TINJAUAN PUSTAKA Daging Daging sapi menurut Standar Nasional Indonesia 01-3947-1995 adalah urat daging yang melekat pada kerangka sapi, kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari sapi sehat pada waktu dipotong. Menurut Hui et al. (2001), daging adalah komponen proses post mortem yang dapat dimakan yang berasal dari ternak hidup mencakup ternak domestikasi, domba, kambing, babi dan unggas dan juga hewan liar seperti rusa, kelinci dan ikan. Menurut Varnam dan Sutherland (1996), daging adalah pangan tinggi protein, kualitas proteinnya sangat tinggi, tipe dan perbandingan asam aminonya menyetarai kebutuhan pertahanan dan pertumbuhan jaringan tubuh manusia. Daging mengandung asam amino esensial seperti lisin dan treonin dalam jumlah substansial serta metionin dan triptofan dalam jumlah yang cukup. Daging sangat disukai oleh manusia maupun oleh organisme lain. Organisme lain yang masuk ke dalam daging dapat menyebabkan produk tersebut tidak menarik karena terjadinya perubahan (pembusukkan). Organisme yang menyebabkan daging busuk dapat diperoleh melalui infeksi hewan hidup (penyakit endogenous) atau dengan kontaminasi daging pasca mati (penyakit eksogenous). Infeksi endogenous berasal dari hewan-hewan yang terinfeksi seperti antraks, tuberkolosis bovine, dan brucellosis. Penyakit tersebut disebabkan oleh mikroba B. anthracis, M. tuberkolosis dan brucella sp. sumber dari infeksi eksogenous adalah darah yang keluar pada saat pemotongan, kulit, tanah yang melekat, isi saluran pencernaan, air, udara, alat yang digunakan seperti pisau, tong, tempat penyimpanan barang serta kontaminasi dari orang itu sendiri (Lawrie, 1998). Bakso Bakso didefinisikan sebagai produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging terbaik (kadar daging tidak kurang dari 50%) dengan atau tanpa bahan makanan tambahan yang diizinkan (SNI,1995). Bahanbahan bakso terdiri atas bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama dari produk bakso ini adalah daging, sedangkan bahan tambahan yang digunakan adalah bahan pengisi, garam, es atau air es, bumbu-bumbu seperti lada serta bahan penyedap 3 (Sunarlim,1992). Bakso daging sapi umumnya menggunakan potongan daging penutup (Top Side), gandik (Silver Side) (Purnomo,1990). Pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri dari empat tahap yaitu penggilingan daging, pembuatan adonan, pencetakan dan pemasakan. Pada proses penggilingan daging, perlu diperhatikan kenaikan suhu akibat panas yang dihasilkan pada saat proses penggilingan, karena suhu yang diperlukan untuk mempertahankan emulsi adalah dibawah 200C. Suhu diatas 200C menyebabkan denaturasi protein sehingga emulsi akan pecah. Pembentukan dalam adonan menjadi bola bakso dapat dilakukan dengan menggunakan tangan atau mesin pencetak bakso. Pemasakan pada suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan lemak terpisah dari sistem emulsi. Hal ini disebabkan lemak mengembang dan protein mengkerut secara mendadak sehingga matrik protein pecah dan lemak keluar dari campuran (Anshori,2002). Menurut Sinaga (1988), bakso yang dijual di pasar lebih banyak mengandung mikroba koliform dibandingkan bakso yang dijual di supermarket. Bakteri koliform didefinisikan sebagai semua bakteri basili Gram Negatif baik aerobik maupun anaerobik fakultatif, tidak membentuk spora dan dapat memfermentasikan laktosa menghasilkan gas pada suhu 350 C selama 48 jam (Benwart,1989). Menurut SNI Bakso Daging (1995) syarat mutu cemaran mikroba untuk angka lempeng total adalah maksimal 1x 105 koloni/g, Escherichia coli adalah < 3 APM/g, tidak terdapat Salmonella, dan jumlah maksimal untuk Staphylococcus aureus adalah 1x 102 koloni/g. Bahan Pengisi Bahan pengisi merupakan salah satu bahan baku yang digunakan untuk membuat bakso yaitu tepung tapioka. Bahan pengisi yang digunakan pada produk bertujuan untuk memperbaiki stabilitas emulsi, meningkatkan rendemen, memperbaiki daya iris, memperbaiki flavor dan juga mengurangi biaya produksi. Bahan pengisi mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi dan protein rendah. Hal ini menyebabkan bahan pengisi mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi, protein yang rendah dan menyebabkan bahan pengisi memiliki kemampuan mengikat air yang baik, tetapi tidak dapat mengemulsikan lemak (Sunarlim,1992). 4 Garam Garam digunakan sebagai bahan pembuatan bakso. Garam dapur berfungsi untuk memberi cita rasa, mengekstraksi miofibrial dan untuk meningkatkan daya simpan karena dapat menghambat mikroorganisme pembusuk (Cross dan Overby,1998). Menurut Sunarlim (1992), penambahan garam sebaiknya tidak kurang dari 2% dan lebih dari 4%, karena konsentrasi garam kurang dari 1,8% menyebabkan rendahnya protein terlarut. Garam yang ditambahkan pada daging dapat mengakibatkan semakin tinggi daya mengikat air (DMA). Hal ini disebabkan garam dapat memperluas ruang antar filamen dalam protein miofibril sehingga terjadi pengembangan diameter mifobril (Ockerman,1983). Bawang Putih Bawang putih merupakan rempah-rempah yang memiliki sifat antimikroba terbaik terhadap E.coli, Aerobacter aerogenes, Staphylococcus aureus dan Shigella sonnei. Bawang putih mengandung minyak atsiri yang bersifat antibakteri dan antiseptik. Kandungan allicin dan allin berkaitan dengan antikolesterol (Setiawan et al., 1999). Di samping itu bawang putih dapat mengurangi jumlah koliform, bakteri dan total bakteri. Bawang putih (Allium sativum) menghasilkan 0,2 % minyak atsiri yang mengandung dialil sulfida, dialil trisulfida, alil propel disulfide, allin dan alisin. Hitokoro et al. (1990), menunjukan bahwa konsentrasi bubuk bawang putih 10 % dapat menurunkan laju pertumbuhan Aspergilus flavus sedangkan ekstrak bawang putih segar pada konsentrasi 0,5% dapat menghambat Salmonella spp. dan E. coli. Sodium Tripolifosfat (STPP) Tujuan utama penambahan fosfat yaitu untuk mengurangi kehilangan lemak dan air selama pemasakan, pengalengan, atau penggorengan (Wilson et al., 1981). Menurut Soeparno (1994), fungsi fosfat adalah untuk meningkatkan daya mengikat air oleh protein daging, mereduksi pengerutan daging dan menghambat ketengikan. Purnomo (1990) menyatakan bahwa terdapat pembatasan dalam penggunaan polifosfat, hal ini disebabkan fosfat memiliki rasa agak pahit pada konsentrasi tertentu. Penggunaan fosfat pada umumnya berkisar 0,3% dan tidak melebihi 0,5%. 5 Sedangkan menurut Pearson dan Tauber (1984) konsentrasi STPP yang dapat ditolerir oleh tubuh tanpa ada gangguan fisiologis adalah 0,5%. Mikroorganisme Daging Mutu mikrobiologi dari suatu produk makanan ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat dalam bahan pangan. Hal ini akan menentukan ketahanan simpan dari produk tersebut ditinjau dari kerusakan oleh mikroorganisme patogenik yang terdapat didalamnya. Populasi mikroorganisme yang berada pada suatu bahan pangan umumnya bersifat sangat spesifik dan tergantung pada jenis bahan pangan kondisi tertentu dari penyimpanannya (Buckle et al.,1987). Daging sangat memenuhi persyaratan untuk perkembangan mikroorganisme, termasuk mikroorganisme perusak atau pembusuk. Hal ini disebabkan daging mempunyai kadar air yang tinggi antara 68-75%, kaya akan zat yang mengandung nitrogen dengan kompleksitas yang berbeda, mengandung sejumlah karbohidrat yang dapat difermentasi, kaya akan mineral dan kelengkapan faktor untuk pertumbuhan mikroorganisme, mempunyai pH yang menguntungkan bagi sejumlah mikroorganisme sekitar 5,3-6,5. Aktivitas mikroorganisme dipengaruhi oleh sifat fisik daging diantaranya besar kecilnya karkas, potongan karkas, bentuk daging cacahan, daging giling dan perlakuan processing (Soeparno,1998). Kerusakan pada daging ditandai dengan perubahan bau dan timbulnya lendir. Biasanya kerusakan ini terjadi jika jumlah mikroba menjadi jutaan atau ratusan juta (106 – 108) sel atau lebih per 1 cm2 luas permukaan daging. Kerusakan mikrobiologi pada daging terutama disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembusuk dengan tandatanda sebagai berikut: (1) pembentukan lendir, (2) perubahan warna, (3) perubahan bau menjadi busuk karena pemecahan protein dan terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti amonia, H2S, dan senyawa lain-lain, (3) perubahan rasa menjadi asam karena pertumbuhan bakteri pembentuk asam, (4) ketengikan yang disebabkan pemecahan atau oksidasi lemak daging (Dinas Kesehatan Sleman, 2001). Bakteri yang sering dijumpai pada daging yaitu dari strain Pseudomonas, Moraxella, Acinetobacter, Lactobacillus, Brochothrix thermospacta (sebelumnya dikenal dengan Microbacterium thermosphactum) dan beberapa famili dari Enterobactericeae. Bakteri dapat tumbuh tidak hanya pada permukaan daging tetapi tumbuh juga pada bagian dalam daging melalui (1) penetrasi melalui membran 6 mukosa saluran respirasi dan pencernaan, (2) bakteri yang berasal dari usus yang terjadi selama pemotongan maupun sesudahnya, (3) bakteri yang terbawa oleh luka selama pemotongan dan (4) bakteri yang berasal dari permukaan dan kemudian berpenetrasi ke dalam jaringan otot lebih dalam (Gill, 1982). Pada umumnya bakteri tumbuh di permukaan, namun tidak tertutup kemungkinan ditemukan bakteri di dalam daging. Bakteri dapat mencapai jaringan dalam karkas dengan berbagai cara, diantaranya melalui mekanisme berikut : (1) jaringan ternak sehat dapat mengandung sebuah populasi kecil bakteri namun dinamis bila bakteri secara terus-menerus memperoleh akses ke dalam jaringan ternak hidup, dengan penetrasi membran mukosa saluran respirasi dan percernaan, untuk mengganti yang telah dibasmi oleh mekanisme ketahanan tubuh ternak, (2) bakteri dari usus dapat menyerang jaringan karkas, baik selama pemotongan (agonal invasion) maupun setelah pemotongan (postmortem invasion), (3) bakteri dapat terbawa ke jaringan oleh luka sebelum pemotongan dan (4) bakteri yang mengkontaminasi permukaan karkas dapat memenetrasi ke lapisan jaringan otot yang lebih dalam (Gill, 1982). Lawrie (1998) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: (1) faktor intrinsik antara lain nilai nutrisi daging, kadar air, nilai pH, potensi oksidasi reduksi dan ada tidaknya substansi penghambat dan (2) faktor ekstrinsik meliputi suhu, kelembaban relatif, oksigen dan kondisi daging. Faktor Intrinsik Pertumbuhan Mikroorganisme Faktor intrinsik yang mempengaruhi mikrorganisme pada daging meliputi nutrisi, kadar air, nilai pH, potensi oksidasi-reduksi, dan ada tidaknya substansi penghambat dan jaringan protektif (Soeparno, 1998). Mikroorganisme memerlukan nitrogen, energi, mineral dan vitamin B untuk pertumbuhannya, selain air dan oksigen. Kebutuhan nitrogen berasal dari asam-asam amino, peptida dan protein. Sumber energi mikroorganisme adalah karbohidrat. Namun, karena daging mengandung karbohidrat dalam jumlah yang relatif sangat sedikit, mikroorganisme terutama mikroorganisme proteolitik, menggunakan protein sebagai sumber energi dan beberapa mikroorganisme lain dapat menggunakan lemak. Semua 7 mikroorganisme membutuhkan mineral, sedangkan kebutuhan vitamin dan faktor pertumbuhan lain bervariasi. Kadar air yang tersedia di dalam daging sangat menentukan tingkat pertumbuhan mikroorganisme. Kebutuhan air pada mikroorganisme dinyatakan sebagai aktifitas air atau yang lazim disebut water activity (aw). Bakteri membutuhkan kadar aw yang lebih tinggi daripada jamur atau ragi. Sejumlah bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik pada aw lebih kecil dari 0,91, tetapi aw minimum untuk pertumbuhan sangat bervariasi. Daging memiliki pH ultimat (5,4-5,8) yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan sebagian besar bakteri. Sebagian besar bakteri tumbuh optimal pada pH kira-kira 7,0. Pertumbuhan mikroba akan berkurang pada pH 5,2 atau lebih rendah dan pada pH daging ultimat yang tinggi, pertumbuhan mikroba meningkat. Nilai pH daging pada saat masih hidup sekitar 6,8-7,2 (Forrest et al.,1975) sedangkan menurut Buckle et al. (1987) berkisar antara 7,2-7,4. Nilai pH postmortem akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob yaitu sekitar 5,1-6,2 dan hal ini disebabkan hewan lelah, kelaparan atau takut pada hewan sebelum dipotong. Hampir semua bakteri tumbuh secara optimal pada pH sekitar 7 dan tidak akan tumbuh di bawah pH 4 atau di atas pH 9. Nilai pH tidak langsung turun begitu saja tetapi menurun secara bertahap yaitu pada satu jam pertama setelah ternak dipotong dan semakin menurun lagi setelah tercapainya rigormortis (Forrest et al.,1975). Pengaruh potensial oksidasi reduksi terhadap pertumbuhan mikroba adalah memperpanjang fase log awal selanjutnya pertumbuhan tidak lagi dipengaruhi karena sekali mikroorganisme tersebut teradaptasi terhadap potensial oksidasi-reduksi yang tinggi maka tingkat pertumbuhannya akan sama dengan potensial oksidasi reduksi yang rendah. Mikroorganisme aerobik adalah mikroorganisme yang dapat tumbuh pada potensi oksidasi-reduksi yang tinggi sedangkan mikroorganisme anaerobik tumbuh pada potensi oksidasi yang rendah. Secara alami daging tidak mempunyai komponen bakteriostatik. Lemak karkas dan kulit dapat melindungi daging dari kontaminasi mikroorganisme. 8 Faktor Ekstrinsik Pertumbuhan Mikroorganisme Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi mikrorganisme pada daging meliputi suhu, kelembaban relatif, oksigen atmosfir, dan keadaan fisik daging (Soeparno,1998). Suhu merupakan faktor yang paling utama dalam pertumbuhan mikroba. Semakin tinggi suhu maka semakin besar tingkat pertumbuhan. Banyak mikroorganisme daging yang akan tumbuh pada suhu di bawah 00C sampai di atas 650C tetapi untuk mikroorganisme tertentu, pertumbuhan yang baik terjadi pada suhu tertentu yang terbatas kisarannya. Mikroorganisme pembusuk pada daging di bagi menjadi tiga kategori yaitu psikrofilik yang mempunyai suhu optimum antara -20C dan 70C, mesofilik antara 100C dan 400C serta termofilik dari 430C hingga 660C. Perbedaan tersebut tidaklah mutlak, tetapi seperti halnya bakteri Gram negatif bentuk batang (biasanya dimasukkan dalam kategori mesofilik) dapat tumbuh pada suhu -1,50C. Pada suhu dingin dalam kondisi aerob, flora pembusuk daging didominasi oleh pseudomonas sedangkan pada kondisi anaerob didominasi oleh bakteri Laktobasili. Bakteri tersebut pada awalnya menyerang glukosa dan semakin lama menyerang asam amino yang dimiliki oleh daging (Soeparno, 1998). Semakin tinggi suhu penyimpanan, kelembaban relatif seharusnya semakin rendah. Apabila kelembaban relatif terlalu rendah banyak cairan permukaan daging akan banyak yang menguap (dehidrasi) sehingga banyak mikroba yang akan dihambat dan apabila kelembaban relatif terlalu tinggi maka cairan akan berkondensasi pada permukan daging sehingga permukaan daging menjadi basah dan sangat kondusif untuk pertumbuhan mikroba (Soeparno, 1998). Mikroorganisme yang tumbuh pada permukaan daging adalah mikroorganisme aerobik dan anaerobik fakultatif. Pengepakan vakum atau pengalengan dapat mereduksi atau mencegah aktivitas mikroorganisme aerobik. Atmosfer yang terdiri atas 100% karbondioksida dapat digunakan untuk menghambat Laktobasili dan enterobakteria (Lawrie,1995). Beberapa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme meliputi suplai zat gizi, waktu, suhu, air, pH dan tersedianya oksigen (Buckle et al., 1987). Daging sangat memenuhi persyaratan untuk perkembangan mikroorganisme, termasuk mikroba pembusuk atau perusak karena : (1) mempunyai kadar air yang tinggi (68-75%); (2) kaya akan zat yang mengandung nitrogen (asam amino); (3) mengandung sejumlah karbohidrat 9 yang difermentasikan (gula); (4) kaya akan mineral dan kelengkapan faktor untuk pertumbuhan mikroorganisme (unsur unsur C,O,N,P,S dan unsur-unsur makro seperti Mg, Ca, Fe, Co dan Cu) dan (5) mempunyai pH yang menguntungkan bagi sejumlah mikrorganisme yaitu 5,3-6,5 (Soeparno,1998). Aktivitas mikroorganisme juga dipengaruhi oleh kondisi fisik daging seperti besar kecilnya karkas, potongan karkas atau daging, bentuk daging cacahan, daging giling dan perlakuan pengolahan. Penggilingan daging akan memperbesar kontaminasi dan pertumbuhan mikroorganisme (Forrest et al., 1975), karena area permukaan menjadi lebih besar, nutrien air akan lebih siap tersedia, penetrasi dan pemanfaatan oksigen akan lebih besar, kontak dengan alat yang menjadi sumber kontaminasi dan distribusi mikroorganisme yang lebih merata keseluruh bagian daging selama pengolahan (Soeparno,1998). SNI mensyaratkan batas maksimum cemaran mikroba seperti tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging No Jenis cemaran mikroba Batas maksimum cemaran mikroba Daging segar/beku Daging tanpa tulang 1. Angka lempeng total bakteri 1x104 1x104 2. Escherischia coli* 5x101 5x101 3. 5. Staphylococcus aureus Clostridium sp. Salmonella sp.* * 6. 7. 4. 8. 9. 1x101 0 Negatif 1x101 0 Negatif Coliform 1x102 1x102 Enterococci Campylobacter sp. Listeria sp. 1x102 0 0 1x102 0 0 Keterangan: Sumber: (*) dalam satuan MPN/gram (**) dalam satuan kualitatif SNI No. 01-6366-2000 Mikroorganisme yang hidup di dalam permukaan daging adalah Pseudomonas, Achromobacter, Micrococcus, Streptococcus, Sarcinia, Leuconostoc, Lactobacillus, Flavobacterium, Proteus, Bacillus, Clostridium, Escherichia, dan Salmonella (Frazier et al., 1988). Tipe bakteri yang umum dalam daging adalah strain dari Pseudomonas, Moraxella, Acinetobacter, Lactobacillus, Brochothrix 10 thermophacta (sebelumnya dikenal dengan Microbacterium thermosphactum) dan beberapa generasi dari famili Enterobacteriaceae (Gill, 1982). Zat Antimikroba Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan akivitas mikroba. Menurut Fardiaz (1992), zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang), dan germisidal (menghambat germinasi spora bakteri). Kemampuan suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan bakteri dipengaruhi beberapa faktor yaitu (1) konsentrasi zat pengawet, (2) waktu penyimpanan, (3) suhu lingkungan, (4) sifat-sifat mikroba, (5) sifat-sifat fisik dan kimia makanan termasuk kadar air, PH, jenis senyawa didalamnya (Davidson dan Branen,1993). Beberapa grup senyawa kimia utama yang bersifat antimikrobial adalah fenol dan senyawa fenolik, alkohol, halogen, logam berat dan senyawanya, zat warna, deterjen, senyawa amonium kuartener, asam dan basa dan gas khemosterilen (Pelczar et al., 1979). Komponen antimikroba tersebut terdapat di dalam makanan melalui berbagai cara, yaitu: (1) terdapat secara alamiah di dalam bahan pangan (2) ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan (3) terbentuk selama pengolahan atau jasad renik yang tumbuh selama fermentasi makanan. Zat-zat yang digunakan sebagai antimikroba harus mempunyai beberapa kriteria ideal antara lain tidak bersifat racun bagi bahan pangan, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan cita rasa dan aroma makanan, tidak mengalami penurunan aktivitas karena adanya komponen makanan, tidak menyebabkan timbulnya galur resisten dan sebaiknya membunuh daripada hanya menghambat pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff, 1988). Mekanisme kerja antimikroba terhadap mikroba terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: (1) mengganggu pembentukan dinding sel. Mekanisme ini disebabkan adanya akumulasi komponen lipofilat yang terdapat pada dinding sel. Terjadinya akumulasi senyawa antimikroba dipengaruhi oleh bentuk tak terdisosiasi. Pada konsentrasi rendah molekul-molekul phenol yang terdapat pada minyak thyme kebanyakan berbentuk tidak terdisosiasi, lebih hidrofobik, dapat mengikat daerah hidrofobik membran protein dan dapat melarut baik pada fase lipid dari membran bakteri; (2) bereaksi dengan membran sel. Komponen bioaktif dapat mengganggu 11 dan mempengaruhi integritas membran sitoplasma yang dapat menyebabkan kebocoran intraseluler, seperti senyawa phenol dapat mengakibatkan lisis sel dan menyebabkan denaturasi protein, menghambat ikatan ATP-ase pada membran sel; (3) menginaktivasi enzim. Mekanisme yang terjadi menunjukkan bahwa kerja enzim akan terganggu dalam memperthankan kelangsungan aktivitas mikroba, sehingga mengakibatkan enzim akan memerlukan energi dalam jumlah besar untuk mempertahnkan kelangsungan aktivitasnya. akibatnya energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan menjadi berkurang sehingga aktivitas mikroba menjadi terhambat atau jika kondisi ini berlangsung lama akan menyebabkan pertumbuhan mikroba terhenti (inaktif); (4) menginaktivasi fungsi material genetik. Komponen bioaktif dapat mengganggu pemebentukan asam nukleta (RNA dan DNA), menyebabkan terganggunya transfer informasi genetik yang selanjutnya akan menginaktivasi atau merusak mutu genetik sehingga menyebabkan terganggunya proses pembelahan sel untuk pembiakan. Penggolongan antimikroba berdasarkan sifat toksisitas selektifnya (Mckane dan Kandel, 1985), yaitu: (1) antimikroba yang bersifat mikrobistatik yaitu antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan dan multiplikasi mikroorganisme namun tidak mematikan atau menghilangkan mikroorganisme, sehingga mikroorganisme masih ada dan dapat tumbuh lagi jika zat antimikroba itu dihilangkan. (2) antimikroba yang bersifat mikrobisidal yaitu antimikroba yang dapat mematikan mikroorganisme sehingga mempunyai efek permanen dan irreversible. Klasifikasi antimikroba yang lain menurut Dwijoseputro (1990) adalah berdasarkan efektivitas kerjanya terhadap berbagai mikroorganisme, yaitu: (1) antimikroba berspektrum luas yaitu antimikroba yang efektif terhadap berbagai jenis mikroorganisme. (2) antimikroba berspektrum sempit yaitu antimikroba yang efektif terhadap mikroorganisme tertentu. Beberapa antimikroba dapat bersifat mikrobisidal dibawah kondisi tertentu dan bersifat mikrobistatik pada kondisi lainnya. setiap bakteri uji memiliki sifat spesifik yang berhubungan dengan sensitifitas dan daya tahan hidup pada berbagai faktor lingkungan dan serangan dari senyawa yang bersifat antagonis. Sensitifitas bakteri terhadap bakteriosin merupakan karakteristik intrinsik dari setiap galur tergantung pada kondisi media (Leal-Sanchez et al.,2002). Efektifitas bakteriosin 12 juga tergantung pada jenis dan konsentrasi bakteriosin serta jumlah populasi dari bakteri uji (Nurliana,1997). Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba menurut Pelczar dan Chan (1986), McKane dan Kandel (1985), serta Woods dan Church (1999) yaitu : (1) konsentrasi atau intensitas antimikroba; (2) jumlah mikroorganisme (semakin banyak jumlah mikroorganisme dalam bahan pangan maka dibutuhkan waktu yang lebih lama atau dosis yang lebih tinggi untuk mencapai level dekontaminasi); (3) spesies mikroorganisme (setiap spesies menunjukkan kerentanan yang berbeda-bedaterhadap antimikroba); (4) fase pertumbuhan mikroorganisme; (5) kondisi lingkungan berupa suhu, pH, kelembaban (mikroorganisme yang terdapat pada bahan pangan dengan pH asam dapat dimusnahkan pada suhu yang lebih rendah dan dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan mikroorganisme yang sama di lingkungan basa); dan (6) lama penyimpanan bahan pangan. Asam Organik Asam organik dalam bahan pangan dapat berfungsi sebagai pengawet, sementara garamnya atau ester dapat menjadi antimikroba yang efektif pada pH mendekati netral (Roller, 2003). Terbentuknya asam laktat dan asam organik oleh bakteri asam laktat dapat menyebabkan penurunan pH. Akibatnya mikroba yang tidak tahan terhadap kondisi pH yang relatif rendah akan terhambat (Fardiaz, 1992). Aktivitas asam-asam lipofilik seperti asam laktat dan asam asetat dalam bentuk tidak terdisosiasi dapat menembus sel mikroba dan pada pH intraseluler yang lebih tinggi, berdisosiasi menghasilkan ion-ion hidrogen dan mengganggu fungsi metabolik essensial seperti translokasi substrat dan fosforilasi oksidatif dengan demikian mereduksi pH intraseluler. Jenie (1996) menyatakan bahwa akumulasi produk akhir asam yang rendah pH-nya menghasilkan penghambatan yang luas terhadap gram positif maupun gram negatif. Asam lemah dapat menurunkan pH sitoplasma, mempengaruhi struktur membran dan fluiditasnya, serta mengkelat ion-ion dinding sel bakteri (Stratford,2000). Penurunan pH sitoplasma akan mempengaruhi protein struktural sel, enzim-enzim, asam nukleat dan fosfolipid membran (Davidson dan Branen,1993). Molekul asam lemah yang tidak bermuatan (HA) dapat masuk melalui membran plasma. Anion (A-) dan proton (H+) akan terbentuk dalam sel, selanjutnya 13 proton yang berlebih di dalam sitoplasma akan dikeluarkan oleh enzim ATP-ase yang terdapat pada membran (Garbutt,1997). Hidrogen Peroksida Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan salah satu substrat antimikroba yang dihasilkan oleh bakteri. Hidrogen peroksida murni tidak berwarna, berbentuk cairan seperti sirup dan memiliki bau yang menusuk. Senyawa ini dapat terdekomposisi menjadi air dan oksigen. Pada suhu ruang dekomposisi H2O2 berjalan lambat. Perubahan kondisi lingkungan seperti pH dan suhu mempengaruhi kecepatan H2O2 terdekomposisi. Dengan kenaikan suhu, keefisienan dalam menghancurkan bakteri meningkat tetapi kecepatan terdekomposisinya juga semakin cepat (Branen et al., 1993). Hidrogen peroksida secara umum memiliki spektrum penghambatan yang luas, meliputi bakteri, kapang, khamir, virus, dan mikroorganisme penghasil spora. Hidrogen peroksida lebih efektif dalam menghambat bakteri anaerobik karena kekurangan enzim katalase, yang mampu merusak peroksida (Davidson dan Branen,1993). Beberapa strain dari bakteri asam laktat menghasilkan H2O2 pada kondisi pertumbuhan yang aerobik dimana disebabkan kekurangan cellular catalase, pseudocatalase atau peroxidase. Strain bakteri asam laktat terpaksa melepaskan zatzat H2O2 kedalam lingkungan tumbuhnya untuk memproteksi diri dari adanya antimikrobial agen. Strain lainnya yang dapat menghasilkan zat-zat itu pada kondisi pertumbuhan yang baik, cukup H2O2 untuk merangsang adanya fungsi bakteriostatik dan sedikit bakteriosidal. H2O2 merupakan agen oksidasi dan dapat dipakai sebagai zat antimikrobial yang dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteria, fungi dan virus (bacteriophage). Pada kondisi sedikit oksigen (microaerophilic) akan menghasilkan sedikit H2O2 oleh strain bakteri ini (Ray, 1992). Reaksi pembentukan H2O2 akan mengikat oksigen sehingga membentuk suasana anaerob yang membuat tidak nyaman bakteri aerob (Surono,2004). Fungsi H2O2 sebagai antimikroba tergantung pada kemampuan oksidatifnya. Kemampuan untuk mengoksidasi menyebabkan perubahan tetap pada sistem enzim sel mikroba. Kemampuan bakterisidal dari H2O2 beragam tergantung pH, konsentrasi, suhu, waktu, dan tipe serta jumlah mikroorganisme. Pada kondisi tertentu spora bakteri ditemukan paling resistan terhadap H2O2, diikuti dengan bakteri gram positif. Bakteri 14 yang paling sensitif terhadap H2O2 adalah bakteri gram negatif, terutama koliform (Davidson dan Branen,1993). Lactobacillus spp. Genus Lactobacillus spp. merupakan Gram positif, tidak berspora dan bergerak dengan peritrikus flagella. Lactobacillus spp. bersifat anaerob fakultatif dan kadang-kadang mikrofilik, dapat tumbuh dengan adanya oksigen tetapi lebih baik dibawah kekurangan oksigen (Bergeys Manual, 2002). Beberapa spesies Lactobacillus spp. dapat digolongkan sebagai BAL homofermentatif dan heterofermentatif (Buckle et al, 1987). Menurut Ray (2001), Lactobacillus spp. banyak ditemukan pada tanaman, susu, daging dan juga feses. Mayoritas dari jenis Lactobacillus spp. digunakan dalam proses pembuatan makanan dan beberapa digunakan sebagai probiotik. Bentuk bakteri ini dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1.Bentuk Bakteri Lactobacillus spp. (Sumber : www.wikipedia.com) Beberapa spesies dapat tumbuh pada suhu rendah misalnya penyimpanan produk dalam refrigerator. Beberapa strain menghasilkan bakteriosin yang dapat digunakan sebagai pengawet makanan. Menurut Fardiaz (1992), kelompok Lactobacillus mempunyai bentuk batang yang panjang, katalase negatif dan tergolong bakteri Gram positif. Lactobacillus plantarum 1A5 Lactobacillus plantarum merupakan salah satu jenis BAL homofermentatif dengan temperatur optimal lebih rendah dari 370C (Frazier dan Westhoff, 1988). L. plantarum berbentuk batang (0,5-1,5 s/d 1,0-10 _m) dan tidak bergerak (non motil). 15 Bakteri ini memiliki sifat katalase negatif, aerob atau fakultatif anaerob, mampu mencairkan gelatin, cepat mencerna protein, tidak mereduksi nitrat, toleran terhadap asam, dan mampu memproduksi asam laktat. Dalam media agar, L. plantarum membentuk koloni berukuran 2-3 mm, berwarna putih opaque, conveks, dan dikenal sebagai bakteri pembentuk asam laktat (Kuswanto dan Sudarmadji, 1988). Hasil penelitian Permanasari (2008) menunjukkan bahwa jenis isolat BAL Lactobacillus plantarum 1A5 tergolong dalam Gram positif yang memiliki bentuk batang dengan susunan rantai atau tunggal. Isolat BAL Lactobacillus plantarum 1A5 sendiri merupakan isolat bakteri asam laktat kelima dari daging sapi pasar Anyar Bogor dengan umur 9 jam postmortem pada suhu ruang. Permanasari (2008) melakukan penelitian mengenai penghambatan asam organik dari isolat BAL Lactobacillus plantarum 1A5 terhadap ketiga bakteri uji, yaitu Staphylococcus aureus, Salmonella thypimurium dan Eschericia coli, dan dari rataan diameter zona hambat yang terbentuk dari substrat antimikroba 12 isolat bakteri asam laktat lainnya. Isolat BAL Lactobacillus plantarum 1A5 mempunyai penghambatan yang paling baik terhadap ketiga bakteri uji dan memiliki nilai total asam tertitrasi cukup tinggi yang berbanding lurus terhadap nilai pH. Hasil konfrontasi dari 12 isolat BAL yang digunakan menunjukkan bahwa isolat Lactobacillus plantarum 1A5 memiliki aktivitas penghambatan yang paling baik dilihat dari nilai MIC atau konsentrasi minimum penghambatan. MIC (Minimum Inhibitory Concentration) merupakan konsentrasi minimum yang dapat menghambat pertumbuhan lebih dari 90%. L. plantarum mampu merombak senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan hasil akhirnya yaitu asam laktat. Menurut Buckle et al. (1978) asam laktat dapat menghasilkan pH yang rendah pada substrat sehingga menimbulkan suasana asam. L. plantarum dapat meningkatkan keasaman sebesar 1,5 sampai 2,0% pada substrat (Sarles et al., 1956). Dalam keadaan asam, L. plantarum memiliki kemampuan untuk menghambat bakteri pathogen dan bakteri pembusuk (Delgado et al., 2001). Bentuk bakteri ini dapat dilihat pada Gambar 2. 16 Gambar 2. Bentuk Bakteri L. plantarum (Sumber : www.geneferm.com) Pertumbuhan L. plantarum dapat menghambat kontaminasi dari mikrooganisme pathogen dan penghasil racun karena kemampuannya untuk menghasilkan asam laktat dan menurunkan pH substrat, selain itu BAL dapat menghasilkan hidrogen peroksida yang dapat berfungsi sebagai antibakteri (Suriawiria, 1983). L. plantarum juga mempunyai kemampuan untuk menghasilkan bakteriosin yang berfungsi sebagai zat antibiotik (Jenie dan Rini, 1995). Bakteriosin Sejumlah strain bakteri tertentu mampu menghasilkan substansi protein, biasanya memiliki bobot molekul yang kecil yang mampu menghambat bakteri lain, secara umum substansi ini dikenal dengan nama bakteriosin (Tannock, 1999). Bakteri asam laktat secara alami menghasilkan bakteriosin yaitu suatu senyawa protein yang mempunyai aktivitas antimikrobial misalnya melawan patogen pencemar makanan (foodborne) dan organisme berspora lainnya. Bakteri asam laktat memproduksi bakteriosin yang menguntungkan bagi kesehatan manusia dan termasuk dalam GRAS (Generally Recognized as Safe) yang merupakan pendekatan baru untuk mengkontrol mikroba patogen dalam bahan pangan. Bakteriosin merupakan peptida antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba spesies lain baik strain bakteri Gram positif maupun Gram negatif yang biasanya berkerabat dekat dengan spesies penghasil bakteriosin tersebut (Savadogo et al, 2006). Bakteriosin dari bakteri asam laktat dikenal sebagai bahan pengawet alami yang tidak membahayakan atau yang disebut dengan biopreservative. Hal ini karena bakteriosin tersebut dapat didegradasi oleh enzim 17 protease dalam saluran pencernaan. Bakteriosin merupakan molekul protein atau peptida ekstraseluler yang mempunyai aksi bakterisidal atau bakteriostatik terhadap bakteri yang mempunyai kekerabatan dekat. Bakteriosin bersifat irrevesible, mudah dicerna, berpengaruh positif terhadap kesehatan, aktif pada konsentrasi rendah dan pada bakteri asam laktat biasanya digunakan sebagi biopreservatif makanan. Nisin merupakan bakteriosin yang pertama kali diproduksi secara komersial sebagai pengawet pangan. Bakteri Patogen Jenis bakteri yang dapat mengkontaminasi makanan terbagi menjadi dua jenis yaitu bakteri yang menyebabkan makanan menjadi rusak atau disebut bakteri perusak dan bakteri yang menyebabkan keracunan pada manusia atau disebut bakteri patogen. Penularan bakteri terhadap manusia melalui dua cara, yaitu : (1) intoksikasi, makanan mengandung toksin yang dihasilkan bakteri yang tumbuh di dalam makanan tersebut, dan (2) infeksi, penyakit yang disebabkan oleh masuknya bakteri kedalam tubuh melalui makanan yang telah terkontaminasi dan adanya reaksi dari tubuh terhadap keberadaan suatu metabolit-metabolit yang dihasilkan bakteri yang bersifat patogen dan digunakan sebagai tolak ukur untuk mengetahui besarnya tingkat aktivitas antimikroba (Suriawiria, 2005) Bakteri patogen dibedakan menjadi dua bagian berdasarkan sifat pewarnaan garam yaitu Gram positif dan Gram negatif. Bakteri Gram positif adalah bakteri yang memberikan respon berwarna biru jika dilakukan uji pewarnaan Gram sedangkan bakteri Gram negatif memberikan respon berwarna merah (Suriawiria, 2005). Kelompok bakteri Gram positif diantaranya adalah S. aureus dan sedangkan bakteri Gram negatif diantaranya adalah E. coli dan Salmonella spp. Berikut penjelasan singkat mengenai sifat-sifat bakteri tersebut: Staphylococcus aureus Bakteri ini termasuk famili micrococcaceae, berbentuk bulat dengan ukuran diameter 0,8-1,0 mikron, membentuk pigmen berwarna kuning keemasan, bersifat Gram positif, tidak membentuk spora dan katalase positif (Fardiaz, 1992). Sebagian dari galur Staphylococcus aureus bersifat koagulase positif (mampu mengkoagulase plasma darah) dapat memproduksi enterotoksin yang dapat menimbulkan keracunan 18 makanan (Frazier dan Westhoff, 1988). Bakteri ini bersifat anaerob fakultatif, dengan bentuk tunggal, berpasangan, rantai pendek atau bergerombol seperti anggur, non motil, tidak membentuk spora (Fardiaz, 1992). Koloni pada media agar berbentuk bundar, licin, berwarna jingga hingga putih, berkilauan, menonjol dan menyebar serta membutuhkan thiamin dan asam nicitinat untuk pertumbuhannya. Suhu optimium, minimum dan maksimum untuk pertumbuhan bakteri berturut-turut 37°C, 6,7 C dan 45,5 °C (Fardiaz,1992). Bakteri ini tumbuh pada 4,0-8,0 dengan pH optimum 7-7,5, dan tetap dapat tumbuh dengan baik pada media dengan konsentrasi NaCl 7,5%. Bakteri ini mempunyai waktu generasi 27-30 menit. Staphylococcus aureus adalah suatu bakteri penyebab keracunan yang memproduksi enterotoksin. Bakteri ini ditemukan pada makanan yang mengandung protein tinggi misalnya daging, telur dan sebagainya (Fardiaz,1989). Staphylococcus aureus disebarkan oleh para pengelola pangan, selama pemasakan dan penyiapannya. Pengolahan pangan dengan tangan, yang tidak menggunakan peralatan yang memadai merupakan cara penyebaran yang paling umum, terutama jika orang yang menangani pangan tersebut mengalami infeksi atau luka pada pada tangannya. Staphylococcus aureus ada di dalam saluran tenggorokan, yaitu hidung dan kerongkongan. Dari sini organisme mudah dipindahkan ke kulit, terutama tangan dan rambut (Gamman dan Sherington,1992). Bentuk bakteri ini dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Bentuk Bakteri S. aureus (Sumber : www.wikipedia.com) 19 Escherichia coli Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang, termasuk dalam famili Enterobactericeae. Bakteri ini mempunyai ukuran panjang 2,0-6,0 mikron sering terdapat dalam bentuk tunggal atau berpasangan, bersifat motil atau non motil dengan flagella peritrikat dan bersifat anaerobik fakultatif. Kisaran suhu pertumbuhannya adalah 10-40° C dengan suhu optimum 37° C. Nilai pH medium optimum pertumbuhannya 7,0-7,5 (Fardiaz, 1992). Escherichia coli termasuk mikrorganisme tidak menguntungkan pada keadaan normal (Gaman dan Sherrington, 1992). Escherichia coli disebut juga koliform fekal karena ditemukan dalam saluran usus hewan dan manusia. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi E.coli meliputi diare tanpa pendarahan, hemorrhagic colitis, hemolytic ureamic syndrome (HUS) dan thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP). Beberapa orang yang diduga terinfeksi bahkan tidak menunjukan gejala yang sama (Doyle et al, 1997). Escherichia coli dipakai sebagai organisme indikator, karena jika terdapat dalam jumlah yang banyak menunjukkan bahwa pangan atau air telah mengalami pencemaran (Gamman dan Sherington,1992). Holt et al (1994), menambahkan bahwa E. coli merupakan mikroorganisme anaerobik fakultatif, memilki metabolisme respiratori dan fermentatif, D-glukosa dan pengkatalase karbohidrat dengan formasi asam dan gas. Bentuk bakteri ini dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Bentuk Bakteri E. coli (Sumber : www.wikipedia.com) 20 Salmonella spp. Salmonella spp. merupakan bakteri pathogen yang berbahaya. Selain dapat menyebabkan gastrointestinal, Salmonella spp. juga dapat menyebabkan demam tifus dan paratifus (Fardiaz, 1992). Salmonella merupakan bakteri Gram Negatif yang tidak berspora serta tidak toleran terhadap garam tinggi (Jay, 2000). Bentuk bakteri ini dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Bentuk Bakteri Salmonella (Sumber : www.wikipedia.com) Spesies Salmonella yang menggunakan tubuh manusia sebagai inang antara lain S. typhumurium, S. paratyphi, S. schottmuelleri, dan S. hirschfeldi dengan gejala klinis akan tampak setelah 8-72 jam (Brandly et al., 1968). Kondisi pertumbuhan Salmonella spp. dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kondisi Pertumbuhan Salmonella spp. Parameter Minimum Maksimum pH 3,8 9,5 aw 0,94 >0,99 Sumber : ICMSF (1996) disitir Blackburn dan McClure (2002) 21