BAB I 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat baik di dunia maupun di Indonesia. Di dunia, 21% dari seluruh kematian akibat penyakit tidak menular disebabkan oleh kanker, yang sekaligus merupakan pembunuh nomor 2 setelah penyakit kardiovaskular. World Health Organization (WHO) dan Bank Dunia (2012) memperkirakan setiap tahun 12 juta orang di seluruh dunia menderita kanker dengan 7,6 juta di antaranya berakhir dengan kematian. Jika tidak dikendalikan, diperkirakan 26 juta orang akan menderita kanker dan 17 juta meninggal karena kanker pada tahun 2030. (WHO, 2012) Ironisnya, kejadian ini akan terjadi lebih cepat di negara miskin dan berkembang. (International Union Against capture/UICC, 2009) Di Indonesia prevalensi tumor/kanker adalah 4,3 per 1000 penduduk dan setiap tahunnya terjadi sekitar 165 kematian untuk setiap 100.000 populasi. Kanker merupakan penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan abnormal sel yang tak terkendali. Sel yang rusak dapat berkembang membentuk benjolan atau gumpalan jaringan yang disebut tumor. Jika dibiarkan, tumor dapat bertambah besar dan berkembang merusak sel-sel sehat di sekitarnya. Ada beberapa metode pengobatan kanker yang umum diberikan kepada pasien. Salah satunya adalah dengan radioterapi. Radioterapi atau disebut juga 14 15 terapi radiasi adalah terapi menggunakan radiasi yang bersumber dari energi radioaktif. Pengobatan dilakukan dengan mengarahkan radiasi ke sekitar jaringan yang terserang kanker dalam dosis yang cukup untuk memberantas sel berbahaya dan sebisa mungkin tanpa merusak jaringan tubuh normal di sekitarnya. Metode radioterapi konvensional umumnya menggunakan sumber radiasi eksternal berupa berkas foton bertenaga tinggi atau berkas elektron. Keduanya termasuk dalam jenis radiasi dengan linear energy transfer (LET) rendah. LET adalah rerata tenaga yang hilang per satuan panjang ketika radiasi melewati suatu materi. Satuan dari LET dinyatakan dalam keV/µm. Radiasi dengan LET rendah akan menghasilkan kerapatan ionisasi yang rendah. Sedang radiasi dengan LET tinggi akan menimbulkan lebih banyak ionisasi dalam satu lintasan yang sama, sehingga kerapatan ionisasinya tinggi. Jenis radiasi yang memiliki LET tinggi adalah partikel alfa dan neutron. Setiap radiasi memiliki tingkatan yang berbeda dalam menghasilkan suatu efek terhadap sistem biologis, yang biasa dinyatakan dalam Relative Biological Effectiveness (RBE). Semakin tinggi nilai RBE suatu radiasi, maka semakin besar kerusakan biologis yang diakibatkan radiasi tersebut. Kerapatan ionisasi menjadi satu faktor utama pada tinggi-rendahnya efek biologis yang muncul per unit dosis serapan radiasi. Oleh karena itu, RBE dinyatakan sebagai fungsi LET. Saat LET meningkat, RBE ikut naik secara perlahan pada mulanya dan menjadi lebih cepat saat LET naik melebihi 10 keV/µm. Di antara 10 keV/µm-100 keV/µm, RBE naik dengan sangat cepat seiring bertambahnya LET. Tetapi, saat melewati titik tersebut, RBE langsung jatuh ke nilai yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa radiasi dengan LET tinggi dapat menghasilkan efek biologis sama dengan radiasi LET rendah tetapi dengan dosis lebih rendah. (Kortesniemi, 2002) Pada dasarnya, fungsi radiasi pengion dalam radioterapi adalah untuk menghancurkan kemampuan sel kanker untuk membelah dengan merusak DNAnya. Tetapi, terdapat perbedaan antara proses dan efek yang ditimbulkan antara radioterapi yang menggunakan radiasi dengan LET rendah (foton dan elektron) 16 dan radiasi dengan LET tinggi (neutron). Pada radiasi dengan LET rendah, kerusakan pada sel kanker disebabkan oleh radikal bebas yang diaktivasi oleh interaksi atom. Sementara, pada radiasi dengan LET tinggi kerusakan sel kanker utamanya dipicu oleh interaksi nuklir. Sel kanker yang rusak oleh radiasi LET rendah memiliki kemungkinan besar untuk menyembuhkan diri dan tumbuh kembali sedangkan pada radiasi LET tinggi kemungkinan sel kanker untuk memperbaiki diri sangat kecil. (Hendrickson, 2007) Salah satu pengembangan potensi neutron sebagai sumber radiasi pada radioterapi adalah Boron Neutron Capture Therapy (BNCT). Terapi BNCT memanfaatkan senyawa yang diperkaya dengan Boron-10 untuk diiradiasi dengan berkas neutron termal. Neutron termal diketahui mudah berinteraksi dengan atomatom 10B. Maka pada sel kanker yang telah diinjeksi senyawa boron jika diiradiasi dengan berkas neutron termal akan terjadi reaksi tangkapan neutron. Reaksi fisi ini menghasilkan partikel bermuatan yang bertenaga tinggi (3Li7 and 2He4) yang dapat menghancurkan sel kanker. (IAEA, 2001) Selain neutron termal, neutron epitermal juga dapat digunakan dalam BNCT. Perbedaan penggunaannya ada pada jenis kanker berdasarkan letaknya dalam tubuh. Untuk sel kanker yang terletak di sekitar permukaan kulit digunakan neutron termal. Untuk sel yang terletak pada bagian tubuh lebih dalam (8-10 cm) digunakan neutron epitermal. Hal ini karena neutron epitermal akan termoderasi oleh jaringan tubuh yan mengandung air sehingga saat mencapai sel kanker energinya telah turun menjadi neutron termal. (Sauerwein & Moss, 2009) Sumber neutron untuk BNCT dapat diperoleh dari reaktor nuklir atau akselerator linear sebagai sumber neutron. Fasilitas BNCT yang telah ada umumnya menggunakan reaktor nuklir, sementara untuk sumber neutron berbasis akselerator masih dalam proses penelitian. Di Indonesia sendiri terdapat tiga Reaktor Nuklir Riset, yang kesemuanya dioperasikan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), antara lain Reaktor TRIGA 2000 di Bandung, TRIGA 17 MARK-II (Reaktor Kartini) di Yogyakarta, dan Reaktor Serba Guna G.A. Siwabessy di Serpong. Dari ketiga reaktor tersebut yang saat ini dimungkinkan untuk dapat dimanfaatkan untuk fasilitas BNCT adalah Reaktor Kartini. (Fauziah, 2013). Reaktor Kartini memiliki 6 buah saluran neutron, salah satunya yang digunakan pada penelitian ini adalah beam port singgung. Berkas neutron keluaran dari beam port ini belum sesuai untuk digunakan pada BNCT. Maka diperlukan sebuah kolimator neutron untuk menghasilkan berkas neutron dengan karakteristik yang tepat agar dapat digunakan sebagai sumber neutron untuk terapi BNCT. Pada proses perancangan kolimator, perlu dilakukan suatu simulasi rancangan. Simulasi bertujuan untuk memperoleh rancangan kolimator dengan berkas keluaran yang memenuhi standar International Atom Energy Agency (IAEA) dalam BNCT. Simulasi juga berkaitan dengan keamanan dan keselamatan baik untuk pasien maupun pekerja di fasilitas BNCT. Simulasi dilakukan dengan menggunakan computer code. Program utama yang digunakan adalah Monte Carlo N-Particle code (MCNP). MCNP merupakan sebuah perangkat lunak yang mampu menyimulasi berbagai proses nuklir seperti reaksi fisi. Selain itu, program ini juga mampu menyimulasi interaksi partikel yang melibatkan neutron, foton, maupun elektron. Beberapa aplikasi lain melingkupi proteksi radiasi, dosimetri, shielding, radiografi, fisika medis, rancang dan analisis detektor, serta rancangan reaktor fisi dan fusi. Dengan menggunakan MCNP, sumber neutron berupa reaktor dalam keadaan kritis dapat disimulasikan. Perancangan kolimator neutron juga dilakukan dengan memanfaatkan MCNP. Geometri dan bahan penyusun kolimator dapat divariasikan supaya dihasilkan berkas neutron keluaran yang sesuai. BNCT telah menjadi bahan penelitian di berbagai negara dengan fokus pemanfaatannya untuk terapi bagi pasien dengan tumor di daerah kepala dan 18 leher. Penelitian di beberapa negara seperti AS, Jepang, Belanda, Swedia, Finlandia, dll, menunjukkan BNCT memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mematikan sel kanker dibanding metode terapi kanker konvensional (Hendrickson, 2007). Untuk membangun fasilitas BNCT diperlukan sumber neutron. Salah satunya berupa reaktor penelitian. Di Indonesia telah terdapat beberapa reaktor penelitian yang dimungkinkan untuk BNCT. Namun, khusus pada penelitian ini, pelaksanaannya dilakukan di Reaktor Kartini yang berlokasi di Sleman, Yogyakarta, mengingat lokasinya yang paling mudah dijangkau. 1.2 Rumusan Masalah Masalah yang menjadi dasar penulisan ini adalah diperlukannya nilai fluks neutron keluaran Reaktor Kartini yang memenuhi syarat IAEA untuk BNCT. Pada terapi BNCT diperlukan fluks neutron epitermal yang tinggi dengan kontaminasi neutron cepat yang rendah dan fluks neutron termal yang minimum. Selain itu, kontaminasi gammaharus seminimal mungkin dengan konvergensi berkas neutron yang memenuhi syarat. Untuk memperoleh berkas keluaran yang memenuhi persyaratan tersebut, harus dirancang kolimator yang memiliki dimensi dan material tertentu. 1.3 Batasan Masalah 1. Sumber neutron yang disimulasikan adalah berkas neutron keluaran dari beam port sinngung Reaktor Kartini yang dioperasikan pada daya tetap 1kW di BATAN, Depok, Sleman, Yogyakarta. 2. Sistem transmisi neutron terbatas pada kolimatornya saja. 3. Program simulasi yang digunakan yaitu Monte Carlo N-Particle (MCNP) versi 5. 19 4. Bahan yang diuji dianggap homogen untuk setiap voxel (element volume). 5. Energi neutron dan gamma disesuaikan dengan karakteristik neutron dan gamma keluaran teras reaktor. 1.4 Tujuan Penelitian Mendapatkan rancangan kolimator meliputi dimensi dan material untuk BNCT pada beam port singgung Reaktor Kartini agar neutron keluarannya memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh IAEA. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Dengan diketahuinya perkiraan berkas neutron keluaran dapat ditentukan apakah beam port singgung Reaktor Kartini layak digunakan sebagai sumber neutron untuk BNCT 2. Menghasilkan rancangan kolimator neutron yang dapat ditindaklanjuti dengan kolimator pada beamport singgung Reaktor Kartini untuk BNCT. 3. Melengkapi penelitian terkait potensi penerapan BNCT pada Reaktor Kartini 4. Menjadi referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai potensi penerapan BNCT pada Reaktor Kartini.