3.1 Teori Perdagangan Intemasional Sejak diperkenalkan oleh David Ricardo pada abad ke-19, teori ekonomi intemasional semakin menjadi perhatian para ekonom maupun para pelaku usaha. Pengetahuan yang paling penting dalam ekonomi intemasional adalah adanya manfaat yang diperoleh melalui perdagangan intemasional, yaitu suatu negara menjual barang dan jasa kepada negara lainnya karena adanya mutual benefif. Terdapat dua alasan dalam perdagangan intemasional, yaitu adanya keunggulan komparatif yang dimiliki suatu negara dan adanya alasan karena skala ekonomis (Krugrnan and Obstfeld, A988). Perdagangan antar negara terjadi karena adanya perbedaan harga barang di berbagai negara. Perbedaan harga tersebut akan menentukan keputusan suatu negara untuk menjual barang ke negara lain jika harga di negara tersebut lebih rendah, atau membeli jika harga di negara tersebut lebih tinggi. Salah satu atau kedua negara yang terlibat akan memperoteh manfaat dari perdagangan tersebut. Secara grafis, tejadinya perdagangan antara dua negara dapat dijelaskan sebagaimana pada Gambar 1. Diasumsikan hanya ada dua negara, yaitu negara A dan negara B (atau gabungan dari negara-negara lainnya, ROW), satu komoditi yang diperdagangkan, dan pasar dalam keadaan persaingan sempurna. Gambar 1a mempertihatkan situasi perrnintaan dan penawaran di negara A. Negara A memiliki keunggulan komparatif, misalkan dalam ha1 penggunaan sumber daya maupun bahan baku, sehingga harga domestik di negara ini (PA)rendah. Situasi pasar di negara B ditunjukkan oleh Gambar 1c, dimana harga domestik (P,) relatif lebih tinggi daripada PA. Negara A qp 9c Pasar Dunia Negara B Q* (b) (a) Sumber: Luther Tweeten 11992) Gambar 1. Perdagangan Antar Dua Negara Perbedaan harga di kedua negara itu mendorong A untuk mengekspor barangnya ke 8, sebaliknya 8 mengimpor barang dari A. Kurva penawaran ekspor A (ES) diperlihatkan pada Gambar 1b yang diturunkan dari Garnbar 1a. Kurva penawaran ekspor mempunyai slope positif yang dimulai dari tingkat harga domestik PA. Kurva permintaan impor oleh B (ED) diturunkan dari Gambar I c . Kurva permintaan impor B mempunyai slope negatif yang dimulai dari tingkat harga PB.Kedua kurva ES dan ED menentukan tingkat harga dunia yang terjadi yaitu Pw. Pada harga dunia Pw, di negara A terjadi kelebihan penawaran sebesar qp-qc, sedangkan di B terjadi kelebihan permintaan sebesar Qc-Qp. Keadaan ini menyebabkan adanya transfer produk dari negara A ke negara B sejumlah qp-qc = Qc-Qp = Qe. Secara teoritis, sistern perdagangan bebas antar negara dapat memberikan manfaat yang maksimal. Namun dalam kenyataannya, banyak terjadi distorsi pasar karena intervensi pernerintah. lntervensi pemerintah antara lain berupa pernberlakuan tarif impor, pajak ekspor, pembatasan nilai atau volume impor, pemberian subsidi dan berbagai kebijakan perdagangan lain; yang bertujuan melindungi produsen lokal maupun dalam rangka menjaga ketersediaan suplai domestik. Dampak pernbertakuan kebijakan perdagangan internasionat diuraikan sebagai berikut. 3.1.1 Dampak Pembedakuan Pajak Ekspor Untuk mengetahui dampak pemberlakuan pajak ekspor, digunakan asumsi sebagai berikut. Oimisalkan datam sistern perdagangan, hanya ada dua negara yaitu negara A sebagai eksportir dan negara 6 (atau gabungan negaranegara lainnya, ROW) sebagai importir; pajak ekspor yang diberlakukan benrpa pajak spesifik, yaitu pemberlakuan pajak per unit produk yang diekspor; negara eksportir merupakan negara besar dalam perdagangan dimana perubahan jurnlah ekspor oleh negara tersebut dapat mernpengaruhi harga dunia. Dampak pemberlakuan pajak ekspor dijelaskan melalui Gambar 2 berikut. Negara A (pengekspar) qcqc' qP' q~ (a) Pasar Dunia Qe' Negara 8 (pengirnpor) Qe Ibl Gambar 2. Dampak Pemberlakuan Pajak Ekspor Qp Qd Qc' Qc (c) Pemberlakuan pajak ekspor spesifik akan menggeser kurva penawaran ekspor ES paralel ke atas sebesar t menjadi ES'. Bagi negara besar, slope kurva permintaan impor yang dihadapi adalah negatif, maka penurunan jumlah penawaran ekspor pada harga tertentu akan meningkatkan harga dunia menjadi W .Dengan adanya pajak ekspor, harga yang diterima produsen domestik di negara A sebesar Pd-t. Pada harga ini konsumsi dornestik naik menjadi qc' dan produksi domestik turun menjadi qp', terjadi kelebihan penawaran sebesar qp'-qc'. Sebaliknya, di negara pengimpor, perubahan harga dunia menjadi PW menyebabkan pruduksi meningkat menjadi Qp' tetapi konsurnsi turun menjadi Qc', sehingga tejadi kelebihan permintaan sebesar Qc'-Qp'. Kelebihan permintaan pada negara B tersebut sama besamya dengan kelebihan penawaran pada negara A, yang juga sama besamya denqan jumlah keseimbangan pasar dunia yang baru (Qe'). Dapat disimpulkan, pemberlakuan pajak ekspor bagi suatu negara besar akan menyebabkan penunrnan harga produk, penunrnan produksi domestik, peningkatan konsumsi domestik, dan penurunan volume ekspor. Sebaliknya, di negara pengimpor terjadi kenaikan harga yang mendorong kenaikan produksi dan penumnan konsumsi, serta penurunan volume impor. Untuk negaranegara kecil, pemberlakuan pajak ekspor akan menyebabkan harga yang diterima produsen domestik menjadi lebih rendah dari harga dunia sebesar pajak yang diberiakukan. Dampak kesejahteraan dari pemberlakuan pajak ekspor diuraikan pada Tabel 1. Dapat diketahui bahwa dampak pemberlakuan pajak ekspor terhadap kesejahteraan nasional negara yang bersangkutan sangat ditentukan oleh elastisitas permintaan dan penawaran. Pajak yang optimal terjadi bilamana luas bidang (f-c-e) maksimum. Tabel 1. Analisis Welfare terhadap Pemberlakuan Pajak Ekspor I Perubahan [ Konsumen surplus I Penerirnaan pemerintah ( Kesejahtsraan nasional benih I 1 I 1 I A (PeflgeksPor) B (pengimpor) a+b -(1+2+3+4) I 1 -2-3-4 1 1 d+f -c-e +f -c-e-2-4 Kesejahteraan dunia bersih Pada tingkat pajak tertentu, kesejahteraan nasional bersih akan negatif, yaitu jika luas bidang (c+e) lebih besar dari bidang f. Sedangkan, di negara pengimpor terjadi penunrnan kesejahteraan nasional sebesar bidang (2+3+4). Secara umurn, dampak dari pemberlakuan pajak ekspor akan menurunkan kesejahteraan dunia. 3.1.2 Dampak Pemberlakuan Tarif lmpor Tarif merupakan pajak yang dikenakan bila suatu barang diimpor. Terdapat beberapa jenis tarif impor, antara lain tarif spesifik dan tarif ad %lorem. Tarif spesifik merupakan pajak yang besamya tetap untuk setiap unit barang yang diimpor (misalkan Rp 700 per kilogram gula). Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan sebagai suatu bagian dari nilai barang yang diimpor (misalkan 20% dari nilai barang yang diimpor). Tarif merupakan bentuk tertua dari kebijakan perdagangan dan secara tradisional digunakan sebagai sumber pendapatan pemerintah. Tarif juga sering digunakan untuk memproteksi seMor domestik (Krugman and Obstfeld, 1988; Levy, 1991). Dampak pemberlakuan tarif irnpor dapat dijelaskan dengan menggunakan Gambar 3. Oalam hal ini diasumsikan hanya terdapat dua negara, yaitu negara A sebagai negara importir dan negara B (atau gabungan negara-negara lainnya, ROW) sebagai negara eksportir; negara A merupakan negara importir besar sehingga perubahan dalam jurnlah irnpor akan rnempengaruhi harga dunia; tarif impor yang diberlakukan berupa tarif spesifik. Negara A (pengimpor) Pasar Dunia Negara B (pengekspor) Gambar 3. Oampak Pemberlakuan tarif lmpor Pemberlakuan tarif impor menyebabkan biaya impor meningkat, sehingga kurva ED bergeser ke bawah secara paralel sebesar tarif yang berlaku (t), menjadi ED'. Pergeseran kurva ED ini mengakibatkan harga dunia turlrn menjadi PM, sehingga harga yang dibayar konsumen di negara A menjadi Pw'+t. Pada kondisi ini jumlah barang yang diimpor turun menjadi sebesar (qcl-qp'). Sebaliknya, di negara B harga dunia sebesar W menyebabkan kelebihan penawaran turun menjadi Qpl-Qc', yang sama besamya dengan qca-qp'. Pemberlakuan tarif impor menyebabkan di negara pengimpor terjadi peningkatan harga produk, penurunanjumlah konsumsi, peningkatan produksi, penurunan volume impor, dan adanya peningkatan penerimaan pemerintah yang berasal dari tarif impor. Sedangkan di negara pengekspor, terjadi penumnan harga yang menyebabkan volume ekspor menutun. Dengan menggunakan analisis welfare, dapat diketahui siapa saja yang memperoleh manfaat atau kerugian dengan diberlakukannya tarif impor, sebagaimana dalam Tabel 2. Tabel 2. Analisis Welfare terhadap Pemberlakuan Tarif lmpor Perubahan A (pengimpor) 8 (pengekspor) Konsumen surplus -(a+b+c+d) 1+2 Produsen surplus a -(1 + 2 * 3 + 4 + 5 ) Peoerimaan pemerintah c+e Kesejahteraan nasional bersih e- b-d Kesejahteraan dunia bersih Secara -3-4-5 -4-d-3-5 umum, analsis di atas menunjukkan bahwa dampak pembedakuan tarif impor akan menurunkan kesejahteraan dunia sebesar (b+d+3+5). Di negara pengeskpor, tejadi penurunan kesejahteraan sebesar (3+4+5), sedangkan di negara pengimpor dampaknya masih ditentukan oleh elastisitas penawaran ekspor (ES). Jika kurva ES semakin elastis berarti bidang (b+d) akan semakin lebih besar dari bidang e, sehinqga secara umum dengan adanya tarif impor negara pengimpor sesungguhnya akan semakin dirugikan. Dalam kasus dimana negara pengimpor merupakan negara kecil yang fidak dapat mempengaruhi perdagangan dunia, kurva ES berbentuk elastis sempuma. Harga domestik setelah diberlakukan tarif menjadi Pw+t, sedangkan harga dunia tetap Pw. Bagi negara pengekspor tidak tejadi pembahan kesejahteraan nasional, tetapi bagi negara pengimpor terjadi penurunan kesejahteraan nasional sebesar (b+d). Dari analisis ini dapat dikebhui pula bahwa kerugian negara pengimpor sebagai negara kecil lebih besar daripada negara besar. 3.1.3 Dampak Perubahan Nilai Tukar Sistem nilai tukar (kurs) mata uang pada dasamya dapat dibagi dalam dua sistem, yaitu nilai tukar tetap dan nilai tukar fleksibel. Dalam sistem nilai tukar tetap, pemerintah menetapkan nilai mata uangnya secara tetap terhadap suatu mata uang asing, sedangkan pada sistem nilai tukar fleksibel pemerintah menyerahkan nilai mata uangnya pada mekanisme pasar. Pada sistem nilai tukar fleksibel, meskipun nilai mata uang diserahkan pada mekanisme pasar, tetapi dalam pelaksanaannya negara melakukan intervensi dengan menggunakan cadangan devisa yang dimiliki untuk menjaga agar nilai mata uangnya tidak naik (apresiasi) tetlalu tinggi atau tururi (depresiasi) tertalu jauh. Apresiasi yang terlatu tinggi akan mengakibatkan harga produk ekspor terlaiu mahal bagi luar negeri, yang dapat &erakibat turunnya volume ekspor dan produksi, yang dapat mendorong terjadinya pengangguran. Sebaliknya, depresiasi yang terlalu besar akan rnenyebabkan harga barang-barang impor menjadi lebih tinggilmahal, yang dapat berakibat terjadinya defisit neraca pembayaran. Apabila suatu pemerintah tunrt campur dalam mempengamhi permintaan dan penawaran mata uangnya di pasar uang, berarti pemerintah itu menerapkan sistem kurs mengambang terkendali (managed #oat system). Sistem ini banyak digunakan negara di dunia, termasuk Indonesia. Gambar 4 menunjukkan bagaimana devaluasi/depresiasi berdampak pada ekonomi. Dalam kondisi awal, titik keseimbangan jangka pendek antara nilai tukar El dan output YI, adalah titik 1, yang rnerupakan titik potong antara kurva D dan kurva A. Kurva D adalah garis sepanjang mana pasar output berada dalam keseimbangan, sedangkan kurva A adalah garis sepanjang mana pasar aset berada dalam keseimbangan. I j Y, Output, Y y2 Catatan: diadopsi dari Paul Krugman dan Maurice Obstfeld (1988) Gambar 4. Oampak Penunrnan Nilai Tukar Mata uang Penurunan nilai tukar (depresiasi) mata uang suatu negara dari El ke EP1 membuat harga barang-barang domestik menjadi relatif lebih murah daripada harga barang asing, sehingga output bergerak ke tingkat yang lebih tinggi, dari Y1 ke Y2, ditunjukkan oleh titik 2 pada kurva pasar-output 0.Bagi produk ekspor, penurunan nilai tukar membuat harga produk negara tersebut dalam mata uang asing menjadi lebih rendah, sehingga permintaan ekspor meningkat. Titik 2 tidak berada pada keseimbangan pasar pada kurva pasar-aset A, sehingga pada awalnya terjadi ekses permintaan uang karena meningkatnya transaksi yang disebabkan meningkatnya output. Ekses permintaan ini akan mendorong tingkat bunga di atas tingkat bunga dunia jika bank sentral tidak carnpur tangan pada pasar uang. Untuk menjaga nilai tukar pada tingkat yang baru E l , bank sentral haws membeli foreign asset dan memperluas penawaran uang sampai kurva pasar-aset mencapai titik 2 dan menjadi A'. Depresiasi karenanya menyebabkan peningkatan output, namun juga perluasan penawaran uang. 3.2 Analisis Daya Saing Berbagai metode dapat dipergunakan dalam analisis daya saing, antara la in Revealed Cornpanfive Advantage (RCA), Revealed Trade Advantage (RTA), dan Acceleration Ratio (AR). Dalam penelitian ini, hanya akan digunakan indeks RCA untuk mengetahui posisi daya saing komoditi ekspor agroindustri Indonesia. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa komoditi ekspor agroindustri yang diamati dalam penelitian ini merupakan komoditi unggulan ekspor, nilai impomya relatif kecil, sehingga tida k diamati. Sementara metode RTA maupun AR rnemerlukan data, baik ekspor maupun impor dari suatu komoditi, sehingga tidak sesuai untuk diguna kan dalam penelitian ini. Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) adalah suatu indeks yang umum digunakan untuk menunjukkan posisi relatif keunggulan komparatif suatu produk ekspor terhadap kinerja ekspor menyeluruh (Balassa, 4 965; Lall, 1995). indeks RCA didefinisikan sebagai rasio pangsa pasar produk tertentu suatu negara terhadap pangsa pasar dunia dari produk yang sama. Indeks RCA dapat diperoleh dengan menggunakan rumus berikut: (Xe I TX) RCA = ....................... .......................................... (XWe I TXW) (11 di mana: Xe = nilai ekspor komoditi e suatu negara TX = total ekspor negara yang bersangkutan XWe = ekspor dunia komoditi e = total ekspor dunia. TXW lndeks RCA dengan nilai di bawah satu menunjukkan relatjf disadvantage dalam mengekspor produk itu, sedangkan di atas satu menunjukkan relafif advantage. RCA dapat dirinci lagi dafam empat jenis. Emerging comparative advantage, mengindikasikan bahwa produk selama kurun waktu tersebut merniliki peningkatan RCA dari di bawah satu menjadi lebih dari satu. Continujng comparative advantage adalah kelompok produk yang mempertahankan RCA yang tinggi (di atas satu), menunjukkan bahwa pola keunggulan komparatifnya tidak terlalu dinamis. Continuing comparative disadvantage mengindikasikan produk yang merniliki RCA di bawah satu. Jenis terakhir, declining comparative advantage menunjukkan produk yang RCA-nya turun dari di atas satu menjadi di bawah satu. Negara yang memiliki RCA dalam kelompok low skill exporfslebih tinggi daripada high skill exports, dan masing-masing RCA high skill exports lebih kecil dari satu, menunjukkan bahwa negara tersebut tidak rnemiliki keunggulan relatif dalam mengekspor produk yang skill intensif. Meskipun RCA ini merupakan parameter yang sering dipakai untuk melihat perturnbuhan daya saing suatu produk, namun harus disadari bahwa hasil analisis RCA sering berbeda dengan kesan yang diberikan oleh nilai ekspor maupun oleh rata-rata pertumbuhannya (Lall and Rao, 1995). Disarnping itu, walaupun keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang berguna, namun sifatnya statis yaitu menunjukkan keunggulan ekspor suatu negara pada suatu waktu tertentu, tidak selamanya. Oleh karenanya, untuk mempertahankan keunggulan komparatif harus dipertahankan faktor- faktor yang rnendukungnya. faktor-faktor tersebut, menurut Ray (1998) adalah (1) teknologi; (2) faktor endowment, misalnya sumber daya alam dan popuiasi; (3) preferensi; dan (4) skala ekonomis. Posisi suatu negara atas faktor-faktor tersebut dapat saja berubah. . -. ..-. ., . a - n . r V .Y ~ , V I~ v , # # & u & b # b b ~ u l l#a Q t U #IQJ 3adl 11 11 3UUdll IllellYWdll kepada tatanan global menuju perekonomian tanpa batas-batas negara. Hambatan perdagangan, baik yang berupa hambatan brif maupun non-tarif (teknis), rnulai berangsur-angsur dikurangi/dihilangkan. Kecendenrngan perdagangan intemasional ini tentunya mempunyai dampak bagi perekonomian suatu negara. Mengikuti globalisasi berarti membuka peluang bagi masuknya produk asing ke pasar domestik meskipun berarti juga memperluas kesempatan untuk masuk ke pasar luar negeri atau memperluas pangsa pasar. Tidak mengikuti globalisasi akan rnengakibatkan kesulitan bagi suatu negara untuk memperoleh bahan baku atau barang yang dipedukan dari luar negeri. Oleh karena risiko tidak mengikuti globalisasi lebitr besar dan'pada mengikuti globalisasi maka negara-negara di dunia cendenrng untuk masuk ke dalam sistem perdagangan global a b u regional. Teori Heckscher-Qhlin rnenyebutkan bahwa perdagangan internasional akan menguntungkan kedua belah pihak karena masing-masing pihak dapat rnemanfaatkan perbedaan faktor produksi yang tersedia di negara-negata yang berbeda (Krugman and Obstfled, 1988; Bhagwati, 7993). Namun, dampak perdagangan bebas pada perekonomian suatu negara tidaklah sama. Menurut Holst dan Melo (1991, dalam Widjaja, 2000), Korea Selatan mampu meningkatkan pertumbuhan PNB-nya setelah memberlakukan liberalisasi perdagangan. Di pihak lain, dengan liberalisasi negara-negara Afrika mengalami defisit anggaran pemetintah yang semakin besar, yang disebabkan karena meningkatnya nilai impor yang tidak sebanding dengan peningkatan nilai ekspor (Devaragan, 1990). disebabkan tidak adanya perencanaan untuk mengintegrasikan pasar produk agro-olahan, bahan baku produksi pertanian, dan pabrik pengolahan. Anderson dan Tyers (1990) mengevaluasi dampak liberalisasi perdagangan sektor pertanian dengan metode GLS (genemi least square), menunjukkan bahwa apabila terjadi liberalisasi pada sektor pertanian, khususnya pangan, maka negara-negara maju akan memperuleh manfaat lebih banyak dibandingkan negara-negara berkembang. Hasil yang serupa juga ditunjukkan oleh Bumiaux (1990) dan Soudlet (1990, dalam Hanani, 2000). Azis (1990, dalarn Widjaja, 2000) mengembangkan suatu m d e l ekonornetrika yang dikaitkan dengan ASEAN LINK (LINK = the international linkage of national economk models) untuk menjelaskan perekonomian Indonesia. Model yang dikembangkan menganalisis pengaruh perdagangan eksternal dengan mendisagregasi beberapa negara rnitra dagang Indonesia yang potensial (ASEAN, Jepang, Amerika, Empa, dan resf of the world). Skenario eksternal yang digunakan dalam simulasi kebijakan adalah perubahan apresiasi yen terhadap dollar, peningkatan maupun penurunan ekspor dan impor terhadap negara-negara mitra dagang di luar ASEAN, peningkatan perdagangan intra ASEAN, peningkatan FDI, dan pengurangan tarif impor. Meskipun mampu menangkap perubahan situasi perdagangan eksternal, namun pembagian produknya hanya terbatas atas barang manufaktur, barang primer, dan migas. Dampak liberalisasi perdagangan pada sektor pertanian negara berkembang yang diteliti oleh Moreddu (1990) dan Krissoff (1 990) menunjukkan bahwa pendapatan ekspor pada sektor pertanian negara-negara berkembang akan rneningkat apabila liberalisasi dilakukan secara unilateral {sepihak) oleh negara berkembang, dan akan turun jika dilakukan bersama negara maju (multilateral). Pertumbuhan ekspor Indonesia dikaitkan dengan kebijakan perdagangan yang dilakukan pemerintah Indonesia, selama periode 1985 sampai 1993, dianalisis oleh Dasgupta (1995), dengan menggunakan suatu model persamaan simultan. Analisis dilakukan dari sisi permintaan (nilai tukar dan pendapatan dunia) maupun sisi penawaran (investasi, harga domestik, infrastnrktur dan kebijakan perdagangan). Di sisi permintaan, hasil analisis menunjukkan elastisitas harga permintaan yang relatif tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia dapat meneruskan pengembangan ekspor secara substantial tanpa pendapatan permintaan menemui hambatan permintaan. Elastisitas dunia juga tinggi, mengindikasikan bahwa pengembangan ekspor lndonesia sudah benar. Oi sisi penawaran, hasil analisis menunjukkan adanya beberapa faktor yang sangat berperan. Elastisitas harga penawaran temyab rendah, sementara deregulasi perdagangan dan investasi memiliki peran yang lebih besar. lnvestasi yang lebih besar cenderung meningkatkan respon ekspor. Pertumbuhan pemintaan domestik memiliki efek negatif terhadap ekspor. Devaluasi yang besar rnendorong e kspor secara signifikan tetapi dampaknya temyata sangat pendek. Simulasi atas variabel kebijakan menyarankan bahwa pengurangan harnbatan perdagangan adatah lebih penting dan mernpunyai efek yang lebih lama terhadap pertumbuhan ekspor. Ratnawati (1996) meneliti dampak kebijakan tarif impor dan pajak ekspor terhadap kinerja perekonomian sektor pertanian dan distribusi pendapatan di Indonesia, menggunakan pendekatan Model Keseimbangan Umum (computable general equilibrium, CGE). Hasil simulasi kebijakan dalam penelitian Ratnawati memperlihatkan bahwa penurunan tarif impor dan pajak ekspor secara nyata, menyebabkan tejadinya trade off antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan penurunan distribusi pendapatan serta stabilitas ekonomi. Penurunan tarif impor meningkatkan kinerja perekonornian Indonesia, yang ditunjukkan oleh kenaikan PDB riil, disebabkan karena biaya produksi yang relatif lebih murah mampu mendorong kenaikan produksi barang-barang domestik meskipun nilai tukar rupiah terhadap dollar mengalami penurunan. Penurunan pajak ekspor meningkatkan PDB riil dan menurunkan nilai tukar rupiah. Pada sektor agroindutri, penurunan tarif impor menyebabkan kenaikan ekspor yang lebih besar daripada impor, sehingga terjadi surplus perdagangan. lmplikasi kebijakan yang dapat dimmuskan adalah kemungkinan menetapkan agroindustri sebagai sektor andalan karena kemampuannya rnempertahankan surplus neraca perdagangan nonmigas maupun kemampuannya dalam memanfaatkan sumberdaya domestik. Saragih (1996) me-agamatibahwa pertumbuhan impor agroindustri yang positip, yaitu dari 26.4% pada tahun 1971 menjadi 31.6% pada tahun 1995, meskipun neraca perdagangan masih positip, perlu mendapat perhatian karena selama 10 tahun terjadi peningkatan yang cukup besar. Peningkatan pangsa impor ini perlu diwaspadai faktor-faktor penyebabnya, terutama dalam menghadapi era globalisasi. Widjaja (2000),dalam penelitiannya tentang dampak liberalisasi perdagangan terhadap kinerja ekonomi Indonesia, menyimpuikan bahwa liberalisasi perdagangan berdampak positif terhadap kinerja ekonomi Indonesia, lebih khusus terhadap kineja perdagangan. Eliminasi tarif secara sekaligus memberikan hasil lebih baik daripada secara gradual. Sedangkan kebijakan devaluasi nilai tukar rupiah dianggap tidak cukup ampuh untuk rneningkatkan kinej a perdagangan Indonesia. Hanani (2000) juga meneliti kineja perekonomian lndonesia pada era liberalisasi perdagangan, menyimpulkan bahwa perilaku perdagangan komoditi dominan (beberapa diantaranya mempakan komoditi agroindustri) secara umum dicirikan dengan negara tujuan ekspor maupun asal impur yang tidak saling bersubstitusi; elastisitas harga ekspor maupun impor umumnya inelastis; dan perubahan ekspor maupun impor elastis terhadap penrbahan produksi dan konsumsi domestik khususnya dalam jangka panjang. Perilaku harga komoditi yang diteliti umumnya mernpunyai hubungan positif dan nyata dengan harga dunia, serta berhubungan positip dengan nilai tukar mata uang meskipun responnya rendah. Hasil penelitian Alamsyah (1 999) tentang dampak liberalisasi perdagangan terhadap keragaan industri kelapa sawit lndonesia dan perdagangan minyak sawit dunia menyimpulkan bahwa penumnan pajak ekspor akan memberikan dampa k positif bagi Indonesia, yaitu tejadinya I peningkatan ekspor dan pangsa pasar Indonesia. Ekspor minyak inti sawit lndonesia lebih responsif terhadap perubahan harga ekspor dan nilai tukar dibandingkan Malaysia, menunjukkan bahwa setiap peluang ekspor yang terjadi akibat kenaikan harga ekspor dan nilai tukar akan direspon lndonesia lebih besar daripada Malaysia. Selain itu, Alamsyah juga menyimpulkan bahwa liberalisasi perdagangan yang dilaksanakan oleh semua negara termasuk Indonesia, akan memberikan dampak yang menguntungkan bagi industri kelapa sawit Indonesia. Ekspor minyak sawit kasar lndonesia naik dengan peningkatan ratarata yang jauh lebih besar dari negara eksportir lainnya. Namun, jika liberalisasi perdagangan hanya dilakukan sepiha k oleh negara-negara eksportir pesaing Indonesia, berdampak pada penurunan ekspor mtnyak sawit kasar Indonesia karena turunnya harga ekspor dunia yang disebabkan kenaikan ekspor negaranegara pesaing Indonesia. Abidin (20001,yang meneliti tentang dampak liberalisasi perdagangan terhadap keragaan industri gula lndonesia menyatakan bahwa penerapan liberalisasi secara penuh ternyata melemahkan keragaan industri gula Indonesia, menurunkan ekspor dunia dan menaikkan harga gula dunia. Negara-negara importir pada umumnya kurang memperhitungkan harga impor dibanding dengan kuatnya tarikan permintaan gula untuk konsumsinya. Di samping itu, sebagian negara pengimpor mempertimbangkan nilai tukar mata uangnya. lndonesia tergolong importir yang mengimpor bukan hanya karena harga dan perubahan nilai tukar melainkan lebih karena tekanan pemenuhan permintaan domestik. Penelitian-penelitian di atas telah rnemberikan wawasan yang sangat berharga terhadap pengaruh liberalisasi perdagangan, terutama dalam sektor ', agroindustri. Masih diperlukan banyak penelitian lanjutan untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang penganrh perubahan internal maupun eksternal dalam rangka memilih kebijakan perdagangan luar menghadapi era perdagangan bebas negeri dalam