2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta yang dibatasi oleh garis bujur 106°20’00” BT hingga 107°03’00” BT dan garis lintang 5°10’00”LS hingga 6°10’00” LS yang membentang dari Tanjung Pasir di bagian Barat hingga Tanjung Karawang di bagian Timur dengan panjang pantai ± 89 Km. Panjang garis yang menghubungkan kedua Tanjung tersebut melalui Pulau Air Besar dan Pulau Damar adalah sekitar 21 mil laut (Arifin, 2004). Secara administratif, perairan laut Jakarta berbatasan dengan Kabupaten Bekasi (Propinsi Jawa Barat) di sebelah timur dan Kabupaten Tangerang (Propinsi Banten) di sebelah barat (Anggraeni, 2002) Perairan Teluk Jakarta yang dikategorikan sebagai perairan pantai (Coastal Water) mempunyai peranan yang sangat besar di berbagai sektor, antara lain sektor perhubungan, perdagangan, perikanan, pariwisata dan lainnya. Kegiatan berbagai sektor yang sedemikian banyak dan tidak terkendali tentunya akan menurunkan tingkat kualitas perairannya (BPLHD DKI Jakarta, 2006). Teluk Jakarta juga merupakan tempat bermuaranya 13 sungai yang melewati kota Jakarta dan kota-kota lain di wilayah Jabodetabek yang tentunya akan membawa berbagai limbah baik dari pembuangan sampah, industri maupun rumah tangga serta kegiatan lainnya, sehingga perairan ini menerima beban pencemaran yang cukup berat. Di lain pihak, Teluk Jakarta juga merupakan tempat bagi nelayan melakukan kegiatan penangkapan ikan dan usaha budidaya 4 5 yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Provinsi DKI Jakarta (BPLHD DKI Jakarta, 2006). Teluk Jakarta dipengaruhi oleh musim Barat (hujan) dari bulan DesemberFebruari dan musim Timur dari bulan Juni-Agustus, serta dua musim peralihan, yaitu musim peralihan satu dari penghujan ke musim kemarau (Maret-Mei) dan peralihan dua dari musim kemarau ke musim hujan (September-November). Pada musim Barat angin berhembus kencang dan arus kuat bergerak dari barat daya hingga barat laut disertai hujan yang cukup deras. Arus yang kuat dengan kecepatan mencapai 4-5 knot (mil/jam) dan tinggi gelombang dapat mencapai 2 meter mengakibatkan kejernihan air laut berkurang. Pada musim Timur angin bertiup dari arah timur sampai tenggara dengan kecepatan 0,7-15 knot/jam. Pada musim peralihan kondisi laut berubah-ubah namun relatif tenang (Sub Balai Konservasi SDA DKI Jakarta, 1995). 2.2. Total Padatan Tersuspensi (TSS) TSS terdiri atas material anorganik dan organik, material anorganik berasal dari proses pelapukan batuan yang ditranspor melalui sungai dan udara dan yang berasal dari dalam laut itu sendiri. Burton dan Liss (1976) dalam Sanusi (2006) mengatakan bahwa produk pelapukan dari darat yang ditranspor ke laut melalui sungai mencapai jumlah 1,8 x 1016 gram/tahun, sedangkan melalui udara sebesar 1 – 5 x 1014 gram/tahun. Batas diameter padatan tersuspensi adalah ≥ 0,45 µm, terlarut jika diameternya < 0,2 µm dan koloid jika diameternya diantara 0,2 µm 0,45 µm (Sanusi, 2006). Adapun material organik berasal dari partikel planktonik (fito- dan zooplankton, bakteri, dan detritus). Disamping itu, ada pula material sisa kejadian vulkanik, hasil reaksi kimia (mangan; besi oksida; alumunium; 6 silika) (Clark, 2002 in Sutherland, 2006). Tinggi rendahnya konsentrasi TSS akan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari pada kolom air, sehingga selanjutnya berdampak terhadap proses fotosintesis sehingga fotosintesis tidak berlangsung sempurna. Sebaran zat padat tersuspensi di laut antara lain dipengaruhi oleh masukan yang berasal dari darat melalui aliran sungai, ataupun dari udara dan perpindahan karena resuspensi endapan akibat pengikisan (Tarigan dan Edward, 2003). 2.3. Klorofil-a Klorofil adalah kelompok pigmen fotosintesis yang menyerap cahaya biru, dan merah, serta merefleksikan cahaya hijau. Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan (Clark, 2002 in Sutherland, 2006). Di perairan laut, konsentrasi klorofil-a lebih tinggi pada perairan pantai dan pesisir, serta menjadi rendah di perairan lepas pantai karena adanya suplai nutrien dalam jumlah besar melalui run-off dari daratan melalui sungai, namun pasokan nutrien tersebut semakin berkurang seiring menjauhi pantai. Walaupun demikian, pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dapat pula dijumpai klorofil-a dalam konsentrasi tinggi yang disebabkan adanya fenomena up-welling, dimana massa air dari lapisan dalam yang mengandung nutrien tinggi naik ke lapisan permukaan (Septiawan, 2006). Fitoplankton memiliki klorofil yang berperan dalam proses fotosintesis untuk menghasilkan bahan organik dan oksigen dalam air yang kemudian berperan sebagai dasar mata rantai pada siklus makanan di laut. Namun fitoplankton tertentu dapat pula menurunkan kualitas perairan laut apabila jumlahnya sangat berlebih (blooming), dimana selanjutnya dapat menyebabkan berbagai akibat 7 negatif bagi ekosistem perairan, seperti berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat menyebabkan kematian berbagai makhluk air lainnya (Wiadnyana, 1996). 2.4. Marak Alga Marak alga (algae blooms) adalah suatu fenomena meledaknya populasi fitoplankton di suatu perairan yang dapat menyebabkan penurunan drastis kadar oksigen (< 2 mg/l), sehingga menyebabkan kematian massal biota air. Jika ledakan populasi fitoplankton yang diikuti dengan keberadaan jenis fitoplankton beracun akan menimbulkan ledakan populasi alga berbahaya (Harmful Algae Blooms). HABs merupakan fenomena alami yang saat ini terus meningkat di berbagai perairan dunia. Terjadinya HABs di suatu wilayah biasanya membahayakan lingkungan dan menurunkan perekonomian akibat toksin yang dihasilkan (Sidharta, 2005). Toksin yang dihasilkan HABs dapat mengkontaminasi manusia melalui perantara kerang dan ikan (Aunurohim et al., 2008). Toksin yang dihasilkan oleh organisme penyebab HABs dikenal dengan nama phycotoxin. Phycotoxin sendiri diproduksi oleh alga sebagai mekanisme pertahanan biologi terhadap predator (Sidharta, 2005). Faktor yang dapat memicu ledakan populasi fitoplankton berbahaya antara lain karena adanya eutrofikasi, upwelling yang mengangkat massa air kaya unsurunsur hara, adanya hujan lebat dan masuknya air ke laut dalam jumlah yang besar (Wiadnyana, 1996). Banyaknya nutrien dapat memicu HABs, termasuk kotoran dan buangan hewan, deposisi atmosfer, dan masukan air tanah dari aktifitas pertanian dan pupuk. Sumber lain yaitu adanya industri akuakultur (tambak) yang banyak terdapat di pesisir laut (Anderson et al., 2002). 8 2.5. MODIS MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer adalah sensor yang dipasang pada satelit Terra dan Aqua yang dirancang oleh Earth Observing System (EOS), NASA untuk menyediakan observasi global mengenai daratan, lautan dan atmosfer dalam waktu jangka panjang (Ahmad et al., 2002). Satelit Terra mengorbit bumi dari utara ke selatan melewati ekuator di pagi hari, sedangkan Aqua bergerak dari selatan ke utara melewati ekuator pada siang hari. Terra MODIS dan Aqua MODIS mengambil gambar seluruh permukaan bumi setiap 1 hingga 2 hari, dimana data yang direkamnya terdiri atas 36 band dengan spektral panjang gelombang berkisar dari 0.4 µm hingga 14.4 µm, yang terdiri dari 3 resolusi spasial, yaitu 250m (2 band), 500m (5 band) dan 1000m (29 band) (Tarigan, 2008). Data tersebut dapat meningkatkan pemahaman mengenai dinamika global dan proses-proses yang terjadi di daratan, lautan, dan pada atmosfer. MODIS berperan penting dalam mengembangkan sistem model interaktif bumi yang mampu memprediksi perubahan global dengan akurasi yang cukup tinggi, serta membantu untuk mengambil kebijaksanaan dalam membuat keputusan untuk memproteksi lingkungan. Spesifikasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1 (NOAA). 9 Tabel 1. Spesifikasi Satelit Terra dan Aqua-MODIS Orbit 705 km, 10:30 descending node (Terra) dan 13:30 ascending node (Aqua), sun-synchronous, dekat kutub, sirkuler Kecepatan pengamatan 20.3 rpm melewati lintasan Dimensi sapuan 2330 km (melewati lintasan), 10 km (melintas dekat nadir) Teleskop 17.78 cm diameter Ukuran dan berat 1.0 x 1.6 x 1.0 m ; 228.7 kg Daya 162.5 W (rata-rata per orbit) Kecepatan data 10.6 Mbps (puncak siang hari); 6.1 Mbps (rata-rata di orbital) Kuantifikasi 12 bit Resolusi spasial 250 m (kanal 1-2), 500 m (kanal 3-7), 1000 m (kanal 8-36) Umur 6 tahun Sumber : NOAA (2009) 2.6. Pengukuran Total Padatan Tersuspensi Dengan Citra Satelit Penginderaan jauh telah memegang peranan penting untuk inventarisasi, monitoring dan pengelolaan wilayah pesisir melalui kemampuannya memberikan gambaran sinopsis dari wilayah tersebut (Ambarwulan et al., 2003). Citra satelit merupakan salah satu hasil dari teknologi penginderaan jauh yang dapat menggambarkan secara detail kenampakan di bumi. Salah satu aplikasinya adalah dapat mempelajari kualitas air di suatu perairan terbuka. Kualitas perairan memiliki penetrasi cahaya yang berbeda pada daerah tertentu yang dapat diketahui dengan teknik multispektral (Barret dan Curtis, 1982). Kualitas suatu perairan yang dapat dipelajari menggunakan citra satelit diantaranya adalah konsentrasi padatan tersuspensi. Seluruh tubuh perairan secara alami mengandung bahan 10 tersuspensi yang terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik. Menurut Clark (2002) in Sutherland (2006) padatan tersuspensi organik sendiri terdiri dari partikel planktonik (zooplankton dan fitoplankton), algae, bakteri dan detritus (dekomposisi dari zooplankton, fitoplankton, dan tumbuhan makro). Padatan tersuspensi dapat dipantau dengan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan model statistik. Sifat optik laut dapat dilihat berdasarkan pembentuk warna perairan. Berdasarkan materi pembentuk warna perairan, maka perairan dibagi menjadi dua, yakni (Robinson, 1985): kasus I merupakan daerah perairan lepas pantai (oseanik) yang jernih dengan komponen utama yang mempengaruhi sifat optik atau biooptik air laut adalah pigmen-pigmen fitoplankton (khususnya klorofil-a); dan kasus II merupakan perairan turbid di daerah pesisir, dimana sifat optik air laut kemungkinan besar didominasi oleh material sedimen (suspended material), material organik (yellow substances) dan material lainnya. Pada perairan kasus II, material tersebut membuat banyaknya perbedaan daya serap dan pantul dari gelombang elektromagnetik yang dipancarkan terhadap perairan dan waktu yang berbeda. Penentuan koefisien absorpsi dan fungsi hamburan (scattering) pada perairan kasus II sangat sulit (Fischer dan Doerffer, 1987). Salah satu penyebabnya adalah berbedanya koefisien nilai absorpsi material-material yang terdapat pada perairan kasus II (Gambar 1) serta kurang rincinya resolusi spasial untuk daerah pesisir dan muara sungai (Meaden dan Kapetsky, 1991). 11 Gambar 1. Koefisien absorpsi normal untuk klorofil ( ), yellow substance (…) dan padatan tersuspensi (---) berdasarkan panjang gelombang (Fischer dan Doerffer, 1987). Warna air laut dan partikel tersuspensi di suatu perairan dapat dideteksi oleh berbagai spektrum gelombang elektromagnetik. Salah satunya adalah spektrum gelombang cahaya tampak yang berkisar pada panjang gelombang 390-740 nm (Bukata et al.,1995 in Sutherland, 2006), namun hal tersebut bergantung pada intensitas cahaya. Intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif dengan bertambahnya lapisan air. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yang mengakibatkan kolom perairan yang jernih akan terlihat berwarna biru. Metode pengukuran total padatan tersuspensi dengan citra satelit bersifat lokal. Artinya bahwa algoritma suatu perairan belum tentu dapat digunakan di perairan lain. Setidaknya terdapat beberapa algoritma yang digunakan dengan citra satelit yang berbeda yaitu algoritma empiris yang didasarkan hubungan antara nilai digital citra dan nilai radian atau nilai reflektansi (Sulma et al., 2005). Model algoritma empiris pendugaan parameter kualitas air dibuat dengan terlebih 12 dahulu mengetahui kanal yang sensitif dan kanal yang tidak sensitif terhadap parameter yang akan diamati. Pemilihan kanal yang sesuai untuk mengembangkan model atau algoritma dilakukan dengan cara meregresikan data digital dari rasio kanal yang potensial menduga kualitas air tersebut. Pada data MODIS, kanal yang sesuai untuk digunakan untuk memantau parameter kualitas air antara lain kanal 1 dan 2 (untuk resolusi spasial 250 m), dua kanal (kanal 3 dan 4) (459-565 nm) pada resolusi spasial 500 m, dan 9 kanal (kanal 8-19) (visibelinframerah dekat) pada resolusi spasial 1000 m (O’Reilly et al., 1998 in Prasasti et al., 2005). 2.7. Pengukuran Klorofil-a Dengan Citra Satelit Penginderaan jauh dapat digunakan untuk mengukur konsentrasi klorofil dan pola sebarannya dalam suatu perairan. Sebagaimana dengan pengukuran sedimen tersuspensi, penginderaan klorofil dalam air didasarkan pada pengembangan hubungan antara reflektansi kanal atau rasio kanal dengan klorofil. Satelit penginderaan jauh telah berhasil mendeteksi marak alga pada perairan skala besar dengan menggunakan citra satelit MODIS dengan resolusi spasial 1 km. Untuk perairan pesisir digunakan citra satelit MODIS dengan resolusi medium (250 dan 500 km) (Kahru et al., 2005). Data reflektansi terkoreksi dari MODIS kanal 1 (620-670 nm), 2 (841-876 nm), 3 (459-479 nm) dan 4 (545-565 nm) digunakan untuk membuat sebaran marak alga (Kahru et al., 2005). Hubungan linier antara klorofil-a dan energi hamburan alga muncul terutama pada panjang gelombang 700-705 nm dan klorofil-a memiliki nilai absorpsi pada panjang gelombang 390-680 nm (Ritchie dan Cooper, 2000). 13 Gambar 2. Grafik nilai absorbsi klorofil-a dan klorofil-b pada panjang gelombang tampak (Ritchie dan Cooper, 2000). Warna laut didefinisikan sebagai radians atau energi gelombang elektromagnetik yang keluar dari permukaan air laut pada panjang gelombang tampak (400- 700 nm). Energi tersebut dipengaruhi oleh zat-zat terlarut dalam air seperti total pigmen (perjumlahan antara konsentrasi klorofil-a dan faeofitin-a), bahan organik dan anorganik yang tersuspensi (seston) dan lain-lain (Barale, 1986; Holigan et al., 1989; Wouthuyzen, 1991 in Tarigan, 2008). Komponen utama yang mempengaruhi sifat optik-biooptik air laut di daerah lepas pantai adalah pigmen–pigmen fitoplankton (khususnya klorofil-a). Klorofil-a merupakan parameter kualitas air yang sifat optisnya paling kuat dan memiliki peranan yang penting dalam penentuan tingkat kesuburan suatu perairan. Menurut Curran (1985) in Prasasti et al (2005), pigmen seperti klorofil-a memiliki sifat absorbansi yang tinggi pada kanal biru dan merah dengan puncaknya masing-masing pada kisaran 430 nm dan 665 nm. Pantulan maksimum terjadi pada kanal hijau, karena klorofil-a tidak menyerap radiasi gelombang elektromagnetik pada saluran ini. Puncak absorbsi klorofil terhadap cahaya (Gambar 2) terjadi pada kisaran panjang gelombang 425-450 nm dan 665- 14 680 nm (Yentsch, 1980; Grahme, 1987 in Prasasti et al., 2005 ). Pemilihan kanal yang sesuai untuk mengembangkan model algoritma klorofil-a dilakukan dengan cara meregresikan data digital dari rasio kanal. Salah satu model algoritma untuk menduga konsentrasi klorofil-a perairan Teluk Jakarta (Wouthuyzen dkk, 2006 in Tarigan, 2008) adalah : y = 250.09x3 - 106.92x2 + 11.781x + 0.0776 dimana: y adalah sebaran klorofil-a x adalah kromatisiti merah = (ND band merah)/(ND band merah + ND band hijau + ND band biru)