Bab V PENUTUP A. Kesimpulan Dari penelitian ini penulis akan mengurai beberapa poin tentang filsafat menurut Deleuze, sinema menurut Deleuze, relasi filsafat dan sinema menurut Deleuze. 1. Deleuze memahami filsafat sebagai ontologi dan apa yang diciptakan filsafat adalah konsep. Dalam hal ini berarti jika Deleuze menetapkan keberadaan filsafat aktivitas penciptaan konsep, maka Deleuze secara tidak langsung sedang mengupayakan ontologi tentang konsep. 2. Konsep menurut Deleuze dibentuk melalui peristiwa dan menjadi peristiwa yang bergejala di atas tataran tertentu. Deleuze menyebut tataran filsafat adalah tataran imanensi yang tidak lain adalah kehidupan itu sendiri. Deleuze memahami tataran imanensi atau kehidupan sebagai tataran absolut yang tidak memiliki batas. Deleuze dengan demikian tidak percaya bahwa ada hari akhir dalam kehidupan ini. 3. Mengacu pada What is Philosophy? Deleuze mengatakan bahwa filsafat itu sendiri adalah seni membentuk, menemukan dan merajut konsepkonsep. Tugas filsafat melalui para filsuf adalah membuat konsep yang selalu baru. Deleuze menyebut para filsuf sebagai persona konseptual. Persona konseptual adalah figur potensial yang tahu benar mana konsep 96 yang lemah dan tidak bisa bertahan maupun konsep yang kuat, relevan dan kontekstual. 4. Untuk sinema, Deleuze memahami sinema sebagai sistem terbuka. Sinema adalah sistem terbuka yang ditopang oleh gerak dan waktu, namun demikian, gerak dan waktu dalam sinema adalah representasi tersendiri. Adapun presentasi sinema, baik dalam periode klasik atau modernnya, bagi Deleuze selalu hadir bersama dengan imaji. Deleuze menyebut imajigerak dan imaji-waktu. Imaji inilah yang menjadi hakikat sinema, yang tanpanya sinema tidak akan pernah ada. Kemudian sebagai seni, sinema sebagaimana seni lain, juga mencoba mengekstrak afek dan persep menjadi sejumlah sensasi. 5. Menurut Deleuze relasi antara sinema dan filsafat adalah relasi antara imaji dan konsep. Walaupun demikian secara internal tetap ada hubungan dengan imaji dalam konsep itu sendiri, dan hubungan konsep dalam imaji: sinema, misalnya, selalu berusaha untuk mengkonstruksikan imaji pemikiran, mekanisme pemikiran. Hal ini tidak lantas membuatnya jadi abstrak, justru sebaliknya. Bagi Deleuze setiap bidang tanpa terkecuali antara sinema dan filsafat yang berelasi dengan cara beresonansi. Beresonansi berarti tidak bersentuhan secara aktual, namun secara virtual, yakni melalui imaji pemikiran. Keduanya berelasi seperti gelombang, di mana antara satu dan yang lain tak ada yang lebih unggul dan lebih rendah. Keduanya memiliki potensialitas untuk memberikan warna pada kehidupan. 97 B. Saran Kajian tentang filsafat dan sinema relatif baru. Bagi penulis mencari relasi keduanya adalah satu langkah yang tepat, namun demikian penulis juga mengakui bahwa ada beberapa hal yang terpaksa dilewati karena batasan penelitian, misalnya, detail sejarah sinema, teori sinema dan beberapa filsuf lain di luar jalur Bergson. Penelitian semacam ini masih sangat terbuka untuk dilakukan, sebab, walaupun Deleuze cukup intensif mengamati fenomena sinematografis di sepanjang abad ke-20, namun sasarannya masih terlalu kanonik, alias sinemasinema yang diakui oleh otoritas tertentu. Kemudian karena Deleuze terlalu fokus pada aspek-aspek intrinsik sinema, Deleuze jadi mengabaikan aspek material di luar sinema. Aspek yang penulis maksud adalah aspek industrial. Hal ini persisnya berkaitan langsung dengan diskursus ekonomi-politik dalam sinema. Dalam kenihilan ini, membaca sinema dalam konteks lain, misalnya Marxian adalah sebuah kerja yang layak dicoba, terlebih di Indonesia. 98