bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Imunisasi adalah suatu usaha untuk memberikan kekebalan pada bayi dan
anak terhadap penyakit tertentu. Guna terwujudnya derajat kesehatan yang tinggi,
pemerintah telah menempatkan fasilitas pelayanan.1
Angka kesakitan bayi di Indonesia relatif masih cukup tinggi, meskipun
menunjukkan penurunan dalam satu dekade terakhir. Program imunisasi bisa
didapatkan tidak hanya di puskesmas atau di rumah sakit saja, akan tetapi juga
diberikan di posyandu yang dibentuk masyarakat dengan dukungan oleh petugas
kesehatan dan diberikan secara gratis kepada masyarakat dengan maksud program
imunisasi dapat berjalan sesuai dengan harapan. Program imunisasi di posyandu
telah menargetkan sasaran yang ingin dicapai yakni pemberian imunisasi pada
bayi secara lengkap. Imunisasi dikatakan lengkap apabila mendapat BCG 1 kali,
DPT 3 kali, Hepatitis 3 kali, Campak 1 kali, dan Polio 4 kali. Bayi yang tidak
mendapat imunisasi secara lengkap dapat mengalami berbagai penyakit, misalnya
difteri, tetanus, campak, polio, dan sebagainya. Oleh karena itu, imunisasi harus
diberikan dengan lengkap sesuai jadwal. Imunisasi secara lengkap dapat
mencegah terjadinya berbagai penyakit tersebut.2
Pemerintah telah memberikan berbagai upaya dan kebijakan dalam bidang
kesehatan untuk menekan angka kesakitan, namun masyarakat belum bisa
memanfaatkannya secara optimal karena ada sebagian ibu yang memiliki persepsi
bahwa tanpa imunisasi anaknya juga dapat tumbuh dengan sehat.3
Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas
utama. Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif
dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi merupakan
hal mutlak yang perlu diberikan pada bayi. Imunisasi adalah sarana untuk
mencegah penyakit berbahaya, yang dapat menimbulkan kematian pada bayi.
Penurunan insiden penyakit menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang
lampau di negara-negara maju yang telah melakukan imunisasi dengan teratur
dengan cakupan yang luas.
1
Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar
diperlukan pengetahuan dan keterampilan tentang vaksin (vaksinologi), ilmu
kekebalan (imunologi) dan cara atau prosedur pemberian vaksin yang benar.
Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan
perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya
karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi
penyebaran infeksi. Banyak penyakit menular yang bisa menyebabkan gangguan
serius pada perkembangan fisik dan mental anak. Imunisasi bisa melindungi anakanak dari penyakit melaui vaksinasi yang bisa berupa suntikan atau melalui mulut.
TUJUAN REFERAT
1. Mengetahui dan memahami pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan
primer terhadap suatu penyakit.
2. Mengetahui kapan seharusnya imunisasi dilakukan dan seberapa pentingnya
imunisasi harus didapatkan.
3. Memahami dan dapat mempraktekan cara-cara pemberian imunisasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
DEFINISI
Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan seseorang secara
aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang
serupa tidak terjadi penyakit. Imunisasi berasal dari kata immune yang berarti
kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan
kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari
penyakit yang lain diperlukan imunisasi lainnya.3
Imunisasi biasanya terutama diberikan pada anak-anak karena sistem
kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan
terhadap serangan penyakit infeksi yang berbahaya. Beberapa imunisasi tidak
cukup diberikan hanya satu kali, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan
lengkap untuk mendapatkan kekebalan dari berbagai penyakit yang sangat
membahayakan kesehatan dan hidup anak.1
Imunisasi merupakan suatu proses transfer antibodi secara pasif dengan
memberikan imunoglobulin.
Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan
paparan pada suatu antigen berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan
telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun
memproduksi limfosit yang peka, antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan
infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan
kekebalan. Tujuannya adalah memberikan “ infeksi ringan “ yang tidak berbahaya
namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit
yang sesungguhnya dikemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh
dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen / penyakit yang masuk
tersebut.
Vaksinasi mempunyai keuntungan
:
•
Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya.
•
Vaksinasi cost-effective karena murah dan efektif.
•
Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh
lebih jarang daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit
tersebut secara almiah.
3
Vaksin adalah mikroorganisme bakteri, virus atau riketsia) atau toksoid
yang diubah ( dilemahkan atau diamtikan) sedemikian rupa sehingga patogenisitas
atau toksisitasnya hilang, tetapi tetap mengandung sifat antigenisitas. Bila vaksin
diberikan kepada manusia maka akan menimbulkan kekebalan spesifik secara
aktif terhadap penyakit tertentu.
Vaksinasi merupakan upaya pencegahan primer. Secara konvensional,
upaya pencegahan penyakit dan keadaan apa saja yang akan menghambat tumbuh
kembang anak dapat dilakukan dalam tiga tingkatan yaitu pencegahan primer,
pencegahan sekunder dan pencegahan tersier.
Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya
sakit atau kejadian yang dapat mengakibatkan seseorang sakit atau menderita
cedera dan cacat. Pencegahan sekunder adalah upaya kesehatan agar tidak terjadi
komplikasi yang tidak diinginkan, yaitu meninggal atau meninggalkan gejala sisa,
cacat fisik maupun mental. Pencegahan tersier adalah membatasi berlanjutnya
gejala sisa tersebut dengan upaya pemulihan seseorang penderita agar dapat hidup
mandiri tanpa bantuan orang lain.
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan laporan WHO tahun 2002, setiap tahun terjadi kematian
sebanyak 2,5 juta balita, yang disebabkan penyakit yang dapat dicegah melalui
vaksinasi. Radang paru yang disebabkan oleh pneumokokus menduduki peringkat
utama (716.000 kematian), diikuti penyakit campak (525.000 kematian), rotavirus
(diare), Haemophilus influenza tipe B, pertusis dan tetanus. Dari jumlah semua
kematian tersebut, 76% kematian balita terjadi dinegara-negara sedang
berkembang, khususnya Afrika dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia).1
WHO mengatakan bahwa penyakit infeksi yang dapat dicegah melalui
vaksinasi akan dapat diatasi bilamana sasaran imunisasi global tercapai. Dalam
hal ini bisa tercapai bila lebih dari > 90% populasi telah mendapatkan vaksinasi
terhadap penyakit tersebut.1
TUJUAN
4
Untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan
menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat atau bahkan
menghilangkan penyakit tertentu dari dunia.3
Sasaran dari pemberian imunisasi tidak hanya pada anak-anak, tetapi juga
mencakup wanita hamil (awal kehamilan – 8 bulan), wanita usia subur (calon
mempelai). Pada anak-anak, imunisasi diberikan dimulai sejak bayi dibawah umur
1 tahun (0 – 11 bulan) sampai anak sekolah dasar (kelas 1 – kelas 6).
RESPON IMUN
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua
macam pertahanan tubuh yaitu : 1) mekanisme pertahanan nonspesifiik disebut
juga komponen nonadaptif atau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu
macam antigen , tetapi untuk berbagai macam antigen, 2) mekanisme pertahanan
tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan khusus terhadap satu jenis
antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak pada pemberian
antigen berikutnya. Hal ini disebabkan telah terbentuknya sel memori pada
pengenalan antigen pertama kali. Bila pertahanan nonspesifik belum dapat
mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang.
Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan dipresentasikan
oleh sel makrofag ( APC = antigen presenting cel ) Pada sel T untuk antigen TD
( T dependent ) sedangkan antigen TI ( T independent ) akan langsung diperoleh
oleh sel B.
Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas
humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh
antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut
imunoglobulin ( Ig ) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada individu yang
lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas selular hanya dapat
dipindahkan melalui sel, contohnya pada reaksi penolakan organ transplantasi
oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease.
Proses imun terdiri dari dua fase
:
5
•
Fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen
( APC = antigen presenting cells ), sel limfosit B, limfosit T.
•
Fase efektor, diperankan oleh antibodi dan limfosit T efektor
KEBERHASILAN IMUNISASI
Tergantung dari beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik
pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.
Status imun pejamu
Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan
akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa
fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campsk, bila vaksinasi
campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan
membeikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI) yang
mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio dapat mempengaruhi
keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral. Namun pada umumnya
kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur
beberapa bulan. Pada penelitian di Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA
FKUI/RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI
setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena
itu bila vaksinasi polio diberikan pada masa pemberian kolostrum ( kurang atau
sama dengan 3 hari setelah bayi lahir ), hendaknya ASI ( kolostrum ) jangan
diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi.
Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi
neonatus fungsi makrofag masih kurang. Pembentukan antibodi spesifik terhadap
antigen tertentu masih kurang. Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus
akan memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak. Maka, apabila
imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan
imunisasi ulangan.
Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat
obat imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita
penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit
keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya
6
defisiensi imun merupakan kontraindikasi pemberian vaksin hidup karena dapat
menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada
individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis
milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti
makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral
spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin normal atau bahkan meninggi,
imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena
terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar
komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya
respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.
Faktor genetik pejamu
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik.
Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup,
dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah
terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi. Karena
itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.
Kualitas dan kuantitas vaksin
Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa
sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung
sifat antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat
menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi
pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin.
 Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul.
Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal disamping
sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas
sistemik saja.
 Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons
imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun
yang diharapkan. Sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel-sel
imunokompeten.Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis,
karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.
7
 Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi.
Disamping frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons
imun yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat
kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera
dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut sehingga
tidak sempat merangsang sel imunkompaten. Bahkan dapat terjadi apa
yang dinamakan reaksi arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah
suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen antibodi lokal
sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian ulang ( booster )
sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.
 Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons
imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan
mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan
mengaktivasi APC ( antigen presenting cells ) untuk memproses antigen
secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel
imunokompeten lainnya.
 Jenis Vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik
dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi ( killed atau inactivated )
atau bagian ( komponen ) dari mikroorganisme. Vaksin hidup diperoleh
dengan cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah untuk menghasilkan
organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan.
Atenuasi
diperoleh
dengan
memodifikasi
kondisi
tempat
tubuh
mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi anerob,
atau menambah empedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin
BCG yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat pula dipakai
mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk manusia
avirulen, misalnya virus cacar sapi.
PERSYARATAN VAKSIN
8
1.
Mengaktivasi
APC
untuk
mempresentasikan
antigen
dan
memproduksi interleukin.
2.
Mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori
3.
Mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk
mengatasi variasi respons imun yang ada dalam populasi karena adanya
polimorfisme MHC.
4.
Memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular
dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat
merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang membentuk
antibodi terus-menerus sehingga kadarnya tetap tinggi.
Vaksin yang dapat memenuhi ke empat persyaratan tersebut adalah vaksin virus
hidup.
JENIS VAKSIN
Pada dasarnya, vaksin dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :

Live attenuated ( bakteri atau virus hidup yang dilemahkan )

Inactivate ( bakteri, virus atau komponenmnya dibuat tidak aktif )
Vaksin hidup attenuated
Diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau
bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih
memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak ( replikasi) dan
menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit.
Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar ( wild ) penyebab penyakit.
Virus atau bakteri liar ini dilemahkan ( attinuated ) dilaboratorium, biasanya
dengan cara pembiakan berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai
sampai sekarang, diisolasi untuk mengubah virus liar campak menjadi virus
vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara melakukan penanaman pada jaringan
media pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita penyakit campak
pada tahun 1954.
o Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup atteuated harus
berkembang biak ( mengadakan replikasi ) di dalam tubuh resipien.
9
o Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol ( misalnya panas atau
cahaya ) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh
( antibodi yang beredar ) dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.
o Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama
dengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak
membedakan antara suatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan
dan infeksi dengan virus liar.
o Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi
bentuk patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio
hidup.
o Antibodi dari sumber apapun ( misalnya transplasental, transfusi ) dapat
mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan
tidak adanya respons ( non response ). Vaksin campak merupakan
mikroorganisme yang paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam
tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit terkena pengaruh.
o Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila
kena panas dan sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan
dengan baik dan hati-hati.
Vaksin hidup attenuated yang tersedia

Berasal dari vrius hidup : Vaksin campak, gondongan ( parotitis ), rubela,
polio, rotavirus, demam kuning ( yellow fever ).

Berasal dari bakteri : Vaksin BCG dan demam tifoid oral.
Vaksin Inactivated
o Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara mambiakkan bakteri atau virus
dalam media pembiakan ( persemaian ), kemudian dibuat tidak aktif
dengan penambahan bahan kimia ( biasanya formalin ).
o Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh
dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan
penyakit ( walaupun pada orang dengan defisiensi imun ) dan tidak dapat
mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Antigen inactivated tidak
10
dipengaruhi oleh antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat
diberikan saat antibodi berada di dalam sirkulasi darah.
o Vaksin inactivated selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya pada
dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu
atau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah
dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang
mempunyai respons imun yang mirip atau sama dengan infeksi alami,
respons imun terhadap vaksin inactivated sebagian besar humoral, hanya
sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap
antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu.
o Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit
masih memerlukan vaksin seluruh sel ( whole cell ), namun vaksin
bakterial seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling
banyak reaksi ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons terhadap
komponen-komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk
perlindungan ( contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT ).
Vaksin Inactivated yang tersedia saat ini berasal dari :

Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies,
hepatitis A.

Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.

Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza,
pertusis a-seluler, tifoid Vi, lyme disease.

Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum.

Polisakarida
murni,
contoh
pneumokokus,
meningokokus,
dan
haemophilus influenzae tipe b.

Gabungan
polisakarida
(
haemophillus
influenzae
tipe
B
dan
pneumokokus ).
VAKSIN DAN SISTEM KEKEBALAN
11
Sebelum membahas bagaimana pemberian vaksin dapat memberikan
perlindungan terhadap seseorang, terlebih dahulu perlu diketahui sistem kekebalan
tubuh kita bekerja melawan mikroorganisme (virus, bakteri, parasit, dsb).1
Gambar 11
Manusia dapat terhindar atau sembuh dari serangan penyakit infeksi karena telah
dilengkapi dengan 2 sistem kekebalan tubuh, yaitu :1
1. Kekebalan tidak spesifik (Non Spesific Resistance)
Disebut sebagai sistem imun non spesifik karena sistem kekebalan tubuh kita
tidak ditujukan terhadap mikroorganisme atau zat asing tertentu. Contoh
bentuk kekebalan non-spesifik :
-
Pertahanan fisis dan mekanis, misalnya silia atau bulu getar hidung yang
berfungsi untuk menyaring kotoran yang akan masuk ke saluran nafas
bagian bawah.
-
Pertahanan biokimiawi - air susu ibu yang mengandung laktoferin berperan sebagai antibakteri
-
Interferon - pada saat tubuh kemasukan virus, maka sel darah putih akan
memproduksi interferon untuk melawan virus tersebut.
-
Apabila mikroorganisme masuk ke tubuh, maka sistem kekebalan nonspesifik yang diperankan oleh pertahanan selular (monosit dan makrofag)
akan menangkap, mencerna, dan membunuh mikroorganisme tersebut.
2. Kekebalan Spesifik (Spesific Resistance)
Sistem kekebalan spesifik dimainkan oleh dua komponen utama, yaitu sel T
dan sel B. Sistem kekebalan spesifik tidak mengenali seluruh struktur utuh
mikroorganisme, melainkan sebagai prrotein saja yang akan merangsang
sistem kekebalan. Bagian dari struktur protein mikroorganisme yang dapat
12
merangsang sistem kekebalan spesifik ini disebut antigen. Adanya antigen
akan merangsang diaktifkannya sel T atau sistem kekebalan selular.
Selanjutnya sel T ini akan memacu sel B atau sel humoral untuk mengubah
bentuk dan fungsi menjadi sel plasma yang selanjutnya akan memproduksi
antibodi. Kelebihan dari sistem kekebalan spesifik adalah dilengkapi dengan
sel memori. Semakin sering tubuh kita kontak dengan antigen dari luar, maka
semakin tinggi pula peningkatan kadar antibodi tubuh karena sel-sel memori
telah mengenali antigen tersebut.
Yang membangkitkan sistem kekebalan spesifik kita adalah antigen yang
merupakan bagian dari mikroorganisme (virus atau bakteri). Antigen ini
selanjutnya akan ditanggapi oleh sistem kekebalan tubuh dengan memproduksi
antibodi. Berdasarkan cara memperoleh kekebalan, maka kekebalan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :1,3
1. Kekebalan pasif
Kekebalan yang diperoleh dari luar, yang berarti bahwa tubuh mendapat
bantuan dari luar antibodi yang sudah jadi. Sifat kekebalan pasif tidak
berlangsung lama, umumnya tidak kurang dari 6 bulan. Misalnya bayi yang
secara alami telah memiliki kekebalan pasif dari ibunya.
2. Kekebalan aktif
Yang umum disebut imunisasi diperoleh melalui pemberian vaksinasi dan
berlangsung bertahun tahun, karena tubuh memiliki sel memori terhadap
antigen tertentu.
Dalam rangka memacu sistem kekebalan spesifik tubuh, maka vaksin dapat
dibuat dari2 :
• Live attenuated (vaksin hidup yang dilemahkan)
• Inactivated (bakteri, virus atau komponennya dibuat tidak aktif)
• Vaksin rekombinan
• Virus – like particle vaccine.
Vaksin hidup attenuated atau Live attenuated diproduksi dilaboratorium
dengan cara memodifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin
mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh
menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak
13
menyebabkan penyakit. Supaya dapat menimbulkan respon imun, vaksin
hidup attenuated harus berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam
tubuh resipien. Suatu dosis kecil virus atau bakteri yang diberikan, yang
kemudian mengadakan replikasi di dalam tubuh dan meningkat jumlahnya
sampai cukup besar untuk memberi rangsangan suatu respons imun. Vaksin
hidup attenuated yang tersedia berasal dari virus hidup yaitu vaksin campak,
gondongan (parotitis), rubela, polio, rotavirus, demam kuning (yellow fever)
dan yang berasal dari bakteri yaitu vaksin BCG dan demam tifoid.
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakan bakteri atau virus
dalam media pembiakan, kemudian dibuat tidak aktif (inactivated dengan
penambahan bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin fraksional,
organisme tersebut dibuat murni dan hanya komponen-komponennya yang
dimaksukkan dalam vaksin (misalnya kapsul polisakarida dari kuman
pneumokokus). Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka
seluruh dosis antigen dimasukan dalam suntikan. Vaksin ini tidak
menyebabkan penyakit dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk
patogenik. Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari seluruh sel
virus yang inactivated contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A. Kemudian
dari seluruh bakteri yang inactivated contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
Juga dari toksoid misalnya difteria, tetanus dapat juga dari polisakarida murni
misalnya pneumokokus, meningokokus dan haemophilus influenza tipe B.
Vaksin rekombinan. Macam vaksin demikian diperoleh melalui proses
rekayasa genetik, misalnya vaksin hepatitis B, vaksin tifoid, dan rotavirus.
Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen
vius hepatitis B ke dalam sel ragi. Sela ragi yang telah diubah ini kemudian
menghasilkan antigen permukaan hepatitis B murni.
Virus – like particle vaccine atau vaksin yang dibuat dari partikel yang mirip
dengan virus, contohnya adala vaksin human papillomavirus (HPV) tipe 16
untuk mencegah kanker leher rahim. Atigen diperoleh melalui protein virus
HPV yang diolah sedimikian rupa sehingga menghasilkan struktur mirip
dengan seluruh struktur HPV (atau dikenal sebagai pseudo – particles of HPV
tipe 16).
14
PEMBERIAN IMUNISASI
Tata cara pemberian imunisasi
Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai
berikut :
 Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila
tidak divaksinasi.
 Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila
terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
 Baca dengan teliti informasi tentang produk ( vaksin ) yang akan diberikan
dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab
dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.
 Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan.
 Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.
 Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan
dengan baik.
 Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan.
Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya
perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.
 Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan
pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal ( catch up
vaccination ) bila diperlukan.
 Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai
pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan
posisi bayi/anak penerima vaksin.
 Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut :
•
Berilah petunjuk ( sebaiknya tertulis ) kepada orang tua atau
pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang
biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat.
•
Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan
klinis.
15
•
Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas
Kesehatan bidang Pemberantasan Penyakit Menular.
•
Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan
vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.
Penyimpanan
Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus
didinginkan pada temperatur 2-8°C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin ( DPT,
Hib, hepatitis B, dan hepatitis A ) menjadi tidak aktif bila beku
Arah Sudut Jarum pada Suntikan Intramuskular
Jarum suntik harus disuntikan dengan sudut 450-600 ke dalam otot vastus
lateralis atau otot deltoid. Untuk suntikan otot vastus lateralis, jarum diarahkan ke
arah lutut sedangkan untuk suntikan pada deltoid jarum diarahkan ke pundak.
Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan
pada sudut 900.
Tempat Suntikan yang Dianjurkan
Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi
pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan. . Vaksin harus disuntikkan ke dalam
batas antara sepertiga otot bagian tengah yang merupakan bagian yang paling
tebal dan padat. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak yang
lebih besar ( mereka yang telah dapat berjalan ) dan orang dewasa.
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12
bulan adalah :
 Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah gluteal.
 Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap
suntikan secara adekuat.
 Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila
disuntikkan di daerah gluteal
 Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat
suntikan yang menahun.
 Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.
16
Gambar 2. Lokasi Penyuntikan intramuscular Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b)
17
CARA PENYUNTIKAN VAKSIN
Subkutan
Perhatian
 Penyuntikan subkutan diperuntukan imunisasi MMR,
varisela, meningitis
 Perhatikan rekomendasi untuk umur anak
Umur
Tempat
Bayi (lahir s/d12 Paha
bulan)
anterolateral
1-3 tahun
paha
anterolateral/
Lateral
lengan atas
Anak > 3 tahun
Lateral
lengan atas
Ukuran jarum
Jarum 5/8’’-3/4
Spuit no 23-25
Jarum 5/8’’-3/4
Spuit no 23-25
Insersi jarum
Arah jarum 45o
Terhadap kulit
Cubit tebal untuk
suntikan subkutan
Jarum 5/8’’-3/4
Spuit no 23-25
Aspirasi
spuit
sebelum disuntikan
Untuk
suntikan
multipel diberikan
pada ekstremitas
berbeda
CARA PENYUNTIKAN VAKSIN
Intramuskular
Perhatian:
 Diperuntukan Imunisasi DPT, DT,TT, Hib, Hepatitis A & B, Influenza.
 Perhatikan rekomendasi untuk umur anak
Umur
Tempat
Bayi (lahir s/d Otot
vastus
12 bulan
lateralis
pada
paha
daerah
anterolateral
1-3 tahun
Otot
vastus
lateralis
pada
paha
daerah
anterolateral
sampai
masa
Ukuran jarum
Jarum 7/8’’-1’’
Spuit n0 22-25
Insersi jarum
1. Pakai jarum yang
cukup panjang untuk
mencpai otot
Jarum
5/8’’-1
¼’’ (5/8 untuk
suntikan
di
deltoid umur 1215 bulan
2. Suntik dengan
arah jarum 80-90o.
lakukan
dengan
cepat
1. Tekan
kulit
18
otot
deltoid Spuit no 22-25
cukup
besar
(pada umumnya
umur 3 tahun
Otot deltoid, di Jarum 1’’-1 ¼’’
bawah akromion Spuit no 22-25
Anak > 3 tahun
sekitar tepat suntikan
dengan ibu jari dan
telunjuk saat jarum
ditusukan
2. Aspirasi
spuit
sblm
vaksin
disuntikan,
untuk
meyakinkan
tidak
masuk ke dalam
vena.Apabilaterdapat
darah, buang dang
ulangi dengan suntik
yang baru.
3. Untuk suntikan
multipel diberikan
pada
bagian
sekstremitas berbeda
Keadaan Bayi atau Anak sebelum Imunisasi
Orangtua
atau
pengantar
bayi/anak
dianjurkan
mengingat
dan
memberitahukan secara lisan atau melalui dafatr isian tentang hal-hal yang
berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi
tersebut di bawah ini :

Pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat
( memerlukan pengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah sakit ).

Alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin ( misalnya
neomisin ).

Sedang mendapat pengobatan Steroid jangka panjang, radioterapi, atau
kemoterapi.

Tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun
( leukimia, kanker, HIV/AIDS ).

Tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan
imunitas ( radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid ).

Pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup
( vaksin campak, poliomielitis, rubela ).

Pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau tranfusi darah.

Menderita penyakit susunan syaraf pusat
19
Pencatatan Imunisasi dan Kartu Imunisasi
Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi seperti
kartu imunisasi yang dipegang oleh orangtua atau pengasuhnya. Setiap dokter
atau tenaga paramedis yang memberikan imunisasi harus mencatat semua datadata yang relevan pada kartu imunisasi tersebut. Orangtua/pengasuh yang
membawa anak ke tenaga medis atau paramedis untuk imunisasi diharapkan
senantiasa membawa kartu imunisasi tersebut.
Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi adalah sebagai berikut :
o Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagang
o Tanggal melakukan vaksinasi
o Efek samping bila ada
o Tanggal vaksinasi berikutnya
o Nama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin
KIPI ( KEJADIAN IKUTAN PASCA-IMUNISASI )1
Setiap tindakan medis apa pun bisa menimbulkan risiko bagi pasien si
penerima layanan baik dalam skala ringan maupun berat. Demikian halnya dengan
pemberian vaksinasi, reaksi yang timbul setelah pemberian vaksinasi disebut
kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse following immunization
(AEFI). Dengan semakin canggihnya teknologi pembuatan vaksin dan semakin
meningkatnya
teknik
pemberian
vaksinasi,
maka
reaksi
KIPI
dapat
diminimalisasi. Meskipun risikonya sangat kecil, reaksi KIPI berat dapat saja
terjadi. Oleh karena itu, petugas imunisasi atau dokter mempunyai kewajiban
untuk menjelaskan kemungkinan reaksi KIPI apa saja yang dapat terjadi. Dan bagi
orang yang hendak menerima vaksinasi mempunyai hak untuk bertanya dan
mengetahui apa saja reaksi KIPI yang dapat terjadi.
Secara khusus KIPI dapat didefinisikan sebagai kejadian medik yang
berhubungan dengan imunisasi, baik oleh karena efek vaksin maupun efek
samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, kesalahan program,
20
reaksi suntikan, atau penyebab lain yang tidak dapat ditentukan. Secara umum,
reaksi KIPI dapat dikategorikan sebagai akibat kesalahan program, reaksi
suntikan, dan reaksi vaksin.
Kesalahan program. Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan kesalahan
teknik pelaksanaan vaksinasi, misalnya kelebihan dosis, kesalahan memilih lokasi
dan cara menyuntik, sterilitas, dan penyimpanan vaksin. Dengan semakin
membaiknya pengelolaan vaksin, pengetahuan, dan ketrampilan petugas pemberi
vaksinasi, maka kesalahan tersebut dapat diminimalisasi.
Reaksi suntikan. Reaksi suntikan tidak berhubungan dengan kandungan vaksin,
tetapi lebih karena trauma akibat tusukan jarum, misalnya bengkak, nyeri, dan
kemerehan di tempat suntikan. Selain itu, reaksi suntikan dapat terjadi bukan
akibat dari trauma suntikan melainkan karena kecemasan, pusing, atau pingsan
karena takut terhadap jarum suntik. Reaksi suntikan dapat dihindari dengan
melakukan teknik penyuntikan secara benar.
Reaksi vaksin. Gejala yang muncul pada reaksi vaksin sudah bisa diprediksi
terlebih dahulu, karena umumnya perusahaan vaksin telah mencantumkan reaksi
efek samping yang terjadi setelah pemberian vaksinasi. Keluhan yang muncul
umumnya bersifat ringan (demam, bercak merah, nyeri sendi, pusing, nyeri otot).
Meskipun hal ini jarang terjadi, namun reaksi vaksin dapat bersifat berat,
misalnya reaksi anafilaksis dan kejang. Untunglah bahwa reaksi alergi serius
relatif jarang terjadi, misalnya reaksi alergi serius akibat campak kemungkinan
kejadiannya hanya 1/1000.000 dosis.
Mengingat hampir setiap vaksin mempunyai potensi memberikakn reaksi efek
samping atau KIPI, maka sebaiknya bertanya terlebih dahulu kepada petugas
gejala apa saja yang dapat terjadi setelah vaksinasi. Bila keluhan KIPI bersifat
ringan, misalnya demam, nyeri tempat suntikan, atau bengkak maka dapat
dilakukan pengobatan sederhana, misalnya dengan minum obat antipiretik saja.
Tetapi bila kejadian pasca imunisasi bersifat serius, maka harus secepat mungkin
dibawa kerumah sakit. Setiap pelayanan kesehatan yang melakukan pemberian
vaksinasi mempunyai kewajiban untuk melaporkan KIPI ke Dinas Kesehatan
Tingkat Kabupaten, dengan tembusan ke Sekretariat KOMDA PP KIPI yang
berkedudukan di setiap provinsi.
21
VAKSINASI YANG DIANJURKAN1
Tidak semua negara menerapkan kebijaksanaan vaksinasi yang sama pada
masyarakatnya. Namun, biasanya rekomendasi vaksinasi lebih diprioritaskan bagi
bayi dan anak-anak, karena kelompok usia ini dianggap belum mempunyai sistem
kekebalan tubuh sempurna. Diindonesia, pemerintah mengambil kebijakan dalam
pemberian vaksinasi menjadi dua, yaitu vaksin wajib (sebagai program imunisasi
nasional) serta vaksin yang dianjurkan (bukan merupakan program imunisasi
nasional)
Vaksinasi yang dianjurkan Pemerintah 2010
- Tuberculosis
- MMR
(campak,
gondong,
- Hepatitis B
rubella)
- DPT
(Difteri,
tetanus,
- Haemophilus influenza tipe B
pertusis)
- Demam tifoid
- Poliomielitis
- Varisela
- Campak
- Hepatitis A
- Influenza
- Pneumokokus
- Rotavirus
- Yellow fever
- Japannesse encephalitis
- Meningokokus
Tabel 1.Vaksinasi yang dianjurkan (Satgas Imunisasi – I katan Dokter Anak
Indonesia, 2010)1
1. Vaksinasi Tuberkulosis1,3,4
Adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis dibiak
berulang selama 1-3 tahun sehingga di dapat basil yang tidak virulen tetapi
masih mempunyai imunogenitas.Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang
memberi perlindungan terhadap penyakit TB. Vaksin TB tidak mencegah
infeksi TB, tetapi mencegah infeksi TB berat (meningitis TB dan TB milier).
Vaksin BCG membutuhkan waktu 6-12 minggu untuk menghasilkan efek
(perlindungan) kekebalannya. Vaksinasi BCG memberikan proteksi yang
22
bervariasi antara 50-80% terhadap tuberkulosis. Pemberian vaksinasi BCG
sangat bermanfaat bagi anak.
Di Indonesia, vaksin BCG merupakan vaksin yang diwajibkan pemerintah.
Vaksin ini diberikan pada bayi yang baru lahir dan sebaiknya diberikan pada
umur sebelum 2 bulan. Vaksin BCG juga diberikan pada anak usia 1-15 tahun
yang belum divaksinasi (tidak ada catatan atau tidak ada scar).
Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah untuk 0,05 ml dan untuk anak
0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersio M. deltoideus kanan.
WHO tetap menganjurkan pemberian vaksin BCG di insersio M. deltoid
kanan dan tidak di tempat lain (bokong, paha), penyuntikan secara intradermal
di daerah deltoid lebih mudah dilakukan (tidak terdapat lemak subkutis yang
tebal), ulkus yang terbentuk tidak mengganggu struktur otot setempat
(dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau paha anterior) dan
sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabila diperlukan.
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien
imunokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang atau
pada infeksi HIV).
KIPI yang didapat setelah vaksinasi adalah papul merah yang kecil timbul
dalam waktu 1 – 3 minggu. Papul ini akan semakin lunak, hancur, dan
menimbulkan parut. Luka ini mungkin memakan waktu sampai 3 bulan untuk
sembuh. Biarkan vaksinasi sembuh sendiri dan pastikan agar tetap bersih dan
kering.
2. Vaksinasi Hepatitis B1,3
Di Indonesia, vaksinasi hepatitis B merupakan vaksinasi wajib bagi bayi
dan anak karena pola penularannya bersifat vertikal. Ada berbagai jenis
pilihan vaksin yang diproduksi oleh beberapa perusahaan farmasi dan dosis
serta cara pemberiannya sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2.
Nama
Dagang
Engerix B
Produsen
Cara
Pemberian
GSK
IM
Dosis
Anak
Dewasa
Interval
Pemberian
10 mcg
20 mcg
Bulan
0,1,6
ke-
23
Euvax
Sanofi
IM
Anak
10 mcg
Bulan kepasteur
Dewasa
20 mcg
0,1,6
HB VAX MSD
IM
Anak
10 mcg
Bulan keII
Dewasa
20 mcg
0,1,6
Hepavax
Kalbuitech IM
Anak
10 mcg
Bulan keGene
Dewasa
20 mcg
0,1,6
Hepatitis
Bio Farma IM
Anak
10 mcg
Bulan keB
20 mcg
0,1,6
Tabel 2. Produsen, Jenis, Cara pemberian, Dosis, dan Interval Pemberian
Vaksin Hepatitis B (Ali sulaiman dan J. Sundoro,2007)
Secara umum, vaksin diberikan 3 kali pemberian, disuntikan secara dalam
(sampai ke otot). Vaksinasi diberikan dengan jadwal 0, 1, 6 bulan (kontak
pertama, 1 bulan, dan 6 bulan kemudian). Khusus vaksinasi bayi baru lahir
diberikan dengan jadwal berikut :
1. Dosis pertama : sebelum umur 12 jam
2. Dosis kedua
: umur 1-2 bulan
3. Dosis ketiga
: umur 6 bulan
Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah meperoleh imunisasi
hepatitis B, maka secepatnya diberikan.
Untuk ibu dengan HbsAg positif, selain vaksin hepatitis B diberikan juga
hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml disisi tubuh yang berbeda dalam
12 jam setelah lahir. Sebab, Hepatitis B imunoglobulin (HBIg) dalam waktu
singkat segera memberikan proteksi meskipun hanya jangka pendek (3-6
bulan).
Reaksi KIPI yang sering terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan
bersifat sementara, terkadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2
hari. Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi absolut pemberian vaksin
Hepatitis B. Kehamilan dan laktasi bukan kontraindikasi vaksin Hepatitis B.
3. Vaksinasi DTP1,3
Vaksinasi Difteri
Jenis vaksin difteri yang diberikan harus sesuai dengan usia saat
pemberian. Sebagai imunisasi dasar, vaksin difteri diberikan bersamaan
dengan imunisasi tetanus dan pertusis, dalam bentuk vaksin DPT. Pada
beberapa dekade terakhir, pemberian vaksin DPT telah menjadi imunisasi
24
yang diwajibkan oleh pemerintah. Vaksin DPT (DtaP atau DTwP) diberikan
untuk anak usia diatas 6 minggu sampai 7 tahun. Untuk anak usia 7-18 tahun
diberikan vaksin difteri dalam bentuk vaksin Td (Tetanus dan Difteri) atau
vaksin Tdap (tetanustoxoid, reduced diphteria toxoid, dan acellular pertusis
vaccine adsorbed). Vaksin Td diberikan juga pada anak dengan kontraindikasi
terhadap komponen pertusis dan dianjurkan pada anak usia lebih dari 7 tahun
untuk memperkecil kejadian ikutan pasca-imunisasi karena toxoid difteri.
Jadwal vaksinasi yang dianjurkan saat ini dimulai pada usia 2 bulan,
melalui suntikan intramuskular. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dengan
selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan pertama dilakukan 1
tahun sesudahnya (usia 15-18 bulan) dan ulangan kedua diberikan 3 tahun
setelah ulangan yang pertama (4-6 tahun).
Dari laporan yang ada, daya proteksi vaksin difteri sebesar 98,45% setelah
suntikan yang ketiga, namun kekebalan yang terbentuk setelah imunisasi dasar
hanya bertahan selama 10 tahun, sehingga perlu diberikan booster setiap 10
tahun sekali. Pemberian booster cukup dengan vaksin Td (tetanus dan difteri).
Dianjurkan memberikan booster pada usia 11 sampai dengan 12 tahun atau
minimal 5 tahun setelah pemberian terakhir. Setelah itu direkomendasikan
untuk memberikan booster setiap 10 tahun.
Jadwal vaksinasi untuk usia 7 - 18 tahun sebagai imunisasi primer dengan
menggunakan vaksin Td, yaitu 3 dosis dengan jarak 4 minggu diantara dosis
pertama dan kedua, dan 6 bulan diantara dosis kedua dan ketiga. Ikuti dengan
dosis booster 6 bulan setelah dosis ketiga.
KIPI dan Kontra Indikasi
Reaksi KIPI dari vaksin DPT adalah terjadinya demam ringan dan reaksi
lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi suntikan. Demam
yang timbul dapat mengakibatkan kejang demam (sekitar 0,06%).
Vaksin DPT tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi dan kejang
pada pemberian vaksin yang pertama.
Vaksinasi Pertusis
25
Bayi baru lahir memiliki kekebalan terhadap pertusis yang didapat dari
ibu, namun kekebalan ini hanya bertahan sampai usia 4 bulan. Oleh karena itu,
sebaiknya anak usia kurang dari 1 tahun diberikan vaksin. Vaksin pertusis
diberikan dalam bentuk vaksin DPT (DTwP atau DtaP) dimulai pada saat bayi
berusia 2 bulan melalui suntikan ke dalam otot. Imunisasi dasar diberikan
sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan
pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 18 bulan) dan ulangan kedua
diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (usia 4-6 tahun).
Pada awal pembuatan vaksin DPT, komponen pertusis yang digunakan
merupakan whole pertusis (DTwP), yaitu seluruh bakteri Bordetella pertusis
yang telah di non aktifkan. Namun, sejak tahun 1962 mulai beredear vaksin
dengan menggunakan fraksi sel/aselular (DtaP) yang mengandung satu atau
lebih protein Bordetella pertusis. Dengan penggunaan vaksin DtaP, ternyata
efek samping, baik lokal maupun sistemik yang ditimbulkan lebih rendah
(75%) jika dibandingkan dengan vaksin DTwP. Vaksin ini tidak dapat
mencegah pertusis seluruhnya, namun terbukti dapat meperingan durasi dan
tingkat keparahan pertusis.
KIPI
Demam ringan dengan reaksi lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri
pada lokasi suntikan. Demam yang timbul dapat mengakibatkan kejang
demam (0,06%), anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa
jam pasca suntikan (inconsolable crying). KIPI yang berat dapat terjadi
ensefalopati akut atau reaksi alergi berat (anafilaksis).
Kontra indikasi
Vaksin tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi berat dan
ensefalopati pada pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang perlu
mendapatkan perhatian khusus adalah bila pada pemberian pertama dijumpai
riwayat demam tinggi, respon dan gerak yang kurang (hipotonikhiporesponsif) dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 2 jam, dan
riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DPT.
Vaksinasi Tetanus
26
Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT.
DPT diberikan satu seri yang terdiri atas 5 suntikan pada usia 2 bulan, 4 bulan,
6 bulan, 15-18 bulan, dan terakhir saat sebelum masuk sekolah (4-6 tahun).
Pemberian vaksin DPT pada anak-anak harus ditunda jika anak mengalami
demam tinggi, memiliki kelainan saraf, atau mengalami gangguan
pertumbuhan.
KIPI
KIPI pemberian vaksinasi tetanus biasanya bersifat ringan, berupa rasa
nyeri, warna kemerahan dan bengkak di tempat penyuntikan, dan demam.
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap Difteri,
Tetanus dan Pertusis. Biasanya vaksin DPT atau DT diberikan dalam bentuk
suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha secara intramuskular
atau subkutan sebanyak 0,5 ml.2
Imunisasi DPT diberikan 3 kali yaitu sejak umur 2 bulan (DPT I), umur 3
bulan (DPT II) dan pada umur 4 bulan (DPT III) dengan selang waktu tidak
kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulangan (DPT IV) diberikan 1 tahun
setelah DPT III yaitu pada umur 18-24 bulan dan DPT V diberikan pada saat
usia prasekolah (5-6 tahun).2
Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan
booster vaksin DT pada usia 14-16 tahun dan kemudian dilanjutkan setiap 10
tahun karena vaksin memberikan perlindungan selama 10 tahun dan setelah
10 tahun diberikan booster. Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3
kali
suntikan
yang
mengandung
vaksin
difteri,
akan
memberikan
perlindungan terhadap difteri selama 10 tahun.2
Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka
sebaiknya diberikan DT, bukan DPT. Jika anak menderita penyakit yang
lebih serius dari flu ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat.
Jika ada riwayat kejang, penyakit otak atau perkembangannya abnormal,
penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau kejangnya
bisa dikendalikan.2
Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara
intramuskular baik pada imunisasi dasar maupun ulangan.
27
4. Vaksinasi Polio1,3
Pada saat ini ada dua jenis vaksin polio yaitu OPV (oral polio vaccine) dan
IPV (inactivated polio vaccine). OPV diberikan 2 tetes melalui mulut,
sedangkan IPV diberikan melalui suntikan dengan dosis 0,5 ml dengan
suntikan subkutan dalam 3 kali di lengan dengan jarak 2 bulan. Vaksin polio
oral diberikan pada bayi baru lahir kemudian dilanjutkan dengan imunisasi
dasar, diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan. Pada PIN (pekan imunisasi
nasional) semua balita harus mendapat imunisasi tanpa memandang status
imunisasi kecuali pada penyakit dengan daya tahan tubuh menurun
(imunokompromais). Bila pemberiannya terlambat, jangan mengulang
pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi sesuai dengan
jadwal. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV, diberikan 2 tetes dengan
jadwal seperti imunisasi dasar. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh
terhadap respons pembentukan daya tahan tubuh terhadap polio, jadi saat
pemberian vaksin, anak tetap bisa minum ASI.
Imunisasi polio ulangan diberikan saat masuk sekolah (5-6 tahun) dan
dosis berikutnya diberikan pada usia 15-19 tahun. Sejak tahun 2007, semua
calon jemaah haji dan umroh dibawah usia 15 tahun harus mendapat 2 tetes
OPV.
KIPI
Pernah dilaporkan bahwa penyakit poliomielitis terjadi setelah pemberian
vaksin polio. Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat menimbulkan
gejala pusing, diare ringan, dan nyeri otot. Vaksinasi polio tidak dianjurkan
diberikan ketika seseoarang sedang demam, muntah, diare, sedang dalam
pengobatan radioterapi atau obat penurun daya tahan tubuh, kanker, penderita
HIV, dan alergi pada vaksin polio.
OPV tidak diberikan pada bayi yang masih dirumah sakit karena OPV
berisi virus polio yang dilemahkan dan vaksin jenis ini bisa diekskresikan
28
melalui tinja selama 6 minggu, sehingga bisa membahayakan bayi lain. Untuk
bayi yang dirawat dirumah sakit, disarankan pemberian IPV.
5. Imunisasi Campak1,3
Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak.
Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan
campak jerman (vaksin MMR). Jika hanya mengandung campak vaksin
diberikan pada usia 9 bulan dalam 1 dosis 0,5 ml subkutan dalam. Terdapat 2
jenis vaksin campak, yaitu vaksin yang berasal dari virus campak hidup dan
dilemahkan (tipe Edmonston-B) dan vaksin yang berasal dari virus campak
yang dimatikan (virus campak yang berada dalam larutan formalin yang
dicampur dengan garam aluminium).
Imunisasi ulangan juga dianjurkan dalam situasi tertentu :1
a. Mereka yang memperoleh imunisasi sebelum umur 1 tahun dan terbukti
bahwa potensi vaksin yang digunakan kurang baik (tampak peningkatan
insidens kegagalan vaksinasi). Pada anak-anak yang memperoleh imunisasi
ketika berumur 12-14 bulan tidak disarankan mengulangi imunisasinya
tetapi hal ini bukan kontra indikasi
b. Apabila terdapat kejadian luar biasa peningkatan kasus campak, maka anak
SD, SLTP dan SLTA dapat diberikan imunisasi ulang
c. Setiap orang yang pernah memperoleh imunoglobulin
d. Seseorang yang tidak dapat menunjukkan catatan imunisasinya
Kontraindikasi :
Bagi mereka yang sedang menderita demam tinggi, sedang memperoleh
pengobatan
imunosupresif,
hamil,
memiliki
riwayat
alergi,
sedang
memperoleh pengobatan imunoglobulin atau bahan-bahan berasal dari darah,
alergi terhadap protein telur.
KIPI
- Demam lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam
dijumpai pada hari ke-5 sampai ke-6 sesudah imunisasi dan berlangsung
selama 2 hari
29
- Kejang demam
- Ruam timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan
berlangsung selama 2-4 hari
- Reaksi KIPI yang berat dapat menyerang sistem saraf, yang reaksinya
diperkirakan muncul pada hari ke-30 sesudah imunisasi.
6. Vaksinasi MMR1,3
Vaksin MMR merupakan vaksin kering, mengandung virus hidup. Bagi
Balita, pada usia 12-15 bulan (jika tidak mendapatkan imunisasi campak)
dapat diberikan vaksinasi MMR untuk mencegah risiko tinggi yang
membahayakan bagi kesehatan.
Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit
campak, gondongan, dan rubella. Pemberian vaksin biasanya dilakukan pada
usia anak 12-15 bulan. Dosis tunggal 0,5 ml diberikan secara intramuskular
atau subkutan dalam.
Terdapat 2 jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia, yaitu :
Galur virus yang
dilemahkan
Campak
Gondongan
Rubella
Edmonston
Jerryl lyn
Wistar RA 27/3
Schwarz
Urabe AM-9
Wistar RA 27/3
Tabel 3 . Dua jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia
Daya lindung MMR sebesar 95%, namun kadar antibodi yang
dibentuk melalui vaksinasi lebih rendah dibandingkan dengan antibodi
yang diperoleh setelah menderita gondongan. Vaksinansi MMR tidak
dianjurkan diberikan pada: anak yang alergi terhadap telur/neomycin, yang
sedang dalam pengobatan imunosupresif, anak dengan alergi berat, anak
dengan demam akut, setelah pemberian imunoglobulin atau transfusi
darah.
KIPI
Reaksi sistemik, seperti malaise, demam, atau ruam yang sering terjadi
1 minggu setelah imunisasi dan berlangsung selama 2-3 hari.
7. Vaksinasi Hib (Haemophilus influenza tipe b)1,3
30
Vaksin Hib merupakan vaksin yang tidak aktif, dibuat dari kapsul
Haemophilus influenza Tipe B yang disebut polyribosribitol phospat (PRP).
Terdapat 2 jenis vaksin Hib di Indonesia yaitu PRP-T dan PRP-OMP. Kedua
vaksin ini termasuk vaksin konjugasi. Vaksin Hib PRP-T diberikan pada usia
2, 4 dan 6 bulan. Vaksin Hib PRP-OMP diberikan pada usia 2 dan 4 bulan.
Dosis ketiga tidak diperlukan. Vaksin ulangan, baik PRP-T maupun PRPOMP diberikan pada usia 15 - 18 bulan. Apabila anak datang pada usia 1-5
tahun, maka vaksin Hib hanya diberikan 1 kali. Vaksin ini diberikan secara
intramuskular sebanyak 0,5 ml didaerah paha atas. Kekebalan tubuh akan
mulai terbentuk setelah pemberian suntikan yang pertama dengan vaksin jenis
PRP-OMP dan setelah 2 kali suntikan dengan vaksin jenis PRP-T.
Anak-anak usia diatas 6 bulan yang belum mendapat vaksin diberikan 2
kali suntikan, sedangkan bagi anak diatas usia 1 tahun cukup mendapat 1 kali
suntikan saja tanpa perlu pemberian ulangan. Dengan pemberian vaksin ini
diharapkan 95% anak-anak terlindungi dari infeksi Hib setelah dosis kedua
atau ketiga.
Reaksi KIPI setelah pemberian vaksinasi Hib, 5%-30% anak memperoleh
vaksinasi bisa mengalami demam, bengkak kemerahan, dan nyeri pada tempat
suntikan selama 1-3 hari. Vaksin Hib tidak direkomendasikan diberikan bila
seseorang sedang demam, mengalami infeksi akut, dan orang dengan riwayat
alergi yang mengancam jiwa.
8. Vaksinasi Pneumokokus 1,3
Saat ini telah tersedia 2 macam vaksin untuk mencegah penyakit yang
disebabkan bakteri pneumokokus, yaitu PPV23 dan PCV7. PPV23 adalah
vaksin pneumokokus yang berisi polisakarida murni dengan 23 serotipe, vaksin
jenis ini kurang bereaksi baik jika diberikan pada anak usia kurang dari 2 tahun
karena fungsi sel imun yang belum matang. Vaksin ini hanya memberikan
kekebalan
dalam
jangka
pendek.
Sedangkan
PCV7
adalah
vaksin
pneumokokus generasi kedua yang berisi polisakarida konjugasi. Vaksin ini
dapat diberikan pada anak usia kurang dari 2 tahun meskipun sel imun mereka
31
belum matur. Vaksin ini mencakup 7 serotipe yang berbahaya yang banyak
mengakibat kematian pada anak usia < 5 tahun.
Vaksin pneumokokus diberikan secara intramuskular atau subkutan di
daerah deltoid atau paha tengah lateral sebanyak 0,5 ml. Vaksin ini diberikan
sejak usia 2 bulan dengan interval 2 bulan sebanyak 3 kali. Kemudian ulangan
hanya dilakukan pada anak yang memiliki risiko tinggi tertular pneumokokus
pada usia 12-18 bulan. PCV7 sebaiknya diberikan jika anak sudah berusia lebih
dari 2 bulan, diberikan pada bayi umur 12-15 bulan. Interval antara 2 dosis
minimal 4-8 minggu. Anak yang telah mendapat imunisasi PCV7 lengkap
sebelum umur 2 tahun, pada umur 2 tahun diberi PPV23 1 dosis, dengan selang
waktu suntik > 2 bulan setelah PCV7 terakhir.
Reaksi KIPI pada 30-50% resipien yang mendapatkan vaksin ini akan
mengalami eritema atau nyeri pada tempat suntikan, biasanya berlangsung
kurang dari 48 jam. Reaksi lain berupa demam, gelisah, pusing, nafsu makan
menurun, mialgia (pada anak <1%). Demam ringan sering timbul. Reaksi
ikutan pasca imunisasi ini biasanya terjadi setelah pemberian dosis kedua,
namun berlangsung tidak lama dan menghilang dalam 3 hari.
Ada beberapa kondisi dimana imunisasi pneumokokus ini tak dapat
diberikan, yaitu:
Kontraindikasi absolut: bila timbul anafilaksis setelah pemberian vaksin.
Kontraindikasi relatif:
-
Usia kurang dari 2 tahun, karena respon terhadap vaksin masih
kurang baik
-
Dalam pengobatan imunosupresif atau radiasi kelenjar limfe.
9. Vaksinasi Influenza1,3
Virus influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza
virus). Terdapat 2 macam vaksin, yaitu whole virus dan split-virus vaccine.
Dosis bagi anak berumur < 3 tahun adalah 0,25 ml dan dosis bagi anak
berumur > 3 tahun adalah 0,5 ml disuntikan di otot paha. Bila anak telah
berusia > 9 tahun, vaksin cukup diberikan satu dosis dan diulang setiap tahun.
32
KIPI dari penyuntikan vaksin yang mungkin terjadi adalah bengkak,
nyeri, kemerahan pada tempat suntikan, demam, dan pegal. Gejala-gejala
tersebut dapat terjadi setelah penyuntikan dan bertahan 1-2 hari.
10. Vaksinasi Tifoid1,3
Vaksin tifoid ada dua macam, yaitu: 10
a.
Vaksin oral: berasal dari kuman Salmonella typhi yang dilemahkan.
Disimpan dalam suhu 2-8oC dan dikemas dalam bentuk kapsul. Vaksin
oral diberikan pada saat anak berusia 6 tahun atau lebih sebanyak 4 kapsul
dengan jarak setiap 1 hari (hari 1-3-5-7). Pemberiannya dapat diulang tiap
5 tahun. Respon imun akan terbentuk 10-14 hari setelah dosis terakhir.
Yang perlu diperhatikan dalam pemberian vaksin ini adalah tidak
boleh dilakukan saat sedang demam, tidak boleh dilakukan pada orang
dengan penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV, keganasan, sedang
kemoterapi atau sedang terapi steroid) dan riwayat anafilaksis, tidak boleh
kepada orang yang alergi gelatin.
KIPI yang ditimbulkan oleh vaksin ini cukup ringan, yaitu muntah,
diare, demam, dan sakit kepala. Dengan efektivitas vaksin yang lebih
tinggi dan disertai efek samping yang lebih rendah daripada jenis vaksin
tifoid lainnya, maka
vaksin tifoid oral ini merupakan pilihan utama.
Sayangnya, vaksin oral belum tersedia di Indonesia.
b. Vaksin parenteral: berasal dari polisakarida Vi dari kapsul salmonella
typhi, yang dimatikan. Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml
mengandung kuman Salmonella typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan
larutan bufer yang mengandung natrium klorida, disodium fosfat,
monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan. Disimpan dalam suhu 2-8oC
dan tidak boleh dibekukan. Diberikan pada anak berusia 2 tahun atau lebih.
Satu dosis dapat diberikan setiap 2-3 tahun. Dilakukan secara intramuskular
atau subkutan di deltoid atau paha atas. Respon imunitas akan terbentuk
dalam 15 hari sampai 3 minggu setelah imunisasi.
Keadaan yang dihindarkan saat pemberian vaksin adalah jangan diberikan
sewaktu demam, riwayat alergi, dan keadaan penyakit akut.
33
KIPI yang timbul berupa demam, pusing, sakit kepala, nyeri sendi, nyeri
otot tempat suntikan.
11. Imunisasi Hepatitis A1,3
Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa vaksinasi Hepatitis A dapat
memberikan perlindungan hampir 100% dan dapat bertahan sekitar 15 - 20
tahun. Vaksin Hepatitis A berisi virus Hepatitis A yang dilemahkan dan
tersedia dalam 2 kemasan dosis, yaitu untuk anak-anak 2-18 tahun dan
dewasa usia > 18 tahun. Vaksin diberikan sebanyak 2 kali, suntikan kedua
diberikan 6-12 bulan dari suntikan pertama, dan selanjutnya tidak
diperlukan pengulangan. Untuk pemberian yang cepat dapat langsung
diberikan suntikan 2 dosis sekaligus dengan daya perlindungan > 90%
dalam 2 minggu. Dosisnya bervariasi bergantung pada produk dan usia,
disuntik secara intramuskular di deltoid.
Jenis Vaksin
Usia
Dosis
Volume (ml)
Jadwal
(bulan ke-)
Havrix
(Glaxo
2 - 18 th
720 ELISA
0,5
Dua dosis : 0
SmithKline)
units
dan 6-12
> 18 th
ELISA units
1
Dua dosis : 0
dan 6-12
Vaqta (Merck)
2 - 18 th
25 U
0,5
Dua dosis : 0
dan 6-18
> 18 th
50 U
1
Dua dosis : 0
dan 6-12
Twinrix
> 17 tahun
720 ELISA
1
Tiga dosis :
(GlaxoSmithKline)
units
0, 1, dan 6
Tabel 4. Vaksinasi Hepatitis A dan Pemberian Imunoglobulin (Craig &
William S 2004)
KIPI
Umumnya aman dan KIPI yang sering ditemukan adalah reaksi lokal
tetapi umumnya ringan, kadang-kadang juga ada sedikit demam. Efek samping
akibat pemberian vaksinasi terbanyak 10 %-15% berupa nyeri dan bengkak di
tempat injeksi. Vaksin tidak boleh diberikan pada individu yang mengalami efek
samping berat sesudah pemberian dosis pertama.
34
12. Vaksinasi Varisela1,3
Vaksin berisi virus hidup varicella-zoster yang dilemahkan yang berasal
dari galur OKA. Vaksin ini berasal dari virus varicella zooster liar yang
diisolasi dari seorang anak yang bernama belakang oka berusia 3 tahun. Vaksin
ini dikembangkan pertama kali di Jepang oleh Takahashi dan di Amerika
mendapat lisensi untuk digunakan pada anaksejak tahun 1995.
Menurut rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak seluaruh Indonesia),
vaksin varisela dianjurkan pada anak dengan usia > 1 tahun, cukup 1 dosis.
Namun berdasarkan penelitian mengenai pencegahan dan penanganan wabah
varisela maka pada tahun 2006 The Advisory Commitee on Immunization
Practices
(ACIP)
dan
America
Academy
of
Pediatrics
(AAP)
merekomendasikan 2 dosis untuk semua anak. Hal ini disebabkan masih
timbulnya wabah varisela terutama pada populasi yang sebagian besar telah
dievakuasi. Disimpan dalam suhu 2-8oC. Suntikan pertama diberikan saat usia
12-15 bulan dan suntikan kedua pada usia 4-6 tahun sebanyak 0,5 ml secara
subkutan.11
KIPI
Jarang terjadi, tetapi bila terjadi reaksi yang muncul bersifat lokal (1%)
yaitu bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan yang terjadi beberapa jam
sesudah suntikan. Kadang-kadang didapatkan demam (1%) dan timbul bercak
kemerahan dan lenting ringan.
Kontra indikasi
Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi,
gangguan kekebalan karena pengobatan penyakit keganasan atai sesudah
diradioterapi, pasien yang mendapat pengobatan kortikosteroid tinggi dan
alergi neomisin.
13. Vaksinasi Rotavirus1,3
Pada tahun 1998, vaksin Rotashield telah digunakan untuk mencegah diare
rotavirus. Namun, karena efek samping yang ditimbulkan (berupa gangguan
35
usus), maka vaksin tersebut ditarik dari peredaran. Saat ini terdapat 2 vaksin
rotavirus, yaitu ;
-
Rotarix (GSK) yang merupakan vaksin monovalen karena hanya mengandung
strain manusia P(8)G1.
-
Rotateg yang merupakan vaksin prevalen karena mengandung strain manusiasapi P(8)G1-G4.
Keduanya diberikan melalui mulut (oral). Kedua vaksin tersebut terbukti aman
dari risiko gangguan usus. Efektivitas vaksin berkurang apabila diberikan
bersama vaksin polio oral. Kejadian ikutan pasca pemberian vaksin dilaporkan
adalah diare 7,5%; muntah 8,7%; dan demam 12,1%
Nama Vaksin
Sasaran imunisasi
Macam vaksin
Dosis
Jadwal Pemberian
Cara Pemberian
Efektivitas
Kontraindikasi
KIPI
Rotavirus
Bayi sedini usia 4 minggu
Rotarix, Rotateg
Rotarix, 3 dosis; Rotareg, 2 dosis
Rotarix : usia (4, 8) minggu; Rotateg :
usia (4,8,12) minggu
Oral
Belum diketahui secara pasti
- Sebaiknya tidak diberikan bersama-sama
dengan vaksin polio oral
- Adanya infeksi bakteri patogen di Usus
Diare, muntah, demam
Tabel 5 . Vaksinasi rotavirus
14. Vaksin Japanesse Encephalitis1
Pencegahan penyakit JE pada manusia bisa dilakukan dengan pemberian
vaksin JE. Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan
pada hari ke-0, hari ke-7 dan hari ke-28. Untuk anak berumur 1-3 tahun, dosis
yang diberikan masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang sama. Dosis
penguat dapat diberikan 3 tahun kemudian bagi mereka yang tinggal di
daerah rawan terinfeksi virus JE.
KIPI pemberian vaksin JE bias berupa kemerahan dan bengkak di tempat
penyuntikan, demam, sakit kepala, menggigil, mual dan muntah. Di Indonesia
pemberian vaksin JE pada manusia belum disosialisasikan, karena kebijakan
penggunaan vaksin masih belum diatur.
Nama Vaksin
Vaksin Japannesse encephalitis
36
Indikasi
Dosis dan
jadwal
Efektivitas
KIPI
Kontraindikasi
Semua umur terutama yang tinggal di daerah rawan JE atau
yang akan mengadakan perjalanan ke dearah yang rawan
penyakit JE
1 ml secara subkutan pada hari 0, 7, dan 28. Untuk anak
berumur sapai 1-3 tahun; dosis 0,5ml, dengan jadwal yang
sama
90%
Kemerahan dan bengkak di temppat penyuntikan, demam,
sakit kepala, menggigil, mual dan muntah
Alergi
Tabel 6 . Vaksinasi Japannesse encephalitis
15. Vaksinasi Meningitis1
Pencegahan secara khusus dilakukan dengan pemberian vaksin. Vaksin
meningococcus pertama diperkenalkan pada tahun 1978. Awalnya, vaksin ini
hanya mampu melindungi dari 2 subtipe bakteri moningococcus (A & C).
Namun, vaksin ini telah mengalami banyak perkembangan, sekarang dapat
melindungi 4 subtipe dari bakteri meningococcus, yaitu subtype A, C, Y,dan
W-135.
Vaksin ini disebut vaksin tetravalent, yaitu MPSV4 (meningococcal
polysacarida vaccine A, C, Y, W-135) dan yang terbaru MCV4 (
Meningococcaal conjugated vaccine A,C, Y, W-135).
Pemberian vaksin diutaman bagi anggota militer yang tinggal di barak
perkemahan, pegawai laboratorium yang kontak serta dengan bakteri Neisseria
meningitidis, siswa yang tinggal di daerah pesantren, dan bagi jemaah haji serta
turis yang hendak masuk ke daerah endemik.
Vaksin Polisakarida Meningococcus A, C, Y, W-135 (MPSV4)
Vaksin ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 1981, diberikan pada anak
usia 2-10 tahun dan usia di atas 55 tahun. Pemberian vaksin tidak dianjurkan
bagi anak usia kurang dari 2 tahun dan anak sekolah di atas 11 tahun. Yang
lebih dianjurkan untuk usia ini adalah vaksin jenis MCV4, namun jika tidak
tersedia vaksin jenis MCV4, maka vaksin ini (MPSV4) juga dapat digunakan.
Vaksin MPSV4 diberikan dengan satu kali suntikan secara subkutan (di
bawah kulit). Perlindungan yang didapatkan
sekitar 85%-100% dan akan
37
bertahan selama 3-5 tahun. Kekebalan yang terbentuk akan menurun dalam 2-3
tahun, sehingga diperlukan imunisasi ulangan setiap 3-5 tahun.
KIPI yang timbul akibat vaksin ini relatif ringan, yakni hanya berupa nyeri
dan kemerahan pada tempat suntikan, dapat terjadi demam (5%). Reaksi alergi
jarang terjadi (kurang dari 0,1/100.000).
Vaksin Conjugasi Meningococcus (MCV 4)
MCV4 pertama kali dikeluarkan pada tahun 2005 dengan harapan dapat
lebh baik daripada vaksin sebelumnya dan dapat memberikan perlindungan
yang lebih lama. Vaksin ini diberikan bagi anak di atas usia 2 tahun, terutama
pada usia 11-12 tahun. Pertimbangan pemberian vaksin untuk anak usia di atas
11 tahun adalah karena respon kekebalan yang terbentuk terhadap vaksin ini
tidak optimal, sehingga daya perlindungan yang didapatkan tidak maksimal.
Pemberian vaksin dilakukan 1 kali melalui suntikan di otot lengan dan
boleh diberikan bersamaan dengan vaksin lainnya, asalkan pada tempat yang
berbeda.
Kekebalan mulai terbentuk dalam 10 - 14 hari setelah pemberian vaksin dan
dapat bertahan selama 10 tahun. Dengan demikian tidak perlu pemberian
ulangan, tetapi untuk yang menerima vaksin di bawah usia 4 tahun kekebalan
tubuh yang terbentuk akan lebih cepat menurun dalam 3 tahun pertama.
Pemberian ulangan diberikan jika ada risiko penularan secara terus menerus.
Jadwal ulangan adalah 1 tahun untuk anak yang menerima vaksin pada
usia kurang dari 4 tahun. Bagi anak yang menerima vaksin pada usia di atas 4
tahun, maka ulangan diberikan setelah satu tahun.
KIPI yang ditimbulkan oleh vaksin ini lebih sering terjadi dibandingkan
dengan vaksin jenis MPSV4. Namun, biasanya sangat ringan, yakni berupa
rasa sakit dan tibul kemerahan pada tempat suntikan yang akan hilang dalam 12 hari. Efek lain yang dapat timbul adalah kesemutan atau rasa seperti terbakar,
tetapi angka kejadiannya sangat jarang (kurang dari 1/10.000 orang). GuillainBarre Syndrome atau terjadi kelumpuhan merupakan efek samping yang
ditakutkan, namun risiko terjadinya efek ini sangat kecil. Vaksin ini tidak boleh
38
diberikan pada seseorang dengan riwayat alergi dengan bahan vaksin, alergi
latex, dan pada orang dengan infeksi akut, serta pada wanita hamil.
16. Vaksin Yellow Fever1
Orang (berumur > 1 tahun) yang hendak bepergian ke Amerika dan
Amerika Latin harus mendapatkan vaksinasi demam kuning. Aturannya adalah
10 hari setelah mendapatkan vaksinasi, orang tersebut akan memperoleh
International Certificate of Vaccination yang berlaku sampai 10 tahun. Vaksin
demam kuning berupa virus hidup yang dilemahkan, dari galur 17 D. Vaksin
disuntikkan di bawah kulit sebanyak 0,5 ml berlaku untuk semua umur dan
sangat efektif dalam memberikan proteksi dalam kurun waktu 10 tahun. Vaksin
tidak direkomendasikan pada anak < 9 bulan, ibu hamil, alergi telur, dan orang
yang sedang mengalami penurunan daya tahan tubuh.,
KIPI pemberian vaksin demam kuning pada umumnya bersifat ringan.
Sekitar 2%-5% penerima vaksin ini merasa pusing, nyeri otot, dan demam yang
terjadi 5-10 hari setelah mendapatkan vaksinasi.
17. Vaksinasi HPV
Pengembangan vaksin pencegahan vaksin HPV menawarkan harapan baru
untuk mencegah kanker leher rahim. Uji klinis dari 2 generasi pertama vaksin,
satu untuk HPV tipe 16 dan 18, sedangkan yang lainnya untuk tipe 6, 11, 16, 18
telah memperlihatkan proteksi yang cukup tinggi melawan insiden dan infeksi
persisten.
Vaksin diberikan 3 dosis (bulan ke-0, ke-1, dan ke-6) secara intramuskular lengan
atas. Vaksin tidak akan memberikan proteksi maksimal jika tidak menyeleseikan
ke-3 dosis tersebut. Sampai saat ini, penelitian selama 5 tahun dan masih berjalan
bahwa vaksin ini tidak memerlukan booster, sehingga masih efektif setidaknya
untuk 5 tahun.
Vaksin HPV aman dan efektif jika diberikan pada wanita usia 9-26 tahun. Namun
panduan dari Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) menyarankan
vaksin diberikan pada wanita usia 10-55 tahun. Vaksin pencegahan terhadap
39
infeksi HPV akan bekerja secara efisien bila vaksin ini diberikan sebelum
individu terpapar infeksi HPV.
Vaksin HPV relatif aman, reaksi KIPI relatif ringan dapat berupa nyeri pada
lokasi penyuntikan, sakit kepala, demam, mual, dan demam.
JADWAL IMUNISASI
Jadwal Imunisasi IDAI 2008 secara garis besar sama dibandingkan dengan
jadwal 2004. Perbedaan terletak pada penambahan vaksin pneumokokus
konjugasi (PCV=pneumococcal conjugate vaccine), vaksin influenza pada
program imunisasi yang dianjurkan (non-PPI) serta jadwal imunisasi varisela
yang dianjurkan diberikan pada umur 5 tahun (jadwal tahun 2007). Pada jadwal
2008 ditambahkan vaksin Rotavirus untuk diare pada anak dan HPV (Human
Papilloma Virus). Pada tahun 2010 ini berdasarkan rekomendasi IDAI (Ikatan
Dokter Anak Indonesia) tidak adanya lagi perbedaan program imunisasi yang
diwajibkan dan dianjurkan serta ada perbedaan waktu pemberian awal imunisasi
seperti varisela atau imunisasi ulangan seperti hepatitis B.
Gambar. Jadwal imunisasi 2011-20127
40
BAB III
KESIMPULAN
Upaya pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan banyak cara. Salah
satunya adalah dengan meningkatkan kekebalan atau imunitas tubuh dalam
menghadapi ancaman penyakit yang dilakukan dengan pemberian imunisasi.
Imunisasi dasar pada anak usia dibawah 2 tahun sangat penting untuk dilakukan
oleh karena bisa menurunkan angka kesakitan dan kematian yang seharusnya
dapat dicegah walaupun imunisasi tidak menjamin 100% bahwa seseorang tidak
akan terjangkit penyakit tersebut.
Pada tahun 2010 ini berdasarkan rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak
Indonesia) tidak adanya lagi perbedaan program imunisasi yang diwajibkan dan
dianjurkan serta ada perbedaan waktu pemberian awal imunisasi seperti varisela
atau imunisasi ulangan seperti hepatitis B.
Dalam hal ini maka harus terus digalakkan program imunisasi kepada
masyarakat luas sehingga masyarakat menyadari pentingnya imunisasi dan mau
membawa anaknya untuk melakukan imunisasi, khususnya imunisasi yang
diwajibkan. Jika imunitas pada masyarakat tinggi, maka risiko terjadinya
penularan dan wabah juga akan berkurang.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Suharjo, JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius : 2010
2. Sri, Rezeki S Hadinegoro. Prof. Dr. dr. SpA(K), dkk. Pedoman imunisasi
di Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta 2005
3. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting.
Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.
4. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB, penyunting.
Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi kedua. Jakarta: UKK
Respiratologi PP IDAI; 2007.
5. Lawrence M Tierney Jr MD, Stephen J McPhee MD, Maxine A Papadakis
MD. Current Medical Diagnosis and Treatment 2002. Page 1313-1319.
6. Eric AF Simoes MD DCH and Jessie R Groothius MD. Immunization.
Page 235-258.
7. Jadwal Imunisasi Anak - Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) 2008 [image on the Internet]. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia,
2008
Available
from
:
http://pediatricinfo.wordpress.com/2009/04/20/jadwal-imunisasi-2008idai/
42
Download