BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit rematik

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit rematik bukanlah hal asing lagi di masyarakat. Penyakit ini biasanya
banyak diderita oleh lansia. Jenis rematik yang sering ditemui adalah osteoartritis, di
masyarakat lebih dikenal dengan pengapuran sendi (Anies, 2006). Orang dengan
osteoartritis sering mengalami nyeri sendi dan keterbatasan gerak. Tidak seperti
beberapa bentuk lain dari artritis, osteoartritis hanya mempengaruhi sendi dan bukan
organ internal. Rheumatoid arthritis merupakan bentuk umum kedua artritis yang
mempengaruhi bagian lain dari tubuh selain sendi dan bentuk paling umum dari
artritis adalah osteoartritis (NIAMS, 2010). Perguruan tinggi reumatologi
mendefinisikan osteoartritis sebagai kelompok kondisi tanda dan gejala sendi yang
tidak hanya disebabkan oleh perubahan tulang yang mendasarinya, tetapi juga
berhubungan dengan rusaknya integritas tulang rawan artikular. Tanda klinis
osteoartritis meliputi, nyeri sendi, nyeri tekan, keterbatasan gerak, bunyi krepitasi,
terkadang terjadi efusi, dan peradangan lokal. Kondisi ini dapat mengakibatkan
penderita tidak dapat melakukan aktifitas kesehariannya, bahkan terjadi disabilitas
(Roach & Tilley, 2007).
Penyakit yang bersifat kronik dan degenaratif ini berjalan pelan dan
puncaknya terjadi pada degenerasi integritas dan fungsi sendi, hal ini ditandai dengan
adanya destruksi kartilago dan penyempitan sendi (Creamer & Hochberg, 1997).
1
2
Menurut Smeltzer & Bare (2002), osteoartritis sering dimulai pada dekade
usia ketiga, dan mencapai puncaknya di antara dekade kelima dan keenam.
Menjelang usia 75 tahun, dari hasil pemeriksaan rontgen menunjukkan 85 % populasi
terbukti klinis terdapat osteoartritis.
Angka kejadian penderita osteoartritis berdasarkan umur semakin tinggi.
Diperkirakan 27 juta orang Amerika berumur 25 tahun dan yang lebih tua menderita
osteoartritis. Meskipun osteoartritis menjadi lebih umum pada usia lansia, pada usia
muda biasanya disebabkan oleh cedera sendi, kelainan sendi, atau cacat genetik pada
tulang rawan sendi. Pada usia kurang dari 45 tahun, osteoartritis lebih banyak diderita
oleh pria sedangkan usia diatas 45 tahun lebih banyak diderita wanita. Berdasarkan
usia diperkirakan pada tahun 2030, diproyeksikan 67 juta orang akan didiagnosis
artritis (NIAMS, 2010). Di Indonesia prevalensi osteoartritis cukup tinggi yaitu 5%
pada usia kurang dari 40 tahun, 30 % pada usia 40-60 tahun dan 65% pada usia diatas
61 tahun (Handayani, 2008).
Menurut penelitian Hoe Ai, (2010) dari 269 medical record pasien
osteoartritis sejak tahun 2000 sampai 2010 yang telah mendapat persetujuan
prevalensi osteoartritis di RSUP Dr. Sardjito sebesar 45,29 %. Sebanyak 237 (89%)
mengalami osteoartritis di bagian lutut. Prevalensi tertinggi pada penderita
osteoartritis terdapat dalam usia 61 sampai 70 tahun (38,66%).
Gejala yang paling umum atau sering muncul dari osteoartritis adalah nyeri,
kaku dan gangguan fungsional. Nyeri pada osteoartritis disebabkan oleh inflamasi
sinovial, peregangan kapsula atau ligamentum sendi, iritasi ujung-ujung saraf dalam
3
periosteum akibat pertumbuhan osteofit, mikro fraktur trebekulum, hipertensi
intraoseus, bursitis, tedinitis dan spasme otot (Smeltzer & Brenda, 2002). Nyeri ini
sering digambarkan sebagi hal yang menjenuhkan dan tidak jelas batasnya. Nyeri ini
diperburuk ketika melakukan aktifitas yang melibatkan persendian dan akan mereda
ketika istirahat. Dibeberapa kasus nyeri dapat terjadi ketika malam hari, karena
mekanisme perlindungan otot splinting pada sendi sudah hilang. Nyeri sendi biasanya
disertai dengan kekakuan pada pagi hari dan umumnya berlangsung kurang dari satu
jam (Roach & Tilley, 2007).
Penatalaksanaan terapeutik osteoartritis dapat dilakukan secara farmako dan
atau nonfarmakologi. Kebanyakan penatalaksanaan saat ini diarahkan pada
pengurangan rasa sakit atau nyeri, pengurangan peradangan dan pengurangan
ketidakmampuan atau kecacatan fisik (Roach & Tilley, 2007). Salah satu intervensi
nonfarmakolgi yaitu Transcutaneous Electric Nerve Stimulation (TENS) dan
kompres panas (termoterapi) telah menunjukkan efek yang mendekati atau melebihi
analgesik. Terapi TENS biasanya digunakan secara kombinasi dengan terapi lain
dalam penurunan nyeri (Mancintyre & Schug, 2007). Penggunaan TENS dalam
mengelola berbagai kondisi nyeri bersifat
non-invasif, bebas dari efek samping
sistemik, simpel, aman, tidak memerlukan biaya yang mahal, dan memungkinkan
pasien dapat mengontrol terapi mereka sendiri (Vance et al, 2012; Mancintyre &
Schug, 2007).
Intervensi nonfarmakologi lain yang memiliki sedikit risiko, efektif dan tidak
membutuhkan biaya yang mahal yaitu termoterapi (Denegar et al, 2010). Aplikasi
4
panas ini dapat mengurangi rasa sakit dan kekakuan melalui peningkatan relaksasi,
fleksibilitas sendi dan aliran darah kesendi (NHMRC, 2009). Pasien osteoartritis
dapat diindikasikan dokter untuk melakukan termoterapi dengan menggunakan alat
ataupun kain secara mandiri dirumah, walaupun pasien tidak dalam program
homecare. Kompres panas merupakan salah satu bentuk dari media termoterapi,
selain dengan menggunakan heat pack dan beberapa sistem pemanas lainnya.
Kompres panas dapat dibuat dan diterapkan secara mudah, dengan menggunakan
barang-barang sederhana. Kompres panas dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa lapis kain atau handuk kecil. Pemakaian kompres panas dengan handuk
lembab pada area superfisial apabila digunakan secara berkala tetap relatif aman
karena bersifat tidak invasif, dan memerlukan biaya perawatan yang sedikit. Hal ini
dapat direkomendasikan sebagai terapi yang berdiri sendiri atau kombinasi dengan
terapi lain pada pasien osteoartritis (Denegar, et al., 2010; NMHRC, 2009; Sinclair,
2007).
Berdasar dari latar belakang, peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh
terapi TENS dan kompres panas dalam mengelola nyeri osteoartritis lutut, yang
merujuk pada hasil analgesik positif untuk terapi TENS, dan kompres panas juga
menunjukkan dapat mengurangi nyeri (Nnoaham dan Kumbang, 2010 dan Seto et.al,
2008). Peneliti menggabungkan terapi TENS dan kompres karena kedua terapi
tersebut dapat dikombinasikan (Denegar et al., 2010; Macintyre & Schug, 2007).
Penggunaan kedua terapi ini didukung pada penelitian penambahan TENS pada
hotpack dan program latihan, mampu menurunkan nyeri lutut secara efektif (Altay et
5
al., 2010). Hasil dari penelitian ini mungkin membantu dalam menentukan intervensi
nonfarmakologi pada pasien osteoartritis lutut, baik yang dilakukan di Rumah Sakit
atau yang dapat dilakukan mandiri oleh pasien di rumah.
B. Rumusan Masalah
Uraian dalam latar belakang masalah di atas memberi dasar bagi peneliti
untuk merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Apakah pemberian terapi
kombinasi TENS dan Kompres panas lebih efektif mengurangi rasa nyeri pada
penderita Osteoartritis dibandingkan dengan hanya pemberian TENS ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari
kombinasi terapi Trancutaneous Electric Nerve Stimulation (TENS) dan kompres
panas dalam mengurangi rasa nyeri pada penderita osteoartritis lutut.
D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapakan dapat memperoleh manfaat sebagi berikut:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah mengembangkan penanganan nyeri
yang efektif secara nonfarmakologi (terapi).
2. Manfaat Praktis
a) Bagi peneliti.
6
Meningkatkan keilmuan penulis dalam penelitian selanjutnya.
b) Bagi Peneliti lain.
Diharapkan hasil penelitian dapat menjadi bahan kajian dan data untuk
penelitian selanjutnya, diberbagai segi dalam topik yang sama.
d) Bagi petugas kesehatan.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan tenaga
medis dalam penatalaksanaan osteoartritis lutut.
E. Keaslian Penelitian
Sepengetahuan penulis berdasarkan penelusuran pustaka, di Indonesia belum
ada penelitian mengenai efektivitas intervensi kombinasi terapi Trancutaneous
Electric Nerve Stimulation (TENS) dan kompres panas dalam menurunkan nyeri pada
penderita osteoartritis. Adapun penelitian yang serupa dengan penelitian yang akan
ditulis sebagai berikut:
1. Altay et al, (2010), meneliti tentang pengaruh penambahan TENS pada hot pack
dan program latihan, dalam menurunkan nyeri lutut dan ketidakmampuan, serta
meningkatkan kualitas hidup pasien osteoartritis lutut. Rancangan penelitian
menggunakan randomized controlled trial. Jumlah subjek 40 pasien yang didiagnosis
menggunakan kriteria ACR, dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok intervensi
mendapatkan perlakuan TENS, program latihan, dan hot pack. Kelompok kontrol
menerima placebo TENS, program latihan dan hot pack. Hasil penelitian
menunjukkan penambahan TENS pada hot pack dan program latihan, lebih efektif
7
dalam menurunkan nyeri lutut dan ketidakmampuan, serta meningkatkan kualitas
hidup pasien osteoartritis lutut.
Persamaan
dengan
penelitian
yang
akan
dilakukan
adalah
sama-sama
menggunakan terapi TENS dan aplikasi terapi panas, namun dalam penelitian yang
akan dilakukan intervensi aplikasi panas menggunakan kompres panas.
2. Eisenberg
&
Shebshacvich
(Tanpa
Tahun),
membandingkan
efektivitas
penggunaan TENS dan Termoterapi dengan kombinasi TENS dan Termoterapi dalam
menurunkan nyeri punggung dan leher. Penelitian ini dibagi menjadi 3 kelompok
yang terdiri dari kelompok 1 yang mendapat terapi TENS, kelompok 2 mendapat
termoterapi (panas dan dingin), kelompok 3 mendapat terapi kombinasi TENS dan
Termoterapi (Panas dan dingin). Hasil Penelitian menunjukkan kombinasi TENS dan
Termoterapi lebih efektif menurunkan nyeri punggung dan leher.
Persamaan
dengan
penelitian
yang
akan
dilakukan
adalah
sama-sama
menggunakan kombinasi terapi TENS dan termoterapi, namun dalam penelitian ini
akan dilakukan pada penderita osteoartritis lutut.
3. Cetin et al, (2008), membandingkan hot pack, short-wave diathermy, ultrasound,
dan TENS pada kekuatan isokinetik, nyeri, dan status fungsi wanita dengan
osteoartritis lutut. Rancangan penelitian menggunakan single-blind, randomized
controlled trial. Penelitian ini terdiri dari 5 kelompok, kelompok 1 mendapatkan
perlakuan short-wave diathermy + hot packs dan isokinetic exercise, kelompok 2
menerima TENS + hot packs dan isokinetic exercise, group menerima ultrasound +
hot packs dan isokinetic exercise, kelompok 4 menerima hot packs and isokinetic
8
exercise, dan kelompok 5 sebagai kontrol hanya mendapatkan perlakuan isokinetic
exercise. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua kelompok dapat menurunkan
nyeri dan disabilitas secara signifikan tetapi hots pack dengan TENS atau short-wave
diathermy memiliki hasil yang paling baik.
Persamaan
dengan
penelitian
yang
akan
dilakukan
adalah
sama-sama
menggunakan terapi TENS dan aplikasi terapi panas, namun dalam penelitian yang
akan dilakukan intervensi aplikasi panas menggunakan kompres panas.
4. Candra & Andrea (2002), meneliti tentang perbandingan efek terapi panas dengan
terapi dingin pada pasien pasien osteoartritis lutut. Rancangan penelitian
menggunakan pre-post test control group design. Jumlah subyek 36 orang terdiri dari
pria dan wanita berusia 23-80 tahun yang menjalani rawat jalan dengan osteoartritis
lutut subakut dan kronik. Subjek dibagi secara acak menjadi 2 kelompok, yaitu
kelompok terapi panas dan kelompok terapi dingin, masing-masing terdiri dari 18
subyek. Penelitian ini dilakuakan di Instalasi Rehabilitasi Medik RS Dr. Kariadi
Semarang pada bulan Maret 2002 sampai Mei 2002. Perlakuan pada kelompok terapi
panas mendapat terapi dengan Packheater 451 pada daerah lutut sebanyak satu kali
perhari selama 20 menit yang dilakukan berturut turut selama 4 hari (4 sesi terapi).
Kelompok terapi dingin mendapat terapi dengan Criojet Air "C 50 E" pada daerah
lutut sebanyak satu kali perhari selama 7 menit, dilakukan berturut turut selama 4 sesi
terapi. Hasil pengukuran utama yaitu mengukur level nyeri dengan menggunakan
Visual Analogue Scale (VAS), baik VAS saat istirahat, duduk-berdiri, berjalan dan
naik turun tangga. Hasilnya kelompok terapi panas tejadi penurunan VAS secara
9
bermakna (p=0,000). Pada kelompok terapi dingin juga terjadi penurunan nilai VAS
secara bermakna (p=0,000). Tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok
perlakuan dalam hal penurunan VAS baik VAS saat istirahat, duduk-berdiri, berjalan
dan naik turun tangga (p>0,005). Kesimpulan: Baik terapi panas maupun terapi
dingin mampu mengurangi nyeri dengan perbedaan yang tidak bermakna.
Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama
menggunakan terapi panas, namun dalam penelitian yang akan dilakukan pemberian
intervensi terapi TENS dan intervensi terapi panas yang dilakukan dengan cara
kompres panas dengan kain.
5. Yildirim et al, (2010) meneliti tentang pengaruh aplikasi panas (Digital Moist
Heating Pad) pada nyeri, kekakuan, fungsi fisik dan kualitas hidup pada pasien
osteoartritis. Pada penelitiannya menggunakan dua grup yaitu grup kontrol (grup
yang mendapatkan medikasi seperti biasaya) dan grup intervesi (kelompok diberi
perlakuan aplikasi panas “Digital Moist Heating Pad”) selama 20 menit dan
dilakukan dalam jangka waktu 4 minggu. Hasil dari penelitian Yildrim et al,
menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan
intervensi. Pada kelompok intervensi menunjukkan bahwa aplikasi panas dapat
mengurangi nyeri, kekakuan, meningkatkan fungsi fisik dan kualitas hidup.
Persamaan dengan penelitian yang akan dilakuakan adalah sama-sama
menggunakan terapi panas, namun dalam penelitian yang akan dilakukan intervensi
terapi Transcutaneous Electric Nerve Sistem (TENS) dan terapi panas yang dilakukan
dengan cara kompres dengan kain.
Download