BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Imunisasi adalah suatu usaha untuk memberikan kekebalan pada bayi dan anak terhadap penyakit tertentu. Guna terwujudnya derajat kesehatan yang tinggi, pemerintah telah menempatkan fasilitas pelayanan.1 Angka kesakitan bayi di Indonesia relatif masih cukup tinggi, meskipun menunjukkan penurunan dalam satu dekade terakhir. Program imunisasi bisa didapatkan tidak hanya di puskesmas atau di rumah sakit saja, akan tetapi juga diberikan di posyandu yang dibentuk masyarakat dengan dukungan oleh petugas kesehatan dan diberikan secara gratis kepada masyarakat dengan maksud program imunisasi dapat berjalan sesuai dengan harapan. Program imunisasi di posyandu telah menargetkan sasaran yang ingin dicapai yakni pemberian imunisasi pada bayi secara lengkap. Imunisasi dikatakan lengkap apabila mendapat BCG 1 kali, DPT 3 kali, Hepatitis 3 kali, Campak 1 kali, dan Polio 4 kali. Bayi yang tidak mendapat imunisasi secara lengkap dapat mengalami berbagai penyakit, misalnya difteri, tetanus, campak, polio, dan sebagainya. Oleh karena itu, imunisasi harus diberikan dengan lengkap sesuai jadwal. Imunisasi secara lengkap dapat mencegah terjadinya berbagai penyakit tersebut.2 Pemerintah telah memberikan berbagai upaya dan kebijakan dalam bidang kesehatan untuk menekan angka kesakitan, namun masyarakat belum bisa memanfaatkannya secara optimal karena ada sebagian ibu yang memiliki persepsi bahwa tanpa imunisasi anaknya juga dapat tumbuh dengan sehat.3 Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas utama. Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi merupakan hal mutlak yang perlu diberikan pada bayi. Imunisasi adalah sarana untuk mencegah penyakit berbahaya, yang dapat menimbulkan kematian pada bayi. Penurunan insiden penyakit menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lampau di negara-negara maju yang telah melakukan imunisasi dengan teratur dengan cakupan yang luas. 1 Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar diperlukan pengetahuan dan keterampilan tentang vaksin (vaksinologi), ilmu kekebalan (imunologi) dan cara atau prosedur pemberian vaksin yang benar. Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi. Banyak penyakit menular yang bisa menyebabkan gangguan serius pada perkembangan fisik dan mental anak. Imunisasi bisa melindungi anakanak dari penyakit melaui vaksinasi yang bisa berupa suntikan atau melalui mulut. TUJUAN REFERAT 1. Mengetahui dan memahami pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan primer terhadap suatu penyakit. 2. Mengetahui kapan seharusnya imunisasi dilakukan dan seberapa pentingnya imunisasi harus didapatkan. 3. Memahami dan dapat mempraktekan cara-cara pemberian imunisasi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2 DEFINISI Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit. Imunisasi berasal dari kata immune yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit yang lain diperlukan imunisasi lainnya.3 Imunisasi biasanya terutama diberikan pada anak-anak karena sistem kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap serangan penyakit infeksi yang berbahaya. Beberapa imunisasi tidak cukup diberikan hanya satu kali, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan lengkap untuk mendapatkan kekebalan dari berbagai penyakit yang sangat membahayakan kesehatan dan hidup anak.1 Imunisasi merupakan suatu proses transfer antibodi secara pasif dengan memberikan imunoglobulin. Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan pada suatu antigen berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun memproduksi limfosit yang peka, antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan kekebalan. Tujuannya adalah memberikan “ infeksi ringan “ yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya dikemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen / penyakit yang masuk tersebut. Vaksinasi mempunyai keuntungan : • Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya. • Vaksinasi cost-effective karena murah dan efektif. • Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih jarang daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut secara almiah. 3 Vaksin adalah mikroorganisme bakteri, virus atau riketsia) atau toksoid yang diubah ( dilemahkan atau diamtikan) sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang, tetapi tetap mengandung sifat antigenisitas. Bila vaksin diberikan kepada manusia maka akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu. Vaksinasi merupakan upaya pencegahan primer. Secara konvensional, upaya pencegahan penyakit dan keadaan apa saja yang akan menghambat tumbuh kembang anak dapat dilakukan dalam tiga tingkatan yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder dan pencegahan tersier. Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya sakit atau kejadian yang dapat mengakibatkan seseorang sakit atau menderita cedera dan cacat. Pencegahan sekunder adalah upaya kesehatan agar tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan, yaitu meninggal atau meninggalkan gejala sisa, cacat fisik maupun mental. Pencegahan tersier adalah membatasi berlanjutnya gejala sisa tersebut dengan upaya pemulihan seseorang penderita agar dapat hidup mandiri tanpa bantuan orang lain. EPIDEMIOLOGI Berdasarkan laporan WHO tahun 2002, setiap tahun terjadi kematian sebanyak 2,5 juta balita, yang disebabkan penyakit yang dapat dicegah melalui vaksinasi. Radang paru yang disebabkan oleh pneumokokus menduduki peringkat utama (716.000 kematian), diikuti penyakit campak (525.000 kematian), rotavirus (diare), Haemophilus influenza tipe B, pertusis dan tetanus. Dari jumlah semua kematian tersebut, 76% kematian balita terjadi dinegara-negara sedang berkembang, khususnya Afrika dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia).1 WHO mengatakan bahwa penyakit infeksi yang dapat dicegah melalui vaksinasi akan dapat diatasi bilamana sasaran imunisasi global tercapai. Dalam hal ini bisa tercapai bila lebih dari > 90% populasi telah mendapatkan vaksinasi terhadap penyakit tersebut.1 TUJUAN 4 Untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia.3 Sasaran dari pemberian imunisasi tidak hanya pada anak-anak, tetapi juga mencakup wanita hamil (awal kehamilan – 8 bulan), wanita usia subur (calon mempelai). Pada anak-anak, imunisasi diberikan dimulai sejak bayi dibawah umur 1 tahun (0 – 11 bulan) sampai anak sekolah dasar (kelas 1 – kelas 6). RESPON IMUN Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua macam pertahanan tubuh yaitu : 1) mekanisme pertahanan nonspesifiik disebut juga komponen nonadaptif atau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu macam antigen , tetapi untuk berbagai macam antigen, 2) mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak pada pemberian antigen berikutnya. Hal ini disebabkan telah terbentuknya sel memori pada pengenalan antigen pertama kali. Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan dipresentasikan oleh sel makrofag ( APC = antigen presenting cel ) Pada sel T untuk antigen TD ( T dependent ) sedangkan antigen TI ( T independent ) akan langsung diperoleh oleh sel B. Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut imunoglobulin ( Ig ) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada individu yang lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas selular hanya dapat dipindahkan melalui sel, contohnya pada reaksi penolakan organ transplantasi oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease. Proses imun terdiri dari dua fase : 5 • Fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen ( APC = antigen presenting cells ), sel limfosit B, limfosit T. • Fase efektor, diperankan oleh antibodi dan limfosit T efektor KEBERHASILAN IMUNISASI Tergantung dari beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin. Status imun pejamu Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campsk, bila vaksinasi campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan membeikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI) yang mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio dapat mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral. Namun pada umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio diberikan pada masa pemberian kolostrum ( kurang atau sama dengan 3 hari setelah bayi lahir ), hendaknya ASI ( kolostrum ) jangan diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi. Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi neonatus fungsi makrofag masih kurang. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang. Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak. Maka, apabila imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan imunisasi ulangan. Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat obat imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya 6 defisiensi imun merupakan kontraindikasi pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi. Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin normal atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang. Faktor genetik pejamu Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi. Karena itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%. Kualitas dan kuantitas vaksin Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung sifat antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin. Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul. Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal disamping sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja. Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang diharapkan. Sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel-sel imunokompeten.Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis, karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan. 7 Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Disamping frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunkompaten. Bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan reaksi arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian ulang ( booster ) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis. Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan mengaktivasi APC ( antigen presenting cells ) untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel imunokompeten lainnya. Jenis Vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi ( killed atau inactivated ) atau bagian ( komponen ) dari mikroorganisme. Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tubuh mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi anerob, atau menambah empedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat pula dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi. PERSYARATAN VAKSIN 8 1. Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan memproduksi interleukin. 2. Mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori 3. Mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi variasi respons imun yang ada dalam populasi karena adanya polimorfisme MHC. 4. Memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus-menerus sehingga kadarnya tetap tinggi. Vaksin yang dapat memenuhi ke empat persyaratan tersebut adalah vaksin virus hidup. JENIS VAKSIN Pada dasarnya, vaksin dibagi menjadi 2 jenis, yaitu : Live attenuated ( bakteri atau virus hidup yang dilemahkan ) Inactivate ( bakteri, virus atau komponenmnya dibuat tidak aktif ) Vaksin hidup attenuated Diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak ( replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit. Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar ( wild ) penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar ini dilemahkan ( attinuated ) dilaboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi untuk mengubah virus liar campak menjadi virus vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara melakukan penanaman pada jaringan media pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita penyakit campak pada tahun 1954. o Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup atteuated harus berkembang biak ( mengadakan replikasi ) di dalam tubuh resipien. 9 o Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol ( misalnya panas atau cahaya ) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh ( antibodi yang beredar ) dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif. o Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama dengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak membedakan antara suatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan virus liar. o Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup. o Antibodi dari sumber apapun ( misalnya transplasental, transfusi ) dapat mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak adanya respons ( non response ). Vaksin campak merupakan mikroorganisme yang paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit terkena pengaruh. o Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila kena panas dan sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan hati-hati. Vaksin hidup attenuated yang tersedia Berasal dari vrius hidup : Vaksin campak, gondongan ( parotitis ), rubela, polio, rotavirus, demam kuning ( yellow fever ). Berasal dari bakteri : Vaksin BCG dan demam tifoid oral. Vaksin Inactivated o Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara mambiakkan bakteri atau virus dalam media pembiakan ( persemaian ), kemudian dibuat tidak aktif dengan penambahan bahan kimia ( biasanya formalin ). o Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit ( walaupun pada orang dengan defisiensi imun ) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Antigen inactivated tidak 10 dipengaruhi oleh antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada di dalam sirkulasi darah. o Vaksin inactivated selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya pada dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai respons imun yang mirip atau sama dengan infeksi alami, respons imun terhadap vaksin inactivated sebagian besar humoral, hanya sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu. o Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit masih memerlukan vaksin seluruh sel ( whole cell ), namun vaksin bakterial seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons terhadap komponen-komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk perlindungan ( contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT ). Vaksin Inactivated yang tersedia saat ini berasal dari : Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A. Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra. Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza, pertusis a-seluler, tifoid Vi, lyme disease. Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum. Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan haemophilus influenzae tipe b. Gabungan polisakarida ( haemophillus influenzae tipe B dan pneumokokus ). VAKSIN DAN SISTEM KEKEBALAN 11 Sebelum membahas bagaimana pemberian vaksin dapat memberikan perlindungan terhadap seseorang, terlebih dahulu perlu diketahui sistem kekebalan tubuh kita bekerja melawan mikroorganisme (virus, bakteri, parasit, dsb).1 Gambar 11 Manusia dapat terhindar atau sembuh dari serangan penyakit infeksi karena telah dilengkapi dengan 2 sistem kekebalan tubuh, yaitu :1 1. Kekebalan tidak spesifik (Non Spesific Resistance) Disebut sebagai sistem imun non spesifik karena sistem kekebalan tubuh kita tidak ditujukan terhadap mikroorganisme atau zat asing tertentu. Contoh bentuk kekebalan non-spesifik : - Pertahanan fisis dan mekanis, misalnya silia atau bulu getar hidung yang berfungsi untuk menyaring kotoran yang akan masuk ke saluran nafas bagian bawah. - Pertahanan biokimiawi - air susu ibu yang mengandung laktoferin berperan sebagai antibakteri - Interferon - pada saat tubuh kemasukan virus, maka sel darah putih akan memproduksi interferon untuk melawan virus tersebut. - Apabila mikroorganisme masuk ke tubuh, maka sistem kekebalan nonspesifik yang diperankan oleh pertahanan selular (monosit dan makrofag) akan menangkap, mencerna, dan membunuh mikroorganisme tersebut. 2. Kekebalan Spesifik (Spesific Resistance) Sistem kekebalan spesifik dimainkan oleh dua komponen utama, yaitu sel T dan sel B. Sistem kekebalan spesifik tidak mengenali seluruh struktur utuh mikroorganisme, melainkan sebagai prrotein saja yang akan merangsang sistem kekebalan. Bagian dari struktur protein mikroorganisme yang dapat 12 merangsang sistem kekebalan spesifik ini disebut antigen. Adanya antigen akan merangsang diaktifkannya sel T atau sistem kekebalan selular. Selanjutnya sel T ini akan memacu sel B atau sel humoral untuk mengubah bentuk dan fungsi menjadi sel plasma yang selanjutnya akan memproduksi antibodi. Kelebihan dari sistem kekebalan spesifik adalah dilengkapi dengan sel memori. Semakin sering tubuh kita kontak dengan antigen dari luar, maka semakin tinggi pula peningkatan kadar antibodi tubuh karena sel-sel memori telah mengenali antigen tersebut. Yang membangkitkan sistem kekebalan spesifik kita adalah antigen yang merupakan bagian dari mikroorganisme (virus atau bakteri). Antigen ini selanjutnya akan ditanggapi oleh sistem kekebalan tubuh dengan memproduksi antibodi. Berdasarkan cara memperoleh kekebalan, maka kekebalan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :1,3 1. Kekebalan pasif Kekebalan yang diperoleh dari luar, yang berarti bahwa tubuh mendapat bantuan dari luar antibodi yang sudah jadi. Sifat kekebalan pasif tidak berlangsung lama, umumnya tidak kurang dari 6 bulan. Misalnya bayi yang secara alami telah memiliki kekebalan pasif dari ibunya. 2. Kekebalan aktif Yang umum disebut imunisasi diperoleh melalui pemberian vaksinasi dan berlangsung bertahun tahun, karena tubuh memiliki sel memori terhadap antigen tertentu. Dalam rangka memacu sistem kekebalan spesifik tubuh, maka vaksin dapat dibuat dari2 : • Live attenuated (vaksin hidup yang dilemahkan) • Inactivated (bakteri, virus atau komponennya dibuat tidak aktif) • Vaksin rekombinan • Virus – like particle vaccine. Vaksin hidup attenuated atau Live attenuated diproduksi dilaboratorium dengan cara memodifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak 13 menyebabkan penyakit. Supaya dapat menimbulkan respon imun, vaksin hidup attenuated harus berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien. Suatu dosis kecil virus atau bakteri yang diberikan, yang kemudian mengadakan replikasi di dalam tubuh dan meningkat jumlahnya sampai cukup besar untuk memberi rangsangan suatu respons imun. Vaksin hidup attenuated yang tersedia berasal dari virus hidup yaitu vaksin campak, gondongan (parotitis), rubela, polio, rotavirus, demam kuning (yellow fever) dan yang berasal dari bakteri yaitu vaksin BCG dan demam tifoid. Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakan bakteri atau virus dalam media pembiakan, kemudian dibuat tidak aktif (inactivated dengan penambahan bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin fraksional, organisme tersebut dibuat murni dan hanya komponen-komponennya yang dimaksukkan dalam vaksin (misalnya kapsul polisakarida dari kuman pneumokokus). Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen dimasukan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari seluruh sel virus yang inactivated contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A. Kemudian dari seluruh bakteri yang inactivated contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra. Juga dari toksoid misalnya difteria, tetanus dapat juga dari polisakarida murni misalnya pneumokokus, meningokokus dan haemophilus influenza tipe B. Vaksin rekombinan. Macam vaksin demikian diperoleh melalui proses rekayasa genetik, misalnya vaksin hepatitis B, vaksin tifoid, dan rotavirus. Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen vius hepatitis B ke dalam sel ragi. Sela ragi yang telah diubah ini kemudian menghasilkan antigen permukaan hepatitis B murni. Virus – like particle vaccine atau vaksin yang dibuat dari partikel yang mirip dengan virus, contohnya adala vaksin human papillomavirus (HPV) tipe 16 untuk mencegah kanker leher rahim. Atigen diperoleh melalui protein virus HPV yang diolah sedimikian rupa sehingga menghasilkan struktur mirip dengan seluruh struktur HPV (atau dikenal sebagai pseudo – particles of HPV tipe 16). 14 PEMBERIAN IMUNISASI Tata cara pemberian imunisasi Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai berikut : Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak divaksinasi. Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan. Baca dengan teliti informasi tentang produk ( vaksin ) yang akan diberikan dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi. Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan. Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan. Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan baik. Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan. Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan. Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal ( catch up vaccination ) bila diperlukan. Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi bayi/anak penerima vaksin. Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut : • Berilah petunjuk ( sebaiknya tertulis ) kepada orang tua atau pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat. • Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis. 15 • Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan bidang Pemberantasan Penyakit Menular. • Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan. Penyimpanan Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus didinginkan pada temperatur 2-8°C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin ( DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A ) menjadi tidak aktif bila beku Arah Sudut Jarum pada Suntikan Intramuskular Jarum suntik harus disuntikan dengan sudut 450-600 ke dalam otot vastus lateralis atau otot deltoid. Untuk suntikan otot vastus lateralis, jarum diarahkan ke arah lutut sedangkan untuk suntikan pada deltoid jarum diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut 900. Tempat Suntikan yang Dianjurkan Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan. . Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara sepertiga otot bagian tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan padat. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak yang lebih besar ( mereka yang telah dapat berjalan ) dan orang dewasa. Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12 bulan adalah : Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah gluteal. Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan secara adekuat. Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila disuntikkan di daerah gluteal Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat suntikan yang menahun. Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior. 16 Gambar 2. Lokasi Penyuntikan intramuscular Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b) 17 CARA PENYUNTIKAN VAKSIN Subkutan Perhatian Penyuntikan subkutan diperuntukan imunisasi MMR, varisela, meningitis Perhatikan rekomendasi untuk umur anak Umur Tempat Bayi (lahir s/d12 Paha bulan) anterolateral 1-3 tahun paha anterolateral/ Lateral lengan atas Anak > 3 tahun Lateral lengan atas Ukuran jarum Jarum 5/8’’-3/4 Spuit no 23-25 Jarum 5/8’’-3/4 Spuit no 23-25 Insersi jarum Arah jarum 45o Terhadap kulit Cubit tebal untuk suntikan subkutan Jarum 5/8’’-3/4 Spuit no 23-25 Aspirasi spuit sebelum disuntikan Untuk suntikan multipel diberikan pada ekstremitas berbeda CARA PENYUNTIKAN VAKSIN Intramuskular Perhatian: Diperuntukan Imunisasi DPT, DT,TT, Hib, Hepatitis A & B, Influenza. Perhatikan rekomendasi untuk umur anak Umur Tempat Bayi (lahir s/d Otot vastus 12 bulan lateralis pada paha daerah anterolateral 1-3 tahun Otot vastus lateralis pada paha daerah anterolateral sampai masa Ukuran jarum Jarum 7/8’’-1’’ Spuit n0 22-25 Insersi jarum 1. Pakai jarum yang cukup panjang untuk mencpai otot Jarum 5/8’’-1 ¼’’ (5/8 untuk suntikan di deltoid umur 1215 bulan 2. Suntik dengan arah jarum 80-90o. lakukan dengan cepat 1. Tekan kulit 18 otot deltoid Spuit no 22-25 cukup besar (pada umumnya umur 3 tahun Otot deltoid, di Jarum 1’’-1 ¼’’ bawah akromion Spuit no 22-25 Anak > 3 tahun sekitar tepat suntikan dengan ibu jari dan telunjuk saat jarum ditusukan 2. Aspirasi spuit sblm vaksin disuntikan, untuk meyakinkan tidak masuk ke dalam vena.Apabilaterdapat darah, buang dang ulangi dengan suntik yang baru. 3. Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian sekstremitas berbeda Keadaan Bayi atau Anak sebelum Imunisasi Orangtua atau pengantar bayi/anak dianjurkan mengingat dan memberitahukan secara lisan atau melalui dafatr isian tentang hal-hal yang berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi tersebut di bawah ini : Pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat ( memerlukan pengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah sakit ). Alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin ( misalnya neomisin ). Sedang mendapat pengobatan Steroid jangka panjang, radioterapi, atau kemoterapi. Tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun ( leukimia, kanker, HIV/AIDS ). Tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan imunitas ( radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid ). Pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup ( vaksin campak, poliomielitis, rubela ). Pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau tranfusi darah. Menderita penyakit susunan syaraf pusat 19 Pencatatan Imunisasi dan Kartu Imunisasi Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi seperti kartu imunisasi yang dipegang oleh orangtua atau pengasuhnya. Setiap dokter atau tenaga paramedis yang memberikan imunisasi harus mencatat semua datadata yang relevan pada kartu imunisasi tersebut. Orangtua/pengasuh yang membawa anak ke tenaga medis atau paramedis untuk imunisasi diharapkan senantiasa membawa kartu imunisasi tersebut. Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi adalah sebagai berikut : o Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagang o Tanggal melakukan vaksinasi o Efek samping bila ada o Tanggal vaksinasi berikutnya o Nama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin KIPI ( KEJADIAN IKUTAN PASCA-IMUNISASI )1 Setiap tindakan medis apa pun bisa menimbulkan risiko bagi pasien si penerima layanan baik dalam skala ringan maupun berat. Demikian halnya dengan pemberian vaksinasi, reaksi yang timbul setelah pemberian vaksinasi disebut kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse following immunization (AEFI). Dengan semakin canggihnya teknologi pembuatan vaksin dan semakin meningkatnya teknik pemberian vaksinasi, maka reaksi KIPI dapat diminimalisasi. Meskipun risikonya sangat kecil, reaksi KIPI berat dapat saja terjadi. Oleh karena itu, petugas imunisasi atau dokter mempunyai kewajiban untuk menjelaskan kemungkinan reaksi KIPI apa saja yang dapat terjadi. Dan bagi orang yang hendak menerima vaksinasi mempunyai hak untuk bertanya dan mengetahui apa saja reaksi KIPI yang dapat terjadi. Secara khusus KIPI dapat didefinisikan sebagai kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi, baik oleh karena efek vaksin maupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, kesalahan program, 20 reaksi suntikan, atau penyebab lain yang tidak dapat ditentukan. Secara umum, reaksi KIPI dapat dikategorikan sebagai akibat kesalahan program, reaksi suntikan, dan reaksi vaksin. Kesalahan program. Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan kesalahan teknik pelaksanaan vaksinasi, misalnya kelebihan dosis, kesalahan memilih lokasi dan cara menyuntik, sterilitas, dan penyimpanan vaksin. Dengan semakin membaiknya pengelolaan vaksin, pengetahuan, dan ketrampilan petugas pemberi vaksinasi, maka kesalahan tersebut dapat diminimalisasi. Reaksi suntikan. Reaksi suntikan tidak berhubungan dengan kandungan vaksin, tetapi lebih karena trauma akibat tusukan jarum, misalnya bengkak, nyeri, dan kemerehan di tempat suntikan. Selain itu, reaksi suntikan dapat terjadi bukan akibat dari trauma suntikan melainkan karena kecemasan, pusing, atau pingsan karena takut terhadap jarum suntik. Reaksi suntikan dapat dihindari dengan melakukan teknik penyuntikan secara benar. Reaksi vaksin. Gejala yang muncul pada reaksi vaksin sudah bisa diprediksi terlebih dahulu, karena umumnya perusahaan vaksin telah mencantumkan reaksi efek samping yang terjadi setelah pemberian vaksinasi. Keluhan yang muncul umumnya bersifat ringan (demam, bercak merah, nyeri sendi, pusing, nyeri otot). Meskipun hal ini jarang terjadi, namun reaksi vaksin dapat bersifat berat, misalnya reaksi anafilaksis dan kejang. Untunglah bahwa reaksi alergi serius relatif jarang terjadi, misalnya reaksi alergi serius akibat campak kemungkinan kejadiannya hanya 1/1000.000 dosis. Mengingat hampir setiap vaksin mempunyai potensi memberikakn reaksi efek samping atau KIPI, maka sebaiknya bertanya terlebih dahulu kepada petugas gejala apa saja yang dapat terjadi setelah vaksinasi. Bila keluhan KIPI bersifat ringan, misalnya demam, nyeri tempat suntikan, atau bengkak maka dapat dilakukan pengobatan sederhana, misalnya dengan minum obat antipiretik saja. Tetapi bila kejadian pasca imunisasi bersifat serius, maka harus secepat mungkin dibawa kerumah sakit. Setiap pelayanan kesehatan yang melakukan pemberian vaksinasi mempunyai kewajiban untuk melaporkan KIPI ke Dinas Kesehatan Tingkat Kabupaten, dengan tembusan ke Sekretariat KOMDA PP KIPI yang berkedudukan di setiap provinsi. 21 VAKSINASI YANG DIANJURKAN1 Tidak semua negara menerapkan kebijaksanaan vaksinasi yang sama pada masyarakatnya. Namun, biasanya rekomendasi vaksinasi lebih diprioritaskan bagi bayi dan anak-anak, karena kelompok usia ini dianggap belum mempunyai sistem kekebalan tubuh sempurna. Diindonesia, pemerintah mengambil kebijakan dalam pemberian vaksinasi menjadi dua, yaitu vaksin wajib (sebagai program imunisasi nasional) serta vaksin yang dianjurkan (bukan merupakan program imunisasi nasional) Vaksinasi yang dianjurkan Pemerintah 2010 - Tuberculosis - MMR (campak, gondong, - Hepatitis B rubella) - DPT (Difteri, tetanus, - Haemophilus influenza tipe B pertusis) - Demam tifoid - Poliomielitis - Varisela - Campak - Hepatitis A - Influenza - Pneumokokus - Rotavirus - Yellow fever - Japannesse encephalitis - Meningokokus Tabel 1.Vaksinasi yang dianjurkan (Satgas Imunisasi – I katan Dokter Anak Indonesia, 2010)1 1. Vaksinasi Tuberkulosis1,3,4 Adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga di dapat basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas.Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang memberi perlindungan terhadap penyakit TB. Vaksin TB tidak mencegah infeksi TB, tetapi mencegah infeksi TB berat (meningitis TB dan TB milier). Vaksin BCG membutuhkan waktu 6-12 minggu untuk menghasilkan efek (perlindungan) kekebalannya. Vaksinasi BCG memberikan proteksi yang 22 bervariasi antara 50-80% terhadap tuberkulosis. Pemberian vaksinasi BCG sangat bermanfaat bagi anak. Di Indonesia, vaksin BCG merupakan vaksin yang diwajibkan pemerintah. Vaksin ini diberikan pada bayi yang baru lahir dan sebaiknya diberikan pada umur sebelum 2 bulan. Vaksin BCG juga diberikan pada anak usia 1-15 tahun yang belum divaksinasi (tidak ada catatan atau tidak ada scar). Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah untuk 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersio M. deltoideus kanan. WHO tetap menganjurkan pemberian vaksin BCG di insersio M. deltoid kanan dan tidak di tempat lain (bokong, paha), penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih mudah dilakukan (tidak terdapat lemak subkutis yang tebal), ulkus yang terbentuk tidak mengganggu struktur otot setempat (dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau paha anterior) dan sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabila diperlukan. Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien imunokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang atau pada infeksi HIV). KIPI yang didapat setelah vaksinasi adalah papul merah yang kecil timbul dalam waktu 1 – 3 minggu. Papul ini akan semakin lunak, hancur, dan menimbulkan parut. Luka ini mungkin memakan waktu sampai 3 bulan untuk sembuh. Biarkan vaksinasi sembuh sendiri dan pastikan agar tetap bersih dan kering. 2. Vaksinasi Hepatitis B1,3 Di Indonesia, vaksinasi hepatitis B merupakan vaksinasi wajib bagi bayi dan anak karena pola penularannya bersifat vertikal. Ada berbagai jenis pilihan vaksin yang diproduksi oleh beberapa perusahaan farmasi dan dosis serta cara pemberiannya sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2. Nama Dagang Engerix B Produsen Cara Pemberian GSK IM Dosis Anak Dewasa Interval Pemberian 10 mcg 20 mcg Bulan 0,1,6 ke- 23 Euvax Sanofi IM Anak 10 mcg Bulan kepasteur Dewasa 20 mcg 0,1,6 HB VAX MSD IM Anak 10 mcg Bulan keII Dewasa 20 mcg 0,1,6 Hepavax Kalbuitech IM Anak 10 mcg Bulan keGene Dewasa 20 mcg 0,1,6 Hepatitis Bio Farma IM Anak 10 mcg Bulan keB 20 mcg 0,1,6 Tabel 2. Produsen, Jenis, Cara pemberian, Dosis, dan Interval Pemberian Vaksin Hepatitis B (Ali sulaiman dan J. Sundoro,2007) Secara umum, vaksin diberikan 3 kali pemberian, disuntikan secara dalam (sampai ke otot). Vaksinasi diberikan dengan jadwal 0, 1, 6 bulan (kontak pertama, 1 bulan, dan 6 bulan kemudian). Khusus vaksinasi bayi baru lahir diberikan dengan jadwal berikut : 1. Dosis pertama : sebelum umur 12 jam 2. Dosis kedua : umur 1-2 bulan 3. Dosis ketiga : umur 6 bulan Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah meperoleh imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan. Untuk ibu dengan HbsAg positif, selain vaksin hepatitis B diberikan juga hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml disisi tubuh yang berbeda dalam 12 jam setelah lahir. Sebab, Hepatitis B imunoglobulin (HBIg) dalam waktu singkat segera memberikan proteksi meskipun hanya jangka pendek (3-6 bulan). Reaksi KIPI yang sering terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan bersifat sementara, terkadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari. Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi absolut pemberian vaksin Hepatitis B. Kehamilan dan laktasi bukan kontraindikasi vaksin Hepatitis B. 3. Vaksinasi DTP1,3 Vaksinasi Difteri Jenis vaksin difteri yang diberikan harus sesuai dengan usia saat pemberian. Sebagai imunisasi dasar, vaksin difteri diberikan bersamaan dengan imunisasi tetanus dan pertusis, dalam bentuk vaksin DPT. Pada beberapa dekade terakhir, pemberian vaksin DPT telah menjadi imunisasi 24 yang diwajibkan oleh pemerintah. Vaksin DPT (DtaP atau DTwP) diberikan untuk anak usia diatas 6 minggu sampai 7 tahun. Untuk anak usia 7-18 tahun diberikan vaksin difteri dalam bentuk vaksin Td (Tetanus dan Difteri) atau vaksin Tdap (tetanustoxoid, reduced diphteria toxoid, dan acellular pertusis vaccine adsorbed). Vaksin Td diberikan juga pada anak dengan kontraindikasi terhadap komponen pertusis dan dianjurkan pada anak usia lebih dari 7 tahun untuk memperkecil kejadian ikutan pasca-imunisasi karena toxoid difteri. Jadwal vaksinasi yang dianjurkan saat ini dimulai pada usia 2 bulan, melalui suntikan intramuskular. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 15-18 bulan) dan ulangan kedua diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (4-6 tahun). Dari laporan yang ada, daya proteksi vaksin difteri sebesar 98,45% setelah suntikan yang ketiga, namun kekebalan yang terbentuk setelah imunisasi dasar hanya bertahan selama 10 tahun, sehingga perlu diberikan booster setiap 10 tahun sekali. Pemberian booster cukup dengan vaksin Td (tetanus dan difteri). Dianjurkan memberikan booster pada usia 11 sampai dengan 12 tahun atau minimal 5 tahun setelah pemberian terakhir. Setelah itu direkomendasikan untuk memberikan booster setiap 10 tahun. Jadwal vaksinasi untuk usia 7 - 18 tahun sebagai imunisasi primer dengan menggunakan vaksin Td, yaitu 3 dosis dengan jarak 4 minggu diantara dosis pertama dan kedua, dan 6 bulan diantara dosis kedua dan ketiga. Ikuti dengan dosis booster 6 bulan setelah dosis ketiga. KIPI dan Kontra Indikasi Reaksi KIPI dari vaksin DPT adalah terjadinya demam ringan dan reaksi lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi suntikan. Demam yang timbul dapat mengakibatkan kejang demam (sekitar 0,06%). Vaksin DPT tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi dan kejang pada pemberian vaksin yang pertama. Vaksinasi Pertusis 25 Bayi baru lahir memiliki kekebalan terhadap pertusis yang didapat dari ibu, namun kekebalan ini hanya bertahan sampai usia 4 bulan. Oleh karena itu, sebaiknya anak usia kurang dari 1 tahun diberikan vaksin. Vaksin pertusis diberikan dalam bentuk vaksin DPT (DTwP atau DtaP) dimulai pada saat bayi berusia 2 bulan melalui suntikan ke dalam otot. Imunisasi dasar diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 18 bulan) dan ulangan kedua diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (usia 4-6 tahun). Pada awal pembuatan vaksin DPT, komponen pertusis yang digunakan merupakan whole pertusis (DTwP), yaitu seluruh bakteri Bordetella pertusis yang telah di non aktifkan. Namun, sejak tahun 1962 mulai beredear vaksin dengan menggunakan fraksi sel/aselular (DtaP) yang mengandung satu atau lebih protein Bordetella pertusis. Dengan penggunaan vaksin DtaP, ternyata efek samping, baik lokal maupun sistemik yang ditimbulkan lebih rendah (75%) jika dibandingkan dengan vaksin DTwP. Vaksin ini tidak dapat mencegah pertusis seluruhnya, namun terbukti dapat meperingan durasi dan tingkat keparahan pertusis. KIPI Demam ringan dengan reaksi lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi suntikan. Demam yang timbul dapat mengakibatkan kejang demam (0,06%), anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca suntikan (inconsolable crying). KIPI yang berat dapat terjadi ensefalopati akut atau reaksi alergi berat (anafilaksis). Kontra indikasi Vaksin tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi berat dan ensefalopati pada pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah bila pada pemberian pertama dijumpai riwayat demam tinggi, respon dan gerak yang kurang (hipotonikhiporesponsif) dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 2 jam, dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DPT. Vaksinasi Tetanus 26 Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT. DPT diberikan satu seri yang terdiri atas 5 suntikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15-18 bulan, dan terakhir saat sebelum masuk sekolah (4-6 tahun). Pemberian vaksin DPT pada anak-anak harus ditunda jika anak mengalami demam tinggi, memiliki kelainan saraf, atau mengalami gangguan pertumbuhan. KIPI KIPI pemberian vaksinasi tetanus biasanya bersifat ringan, berupa rasa nyeri, warna kemerahan dan bengkak di tempat penyuntikan, dan demam. Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap Difteri, Tetanus dan Pertusis. Biasanya vaksin DPT atau DT diberikan dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha secara intramuskular atau subkutan sebanyak 0,5 ml.2 Imunisasi DPT diberikan 3 kali yaitu sejak umur 2 bulan (DPT I), umur 3 bulan (DPT II) dan pada umur 4 bulan (DPT III) dengan selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulangan (DPT IV) diberikan 1 tahun setelah DPT III yaitu pada umur 18-24 bulan dan DPT V diberikan pada saat usia prasekolah (5-6 tahun).2 Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan booster vaksin DT pada usia 14-16 tahun dan kemudian dilanjutkan setiap 10 tahun karena vaksin memberikan perlindungan selama 10 tahun dan setelah 10 tahun diberikan booster. Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3 kali suntikan yang mengandung vaksin difteri, akan memberikan perlindungan terhadap difteri selama 10 tahun.2 Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya diberikan DT, bukan DPT. Jika anak menderita penyakit yang lebih serius dari flu ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat. Jika ada riwayat kejang, penyakit otak atau perkembangannya abnormal, penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau kejangnya bisa dikendalikan.2 Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara intramuskular baik pada imunisasi dasar maupun ulangan. 27 4. Vaksinasi Polio1,3 Pada saat ini ada dua jenis vaksin polio yaitu OPV (oral polio vaccine) dan IPV (inactivated polio vaccine). OPV diberikan 2 tetes melalui mulut, sedangkan IPV diberikan melalui suntikan dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan dalam 3 kali di lengan dengan jarak 2 bulan. Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir kemudian dilanjutkan dengan imunisasi dasar, diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan. Pada PIN (pekan imunisasi nasional) semua balita harus mendapat imunisasi tanpa memandang status imunisasi kecuali pada penyakit dengan daya tahan tubuh menurun (imunokompromais). Bila pemberiannya terlambat, jangan mengulang pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi sesuai dengan jadwal. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV, diberikan 2 tetes dengan jadwal seperti imunisasi dasar. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh terhadap respons pembentukan daya tahan tubuh terhadap polio, jadi saat pemberian vaksin, anak tetap bisa minum ASI. Imunisasi polio ulangan diberikan saat masuk sekolah (5-6 tahun) dan dosis berikutnya diberikan pada usia 15-19 tahun. Sejak tahun 2007, semua calon jemaah haji dan umroh dibawah usia 15 tahun harus mendapat 2 tetes OPV. KIPI Pernah dilaporkan bahwa penyakit poliomielitis terjadi setelah pemberian vaksin polio. Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat menimbulkan gejala pusing, diare ringan, dan nyeri otot. Vaksinasi polio tidak dianjurkan diberikan ketika seseoarang sedang demam, muntah, diare, sedang dalam pengobatan radioterapi atau obat penurun daya tahan tubuh, kanker, penderita HIV, dan alergi pada vaksin polio. OPV tidak diberikan pada bayi yang masih dirumah sakit karena OPV berisi virus polio yang dilemahkan dan vaksin jenis ini bisa diekskresikan 28 melalui tinja selama 6 minggu, sehingga bisa membahayakan bayi lain. Untuk bayi yang dirawat dirumah sakit, disarankan pemberian IPV. 5. Imunisasi Campak1,3 Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak. Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan campak jerman (vaksin MMR). Jika hanya mengandung campak vaksin diberikan pada usia 9 bulan dalam 1 dosis 0,5 ml subkutan dalam. Terdapat 2 jenis vaksin campak, yaitu vaksin yang berasal dari virus campak hidup dan dilemahkan (tipe Edmonston-B) dan vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus campak yang berada dalam larutan formalin yang dicampur dengan garam aluminium). Imunisasi ulangan juga dianjurkan dalam situasi tertentu :1 a. Mereka yang memperoleh imunisasi sebelum umur 1 tahun dan terbukti bahwa potensi vaksin yang digunakan kurang baik (tampak peningkatan insidens kegagalan vaksinasi). Pada anak-anak yang memperoleh imunisasi ketika berumur 12-14 bulan tidak disarankan mengulangi imunisasinya tetapi hal ini bukan kontra indikasi b. Apabila terdapat kejadian luar biasa peningkatan kasus campak, maka anak SD, SLTP dan SLTA dapat diberikan imunisasi ulang c. Setiap orang yang pernah memperoleh imunoglobulin d. Seseorang yang tidak dapat menunjukkan catatan imunisasinya Kontraindikasi : Bagi mereka yang sedang menderita demam tinggi, sedang memperoleh pengobatan imunosupresif, hamil, memiliki riwayat alergi, sedang memperoleh pengobatan imunoglobulin atau bahan-bahan berasal dari darah, alergi terhadap protein telur. KIPI - Demam lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam dijumpai pada hari ke-5 sampai ke-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari 29 - Kejang demam - Ruam timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2-4 hari - Reaksi KIPI yang berat dapat menyerang sistem saraf, yang reaksinya diperkirakan muncul pada hari ke-30 sesudah imunisasi. 6. Vaksinasi MMR1,3 Vaksin MMR merupakan vaksin kering, mengandung virus hidup. Bagi Balita, pada usia 12-15 bulan (jika tidak mendapatkan imunisasi campak) dapat diberikan vaksinasi MMR untuk mencegah risiko tinggi yang membahayakan bagi kesehatan. Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit campak, gondongan, dan rubella. Pemberian vaksin biasanya dilakukan pada usia anak 12-15 bulan. Dosis tunggal 0,5 ml diberikan secara intramuskular atau subkutan dalam. Terdapat 2 jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia, yaitu : Galur virus yang dilemahkan Campak Gondongan Rubella Edmonston Jerryl lyn Wistar RA 27/3 Schwarz Urabe AM-9 Wistar RA 27/3 Tabel 3 . Dua jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia Daya lindung MMR sebesar 95%, namun kadar antibodi yang dibentuk melalui vaksinasi lebih rendah dibandingkan dengan antibodi yang diperoleh setelah menderita gondongan. Vaksinansi MMR tidak dianjurkan diberikan pada: anak yang alergi terhadap telur/neomycin, yang sedang dalam pengobatan imunosupresif, anak dengan alergi berat, anak dengan demam akut, setelah pemberian imunoglobulin atau transfusi darah. KIPI Reaksi sistemik, seperti malaise, demam, atau ruam yang sering terjadi 1 minggu setelah imunisasi dan berlangsung selama 2-3 hari. 7. Vaksinasi Hib (Haemophilus influenza tipe b)1,3 30 Vaksin Hib merupakan vaksin yang tidak aktif, dibuat dari kapsul Haemophilus influenza Tipe B yang disebut polyribosribitol phospat (PRP). Terdapat 2 jenis vaksin Hib di Indonesia yaitu PRP-T dan PRP-OMP. Kedua vaksin ini termasuk vaksin konjugasi. Vaksin Hib PRP-T diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Vaksin Hib PRP-OMP diberikan pada usia 2 dan 4 bulan. Dosis ketiga tidak diperlukan. Vaksin ulangan, baik PRP-T maupun PRPOMP diberikan pada usia 15 - 18 bulan. Apabila anak datang pada usia 1-5 tahun, maka vaksin Hib hanya diberikan 1 kali. Vaksin ini diberikan secara intramuskular sebanyak 0,5 ml didaerah paha atas. Kekebalan tubuh akan mulai terbentuk setelah pemberian suntikan yang pertama dengan vaksin jenis PRP-OMP dan setelah 2 kali suntikan dengan vaksin jenis PRP-T. Anak-anak usia diatas 6 bulan yang belum mendapat vaksin diberikan 2 kali suntikan, sedangkan bagi anak diatas usia 1 tahun cukup mendapat 1 kali suntikan saja tanpa perlu pemberian ulangan. Dengan pemberian vaksin ini diharapkan 95% anak-anak terlindungi dari infeksi Hib setelah dosis kedua atau ketiga. Reaksi KIPI setelah pemberian vaksinasi Hib, 5%-30% anak memperoleh vaksinasi bisa mengalami demam, bengkak kemerahan, dan nyeri pada tempat suntikan selama 1-3 hari. Vaksin Hib tidak direkomendasikan diberikan bila seseorang sedang demam, mengalami infeksi akut, dan orang dengan riwayat alergi yang mengancam jiwa. 8. Vaksinasi Pneumokokus 1,3 Saat ini telah tersedia 2 macam vaksin untuk mencegah penyakit yang disebabkan bakteri pneumokokus, yaitu PPV23 dan PCV7. PPV23 adalah vaksin pneumokokus yang berisi polisakarida murni dengan 23 serotipe, vaksin jenis ini kurang bereaksi baik jika diberikan pada anak usia kurang dari 2 tahun karena fungsi sel imun yang belum matang. Vaksin ini hanya memberikan kekebalan dalam jangka pendek. Sedangkan PCV7 adalah vaksin pneumokokus generasi kedua yang berisi polisakarida konjugasi. Vaksin ini dapat diberikan pada anak usia kurang dari 2 tahun meskipun sel imun mereka 31 belum matur. Vaksin ini mencakup 7 serotipe yang berbahaya yang banyak mengakibat kematian pada anak usia < 5 tahun. Vaksin pneumokokus diberikan secara intramuskular atau subkutan di daerah deltoid atau paha tengah lateral sebanyak 0,5 ml. Vaksin ini diberikan sejak usia 2 bulan dengan interval 2 bulan sebanyak 3 kali. Kemudian ulangan hanya dilakukan pada anak yang memiliki risiko tinggi tertular pneumokokus pada usia 12-18 bulan. PCV7 sebaiknya diberikan jika anak sudah berusia lebih dari 2 bulan, diberikan pada bayi umur 12-15 bulan. Interval antara 2 dosis minimal 4-8 minggu. Anak yang telah mendapat imunisasi PCV7 lengkap sebelum umur 2 tahun, pada umur 2 tahun diberi PPV23 1 dosis, dengan selang waktu suntik > 2 bulan setelah PCV7 terakhir. Reaksi KIPI pada 30-50% resipien yang mendapatkan vaksin ini akan mengalami eritema atau nyeri pada tempat suntikan, biasanya berlangsung kurang dari 48 jam. Reaksi lain berupa demam, gelisah, pusing, nafsu makan menurun, mialgia (pada anak <1%). Demam ringan sering timbul. Reaksi ikutan pasca imunisasi ini biasanya terjadi setelah pemberian dosis kedua, namun berlangsung tidak lama dan menghilang dalam 3 hari. Ada beberapa kondisi dimana imunisasi pneumokokus ini tak dapat diberikan, yaitu: Kontraindikasi absolut: bila timbul anafilaksis setelah pemberian vaksin. Kontraindikasi relatif: - Usia kurang dari 2 tahun, karena respon terhadap vaksin masih kurang baik - Dalam pengobatan imunosupresif atau radiasi kelenjar limfe. 9. Vaksinasi Influenza1,3 Virus influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza virus). Terdapat 2 macam vaksin, yaitu whole virus dan split-virus vaccine. Dosis bagi anak berumur < 3 tahun adalah 0,25 ml dan dosis bagi anak berumur > 3 tahun adalah 0,5 ml disuntikan di otot paha. Bila anak telah berusia > 9 tahun, vaksin cukup diberikan satu dosis dan diulang setiap tahun. 32 KIPI dari penyuntikan vaksin yang mungkin terjadi adalah bengkak, nyeri, kemerahan pada tempat suntikan, demam, dan pegal. Gejala-gejala tersebut dapat terjadi setelah penyuntikan dan bertahan 1-2 hari. 10. Vaksinasi Tifoid1,3 Vaksin tifoid ada dua macam, yaitu: 10 a. Vaksin oral: berasal dari kuman Salmonella typhi yang dilemahkan. Disimpan dalam suhu 2-8oC dan dikemas dalam bentuk kapsul. Vaksin oral diberikan pada saat anak berusia 6 tahun atau lebih sebanyak 4 kapsul dengan jarak setiap 1 hari (hari 1-3-5-7). Pemberiannya dapat diulang tiap 5 tahun. Respon imun akan terbentuk 10-14 hari setelah dosis terakhir. Yang perlu diperhatikan dalam pemberian vaksin ini adalah tidak boleh dilakukan saat sedang demam, tidak boleh dilakukan pada orang dengan penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV, keganasan, sedang kemoterapi atau sedang terapi steroid) dan riwayat anafilaksis, tidak boleh kepada orang yang alergi gelatin. KIPI yang ditimbulkan oleh vaksin ini cukup ringan, yaitu muntah, diare, demam, dan sakit kepala. Dengan efektivitas vaksin yang lebih tinggi dan disertai efek samping yang lebih rendah daripada jenis vaksin tifoid lainnya, maka vaksin tifoid oral ini merupakan pilihan utama. Sayangnya, vaksin oral belum tersedia di Indonesia. b. Vaksin parenteral: berasal dari polisakarida Vi dari kapsul salmonella typhi, yang dimatikan. Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman Salmonella typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan bufer yang mengandung natrium klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan. Disimpan dalam suhu 2-8oC dan tidak boleh dibekukan. Diberikan pada anak berusia 2 tahun atau lebih. Satu dosis dapat diberikan setiap 2-3 tahun. Dilakukan secara intramuskular atau subkutan di deltoid atau paha atas. Respon imunitas akan terbentuk dalam 15 hari sampai 3 minggu setelah imunisasi. Keadaan yang dihindarkan saat pemberian vaksin adalah jangan diberikan sewaktu demam, riwayat alergi, dan keadaan penyakit akut. 33 KIPI yang timbul berupa demam, pusing, sakit kepala, nyeri sendi, nyeri otot tempat suntikan. 11. Imunisasi Hepatitis A1,3 Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa vaksinasi Hepatitis A dapat memberikan perlindungan hampir 100% dan dapat bertahan sekitar 15 - 20 tahun. Vaksin Hepatitis A berisi virus Hepatitis A yang dilemahkan dan tersedia dalam 2 kemasan dosis, yaitu untuk anak-anak 2-18 tahun dan dewasa usia > 18 tahun. Vaksin diberikan sebanyak 2 kali, suntikan kedua diberikan 6-12 bulan dari suntikan pertama, dan selanjutnya tidak diperlukan pengulangan. Untuk pemberian yang cepat dapat langsung diberikan suntikan 2 dosis sekaligus dengan daya perlindungan > 90% dalam 2 minggu. Dosisnya bervariasi bergantung pada produk dan usia, disuntik secara intramuskular di deltoid. Jenis Vaksin Usia Dosis Volume (ml) Jadwal (bulan ke-) Havrix (Glaxo 2 - 18 th 720 ELISA 0,5 Dua dosis : 0 SmithKline) units dan 6-12 > 18 th ELISA units 1 Dua dosis : 0 dan 6-12 Vaqta (Merck) 2 - 18 th 25 U 0,5 Dua dosis : 0 dan 6-18 > 18 th 50 U 1 Dua dosis : 0 dan 6-12 Twinrix > 17 tahun 720 ELISA 1 Tiga dosis : (GlaxoSmithKline) units 0, 1, dan 6 Tabel 4. Vaksinasi Hepatitis A dan Pemberian Imunoglobulin (Craig & William S 2004) KIPI Umumnya aman dan KIPI yang sering ditemukan adalah reaksi lokal tetapi umumnya ringan, kadang-kadang juga ada sedikit demam. Efek samping akibat pemberian vaksinasi terbanyak 10 %-15% berupa nyeri dan bengkak di tempat injeksi. Vaksin tidak boleh diberikan pada individu yang mengalami efek samping berat sesudah pemberian dosis pertama. 34 12. Vaksinasi Varisela1,3 Vaksin berisi virus hidup varicella-zoster yang dilemahkan yang berasal dari galur OKA. Vaksin ini berasal dari virus varicella zooster liar yang diisolasi dari seorang anak yang bernama belakang oka berusia 3 tahun. Vaksin ini dikembangkan pertama kali di Jepang oleh Takahashi dan di Amerika mendapat lisensi untuk digunakan pada anaksejak tahun 1995. Menurut rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak seluaruh Indonesia), vaksin varisela dianjurkan pada anak dengan usia > 1 tahun, cukup 1 dosis. Namun berdasarkan penelitian mengenai pencegahan dan penanganan wabah varisela maka pada tahun 2006 The Advisory Commitee on Immunization Practices (ACIP) dan America Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan 2 dosis untuk semua anak. Hal ini disebabkan masih timbulnya wabah varisela terutama pada populasi yang sebagian besar telah dievakuasi. Disimpan dalam suhu 2-8oC. Suntikan pertama diberikan saat usia 12-15 bulan dan suntikan kedua pada usia 4-6 tahun sebanyak 0,5 ml secara subkutan.11 KIPI Jarang terjadi, tetapi bila terjadi reaksi yang muncul bersifat lokal (1%) yaitu bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan yang terjadi beberapa jam sesudah suntikan. Kadang-kadang didapatkan demam (1%) dan timbul bercak kemerahan dan lenting ringan. Kontra indikasi Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi, gangguan kekebalan karena pengobatan penyakit keganasan atai sesudah diradioterapi, pasien yang mendapat pengobatan kortikosteroid tinggi dan alergi neomisin. 13. Vaksinasi Rotavirus1,3 Pada tahun 1998, vaksin Rotashield telah digunakan untuk mencegah diare rotavirus. Namun, karena efek samping yang ditimbulkan (berupa gangguan 35 usus), maka vaksin tersebut ditarik dari peredaran. Saat ini terdapat 2 vaksin rotavirus, yaitu ; - Rotarix (GSK) yang merupakan vaksin monovalen karena hanya mengandung strain manusia P(8)G1. - Rotateg yang merupakan vaksin prevalen karena mengandung strain manusiasapi P(8)G1-G4. Keduanya diberikan melalui mulut (oral). Kedua vaksin tersebut terbukti aman dari risiko gangguan usus. Efektivitas vaksin berkurang apabila diberikan bersama vaksin polio oral. Kejadian ikutan pasca pemberian vaksin dilaporkan adalah diare 7,5%; muntah 8,7%; dan demam 12,1% Nama Vaksin Sasaran imunisasi Macam vaksin Dosis Jadwal Pemberian Cara Pemberian Efektivitas Kontraindikasi KIPI Rotavirus Bayi sedini usia 4 minggu Rotarix, Rotateg Rotarix, 3 dosis; Rotareg, 2 dosis Rotarix : usia (4, 8) minggu; Rotateg : usia (4,8,12) minggu Oral Belum diketahui secara pasti - Sebaiknya tidak diberikan bersama-sama dengan vaksin polio oral - Adanya infeksi bakteri patogen di Usus Diare, muntah, demam Tabel 5 . Vaksinasi rotavirus 14. Vaksin Japanesse Encephalitis1 Pencegahan penyakit JE pada manusia bisa dilakukan dengan pemberian vaksin JE. Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan pada hari ke-0, hari ke-7 dan hari ke-28. Untuk anak berumur 1-3 tahun, dosis yang diberikan masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang sama. Dosis penguat dapat diberikan 3 tahun kemudian bagi mereka yang tinggal di daerah rawan terinfeksi virus JE. KIPI pemberian vaksin JE bias berupa kemerahan dan bengkak di tempat penyuntikan, demam, sakit kepala, menggigil, mual dan muntah. Di Indonesia pemberian vaksin JE pada manusia belum disosialisasikan, karena kebijakan penggunaan vaksin masih belum diatur. Nama Vaksin Vaksin Japannesse encephalitis 36 Indikasi Dosis dan jadwal Efektivitas KIPI Kontraindikasi Semua umur terutama yang tinggal di daerah rawan JE atau yang akan mengadakan perjalanan ke dearah yang rawan penyakit JE 1 ml secara subkutan pada hari 0, 7, dan 28. Untuk anak berumur sapai 1-3 tahun; dosis 0,5ml, dengan jadwal yang sama 90% Kemerahan dan bengkak di temppat penyuntikan, demam, sakit kepala, menggigil, mual dan muntah Alergi Tabel 6 . Vaksinasi Japannesse encephalitis 15. Vaksinasi Meningitis1 Pencegahan secara khusus dilakukan dengan pemberian vaksin. Vaksin meningococcus pertama diperkenalkan pada tahun 1978. Awalnya, vaksin ini hanya mampu melindungi dari 2 subtipe bakteri moningococcus (A & C). Namun, vaksin ini telah mengalami banyak perkembangan, sekarang dapat melindungi 4 subtipe dari bakteri meningococcus, yaitu subtype A, C, Y,dan W-135. Vaksin ini disebut vaksin tetravalent, yaitu MPSV4 (meningococcal polysacarida vaccine A, C, Y, W-135) dan yang terbaru MCV4 ( Meningococcaal conjugated vaccine A,C, Y, W-135). Pemberian vaksin diutaman bagi anggota militer yang tinggal di barak perkemahan, pegawai laboratorium yang kontak serta dengan bakteri Neisseria meningitidis, siswa yang tinggal di daerah pesantren, dan bagi jemaah haji serta turis yang hendak masuk ke daerah endemik. Vaksin Polisakarida Meningococcus A, C, Y, W-135 (MPSV4) Vaksin ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 1981, diberikan pada anak usia 2-10 tahun dan usia di atas 55 tahun. Pemberian vaksin tidak dianjurkan bagi anak usia kurang dari 2 tahun dan anak sekolah di atas 11 tahun. Yang lebih dianjurkan untuk usia ini adalah vaksin jenis MCV4, namun jika tidak tersedia vaksin jenis MCV4, maka vaksin ini (MPSV4) juga dapat digunakan. Vaksin MPSV4 diberikan dengan satu kali suntikan secara subkutan (di bawah kulit). Perlindungan yang didapatkan sekitar 85%-100% dan akan 37 bertahan selama 3-5 tahun. Kekebalan yang terbentuk akan menurun dalam 2-3 tahun, sehingga diperlukan imunisasi ulangan setiap 3-5 tahun. KIPI yang timbul akibat vaksin ini relatif ringan, yakni hanya berupa nyeri dan kemerahan pada tempat suntikan, dapat terjadi demam (5%). Reaksi alergi jarang terjadi (kurang dari 0,1/100.000). Vaksin Conjugasi Meningococcus (MCV 4) MCV4 pertama kali dikeluarkan pada tahun 2005 dengan harapan dapat lebh baik daripada vaksin sebelumnya dan dapat memberikan perlindungan yang lebih lama. Vaksin ini diberikan bagi anak di atas usia 2 tahun, terutama pada usia 11-12 tahun. Pertimbangan pemberian vaksin untuk anak usia di atas 11 tahun adalah karena respon kekebalan yang terbentuk terhadap vaksin ini tidak optimal, sehingga daya perlindungan yang didapatkan tidak maksimal. Pemberian vaksin dilakukan 1 kali melalui suntikan di otot lengan dan boleh diberikan bersamaan dengan vaksin lainnya, asalkan pada tempat yang berbeda. Kekebalan mulai terbentuk dalam 10 - 14 hari setelah pemberian vaksin dan dapat bertahan selama 10 tahun. Dengan demikian tidak perlu pemberian ulangan, tetapi untuk yang menerima vaksin di bawah usia 4 tahun kekebalan tubuh yang terbentuk akan lebih cepat menurun dalam 3 tahun pertama. Pemberian ulangan diberikan jika ada risiko penularan secara terus menerus. Jadwal ulangan adalah 1 tahun untuk anak yang menerima vaksin pada usia kurang dari 4 tahun. Bagi anak yang menerima vaksin pada usia di atas 4 tahun, maka ulangan diberikan setelah satu tahun. KIPI yang ditimbulkan oleh vaksin ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan vaksin jenis MPSV4. Namun, biasanya sangat ringan, yakni berupa rasa sakit dan tibul kemerahan pada tempat suntikan yang akan hilang dalam 12 hari. Efek lain yang dapat timbul adalah kesemutan atau rasa seperti terbakar, tetapi angka kejadiannya sangat jarang (kurang dari 1/10.000 orang). GuillainBarre Syndrome atau terjadi kelumpuhan merupakan efek samping yang ditakutkan, namun risiko terjadinya efek ini sangat kecil. Vaksin ini tidak boleh 38 diberikan pada seseorang dengan riwayat alergi dengan bahan vaksin, alergi latex, dan pada orang dengan infeksi akut, serta pada wanita hamil. 16. Vaksin Yellow Fever1 Orang (berumur > 1 tahun) yang hendak bepergian ke Amerika dan Amerika Latin harus mendapatkan vaksinasi demam kuning. Aturannya adalah 10 hari setelah mendapatkan vaksinasi, orang tersebut akan memperoleh International Certificate of Vaccination yang berlaku sampai 10 tahun. Vaksin demam kuning berupa virus hidup yang dilemahkan, dari galur 17 D. Vaksin disuntikkan di bawah kulit sebanyak 0,5 ml berlaku untuk semua umur dan sangat efektif dalam memberikan proteksi dalam kurun waktu 10 tahun. Vaksin tidak direkomendasikan pada anak < 9 bulan, ibu hamil, alergi telur, dan orang yang sedang mengalami penurunan daya tahan tubuh., KIPI pemberian vaksin demam kuning pada umumnya bersifat ringan. Sekitar 2%-5% penerima vaksin ini merasa pusing, nyeri otot, dan demam yang terjadi 5-10 hari setelah mendapatkan vaksinasi. 17. Vaksinasi HPV Pengembangan vaksin pencegahan vaksin HPV menawarkan harapan baru untuk mencegah kanker leher rahim. Uji klinis dari 2 generasi pertama vaksin, satu untuk HPV tipe 16 dan 18, sedangkan yang lainnya untuk tipe 6, 11, 16, 18 telah memperlihatkan proteksi yang cukup tinggi melawan insiden dan infeksi persisten. Vaksin diberikan 3 dosis (bulan ke-0, ke-1, dan ke-6) secara intramuskular lengan atas. Vaksin tidak akan memberikan proteksi maksimal jika tidak menyeleseikan ke-3 dosis tersebut. Sampai saat ini, penelitian selama 5 tahun dan masih berjalan bahwa vaksin ini tidak memerlukan booster, sehingga masih efektif setidaknya untuk 5 tahun. Vaksin HPV aman dan efektif jika diberikan pada wanita usia 9-26 tahun. Namun panduan dari Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) menyarankan vaksin diberikan pada wanita usia 10-55 tahun. Vaksin pencegahan terhadap 39 infeksi HPV akan bekerja secara efisien bila vaksin ini diberikan sebelum individu terpapar infeksi HPV. Vaksin HPV relatif aman, reaksi KIPI relatif ringan dapat berupa nyeri pada lokasi penyuntikan, sakit kepala, demam, mual, dan demam. JADWAL IMUNISASI Jadwal Imunisasi IDAI 2008 secara garis besar sama dibandingkan dengan jadwal 2004. Perbedaan terletak pada penambahan vaksin pneumokokus konjugasi (PCV=pneumococcal conjugate vaccine), vaksin influenza pada program imunisasi yang dianjurkan (non-PPI) serta jadwal imunisasi varisela yang dianjurkan diberikan pada umur 5 tahun (jadwal tahun 2007). Pada jadwal 2008 ditambahkan vaksin Rotavirus untuk diare pada anak dan HPV (Human Papilloma Virus). Pada tahun 2010 ini berdasarkan rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) tidak adanya lagi perbedaan program imunisasi yang diwajibkan dan dianjurkan serta ada perbedaan waktu pemberian awal imunisasi seperti varisela atau imunisasi ulangan seperti hepatitis B. Gambar. Jadwal imunisasi 2011-20127 40 BAB III KESIMPULAN Upaya pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kekebalan atau imunitas tubuh dalam menghadapi ancaman penyakit yang dilakukan dengan pemberian imunisasi. Imunisasi dasar pada anak usia dibawah 2 tahun sangat penting untuk dilakukan oleh karena bisa menurunkan angka kesakitan dan kematian yang seharusnya dapat dicegah walaupun imunisasi tidak menjamin 100% bahwa seseorang tidak akan terjangkit penyakit tersebut. Pada tahun 2010 ini berdasarkan rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) tidak adanya lagi perbedaan program imunisasi yang diwajibkan dan dianjurkan serta ada perbedaan waktu pemberian awal imunisasi seperti varisela atau imunisasi ulangan seperti hepatitis B. Dalam hal ini maka harus terus digalakkan program imunisasi kepada masyarakat luas sehingga masyarakat menyadari pentingnya imunisasi dan mau membawa anaknya untuk melakukan imunisasi, khususnya imunisasi yang diwajibkan. Jika imunitas pada masyarakat tinggi, maka risiko terjadinya penularan dan wabah juga akan berkurang. 41 DAFTAR PUSTAKA 1. Suharjo, JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius : 2010 2. Sri, Rezeki S Hadinegoro. Prof. Dr. dr. SpA(K), dkk. Pedoman imunisasi di Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta 2005 3. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. 4. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB, penyunting. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi kedua. Jakarta: UKK Respiratologi PP IDAI; 2007. 5. Lawrence M Tierney Jr MD, Stephen J McPhee MD, Maxine A Papadakis MD. Current Medical Diagnosis and Treatment 2002. Page 1313-1319. 6. Eric AF Simoes MD DCH and Jessie R Groothius MD. Immunization. Page 235-258. 7. Jadwal Imunisasi Anak - Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2008 [image on the Internet]. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008 Available from : http://pediatricinfo.wordpress.com/2009/04/20/jadwal-imunisasi-2008idai/ 42