Buku Perjalanan Semua Mendayung

advertisement
PERJALANAN
MENDAYUNG BERSAMA
Buku 2 - 65 tahun Pdt. Dr. Einar M. Sitompul
Binsar J. Pakpahan (editor)
Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta
2014
i
PERJALANAN SEMUA MENDAYUNG
Buku 1 - 65 tahun Pdt. Dr. Einar M. Sitompul
Copyright 2014 UPI STT Jakarta & HKBP Menteng
Diterbitkan oleh
Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta
Jalan Proklamasi 27, Jakarta Pusat 10320
Telp. (021) 390.4237 ext. 109
Email: [email protected]
dan HKBP Menteng, Jl. Jambu No. 46
Jakarta Pusat
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Cetakan ke-1: 2014
Penyunting: Binsar J. Pakpahan
Tata Letak: Binsar J. Pakpahan
Desain Sampul: Aulia Putri
Katalog dalam Terbitan
UPI STT Jakarta / Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta
ISBN
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISIiii
KATA PENGANTAR EDITORvii
SAMBUTAN EPHORUS HKBP xi
SAMBUTAN Sekretaris Umum PGI xiv
BAGIAN SATU: TEOLOGI AGAMA-AGAMA DAN
DIALOG ANTARUMAT
SAUDARA DEKAT YANG JAUH, ATAU SAUDARA JAUH YANG DEKAT?
Abraham Silo Wilar3
ISLAM POST NATION-STATE Ahmad Suaedy17
MASA DEPAN AGAMA-AGAMA DI INDONESIA
Abubakar Mashyur Jusuf Roni34
ABRA(HA)M, BAPA PELINTAS BATAS Anwar Tjen42
DARI PERBEDAAN MERAJUT KEBERSAMAAN Darius Dubut
65
BERDEBAT, BERDIALOG, BERSAKSI ATAU BERCERITA?
Darwin Lumbantobing72
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
MAJEMUK Djoys Karundeng Rantung83
MEMBANGUN SALING PENGERTIAN AGAMA ABRAHAM
Erick J. Barus103
TANTANGAN DAN PELUANG DALAM KONFLIK PENDIRIAN RUMAH
BADAH Favor Adelaide Bancin111
AGAMA UNTUK PERDAMAIAN GLOBAL Hamka Haq
122
DIALOG ANTARIMAN: MENYAHABATI orang asing DAN ESTETIKA
KETIDAKTAHUAN Joas Adiprasetya 135
iii
AGAMA DAN HIKMAT DALAM PENDIDIKAN KRISTIANI
Lukman Tambunan144
PROBLEMATIKA KERUKUNAN DALAM MASYARAKAT PLURALISTIK
Lydia Siahaan158
TEOLOGI DAN STUDI AGAMA-AGAMA Martin Lukito Sinaga
172
AGAMA UNTUK PERDAMAIAN Musdah Mulia183
MERAGUKAN KLAIM INDONESIA SEBAGAI NEGARA
PALING TOLERAN DI DUNIA
Victor Silaen192
MEMPERKOKOH TOLERANSI Yenny Zannuba Wahid
212
BAGIAN DUA: INJIL DAN KEBUDAYAAN
BATAK DALAM DIALOG ANTAR IMAN DAN POLITIK DI INDONESIA
Berlian T.P. Siagian221
KRISIS IDENTITAS DALAM PERJUMPAAN INJIL DAN ADAT
Gomar Gultom234
ORANG JAWA SANGAT MENGEDEPANKAN RASA
Ign. Gatut Saksono244
RAJA PATIK TAMPUBOLON: TEOLOGI HABATAHON
J. R. Hutauruk263
KRISTUS DAN KEBUDAYAAN Marko Mahin 283
SIKAP MASYARAKAT TAPANULI MENGKRITISI ROH PERADABAN
Nelson F. Siregar304
BAGIAN TIGA: AGAMA DAN MASYARAKAT
MERAJUT KEMBALI NILAI-NILAI GOTONG ROYONG DALAM
MASYARAKAT PLURALIS Antony Sihombing327
KOK SEMUA BENAR? Binsar J. Pakpahan340
MELETAKKAN IMAN DI PUSAT KEADILANCarla Natan
iv
354
ETOS DAN ETIKA KRISTEN DEWASA INI Jansen Sinamo 371
GEREJA DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
Jusen Boangmanalu391
PELAYANAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT GEREJA DI INDONESIA
SEBAGAI SEBUAH PROSES PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN
Mangisi S. E. Simorangkir411
BOLEHKAH GEREJA BERPOLITIK? Martongo Sitinjak
426
MISIONAR SPIRIT Maruasas S.P. Nainggolan
440
SESI PSIKOLOGI PADA PROGRAM PELAJARAN SIDI
DI HKBP MENTENG Melissa Mangunsong & Frieda M. Siahaan 457
DOSA, KEJAHATAN DAN ETIKA Rainy MP Hutabarat
464
PERANAN GURU PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DAN
IMPLEMENTASINYA TERHADAP PAUD Rita Hutagalung-Sihite
472
ETIKA PEMBANGUNAN Soegeng Hardiyanto478
SERVANT LEADERSHIP SEBAGAI SEBUAH TEROBOSAN
KEPEMIMPINAN ABAD KE-21 Yuniar P Sihombing-Simorangkir 485
BAGIAN EMPAT: MENGENAL SANG GURU DAN
KOLEGA
SI ANAK KAYA DARI PEKANBARU Bilman Simanungkalit
499
Makna bab terakhir sebuah buku Binsar Nainggolan503
PENDETA TELADAN DI JAMAN EDAN Daniel T. A Harahap
509
MENGENAL PDT. DR. EINAR M. SITOMPUL Esther R. Sitorus514
SANG PEMBAHARU Hotman Charles Siahaan
520
BAGAIMANA KITA MENYELESAIKAN HIDUP? Luhut P. Hutajulu
536
KAU HAPALKAN AJA BUKU SEJARAH SUCI DAN ALMANAK,
KAU UDAH LULUS ITU! Franciska Marcia Julianti Silaen
543
v
TERUSLAH MELAYANI DAN BERKARYA SAMPAI AKHIR: MEMAKNAI
SEBUAH TANTANGAN Pirmian Tua Dalan (PTD) Sihombing 552
PENGGERAK GERAKAN OIKOUMENE YANG TAK PERNAH LELAH
Weinata Sairin565
DAFTAR PENULIS570
vi
134
1
TEOLOGI AGAMA-AGAMA
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
11
Daftar Acuan
Al-Bukhariy, Shahih al-Bukhariy. 1987/1407H. Bab Yuqatal'anahl
al-dzimmah Beyrut: Dar Ibn Katsir al-Yarnamah.
alDahlawiy, Syah Waliyullah. t. t. Hujjatullah alBalighah. Beyrut:
Dar alMa' rifah.
AlJazairiy, 'Abd alRahman.
1406 H. AIFiqh 'ala alMadzahib
alArbaab. Beyrut: Dar alKutub alIlmiyah.
Al-Qufry, Akhbar al- 'Ulama' bi Akhyar ai-Hukama'.
al-Qurthubiy, Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar.
Tafiir AI-Qur·thubiy. Al-Qahirah: Dar al-Sya'b.
al-Qurthubiy,
Muhammad.
1372 H. Tafiir al-Qurthubiy. alQahirah: Dar al-Sya'b.
AlSyafi' iy.. 1403 H. AIUmm. Beyrut: Dar alFikr.
bin Abi Bakr Ayyub al-Zariy, Muhammad; Abu Abdillah;
Ahmad al-Bakriy dan SyakirTawfiq al-t Aruriy. 1997/1418
Ahkam Ahl al-Dzimmah. Beyrut: Dar Ibn Hazm.
bin Habib al-Bahsriy, Al-Rubay'. 1415H. Musnan al-Rubay',
Dar al-Hikrnat, Maktabat al-Istiqamah.
bin Habib al-Bashriy, Al-Rubay.
1415 H. Musnad
Beyrut: Dar al-Hkmah.
bin Hanbal, Ahmad. t.t. Musnad Imam Ahmad Mishr: Mu'
Qurthubah.
bin Syua"iyb Abu Abd al-Rahrnan al-Nasa'iy, Ahmad, 1411 H.
Sunan al-Kubra. Beyrut: Dar al-Kutub al-Tlrniyah.
Madjid, Nureholish.
1983. "Cita-cita Politik Kita" dalam
Carvallo dan Dasrizal, Ed., Aspirasi Umat Islam 1
Jakarta: LAPPENAS.
Malik, Imam. t.t. Al-Muuratbtha', Kitab al-Libas. Mishr: Dar
al-Turats al- 'Arabiy.
Muslim, Shahih. 1806. Kitab ai-Fadhail.
Muslim, Shahih. Lt. Shahih Muslim. Beyrut: Dar Ihya' al-Turats
'Araby.
Sjadzali, Munawir. 1999. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI
1.u.-.f\,U/fJ1J
DIALOG ANTARIMAN
Menyahabati Orang Asing dan Estetika
Ketidaktahuan
1
foas Adiprasetya'
Menyahabati Orang Asing
.OJ dalam khazanah teologi Kristen, terna "menyahabati
orang
asing" atau yang lebih kerap dikenal dengan istilah "hospitalitas"
telah menjadi sebuah area penjelajahan yang sangat kaya dan marak
di tahun-tahun belakangan." Tema tersebut telah dimanfaatkan
oleh para teo log kontemporer untuk terlibat seeara kreatif dan
imajinatif dengan beragarn dimensi kehidupan,
termasuk juga
isu kemajemukan agama (Bethune 2010, Grob and Roth
2, Kearney and Taylor 2011, Moyaert 2011, Yong 2008). Saya
tidak bermaksud untuk mengulangi apa yang telah dibahas seeara
luas oleh para pernikir tersebut; karena itu saya akan membatasi
untuk membahas isu hospiralitas dalam kaitan dengan dialog
dengan meletakkan tiga tesis utama.
1 Artikel ini rnerupakan
rerjernahan
dan revisi dari makalah yang
pad a Diskusi Panel "Interfaith Dialogue in a Plural Society: The
from Indonesia," di UC Berkeley, CA, Amerika Serikar (25 Nopember
ursaiuuauvau
13) dan di Simon Frazer University, Vancouver, Canada (27 November 2013).
2 Memeroleh gelar Doctor of Thcology dari Boston University, Pendeta
Kristen Indonesia
Pondok Indah, Kcrua SIT
Jakarta periode 2011-2016,
dihubungi di [email protected].
3 Kata Yunani untuk
'~UIUIIl'.'UJ
"hospiraliras"
aclalah phiJoxenia, yang merupakan
dari dua kata Yunani lain, yaitu philia (kasih persahabatan)
asing).
dan xenos
35
136
I
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
Tesis yang pertama adalah bahwa tindakan
menyahabati orang
asing atau hospitalitas harus dilibat sebagai sebuah komitmen etis
terhadap sang liyan sebagai orang asing. Sebagai sebuah kornitmen
etis, hospitalitas mendahului percakapan dialogis. Tesis ini penting
dikedepankan untuk memahami secara proporsional kaitan antara
tindakan menyahabati orang asing yang beriman lain dan proyek
dialog dengan orang yang beriman lain tersebut. Apa yang ingin
saya katakan adalah bahwa kita tak mungkin berdialog dengan
orang asing, selain bahwa kita menyahabati mereka terlebih dahulu
dan menjalani dialog sebagai orang asing yang telah menjadi
sahabat. Argumen ini telah disampaikan
pula, rnisalnya, oleh
James Fredericks dari perspektif teologi komparatif. Fredericks
percaya bahwa persahabatan antaragama harus mendahului dialog
antaragama dan, lebih penting lagi, ia harus mendahului teologi
agama-agama (theoLogia religionum) (Fredericks 1999).
Dengan dernikian, jika hospitalitas sebagai sebuah kornitmen
menyahabatiorangasingdapatdipahamisebagaipraktikmenciptakan
ruang (making space) bagi orang lain, maka ia harus pertama-tama
dilakukan sebelum terjadinya kemungkinan
pertukaran wacana.
Dengan kata lain, praksis menyahabati orang asing beriman lain
tarnpak lebih konkret ketimbang logos di dalam dialog antariman ..
Akibatnya, dialog antariman apa pun yang tidak muncul dari sebuah
tindakan hospitalitas yang otentik akan dengan mudah menjadi
sebuah percakapan superfisial antara dua atau lebih orang asing.
Gejala ini tampaknya dengan mudah kita jumpai di dalam
banyak proyek dialog antariman yang disponsori oleh pemerintah
Republik Indonesia. Atas nama usaha "kerukunan
antarumat
beragama," para perneluk agama yang berbeda di- "rukun" -kan
dengan diperternukan dan diberi ruang percakapan, tanpa pertamatam a muncul relasi persahabatan yang otentik di antara para
peserta pertemllan tersebur. Lazimnya, bahkan, para peserta adalah
pemirnpin-pernimpin
a'gama yang telah begitu loaded dengan beban
dan kepentingan kelompok religiusnya masing-masing. Sebaliknya,
saya sungguh percaya bahwa dialog antariman yang berlangsung di
TEOLOGI AGAMA-AGAMA
11 37
dalam ruang aman yang tercipta berkat komitmen hospiralitas akan
memberi kepastian bahwa para sahabat yang berbeda iman tersebut
akan berdialog secara sehat dan akan muncul pula proses salingmenyuburkan (cross-poLlination) antara sahabat-sahabat bani yang
tadinya merupakan orang asing saw terhadap yang lain.
Argumen bahwa tindakan menyahabati orang asing yang
berbeda iman harus mendahului dialog antariman didasari oleh
sebuah penghargaan yang lebih mendalam pada partikularitas
masing-masing
tradisi keagamaan,
yang memang
tak boleh
ditenggelamkan ke dalam dan diabdikan di bawah kerangka religius
dari agal11alain. Saya mengamati bahwa hal inilah yang terjadi pada
tiga buah rnodel klasik ada di dalam apa yang lazim disebut sebagai
tipologi tripolar, yaitu eksklusivisme, inklusivisme, dan plural isme.
Terkait dengan eksklusivisme, talc ada yang perlu dibicarakan secara
mendalam, sebab dengan mudah kita melihat bahwa model ini
sangat menghormati
partikularitas agama sendiri dan menegasi
semaksimal mungkin partikulariras agama Lain. Dengan demikian,
eksldusivisme mengabaikan pentingnya menyahabati orang dari
agal11alain dengan terlarnpau menekankan ke-asing-an (strangerness) orang beragarna lain sampai pada tirik di mana orang asing
menjadi monster atau xenos rnenjadi barbaros.
Inklusivisrne dan pluralisme kerap diajukan sebagai alternatif
-terhadap eksklusivisme. Memang, sepintas kedua model ini terkesan
lebih terbuka pada partikularitas agama lain. Akan tetapi, apa yang
terjadi pada kedua model ini sesungguhnya adalah kecenderungan
yang sangat kuat untuk mernasukkan pemeluk agama lain ke dalam
kerangka religius agama tertenru; dan kerap hal ini dilakukan j ustru
atas nama penghargaan pada agama lain. Dengan melakukan hal ini,
mereka membuang jauh-jauh ke-asing-an (stranger-ness) dari orangorang beragama lain.
Pada rulisan singkat ini saya tidak merniliki cukup ruang
untuk mendiskusikan usulan konstruktif saya sendiri, yang dapat
diternukan di dalam buku saya, An Imayinatiue Glimpse (Adipraserya
20l3). Oleh karena itu saya hanya ingin menetapkan secara singkat
"
"': ...
~,.~
i
,
138
I
TEOLOGI AGAMA-AGAMA
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
keyakinan saya bahwa komitmen dan rindakan menyahabati orang
asing harus mernpertahankan ketegangan antara sikap kepada orang
beragama lain sebagai "orang asing" dan "sahabat." Status mereka
sebagai orang asing-atau
status kita sebagai orang asing di mata
orang berbeda iman-tidaklah
bilang begitu saja ketika kedua pihak
menjadi sahabat satu terhadap yang lain. Tentu saja, persahabatan
yang baru tercipta akan menciptakan pula ruang yang menyehatkan
bagi dialog personal, namun tetap saja ke-asing-an dari sahabatsahabat baru itu tetaplab ada dan mengundang kita untuk justru
mengakui mereka sebagai "rnisteri' yang tak dapat kita rengkuh dan
genggam sepenuhnya.
Orang Asing di Luar dan di dalam Diri Kita
Tesis kedua yang saya usulkan adalah bahwa tindakan
menyahabati orang asing melibatkan setidaknya dua proses simultan
yang berlaleu bail, bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Di satu
sisi, adalah benar bahwa seseorang yang beriman lain menjadi
orang asing bagi saya, sebagaimana saya adalah orang asing bagi
dia. Namun, di sisi lain, seseorang dapat pula lebih dalam lagi
menyadari bahwa ternyata "orang asing" itu ada di dalam did kira
masing-masing. Ternyata, ada sudut-sudut gelap di dalam diri kita .,
sendiri yang tak kita kenali sepenuhnya, asing bagi kita. Tak jarang
kita sampai pada sebuah titik kesadaran bahwa kita ternyata asing
terhadap did kita sendiri. Kesadaran semacam ini sesungguhnya
telah banyak dipercakapkan
di banyak disiplin ilmu. Asumsi
antropologis yang dapat diajukan adalah bahwa seorang manusia
ternyata tidak pernah merniliki sebuah identitas yang tunggal dan
tuntas. Ia ternyata harus terus bergumul dengan identitas yang
majemuk dan dinamis (Cooper-White 2011). Dengan rnengakui
kernajemukan atau multiplisitas identitas kita sendiri, kita diundang
untuk mengakui bahwa ada "orang-orang asing" yang berdiam di
dalam hidup batiniah kita sendiri, yang tak jarang kita alami lebih
asing bagi kita ketimbang orang-orang lain di sekitar kita. Dalam ,
hal ini, benarlah apa yang ditegaskan oleh Julia Kristeva, "Orang
asing hidup di dalam diri kita: ia merupakan wajah tersembunyi ,
1
dari identitas kita, ruang yang menghancurkan rumah kita, waktu di
mana pemahaman dan keterikatan pudar" (Kristeva 1991, 1). Bagi
Kristeva, pengakuan pada orang-orang asing di dalam diri seseorang
akan memampukan orang tersebut untuk mengakui dan menerima
orang-orang asing di luar dan di sekitamya.
Tesis kedua ini sangat penting untuk menjaga kita dari
kecenderungan untuk terlampau meromantisasi hospitalitas sebagai
sebuah tindakan menyahabati orang asing, sebagaimana telah dicatat
di dalam tesis yang pertama. Ternyata, kehadiran orang lain sebagai
orang asing sangat rnungkin memaksa kim untuk berhadapan
dengan orang-orang asing yang ada di dalarn diri kita sendiri.
Kesadaran akan hadirnya orang asing di dalam diri kira
merniliki implikasi yang penting bagi dialog antariman. Kerika
kita memasuki ruang clialogis dengan mereka yang berbeda irnan,
sangadah mungkin bagi kita untuk mengalami sebuah perjumpaan
dengan "orang asing" di dalam diri kira sendiri. Dengan cara iru,
orang asing di hadapan kita justru membantu kita untuk rnakin
mengenali diri kita sendiri, rnakin mengenali orang asing di dalam
diri kita.
Estetika Ketidaktahuan
Tesis ketiga muncul sebagai akibat dari tesis kedua, yaitu
dengan melihat Yang Ilabi sebagai "Ia Yang Sepenuhnya Asing" (the
Wholly Stranger). Imajinasi imani dan teologis untuk memandang
Allah sebagai "Ia Yang Sepenuhnya Asing" ini selaras dengan tradisi
rnistis (teologi negatif atau apofatik) di dalam kekristenan, yang
mungkin dapat kira temukan paralelnya di dalam tradisi-rradisi
keagamaan lainnya, misalnya Sufisme dalam Islam. Tradisi mistis
ini ingin menghargai Yang Ilahi sebagai yang senantiasa melampaui
apa pun yang mampu manusia bayangkan dan pahami, terrnasuk
dengan mengabaikan
keyakinan-keyakinan
dan pemahaman
yang dirniliki sebelumnya tentang Yang Ilahi. Dengan dernikian,
saya memahami bahwa perjumpaan kita dengan orang asing di
hadapan kita dan orang asing di dalam diri kita berkorelasi secara
esretik dan imajinatif dengan "perjurnpaan" kita dengan "Ia Yang
139
140
1
PERJALANAN:
SEMUA MENDAYUNG
Sepenuhnya Asing" di lunr kita. Tesis ketiga dengan dcmikian dapat
dirumuskan demikian: Dialog antariman sebagai sebuah peristiwa
memahami orang lain yang beriman lain harus dibatasi-atau
lebih tepat, direngkuh-oleh
ketidaktahuan kita pada orang lain,
setepatnya karena kita ketidakmarnpuan kita untuk mengenali Allah
sepenuhnya.
Dengan mernperrautkan
dialog antariman sebagai sebuah
perjumpaan
dari orang-asing-yang-menjadi-sahabat
pada Allah
sebagai "Ia Yang Sepenuhnya Asing," kita diingatkan untuk sunggllh
berhati-hari pada bahaya yang sungguh buruk untuk menggenggam
orang lain ke dalam kerangka religius kira. Pengakuan pada
keindahan dari ketidakmampuan
kita memahami clan mengenali
Allah clengan clemikian harus diikuti oleh pengakuan pada keindahan
dari keridakmarnpuan kita memahami clan mengenali orang lain.
Dalam hal ini saya mengusulkan sebuah modus yang lebih estetik
dari dialog antariman.
Tentulah liS ulan ini akan tam pak lebih abstrak ketimbang
gagasan mengenai
dialog antariman;
sernentara
komitmen
menyahabati orang asing itu sendiri lebih konkret daripada dialog
antar iman. Jadi, kita rnendapati tiga gagasan yang dapat saling
memberi makna, rnulai dari yang paling konkrer menuju yang
paling absrrak: menyahabati orang asing, dialog antariman, dan
estetika ketidaktahuan. Dialog antariman dengan demikian tepat
berada di antara kedua gagasan lainnya. Mengapa gagasan ten tang
estetika ketidaktahuan
(the esthetics of unknowing) penting bagi
dialog antariman? Sebab, tanpanya dialog yang kita gagas dengan
mudah akan menjadi sebuah percakapan yang kering dan tak
lagi menggairahkan. Kerika tak ada lagi misteri yang melampaui
pemahaman kira, sernua menjacli serba jelas dan serba bening.
Dengan memahami Allah sebagai "Ia Yang Sepenuhnya Asing"
(the Whoily Stranger) saya tidak bermaksud untuk memakai apa yang
pernah dipromosikan oleh Immanuel Kant clan yang kemudian
diadopsi oleh banyak pernikir pluralis, seperti John Hick dan kawankawan. Mereka dengan mudahnya membuat pemisahan antara
TEOLOGI AGAMA-AGAMA
1141
Allah sebagai Allah yang noumennl (Allah pada diri-Nya sendiri)
dan Allah yang secara jellomenai
dipahami oleh agama-agama.
Sebaliknya, berlawanan clengan model pluralisme scrnacarn ini, saya
mengusulkan sebuah cara berpikir yang mernahami bahwa apa pun
yang saya katakan tentangAllah dan orang beragama lain merupakan
perspektif saya yang sangat partikular sifatnya, dan karenanya saya
melarang diri untuk rnerelatifkan perspektif-perspektif lain ke dalam
kerangka religius saya atau ke bawah payung konseptual saya.
Estetika
ketidaktahuan
IIll
menuntut
kita
untuk
mengekspresikan keindahannya melalui bahasa mctafora. Karena
itu, saya mengusulkan bahwa metafora rerbaik unruk menghormati
ketidaktahuan kita pada orang beragama lain ini, yang sungguh haws
senantiasa dijaga cli clalam setiap mornen dialog, adalah mctafora
perangkulan (embrace). Berbeda clengan peminggiran (excfusioll) clan
penggenggaman (illdllSioll) - keduanya mengandaikan superioriras
satu pihak terhaclap pihak lain - saya percaya bahwa metal-ora
perangkulan lebih konsisten dengan undangan unruk mendekari
keinclahan (atau misteri) orang lain yang berirnan lain, yang
memang tetap tak rerpaharni, bahkan serelah orang-orang asing
tersebut menjacli para sahabar. Atau dengan kara lain, rncreka tidak
berhenti menjadi orang-orang asing sekalipun rnereka kini mcnjadi
sahabat-sahabat.
Semen tara metafora perangkulan ini cliusulkan dan dijelaskan
secara indah oleh Miroslav Volf (Volf 1996), cara lain untuk
rnengekspresikan hal ini clapat dijumpai di dalam karya cemerlang
Mayra Rivera, The Touch of Transcendence (Rivera 2007). Rivera
menandaskan _ bahjwa
keticlakmungkinan
mengerahui
dan
memahami Allah yang Transenclen - the uulenoioing - dapat dijawab
melalui kernungkinan menyentuh
tanpa menggenggam orangorang lain yang hadir secara transenden cli hadapan kira. Jadi, kita
tak lagi melihat Allah yang Transenden sebagai sebuah realitas
extracosntic terlepas dari perjumpaan dengan orang-asing-sahabat
sebagai sebuah realitas iutmcosmic. Allah dijumpai di clalam wajah
sesarna manusia yang. Akan tempi, sekalipun mcrepresenrasikan
142
1
TEOLOGI AGAMA-AGAMA
PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG
Allah Yang Transendcn, misteri dari orang lain tersebut tetaplah tak
tersibak sepenuhnya, dan tctap tarnpil di hadapan kita sebagai yang
tak terpahami narnun sekaligus yang indah (the beautiful unkuotou),
Kebaikan, Kebenaran, dan Keindahan
Dengan menafsirkan dialog antariman baik dari perspekrif
menyahabati orang asing dan estetika ketidaktahuan,
semoga
pembaca dapat memahami dengan lebih jernih srruktur dari usulan
imajinatif saya. Di dalam pembedaan klasik antara kebenaran
(truth), kebaikan (goodness), dan keindahan (beauty) yang senantiasa
rnuncul di dalam teologi Kristen, mungkin saya dapat mengatakan
secara urnum bahwa dialog antariman terhisab ke dalam dirnensi
logis dad kebenaran (logos), sementara hospitalitas atau komitmen
menyahabati Ol'ang asing menunjuk pada dimensi eris dari kebaikan
(praksis) dan estetika ketidaktahuan
pada dimensi keindahan
(pneuma). Sementara ketiga dimensi ini saling melengkapi, saya
percaya bahwa dialog antariman hanya dapat muncul di dalam
ruang dialogis yang mendewasakan yang tercipta berkat komitmen
untuk menyahabati orang asing; dan pada gilirannya keduanya
terbit di dalam cakrawala misteri estetis dari ketidakmarnpuan
kita memahami sesama beriman lain. Semuanya, pada akhirnya,
mungkin dapat dieja lewat bagan berikut ini
MENYAHABATI
ORANG ASING 01
DEPAN DAN 01
DALAM orR! KITA
PERCAKAPAN
OIALOGIS DENGAN
SAHABAT
MISTERl
ALLAH DAN
ORANG LAIN
Hospitalitasl
Menyambut
Dialog/Bercakap-cakap
Perangkulanl
Menyentuh
Kebaikan -Etis
Kebenaran-Logis
Keindahan-
Esrerik
Praksis
Logos
Pneuma
1
Daftar Acuan
Adipraserya, Joas. 2013. An irnagillalive glimpse: The trinity and
multiple religiousparticipations, Princeton theological monograph
series. Pickwick: Eugene, OR.
Bethune, Pierre-Francois de. 2010. Interreligious hospitality: The
fUlfil11lleltt of dialogue, Monastic interreligious dialogue series.
Collegeville, MN: Liturgical Press.
Cooper-White, Pamela. 2011. Braided selves: Collected essays Oil
multiplicity, God and perso1lS.Eugene, OR: Cascade Books.
Fredericks, James L. 1999. Faith amongfoiths: Christian theology and
non-Christian religions. New York: Paulist Press.
Grob, Leonard, and John K. Roth. 2012. Encountering the stranger:
A Jewish-Christian-Muslim trialogue, the Stephen S Weinstein
seriesill post-Holocaust studies. Seattle: University of Washington
Press.
Kearney, Richard, and James Taylor, eds. 2011. Hosting the stmnger:
Between religions. New York: Continuum.
Kristeva, Julia. 1991. Strangers to 011 rselues, European perspectives.
New York: Columbia University Press.
Moyaert, Marianne. 2011. Fragile identities: Toumrds a theology of
interreligious hospitality, Currents of encounter. Amsterdam &
New York: Rodopi.
Rivera, Mayra. 2007. 77Je touch of transcendence: A postcolonial
theology of God. 1st ed. Louisville: Westminster John Knox
Press.
Volf, Miroslav. 1996. Exclusion and embrace: A theological exploration
of identity,. otherness, and reconciliation. Nashville: Abingdon
Press.
Yong, Amos. 2008. Hospitality and the other: Pentecost; Christian
practices, and the neighbor, Faith meets foith series. Maryknoll,
NY: Orbis Books.
143
Download