PERJALANAN MENDAYUNG BERSAMA Buku 2 - 65 tahun Pdt. Dr. Einar M. Sitompul Binsar J. Pakpahan (editor) Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta 2014 i PERJALANAN SEMUA MENDAYUNG Buku 1 - 65 tahun Pdt. Dr. Einar M. Sitompul Copyright 2014 UPI STT Jakarta & HKBP Menteng Diterbitkan oleh Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta Jalan Proklamasi 27, Jakarta Pusat 10320 Telp. (021) 390.4237 ext. 109 Email: [email protected] dan HKBP Menteng, Jl. Jambu No. 46 Jakarta Pusat Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Cetakan ke-1: 2014 Penyunting: Binsar J. Pakpahan Tata Letak: Binsar J. Pakpahan Desain Sampul: Aulia Putri Katalog dalam Terbitan UPI STT Jakarta / Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta ISBN ii DAFTAR ISI DAFTAR ISIiii KATA PENGANTAR EDITORvii SAMBUTAN EPHORUS HKBP xi SAMBUTAN Sekretaris Umum PGI xiv BAGIAN SATU: TEOLOGI AGAMA-AGAMA DAN DIALOG ANTARUMAT SAUDARA DEKAT YANG JAUH, ATAU SAUDARA JAUH YANG DEKAT? Abraham Silo Wilar3 ISLAM POST NATION-STATE Ahmad Suaedy17 MASA DEPAN AGAMA-AGAMA DI INDONESIA Abubakar Mashyur Jusuf Roni34 ABRA(HA)M, BAPA PELINTAS BATAS Anwar Tjen42 DARI PERBEDAAN MERAJUT KEBERSAMAAN Darius Dubut 65 BERDEBAT, BERDIALOG, BERSAKSI ATAU BERCERITA? Darwin Lumbantobing72 PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MAJEMUK Djoys Karundeng Rantung83 MEMBANGUN SALING PENGERTIAN AGAMA ABRAHAM Erick J. Barus103 TANTANGAN DAN PELUANG DALAM KONFLIK PENDIRIAN RUMAH BADAH Favor Adelaide Bancin111 AGAMA UNTUK PERDAMAIAN GLOBAL Hamka Haq 122 DIALOG ANTARIMAN: MENYAHABATI orang asing DAN ESTETIKA KETIDAKTAHUAN Joas Adiprasetya 135 iii AGAMA DAN HIKMAT DALAM PENDIDIKAN KRISTIANI Lukman Tambunan144 PROBLEMATIKA KERUKUNAN DALAM MASYARAKAT PLURALISTIK Lydia Siahaan158 TEOLOGI DAN STUDI AGAMA-AGAMA Martin Lukito Sinaga 172 AGAMA UNTUK PERDAMAIAN Musdah Mulia183 MERAGUKAN KLAIM INDONESIA SEBAGAI NEGARA PALING TOLERAN DI DUNIA Victor Silaen192 MEMPERKOKOH TOLERANSI Yenny Zannuba Wahid 212 BAGIAN DUA: INJIL DAN KEBUDAYAAN BATAK DALAM DIALOG ANTAR IMAN DAN POLITIK DI INDONESIA Berlian T.P. Siagian221 KRISIS IDENTITAS DALAM PERJUMPAAN INJIL DAN ADAT Gomar Gultom234 ORANG JAWA SANGAT MENGEDEPANKAN RASA Ign. Gatut Saksono244 RAJA PATIK TAMPUBOLON: TEOLOGI HABATAHON J. R. Hutauruk263 KRISTUS DAN KEBUDAYAAN Marko Mahin 283 SIKAP MASYARAKAT TAPANULI MENGKRITISI ROH PERADABAN Nelson F. Siregar304 BAGIAN TIGA: AGAMA DAN MASYARAKAT MERAJUT KEMBALI NILAI-NILAI GOTONG ROYONG DALAM MASYARAKAT PLURALIS Antony Sihombing327 KOK SEMUA BENAR? Binsar J. Pakpahan340 MELETAKKAN IMAN DI PUSAT KEADILANCarla Natan iv 354 ETOS DAN ETIKA KRISTEN DEWASA INI Jansen Sinamo 371 GEREJA DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP Jusen Boangmanalu391 PELAYANAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT GEREJA DI INDONESIA SEBAGAI SEBUAH PROSES PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN Mangisi S. E. Simorangkir411 BOLEHKAH GEREJA BERPOLITIK? Martongo Sitinjak 426 MISIONAR SPIRIT Maruasas S.P. Nainggolan 440 SESI PSIKOLOGI PADA PROGRAM PELAJARAN SIDI DI HKBP MENTENG Melissa Mangunsong & Frieda M. Siahaan 457 DOSA, KEJAHATAN DAN ETIKA Rainy MP Hutabarat 464 PERANAN GURU PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DAN IMPLEMENTASINYA TERHADAP PAUD Rita Hutagalung-Sihite 472 ETIKA PEMBANGUNAN Soegeng Hardiyanto478 SERVANT LEADERSHIP SEBAGAI SEBUAH TEROBOSAN KEPEMIMPINAN ABAD KE-21 Yuniar P Sihombing-Simorangkir 485 BAGIAN EMPAT: MENGENAL SANG GURU DAN KOLEGA SI ANAK KAYA DARI PEKANBARU Bilman Simanungkalit 499 Makna bab terakhir sebuah buku Binsar Nainggolan503 PENDETA TELADAN DI JAMAN EDAN Daniel T. A Harahap 509 MENGENAL PDT. DR. EINAR M. SITOMPUL Esther R. Sitorus514 SANG PEMBAHARU Hotman Charles Siahaan 520 BAGAIMANA KITA MENYELESAIKAN HIDUP? Luhut P. Hutajulu 536 KAU HAPALKAN AJA BUKU SEJARAH SUCI DAN ALMANAK, KAU UDAH LULUS ITU! Franciska Marcia Julianti Silaen 543 v TERUSLAH MELAYANI DAN BERKARYA SAMPAI AKHIR: MEMAKNAI SEBUAH TANTANGAN Pirmian Tua Dalan (PTD) Sihombing 552 PENGGERAK GERAKAN OIKOUMENE YANG TAK PERNAH LELAH Weinata Sairin565 DAFTAR PENULIS570 vi 134 1 TEOLOGI AGAMA-AGAMA PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG 11 Daftar Acuan Al-Bukhariy, Shahih al-Bukhariy. 1987/1407H. Bab Yuqatal'anahl al-dzimmah Beyrut: Dar Ibn Katsir al-Yarnamah. alDahlawiy, Syah Waliyullah. t. t. Hujjatullah alBalighah. Beyrut: Dar alMa' rifah. AlJazairiy, 'Abd alRahman. 1406 H. AIFiqh 'ala alMadzahib alArbaab. Beyrut: Dar alKutub alIlmiyah. Al-Qufry, Akhbar al- 'Ulama' bi Akhyar ai-Hukama'. al-Qurthubiy, Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar. Tafiir AI-Qur·thubiy. Al-Qahirah: Dar al-Sya'b. al-Qurthubiy, Muhammad. 1372 H. Tafiir al-Qurthubiy. alQahirah: Dar al-Sya'b. AlSyafi' iy.. 1403 H. AIUmm. Beyrut: Dar alFikr. bin Abi Bakr Ayyub al-Zariy, Muhammad; Abu Abdillah; Ahmad al-Bakriy dan SyakirTawfiq al-t Aruriy. 1997/1418 Ahkam Ahl al-Dzimmah. Beyrut: Dar Ibn Hazm. bin Habib al-Bahsriy, Al-Rubay'. 1415H. Musnan al-Rubay', Dar al-Hikrnat, Maktabat al-Istiqamah. bin Habib al-Bashriy, Al-Rubay. 1415 H. Musnad Beyrut: Dar al-Hkmah. bin Hanbal, Ahmad. t.t. Musnad Imam Ahmad Mishr: Mu' Qurthubah. bin Syua"iyb Abu Abd al-Rahrnan al-Nasa'iy, Ahmad, 1411 H. Sunan al-Kubra. Beyrut: Dar al-Kutub al-Tlrniyah. Madjid, Nureholish. 1983. "Cita-cita Politik Kita" dalam Carvallo dan Dasrizal, Ed., Aspirasi Umat Islam 1 Jakarta: LAPPENAS. Malik, Imam. t.t. Al-Muuratbtha', Kitab al-Libas. Mishr: Dar al-Turats al- 'Arabiy. Muslim, Shahih. 1806. Kitab ai-Fadhail. Muslim, Shahih. Lt. Shahih Muslim. Beyrut: Dar Ihya' al-Turats 'Araby. Sjadzali, Munawir. 1999. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI 1.u.-.f\,U/fJ1J DIALOG ANTARIMAN Menyahabati Orang Asing dan Estetika Ketidaktahuan 1 foas Adiprasetya' Menyahabati Orang Asing .OJ dalam khazanah teologi Kristen, terna "menyahabati orang asing" atau yang lebih kerap dikenal dengan istilah "hospitalitas" telah menjadi sebuah area penjelajahan yang sangat kaya dan marak di tahun-tahun belakangan." Tema tersebut telah dimanfaatkan oleh para teo log kontemporer untuk terlibat seeara kreatif dan imajinatif dengan beragarn dimensi kehidupan, termasuk juga isu kemajemukan agama (Bethune 2010, Grob and Roth 2, Kearney and Taylor 2011, Moyaert 2011, Yong 2008). Saya tidak bermaksud untuk mengulangi apa yang telah dibahas seeara luas oleh para pernikir tersebut; karena itu saya akan membatasi untuk membahas isu hospiralitas dalam kaitan dengan dialog dengan meletakkan tiga tesis utama. 1 Artikel ini rnerupakan rerjernahan dan revisi dari makalah yang pad a Diskusi Panel "Interfaith Dialogue in a Plural Society: The from Indonesia," di UC Berkeley, CA, Amerika Serikar (25 Nopember ursaiuuauvau 13) dan di Simon Frazer University, Vancouver, Canada (27 November 2013). 2 Memeroleh gelar Doctor of Thcology dari Boston University, Pendeta Kristen Indonesia Pondok Indah, Kcrua SIT Jakarta periode 2011-2016, dihubungi di [email protected]. 3 Kata Yunani untuk '~UIUIIl'.'UJ "hospiraliras" aclalah phiJoxenia, yang merupakan dari dua kata Yunani lain, yaitu philia (kasih persahabatan) asing). dan xenos 35 136 I PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG Tesis yang pertama adalah bahwa tindakan menyahabati orang asing atau hospitalitas harus dilibat sebagai sebuah komitmen etis terhadap sang liyan sebagai orang asing. Sebagai sebuah kornitmen etis, hospitalitas mendahului percakapan dialogis. Tesis ini penting dikedepankan untuk memahami secara proporsional kaitan antara tindakan menyahabati orang asing yang beriman lain dan proyek dialog dengan orang yang beriman lain tersebut. Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa kita tak mungkin berdialog dengan orang asing, selain bahwa kita menyahabati mereka terlebih dahulu dan menjalani dialog sebagai orang asing yang telah menjadi sahabat. Argumen ini telah disampaikan pula, rnisalnya, oleh James Fredericks dari perspektif teologi komparatif. Fredericks percaya bahwa persahabatan antaragama harus mendahului dialog antaragama dan, lebih penting lagi, ia harus mendahului teologi agama-agama (theoLogia religionum) (Fredericks 1999). Dengan dernikian, jika hospitalitas sebagai sebuah kornitmen menyahabatiorangasingdapatdipahamisebagaipraktikmenciptakan ruang (making space) bagi orang lain, maka ia harus pertama-tama dilakukan sebelum terjadinya kemungkinan pertukaran wacana. Dengan kata lain, praksis menyahabati orang asing beriman lain tarnpak lebih konkret ketimbang logos di dalam dialog antariman .. Akibatnya, dialog antariman apa pun yang tidak muncul dari sebuah tindakan hospitalitas yang otentik akan dengan mudah menjadi sebuah percakapan superfisial antara dua atau lebih orang asing. Gejala ini tampaknya dengan mudah kita jumpai di dalam banyak proyek dialog antariman yang disponsori oleh pemerintah Republik Indonesia. Atas nama usaha "kerukunan antarumat beragama," para perneluk agama yang berbeda di- "rukun" -kan dengan diperternukan dan diberi ruang percakapan, tanpa pertamatam a muncul relasi persahabatan yang otentik di antara para peserta pertemllan tersebur. Lazimnya, bahkan, para peserta adalah pemirnpin-pernimpin a'gama yang telah begitu loaded dengan beban dan kepentingan kelompok religiusnya masing-masing. Sebaliknya, saya sungguh percaya bahwa dialog antariman yang berlangsung di TEOLOGI AGAMA-AGAMA 11 37 dalam ruang aman yang tercipta berkat komitmen hospiralitas akan memberi kepastian bahwa para sahabat yang berbeda iman tersebut akan berdialog secara sehat dan akan muncul pula proses salingmenyuburkan (cross-poLlination) antara sahabat-sahabat bani yang tadinya merupakan orang asing saw terhadap yang lain. Argumen bahwa tindakan menyahabati orang asing yang berbeda iman harus mendahului dialog antariman didasari oleh sebuah penghargaan yang lebih mendalam pada partikularitas masing-masing tradisi keagamaan, yang memang tak boleh ditenggelamkan ke dalam dan diabdikan di bawah kerangka religius dari agal11alain. Saya mengamati bahwa hal inilah yang terjadi pada tiga buah rnodel klasik ada di dalam apa yang lazim disebut sebagai tipologi tripolar, yaitu eksklusivisme, inklusivisme, dan plural isme. Terkait dengan eksklusivisme, talc ada yang perlu dibicarakan secara mendalam, sebab dengan mudah kita melihat bahwa model ini sangat menghormati partikularitas agama sendiri dan menegasi semaksimal mungkin partikulariras agama Lain. Dengan demikian, eksldusivisme mengabaikan pentingnya menyahabati orang dari agal11alain dengan terlarnpau menekankan ke-asing-an (strangerness) orang beragarna lain sampai pada tirik di mana orang asing menjadi monster atau xenos rnenjadi barbaros. Inklusivisrne dan pluralisme kerap diajukan sebagai alternatif -terhadap eksklusivisme. Memang, sepintas kedua model ini terkesan lebih terbuka pada partikularitas agama lain. Akan tetapi, apa yang terjadi pada kedua model ini sesungguhnya adalah kecenderungan yang sangat kuat untuk mernasukkan pemeluk agama lain ke dalam kerangka religius agama tertenru; dan kerap hal ini dilakukan j ustru atas nama penghargaan pada agama lain. Dengan melakukan hal ini, mereka membuang jauh-jauh ke-asing-an (stranger-ness) dari orangorang beragama lain. Pada rulisan singkat ini saya tidak merniliki cukup ruang untuk mendiskusikan usulan konstruktif saya sendiri, yang dapat diternukan di dalam buku saya, An Imayinatiue Glimpse (Adipraserya 20l3). Oleh karena itu saya hanya ingin menetapkan secara singkat " "': ... ~,.~ i , 138 I TEOLOGI AGAMA-AGAMA PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG keyakinan saya bahwa komitmen dan rindakan menyahabati orang asing harus mernpertahankan ketegangan antara sikap kepada orang beragama lain sebagai "orang asing" dan "sahabat." Status mereka sebagai orang asing-atau status kita sebagai orang asing di mata orang berbeda iman-tidaklah bilang begitu saja ketika kedua pihak menjadi sahabat satu terhadap yang lain. Tentu saja, persahabatan yang baru tercipta akan menciptakan pula ruang yang menyehatkan bagi dialog personal, namun tetap saja ke-asing-an dari sahabatsahabat baru itu tetaplab ada dan mengundang kita untuk justru mengakui mereka sebagai "rnisteri' yang tak dapat kita rengkuh dan genggam sepenuhnya. Orang Asing di Luar dan di dalam Diri Kita Tesis kedua yang saya usulkan adalah bahwa tindakan menyahabati orang asing melibatkan setidaknya dua proses simultan yang berlaleu bail, bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Di satu sisi, adalah benar bahwa seseorang yang beriman lain menjadi orang asing bagi saya, sebagaimana saya adalah orang asing bagi dia. Namun, di sisi lain, seseorang dapat pula lebih dalam lagi menyadari bahwa ternyata "orang asing" itu ada di dalam did kira masing-masing. Ternyata, ada sudut-sudut gelap di dalam diri kita ., sendiri yang tak kita kenali sepenuhnya, asing bagi kita. Tak jarang kita sampai pada sebuah titik kesadaran bahwa kita ternyata asing terhadap did kita sendiri. Kesadaran semacam ini sesungguhnya telah banyak dipercakapkan di banyak disiplin ilmu. Asumsi antropologis yang dapat diajukan adalah bahwa seorang manusia ternyata tidak pernah merniliki sebuah identitas yang tunggal dan tuntas. Ia ternyata harus terus bergumul dengan identitas yang majemuk dan dinamis (Cooper-White 2011). Dengan rnengakui kernajemukan atau multiplisitas identitas kita sendiri, kita diundang untuk mengakui bahwa ada "orang-orang asing" yang berdiam di dalam hidup batiniah kita sendiri, yang tak jarang kita alami lebih asing bagi kita ketimbang orang-orang lain di sekitar kita. Dalam , hal ini, benarlah apa yang ditegaskan oleh Julia Kristeva, "Orang asing hidup di dalam diri kita: ia merupakan wajah tersembunyi , 1 dari identitas kita, ruang yang menghancurkan rumah kita, waktu di mana pemahaman dan keterikatan pudar" (Kristeva 1991, 1). Bagi Kristeva, pengakuan pada orang-orang asing di dalam diri seseorang akan memampukan orang tersebut untuk mengakui dan menerima orang-orang asing di luar dan di sekitamya. Tesis kedua ini sangat penting untuk menjaga kita dari kecenderungan untuk terlampau meromantisasi hospitalitas sebagai sebuah tindakan menyahabati orang asing, sebagaimana telah dicatat di dalam tesis yang pertama. Ternyata, kehadiran orang lain sebagai orang asing sangat rnungkin memaksa kim untuk berhadapan dengan orang-orang asing yang ada di dalarn diri kita sendiri. Kesadaran akan hadirnya orang asing di dalam diri kira merniliki implikasi yang penting bagi dialog antariman. Kerika kita memasuki ruang clialogis dengan mereka yang berbeda irnan, sangadah mungkin bagi kita untuk mengalami sebuah perjumpaan dengan "orang asing" di dalam diri kira sendiri. Dengan cara iru, orang asing di hadapan kita justru membantu kita untuk rnakin mengenali diri kita sendiri, rnakin mengenali orang asing di dalam diri kita. Estetika Ketidaktahuan Tesis ketiga muncul sebagai akibat dari tesis kedua, yaitu dengan melihat Yang Ilabi sebagai "Ia Yang Sepenuhnya Asing" (the Wholly Stranger). Imajinasi imani dan teologis untuk memandang Allah sebagai "Ia Yang Sepenuhnya Asing" ini selaras dengan tradisi rnistis (teologi negatif atau apofatik) di dalam kekristenan, yang mungkin dapat kira temukan paralelnya di dalam tradisi-rradisi keagamaan lainnya, misalnya Sufisme dalam Islam. Tradisi mistis ini ingin menghargai Yang Ilahi sebagai yang senantiasa melampaui apa pun yang mampu manusia bayangkan dan pahami, terrnasuk dengan mengabaikan keyakinan-keyakinan dan pemahaman yang dirniliki sebelumnya tentang Yang Ilahi. Dengan dernikian, saya memahami bahwa perjumpaan kita dengan orang asing di hadapan kita dan orang asing di dalam diri kita berkorelasi secara esretik dan imajinatif dengan "perjurnpaan" kita dengan "Ia Yang 139 140 1 PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG Sepenuhnya Asing" di lunr kita. Tesis ketiga dengan dcmikian dapat dirumuskan demikian: Dialog antariman sebagai sebuah peristiwa memahami orang lain yang beriman lain harus dibatasi-atau lebih tepat, direngkuh-oleh ketidaktahuan kita pada orang lain, setepatnya karena kita ketidakmarnpuan kita untuk mengenali Allah sepenuhnya. Dengan mernperrautkan dialog antariman sebagai sebuah perjumpaan dari orang-asing-yang-menjadi-sahabat pada Allah sebagai "Ia Yang Sepenuhnya Asing," kita diingatkan untuk sunggllh berhati-hari pada bahaya yang sungguh buruk untuk menggenggam orang lain ke dalam kerangka religius kira. Pengakuan pada keindahan dari ketidakmampuan kita memahami clan mengenali Allah clengan clemikian harus diikuti oleh pengakuan pada keindahan dari keridakmarnpuan kita memahami clan mengenali orang lain. Dalam hal ini saya mengusulkan sebuah modus yang lebih estetik dari dialog antariman. Tentulah liS ulan ini akan tam pak lebih abstrak ketimbang gagasan mengenai dialog antariman; sernentara komitmen menyahabati orang asing itu sendiri lebih konkret daripada dialog antar iman. Jadi, kita rnendapati tiga gagasan yang dapat saling memberi makna, rnulai dari yang paling konkrer menuju yang paling absrrak: menyahabati orang asing, dialog antariman, dan estetika ketidaktahuan. Dialog antariman dengan demikian tepat berada di antara kedua gagasan lainnya. Mengapa gagasan ten tang estetika ketidaktahuan (the esthetics of unknowing) penting bagi dialog antariman? Sebab, tanpanya dialog yang kita gagas dengan mudah akan menjadi sebuah percakapan yang kering dan tak lagi menggairahkan. Kerika tak ada lagi misteri yang melampaui pemahaman kira, sernua menjacli serba jelas dan serba bening. Dengan memahami Allah sebagai "Ia Yang Sepenuhnya Asing" (the Whoily Stranger) saya tidak bermaksud untuk memakai apa yang pernah dipromosikan oleh Immanuel Kant clan yang kemudian diadopsi oleh banyak pernikir pluralis, seperti John Hick dan kawankawan. Mereka dengan mudahnya membuat pemisahan antara TEOLOGI AGAMA-AGAMA 1141 Allah sebagai Allah yang noumennl (Allah pada diri-Nya sendiri) dan Allah yang secara jellomenai dipahami oleh agama-agama. Sebaliknya, berlawanan clengan model pluralisme scrnacarn ini, saya mengusulkan sebuah cara berpikir yang mernahami bahwa apa pun yang saya katakan tentangAllah dan orang beragama lain merupakan perspektif saya yang sangat partikular sifatnya, dan karenanya saya melarang diri untuk rnerelatifkan perspektif-perspektif lain ke dalam kerangka religius saya atau ke bawah payung konseptual saya. Estetika ketidaktahuan IIll menuntut kita untuk mengekspresikan keindahannya melalui bahasa mctafora. Karena itu, saya mengusulkan bahwa metafora rerbaik unruk menghormati ketidaktahuan kita pada orang beragama lain ini, yang sungguh haws senantiasa dijaga cli clalam setiap mornen dialog, adalah mctafora perangkulan (embrace). Berbeda clengan peminggiran (excfusioll) clan penggenggaman (illdllSioll) - keduanya mengandaikan superioriras satu pihak terhaclap pihak lain - saya percaya bahwa metal-ora perangkulan lebih konsisten dengan undangan unruk mendekari keinclahan (atau misteri) orang lain yang berirnan lain, yang memang tetap tak rerpaharni, bahkan serelah orang-orang asing tersebut menjacli para sahabar. Atau dengan kara lain, rncreka tidak berhenti menjadi orang-orang asing sekalipun rnereka kini mcnjadi sahabat-sahabat. Semen tara metafora perangkulan ini cliusulkan dan dijelaskan secara indah oleh Miroslav Volf (Volf 1996), cara lain untuk rnengekspresikan hal ini clapat dijumpai di dalam karya cemerlang Mayra Rivera, The Touch of Transcendence (Rivera 2007). Rivera menandaskan _ bahjwa keticlakmungkinan mengerahui dan memahami Allah yang Transenclen - the uulenoioing - dapat dijawab melalui kernungkinan menyentuh tanpa menggenggam orangorang lain yang hadir secara transenden cli hadapan kira. Jadi, kita tak lagi melihat Allah yang Transenden sebagai sebuah realitas extracosntic terlepas dari perjumpaan dengan orang-asing-sahabat sebagai sebuah realitas iutmcosmic. Allah dijumpai di clalam wajah sesarna manusia yang. Akan tempi, sekalipun mcrepresenrasikan 142 1 TEOLOGI AGAMA-AGAMA PERJALANAN: SEMUA MENDAYUNG Allah Yang Transendcn, misteri dari orang lain tersebut tetaplah tak tersibak sepenuhnya, dan tctap tarnpil di hadapan kita sebagai yang tak terpahami narnun sekaligus yang indah (the beautiful unkuotou), Kebaikan, Kebenaran, dan Keindahan Dengan menafsirkan dialog antariman baik dari perspekrif menyahabati orang asing dan estetika ketidaktahuan, semoga pembaca dapat memahami dengan lebih jernih srruktur dari usulan imajinatif saya. Di dalam pembedaan klasik antara kebenaran (truth), kebaikan (goodness), dan keindahan (beauty) yang senantiasa rnuncul di dalam teologi Kristen, mungkin saya dapat mengatakan secara urnum bahwa dialog antariman terhisab ke dalam dirnensi logis dad kebenaran (logos), sementara hospitalitas atau komitmen menyahabati Ol'ang asing menunjuk pada dimensi eris dari kebaikan (praksis) dan estetika ketidaktahuan pada dimensi keindahan (pneuma). Sementara ketiga dimensi ini saling melengkapi, saya percaya bahwa dialog antariman hanya dapat muncul di dalam ruang dialogis yang mendewasakan yang tercipta berkat komitmen untuk menyahabati orang asing; dan pada gilirannya keduanya terbit di dalam cakrawala misteri estetis dari ketidakmarnpuan kita memahami sesama beriman lain. Semuanya, pada akhirnya, mungkin dapat dieja lewat bagan berikut ini MENYAHABATI ORANG ASING 01 DEPAN DAN 01 DALAM orR! KITA PERCAKAPAN OIALOGIS DENGAN SAHABAT MISTERl ALLAH DAN ORANG LAIN Hospitalitasl Menyambut Dialog/Bercakap-cakap Perangkulanl Menyentuh Kebaikan -Etis Kebenaran-Logis Keindahan- Esrerik Praksis Logos Pneuma 1 Daftar Acuan Adipraserya, Joas. 2013. An irnagillalive glimpse: The trinity and multiple religiousparticipations, Princeton theological monograph series. Pickwick: Eugene, OR. Bethune, Pierre-Francois de. 2010. Interreligious hospitality: The fUlfil11lleltt of dialogue, Monastic interreligious dialogue series. Collegeville, MN: Liturgical Press. Cooper-White, Pamela. 2011. Braided selves: Collected essays Oil multiplicity, God and perso1lS.Eugene, OR: Cascade Books. Fredericks, James L. 1999. Faith amongfoiths: Christian theology and non-Christian religions. New York: Paulist Press. Grob, Leonard, and John K. Roth. 2012. Encountering the stranger: A Jewish-Christian-Muslim trialogue, the Stephen S Weinstein seriesill post-Holocaust studies. Seattle: University of Washington Press. Kearney, Richard, and James Taylor, eds. 2011. Hosting the stmnger: Between religions. New York: Continuum. Kristeva, Julia. 1991. Strangers to 011 rselues, European perspectives. New York: Columbia University Press. Moyaert, Marianne. 2011. Fragile identities: Toumrds a theology of interreligious hospitality, Currents of encounter. Amsterdam & New York: Rodopi. Rivera, Mayra. 2007. 77Je touch of transcendence: A postcolonial theology of God. 1st ed. Louisville: Westminster John Knox Press. Volf, Miroslav. 1996. Exclusion and embrace: A theological exploration of identity,. otherness, and reconciliation. Nashville: Abingdon Press. Yong, Amos. 2008. Hospitality and the other: Pentecost; Christian practices, and the neighbor, Faith meets foith series. Maryknoll, NY: Orbis Books. 143