1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi
perhatian dunia. Penyakit tuberkulosis menjadi salah satu penyakit penyebab
kematian terbesar di dunia. Kasus kematian akibat penyakit tuberkulosis mencapai
1,5 juta jiwa pada tahun 2014. India, Indonesia dan Cina menjadi tiga negara
dengan kasus tuberkulosis terbesar di dunia (Anonim, 2015a).
Tuberkulosis ialah salah satu penyakit infeksi menular yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis. Permasalahan tuberkulosis semakin diperberat
dengan adanya ko-infeksi penyakit HIV sehingga menyebabkan angka kematian
semakin meningkat secara signifikan. Selain itu, munculnya resistensi terhadap
obat anti-tuberkulosis menjadi sebuah tantangan besar untuk segera diselesaikan
(Anonim, 2015b).
Penemuan agen antimikroba dari bahan alam maupun sintesis telah banyak
dilakukan. Salah satu kebijakan WHO adalah mendukung pengembangan obat
tradisional untuk mencegah dan mengobati penyakit. Penggunaan obat tradisional
dalam pelayanan kesehatan dalam konsep back to nature telah dikembangkan
sejak tahun 1998 di Indonesia (Moeloek, 2006). Pemanfaatan tanaman sebagai
obat didukung oleh kondisi Indonesia sebagai negara tropis dengan sumber daya
alam melimpah. Indonesia memiliki berbagai macam keanekaragaman hayati baik
flora maupun fauna. Spesies tumbuhan di Indonesia mencapai kurang lebih
1
2
38.000 dimana sekitar 6000 spesies dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat
(Anonim, 2011). Penelitian Fabricant dan Farnsworth (2001) menunjukkan 80%
dari 122 komponen senyawa pada 94 spesies tanaman digunakan untuk tujuan
etnomedisin. Sebanyak 39% dari 520 obat yang disetujui antara tahun 1983
sampai 1994 berasal dari produk alam atau turunannya, dan 60-80% dari
antibakteri dan antikanker berasal dari bahan alam (Wahyono, 2008).
Spesies tanaman dari familia Asteraceae telah banyak digunakan sebagai
obat tradisional penyakit tuberkulosis di negara Uganda. Beberapa diantaranya
ialah pengobatan tuberkulosis dengan menggunakan daun Vernonia amygdalina
Delle, daun Veronina cinerea (L.) Less., daun Aspilia africana (Pers.) C.D.
Adams, daun Gnaphalium purpureum L., daun Bidens pilosa L., batang Tithonia
diversifolia (Hemsl.) A. Gray., dan tanaman utuh Aggeratum conyzoides L.
(Bunalema dkk., 2014).
Penelitian aktivitas anti-tuberkulosis secara in vitro pada beberapa
tanaman famili Asteraceae yang telah dilaporkan diantaranya ekstrak etil asetat
daun Conyza scabrida DC memiliki nilai KHM sebesar 5,0 mg/mL terhadap M.
smegmatis, ekstrak etanol daun Artemisia afra Jacq. ex Willd. memiliki nilai
KHM sebesar 1,56 mg/mL terhadap M. smegmatis, ekstrak aseton daun
Helichrysum melanacme memiliki nilai KHM sebesar 1,0 mg/mL terhadap M.
smegmatis, ekstrak aseton Nidorella anomala Steetz dan ekstrak aseton Nidorella
auriculata DC. memiliki nilai KHM sebesar 0,1 mg/mL dan 0,5 mg/mL terhadap
M. tuberculosis (Mc Gaw dkk., 2008; Lall & Meyer, 1999).
3
Golongan senyawa potensial sebagai antimikobakteri diantaranya berupa
flavonoid, diterpenoid, seskuiterpenoid, triterpenoid, minyak atsiri, steroid dan
saponin (Mc Gaw dkk., 2008). Golongan senyawa flavonoid seperti kuersetin,
mirisetin, apigenin, kaemferol dan golongan senyawa seskuiterpen lakton seperti
parthenolide dari familia Asteraceae dilaporkan memiliki kontribusi terhadap
aktivitas anti-tuberkulosis (Cantrell dkk., 2001; Wu dkk., 2016).
Tanaman Kenikir (Cosmos caudatus H.B.K) merupakan salah satu
tanaman yang termasuk dalam familia Asteraceae. Tanaman ini banyak ditemui di
Asia termasuk di Indonesia. Skrining komponen aktif dalam ekstrak daun kenikir
menunjukkan adanya golongan senyawa aktif berupa terpenoid, flavonoid,
fenolik, alkaloid, tanin, steroid dan saponin (Liliwirianis, 1998). Ekstrak polar
maupun non polar daun kenikir menunjukkan tingkat signifikan penghambatan
terhadap lima mikroorganisme patogen manusia antara lain 2 bakteri Gram positif
(Staphylococcus aureus, dan Bacillus subtilis), 2 bakteri Gram negatif
(Pseudomonas aeruginosa, dan Escherichia coli), dan 1 fungi (Candida albicans).
Nilai KHM ekstrak n-heksan daun kenikir sebesar 25 mg/mL dan nilai KHM
ekstrak dietil eter dan ekstrak etanol sebesar 6,25 mg/mL terhadap kelima bakteri
tersebut sehingga tanaman kenikir dapat digunakan sebagai agen antibiotik baru
karena sifat antimikrobanya (Rasdi dkk, 2010).
Pengujian anti-tuberkulosis dari tanaman kenikir belum pernah dilaporkan.
Penelitian ini untuk menguji aktivitas anti-tuberkulosis ekstrak larut etil asetat
daun kenikir. Uji aktivitas anti-tuberkulosis ini dilakukan dengan metode dilusi
cair pada Middlebrook 7H9 Broth. Visualisasi dilakukan pada media padat
4
Lowenstein Jensen untuk mengetahui Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) dari
ekstrak larut etil asetat daun kenikir terhadap M. tuberculosis. Identifikasi
golongan senyawa dalam ekstrak larut etil asetat daun kenikir dilHasil penelitian
yang diperoleh diharapkan dapat menjadi informasi dalam pengembangan daun
kenikir sebagai agen anti-tuberkulosis.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
antara lain:
1.
Apakah ekstrak larut etil asetat daun kenikir memiliki aktivitas antimikroba
terhadap M. tuberculosis?
2.
Berapakah nilai Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM) ekstrak larut etil asetat
daun kenikir terhadap M. tuberculosis?
3.
Adakah golongan senyawa flavonoid dan terpenoid dalam ekstrak larut etil
asetat daun kenikir?
C.
1.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui aktivitas anti-tuberkulosis ekstrak larut etil asetat daun
kenikir.
2.
Untuk mengetahui nilai Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM) ekstrak larut
etil asetat daun kenikir terhadap M. tuberculosis.
3.
Untuk mengetahui adanya golongan senyawa flavonoid dan terpenoid dalam
ekstrak larut etil asetat daun kenikir.
5
D.
1.
Manfaat Penelitian
Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini akan memberikan kontribusi dalam pengembangan
ilmu pengetahuan untuk eksplorasi tanaman potensial sebagai antituberkulosis.
2.
Bagi Mahasiswa
Penelitian ini akan mendorong mahasiswa dalam menggali ide-ide
inovatif, kreativitas, keterampilan dan ketelitian dalam melakukan suatu
penelitian.
3.
Bagi Masyarakat Umum
Keberhasilan penelitian ini akan memberikan informasi kepada
masyarakat bahwa daun kenikir dapat bermanfaat sebagai anti-tuberkulosis
alami.
E. Tinjauan Pustaka
1.
Tanaman Kenikir
Tanaman kenikir berasal dari daerah tropis Amerika dan tersebar
luas di daerah tropis seluruh dunia (Shui dkk., 2005). Kenikir dikenal
dengan nama “ulam raja” di Malaysia (Mediani dkk., 2012).
6
a.
Klasifikasi Kenikir.
Tanaman kenikir termasuk dalam familia Asteraceae dengan
genus Cosmos dan merupakan species Cosmos caudatus H.B.K.
(Backer & Van der Brink, 1968).
b.
Morfologi Tanaman Kenikir.
Tanaman bergenus Cosmos memiliki 20-60 spesies di seluruh
dunia seperti Cosmos bipinnatus Cav, Cosmos pacificus, Cosmos
parviflorus, Cosmos crithmifolia H.B.K, Cosmos diversifolius Otto ex
Knowles & Westc, Cosmos scabiosoides Kunth, Cosmos sulphureus
Cav (Randall, 2012). Tanaman ini termasuk familia Asteraceae atau
Compositae. Tanaman ini merupakan terna yang tumbuh tegak, tinggi
sampai 1 meter, sering dibudidayakan sebagai tanaman hias dan
kadang tumbuh liar (Heyne, 1987). Bunga kenikir tumbuh tahunan
dengan warna ungu, pink, atau putih pada bulan Juni hingga
November dengan jumlah bunga 20-60 bunga per tanaman. Daun
kenikir berupa daun majemuk, silang berhadapan, menyirip dengan
ujung licin dan tepi daun rata, berwarna hijau serta berbulu tipis
(Didik, 2008; Yusoff dkk., 2015).
7
Gambar 1. Tanaman Kenikir (C. caudatus H.B.K)
(Anonim, 2010a)
c.
Manfaat Tanaman Kenikir.
Cosmos caudatus H.B.K atau yang lebih dikenal dengan nama
kenikir merupakan salah satu jenis tanaman liar dan sering dikonsumsi
sebagai
lalapan.
Tanaman
kenikir
memiliki
khasiat
sebagai
antioksidan dan berpotensi antikanker (Abas dkk, 2003). Selain itu,
tanaman
kenikir
antihipertensi,
juga
dapat
anti-inflamasi,
digunakan
sebagai
pelindung tulang,
antidiabet,
antifungi
dan
antimikroba (Cheng dkk., 2015).
Cosmos caudatus H.B.K dikarakterisasi pertama dengan high
performance
liquid
chromatography
dan
mass
spectrometry
(HPLC/MS) mengandung senyawa golongan flavonoid berupa
proantosianidin yang memiliki kandungan senyawa aktivitas sebagai
antioksidan (Shui dkk., 2005). Daya antioksidan dari C. caudatus
8
H.B.K memiliki nilai konsentrasi penghambatan sebesar 22,1 g/mL
(Mediani dkk., 2012).
Ekstrak polar maupun non polar daun kenikir menunjukkan
tingkat signifikan penghambatan terhadap lima mikroorganisme
patogen manusia antara lain 2 bakteri Gram positif (Staphylococcus
aureus, Bacillus subtilis), 2 bakteri Gram negatif (Pseudomonas
aeruginosa, Escherichia coli), dan 1 fungi (Candida albicans).
Ekstrak etanol daun kenikir pada konsentrasi 1 mg/mL – 50 mg/mL
memiliki aktivitas penghambatan terhadap Staphylococcus aureus.
Nilai KHM ekstrak n-heksan daun kenikir sebesar 25 mg/mL dan nilai
KHM ekstrak dietil eter dan ekstsrak etanol sebesar 6,25 mg/mL
terhadap semua strain kelima bakteri tersebut (Rasdi, dkk, 2010).
Ekstrak kloroform
memiliki aktivitas penghambatan
terhadap
Staphylococcus aureus, Saccharomyces cereviseae, dan Candida
albicans (Ragasa dkk., 1997).
d.
Kandungan Tanaman Kenikir.
Tanaman kenikir termasuk dalam familia Asteraceae. Senyawa
familia Asteraceae memiliki kandungan aktif seskuiterpen lakton
seperti lactupicrin, parthenolide, cyanarapicrin. Senyawa-senyawa
tersebut mampu mengikat glutation (melalui gugus thiol) dan dapat
mengeliminasi komponen liver dan merusak regulasi reactive oxygen
spesies (ROS) dalam sel. Aktivitas biologi dari senyawa tersebut ialah
sebagai antibiotik, sitotoksik, anthelminthik, anti-inflamasi, fitotoksik,
9
insektisida dan antifungi (Wink, 2015). Menurut Latjer (2015),
tanaman familia Asteraceae mengandung diterpenoid, triterpenoid,
komponen asetilenik, flavonol termetilasi dan flavon, asam lemak,
alkaloid, glikosida sianogenik, amida, kumarin dan gugus fenolik.
Familia Asteraceae memiliki kandungan metabolit sekunder berupa
seskuiterpen lakton, saponin, asam kafeat, flavon, flavonol termetilasi,
diterpen, alkaloid dan asetamida (Hegnauer, 1964).
Tanaman kenikir merupakan salah satu jenis sayur-sayuran.
Tanaman kenikir termasuk dalam familia Asteraceae. Menurut
Liliwirianis (2011), daun kenikir memiliki kandungan senyawa
terpenoid, flavonoid, alkaloid, tanin, steroid dan saponin. Ekstrak
kloroform daun C. caudatus mengandung stigmasterol, costunolide
(Ragasa dkk., 1997). Komponen senyawa fenolik dalam daun kenikir
diantaranya asam galat, asam kafeat, asam klorogenat, asam vanilat,
asam sinapat, dan asam ferulat, sedangkan komponen senyawa
flavonoid dalam daun kenikir antara lain katekin, mirisetin, rutin dan
kuersetin (Abas, dkk., 2005; Noriham dkk., 2015). Struktur
kandungan aktif dalam kenikir diantaranya sebagai berikut.
10
kuersetin
rutin
asam vanilat
katekin
asam kafeat
asam sinapat
mirisetin
asam galat
asam ferulat
asam klorogenat
costunolide
stigmasterol
Gambar 2. Struktur kimia kandungan kenikir
(Anonim, 2010b; Ragasa dkk., 1997; Trease & Evans, 2007)
11
2.
Mycobacterium tuberculosis
Gambar 3. Sel M. tuberculosis
(http://textbookofbacteriology.net/tuberculosis.html)
a.
Klasifikasi M. tuberculosis.
Divisio
: Mycobacteria
Class
: Actinomycetes
Ordo
: Corynebacteriales
Familia
: Mycobacteriaceae
Genus
: Mycobacterium
Species
: Mycobacterium tuberculosis (Anonim, 2012b)
Mycobacterium tuberculosis merupakan salah satu bakteri
penyebab timbulnya penyakit tuberkulosis pada manusia. Beberapa
spesies dalam kompleks M. tuberculosis antara lain M. africanum, M.
bovis, M. caprae, M. pinnipedii, dan M. microti (Delogu dkk., 2013).
b.
Morfologi M. tuberculosis.
Mycobacterium tuberculosis berupa bakteri berbentuk batang
nonmotile, dengan panjang 2-4 m dan lebar 0,2-0,5 m. Bakteri ini
12
termasuk dalam bakteri aerobik obligat, dan merupakan parasit
intraseluler fakultatif. Media untuk pertumbuhan M. tuberculosis
antara lain media berbasis agar dan media berbasis telur. Pertumbuhan
optimum bakteri ini pada suhu 35-37C. Mycobacterium tuberculosis
tidak dapat diklasifikasikan sebagai bakteri Gram-positif atau Gramnegatif karena karakteristiknya berbeda meskipun M. tuberculosis
juga memiliki kandungan peptidoglikan pada dinding selnya.
Klasifikasi M. tuberculosis termasuk dalam acid-fast bacteria karena
sifat permeabilitasnya terhadap pewarna (Todar, 2005). Pewarnaan
cara Ziehlh-Neelsen, M. tuberculosis menunjukkan warna merah
dengan latar belakang biru dan pada pewarnaan fluorokrom dengan
auramin-rhodamin menyebabkan M. tuberculosis berfluoresensi
dengan warna kuning orange (Jawetz dkk., 2007).
Mycobacterium tuberculosis bersifat tahan terhadap suhu
rendah. Pada suhu 4C hingga -70C, M. tuberculosis dapat bertahan
hidup dalam jangka waktu lama. Selain itu, M. tuberculosis sangat
peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet dimana
paparan langsung terhadap sinar ultraviolet dapat menyebabkan
sebagian besar M. tuberculosis mati dalam waktu beberapa menit.
Mycobacterium tuberculosis dapat hidup selama 20-30 jam dalam
dahak (Crofton dkk., 1999). Bakteri ini dapat bereplikasi dengan
waktu penggandaan selama 15-20 jam (Todar, 2005). Selain itu
bakteri ini juga dapat bersifat dormant (Anonim, 2014). Kemampuan
13
M. tuberculosis dalam menginfeksi hospes dan bertahan terhadap
pengaruh faktor lingkungan tidak lepas dari struktur dan komponen
penyusun sel (Cornwall, 1997).
Mycobacterium tuberculosis memiliki dua bagian penyusun
dinding sel. Bagian dalam dinding sel komponen lipid bilayer,
beberapa mengandung asam lemak rantai pendek dan beberapa asam
lemak pendek dengan rantai panjang (Brennan, 2003). Bagian luar
membran berupa sel amplop dengan konsentrasi lipid lebih dari 60%.
Lipid tersebut mengandung beberapa komponen, seperti asam
mikolat, glikolipid dan polisakarida. Asam mikolat mencapai 50%
dari berat kering sel amplop. Asam mikolat adalah molekul hidrofobik
sebagai pembentuk cangkang lipid di sekeliling sel M. tuberculosis
(Todar,
2005).
Selain
phosphatidylinositol
lipomannan
(LM),
komponen
mannosides
dan
tersebut,
(PIMs),
terdapat
phthiocerol
lipoarabinomannan
(LAM)
protein,
lipid,
serta
peptidoglikan (PG) yang berikatan kovalen dengan arabinogalaktan
Arabinogalaktan melekat pada asam mikolat dengan meromycolate
panjang dan rantai pendek. Kompleks dinding sel ini disebut dengan
mycolyl arabinogalactan-peptidoglycan (Brennan, 2003).
14
Gambar 4. Model dinding sel mikobakteri (Hong & Hopfinger, 2004)
Dinding sel akan rusak apabila dilakukan ekstraksi dengan
pelarut tertentu, sedangkan lipid bebas, protein, LAM serta PIMs akan
terlarut. Kompleks mAGP sebagai faktor penting untuk kelangsungan
hidup sel akan menjadi residu yang tidak larut. Inti dinding sel
diketahui mengandung jembatan diglycosyl-P antara peptidoglikan
dan galaktan linear. Seluruh unit penghubung, galaktan dan arabinan
disintesis sebagai unit pada polyfrenyl-P pembawa lipid. Polyfrenyl-P
pembawa lipid terlibat dalam penempelan asam mikolat baru pada
dinding sel (Brennan, 2003). Konsentrasi lipid yang tinggi pada
dinding sel akan mempengaruhi impermeabilitas dan ketahanan
terhadap agen antimikroba (Todar, 2005).
3.
Penyakit Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh M. tuberculosis. Penemu pertama M. tuberculosis ialah
15
Robert Koch pada tahun 1882. Penyakit ini terutama menyerang organ paruparu. Selain itu, tuberkulosis dapat menyerang organ lain di luar paru-paru
melalui aliran darah atau getah bening disebut dengan TB Ekstra Paru.
Apabila penyebaran secara masif melalui aliran darah, tuberkulosis dapat
menyerang semua organ tubuh sering disebut TB milier (Anonim, 2014).
Tuberkulosis termasuk dalam infeksi laten asimptomatik. Sebanyak
90% populasi dunia terinfeksi M. tuberculosis. Resiko berkembangnya
bakteri M. tuberculosis menjadi penyakit tuberkulosis aktif sebesar 5%
dalam kurun waktu 18 bulan setelah infeksi (Zumla dkk., 2013). Penularan
penyakit TB terjadi melalui udara. Pasien TB mengeluarkan percikan dahak
mengandung kuman M. tuberculosis ke udara. Infeksi terjadi apabila orang
lain menghirup udara yang terkontaminasi oleh kuman M. tuberculosis
tersebut. Tahapan penyakit secara alamiah terjadi melalui 4 tahap meliputi
tahap paparan, infeksi, sakit dan kematian (Anonim, 2014).
4.
Obat Anti-Tuberkulosis
Pengobatan penyakit tuberkulosis dilakukan dengan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT). Obat anti-tuberkulosis dibagi menjadi dua kategori
yaitu OAT primer dan OAT sekunder. Obat anti-tuberkulosis primer
merupakan obat pilihan utama dalam pengobatan diantaranya isoniazid,
rifampisin, etambutol, dan pirazinamid. Pengobatan penyakit tuberkulosis
dilakukan selama 6 bulan (Katzung, 2011).
16
Sejarah pengobatan penyakit ini dimulai pada tahun 1943 dimana
Streptomisin ditetapkan sebagai anti TB efektif pertama. Pada tahun 1951
ditemukan Isoniazid (INH) kemudian diikuti penemuan Pirazinamid dan
Cycloserine tahun 1952, Ethionamide tahun 1956, Rifampisin tahun 1957,
dan Ethambutol tahun 1962. Kemajuan pengobatan TB tidak lepas dari
tantangan yaitu munculnya resistensi dari strain M. tuberculosis terhadap
obat anti-tuberkulosis (TB-Multi Drug Resistance). Laporan pertama adanya
resistensi obat anti TB terjadi pada akhir tahun 1980-an (Depkes RI, 2015).
Pada tahun 1995, WHO merekomendasikan strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Short-course) sebagai strategi pengendalian TB.
Dengan semakin berkembangnya tantangan terapi, tahun 2005 strategi
DOTS oleh Global stop TB partnership strategi DOTS tersebut diperluas
menjadi “Strategi Stop TB” guna untuk mengoptimalkan mutu DOTS dan
merespon tantangan TB MDR (Anonim, 2014).
Rifampisin merupakan salah satu obat anti tuberkulosis termasuk lini
pertama terapi dan sering digunakan dalam penelitian terkait dengan
antituberkulosis. Rifampisin mudah larut dalam dimetil sulfoksida (DMSO)
dan kloroform; larut dalam etil asetat, metanol, tetrahidrofuran; sedikit larut
dalam aseton, air dan karbon tetraklorida. Dosis rifampisin ialah 300 mg
pada tablet, 10 mg/kg pada dosis tunggal dan tidak lebih dari 600 mg/hari
baik peroral maupun intravena. Rifampisin memiliki aktivitas sebagai
bakterisidal dengan spektrum luas yang dapat menghambat bakteri Gram
positif dan beberapa Gram negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa dan
17
M. tuberculosis. Pada uji in vitro terhadap M.tuberculosis H37Rv, rifampisin
memiliki nilai KHM sebesar 0,4 g/mL, penelitian lain menunjukkan nilai
KHM sebesar 0,1-0,39 g/mL (Alliance dkk., 2008).
5.
Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan senyawa dari campurannya
menggunakan pelarut untuk mendapatkan ekstrak. Ekstrak ialah sediaan
kering, kental atau cair dibuat dengan cara menyari simplisia nabati atau
hewani dengan teknik yang sesuai (Anief, 2010). Pertimbangan utama
dalam pemilihan metode ekstraksi ialah sifat bahan mentah (Ansel, 1989).
Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan bentuk dan faktor cairan
penyari. Penyari untuk maserasi dapat berupa pelarut non polar, semipolar
dan polar (Mukhriani, 2014).
Metode ekstraksi dengan pelarut cair dibagi menjadi dua, antara lain
cara dingin yaitu maserasi dan perlokasi, serta cara panas yaitu refluks,
sokletasi, digesti, infus, dekok (Anonim, 2000). Penyarian dengan campuran
etanol dan air dapat dilakukan dengan metode maserasi. Penyarian dengan
eter dilakukan dengan metode perkolasi, sedangkan penyarian dengan air
dapat dilakukan baik dengan maserasi, perkolasi maupun disiram dengan air
mendidih (Anief, 2010). Proses pemisahan dengan ekstraksi dilakukan
secara berulang-ulang untuk memaksimalkan kadar senyawa agar tertarik ke
dalam cairan pengekstraksi.
Maserasi merupakan proses penyarian paling sederhana dan banyak
digunakan untuk menyari bahan-bahan obat berupa serbuk simplisia halus
18
(Voight, 1994). Maserasi dilakukan dengan merendam simplisia dalam
pelarut tertentu dengan jumlah cukup untuk merendam seluruh bagian
simplisia. Simplisia diekstraksi dalam wadah tertutup pada suhu kamar
selama beberapa hari tergantung sifat bahan dan pelarut yang digunakan
(Wiley dkk, 2011).
Salah satu penyari dalam ekstraksi adalah etil asetat. Etil asetat
digunakan sebagai pelarut karena mudah diuapkan, tidak higroskopis, dan
memiliki toksisitas rendah (Wardhani dan Sulistyani, 2012). Berikut daftar
golongan senyawa yang dapat disari dengan pelarut-pelarut tertentu.
Tabel I. Daftar golongan senyawa terlarut dalam cairan penyari (Pramono,
2013)
Golongan senyawa
Monotepen dan seskuiterpen (komponen minyak
atsiri), diterpen dan triterpen, steroid, flavon
polimetoksi, lemak, resin, klorofil
Semua yang larut diatas, aglikon, antrakinon,
kumarin, alkaloid bebas, kurkuminoid, fenol bebas.
Semua yang larut diatas, aglikon flavonoid,
polihidroksi, asam fenolat
Etil asetat
Semua yang diatas, flavonoid monoglikosdia,
kuasinoid, glikosida lain
Etanol,
metanol, Semua yang diatas, flavonoid diglikosida, tanin,
isopropanol,
saponin
butanol
Air panas
Semua yang diatas mulai dari dietileter, flavonoid
poliglikosida, garam alkaloid, monosakarida dan
disakarida, asam amino dan protein.
Cairan penyari
Heksan, petroleum
eter,
benzen,
toluena
Kloroform,
diklorometana
Dietileter
Penyarian flavonol menggunakan pelarut metanol, etil asetat, atau
aseton lebih efektif dibandingkan dengan pelarut kloroform dan air
(Rupasinghe dkk., 2011). Skrining fitokimia ekstrak hasil maserasi dengan
etil asetat tanaman Anaphalis neelgerriana DC (Asteraceae) dan Cnicus
wallichi DC (Asteraceae) mengandung senyawa flavonoid dan berefek
19
sebagai antioksidan (Vijaylakshmi dkk,, 2009). Pengujian aktivitas
antibakteri ekstrak menggunakan etil asetat dari daun Stevia rebaudiana
(Asteraceae) memiliki diameter hambat lebih besar dibandingkan ekstrak
menggunakan kloroform maupun air (Jayaraman dkk., 2008).
6.
Sterilisasi
Sterilisasi ialah suatu proses yang digunakan untuk merusak atau
menghilangkan mikroorganisme asing dalam kemasan produk. Sterilisasi
bisa dilakukan dengan beberapa tahap menggunakan satu atau kombinasi
teknik. Teknik-teknik dalam sterilisasi antara lain sterilisasi panas uap,
sterilisasi panas kering, sterilisasi dengan bahan kimia, sterilisasi dengan
radiasi, dan filtrasi. Sterilisasi bertujuan untuk memastikan bahwa obyek
atau peralatan aman dan bebas dari mikroorganisme asing (Gennaro, 2005).
7.
Uji Anti-Tuberkulosis
Uji anti-tuberkulosis dapat dilakukan dengan beberapa metode
seperti pada uji antimikroba. Uji ini digunakan untuk menentukan potensi
suatu antibiotik atau substansi antimikroba lain dalam menghambat maupun
membunuh mikroorganisme sehingga diperoleh suatu sistem pengobatan
yang efektif dan efisien.
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh
Minimum (KBM) dapat ditentukan berdasarkan pengujian dengan
mengukur pertumbuhan mikroorganisme terhadap substansi antimikroba
yang diuji. Konsentrasi hambat minimum adalah konsentrasi minimum dari
suatu zat dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme ditandai dengan
20
tidak adanya kekeruhan. Konsentrasi Bunuh Minimum adalah konsentrasi
terendah dari agen antimikroba dalam membunuh mikroorganisme ditandai
dengan tidak tumbuhnya mikroorganisme pada medium padat.
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menguji potensi
substansi antimikroba terhadap M. tuberculosis antara lain sebagai berikut:
a.
Metode difusi agar
Metode difusi agar dikembangkan untuk uji antibakteri.
Metode ini dilakukan dengan paper disk berisi agen uji yang
diletakkan pada media agar berisi mikroorganisme. Agen uji dapat
berupa senyawa maupun ekstrak tanaman, akan berdifusi pada media
dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Zona hambat
pertumbuhan mikroorganisme dilihat setelah inkubasi. Metode ini
direkomendasikan untuk senyawa polar dibanding senyawa non polar
atau campuran beberapa minyak atsiri (Sanchez, 2010).
b.
Metode dilusi
Metode dilusi merupakan suatu metode untuk uji kepekaan
terhadap M. tuberculosis, penentuan seri konsentrasi yang mampu
menghambat M. tuberculosis kompleks pada media lowenstein jensen,
dan penentuan aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan M.
tuberculosis dari seri konsentrasi berbeda. Metode ini dapat
menentukan nilai KHM dari agen uji antimikroba (Sanchez, 2010).
21
Teknik pengujian aktimikroba terhadap M. tuberculosis dapat
dilakukan dengan media Lowenstein Jensen (LJ) dan Middlebrook 7H9
Broth dalam sistem BacT/ALERT 3D (Gupta dkk., 2010).
a.
Aktivitas antituberkulosis pada media LJ ditentukan dengan jumlah
koloni (CFU). Suspensi bakteri dibuat stok 1 mg/mL setara dengan
standar Mc Farland 1 lalu diencerkan 10 kali. Media LJ diinokulasi
dengan suspensi bakteri dan senyawa uji lalu diinkubasi pada suhu
37C selama 42 hari. Pengujian ini disertai dengan kontrol media dan
antibiotik dibuat duplo serta pengamatan dilakukan setiap minggu.
Persentase penghambatan dihitung dari rata-rata pengurangan jumlah
koloni bakteri akibat senyawa uji dibandingkan dengan kontrol.
b.
Pengujian dengan Middlebrook 7H9 dalam sistem BacT/ALERT 3D
dilakukan secara kolorimetri. Media diinokulasi dengan bakteri dan
senyawa uji lalu diinkubasi pada suhu 37C selama 3,5 hari. Pengujian
ini terdiri dari dua perlakuan yaitu kontrol media dan perlakuan
dengan senyawa uji. Aktivitas penghambatan dikorelasikan dengan
adanya penghambatan 90% pertumbuhan M. tuberculosis akibat
senyawa uji dibandingkan kontrol.
8.
Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut
oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem terdiri dari dua
fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan
dalam arah tertentu dan didalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan
22
mobilitas disebabkan adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan
dan ukuran molekul sehingga masing-masing zat dapat diidentifikasi atau
ditetapkan dengan metode analitik. Teknik kromatografi memiliki dua fase
yaitu fase gerak yang membawa zat terlarut melalui media hingga terpisah
lebih awal atau lebih akhir dan fase diam bertindak sebagai penjerap.
Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh aliran suatu
pelarut berbentuk cairan yang disebut eluen (Depkes RI, 1995).
Kromatografi Lapis Tipis merupakan salah satu teknik yang sering
digunakan untuk memisahkan dan mengidentifikasi senyawa. Teknik ini
bermanfaat karena hanya memerlukan peralatan sederhana, jumlah zat
sampel sedikit serta waktu singkat. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) banyak
digunakan untuk mendeterminasi tanaman dan mengidentifikasi potensi
obat herbal. Identifikasi senyawa bewarna dapat terlihat langsung, tetapi
dapat juga digunakan reagen tertentu untuk menampakkan bercak noda
pada plat KLT. Pewarnaan ini dibagi menjadi dua metode, yaitu
penyemprotan reagen pada plat KLT dan pemasukan plat KLT ke dalam
wadah berisi suatu reagen tertentu, misalnya iodon, amonia, dan hidrogen
klorida (Galichet, 2011).
Analisis senyawa dalam KLT dilakukan dengan menggunakan
perbandingan jarak rambat suatu senyawa tertentu terhadap jarak rambat
fase gerak yang diukur dari titik penotolan yang biasa disebut dengan Rf.
Angka Rf berjangka antara 0,00 sampai 1,00 dan ditentukan dalam dua
desimal. Harga Rf suatu senyawa ialah
23
.......... (1)
Bentuk lain dari nilai Rf yaitu nilai hRf yang merupakan angka Rf
dikalikan faktor 100 (h), yang menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100
(Depkes RI, 1995; Gritter dkk., 1991). Nilai Rf dalam plat KLT dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain
1.
Struktur senyawa yang sedang dipisahkan.
2.
Sifat adsorben dan derajat aktivitasnya. Perbedaan adsorben
memberikan perbedaan besar terhadap harga Rf.
3.
Tebal dan kerataan lapisan adsorben.
4.
Pelarut fase gerak (dan tingkat kemurniannya).
5.
Derajat kejenuhan dan uap dalam chamber yang digunakan.
6.
Teknik percobaan.
7.
Jumlah penotolan sampel. Penotolan sampel berlebihan memberikan
tendensi penyebaran bercak dengan membentuk ekor (tailing).
8.
Suhu, untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi pelarut
akibat penguapan atau perubahan fase (Sastrohamidjojo, 1991).
9.
Golongan Senyawa Metabolit Sekunder
Metabolit sekunder merupakan senyawa yang dihasilkan oleh
tanaman beerfungsi sebagai komponen pelindung dari ancaman patogen dan
juga sebagai pemberi warna pada daun dan bunga tanaman. Kategori
metabolit sekunder dibagi menjadi tiga yaitu alkaloid, terpenoid dan fenolik.
Komponen fenolik terdiri dari flavonoid, tanin, dan asam-asam fenolik
(Bernards, 2010). Metabolit sekunder memiliki aktivitas biologis dengan
24
beberapa mekanisme aksi seperti modifikasi ikatan kovalen pada protein
dan DNA, interaksi dengan membran, dan interaksi dengan asam nukleat.
Interaksi metabolit sekunder dengan membran dapat dilihat seperti gambar
berikut.
Gambar 5. Interaksi metabolit sekunder dengan membran
Beberapa senyawa metabolit sekunder terkait penelitian ini ialah
sebagai berikut.
a.
Flavonoid
Flavonoid merupakan golongan terbesar senyawa fenol alam
(Harbone, 1987). Flavonoid merupakan senyawa dengan konfigurasi
atom C6-C3-C6 memiliki dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh
tiga atom karbon yang dapat membentuk cincin ketiga. Struktur
flavonoid mengandung sistem aromatik terkonjugasi sehingga akan
menunjukan pita serapan yang kuat pada sinar tampak dan sinar UV
(Harborne, 1987). Struktur umum flavonoid ialah sebagai berikut
25
Gambar 6. Struktur umum flavonoid (Robinson, 1963)
Menurut Ikan, (1969) flavonoid digolongkan menjadi 11 kelas
berdasarkan perbedaan tingkat oksidasi rantai C3 antara lain flavon,
flavonol, flavan-3,4-diol, flavanon, flavanonol, isoflavon, katekin,
antosianin, auron, khalkon, dan dihidrokhalkon.
Identifikasi golongan senyawa flavonoid dapat dilakukan
dengan pereaksi ataupun spektrofotometri. Pereaksi untuk identifikasi
flavonoid diantaranya alumunium klorida (AlCl3), sitoborat, dan uap
amonia.
Identifikasi
flavonoid
menggunakan
spektrofotometri
menunjukkan adanya dua pita pada panjang gelombang 240-285 nm
(pita II) dan 300-550 nm (pita I) (Markham, 1982).
Flavonoid termasuk dalam senyawa metabolit sekunder.
Flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan hijau, seperti pada:
akar, daun, kulit kayu, benang sari, bunga, buah dan biji buah. Dalam
tumbuhan flavonoid terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon
dalam bentuk kombinasi glikosida satu tumbuhan (Harbone, 1987).
Aglikon
flavonoid
merupakan
polifenol
sehingga
flavonoid
mempunyai sifat agak asam dan larut dlaam basa. Selain itu juga
bersifat polar dan cukup larut dalam etanol, metanol, butanol, aseton,
dimetil sulfoksida, air dan sebagainya (Trease & Evans., 2007).
26
Flavonoid merupakan golongan terbesar senyawa fenol.
Mekanisme senyawa
fenol
pada konsentrasi
rendah
sebagai
antimikroba melalui perusakan membran sitoplasma sehingga
menyebabkan kebocoran inti sel, sedangkan pada konsentrasi tinggi
senyawa fenol berkoagulasi dengan protein seluler. Aktivitas tersebut
efektif ketika bakteri dalam tahap pembelahan, dimana kondisi lapisan
fosfolipid di sekeliling sel sangat tipis sehingga senyawa fenol dapat
merusak isi sel dengan mudah (Sukardjo & Siswandono, 1995).
Mekanisme aksi flavonoid sebagai antimikroba diantaranya melalui
penghambatan sintesis asam nukleat, penghambatan fungsi membran
sitoplasma
dan
penghambatan
metabolisme
energi
pada
mikroorganisme (Cushnie & Lamb, 2005).
Senyawa flavonoid dengan posisi 3’,4’-dihidroksi (luteolin,
mirisetin), posisi 5,6,7 trihidroksi (baikalein), dan posisi 5,7dihidroksi-6-metoksi
(hispidulin)
mampu
menghambat
M.
tuberculosis dengan rentang niali KHM 25-100 g/mL. Aktivitas antituberkulosis dari flavonoid dipengaruhi oleh struktur flavonoid.
Penelitian menggunakan metode Quantitative Structure Activity
Relationship (QSAR) menunjukkan gugus spesifik yang berkontribusi
pada aktivitas anti-tuberkulosis sebagai berikut.
27
Gambar 7. Struktur spesifik flavonoid
(Yadav dkk., 2013)
Senyawa flavonoid berupa butein yang temasuk dalam
golongan
orto
dihidroksi
flavonoid
juga
memiliki
aktivitas
penghambatan terhadap Mycobacterium bovis. Mekanisme aksi
diduga akibat adanya penghambatan enzim fatty acid synthase II (FAS
II) yang berperan dalam pembentukan asam mikolat dalam bakteri M.
tuberculosis (Brown dkk., 2007).
b.
Kuersetin
Kuersetin
merupakan
salah
satu
komponen
flavonoid.
Kuersetin memiliki substituen gugus fenolik dan termasuk dalam
golongan flavonol. Struktur senyawa kuersetin ialah sebagai berikut.
Gambar 8. Struktur Kuersetin (Hansel, R., 1980)
Kuersetin memiliki aktivitas dalam menghambat beberapa
bakteri dan virus. Kuersetin juga memiliki aktivitas sebagai antituberkulosis yang telah dilaporkan dengan mekanisme penghambatan
28
enzim DNA gyrase melalui penambatan subunit B enzim DNA gyrase
pada M. tuberculosis (Suriyanarayanan dkk., 2013).
c.
Terpenoid
Terpenoid merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder
dalam tanaman umumnya ditemukan dalam bentuk minyak atsiri.
Terpenoid memiliki kerangka yang besar dan strukturnya diturunkan
dari unit C5 isoprena. Struktur umum terpenoid ialah sebagai berikut.
Gambar 9. Struktur umum terpenoid
(Nes, dkk., 2001)
Terpenoid diklasifikasikan berdasarkan jumlah unit isoprena
yang dimilikinya. Klasfikasi terpenoid dapat dilihat pada tabel
dibawah ini (Grassmann, 2005).
Tabel II. Klasifikasi terpenoid
Klasifikasi
Monoterpenoid
Sesquiterpenoid
Diterpenoid
Triterpenoid
Tetraterpenoid
Politerpenoid
Jumlah atom
karbon
10
15
20
30
40
>40
Jumlah unit
isoprena
2
3
4
6
8
>8
Terpenoid juga memiliki aktivitas sebagai antioksidan.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya aktivitas antioksidan dari
monoterpenoid dan diterpenoid atau minyak atsiri secara in vitro
(Grassmann, 2005). Senyawa terpenoid juga dapat digunakan sebagai
antibakteri. Terpinen-4-ol merupakan komponen antibakteri pertama
29
yang diisolasi dari Melaleuca alternifolia (Myrtaceae), sineol dari
Eucalyptus globulus digunakan sebagai antiseptik, dan -terpineol
dari Pinus palustris digunakan sebagai antiseptik dan disinfektan
(Dewick, 2002).
Senyawa terpenoid memiliki aktivitas sebagai anti-tuberkulosis
baik
golongan
monoterpenoid,
seskuiterpenoid,
diterpenoid,
triterpenoid. Monoterpenoid seperti citronellol, netrol, dan geraniol
mampu menghambat pertumbuhan M. tuberculosis dengan nilai KHM
64 g/mL, 128 g/mL, dan 64 g/mL. Triterpenoid seperti ergosterol,
lupenone, lupeol asetat memiliki nilai KHM > 128 g/mL terhadap
bakteri M. tuberculosis. Gugus keto C-3 atau gugus -hidroksi pada
struktur
triterpenoid
mempengaruhi
aktivitas
terhadap
anti-
tuberkulosis (Cantrell dkk., 2001).
Penelitian lain melaporkan bahwa seskuiterpenoid dari
tanaman Senecio chionophilus memiliki efek sebagai anti-tuberkulosis
(Arya V., 2011). Isolat seskuiterpenoid lakton dari Cosmos pringlei
memiliki aktivitas antimikroba terhadap M. tuberculosis H37Rv
dengan nilai KHM < 50 g/mL (Copp & Pearce, 2006). Senyawa
diterpenoid totarol hasil isolasi dari akar Juniperus communis
memiliki aktvitas tinggi terhadap M. tuberculosis (Gordien dkk.,
2009). Penelitian Woldemichael dkk (2003), melaporkan aktivitas
antimikroba terhadap bakteri M. tuberculosis dari senyawa diterpenoid
(19-maloniloksidehidroabietinol) memiliki KHM sebesar 4 g/mL
30
sedangkan 2 triterpen (asam 3-epi ursolat dan asam 3-epi oleanolat)
dari tanaman Calceolaria pinnifolia (Scrophulariaceae) memiliki
KHM diantara 8 dan 16 g/mL.
Penelitian Truong dkk. (2011), juga menunjukkan bahwa
senyawa terpenoid asam bonianat A dan nonianat B dari ranting dan
daun Radermachera bonianathe memiliki aktivitas sebagai antituberkulosis terhadap M. tuberculosis dengan KHM berturut-turut
sebesar 34,8 M dan 9,9 M. Mekanisme kerja golongan senyawa
terpenoid tersebut diduga disebabkan karena adanya gangguan bagian
lipid pada membran plasma bakteri, sehingga mengakibatkan
kebocoran pada bagian intraseluler dan terjadinya perubahan
permeabilitas membran (Bueno-Sánchez dkk., 2009).
d.
Timol
Timol termasuk dalam golongan monoterpenoid tersusun dari
2 isoprena. Struktur timol ialah sebagai berikut
Gambar 10. Struktur timol (Trease & Evans, 2007)
Timol merupakan salah satu komponen minyak atsiri dan
digunakan sebagai pewangi pada kosmetik. Selain itu, timol juga
memiliki aktivitas farmakologi sebagai bakterisida terhadap bakteri di
31
mulut. Mekanisme aksi timol sebagai antimikroba melalui perforasi
membran sitoplasma sel dan ATP generation (Sanchez dkk., 2004).
F.
Landasan Teori
Mengacu pada tinjauan pustaka, penggunaan tanaman familia
Asteraceae sebagai obat tradisional penyakit tuberkulosis telah banyak
digunakan. Penelitian secara in vitro dalam pengujian aktivitas sebagai antituberkulosis baik ekstrak polar maupun non polar juga banyak dilaporkan.
Beberapa diantaranya ialah ekstrak etil asetat daun Conyza scabrida DC
memiliki nilai KHM sebesar 5,0 mg/mL terhadap M. smegmatis, ekstrak
etanol daun Artemisia afra Jacq. ex Willd. memiliki nilai KHM sebesar 1,56
mg/mL terhadap M. smegmatis, ekstrak aseton daun Helichrysum
melanacme memiliki nilai KHM sebesar 1,0 mg/mL terhadap M. smegmatis,
ekstrak aseton Nidorella anomala Steetz dan ekstrak aseton Nidorella
auriculata DC. memiliki nilai KHM sebesar 0,1 mg/mL dan 0,5 mg/mL
terhadap M. tuberculosis (Mc Gaw dkk., 2008; Lall & Meyer, 1999).
Golongan senyawa potensial sebagai antimikobakteri diantaranya berupa
flavonoid, diterpenoid, seskuiterpenoid, triterpenoid, minyak atsiri, steroid
dan saponin (Mc Gaw dkk., 2008).
Tanaman kenikir merupakan salah satu tanaman famili Asteraceae.
Ekstrak daun kenikir baik ekstrak polar maupun non polarnya memiliki
aktivitas sebagai antimikroba yang signifikan terhadap Staphylococcus
aureus, Bacillus subtilis, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, dan
Candida albican (Rasdi dkk, 2010). Menurut Liliwirianis (2011), daun
32
kenikir memiliki kandungan senyawa terpenoid, flavonoid, alkaloid, tanin,
steroid, dan saponin.
Golongan senyawa flavonoid dan terpenoid tersari cukup baik
dengan pelarut etil asetat (Pramono, 2013). Pengujian aktivitas antibakteri
ekstrak menggunakan etil asetat dari daun Stevia rebaudiana (Asteraceae)
memiliki diameter hambat lebih besar dibandingkan ekstrak menggunakan
kloroform maupun air
(Jayaraman dkk., 2008). Dengan demikian,
diharapkan ekstrak larut etil asetat daun kenikir memiliki aktivitas
antimikroba terhadap M. tuberculosis.
G.
Hipotesis
1.
Ekstrak etil asetat daun kenikir (C. caudatus H.B.K) memiliki
aktivitas sebagai anti-tuberkulosis.
2.
Ekstrak etil asetat daun kenikir memiliki kandungan golongan
senyawa flavonoid dan terpenoid.
Download