Chapter II

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Stroke
2.1.1 Defenisi Stroke
WHO mendefinisikan stroke adalah terjadinya gangguan fungsional otak
fokal maupun global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24
jam akibat gangguan aliran darah otak. Stroke sering menyebabkan cacat berupa
kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir, daya ingat dan
bentuk-bentuk kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak.
Black dan Hawks (2005) mengatakan bahwa stroke adalah perubahan
neorulogis yang diakibatkan oleh interupsi aliran darah menuju kebagian – bagian
otak tertentu. Stroke adalah gangguan aliran darah ke otak secara tiba-tiba atau
mendadak (Stroke, center, 2017).
Menurut Smeltezer & Bare 2008, stroke atau cedera Serebrovaskuler
(CVA) adalah ketidaknormalan fungsi Sistem Saraf Pusat (SSP) yang disebabkan
oleh gangguan aliran darah serebral. Stroke adalah defisit nuerologi yang
menpunyai awitan mendadak dan berlangsung dalam waktu 24 jam sebagai sebab
dari Sereberal VaskulerDisease (CVD) (Hudak, 1996). Dari semua defenisi di
atas secara singkat dapat disimpulkan bahwa stroke adalah terjadi perubahan pada
beberapa fungsi neurologis yang ringan sampai berat yang diakibatkan oleh
gangguan pembuluh darah otak. Gangguan diluar penyebab ini tidak dapat
diklasifikasikan sebagai stroke.
11
Universitas Sumatera Utara
12
2.1.2 Etiologi stroke
1.
Trombosis serebral
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi
sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan
edema dan kongesti di sekitarnya. Trombosis dapat terjadi akibat
aterosklerosis, hiperkoagulasi pada polisitemia, arteristis (radang pada
arteri) dan emboli.
2.
Hemoragi (perdarahan)
Pendarahan intrakraminal atau intraserebral temasuk perdarahan dalam
ruang subaraknoid atau kedalam jaringan otak sendiri sebagai akibat
dari pecahnya pembuluh darah. Pecahnya pembuluh darah diakibatkan
oleh adanya aterosklerosis dan hipertensi. Pecahnya pembuluh darah
otak yang dapat mengakibatkan penekanan, pergeseran, dan pemisahan
jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan membengkak,
jaringan otak tertekan, sehingga terjadi infark otak, edema dan mungkin
herniasi otak.
3.
Hipoksia umum
Hipoksia umum disebabkan oleh hipertensi yang parah, henti jantung
paru, dan curah jantung turun akibat aritmia yang mengakibatkan aliran
darah ke otak terganggu.
Universitas Sumatera Utara
13
4.
Hipoksia setempat
Hipoksia setempat diakibatkan oleh spasme arteri serebral yang disertai
perdarahan subaraknoid dan vasokonstriksi arteri otak disertai sakit
kepala migren.
Hudak, dkk. (1996) menyatakan bahwa stroke biasanya terjadinya
disebabkan oleh salah satu dari empat kejadian dibawah, yaitu:
a.
Trombosis bekuan darah didalam pembuluh darah otak atau leher, yaitu
kemudian menyumbat darah aliran darah otak. Trombosis bersama
dengan emboli hampir menjadi penyebab sekitar tiga perempat dari
semua kasus stroke
b.
Emboli serebral yaitu bekuan darah atau lainnya seperti lemak yang
mengalir melalui pembuluh darah di bawa ke otak dan menyumbat
aliran darah kebagian otak tertentu.
c.
Spasme pembuluh darah serebral yaitu terjadi penurunan aliran darah
ke area otak tertentu yang bersifat sementara. Biasanya akibat dari
spasme pembuluh darah otak tertentu.
d.
Hemoragik serebral atau pendarahan serebral yang terjadi dalam ruang
otak yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan pendarahan ke
dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak sehingga menimbulkan
stroke hemoragik. Stroke jenis ini terjadi sekitar satu pertiga dari
seluruh kejadian stroke dan prosentasi penyebab kematian lebih besar
dari stroke iskemik atau stroke non hemoragik.
Universitas Sumatera Utara
14
Faktor resiko terjadinya stroke terbagi atas dua yaitu faktor resiko yang
dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang dapat
dimodifikasi diantaranya adalah gaya hidup. Bebepara penyakit yang diakibatkan
oleh perubahan gaya hidup dan dapat menyebabkan terjadinya stroke yaitu
hipertensi,
diabetes
militus,
ganguan
jantug
(miokardium
infark)
dan
hiperlepidemia. Hipertensi merupakan faktor resiko tertinggi terjadinya stroke.
Autoregulasi serebral tidak efektif bila tekanan darah sistemik dibawah 50 mmHg
dan diatas 160 mmHg (LeMone & Burke, 2008). Pengontrolan tekanan darah
yang adekut dapat menurunkan serangan stroke sebesar 38% (Biller & Love,
2000, dalam Black & Hawks, 2005). Diabetes Militus (DM) merupakan faktor
resiko yang dapat meningkatkan kejadian stroke dan kematian setelah serangan
stroke (Ignativius & Workman, 2006).
Faktor resiko stroke lainnya yang dapat dimodifikasi yaitu hiperlipidemia,
merokok, pemakai alkohol, pemakai kokain dan kegemukan. Hasil penelitian
menunjukan bahwa peminum alkohol berat dapat meningkatkan kejadian stroke,
tetapi peminum alkohol ringan dan sedang dapat mencegah stroke berulang
(Reynolds, 2003, dalam Black & Hawks, 2005).
Faktor resiko yang dapat dimodifikasi diantaranya: usia, jenis kelamin, ras
(American Heart Association, 2000 dalam Smeltzer&Bare, 2008) lebih lanjut
dikatakan bahwa resiko tertinggi terjadinya stroke pada kelompok usia 55 tahun
laki-laki lebih tinggi resiko mendapat serangan stroke dari pada wanita.
Universitas Sumatera Utara
15
2.1.3 Klasifikasi
Menurut Lumbantobing, (2004) menyatakan bahwa secara umum stroke
dapat terbagi atas dua bagian yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke
dapat diklasifikasikan dengan beberapa jenis dari kedua bagian besar stroke
tersebut yaitu :
1) Stroke Iskemik
Menurut
Lumbantobing,
(2004)
stroke
iskemik
secara
patofisiologis adalah kematian jaringan otak karena pasokan darah yang
tidak
mencukupi.
Stroke
iskemik
disebabkan
penggumpalan
darah.Penyebab utamanya adalah aterosklerosis pembuluh darah dileher
dan kepala.Stroke iskemik terdiri dari :
a) Stroke Iskemik Trombotik: Stroke jenis ini terjadi karena adanya
penggumpalan pada pembuluh darah ke otak. Ini terkait dengan
hipertensi dan merupakan indikator penyakit ateroklerosis.
b) Stroke Iskemik Embolik: terjadi tidak dipembuluh darah otak,
melainkan ditempat lain, seperti jantung. Penggumpalan darah terjadi
dijantung, sehingga darah tidak bisa mengaliri oksigen dan nutrisi ke
otak.
c) TIA (Transient Ischemic Attack): serangan iskemik sementara.
Gejalanya mirip stroke, tapi hanya terjadi dalam beberapa menit. Tidak
sampai berjam- jam. Gejalanya antara lain: wajah pucat, tangan atau
kaki – kanan atau kiri- lumpuh. Vertigo (sakit kepala) juga menjadi
Universitas Sumatera Utara
16
salah satu gejala, juga disfagia (sulit menelan), lemahnya kedua kaki,
mual, dan ataksia (jalan sempoyongan).
2) Stroke Hemoragik
Ini jenis stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah
diotak atau pembuluh darah otak bocor. Ini bisa terjadi karena tekanan
darah ke otak tiba-tiba meninggi, sehingga menekan pembuluh
darah.Stroke hemoragik terdiri dari :
a) Stroke Hemoragik Intraserebral: Pada kasus ini, sebagian besar
orang yang mengalaminya bisa menderita lumpuh dan susah
diobati. Pada stroke jenis ini pendarahan terjadi didalam
otak.Biasanya mengenai basal ganglia, otak kecil, batang otak, dan
otak besar.Jika yang terkena didaerah talamus, sering penderitanya
sulit dapat ditolong meskipun dilakukan tindakan operatif untuk
mengevakuasi perdarahannya.
b) Stroke Hemoragik Subaraknoid: Memiliki kesamaan dengan stroke
hemoragikintraserebral.
Yang
membedakannya,
stroke
ini
dipembuluh darah diluar otak, tapi masih didaerah kepala, seperti
di selaput otak bagian bawah otak. Meski tidak didalam otak,
perdarahan itu bisa menekan otak. Hal ini terjadi akibat adanya
aneurisma yang pecah atau AVM (arteriovenous malformation).
Peneliti memasukkan teori tentang klasifikasi stroke, dikarenakan
hal ini memberikan informasi kepada peneliti tentang penyebab
dari jenis jenis stroke yang dialami oleh penderita stroke.
Universitas Sumatera Utara
17
Stroke dapat diklasifikasikan menurut etiologi dan perjalanan penyakitnya.
a. Klasifikasi stroke menurut etiologinya
1.
Stroke non hemoragik adalah stroke yang menimbulkan jaringan otak
mengalami iskemik dan berlanjut pada nekrosis. Terjadi karna adanya
proses trombosis, emboli dan spasme pembuluh darah otak.
2.
Stroke hemoragik adalah stroke yang menimbulkan pendarahan pada
intrakarnial seperti intraserebral hemoragik, epidural hematom,
subdural hematom, subarachnoid hematom yang disebabkan oleh
pecahnya pembuluh darah otak baik karna hipertensi yang berlebihan
atau pecahnya aniorisma serebral.
b. Klasifikasi stroke menurut perjalan penyakitnya
Stroke diklasifikasikan juga sesuai dengan perjalan penyakitnya.
Perjalanan tersebut juga dapat dilihat dari kronologis kejadian awal dan
mulainya serangan stroke. Menurut perjalanan penyakitnya, maka stroke
dapat diklasifikasikan menjadi :
1.
Transient ischemik attacks (TIA)
TIA merupakan gangguan neurologis fokal yang timbul secara tibatiba dan pulih kembali dalam beberapa detik sampai beberapa jam,
paling lama 24 jam. Tanda dan gejala dari kelompok ini adalah
gangguan neurologis lokal, terjadi selama beberapa detik sampai
beberapa jam dan gejala hilang sempurna kurang 24 jam.
Universitas Sumatera Utara
18
2.
Reversible ischemik neurologic deficit (RIND)
RIND mirip dengan TIA’s tetapi kejadiannya lebih lama dari pada
TIA’s dimana gejala hilang lebuh dari 24 jam tetapi lebih dari satu
minggu
3.
Stroke progresif (stroke in evalution)
Stroke in evalution merupakan perkembangan stroke kearah yang
lebih berat yang terjadi secara perlahan yang dapat menyebabkan
kelainan neurologis menetap (permanen) dengan karakteristik seperti:
selain gejala TIA’s diatas yang paling menonjol adalah muncul tanda
dan gejala makin lama makin bertambah buruk yang dapat terjadi
dalam beberapa jam sampai beberapa hari.
4.
Stroke komplet (stroke complete)
Stroke komplet atau stroke lengkap adalah stroke yang menunjukkan
gangguan neurologis yang permanen sejak awal serangan dan sedikit
sekali memperlihatkan perbaikan. Karakteristik utama yang menjadi
kriteria kelompok ini adalah berawal dari serangan TIA’s
yang
berulang diikuti oleh stroe in evalution. Kelainan neurologi yang
terjadi bersifat menetap. Perbaikan gangguan neurologis terjadi sedikit
dan akan banyak menimbulkan gejala sisa. Selanjutnya, mungkin akan
menetap sampai beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun.
2.1.4 Patofisiologi
Trombus dan embolus pada pembuluh darah otak mengakibatkan aliran
darah ke otak berkurang atau berhenti sama sekali ke daerah distal otak yang
Universitas Sumatera Utara
19
mengalami thrombus dan emboli sehingga otak kekurangan sumber kalori berupa
glukosa dan dan mineral lain serta oksigen. Iskemik terjadi ketika aliran darah
menurun kurang dari 25 ml per 100 g/menit akibatnya neuron tidak bisa
mempertahankan metabolisme (respirasi) aerobnya. Mitokondri berubah menjadi
respirasi anaerob sehingga menghasilkan asam laktat dan perubahan asam pH.
Perubahan bentuk metabolisme ini juga mengakibatkan penurunan jumlah neuron
dalam memproduksi Adenosin Triphosepate (ATP) yang akan dijadikan sumber
energi dalam aktivitas sel neuron berupa proses depolarasasi.
Penurunan aliran darah serebral menyebabkan terjadinya dearah penumbra
dan berkembang menjadi daerah infark. Daerah penumbra yaitu dearah otak yang
iskemik dan terdapat pada daerah sekitar yang mengalami infark jika tidak
dilakukan tindakan penyelamatan. Daerah ini dapat diselamatkan dengan
meningkatkan aliran darah serebral menuju kedaerah tersebut dalam waktu yang
cepat. Jika hal ini berlanjut akan mengakibatkan bertambahnya kerusakan pada
selaput sel. Akibat yang timbul adalah kalsium dan glumat banyak terbuang,
terjadi vasokontriksi dan menghasilkan redikal bebas.
Proses ini memperbesar area infark pada penumbra dan memperberat
gangguan neurologis terutama stroke iskemik. Area infark dan penumbra ini akan
menimbulkan bertambah luasnya edema otak disekitar penumbra dan infark
sebagai akibat tekanan dan iskemia sehingga menyebabkan gangguan sistem saraf
yang lebih luas yang bersifat sementara. Area edema ini akan berkurang dalam
waktu beberapa jam atau beberapa hari sehingga gangguan saraf secara perlahan
dapat kembali normal sesuai dengan perkembangan proses yang terjadi.
Universitas Sumatera Utara
20
Proses evolusi dari jaringan iskemik ke arah infark ini cukup cepat.
Iskemik selama 8 sampai 12 jam menimbulkan keadaan dimana neuron mengecil,
sitoplasma, nukleus rusak & sel mati (Dukta, 1991 dalam Hickey, 1997). Cerebral
Blood Flow (CBF) sebesar 18 ml per 100gram permenit selama 4 jam akan
menimbulkan infark. CBF sebesar 15 ml per 100 gram permenit, akan
menimbulkan infark dalam waktu 3,5 jam, CBF 10 ml per 100 gram permenit
akan menjadikan proses infark dalam 3 jam dan CBF 5 ml per 100 gram permenit
menimbulkan infark dalam 30 menit (Nortje & Menon, 2004).
Stroke hemorogik terjadi sesuai dengan penyebab pendarahan otak dan
lokasi pendarahannya. Pendarahan subaraknoid dapat terjadi sebagai akibat
trauma atau hipertensi, tetapi penyebab paling utama adalah kebocoran aneurisma
pada area sirkulus wilis dan kelainan bentuk Arteri Vena (AVM). Pendarahan
tersebut
dapat
menyebabkan
meningkatnya
tekanan
dalam
otak
yang
menimbulkan terjadinya proses menekan dan merusak jaringan otak sekitarnya.
Daerah yang tertekan tersebut selanjutnya akan mengalami edema sekunder akibat
iskemia dan menambahkan tekanan intrakranial semakin berat. Pendarahan
subarakhnoid juga disebabkan oleh efek sekunder iskemia pada otak akibat
terjadinya penurunan tekanan perfusi dan vasospasme.
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi pada pasien stroke dengan
hipertensi dan aterosklerosis. Perdarahan intraserebral juga bisa disebabkan oleh
tumor otak dan penggunaan obat-obatan seperti oral antikoagulan dan
ampehetamine. Perdarahan biasanya terjadi didaerah seperti lobus otak, basal
Universitas Sumatera Utara
21
ganglia, thalamus, pons dan serebellum. Perdarahan dapat terjadi pada
intraventrikuler (Black & Hawsk, 2005).
2.1.5 Tanda dan gejala
Manifestasi stroke sangat beragam, tergantung dari arteri serebral yang
terkena dan luasnya kerusakan jaringan serebral. Manifestasi klinik yang sering
terkena dan luasnya kerusakan jaringan serebral. Manifestasi klinik yang sering
terjadi diantaranya adalah kelemahan pada alat gerak, penurunan kesadaran,
gangguan penglihatan, gangguan komunikasi, sakit kepala dan ganguan
keseimbangan. Tanda dn gejala ini biasanya terjadi secara mendadak, fokal dan
mengenai satu sisi (LeMeno & Burke, 2008).
Geoffery, et al (2008) menentukan bahwa sebagian besar pasien paksa
serangan stroke memiliki keterbatasan gerak, gangguan penglihatan, gangguan
bicara dan gangguan kognitif. Selain aspek fisik ditemukan pula bahwa pasien
paksa serangan stroke mengalami gangguan psikologis seperti depresi, cemas,
ketakutan dan menarik diri dari kehidupan sosial.
Menurut Hickey (1997) tanda dan gejala stroke iskemik dihubungkan
dengan bagian arteri yang terkena sebagai berikut:
a. Arteri karotis interna
Lokasi lesi yang paling biasanya pada bifurkasio arteri karotis komunis
yang bercabang menjadi arteri karotis interna dan karotis eksterna.
Dapat timbul berbagai sindroma dan polanya tergantung dari jumlah
sirkulasi kolateral yang berbentuk. Gejalanya yanag sering tampak
adalah (1). Paralisis pada wajah, tangan dan kaki bagian yang
Universitas Sumatera Utara
22
berlawanan; (2). Gangguan sensori pada wajah, tangan dan kaki bagian
yang berlawanan dan; (3). Afasia jika yang terkena adalah daerah
hemisfer dominan (hemisfer kiri) khususnya area Broca’s atau
Werhinic’s atau kedua-duanya
b. Arteri serebri anterior
Arteri ini paling jarang terkena dan bila terkena akan menimbulkan
gejala sebagai berikut: (1) paralisis pada kaki sisi yang berlawana; (2).
Gangguan keseimbangan; (3). Gangguan sensori pada kaki dan jari
daerah berlawanan daerah terkena (4). Gangguan kognitif; dan (5)
inkontinensia urin
c. Arteri serebri posterior
Gejala yang sering mencul pada kelompok ini khususnya dalam lobus
otak tengah atau talamus adalah; (1). Gangguan kesadaran sampai
koma; (2). Kerusakan memori; (3). Gangguan penglihatan
d. Arteri serebral media
Gejala dominan yang ditunjukan bila terkena pada daerah ini adalah
(1). Hemiplegia kontralateral pada kedua ekstremitas; (2). Kadangkadang hemianopia kontralatreran (kebutaan) (3) afasia global (kalau
hemisfier dominan yang terkena) yaitu gangguan semua fungsi yang
ada hubungannya dengan percakapan dan komunikasi.
Universitas Sumatera Utara
23
Menirut Geoffery, et al (2008), berdasarkan lokasinya gejala-gejala stroke
terbagi menjadi berikut:
1) Bagian sistem saraf pusat: Kelemahan otot (hemiplegia), kaku,
menurunnya fungsi sensorik Batang otak, dimana terdapat 12 saraf
kranial: menurun kemampuan membau, mengecap, mendengar, dan
melihat parsial atau keseluruhan, refleks menurun, ekspresi wajah
terganggu, pernafasan dan detak jantung terganggu, lidah lemah.
2) Cerebral corteks: aphasia (kehilangan kemampuan memakai atau
memahami kata-kata), aproksia (tidak mampu melaksanakan instruksiinstruksi), daya ingat menurun, kebingungan. Jika tanda-tanda dan
gejala tersebut hilang dalam waktu 24 jam, dinyatakan sebagai
Transient Ischemic Attack(TIA), dimana merupakan serangan kecil
atau serangan awal stroke.
2.1.6 Faktor resiko stroke
Utami (2009) mengemukakan factor resiko stroke yang tidak dapat diubah
adalah sebagai berikut:
1. Keturunan
Para ahli kesehatan meyakini terdapat hubungan antar resiko stroke
dengan faktor keturunan, walaupun secara tidak langsung. Risiko stroke
meningkat pada seseorang dengan riwayat keluarga stroke. Seseorang
dengan riwayat keluarga stroke lebih cenderung menderita diabetes dan
hipertensi (Hertzberg, dkk, 2006). Hal ini mendukung hipotesa bahwa
Universitas Sumatera Utara
24
peningkatan kejadian stroke pada keluarga penyandang stroke adalah
akibat diturunkannya factor risiko stroke.
2. Jenis kelamin
Menurut studi kasus yang sering ditemukan, laki-laki lebih berisiko
terkena stroke tiga kali lipat dibanding dengan wanita. Namun, menurut
laporan American Heart Association Statistics Subcommittee and
Stroke Statistics Subcommittee (2007) menyebutkan bahwa kematian
akibat stroke lebih banyak dijumpai pada wanita dari pada laki-laki. Hal
ini diduga akibat pengaruh hormone pasca monopouse didukung oleh
penelitian dari Women’s Health Initiative (2004) yang mengemukakan
bahwa pemakaian hormone esterogen dan progesterone pada wanita
pasca monopouse meningkatkan risiko terjadinya stroke tipe iskemik
sebesar 44%.
3. Umur
Mayoritas stroke menyerang semua orang berusia diatas 50 tahun.
Namun, dengan pola makan dan jenis makanan yang ada sekarang ini
tidak menutup kemungkinan stroke bisa menyerang mereka yang
berusia muda.
Faktor risiko yang dapat diubah adalah hipertensi, diabetes, merokok, dislipidemia
dan obesitas:
1. Hipertensi
Hipertensi didefinisikan tekanan darah persistem dimana tekanan darah
sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg.
Universitas Sumatera Utara
25
Sedangkan pada lansia dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan
darahnya 160/90 mmHg. Hipertensi dapat mengakibatkan stroke
khususnya stroke hemogarik (perdarahan) akibat tekanan yang kuat
kepembuluh darah. Tekanan darah yang tinggi bisa diakibatkan oleh
diameter pembuluh darah yang kurang elastis atau adanya sumbatan
berupa thrombus dan emboli (Brunner & Suddarth 2002).
Tabel 2.1 Klasifikasi hipertensi menurut Badadero, dkk (2008):
Tingkat
tekanan darah sistolik
I
II
III
IV
tekanan darah diastolik
140-159
160-179
180-209
>210
90-99
100-109
110-119
>120
2. Diabetes
Diabetes merupakan salah satu factor resiko stroke iskemik.
Diabetes akan meningkatkan resiko stroke karena mengakibatkan
peningkatan fiskositas darah sehingga mempermudah terbentuknya
emboli. Peningkatan kadar gula darah berbanding lurus dengan resiko
stroke artinya semakin tinggi kadar gula darah seseorang maka
semakin mudah terkena stroke.
Tabel 2.2 Klasifiasi Kadar Glukosa Darah (mg/dl) menurut (ACE, 2003)
Jenis Pemeriksaan Gula
Normal
GTT
DM
Gula darah puasa
80-109
110-125
≥126
2 jam setelah beban glukosa
80-144
145-179
≥180
GTT : Gangguan toleransi glukosa
Universitas Sumatera Utara
26
DM : Diabetes mellitus
3. Merokok
Berbagai penelitian menghubungkan kebiasaan merokok dengan
peningkatan resiko penyakit pembuluh darah (termasuk stroke).
Merokok memacu peningkatan kekentalan darah, pengerasan dinding
pembuluh darah, dan penimbunan plak di dinding pembuluh darah.
4. Dislipidemia
Banyak penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa kolestrol
darah yang tinggi dapat meningkatkan resiko stroke. Penelitian
Amerenco, dkk (2006) pada 492 pasien stroke iskemik (sumbatan)
menunjukkan bahwa kadar kolestrol LDL (kolestrol jahat) dan
kolestrol total yang tinggi meningkatkan resiko stroke sampai dua kali
lipat.
5.
Obesitas
Seseorang dengan berat badan berlebih memiliki resiko yang tinggi
untuk menderita stroke. Kurukulasuriya, atal (2006) mengatakan
bahwa seseorang disebut mengalami obesitas jika indeks massa tubuh
(IMT) lebih dari 30 kg/m2. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa
seseorang dengan indeks massa tubuh
≥ 30 kg/m2 memiliki resiko
stroke 2,4 kali dibanding yang memiliki indeks massa tubuh < 30
kg/m2. Seseorang yang mengalami obesitas akan memicu terjadinya
thrombosis, penyakit arteri koroner, dan meningkatkan resiko stroke.
Universitas Sumatera Utara
27
2.1.7 Dampak stroke
Gejala stroke yang muncul sangat tergantung pada bagian otak yang
terganggu. Otak manusia terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil
(cerebellum), dan batang otak. Otak besar terdiri atas bagian besar yang disebut
hemisfer, yaitu hemisfer kanan dan hemisfer kiri. Fungsi bagian tubuh sebelah
kanan dikendalikan oleh hemisfer kiri dan fungsi bagian tubuh bagian kiri
dikendalikan oleh hemisfer kanan.
Tabel 2.3 klasifikasi otak berdasarkan fungsinya (Sherwood, 2001):
No
Bagian otak
Fungsi
1
Lobus frontal
Gerakan,
Dampak stroke
pengambilan Kelumpuhan,
keputusan, pembauan
kelemahan
anggota
gerak
(hemiplegia), disartria
2
Lobus temporal
Pendengaran,
emosi
3
Lobus parietal
memori, Gangguan
pendengaran,
dimensia, marah
Rasa kulit, pemahaman Gangguan sensori, aphasia
bahasa
4
Lobus occipitas
Penglihatan
5
Cerebellum(ota
Keseimbangan
k kecil)
koordinasi
Batang otak
Menelan, pernapasan, dan Kematian,
6
fungsi vital
Gangguan pada bola mata
dan Gangguan keseimbangan,
inkontinensia
kelumpuhan,
disfagia
Universitas Sumatera Utara
28
1. Kecacatan akibat stroke
Kecacatan pasca-stroke pada umumnya dinilai dengan kemampuan
pasien untuk melanjutkan fungsinya kembali sebelum sakit dan
kemampuan pasien untuk mandiri. Salah satu skala ukur yang paling
sering dipakai untuk pasien menggambarkan kecacatan akibat stroke
adalah skala Rankin.
Tabel 2.4 Klasifikasi cacat stroke menurut Skala Rankin
No
Klasifikasi
Kriteria
1
Tidak ada disabilitas yang Dapat melakukan tugas harian seperti biasa
signifikan
2
Disabiitas ringan
Tidak dapat melakukan beberapa aktivitas
seperti sebelum sakit, namun dapat
memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa
bantuan
3
Disabilitas sedang
Memerlukan sedikit bantuan tetapi dapat
berjalan tanpa bantuan
4
Disabilitas sedang-berat
Tidak dapat berjalan tanpa bantuan dan tidak
dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa
bantuan
5
Disabilitas berat
Ditempat tidur bedrest, inkontinensia,
memerlukan perawatan dan perhatian
2. Letak Kelumpuhan Akibat Serangan Stroke
a. Kelumpuhan sebelah kiri (Hemiparesis sinistra)
Kerusakan pada sisi sebelah kanan otak yang menyebabkan
kelemahan tubuh bagian kiri.Pasien dengan kelumpuhan sebelah kiri
sering
memperlihatkan
ketidakmampuan
persepsi
visuomotor,
Universitas Sumatera Utara
29
kehilangan memori visual dan mengabaikan sisi kiri.Penderita
mamberikan perhatian hanya kepada sesuatu yang berada dalam
lapang pandang yang dapat dilihat (Harsono, 2006).
b. Kelumpuhan sebelah kanan (Hemiparesis Dextra)
Kerusakan pada sisi sebelah kiri otak yang menyebabkan kelemahan
atau
kelumpuhan
tubuh
bagian
kanan.Penderita
ini
biasanya
mempunyai kekurangan dalam kemampuan komunikasi verbal.Namun
persepsi dan memori visuomotornya sangat baik, sehingga dalam
melatih perilaku tertentu harus dengan cermat diperhatikan tahap demi
tahap secara visual.Dalam komunikasi kita harus lebih banyak
menggunakan body language (bahasa tubuh) (Harsono, 2006).
c. Kelumpuhan kedua sisi (Paraparesis)
Karena adanya sclerosis pada banyak tempat, penyumbatan dapat
terjadi pada dua sisi yang mengakibatkan kelumpuhan satu sisi dan di
ikuti satu sisi lain. Timbul gangguan seudobulber (biasanya hanya
pada vaskuler) dengan tanda-tanda hemiplegic dupleks, sukar menelan,
sukar berbicara dan juga mengakibatkan kedua kaki sulit untuk
digerakkan dan mengalami hiperaduksi (Markam, 2002).
Setelah stroke, sel otak mati dan hematom yang terbentuk akan
diserap kembali secara bertahap. Proses alami ini selesai dalam waktu
3 bulan. Pada saat itu, 1/3 orang yang selamat menjadi tergantung dan
mungkin mengalami komplikasi yang dapat menyebabkan kematian
atau cacat.
Universitas Sumatera Utara
30
Hanya 10-15 % penderita stroke bisa kembali hidup normal
seperti sedia kala, sisanya mengalami cacat, sehingga banyak
penderita Stroke menderita stress akibat kecacatan yang ditimbulkan
setelah diserang stroke (Pinzon, 2006).
Penurunan parsial total gerakan lengan dan tungkai, 90%
bermasalah dalam berpikir dan mengingat, 70% menderita depresi, 30
% mengalami kesulitan bicara, menelan, membedakan kanan dan kiri.
Stroke tak lagi hanya menyerang kelompok lansia, namun kini
cenderung menyerang generasi muda yang masih produktif. Stroke
juga tidak lagi menjadi milik warga kota yang berkecukupan, namun
juga dialami oleh warga pedesaan yang hidup dengan serba
keterbatasan.
Hal ini akan berdampak terhadap menurunnya tingkat
produktifitas serta dapat mengakibatkan terganggunya sosial ekonomi
keluarga.
Selain
karena
besarnya
biaya
pengobatan
paska
stroke,(Pinzon, 2009).
2.1.8 Pencegahan Stroke
Berdasarkan perspektif kesehatan masyarakat maka pencegahan stroke
terdiri dari tiga tingkatan yaitu pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
Pencegahan primer ditujukan kepada populasi yang sehat dengan melakukan
promosi kesehatan dan mengatasi factor resiko, social dan factor keturunan.
Pencegahan sekunder ditujukan kepada populasi yang beresiko mengalami
masalah kesehatan (stroke) yaitu dengan melakukan skrining pada individu yang
Universitas Sumatera Utara
31
beresiko stroke, mengandalikan factor resiko, dan melakukan intervensi dini.
Sedangkan pencegahan tersier adalah untuk individu yang mengalami masalah
kesehatan (stroke) yaitu dengan melakukan rehabilitasi, pencegahan komplikasi,
meningkatkan kualitas hidup (Harsono, 2011).
1. Pencegahan primordial
Upaya pencegahan primordial adalah upaya yang dimaksudkan
memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit
stroke tidak meningkat dengan adanya dukungan dasar dari kebiasaan,
gaya hidup dan faktor resiko lainnya, misalnya kebersihan lingkungan,
yaitu terbebas dari polusi seperti asap rokok yang dapat menimbulkan
penyempitan pembuluh darah. Hal ini didukung dengan peraturan
pemerintah tentang bahaya rokok bagi kesehatan, seperti dilarang merokok
ditempat umum terutama ruangan ber-AC dan pada bungkus rokok.
Hal ini juga bisa dimulai dari membiasakan anak-anak untuk lebih
memilih makanan-makanan tradisonal yang lebih aman dari zat-zat
pengawet dan membatasi mengkonsumsi makanan-makanan siap saji
sehingga dapat mengurangi resiko stroke.
2. Pencegahan primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko
stroke bagi individu yang belum ataupun mempunyai faktor resiko dengan
cara melaksanakan gaya hidup sehat bebas stroke, antara lain :
Universitas Sumatera Utara
32
a). Gaya hidup: Bebas rokok, stress mental, alkohol, kegemukan,
konsumsi garam yang berlebihan, obat-obat golongan amfetamin,
kokain dan sejenisnya.
b). Lingkungan: kesadaran atas stress kerja
c).
Biologi: perhatian terhadap faktor resiko biologis (jenis kelamin,
riwayat keluarga) efek aspirin.
d) Pelayanan kesehatan: health education dan pemeriksaan tensi,
mengendalikan hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung dan
penyakit vaskuler aterosklerotik.
3. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah
menderita stroke.Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap
penderita stroke agar stroke tidak berlanjut menjadi kronik. Tindakan yang
dilakukan adalah :
a) Gaya hidup: manejemen stress, makanan rendah garam, berhenti
merokok, penyesuaian gaya hidup
b) Lingkungan: penggantian kerja jika diperlukan, family counseling
c) Biologi : pengobatan yang patuh dan cegah efek samping
d) Pelayanan kesehatan: pendidikan pasien dan evaluasi penyebab
sekunder
4. Pencegahan tersier
Tujuan pencegahan adalah untuk mereka yang telah menderita stroke
agar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi
Universitas Sumatera Utara
33
ketergantungan pada orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan
sehari-hari. Pencegahan dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi.
Rehabilitasi merupakan pencegahan tersier yang bertujuan untuk
menjaga atau meningkatkan kemampuan fisik, ekonomi dan kemampuan
untuk bekerja seoptimal mungkin (Thomas, 2005).
2.1.9. Perawatan pasien pasca stroke di rumah
Merawat adalah memelihara, menjaga, mengurus, membela orang
sakit.Merawat adalah mengobati memperlakukan, menghadiri, menyertai,
mendampingi, memelihara, mendorong, membesarkan, mendidik. (Kamus
Inggris-Indonesia,).
1. Perawatan mata dan mulut
Pasien yang tidak dapat minum tanpa bantuan harus membersihkan
mulutnya dengan sikat lembut, perawatan mulut yang teratur sangat penting,
terutama untuk pasien yang sulit atau tidak dapat menelan, gunakan kain
lembab yang bersih untuk membersihkan kelopak mata pasien jika diperlukan.
2. Pemberian makan
Pasien stroke memerlukan makanan yang memadai, lezat dan
seimbang dengan cukup serat, cairan (2 liter atau lebih sehari), dan
mikronutrien. jika nafsu makan pasien berkurang, mereka dapat diberi
makanan ringan, tinggi-kalori yang lezat dalam jumlah terbatas setiap 2-3 jam,
bersama dengan minuman suplemen nutrisional. Untuk mencegah tersedak
dan pneumonia aspirasi maka posisi pasien yang terbaik adalah posisi duduk.
3. Pengendalian buang air kecil
Universitas Sumatera Utara
34
Inkontinensia atau retensi pada umumnya terjadi pada pasien stroke
terutama pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran dan kebingungan,
saat mereposisi pasien, pembalut inkontinensia yang basah atau tercemar
kotoran harus diganti, pasien yang dipasang kateter perlu diajarkan kepada
keluarga tentang perawatan kateter tersebut untuk menghindari komplikasi
yang mungkin terjadi.
4. Pengendalian buang air besar
Sembelit adalah masalah yang umum dijumpai pada orang berusia
lanjut dan pada orang yang mengalami stroke, beberapa obat (misalnya
opioid) juga dapat menyebabkan sembelit. Cara terbaik untuk mengatur buang
air besar adalah makanan yang memadai dan seimbang serta banyak cairan
(paling tidak dua liter sehari) dan serat (buah dan sayuran), serta aktivitas fisik
yang cukup. Pelunak tinja (laksatif, pencahar), supositoria, dan oedema dapat
digunakan untuk sembelit yang terjadi sekali-kali.
5. Mencegah jatuh
Faktor resiko yang mempermudah pasien jatuh antara lain masalah
ayunan langkah dan keseimbangan, obat-obat sedatif, kesulitan melakukan
aktivitas sehari-hari, inaktivitas, inkontinensia, gangguan penglihatan, dan
berkurangnya kekuatan tungkai bawah. Apabila klien ingin berpindah dari
tempat tidur maka pasien harus turun secara perlahan dan bertahap.
Prinsip merawat pasien pasca stroke di rumah adalah sebagai berikut:
1) Menjaga kesehatan punggung pengasuh atau keluarga
Universitas Sumatera Utara
35
Keluarga beresiko mengalami cedera otot lumbal atau cedera
punggung ketika mengangkat, memindahkan, atau mengubah posisi
pasien pasca stroke yang mengalami imobilisasi. Untuk menghindari
cedera punggung ini perlu diperhatikan :
a) Posisi beban, tinggi objek, posisi tubuh, dan berat
maksimum. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah
anda dapat melakukannya sendiri atau membutuhkan
bantuan.
b) Mengangkat objek harus dari bawah pusat gravitasi,
menempatkan
kedua
kaki
sedikit
terbuka
untuk
memperbesar dukungan, serta mempertahankan kesejajaran
yang tepat pada kepala dan leher dengan vertebra, keluarga
atau pengasuh harus menjaga tubuh untuk tetap tegak.
c) Berdiri sedekat mungkin dengan objek untuk mencapai
pusat gravitasi yang lebih dekap dengan objek.
2) Mencegah terjadinya luka dikulit pasien akibat tekanan
Pasien
yang mengalami imobilisasi perlu dibalik dan
diposisikan secara reguler, bahkan pada malam hari hal ini bertujuan
untuk mencegah terjadinya luka akibat tekanan. Bagi pasien yang
hanya dapat berbaring atau duduk di kursi roda, bagian-bagian tubuh
yang paling beresiko antara lain adalah punggung bawah (sakrum),
bokong, paha, tumit, siku, dan tulang belikat (skapula).
3) Mencegah terjadinya kekakuan otot atau sendi
Universitas Sumatera Utara
36
Untuk mencegah kekakuan sendi keluarga perlu melakukan
berbagai hal misalnya mengubah posisi lengan dan tungkai setiap 1-2
jam sepanjang siang dan malam hari, memijat tungkai yang lumpuh
sekali atau dua kali sehari, menggerakkan semua sendi di tungkai yang
lumpuh secara lembut dan perlahan-lahan (yaitu, lurus dan menekuk)
5-7 kali.
4) Mencegah terjadinya nyeri bahu (shoulder pain)
Nyeri bahu merupakan masalah yang sering terjadi pada pasien
stroke dialami oleh sekitar 1 dari 5 pasien dalam waktu enam bulan
setelah stroke (Agustina, dkk 2009). Komplikasi ini disebabkan oleh
peregangan dan peradangan sendi bahu yang melemah, dan sangat
sering pada pasien dengan tungkai bawah atau atas yang lemah, atau
mereka yang memiliki riwayat gangguan tungkai atas, diabetes
melitus, dan tinggal sendiri di rumah. Tindakan pencegahan terbaik
adalah penempatan posisi dan reposisi di tempat tidur menopang
lengan yang lemah (lumpuh) dengan bantal atau sandaran tangan jika
mungkin, menghindari peregangan sendi bahu, terutama oleh tarikan
pada lengan lemah dan menopang lengan yang lemah dengan lengan
yang normal atau dengan menggunakan perban sportif saat berjalan
sehingga lengan tersebut tidak terkulai ke bawah.
5) Memulai latihan dengan mengaktifkan batang tubuh atau torso
Segera setelah pasien mampu, bantulah mereka dari tempat
tidur dan duduk di kursi yang nyaman untuk jangka pendek.
Universitas Sumatera Utara
37
Peningkatan mobilitas pasien harus lambat dan bertahap, dan jika
mungkin, mengikuti rangkaian berikut: bergerak di tempat tidur
dengan tungkai ke bawah, berdiri di samping tempat tidur, berjalan ke
kursi, duduk di kursi, berjalan di lantai yang rata. Pasien pada tahaptahap awal setelah stroke perlu di bantu untuk turun dari tempat tidur
atau berpindah dari tempat tidur ke kursi.
2.1.10. Disabilitas Fungsional
Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan sebagai
impairments, disabilitas dan handicaps. Oleh WHO membuat batasan sebagai
berikut (Caplan, 2000):
a.
Impairments menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis
dan anatomis yang disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi,
fisioterapi, terapi okupasional ditujukan untuk menetapkan kelainan
ini.
b.
Disabilitas adalah setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk
berbuat sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan orang yang sehat
seperti: tidak bisa berjalan, menelan dan melihat akibat pengaruh
stroke.
c.
Handicaps adalah halangan atau gangguan pada seseorang penderita
stroke berperan sebagai manusia normal akibat ”impairment” atau
disability” tersebut.
Pada berbagai penelitian klinis, skala Barthel Index dan Modified Rankin
Scale umumnya digunakan untuk menilai outcome karena mudah digunakan,
Universitas Sumatera Utara
38
pengukuran yang sensitif terhadap keparahan stroke dan memperlihatkan
interrater reliability (Sulter dkk, 1999; Weimar dkk, 2002).
Salah satu skala ukur yang sering dipakai untuk pasien menggambarkan
kecacatan akibat stroke adalah skala Rankin.1.Tidak ada disabilitas yang
signifikan, dapat melakukan tugas harian seperti biasa 2. Disabilitas ringan, tidak
dapat melakukan beberapa aktivitas seperti sebelum sakit, namun dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri tanpa bantuan 3. Disabilitas sedang, memerlukan sedikit
bantuan, tapi bisa berjalan tanpa bantuan 4. Disabilitas sedang-berat, tidak dapat
berjalan tanpa bantuan, dan tidak dapat memenuhikebutuhannya sendiri tanpa
bantuan5. Disabilitas berat di tempat tidur, inkontinensi memerlukan perawatan
dan perhatian.
Pasien dengan tingkat kecacatan yang berat tidaklah dapat mandiri.
Sebagian besar aktivitas kehidupannya memerlukan bantuan, bahkan sampai
aktivitas kehidupan yang paling dasar sekali pun (makan, berkemih, mandi)
(Melcon, 2006). Stroke yang menunjukan derajat keparahan yang tinggi saat
serangan lebih sering dihubungkan dengan kecacatan pasca stroke. Keparahan
derajat stroke tentu pula berhubungan dengan kecepatan mendapat pertolongan
medis yang adekuat (Johnston dan Wagner, 2006).
Menurut Budijanto (2003) dalam Sugiharti (2010), disabilitas adalah
ketidakmampuan atau kemunduran atau penurunan fungsi individu dalam
melakukan suatu kegiatan/aktivitas sehar-hari yang didahului oleh keadaan
impairment, dimana kegiatan/aktivitas tersebut sebelumnya dapat dilakukannya
tanpa kesulitan atau dengan bantuan orang lain. Menurut Heikinnen (2003),
Universitas Sumatera Utara
39
disabilitas didefinisikan sebagai kesulitan dalam melakukan satu atau lebih
aktifitas sehari-hari atau ADL (Activities of Daily Living) seperti aktifitas mandi,
memakai baju, makan, ke WC, atau kesulitan dalam melakukan satu atau lebih
aktivitas instrumental sehari-hari atau IADL (Instrumental Activities of Daily
Livings) seperti aktifitas menggunakan telepon, belanja, menyiapkan makanan,
dan mencuci.
a.
Pengertian Fungsional
Ridge dan Goodson (2000) menjelaskan bahwa status fungsional
mengarah dalam domain fungsi sebagai konsep multidimensi yang melihat
karakteristik kemampuan individu untuk berperan penuh dalam memenuhi
kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan dasar, pemeliharaan kesehatan, serta
kesejahteraan. Wilkinson (2010) menjelaskan status fungsional merupakan
suatu konsep mengenai kemampuan individu untuk melakukan self care
(perawatan diri), self maintenance (pemeliharaan diri), dan aktivitas fisik.
Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan
bahwa status fungsional merupakan suatu kemampuan individu untuk
menggunakan kapasitas fisik yang dimilikinya untuk memenuhi kewajiban
hidup meliputi kewajiban melaksanakan aktivitas fisik, perawatan diri,
pemeliharaan dan kewajiban untuk dapat berinteraksi dengan orang lain,
sehingga dapat meningkatkan kesehatan individu.
b. Jenis-jenis pengukuran status fungsional
Jenis-jenis pengukuran status fungsional Saltzman dalam Ropyanto
(2011) menjelaskan status fungsional dapat dikaji melalui pengkajian
Universitas Sumatera Utara
40
fungsional dengan menggunakan alat ukur untuk mendapatkan gambaran
indikasi keparahan suatu penyakit, mengukur kemampuan, dan kebutuhan
individu terhadap perawatan, memonitor perubahan sepanjang waktu, serta
untuk pantauan pemeliharaan. Pengukuran yang dapat digunakan sebagai alat
ukur status fungsional yaitu Indeks Katz, Indeks Kenny Self Care, The Index
of Independence in Activities of Daily Living (IADL), Functional
Independent Meassure (FIM), Indeks Barthel.
c. Faktor yang mempengaruhi status fungsional pasien stroke
Faktor
yang
mempengaruhi
status
fungsional
pasien
stroke
Ketergantungan status fungsional sering menjadi permasalahan pada pasien
stroke. Faktor-faktor yang mempengaruhi status fungsional pada pasien
stroke menurut Junaidi (2011) antara lain jenis stroke, komplikasi penyakit,
dan usia. Ropyanto (2011) menambahkan faktor-faktor lainnya yang
mempengaruhi status fungsional, yaitu motivasi, sistem support, kelelahan,
kepercayaan diri, nyeri yang dirasakan, jenis stroke, usia perkembangan, dan
jenis ketergantungan yang dialami.
Status fungsional pada pasien stroke Abraham Maslow menjelaskan
lima hirarki kebutuhan dasar manusia (five hierarchy of needs), yaitu
kebutuhan fisiologis, kebutuhan keselamatan dan keamanan, kebutuhan
mencintai dan dicintai, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri.
Maslow dalam Asmadi (2008) menjelaskan bahwa kebutuhan yang sangat
primer yang dibutuhkan oleh manusia adalah kebutuhan fisiologis.
Universitas Sumatera Utara
41
Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang sangat utama yang
harus dipenuhi untuk memelihara homeostatis biologis dan kelangsungan
kehidupan bagi setiap manusia, dan apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi
maka akan mempengaruhi kebutuhan lain. Jadi, kebutuhan fisiologis
merupakan kebutuhan syarat yang harus dipenuhi oleh setiap manusia
(Asmadi, 2008).
Status fungsional atau yang lebih dikenal dengan kemampuan
fungsional merupakan salah satu bagian dalam kebutuhan fisiologis dalam
kehidupan manusia. Status fungsional atau kemampuan fungsional pada
pasien stroke berada pada tahap terendah dari sebelumnya. Perawat dan
keluarga mempunyai tugas yang sangat penting untuk memfasilitasi
kemampuan fungsional pasien stroke. Pasien stroke pada umumnya
cenderung memerlukan bantuan orang disekitarnya untuk dapat beraktivitas
dan melakukan perawatan diri, seperti mandi, toileting, makan, minum,
mengenakan pakaian, berhias, kebersihan diri, berjalan maupun berpindah
tempat (Junaidi, 2011).
Status fungsional pada pasien stroke dapat diukur salah satunya adalah
dengan menggunakan Indeks Barthel sebagai istrumen untuk mengukur
kategori ketergantungan kemampuan fungsi yang dialami. Pasien stroke yang
mengalami kelumpuhan disalah satu atau kedua anggota ekstremitas atas
(tangan) pasti mengalami kesulitan dalam hal kebutuhan fisiologis, makan.
Gangguan makan pada pasien stroke tidak hanya dapat berakibat pada sistem
pencernaan dan energinya tetapi dapat berakibat juga dengan penurunan
Universitas Sumatera Utara
42
konsentrasi atau penurunan kognitif pasien. Orang terdekat pasien seperti
perawat maupun keluarga harus memperhatikan gizi yang terkandung dalam
makanan pasien, maupun diet yang disarankan oleh dokter pada pasien stroke
(Sutrisno, 2007).
Mandi juga merupakan kebutuhan fisiologis yang harus didapat oleh
pasien stroke. Pasien stroke yang mengalami ketergantungan sedang hingga
ketergantungan total mengalami gangguan dalam memenuhi kebutuhan
mandi. Mandi merupakan praktik menjaga kebersihan tubuh dengan
menggunakan agen pembersih seperti sabun, shampo, air, odol, penyikat gigi,
dan shower puff digunakan untuk membersihkan tubuh dari kotoran, keringat,
dan mikroorganisme seperti bakteri dan jamur yang dapat menempel di kulit
(Ropyanto, 2011).
Berpakaian dan berhias juga merupakan salah satu perawatan diri yang
perlu dilakukan pada pasien stroke. Penggunaan celana dan baju dapat
dipakai dengan mengenakannya pada bagian ekstremitas yang sakit terlebih
dahulu dan melepaskannya dari ekstremitas yang sehat. Orang terdekat
seperti keluarga dan perawat dapat membantu terpenuhinya kebutuhan mandi,
berpakaian, dan berhias pada pasien stroke, sehingga pasien stroke dapat
terawat, rapi, dan bersih walaupun dalam keterbatasan fisik yang dialami
(Ropyanto, 2011).
Kebutuhan fisiologis seperti eliminasi urin BAK dan BAB atau
aktivitas toileting pada pasien stroke dapat dibantu oleh perawat maupun
keluarga. Namun, apabila pasien stroke masih dalam ketegori ketergantungan
Universitas Sumatera Utara
43
ringan hingga sedang, yang masih memungkinkan pasien untuk beraktivitas
toileting mandiri dapat dilakukan tanpa bantuan. Pasien stroke yang
mengalami kelumpuhan tubuh akan mengalami kesulitan dalam aktivitas
toileting karena minimnya gerakan tubuh yang dilakukan sehingga dapat
menyebabkan konstipasi pada pasien. Hal ini menyarankan perawat maupun
keluarga untuk dapat memastikan diberikannya makanan yang bergizi dengan
serat yang tinggi untuk membantu memperlancar eliminasi (Ropyanto, 2011).
Mobilitas atau pergerakan (berpindah) pada pasien stroke perlu
dilakukan secara teratur. Dalam hal ini perawat maupun keluarga harus dapat
memotivasi dan memberikan semangat pada pasien untuk melakukan
pergerakan, agar dapat melatih kemampuan fungsi tubuh. Keteraturan dalam
mengikuti fisioterapi perlu diperhatikan untuk dapat meningkatkan status
fungsi tubuh pasien, namun tidak langsung diperoleh secara instan, tetapi
diperoleh secara perlahan dan dibutuhkan kesabaran (Ropyanto, 2011).
d. Pengukuran status fungsional pasien stroke dengan Indeks Barthel
Penelitian ini menggunakan Indeks Barthel untuk mengkaji status
fungsional pasien stroke. Indeks Barthel merupakan instrumen pengukuran
status fungsional yang digunakan pada dewasa yang sedang dalam perawatan
klinis maupun dalam area rehabilitasi (Loretz, 2005 dalam Ropyanto, 2011).
Indeks Barthel ini merupakan skala yang dinilai berdasarkan observasi oleh
tenaga kesehatan, dapat diambil dari catatan medis pasien, maupun
pengamatan langsung (Sugiarto, 2005). Domain dalam instrumen ini meliputi
makan, berpindah tempat, kebersihan diri, aktivitas toileting seperti
Universitas Sumatera Utara
44
mengontrol defekasi dan berkemih, mandi, makan, berjalan di jalan datar,
naik turun tangga, dan berpakaian.
2.2. Dukungan Pasangan
2.2.1. Definisi Dukungan Pasangan
Menurut (Sarafino, 2008) dukungan adalah suatu bentuk kenyamanan,
perhatian, penghargaan, ataupun bantuan yang diterima individu dari orang yang
berarti, baik secara perorangan maupun kelompok. Dukungan dapat berupa
dukungan sosial keluarga internal, seperti dukungan dari suami istri atau
dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal,
dukungan sosial eksternal bagi keluarga inti (dalam jaringan kerja sosial
keluarga).
Dukungan adalah informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan, yang
nyata atau tingkah laku diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek
didalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat
memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku
penerimanya atau dukungan adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orangorang yang diandalkan, menghargai dan menyayangi kita (Kuntjoro, 2002).
Dukungan pasangan merupakan dukungan yang diberikan pasangan dalam
pengambilan keputusan untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Pasangan
adalah orang pertama dan utama dalam memberi dorongan dan dukungan kepada
pasangan sebelum pihak lain turut memberikannya. Dukungan pasangan
Universitas Sumatera Utara
45
merupakan dorongan, motivasi terhadap pasangan, baik secara moral maupun
material (Bobak, 2005).
Perkawinan
selalu
dianggap
sebagai
hal
yang memuaskan
dan
berharga.Dalam setiap hubungan seperti perkawinan, masalah tidak selalu dapat
dihindarkan (Rini, 2001), karena pada dasarnya sebuah perkawinan terdiri dari
dua orang yang mempunyai sifat, kepribadian, maupun karakter yang
berbeda.Perkawinan adalah salah satu aktivitas sentral dari manusia yang
bertujuan untuk memperoleh suatu kehidupan yang bahagia.
Pada pernikahan dua orang menjadi satu kesatuan yang saling merindukan,
saling menginginkan kebersamaan, saling membutuhkan, saling melayani, saling
memberi dorongan dan dukungan (Gunarsa, 2000). Banyak fungsi-fungsi yang
dilakukan pasangan yang berkeluarga antara lain memberikan kasih sayang, rasa
aman dan perhatian (Al-Maqassary, 1998). Dukungan dari pasangan dipercaya
dapat membantu para penderita untuk menghadapi penyakit yang dideritanya.
Dukungan keluarga mengacu kepada dukungan yang dipandang oleh
anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat diadakan untuk keluarga dimana
dukungan tersebut bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang
bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan
bantuan jika diperlukan. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan keluarga
internal, seperti dukungan dari suami/istri, dukungan dari saudara kandung,
dukungan dari anak dan dukungan keluarga eksternal, seperti dukungan dari
sahabat, tetangga, sekolah, keluarga besar, tempat ibadah, praktisi kesehatan.
Dukungan keluarga merupakan sebuah proses yang terjadi sepanjang kehidupan,
Universitas Sumatera Utara
46
dimana dalam semua tahap siklus kehidupan dukungan keluarga membuat
keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal untuk
meningkatkan
kesehatan
dan
adaptasi
keluarga
dalam
kehidupan
(Friedman,1998).
Dukungan sosial yang diterima seseorang tidak selalu menguntungkan.
Status menikah tidak menjamin seseorang mempunyai sumber dukungan sosial.
Ketika seorang menderita penyakit yang sudah lama dan serius, keluarganya
mungkin terlalu melindungi, sehingga menghambat keinginan pasien untuk
menjadi lebih aktif atau bekerja kembali (Rustiana, 2006). Hal ini dapat
mengacaukan program pengobatan dan membuat penderita makin tergantung dan
tak mampu berbuat apa-apa.
Beberapa penulis meletakkan dukungan sosial terutama pada konteks
hubungan yang akrab atau kualitas hubungan (Winnubst dkk, dalam Rustiana
2006). Menurut Jacobson (dalam Nurmalasari dan Putri, 2007) dukungan sosial
adalah suatu bentuk tingkah laku yang menumbuhkan perasaan nyaman dan
membuat individu percaya bahwa ia dihormati, dihargai, dicintai dan bahwa orang
lain bersedia memberikan perhatian dan keamanan. Menurut Cooper & Watson
(Nurmalasari dan Putri, 2007) dukungan sosial adalah bantuan yang diperoleh
individu secara terus menerus dari individu lain, kelompok dan masyarakat luas.
Perubahan natural berkaitan dengan perubahan yang terjadi secara
perlahan-lahan dalam kehidupan normal, dan perubahan ini dapat dipahami dan
diterima oleh individu. Perubahan-perubahan ini muncul seiring dengan
bertambahnya jumlah usia dan jumlah anak, tuntutan peran sebagai ibu dan ayah.
Universitas Sumatera Utara
47
Perubahan yang kedua adalah perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak
dapat
diprediksi
sebelumnya.
Perubahan
ini
akan
menyebabkan
ketidakseimbangan pada perkawinan dan bisa menjadi bayangan kehancuran.
Misalnya ketika terjadi kecelakaan, bencana alam, dan serangan penyakit.Salah
satu penyakit yang tiba-tiba terjadi adalah stroke.
Dukungan yang diberikan oleh caregiver adalah penting untuk membantu
kesembuhan pasien baik dari segi fisik, psikososial, dan spiritual. Tujuan dari
rencana pendidikan kesehatan juga berbeda antara pasien dan caregiver.
Caregiver mungkin membutuhkan bantuan dalam mempelajari perawatan fisik
dan teknik penggunaan alat bantu perawatan, menemukan sumber home care,
menempatkan peralatan, menata lingkungan rumah untuk mengakomodasi
kesembuhan pasien (Lewis, et al, 2011).
Pasangan dari penderita stroke seringkali berperan sebagai primary
caregiver
sedangkan
anak
dari
penderita
lebih
berperan
sebagai
secondarycaregiver (Messecar dalam Cempaka, 2012). Primary caregiver adalah
individu yang bertanggung jawab pada sebagian besar tugas pengasuhan secara
langsung, termasuk dukungan emosional. Sedangkan, secondarycaregiver atau
pengasuh cadangan yang bertugas memberikan dukungan dan membantu tugas
pengasuh utama baik secara langsung dan tidak langsung (Ferrell, 2009). Dengan
demikian, kecenderungan pasangan yaitu berperan sebagai primary caregiver
karena tidak hanya memberikan perawatan secara fisik namun juga harus menjaga
dan mendukung kondisi penderita stroke secara emosional.
Universitas Sumatera Utara
48
Beberapa keluarga dapat menyesuaikan diri dengan baik kepada kondisi
pasien stroke, tetapi beberapa keluarga lainnya tidak mampu menyesuaikan diri
dengan baik pada perubahan hubungan, dan harmonisasi perkawinan selalu
menurun (Newman, 2006).Penyakit strokebisa merepotkan pihak keluarga
pasien.Terutama keluarga yang masih membutuhkan tenaga dan pikiran pasien
dalam mensejahterakan keluarganya. Pihak keluarga bahkan akan merasa
terbebani karena biaya yang besar dan waktu yang tersita dalam perawatan pasien
tersebut (Sutrisno, 2007).
Kondisi pasien strokeini membuat pasangan mendapatkan dampak dari
kondisi fisik dan kondisi psikologis yang dialami pasangannya, dimana pasien
mengalami kesulitan dalam bekerja karena mengalami kelumpuhan, kesulitan
dalam komunikasi karena pasien mengalami gangguan bicara, gangguan kognitif
dan kesulitan dalam penyesuaian emosi (Sarafino, 2006).
Keterbatasan fisik dan psikologis pasien strokeseperti yang telah dialami
pasangan, dapat mengurangi kebersamaan dalam mengisi waktu senggang
bersama pasangan. Paul &Stephanie (2008) mengatakan bahwa pasangan sebagai
caregiveryang menderita strokeakan merasakan berkurangnya waktu luang untuk
melakukan aktivitas yang menyenangkan dibandingkan ketika pasangan belum
terserang stroke. Dengan demikian kebutuhan sosial pasangan kurang terpenuhi.
Istri maupun suami yang bertugas sebagai primary caregiver akan
merasakan dampak dari kondisi fisik dan psikologis yang dialami oleh
pasangannya pasca serangan stroke. Stephens & Clark (1997) mengatakan bahwa
menyesuaikan diri dengan pasangan yang mengalami penyakit kronis dan fatal
Universitas Sumatera Utara
49
memberikan tantangan serius bahkan pada pasangan yang paling bahagia.
Beberapa keluarga dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap kondisi pasien
stroke, tetapi beberapa keluarga lainnya tidak mampu menyesuaikan diri dengan
baik pada perubahan hubungan dan harmonisasi perkawinan selalu menurun
(Newman dalam Rodiatul & Dewi 2010).
Peran sebagai primary caregiver yang dilakukan oleh pasangan dapat
menimbulkan dampak yang positif dan juga negatif. Dampak positif yang
dirasakan antara lain pasangan merasa lebih dibutuhkan kehadirannya dalam
membantu kegiatan pasien sehari- hari, mengurus dan menjaga pola makan
pasien, serta mendampingi pasien saat terapi, merasa lebih berguna dengan
memberikan
makna
lebih
bagi
kehidupan
pasangannya,
memperkuat
hubungannya dengan orang lain, meningkatkan kualitas diri secara spiritual, dan
juga memperkuat komitmen yang lebih intens terhadap pasangan melalui kegiatan
caregiving yang diberikan kepada pasangan, (Robert, 2006; Teasell, Foley, Salter,
Bhogal, Juntai & Speechley, 2011; Cempaka 2012).
Selain dampak positif, peran pasangan sebagai primarycaregiver
memberikan dampak negatif, terkait aspek fisik, emosional, sosial dan finansial.
Dengan sedikit persiapan dan dukungan secara professional yang terbatas,
ketegangan dari pasangan yang menjadi pengasuh dapat mengarah ke distress
level yang tinggi. Stres negatif yang tinggi ini akan menghasilkan bentuk stres
yang bermacam-macam seperti depresi, kecemasan, kemarahan, terganggunya
gaya hidup serta hubungan dengan orang lain, kelelahan dan perasaan terisolasi
(Anderson, dkk dalam Robert. J, dkk, 2006).
Universitas Sumatera Utara
50
Seperti yang telah diuraikan mengenai dampak positif dan negatif dalam
merawat yang dirasakan oleh pasangan sebagai primarycaregiver, maka proses
caregiving dapat menjadi hal yang menekan. Proses caregiving dapat
menyebabkan pasangan mengalami depresi, perasaan sedih dan tertekan,
kelelahan fisik, dan perubahan pada hubungan sosial. Berbagai tekanan dalam
menjalani keseharian sebagai perawat pasien stroke membuat pasangan
mengalami stres yang bersumber dari respon fisik dan psikologisnya. Seiring
dengan berjalannya waktu, stres dan beban tugas yang dirasakan oleh caregiver
berubah menjadi strain, yang merupakan persepsi atau perasaan kesulitan atas
tugas dan tanggung jawab yang berhubungan dengan peran sebagai caregiver
(Oncology Nursing Society, 2008).
Dampak fisik, psikologis serta sosial yang dialami pasien stroke
mempengaruhi ketergantungan penderita pada orang lain khususnya pihak
keluarga. Pihak keluarga dituntut agar dapat mengupayakan dukungan
semaksimal mungkin sebagai usaha untuk mencapai kesembuhan pada penderita
stroke ditengah kondisi pasca serangan yang dialaminya. Dukungan utama bagi
penderita penyakit kronis, salah satunya stroke biasanya diperoleh dari keluarga
langsung (immediate family) yaitu anak atau pasangannya (Sarafino, 2008).
Kualitas komunikasi dan dukungan emosional dari dalam keluarga dan
lingkungan sosial langsung memiliki efek besar pada tingkat tekanan fisik dan
psikologis yang dialami oleh pasien yang berada pada fase pemulihan dari
gangguan seperti penyumbatan miokardium/otot jantung dan stroke (Weinman,
1997).
Universitas Sumatera Utara
51
2.2.2 Komponen Dukungan Pasangan
Menurut Hause Kahn (1985) dan Caplan (1976) dalam Friedman (1998)
bahwa komponen-komponen dukungan pasangan terdiri dari:
a. Dukungan Penilaian
Dukungan penilaian meliputi pertolongan pada individu untuk
memahami kejadian depresi dengan baik, sumber depresi dan strategi
koping yang dapat digunakan dalam menghadapi stressor. Dukungan
penilaian yang diberikan berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita.
Sehingga dukungan yang diberikan dapat membantu meningkatkan
strategi koping individu dengan strategi – strategi alternatif berdasarkan
pengalaman yang berfokus pada aspek – aspek yang positif.
Dalam
dukungan
penilaian,
kelompok
dukungan
dapat
mempengaruhi persepsi individu akan ancaman dengan mengikutsertakan
individu untuk membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain
yang mengalami hal yang lebih buruk. Dukungan keluarga dan pasangan
membantu individu dalam melawan keadaan yang dialami individu dengan
membantu mendefinisikan kembali situasi tersebut sebagai ancaman kecil
dan memberikan pilihan yang tepat untuk menyelesaikan masalah.
b. Dukungan Nyata/Instrumental
Bentuk dukungan ini melibatkan penyediaan dukungan material
seperti pelayanan, bantuan keuangan, atau barang. Benda atau jasa yang
diberikan akan membantu memecahkan masalah, seperti saat seseorang
memberi uang, menyediakan transportasi, menjaga dan merawat saat sakit,
Universitas Sumatera Utara
52
menyediakan peralatan yang dibutuhkan. Dukungan nyata paling efektif
bila dihargai oleh penerima dengan tepat. Pada dukungan nyata keluarga
merupakan sumber untuk mencapai tujuan praktis dan konkrit
c. Dukungan Informasi
Informasi dapat membantu individu memahami peristiwa stres
yang lebih baik dan menentukan sumber daya dan strategi penanganan
yang dapat dihimpun untuk menghadapinya. Dukungan informasi meliputi
pemberian solusi dari masalah, pemberian nasehat, pengarahan, saran, ideide, dan umpan balik tentang apa yang dilakukan
d. Dukungan Emosional
Dukungan emosional yang diberikan oleh pasangan atau orang lain
dapat membuat individu merasa tidak menanggung beban sendiri tetapi
masih ada orang terdekat dalam hal ini pasangan, keluarga atau orang lain
yang memperhatikan, mau mendengar segala keluhannya, dan empati
terhadap
persoalan
yang
dihadapinya,
bahkan
mau
membantu
memecahkan masalah yang dihadapinya. Keluarga dapat memberikan
dukungan emosional dengan meyakinkan penerima dukungan bahwa ia
adalah individu yang berharga. Kehangatan kasih sayang yang diberikan
dapat memungkinkan kelompok penerima dukungan untuk didekati.
Dukungan emosional dapat berupa dukungan simpati, empati, cinta,
kepercayaan, dan penghargaan.
Menurut Kuntjoro (2002) bentuk-bentuk dukungan pasangan yang
dapat diberikan pada pasangannya adalah adanya kedekatan emosional,
Universitas Sumatera Utara
53
pasangan mengijinkan pasangan terlibat dalam suatu kelompok yang
memungkinkannya untuk berbagi minat, perhatian, pasangan menghargai
atas kemampuan dan keahlian pasangan, pasangan dapat diandalkan ketika
pasangan membutuhkan bantuan, dan pasangan merupakan tempat
bergantung untuk menyelesaikan masalah pasangannya. Dengan adanya
dukungan pasangan, tugas yang tadinya terasa berat menjadi lebih ringan
dan membahagiakan. Sebaliknya, jika pasangan dalam sebuah perkawinan
tidak mampu menjalin kerjasama, maka hal itu akan menyebabkan
kesulitan dalam mengatasi permasalahan hidup yang lebih kompleks di
kemudian hari.
2.2.3 Fungsi Dukungan Pasangan
Menurut Caplan dalam Friedman & Jones (2010) keluarga dalam hal ini
pasangan memiliki fungsi pendukung yaitu meliputi:
a. Dukungan sosial dimana pasangan berfungsi sebagai pencari dan penyebar
informasi mengenai dunia.
b. Dukungan penilaian dimana pasangan bertindak sebagai sistem pembimbing
umpan
balik, membimbing dan memerantarai pemecahan masalah, dan
merupakan sumber serta validator identitas anggota.
c. Dukungan tambahan dimana pasangan adalah sumber bantuan praktis dan
konkrit.
d. Dukungan emosional dimana pasangan berfungsi sebagai tempat istirahat dan
pemulihan serta membantu penguasaan emosional dan meningkatkan moral
keluarga.
Universitas Sumatera Utara
54
2.2.4. Dukungan Pasangan pada Pasien Stroke yang Mengalami Disabilitas
Fungsional
Dukungan Pasangan ada secara biologis, fisiologis, psokososial, sosial dan
spiritual. Dukungan secara biologis terdiri dari: untuk meneruskan keturunan,
memeliharan dan membesarkan anak, memelihara dan merawat keluarga. Fungsi
psikologis terdiri dari: memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberikan
perhatian diantara anggota keluarga, membina pendewasaan kepribadian anggota
keluarga, memberikan identitas keluarga. Fungsi Sosial terdiri dari: membina
sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan
tingkat perkembangan anak, meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.
Fungsi biologis terdiri dari: memenuhi kebutuhan gizi keluarga, perhatian
dari suami atau istri termasuk kedalam kelompok dukungan internal yang sangat
membantu pemulihan kesehatan bagi pasangannya yang dirawat (Friedman,
1998). Ketiadaan pasangan sangat mempengaruhi kondisi psikologis pasien paska
stroke, dimana pasien menjadi lebih menurun kesehatannya dan kurang kooperatif
berbeda dengan pasien yang didampingi oleh pasangan mereka dimana pasien
menjadi lebih bersemangat dan memiliki harapan untuk mencapai kesembuhan
(Anggraeni & Ekowati, 2010).
Gangguan psikologis yang dialami penderita stroke berhubungan dengan
depresi, cemas, marah, dan harga diri rendah serta dukungan emosional yang
rendah. Penderita stroke mengalami tingkat depresi mulai dari ringan sampai berat
dengan kualitas hidup yang rendah. Ketakutan yang dialami penderita stroke
berhubungan dengan kematian, kekambuhan penyakit, gambaran diri yang rendah,
Universitas Sumatera Utara
55
perubahan feminitas, seksualitas dan ketertarikan merupakan faktor yang
menyebabkan terjadinya tekanan psikologis baik setelah didiagnosa maupun
setelah menjalani pengobatan (Reich et al, 2007).
Handayani (2009) juga mengemukakan bahwa seseorang yang menderita
stroke dan telah dilakukan pengobatan memiliki citra diri yang cenderung negatif.
Namun citra diri pada pasangan penderita stroke dapat menjadi positif karena
mendapatkan dukungan yang besar dari pasangan. Stroke juga memberikan
dampak pada penampilan fisik bagi pasien, yang membawa akibat cukup serius
terhadap keharmonisan hubungan suami dan istri (Anggraeni & Ekowati, 2010).
2.3. Landasan Teori Konsep Self-Care Deficit Orem
Menurut Orem, asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan bahwa
setiap orang mempunyai kemampuan untuk merawat diri sendiri sehingga
membantu individu memenuhi kabutuhan hidup, memelihara kesehatan dan
kesejahteraannya, oleh karena itu teori ini dikenal sebagai Self Care (perawatan
diri) atau Self Care Defisit Teori. Orang dewasa dapat merawat diri mereka
sendiri, sedangkan bayi, lansia, dan orang sakit membutuhkan bantuan untuk
memenuhi aktivitas Self Care mereka.
Menurut teori keperawatan Self-Care adalah pelayanan manusia yang
berpusat kepada kebutuhan manusia untuk mengurus diri bagaimana mengaturnya
secara terus menerus untuk dapat menunjang kesehatan dan kehidupan, sembuh
dari penyakit dan menanggulangi akibat-akibatnya (Orem, 1971).Menurut Orem,
asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap orang mempunyai
kemampuan untuk merawat diri sendiri sehingga membantu individu memenuhi
Universitas Sumatera Utara
56
kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan kesejahteraannya, oleh karena itu
teori ini dikenal sebagai Self Care (perawatan diri) atau Self Care Defisit Teori.
Orem memulai pengembangan keperawatan dengan memunculkan arti
keperawatan
dan mengidentifikasi situasi saat seorang klien membutuhkan
perawat. Orem kemudian mempunyai kesimpulan bahwa sesorang membutuhkan
tindakan keperawatan saat seseorang tersebut tidak bisa merawat dirinya sendiri
(Ladner, 2002). Pada tahun 1971 Orem memunculkan theory Self Care
DeficitTheory of Nursing (SCDTN) dalam buku Nursing Concepts of Practice.
Teori keperawatan self care deficit sebagai grand teori keperawatan terdiri dari
tiga teori terkait yaitu teori self care, self care deficit, dan system keperawatan.
Teori ini mempunyai beberapa elemen konsep yaitu self care, agency/agen, dan
keperawatan. Dalam teorinya orem menetapkan empat konsep yang pada akhirnya
bersama theory keperawatan yang lain membentuk metaparadigma keperawatan,
yaitu: human being, lingkungan, kesehatan, dan keperawatan.
Pandangan Teori Orem dalam tatanan pelayanan keperawatan ditujukan
kepada kebutuhan individu dalam melakukan tindakan keperawatan mandiri serta
mengatur dalam kebutuhannya. Dalam konsep praktek keperawatan Orem
mengembangkan tiga bentuk teori Self care di antaranya:
1.
Perawatan Diri Sendiri (Self Care)
Dalam teori self care, Orem mengemukakan bahwa self care
meliputiSelf Care itu sendiri, yang merupakan aktivitas dan inisiatif
dari individu serta dilaksanakan oleh individu itu sendiri dalam
Universitas Sumatera Utara
57
memenuhi
serta
mempertahankan
kehidupan,
kesehatan
serta
kesejahteraan. Perawatan diri sendiri dibagi pada 3 kelompok yaitu:
a. Self Care Agency, merupakan suatu kemampuan individu dalam
melakukan perawatan diri sendiri, yang dapat dipengaruhi oleh usia,
perkembangan, sosiokultural, kesehatan dan lain-lain. Adanya
tuntutan atau permintaan dalam perawatan diri sendiri yang
merupakan tindakan mandiri yang dilakukan dalam waktu tertentu
untuk perawatan diri sendiri dengan menggunakan metode dan alat
dalam tindakan yang tepat.
Kebutuhan Self Care merupakan suatu tindakan yang ditujukan
pada penyediaan dan perawatan diri sendiri yang bersifat universal
dan berhubungan dengan proses kehidupan manusia serta dalam
upaya mempertahankan fungsi tubuh.
b. Kebutuhan self care therapeutik(Therapeutic self care demand)
adalah merupakan totalitas dari tindakan self care yang diinisiatifdan
dibentuk untuk memenuhi kebutuhan self care dengan menggunakan
metode yang valid yang berhubungan dengan tindakan yang akan
dilakukan.
c. Konsep lain yang berhubungan dengan teori self care adalah self
care requisite.
2. SelfCare Defisit
Merupakan hal utama dari teori general keperawatan menurut
Orem. Dalam teori ini keperawatan diberikan jika seorang dewasa (atau
Universitas Sumatera Utara
58
pada kasus ketergantungan) tidak mampu atau terbatas dalam melakukan
self care secara efektif. Keperawatan diberikan jika kemampuan
merawat
berkurang
atau
tidak
dapat
terpenuhi
atau
adanya
ketergantungan. Orem mengidentifikasi lima metode yang dapat
digunakan dalam membantu self care:
a. Tindakan untuk atau lakukan untuk orang lain.
b. Memberikan petunjuk dan pengarahan.
c. Memberikan dukungan fisik dan psychologis.
d.Memberikan
dan
memelihara
lingkungan
yang
mendukung
pengembangan personal.
e. Pendidikan, perawat dapat membantu individu dengan menggunakan
beberapa atau semua metode tersebut dalam memenuhi self care.
Merupakan bagian penting dalam perawatan secara umum
dimana segala perencanaan keperawatan diberikan pada saat perawatan
dibutuhkan yang diterapkan pada anak yang belum dewasa, atau
kebutuhan
yang melebihi kemampuan serta adanya perkiraan
penurunan
kemampuan
dalam
perawatan
dan
tuntutan
dalam
peningkatan self care baik secara kualitas. Dalam pemenuhan
perawatan diri serta membantu dalam proses penyelesaian masalah.
Orem memiliki metode untuk proses tersebut diantaranya bertindak atau
berbuat untuk orang lain, sebagai pembimbing orang lain, memberi
support, meningkatkan pengembangan lingkungan pribadi serta
mengajarkan atau mendidik pada orang lain.
Universitas Sumatera Utara
59
Dalam praktek keperawatan Orem melakukan identifikasi
kegiatan praktek dengan melibatkan pasien dan keluarga dalam
pemecahan masalah (contohnya, masalah yang terjadi pada pasien atau
keluarga yaitu masalah penyakit stroke). Menentukan kapan dan
bagaimana pasien memerlukan bantuan secara teratur bagi pasien dan
mengkoordinasi serta mengintegrasikan keperawatan dalam kehidupan
sehari-hari dan asuhan keperawatan diperlukan ketika klien tidak mampu
memenuhi kebutuhan biologis, psikologis, perkembangan dan sosial.
3. Teori Sistem Keperawatan
Merupakan teori yang menguraikan secara jelas bagaimana
kebutuhan perawatan diri pasien terpenuhi oleh perawat atau pasien
sendiri yang didasari pada Orem yang mengemukakan tentang
pemenuhan kebutuhan diri sendiri kebutuhan pasien dan kemampuan
pasien dalam melakukan perawatan mandiri. Dalam pandangan teori
sistem ini Orem memberikan identifikasi dalam sistem pelayanan
keperawatan diantaranya :
a. Sistem bantuan secara penuh (Wholly Compensatory system)
Merupakan suatu tindakan keperawatan dengan memberikan bantuan
secara penuh pada pasien dikarenakan ketidakmampuan pasien
dalam
memenuhi
tindakan
perawatan
secara
mandiri
yang
memerlukan bantuan dalam pergerakan, pengontrolan, dan ambulasi
serta adanya manipulasi gerakan.
Universitas Sumatera Utara
60
b. Sistem bantuan sebagian (Partially Compensatory System )
Merupakan sistem dalam pemberian perawatan diri secara sebagian
saja dan ditujukan kepada pasien yang memerlukan bantuan secara
minimal seperti pada pasien yang Stroke dimana pasien ini tidak
memiliki kemampuan seperti cuci tangan, gosok gigi, cuci muka
akan tetapi butuh pertolongan perawat atau pasangan dalam
melakukan perawatandiri. Contohnya perawatan pada
pasien
strokedimana pasien tidak memiliki kemampuan untuk melakukan
BAB dan BAK karena mengalami gangguang mobilitas.
c. Sistem Suportif dan Edukatif
Merupakan sistem bantuan yang diberikan pada pasien yang
membutuhkan dukungan pendidikan dengan harapan pasien mampu
memerlukan perawatan secara mandiri. Sistem ini dilakukan agar
pasien mampu melakukan tindakan keperawatan setelah dilakukan
pembelajaran. Contoh pemberian pendidikan kesehatan pada ibu dan
bapak (keluarga) yang memerlukan informasi tentang perawatan
pasien stroke.
Fokus dalam ketiga teori ini adalah perawatan diri yang didefinisikan
sebagai “praktik atau aktivitas individu memulai dan menunjukkan keperluan
mereka sendiri dalam memelihara hidup, kesehatan, dan kesejahteraan” (Orem,
1985, hlm. 84). Perawatan diri tidak terbatas pada seseorang yang memberikan
perawatan untuk dirinya sendiri, hal ini termasuk perawatan yang ditawarkan oleh
orang lain untuk keperluan orang lain. Perawatan mungkin ditawarkan oleh
Universitas Sumatera Utara
61
anggota keluarga atau orang lain hingga orang tersebut mampu untuk melakukan
perawatan diri. Perawatan diri mempunyai tujuan dan berperan terhadap integritas
struktural, fungsi, dan perkembangan manusia (Orem, 1985, hlm. 86). Tujuan
yang ingin dicapai adalah keperluan universal, perkembangan, dan perawatan
kesehatan akibat penyimpangan kesehatan.
Ketiga tipe keperluan perawatan diri yang dikemukakan Orem adalah
universal, perkembangan, dan penyimpangan kesehatan. Keperluan perawatan diri
universal ditemukan pada seluruh manusia dan dihubungkan dengan proses
kehidupan
dan
kesejahteraan
umum
mereka.
Kebutuhan
perkembangan
berhubungan dengan tahapan-tahapan yang berbeda yang dialami manusia.
Kebutuhan yang ketiga disusun hasil dari atau dikaitkan dengan penyimpangan
dalam aspek struktur dan fungsi manusia (Orem, 1991, hlm. 125). Orem
mengoperasionalkan masing-masing dari kebutuhan-kebutuhan ini. Fokus
keperawatan
adalah
pada
pengidentifikasian
kebutuhan
perawatan
diri,
perancangan metode dan tindakan untuk memenuhi kebutuhan, dan “totalitas
kebutuhan untuk tindakan perawatan diri” (Orem, 1985, hlm. 88).
Pemberi perawatan diri, apakah diri sendiri maupun orang lain, disebut
“agen perawatan diri”. Hal ini merupakan suatu kesatuan yang digambarkan
dalam perkembangan dan dapat dioperasionalkan, yang dipengaruhi oleh beberapa
variabel dan latar belakang genetik, kultural, dan pengalaman, dan dalam istilah
keadekuatan.
Hal
yang
paling
terakhir
dapat
dievaluasi
dengan
mempertimbangkan kemampuan dan kebutuhan perawatan diri (Orem, 1987).
Universitas Sumatera Utara
62
Kondisi klien yang dapat mempengaruhi self-care dapat berasal dari faktor
internal(dari dalam diri individu) dan eksternal(dari luar diri individu), faktor
internal meliputi usia, tinggi badan, berat badan, budaya/suku, status perkawinan,
agama, pendidikan dan pekerjaan. Adapun faktor luar meliputi dukungan keluarga
dan budaya masyarakan dimana klien tinggal.
Klien dengan kondisi tersebut membutuhkan perawatan diri yang bersifat
kontinun atau berkelanjutan. Adanya perawatan diri yang baik akan mencapai
kondisi yang sejahtera. Klien membutuhkan tiga kebutuhan self care berdasarkan
teori Orem yaitu:
1. Universal self care requisites (kebutuhan perawatan diri secara
menyeluruh) seperti pada pasien stroke dimana membutuhkan perawatan
total harus dengan bantuan orang lain baik perawat dan keluarga terlebih
dari pasangan.
2. Development
self
care
requisites
(kebutuhan
perawatan
diri
pengembangan) fungsi klien sesuai dengan fungsi perannya. Perubahan
fisik pada klien dengan stroke antara lain menimbulkan ketidakmampuan
dalam melakukan sebagian saja dimana pasien tidak mampu makan,
mandi, memakai baju, BAK, BAB, ke WC dan berjalan harus dengan
bantuan orang lain.
3. Health deviation self care requisites (kebutuhan perawatan diri
penyimpangan kesehatan) penyimpangan kesehatan seperti adanya stroke
yang disertai dengan penyakit lain seperti DM dan dipertensi yang dapat
menimbulkan
kehilangan
cairan
dan
elektrolit
(dehidrasi),
Universitas Sumatera Utara
63
hipotensi(tekanan darah rendah),perubahan sensorik (perubahan pada
indera perasa), takikardi (frekuensi jantung yang meningkat) dan
hemiparesis (kelumpuhan separu badan). Pasien Stroke akan mengalami
penurunan pola makan dan adanya komplikasi yang dapat mengurangi
kerharmonisan pasangan dalam melakukan hubungan intim.
Ketidakseimbangan baik secara fisik maupun mental yang di alami oleh
pasien dengan Stroke menurut Orem disebut dengan self care-deficit. Menurut
Orem peran perawat dalam hal ini yaitu mengkaji klien sejauh mana klien mampu
untuk merawat dirinya sendiri dan mengklasifisikannya sesuai dengan klafisikasi
kemampuan pasien.
Dukungan dan perawatan dari orang lain terutama pasangan merupakan
hal yang utama atau teori pertama dari konsep ini dimana gambaran konseptual
penerima perawatan sebagai manusia yang tidak mampu melakukan perawatan
diri secara kontinyu dan independen dikarenakan hal-hal yang terkait dengan
kesehatan atau keterbatasan (Orem, 1985, hlm. 34). Teori kedua, “teori perawatan
diri” berdasar pada ide sentral bahwa suatu hubungan muncul antara tindakan
perawatan diri yang dipertimbangkan serta perkembangan dan fungsi individu dan
kelompok. Teori ketiga, “teori sistem keperawatan” yang menggambarkan
kebutuhan perawatan diri terapeutik dan tindakan-tindakan serta sistem-sistem
yang terlibat dalam perawatan diri dalam konteks hubungan interpersonal dan
yang dibangun dalam diri manusia dengan defisit perawatan diri (Orem dan
Taylor, 1986, hlm. 44).
Universitas Sumatera Utara
64
Dalam penelitian ini pasangan mempunyai dukungan dan peranan dalam
memberikan perawatan diri kepada pasangan yang mengalami suatu penyakit
seperti stroke dimana salah satu tujuan keperawatan model Orem adalah
Memungkinkan orang yang berarti (bermakna) yaitu pasangan bagi pasien untuk
memberikan asuhan dependen jika self care tidak memungkinkan, oleh karenanya
self care deficit.
Relationship
Self – Care
Tidak mampu merawat
diri sendiri
Mempunyai tingkat
ketergantungan
Tidak mampu melakukan
pengobatan dengan
mandiri
Relationship
Self – Care Agency
<
Deficit
Relationship
Nursing Agency
Pasanganmerupakan
nursing agency
Relationship
Self – CareDemands
Terpenuhinya
kebutuhan pasien
selama sakit
Tingkat Ketergantungan
teratasi
Pengobatan berjalan
dengan baik
Beban pasien berkurang
selama sakit
Relationship
2.1 Skema Model Konseptual Orem
Universitas Sumatera Utara
65
2.4. Konsep Studi Fenomenologi
Fenomenologi adalah metode penelitian kualitatif dimana peneliti
mencoba untuk menemukan dan mengeksplorasi pengalaman hidup manusia.
Fenomenologi berakar dari ilmu filosofi yang dikembangkan oleh Husserl dan
Heidegger, mereka memandang fenomena subjektif dengan keyakinan bahwa
kebenaran tentang realita didasarkan pada pengalaman hidup manusia yang penuh
makna dan dialami secara sadar. Fenomenologi telah menjadi bidang yang tidak
terpisahkan dari penelitian keperawatan karena banyak digunakan untuk
mempelajari fenomena penting dalam dunia keperawatan (Husserl, 1965; Merleau
& Ponty, 1956 dalam Chamberlain, 2009).
Pengalaman manusia dipelajari oleh peneliti untuk mengetahui dan
memahami makna dari pengalaman tersebut melalui berbagai cara. Peneliti
berusaha mengeksplorasi pengalaman informan melalui pengumpulan data dan
peneliti berusaha masuk kedalam dunia informan, dengan demikian peneliti dapat
merasakan pengalaman informan dengan cara yang sama. Pengumpulan data
dapat dilakukan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview), dan
partisipation observation, sedangkan alat pengumpulan data utama adalah peneliti
sendiri, dan alat bantu lainnya seperti panduan wawancara, panduan observasi,
catatan lapangan, dan alat perekam suara atau gambar (Polit & Beck, 2008 ;
Denzin & Lincoln, 2009).
Menurut Fochtman (2008 dalam Sosha, 2011; Polit & Beck, 2008),
fenomenologi terdiri dari :
Universitas Sumatera Utara
66
a. Fenomenologi deskriptif
Jenis penelitian ini difokuskan pada deskripsi pengalaman yang dialami
oleh manusia. Husserl (1962 dalam Denzin dan Lincoln, 2009) berpendapat
bahwa hubungan antara persepsi dan objek-objeknya tidaklah pasif dan kesadaran
manusia secara aktif mengandung objek-objek pengalaman.
Menurut Beck (1994), fenomenologist dalam proses analisa data pada
fenomenologi deskriptif adalah Collaizi (1998), Giorgi (1985), dan Van Kaam
(1959). Perbedaan antara ketiga fenomenologist tersebut yaitu: Collaizi
menganjurkan kembali kepada partisipan untuk memvalidasi hasil yang sudah
diperoleh peneliti dari informan, Giorgi berpendapat bahwa memvalidasi hasil
hanya mengandalkan peneliti saja, tidak perlu kembali kepada informan untuk
memvalidasi hasil temuan, sedangkan menurut Van Kaam bahwa kesepakatan
hasil analisis data diperoleh dengan menggunakan bantuan dari ahlinya.
b. Fenomenologi interpretif-hermeneutik
Fenomenologi interpretif-hermeneutik dikembangkan oleh Heidegger pada
tahun 1962. Inti dari fenomenologi ini adalah pemahaman dan penafsiran, bukan
sekedar deskripsi dari pengalaman manusia tetapi menemukan pemahaman
dengan cara masuk kedalam dunia partisipan (Sosha, 2012). Menurut Beck
(1994), fenomenologist dalam proses analisa data pada fenomenologi interpretifhermeneutik adalah Van Manen (1990).
Menurut Guba & Lincoln (1990 dalam Shenton, 2003) bahwa penelitian
kualitatif termasuk fenomenologi perlu ditingkatkan kualitas dan integritasnya.
Oleh karena itu perlu dilakukan keabsahan data melalui empat kriteria yaitu
Universitas Sumatera Utara
67
credibility, transferability, dependability, dan confirmability. Keabsahan data
akan dijelaskan sebagai berikut :
a. Credibility
Menjamin credibility merupakan salah satu yang paling penting dilakukan.
Credibility dilakukan untuk mengetahui apakah proses dan hasil penelitian
kredibel, dapat dipercaya dan diterima. Kredibilitas suatu penelitian dapat dicapai
ketika peneliti dapat mengembangkan dan menginterpretasikan pengalaman
partisipan yang sedang ditelitinya, dalam hal ini kesadaran peneliti merupakan
suatu hal yang esensial. Kredibilitas dapat dicapai dengan prolonged engagement,
catatan lapangan yang komprehensif, hasil rekaman dan transkrip, triangulasi data
dan member checking.
b. Transferability
Transferability merupakan validitas eksternal yang berarti sejauhmana
penelitian ini dapat dilakukan pada situasi dan di tempat yang berbeda. Seorang
peneliti harus dapat menyediakan deskripsi data yang baik pada laporan
penelitiannya sehingga orang lain dapat mengaplikasikannya ke dalam konteks
yang berbeda.
c. Dependability
Keabsahan data pada dependability harus menunjukkan bahwa jika
penelitian ini diulang dengan konteks, metode dan peserta yang sama maka akan
diperoleh hasil yang sama, oleh karena itu dependability sangat bergantung pada
credibility. Hal ini berarti proses dari penelitian tersebut dapat diaudit.
Auditability menjadi kriteria kepadatan data ketika menghadapi konsistensi data.
Universitas Sumatera Utara
68
d. Confirmability
Confirmability merupakan salah satu kriteria yang menunjukkan
interpretasi telah didapat pada saat penelitian. Confirmability dipertahankan ketika
credibility, transferability, dan dependability tercapai. Confirmability juga dapat
diartikan objektivitas, dimana ada persamaan tentang akurasi data, relevansi atau
makna yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, hal ini dapat dilakukan dengan
cara audit trial. Dalam penelitian audit trial dilakukan oleh pembimbing.
Universitas Sumatera Utara
Download