeriksaan konsentrasi MT di tubuh ikan dilakukan setelah perendaman, hari ke-30, hari ke60 dan hari ke-90. Parameter uji lainnya ialah nisbah kelamin jantan, konsentrasi glukosa darah, tingkat kelangsungan hidup, dan kualitas air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nisbah kelamin jantan berbeda nyata antara perlakuan dan kontrol. Kombinasi lama perendaman MT dan suhu dapat meningkatkan kelamin jantan. Konsentrasi glukosa darah pada sebagian besar perlakuan berbeda nyata, sedangkan perlakuan pada suhu 26 °C lama perendaman 2 jam tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol negatif. Tingkat kelangsungan hidup sesaat setelah perendaman berbeda nyata antara suhu 26 °C dan suhu 36 °C, sedangkan tingkat kelangsungan hidup selama pemeliharaan tidak berbeda nyata antar perlakuan. Konsentrasi hormon MT di tubuh ikan setelah 30 hari menurun tajam dari 23,86-16,49 ng/g menjadi 2,72-3,93 ng/g dan setelah 90 hari menjadi 3,13-3,96 ng/g. Nilai pada hari ke-90 ini tidak berbeda dengan kontrol. Kata kunci: Alih kelamin, ikan nila, lama perendaman, suhu, 17αmetiltestosteron. SUMMARY MEGA DISSA AFPRIYANINGRUM. Masculinization of Nile Tilapia by Larva Immersion at 36 °C and 17α-methyltestosterone Residual Measurement. Supervised by DINAR TRI SOELISTYOWATI and ALIMUDDIN. Tilapia has properties sex dimorphism, i.e males had faster growth rates than female fish. These properties will greatly benefit farmers if tilapia is cultivated in monosex males. Monosex male can be generated by sex reversal using the 17α-methyltestosterone (MT) hormone before sex is differentiated. However, restrictions on the use of this hormone is necessary because the impacts. The restrictions in the form of minimizing the dose to a combination of increased temperature incubation. Temperature induction can affect endogenous hormone level to drive sex differentiation to male. This study aimed to evaluate effectiveness of the use of the minimum dose of MT combined with different temperature and immersion time on sex reversal of tilapia. This study used a completely randomized factorial design with two treatment combination, namely incubation temperature and duration of immersion. The temperature used were 26 °C and 36 °C, while the dipping time was performed for 2 and 4 hours. A total of 300 ten-day-old larvae was immersed in one liter of MT solution at a dose of 2 mg/L. Immersion was performed using 30x50 cm2 of packing plastic that has been filled with oxygen. Temperature of 36 °C immersion is done in water bath, while the temperature 26 °C immersed in an aquarium. Measurement of MT concentration is done after immersion, day 30, day 60 and day 90. Other test parameters, namely the male sex ratio, blood glucose consentration, survival rate, and water quality were also examined. The results showed that male sex ratio were significantly different between the treatment and control groups. MT immersion time with temperature combined can increase male sex ratio. Blood glucose concentrations at most of the treatment was significantly different whereas treatment at temperature 26 °C, 2 hours immersion time was not significantly different when compare to the negative control. The survival rate shortly after immersion significantly different between temperature 26 °C and a temperature of 36 °C. While the survival rate for maintenance were not significantly different between treatments. MT hormone content in the body of the fish after 30 days dropped to 23.86-16.49 ng/g until 2.72 to 3.93 ng/g and after 90 days be 3.13 to 3.96 ng/g. Values in the 90 days was not different from control. Keywords: Nile tilapia, long immersion, sex reversal, temperatures, 17αmethyltestosterone. © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB MASKULINISASI IKAN NILA MELALUI PERENDAMAN LARVA PADA SUHU 36 ˚C DAN PENGUKURAN RESIDU 17α-METILTESTOSTERON MEGA DISSA AFPRIYANINGRUM Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir M Zairin Jr, MSc PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2015 ini ialah sex reversal, dengan judul penelitian “Maskulinisasi ikan nila melalui perendaman larva pada suhu 36 °C dan pengukuran residu 17α-metiltestosteron”. Pada Program Studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati, DEA dan Bapak Dr Alimuddin, SPi, MSc selaku dosen pembimbing serta Bapak Dian Hardyantho, SPi, MSi selaku pembimbing lapang atas waktu, arahan, kesabaran, nasehat, serta semangat yang telah diberikan hingga tesis ini dapat terselesaikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof Dr Ir M Zairin Jr, MSc sebagai dosen penguji luar komisi dan Dr Ir Widanarni, MSi sebagai komisi program studi yang telah memberikan saran dalam ujian sidang tesis ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada orangtua tercinta, Bapak Sunarya dan Ibu Samidah yang telah tulus mendoakan, memberi kasih sayang serta semangat agar tidak mudah menyerah dan fokus dalam menyelesaikan studi. Selain itu kepada saudara saya Lucky Dian Wijayanti dan Mellinda Rizky Fahrizza serta keluarga besar yang telah memberikan doa dan semangat. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh dosen Program Studi Ilmu Akuakultur Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan seluruh pegawai BBPBAT Sukabumi khususnya di POKJA nila, laboratorium genetik dan laboratorium pakan dan residu yang telah memberikan saran kepada penulis. Terimakasih kepada rekan-rekan yang telah membantu selama penelitian serta memberikan masukan dan ide yang membangun yaitu Agung Luthfi Fauzan, Fadilla Maharani Putri, Deny Yunus Wijaya, M. Restya Naufal serta teman-teman mahasiswa Program Studi Ilmu Akuakultur Angkatan 2014 atas kebersamaan dan motivasinya selama menempuh studi. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan umumnya dan perikanan khususnya. Bogor, Desember 2016 Mega Dissa Afpriyaningrum DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR LAMPIRAN xii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis 1 1 2 2 2 3 METODE Waktu dan Tempat Alih Kelamin Jantan Identifikasi Nisbah Kelamin Jantan Konsentrasi Glukosa Darah Pengukuran Kadar Hormon 17-metiltestosteron pada Tubuh Ikan Analisis kualitas air Parameter Uji Nisbah kelamin jantan Konsentrasi glukosa darah Tingkat kelangsungan hidup Konsentrasi 17α-metiltestosteron dalam tubuh ikan Analisis Data 3 3 3 4 4 4 4 5 5 5 5 5 6 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Nisbah kelamin jantan Konsentrasi glukosa darah Tingkat kelangsungan hidup Konsentrasi 17α-metiltestosteron Kualitas air Pembahasan 6 6 6 6 7 8 9 9 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran 11 11 11 DAFTAR PUSTAKA 11 LAMPIRAN 15 RIWAYAT HIDUP 23 DAFTAR TABEL 1 RAL dengan perlakuan suhu dan lama perendaman dalam MT pada alih kelamin ikan nila 2 Kualitas air 3 9 DAFTAR GAMBAR 1 Nisbah kelamin jantan yang direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda dan mengandung hormon 17α-metiltestosteron, dengan lama waktu perendaman berbeda 2 Konsentrasi glukosa darah pada ikan nila sesaat setelah perendaman dalam air suhu 36 ˚C (□) dan 36 ˚C (■) mengandung hormon 17αmetiltestosteron serta K- (kontrol negatif ░). 3 Tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan nila sesaat setelah perendaman yang direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda, dan mengandung hormon 17α-metiltestosteron (MT), dengan lama waktu berbeda 4 Tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan nila selama dipelihara di akuarium (30 hari) yang direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda, dan mengandung hormon 17α-metiltestosteron (MT), dengan lama waktu berbeda 5 Tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan nila selama dipelihara di kolam (90 hari) yang direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda, dan mengandung hormon 17α-metiltestosteron (MT), dengan lama waktu berbeda 6 Konsentrasi residu 17α-metiltestosteron dalam tubuh ikan nila yang direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda (26 ˚C, dan 36 ˚C) dan mengandung hormon 17α-metiltestosteron (MT), dengan lama waktu berbeda 6 7 7 8 8 8 DAFTAR LAMPIRAN 1 Prosedur analisis kadar glukosa darah menggunakan KIT Glucose GOD FS dari DiaSys International 2 Ekstraksi tubuh ikan nila 3 Hasil uji ANOVA 16 16 17 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan nila Oreochromis niloticus merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang tumbuh cepat, mempunyai daya hidup tinggi dan mempunyai dimorfisme kelamin dimana pertumbuhan ikan nila jantan lebih cepat daripada ikan betina (Srisakultiew dan Komonrat 2013). Sifat tersebut mengarahkan untuk memelihara ikan nila dengan jenis kelamin jantan. Monoseks jantan pada ikan nila dapat memberikan pertumbuhan hampir dua kali lipat daripada ikan nila yang dibudidayakan secara campuran (Dagne et al. 2013), mengurangi reproduksi yang tidak terkontrol (Ferdous dan Ali 2011) dan menyeragamkan ukuran saat panen (Beardmore et al. 2001). Produksi monoseks jantan efektif dilakukan menggunakan hormon androgen yaitu 17α-metiltestosteron (Wassermann dan Afonso 2003, Megbowon dan Mojekwu 2014). Aplikasi hormon ini dapat dilakukan dengan perendaman, penyuntikan dan melalui pakan (Beardmore et al. 2001). Metode perendaman lebih efisien digunakan pada stadia larva. Larva direndam sebelum atau saat terjadi diferensiasi kelamin atau periode kritis, yaitu otak larva masih dalam keadaan bipotensial dalam mengarahkan pembentukan kelamin baik secara morfologi, tingkah laku maupun fungsi (Carman et al. 2008). Perendaman larva umur 14 hari menggunakan MT 1,8 mg/L selama 4 jam menghasilkan jantan sebanyak 91,6% (Wasserman dan Afonso 2003), sedangkan Srisakultiew dan Komonrat (2013) melakukan perendaman larva umur 10 hari menggunakan MT 0,5 mg/L selama 12 jam dapat menghasilkan jantan sebanyak 86,4%. Penggunaan 17α-metiltestosteron (MT) di Indonesia menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No: KEP.52/MEN/2014 telah dilarang karena potensi bahaya yang ditimbulkannya. Untuk menggantikan fungsi 17αmetiltestosteron beberapa peneliti telah mencari alternatif lain seperti penggunaan madu (Soelistyowati et al. 2007), propolis (Ariyanto et al. 2012), dan purwoceng (Arfah 2013). Hasil dari penggunaan bahan alami tersebut belum seefektif MT yang menghasilkan ikan jantan sebanyak 100% (Zairin et al. 2002), sehingga beberapa pembudidaya masih menggunakan MT karena efektivitas yang lebih baik. Dalam Internasional Standards for Resposible Tilapia Aquaculture, penggunaan metil dan etiltestosteron masih boleh dipergunakan (WWF 2009). Beberapa peneliti menemukan bahwa hormon ini tidak selamanya berada di tubuh ikan. Kadar MT di plasma menurun pada jam ke-22 setelah penghentian pakan menjadi <0,5 ng/ml (Rinchard et al. 1999). Pengeluaran MT dari tubuh ikan setelah 100 jam berkurang menjadi 1 % (Johnstone et al. 1983). Hal ini menunjukkan bahwa MT cepat dimetabolisme dan diekskresikan. Selain dengan MT, maskulinisasi dapat dilakukan dengan manipulasi suhu lingkungan berupa peningkatan suhu (Tessema et al. 2006). Suhu lingkungan berperan dalam seks diferensiasi karena sifat nila yang termosensitif (Barroiller et al. 1995). Semakin tinggi suhu, maka rasio kelamin jantan semakin tinggi (Tessema et al. 2006). Larva nila umur 20 hari setelah kuning telur habis yang direndam suhu 36,83 °C selama 28 hari dapat menghasilkan jantan 80% (Azaza et 2 al. 2008). El – Fotoh et al. (2014) juga melaporkan bahwa perendaman larva nila umur 10 hari setelah fertilisasi selama 30 hari pada suhu 36 °C menghasilkan jantan 81%. Dengan demikian suhu dapat dikombinasikan dengan hormon untuk memaksimalkan produksi monoseks jantan dan meminimalkan penggunaan MT. Berdasarkan latar belakang tersebut maka maskulinisasi dengan kombinasi perlakuan hormon MT dan suhu dapat dilakukan untuk memaksimalkan produksi ikan jantan dan meminimalkan penggunaan MT serta pengukuran residu MT pada tubuh ikan setelah perendaman, saat ikan berumur 30 hari, 60 hari dan 90 hari. Selanjutnya, penelitian kombinasi MT dengan suhu juga belum banyak dilaporkan pada ikan nila. Dengan demikian menarik untuk dikaji kombinasi hormon MT dan suhu untuk efektivitas maskulinisasi jantan pada ikan nila. Perumusan Masalah Ikan nila mempunyai sifat dimorfisme kelamin di mana nila jantan memiliki pertumbuhan lebih cepat daripada nila betina, sehingga lebih cepat besar jika dibudidayakan secara monoseks jantan. Budidaya monoseks jantan mempunyai keuntungan yaitu pertumbuhannya lebih cepat, mengurangi reproduksi yang tidak diinginkan dan menyeragamkan ukuran saat panen. Penggunaan MT efektif untuk alih kelamin jantan, tetapi penggunaan hormon ini sudah dilarang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan karena residu yang ditimbulkan. Selain dengan hormon, pengaruh lingkungan yaitu suhu dapat meningkatkan nisbah kelamin jantan, begitu juga dengan lama perendaman. Kombinasi perlakuan hormon dan suhu dengan lama perendaman 2 dan 4 jam diharapkan dapat menurunkan dosis MT dengan tetap meningkatkan rasio kelamin jantan. Residu yang ditimbulkan MT dapat dievaluasi dengan mengukur konsentrasinya setelah perendaman, setelah 30 hari, 60 hari dan 90 hari. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengevaluasi penggunaan MT dan suhu 36 °C melalui perendaman larva terhadap keberhasilan alih kelamin jantan ikan nila Oreochromis niloticus serta pengukuran residu pada tubuh ikan nila setelah perendaman, 30 hari, 60 hari dan setelah 90 hari. Hipotesis 1. Kombinasi perlakuan MT dan suhu 36 ˚C melalui perendaman larva akan menurunkan ambang optimum kedua perlakuan tersebut untuk menghasilkan monoseks jantan. 2. Penggunaan MT pada fase larva tidak menyisakan residu pada tubuh ikan setelah pemeliharaan selama 90 hari. 3 2 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2015 sampai Juni 2016. Penelitian bertepat di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Nisbah kelamin jantan, tingkat kelangsungan hidup dan konsentrasi residu MT dilakukan di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Analisis glukosa darah dan histologi dilakukan di laboratorium Fisiologi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Alih Kelamin Jantan Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan kombinasi suhu dan lama perendaman dalam MT. Suhu yang digunakan ialah suhu 26 °C dan 36 °C, sedangkan lama perendaman dilakukan selama 2 dan 4 jam. Dosis yang digunakan sebesar 2 mg/L. Rancangan percobaan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. RAL dengan perlakuan suhu dan lama perendaman dalam MT pada alih kelamin ikan nila Suhu (˚C) 26 ˚C 36 ˚C kontrol Pa01 Pa02 Pa03 Pb01 Pb02 Pb03 Lama perendaman (jam) 2 4 Pa11 Pa21 Pa12 Pa22 Pa13 Pa23 Pb11 Pb21 Pb12 Pb22 Pb13 Pb23 Perlakuan alih kelamin dilakukan melalui perendaman larva umur 10 hari setelah menetas (Wassermann dan Afonso 2003, Tessema et al. 2006) menggunakan MT dan suhu, setiap perlakuan mempunyai tiga ulangan. MT sebanyak 2 mg dilarutkan dalam alkohol 70% sebanyak 50 µL dan dicampur menggunakan vorteks sampai larut, kemudian dicampur dalam 1 L air. Larutan ini kemudian diukur menggunakan ELISA dan konsentrasi yang didapatkan ialah 0,1 mg/L. Larva direndam dalam larutan perlakuan sesuai rancangan percobaan dengan kepadatan 300 ekor/L. Perendaman dilakukan menggunakan plastik berukuran 30x50 cm2 yang telah diisi oksigen, kemudian dipelihara dalam akuarium (40x60x60 cm3) sampai hari ke-30. Selanjutnya benih dipindahkan ke hapa (2x1x1 m3) sampai hari ke-90. Untuk menjaga kualitas air akuarium dilengkapi dengan aerasi serta dilakukan pergantian air sebanyak 75% setiap dua hari sekali. Pakan komersial dengan protein 40% diberikan setelah kuning telur habis. Pemberian pakan dilakukan secara at satiation dengan frekuensi pemberian tiga kali sehari. Konsentrasi glukosa darah diambil sesaat setelah perendaman. Sampling dilakukan 30 hari sekali untuk kualitas air dan residu MT di tubuh ikan. Tingkat kelangsungan hidup dan nisbah kelamin jantan dihitung setelah akhir pemeliharaan di akuarium dan kolam. 4 Identifikasi Nisbah Kelamin Jantan Identifikasi nisbah kelamin jantan dilakukan di akhir pemeliharaan (30 dan 90 hari setelah perendaman). Sampel yang diambil sebanyak 30% dari populasi. Pemeriksaan kelamin dilakukan dengan melihat morfologi gonad ikan, kemudian dilakukan menggunakan pewarnaan eosin (Zairin et al. 2005) dan metode histologi (Kent 1985). Konsentrasi Glukosa Darah Konsentrasi glukosa darah diukur untuk melihat pengaruh pemberian perlakuan kombinasi MT dan suhu terhadap tingkat stres larva. Konsentrasi glukosa darah diukur menggunakan kit glucose-pap dengan prosedur sesuai manual (Lampiran 1). Pemeriksaan ini dilakukan menggunakan kit glucose-pap. Konsentrasi glukosa darah diperiksa setelah perendaman. Sampel ikan yang digunakan sebanyak 300 ekor. Ikan digerus menggunakan penggerus dan disentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama 10 menit untuk mendapatkan plasma ikan. Sampel sebanyak 10 µl dicampur dan ditambahkan 1 mL reagen, kemudian dihomogenkan menggunakan vorteks. Sampel diinkubasi selama 20 menit pada suhu 20-25 ˚C. Absorbansi dibaca dan dibandingkan dengan blanko pada panjang gelombang 546 nm. Pengukuran Konsentrasi Hormon 17α-metiltestosteron pada Tubuh Ikan Pengukuran konsentrasi MT dilakukan menggunakan ELISA Enzyme-linked immunosorbent assay dengan KIT RIDASCREEN metiltestosteron. Larutan sampel yang akan diuji didapatkan dari ekstraksi ikan nila (Lampiran 2) kemudian dimasukkan ke dalam well sebanyak 50 µl. Kemudian ditambahkan 50 µl conjugate dan 50 µl antibodi anti metiltestosteron, plate digoyangkan secara manual sampai tercampur merata dan diinkubasi selama 2 jam dalam keadaan gelap. Kemudian cairan dalam well dikeluarkan dan dikeringkan menggunakan kertas penyerap sehingga well benar-benar bersih dari cairan tersebut. Setelah itu dibilas menggunakan wash buffer sebanyak 250 µl, penambahan wash buffer ini dilakukan sebanyak dua kali. Substrat atau chromogen ditambahkan sebanyak 100 µl, plate digoyangkan secara manual sampai tercampur merata dan diinkubasi selama 15 menit dalam kondisi gelap. Stop solution ditambahkan sebanyak 100 µl kemudian plate digoyangkan secara manual sampai tercampur merata dan konsentrasi metiltestosteron diukur dengan panjang gelombang 450 nm selama 30 menit. Analisis Kualitas Air Parameter kualitas air yang diukur adalah suhu, oksigen terlarut, pH, dan amonia. Pengukuran kualitas air dilakukan di awal perlakuan, saat pemeliharaan ikan di akuarium, dan pada saat pemeliharaan ikan di hapa/kolam. 5 Parameter Uji Nisbah kelamin jantan Nisbah kelamin jantan merupakan jumlah ikan jantan dibandingkan dengan jumlah ikan secara keseluruhan. Nisbah kelamin jantan dapat dihitung dengan menggunakan rumus: PKJ = x 100 Keterangan : NKJ : Nisbah jenis kelamin ikan jantan (%) Ij : Jumlah ikan jantan Is : Jumlah ikan yang diamati Konsentrasi glukosa darah Konsentrasi glukosa darah dapat dijadikan indikator stres pada ikan. Konsentrasi glukosa darah dapat diukur menggunakan rumus yang mengacu pada (Wedemeyer dan Yasutake 1977): [GD] = x [GSt] Keterangan : [GD] : Konsentrasi glukosa darah (mg/ml) AbsSp : Absorbansi sampel AbsSt : Absorbansi standar [GSt] : Konsentrasi glukosa standar (mg/ml) Tingkat kelangsungan hidup Kelangsungan hidup ikan nila dihitung untuk mengetahui persentase ikan hidup selama penelitian. Kelangsungan hidup ikan nila dilihat setelah perendaman dan akhir pemeliharaan di akuarium dan kolam serta dihitung menggunakan formula berdasarkan (Zonneveld et al. 1991), yaitu sebagai berikut: Keterangan : TKH : Tingkat kelangsungan hidup (%) Nt : Jumlah individu hari ke-t (ekor) No : Jumlah individu awal (ekor) Konsentrasi 17α-metiltestosteron dalam tubuh ikan 6 Hasil pembacaan ELISA pada panjang gelombang 450 nm yang berupa ng/kg dikonversi ke ng/g menggunakan microsoft excel, kemudian di buat tabel dan grafik agar mudah diamati dan dianalisis. Analisis Data Data nisbah kelamin jantan, konsentrasi glukosa darah, tingkat kelangsungan hidup dan konsentrasi testosteron dalam tubuh ikan dianalisis sidik ragam menggunakan SPSS 22.0 dengan uji lanjut Duncan dan tingkat kepercayaan 95%. 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Nisbah Kelamin jantan (%) Nisbah kelamin jantan Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa perlakuan kombinasi suhu dan lama perendaman berpengaruh terhadap nisbah kelamin jantan (NKJ). Nisbah kelamin jantan pada semua perlakuan, kecuali lama perendaman 2 jam suhu 36 ˚C dan lama perendaman 4 jam suhu 26 ˚C tidak berbeda nyata (P>0,05) (Gambar 1 dan Lampiran 3). Pada suhu 26 ˚C lama perendaman 2 dan 4 jam dapat meningkatkan NKJ sebanyak 24% (57% menjadi 81%) dan 31% (57% menjadi 88%) dibandingkan kontrol. Pada suhu 36 ˚C lama perendaman 2 dan 4 jam dapat meningkatkan jantan sebanyak 25% (62% menjadi 87%) dan 30% (62% menjadi 93%) dibandingkan kontrol. Penggunaan suhu 36 ˚C dapat meningkatkan jantan sebanyak 5-6% dibandingkan suhu 26 ˚C. Dengan demikian perlakuan suhu dan lama perendaman MT dapat meningkatkan nisbah kelamin jantan. 100 d c e d 80 60 b a Suhu 26 ˚C 40 Suhu 36 ˚C 20 0 0 2 4 Lama Perendaman (jam) Gambar 1. Nisbah kelamin jantan yang direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda dan mengandung hormon 17α-metiltestosteron, dengan lama waktu perendaman berbeda. Huruf kecil yang berbeda di atas bar menunjukkan beda nyata (p<0,05). Konsentrasi glukosa darah Konsentrasi glukosa darah setelah perendaman pada ikan menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar sebagian besar perlakuan kecuali pada suhu 26 ˚C 7 Konsentrasi glukosa darah (mg/dL) dengan lama perendaman 2 jam jika dibandingkan dengan kontrol negatif (P>0,05) (Gambar 2 dan Lampiran 3). 160 140 120 bc c bc a c bc a 100 80 Suhu 26 ˚C 60 Suhu 36 ˚C 40 20 0 K- 0 2 4 Lama Perendaman (jam) Gambar 2. Konsentrasi glukosa darah pada ikan nila sesaat setelah perendaman dalam air suhu 26 ˚C (□) dan 36 ˚C (■) mengandung hormon 17α-metiltestosteron serta K- (kontrol negatif ░). Tingkat kelangsungan hidup (%) Tingkat kelangsungan hidup Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan pada setelah perendaman sebanyak 92-96%. Perlakuan suhu 36 ˚C memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap TKH (Gambar 3 dan Lampiran 3) sedangkan lama perendaman tidak memberikan pengaruh yang nyata. TKH selama pemeliharaan ikan di akuarium sebanyak 73-83% (Gambar 4), dan TKH di kolam sebanyak 95-98% (Gambar 5). TKH ikan selama pemeliharaan tidak berbeda nyata pada semua perlakuan (p>0,05) (Lampiran 3). 100 a b a b a b 80 60 40 Suhu 26 ˚C 20 Suhu 36 ˚C 0 0 2 4 Lama perendaman (jam) Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan nila sesaat setelah direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda, dan mengandung hormon 17α-metiltestosteron (MT), dengan lama waktu berbeda. Huruf yang berbeda di atas bar menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05). Tingkat kelangsungan hidup di akuarium (%) 8 100 a a a a a a 80 60 40 Suhu 26 ˚C 20 Suhu 36 ˚C 0 0 2 4 Lama perendaman (jam) Tingkat kelangsungan hidup kolam (%) Gambar 4. Tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan nila selama dipelihara di akuarium (30 hari) yang direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda, dan mengandung hormon 17αmetiltestosteron (MT), dengan lama waktu berbeda. Huruf yang berbeda di atas bar menunjukkan nilai berbeda nyata (p>0,05). 100 a a a a a a 80 60 40 Suhu 26 ˚C 20 Suhu 36 ˚C 0 0 2 4 Lama perendaman (jam) Gambar 5. Tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan nila selama dipeliharan di kolam (90 hari) yang direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda, dan mengandung hormon 17αmetiltestosteron (MT), dengan lama waktu berbeda. Huruf yang berbeda di atas bar menunjukkan nilai berbeda nyata (p>0,05). Konsentrasi 17α-metiltestosteron Dengan menggunakan metode ELISA, konsentrasi dalam tubuh larva ikan nila setelah perendaman pada perlakuan suhu 36 ˚C yaitu 23,05-23,86 ng/g, sama dengan kadar MT pada suhu ruang (16,49-18,35 ng/g) (Gambar 6). Konsentrasi 17α-metiltestosteron pada masa pemeliharaan hari ke-30 setelah perendaman menurun tajam pada semua perlakuan MT dan cenderung stabil hingga hari ke-90. Konsentrasi 17α-metiltestosteron pada ikan umur 10 hari setelah menetas tanpa pemberian MT (kontrol) sebanyak 4,15 ng/g dan cenderung stabil sampai hari ke90 (3,86 ng/g). 9 Gambar 6. Konsentrasi residu 17α-metiltestosteron dalam tubuh ikan nila yang direndam pada fase larva dalam air suhu berbeda (26 ˚C, dan 36 ˚C) dan mengandung hormon 17αmetiltestosteron (MT), dengan lama waktu berbeda. Lama perendaman 2 jam (2 J), dan 4 jam (4 J). Kualitas air Hasil pengukuran kualitas air selama pemeliharaan ikan maskulinisasi dengan kombinasi MT dan suhu (Tabel 2). Tabel 2. Kualitas air selama pemeliharaan Parameter Suhu (˚C) pH Oksigen terlarut (mg/L) Amonia (mg/L) Hasil Akurium 24-26 6,5-7,5 7,0-7,5 0,28-0,29 Kolam 25-28 6,2-7,5 6,5-7,5 0,31-0,35 SNI 7550: 2009 25-32 6,5-8,5 >3 ≤0,02 Pembahasan Kombinasi lama perendaman dan suhu meningkatkan nisbah kelamin jantan (Gambar 1). Selanjutnya, lama perendaman berpengaruh signifikan terhadap nisbah kelamin jantan ikan nila. Hasil yang diperoleh relatif sama dengan yang dilaporkan oleh Wassermann dan Afonso (2003). Namun demikian, pada penelitian ini perendaman dilakukan satu kali pada larva umur 10 hari, air suhu 36C mengandung MT dosis 2 mg/L, kepadatan 300 ekor/L, selama 4 jam menghasilkan ikan nila jantan 93%. Wassermann dan Afonso (2003) merendam larva umur 10 dan 14 hari (dua kali perendaman) setelah penetasan menggunakan MT 1,8 mg/L, sebanyak dua kali perendaman dengan kepadatan 125 ekor/L, menghasilkan ikan nila jantan 98,3%. Bombardelli dan Hayashi (2005), melakukan perendaman menggunakan 2 mg/L MT pada ikan nila umur 15 hari setelah penetasan dengan kepadatan 100 ekor/L selama 36 jam menghasilkan jantan 85,19%. Cara kerja MT menurut Kitano et al. (2000), ialah MT dapat menekan ekspresi P450 arom, sehingga enzim sitokrom P450 aromatase tidak terbentuk. Enzim ini berfungsi untuk merubah androgen menjadi esterogen sehingga terjadi perkembangan ovarium. Adanya penekanan ekspresi P450 arom menyebabkan testosteron tidak dirubah menjadi estrogen sehingga diarahkan kepembentukan testis (Kitano et al. 2000). Selain pengaruh MT, suhu juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nisbah kelamin jantan ikan nila. Efek suhu lingkungan telah dilaporkan dapat meningkatkan nisbah kelamin jantan (Tessema et al. 2006; Azaza et al. 2008; El-Fotoh et al. 2014). Mekanismenya adalah melibatkatkan enzim aromatase (Kitano et al. 1999, Piferrer 2011). Menurut Navarro-Martin et al. (2011), suhu tinggi dapat meningkatkan metilasi DNA pada promotor cyp19a. Metilasi ini berbanding terbalik dengan tingkat ekspresi P450 arom, ketika ekspresi P450 arom rendah maka enzim sitokrom P450 aromatase tidak terbentuk sehingga testosteron tidak diubah menjadi estrogen dan diarahkan kepembentukan testis. Selain pengaruh MT dan suhu, perendaman larva umur 10 hari setelah 10 menetas juga menentukan keberhasilan maskulinisasi karena larva masih berada dalam masa diferensiasi kelamin. Hal ini sejalan dengan penelitian Wassermann dan Afonso (2003), Tessema et al. (2006) yang berhasil melakukan maskulinisasi menggunakan larva umur 10 hari setelah penetasan. Pembentukan ovarium dan testis pada ikan nila terjadi pada 20-25 hari setelah menetas (Kobayasi et al. 2008). Menurut Hasheesh et al. (2011) faktor yang mempengaruhi keberhasilan maskulinisasi ialah spesies, umur larva ketika diberi perlakuan, lamanya perlakuan, suhu, dosis dan kemurnian hormon yang digunakan. Konsentrasi glukosa darah pada semua perlakuan berbeda nyata kecuali pada suhu 26 ˚C lama perendaman 2 jam jika dibandingkan dengan kontrol negatif (Gambar 2). Meningkatnya nilai glukosa darah ini disebabkan ikan mengalami stres karena perlakuan. Stres dapat disebabkan secara fisik, kimia maupun kondisi lingkungan (Barton 2002). Menurut Hastuti et al. (2003) perubahan suhu lingkungan akan berpengaruh langsung terhadap proses metabolisme sehingga akan mempengaruhi tingginya kebutuhan pasok glukosa darah untuk termogenesis karena sifat ikan yang poikiloterm. Konsentrasi glukosa darah pada perlakuan tanpa pemberian MT selama 0 jam baik pada suhu 26 ˚C dan 36 ˚C lebih tinggi dari pada perlakuan pemberian MT selama 2 jam dengan suhu 26 ˚C. Hal ini diduga karena respons stres setiap ikan berbeda. Sejalan dengan Schyolden et al. (2005) bahwa respons perilaku dan fisiologis stres sangat bervariasi tergantung spesies ikan, strain dan individu. Glukosa darah dapat dijadikan indikator stres, tetapi merupakan indikator sekunder jika dibandingkan dengan kortisol (primer) sebaiknya untuk melihat tingkat stres ikan dilakukan pengukuran kortisol dan glukosa darah (Pottinger et al.1998). Tingkat kelangsungan hidup sesaat setelah perendaman pada suhu 36 ˚C lebih rendah daripada suhu 26 ˚C. Hal ini menunjukkan bahwa suhu 36 ˚C menyebabkan kematian ikan lebih banyak daripada suhu 26 ˚C. Hal ini sejalan dengan penelitian Pandit dan Nakamura (2010) bahwa pada suhu 37 ˚C TKH lebih rendah (57±0,0%) daripada suhu 27 ˚C (96±3,2%). Kematian ikan disebabkan karena ikan mengalami stres. Menurut Azwar et al. (2016) stres pada ikan dapat menyebabkan menurunnya produktivitas dan daya tahan tubuh serta meningkatnya angka kematian. Lama perendaman di MT tidak berpengaruh terhadap TKH. Hal ini sesuai dengan Srisakultiew dan Komonrat (2013), bahwa MT tidak memberikan pengaruh terhadap TKH. TKH ikan nila selama pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5. TKH di akuarium lebih rendah daripada di kolam, hal ini diduga karena ukuran ikan di akuarium lebih kecil daripada di kolam. Sejalan dengan penelitian Dan dan Litte (2000), bahwa TKH ikan kecil (<1 g) lebih rendah (34,4%) dari ikan besar (>1 g) (54%). TKH baik di akuarium maupun di kolam tidak berbeda nyata pada semua perlakuan. TKH ikan selama pemeliharaan didukung oleh kualitas air (Tabel 2) yang sesuai untuk pertumbuhan ikan nila kecuali amonia. Ikan nila merupakan ikan yang mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap stres, hal ini memberikan kontribusi terhadap tingginya TKH (Haheesh et al. 2011). Metode ELISA digunakan pada penelitian ini untuk mengukur konsentrasi MT dalam tubuh ikan (Memmat et al. 2015). Berdasarkan Gambar 6, kadar MT yang diserap tubuh ikan berkisar 16,49-23,86 ng/g. Pada suhu perendaman yang sama, perlakuan lama perendaman tidak mempengaruhi penyerapan MT oleh larva ikan nila. Pada Gambar 1, persentase ikan nila kelamin jantan pada 11 perlakuan suhu 36 ˚C lebih banyak daripada suhu 26 ˚C. Dengan demikian, kadar MT yang diserap oleh tubuh larva ikan nila meningkatkan persentase kelamin jantan, dan suhu 36 ˚C mempengaruhi penyerapan MT. Penyerapan MT yang lebih banyak diduga karena pada perlakuan suhu 36 ˚C pergerakan ikan lebih aktif dan pergerakan tutup insang lebih cepat dari pada suhu 26 ˚C, sehingga MT banyak yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini sejalan dengan Tantarpale et al. (2012), bahwa suhu 35 ˚C dapat mempercepat pergerakan tutup insang. Seperti ditunjukkan pada Gambar 6, kadar MT menurun tajam pada H30 setelah perendaman, dan setelah itu cenderung stabil hingga H90. Hal tersebut menunjukkan bahwa residu MT tidak ada lagi dalam tubuh ikan nila pada H90. Penurunan kadar steroid yang cepat juga telah dilaporkan oleh Pandian dan Kirankumar (2012), bahwa penurunan steroid sangat cepat sewaktu di awal dan secara bertahap stabil. Tingkat penurunan kadar hormon tergantung pada spesies, kemurnian steroid yang digunakan, organ yang dideteksi dan metode yang digunakan. Pada penelitian ini deteksi MT dilakukan menggunakan seluruh tubuh ikan nila. Konsentrasi MT pada H30 hingga H90 relatif stabil dan sama dengan ikan kontrol pada H90. Hal ini menunjukan bahwa MT tidak selamanya terakumulasi di dalam tubuh. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mengonsumsi ikan nila setelah H90 pascarendam relatif aman. Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Rizkalla et al. (2004) bahwa tidak ada potensi bahaya pada orang yang memakan ikan yang telah diberi perlakuan pemberian MT melalui pakan sebanyak 30-120 mg/kg sewaktu larva dengan lama pemberian 28 jam. Megbowon dan Mojekwu (2014) juga mengatakan bahwa hormon ini tidak memberikan efek pada daging ikan ketika larvanya diberi perlakuan, tidak berbahaya bagi manusia, pada lingkungan steroid ini juga biodegradable dan mineralized. 4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Peningkatan suhu dapat meningkatkan nisbah kelamin jantan dan kadar MT menurun seiring dengan waktu. DAFTAR PUSTAKA Arfah H, Soelistyowati DT, Bulkini A. 2013. Maskulinisasi ikan cupang Betta splendes melalui perendaman embrio dalam ekstrak purwoceng Pimpinella alpina. Jurnal Akuakultur Indonesia. 12(2): 145-150. Ariyanto D, Robisalmi A, Larasati AK. 2012. Propolis, the alternatif natural material for sex reversal in tilapia. Indonesian Aquaculture Journal. 7(2): 8794. Azaza MS, Dhraief MN, Kraiem MM. 2008. Effects of water temperature on growth and sex ratio of juvenile Nile tilapia Oreochromis niloticus (Linnaeus) 12 reared in geothermal waters in southern Tunisia. Journal of Thermal Biology. 33: 98-105. Azwar M, Emiyarti, Yusnaini. 2016. Critical thermal dari ikan Zebrasoma scopas yang berasal dari perairan pulau hoga kabupaten wakatobi. Sapa Laut. 1(2):6066. Baroiller JF, Chourrout D, Fostier A, Jalabert B. 1995. Temperature and sex chromosomes govern sex ratios of the mouthbrooding cichlid fish Oreochromis niloticus. The Journal of Experimental Zoologi. 273:216-223. Barton BA. 2002. Stress in fishes: A diversity of responses with particular reference to changes in circulating corticosteroids. Integrative and Comparative Biology. 42:517-525. Beardmore JA, Mair GC, Lewis RI. 2001. Monosex male production in finfish as exemplified by tilapia: applications, problems, and prospects. Aquaculture. 197: 283-301. Bombardelli RA, Hayashi C. 2005. Masculinization of larva of Nile tilapia Oreochromis niloticus L. by immersion baths with 17α–methyltestosterone. R Bras Zootec. 34(2): 365-372. Carman O, Jamal MY, Alimuddin. 2008. Pemberian 17α-metiltestosteron melalui pakan meningkatkan persentase kelamin jantan lobster air tawar. Jurnal Akuakultur Indonesia. 7(1):25-31. Dagne A, Degefu F, Lakew A. 2013. Comparative growth performance of monosex and mixed-sex Nile tilapia Oreochromis niloticus L. in pond culture system at sabeta, Ethiopian. International Journal of Aquaculture. 3(7): 30-34. Dan NC, Little DC. 2000. Overwintering performance of Nile tilapia Oreochromis niloticus (L.) broodfish and seed at ambient temperature in northern Vietnam. Aquaculture Research. 35:485-493. El-Fotoh EMA, Ayyat MS, El-Rahman GAA, Farag ME. 2014. Mono sex male production in Nile tilapia Oreochromis niloticus using different water temperature. Zagazig Journal of Agricultural Research. 41(1): 1-8. Ferdous M, Ali MM. 2011. Optimization of hormonal dose during masculinization of tilapia Oreochromis niloticus fry. Journal Bangladesh Agricultural University. 9(2):359-364. Firdous Z, Masum MA, Ali MM. 2011. Influence of stocking density on growth performance and survival of monosex tilapia Oreochromis niloticu fry. International Journal of Research in Fisheries and Aquaculture. 4(2):99-103. Hasheesh WS, Marie MAS, Abbas HH, Eshak MG, Zahran EA. 2011. An evolution of the effect of 17α-methyltestosterone hormone on some biochemical, molecular and histological changes in the liver of Nile tilapia, Oreochromis niloticus. Life Science Journal. 8(3): 343-358. Hastuti S, Supriyono E, Mokoginta I, Subandiyono. 2003. Respon glukosa darah ikan gurami Osphronemus gouramy LAC terhadap stres perubahan suhu dan lingkungan. Jurnal Akuakultur Indonesia. 2(2):73-77. Johnstone R, Macintosh DJ, Wright RS. 1983. Elimination of orally administered 17α-metyltestosterone by Oreochromis mossambicus (tilapia) and Salmo gairdneri (rainbow trout) juveniles. Aquaculture. 35: 249-257. Kent A. 1985. Laboratory Manual Histopathology. Balitvet Project. Bogor (ID): Balai Penelitian Veteriner. 13 Kitano T, Takamune K, Nagahama Y, Abe S. 1999. Suppression of P450 aromatase gene expression in sex-reversed males produced by rearing genetically female larvae at high water temperature during a periode of sex differentiation in the Japanese flounder Paralichthys olivaceus. Journal of Molecular Endocrinology. 23:167-176. Kitano T, Takamune K, Nagahama Y, Abe S. 2000. Aromatase inhibitor and 17αmethyltestosterone cause sex-reversal from genetical females to phenotypic males and suppression of P450 aromatase gene expression in Japanese flounder Paralichthys olivaceus. Molecular Reproduction and Development. 56:1-5. Kobayashi T, Kobayashi HK, Guan G, Nagahama Y. Sexual dimorphic expression of DMRT1 and Sox9a during gonadal differentiation and hormoneinduced sex reversal in teleost fish Nile tilapia Oreochromis niloticus. Developmental Dynamics. 237:287-306. Megbowon I, Mojekwu TO. 2014. Tilapia sex reversal using methyltestosterone (MT) and its effect on fish, man and environment. Biotechnology. 13(5): 213216. Memmat MI, Reham AA, Omaima MD, Asmaa EH. 2015. Detection of methyltestosterone and atrenbolone acetate hormones residue in Nile tilapia Oreochromis niloticus. Benha Veterinary Medical Journal. 28(1): 276-280. Navarro-Martin L, Vinas J, Ribas L, Diaz N, Gutierez A, Croce LD, Piferrer F. 2011. DNA methylation of the gonadal aromatase (cyp19a) promotor is involved in temperature-dependent sex ratio shifts in the european sea bass. Plos Gentics. 7(12):e1002447. Padian TJ, Kirankumar S. 2012. Recent advances in hormonal induction of sexreversal in fish. Journal Application Aquaculuture. 13:205-230. Pandit NP, Nakamura M. 2010. Effect oh high temperature on survival, growth and feed conversion ratio of Nile tilapia Oreochromis niloticus. Our Nature. 8:219-224. Piferrer P. 2011. Endocrine control of sex differentiation in fish. In: The sense, suporting tissue, reproduction, and behavior. Farrell AP, Cech JJ, Richards JG, stevens ED editor. Columbia, Canada (US). Encyclopedia of fish physiology: From genome to environment. Page: 1490-1499. Pottinger TG, Rand-Weaver M, Sumpter JP. 1998. Overwinter fasting and refeeding in rainbow trout: plasma growth hormone and cortisol levels in relation to energy mobilization. Comparative Biochemistry and Physiology Part B. 136:403-417. Rinchard J, Dabrowski K, Garcia-Abiado MA. 1999. Uptake and depletion of plasma 17α-metiltestosterone during induction of masculinization in muskellunge, Esox masquinongy: effect on plama steroids and sex reversal. Steroids. 64(8): 518-525. Rizkalla EH, Haleem HH, Abdel-Halim AMMRH. 2004. Evaluation of using 17αmethyltestosterone for monosex Oreochromis niloticus fry production. Egypt Ger Soc Zool. 43(a): 315-335. Schyolden J, Stoskhus S, Winberg S. 2005. Dose individual variation in stress responses and agonistic behaviour reflect divergent stress coping strategies in juvenile rainbow trout? Physiology Biochemical Zoology. 78:715–723. 14 Soelistyowati DT, Martati E, Arfah H. 2007. Efektivitas madu terhadap pengarahan kelamin ikan gapi Poecilia reticulata Peters. Jurnal Akuakultur Indonesia. 6(2): 155-160. Srisakultiew P, Kamonrat W. 2013. Immersion of 17α-methyltestosterone dose & duration on tilapia masculinization. Journal of Fisheries Science. 7(4): 302308. Tantarpale VT, Rathord SH, Kapil S. 2012. Temperature stress on opercular beats and respiratory rate of freshwater fish Channa punctatus. International Journal of Scientific and Research Publication. 2(12):1-5. Tessema M, Muller-Belecke A, Horstgen-Schwark G. 2006. Effect of rearing temperatures on the sex ratios of Oreochromis niloticus populations. Aquaculture. 258: 270-277. Wassermann GJ, Afonso LOB. 2003. Sex reversal in Nile tilapia Oreochromis niloticus Linnaeus by androgren immersion. Aquaculture Research. 34: 65-71. Wedemeyer GA, Yasutake WT. 1977. Clinical Methode for The Assessment of the Effect on Environmental Sress on fish health. Technical Paper of the U.S. Fish and Wildlife Service. US Depert. Of the Interior, Fish and wildlife Service American 89 : 1- 17. WWF (World Wildlife Fund). 2009. International standards for responsible tilapia aquaculture. Tilapia Aquaculture Dialoge. WWF. 38 pp. Zairin JrM, Naufal MR, Maulana F, Setiawati M, Hardiantho D, Alimuddin. 2016 Oktober. The ratio of male and testosterone levels in tilapia immersed in different doses of 17α-metiltestosterone. Jurnal Akuakultur Indonesia, forthcoming. Zairin Jr M, Nurlestyoningrum D, Raswin. 2005. Pengaruh dosis akriflavin yang diberikan secara oral kepada larva ikan nila merah Oreochromis sp. Terhadap nisbah kelaminya. Jurnal Akuakultur Indonesia. 4(2):131-137. Zairin Jr M, Yuniarti, Dewi RRSPS, Sumantadinata K. 2002. Pengaruh waktu perendaman induk di dalam larutan hormon 17α-metiltestosteron terhadap nisbah kelamin anak ikan gapi Poecilia reticulata Peters. Jurnal Akuakultur Indonesia. 1(1): 31-35. Zonneveld N, Huisman EA, Boon JH. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. 15 LAMPIRAN 16 Lampiran 1 Prosedur analisis kadar glukosa darah menggunakan KIT Glucose GOD FS dari DiaSys International 1. Mempersiapkan larutan blanko, standar dan sampel glukosa benih ikan nila dengan menambahkan akuades atau reagen sesuai prosedur berikut ini. Larutan Sampel atau standar Aquades Reagen Blanko 10 µl 1000 µl Sampel atau standar 10 µl 1000 µl 2. Homogenkan dengan bantuan vortex. Selanjutnya diinkubasi selama 20 menit pada suhu 20-25 ˚C, atau selama 10 menit pada suhu 37 ˚C. 3. Baca absorbansi dalam 60 menit dan dibandingkan dengan blanko. Panjang gelombang yang digunakan 546 nm. 4. Penghitungan kadar glukosa: * Dengan standar atau kalibrator: Glukosa [mg/dl] = x konsentrasi. Std/Cal [mg/dl] konsentrasi Std/Cal [mg/dl] = 100 mg /dl ( 5,55 mmol/l ) * Konversi faktor: Glukosa [mg/dl] x 0,05551 = Glukosa [mmol/l] Lampiran 2 Ekstraksi tubuh ikan nila Ekstraksi ikan dilakukan dengan menghaluskan ikan sebanyak 20 gram. Kemudian diambil sebanyak 2 gram dan dicampur dengan 6 ml metanol 100%, dihomogenasi menggunakan vorteks selama 5 menit dan diinkubasi menggunakan over-head shaker selama 25 menit. Selanjutnya, sampel disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm pada suhu 25 ˚C selama 10 menit. Supernatan diambil sebanyak 4 mL dan dikeringkan menggunakan nitrogen evaporator pada suhu 60 ˚C. Setelah larutan kering ditambahkan 1 ml metanol 80% dan dihomogenasi dengan vorteks selama 10 detik serta ditambahkan heksan sebanyak 2 ml, kemudian dicampur hingga homogen dan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 3000 rpm pada suhu 25 ˚C selama 10 menit. Sebanyak 1 ml larutan dibagian bawah dipindahkan ke tabung baru kemudian ditambah 2 ml 20 mM PBS Buffer, pH 7,4. Kemudian dicuci menggunakan RIDA C18 Columnn, setelah itu di keringkan menggunakan nitrogen evaporator. Column yang telah dikeringkan ditambahkan 1 ml larutan methanol 80%. 17 Lampiran 3 Hasil uji ANOVA Oneway Uji Homogenitas Varians Levene Statistik df1 df2 1.607 5 12 1.607 5 12 1.342 5 12 1.439 5 12 NKJ TKH1 TKH akuarium TKH kolam ANOVA Jumlah Derajat kuadrat bebas NKJ Antar grup Sig. .232 .232 .312 .279 Kuadrat tengah 3325.434 5 665.087 Dalam grup 58.333 12 4.861 Total TKH1 Antar grup Dalam grup Total TKH Antar grup akuarium Dalam grup Total TKH kolam Antar grup Dalam grup 3383.767 59.622 2.825 62.448 176.949 969.707 1146.656 23.325 37.253 60.577 17 5 12 17 5 12 17 5 12 17 Total F 136.818 50.648 .000 35.390 80.809 .438 .814 4.665 3.104 1.503 .260 NKJ a Duncan N .000 11.924 .235 Test Post Hoc Subset Homogen Perlakuan Kontrol 26 C Kontrol 36 C 2 jam 26 C 2 jam 36 C 4 jam 26 C 4 jam 36 C Sig. Sig. Subset untuk alpa = 0.05 2 3 4 1 5 3 56.6667 3 62.0833 3 80.8333 3 86.6667 3 88.3333 3 92.5000 1.000 1.000 1.000 .373 1.000 18 Rata-rata untuk kelompok subset homogeny ditampilkan. a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 3.000. TKH Setelah Perendaman a Duncan Subset untuk alpa = 0.05 Perlakuan N 1 2 4 jam 36 C 3 92.1100 2 jam 36 C 3 92.3333 Kontrol 36 C 3 92.5567 2 jam 26 C 3 95.8867 4 jam 26 C 3 95.8867 Kontrol 26 C 3 96.1100 Sig. .305 .602 Rata-rata untuk kelompok subset homogeny ditampilkan. a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 3.000. TKH akuarium a Duncan Subset untuk alpa = 0.05 Perlakuan N 1 2 jam 36 C 3 72.5533 2 jam 26 C 3 75.4433 4 jam 26 C 3 76.7767 4 jam 36 C 3 77.5533 Kontrol 26 C 3 79.1100 Kontrol 36 C 3 82.7233 Sig. .233 Rata-rata untuk kelompok subset homogeny ditampilkan. a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 3.000. 19 TKH kolam a Duncan Subset untuk alpa = 0.05 Perlakuan N 1 2 jam 36 C 3 94.7767 Kontrol 26 C 3 96.0033 Kontrol 36 C 3 96.2367 2 jam 26 C 3 96.7733 4 jam 26 C 3 98.0033 4 jam 36 C 3 98.0033 Sig. .066 Rata-rata untuk kelompok subset homogeny ditampilkan. a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 3.000. Uji Homogenitas Varians Glukosa Levene Statistic 8.452E+15 df1 df2 6 7 Sig. .000 ANOVA Glukosa Antar grup Dalam grup Total Jumlah kuadrat 2371.036 394.472 2765.508 Derajat bebas 6 7 13 Kuadrat tengah 395.173 56.353 F 7.012 Sig. .011 20 Test Post Hoc Subset Homogen Glukosa Duncana Subset untuk alpa = 0.05 1 2 3 MT suhu 26 C, 2 jam 2 109.1875 Kontrol negatif 2 114.2050 114.2050 Tanpa MT suhu 36 C 2 129.4035 129.4035 MT suhu 26 C, 4 jam 2 129.9720 129.9720 Tanpa MT suhu 26 C 2 131.7475 131.7475 MT suhu 36 C, 4 jam 2 143.3240 MT suhu 36 C, 2 jam 2 148.0110 Sig. .525 .063 .054 Rata-rata untuk kelompok subset homogen ditampilkan. a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 2.000. Perlakuan MT1 MT30 MT60 MT90 N Uji Homogenitas Varians Levene Statistic df1 df2 . 3 . 597478970884 3 4 9990.000 . 3 . . 3 . MT1 Antar grup Dalam grup Total MT3 Antar grup 0 Dalam grup Total MT6 Antar grup 0 Dalam grup Total MT9 Antar grup 0 Dalam grup Total ANOVA Jumlah Derajat kuadrat bebas 77.037 3 116.393 4 193.430 1.851 3.051 4.902 .588 .982 1.571 .745 .331 7 3 4 7 3 4 7 3 4 1.077 7 Sig. . .000 . . Kuadrat tengah 25.679 29.098 F .882 Sig. .522 .617 .763 .809 .551 .196 .246 .799 .556 .248 .083 2.999 .158 21 Test Post Hoc Subset Homogen MT1 a Duncan Subset untuk alpa = 0.05 Perlakuan N 1 4 jam 26 C 2 16.4950 2 jam 26 C 2 18.3600 4 jam 36 C 2 23.0600 2 jam 36 C 2 23.8700 Sig. .248 Rata-rata untuk kelompok subset homogeny ditampilkan. a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 2.000. Duncana MT30 Subset untuk alpa = 0.05 Perlakuan N 1 4 jam 36 C 2 2.7250 2 jam 36 C 2 3.4200 4 jam 26 C 2 3.8550 2 jam 26 C 2 3.9400 Sig. .242 Rata-rata untuk kelompok subset homogeny ditampilkan. a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 2.000. MT60 a Duncan Subset untuk alpa = 0.05 Perlakuan N 1 4 jam 36 C 2 3.3950 2 jam 36 C 2 3.6350 4 jam 26 C 2 3.9600 2 jam 26 C 2 4.0850 Sig. .241 Rata-rata untuk kelompok subset homogen ditampilkan. a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 2.000. 22 MT90 Duncana Perlakuan 2 jam 36 C Subset untuk alpa = 0.05 1 2 N 2 3.1350 4 jam 26 C 2 3.4750 3.4750 2 jam 26 C 2 3.6900 3.6900 Kontrol 2 3.8000 3.8000 4jam 36 C 2 3.9700 Sig. .056 .123 Rata-rata untuk kelompok subset homogen ditampilkan. a. Penggunaan rata-rata ukuran sampel = 2.000. 23 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kulon Progo pada tanggal 22 Desember 1990 dari Bapak Sunarya dan Ibu Samidah. Penulis merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan akademik di MI At-taqwa Guppi Wojowalur, SMPN 2 Wates, SUPMN Tegal, dan diterima di Universitas Jenderal Soedirman melalui jalur SNMPTN tahun 2009 pada program studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan. Pada tahun 2014, penulis melanjutkan studinya dengan menempuh Program Magister pada program studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjanan IPB. Penelitian yang dilakukan penulis dalam menyelesaikan studi magister berjudul “Makulinisasi ikan nila melalui perendaman larva pada suhu 36 ºC dan pengukuran residu 17α-metiltestosteron”. Artikel yang berjudul “Maskulinisasi ikan nila melalui perendaman larva pada suhu 36 ºC dan kadar residu 17αmetiltestosteron dalam tubuh ikan” telah disubmit di jurnal omniakuatika dan telah diikutsertakan di Internasional Conferences on Aquaculture Biotechnology dikategori poster dengan judul “Sex ratio of Nile tilapia by 17αmethyltestosterone immersion at 36 ºC water temperature”.