Pengeruh Kebijakan Makroekonomi terhadap

advertisement
Ill. IDENTlFlKASl VARIABEL MAKROEKONOMI YANG
BERPENGARWH ?ADA SEKTOR PERTANIAN
Esensi dari studi -ini adalah bahwa kebijakan makroekonomi
mmpengaruhi sektor pedanian rnelalui keterkaitan variabel dan kebijakan
makroekonomi dalam jumla h dan aiokasi investasi pada sektor-sektor
ekonomi. Kebijakan fiskal (penerimaan pemerintah) dan kebijakan
perbelanjaan pemerintah mempengaruhi volume investasi pemerintah.
Kemudian distorsi nilai tukar
(kurs)
dan
distorsi
perdagangan
mempengaruhi pergerakan kurs nominal dan nilai tukar barter pertanian.
Kurs mmpengaruhi defrsit transaksi berjalan melalui pengarunya pada
ekspor-impor,
-.
dan memperrgaruhi suku bunga, inflasi dan investasi
swasta.
Suku bunga nominal secara bersama-sarna dengan kurs,
pendapatan dan investasi pemerintah mempengaruhi keputusan swasta
untuk berinvestasi. lnvesbsi pemrinbh dan swasta yang terjadi dalam
perekonomian teralokasi pada sektor pertanian dan sektor non pertanian
dengan mernpertimbangkan keunggulan relatif kedua sektor. lnvestasi
yang msuk kepada masing-masing sektor mnentukan pertumbuhan
kapital stok yang selanjutnya mempengaruhi pertumbuhsn output dan
penyerapan tenaga kerja kedua sektor.
3.1 Kebljakan Fiskal dan Perbelanjaan Pemerintah
Pemerintah mmpunyai peranan yang amat penting dalam
m a n g u n a n ekonomi di Indonesia. Peranan pemrintah antara lain
dapat dilihat dari kebijakan fiskal dan perbelanjaan pemerintah.
Kebijakan fiskal menyangkut bagaimana pemerintah memperoleh
penerimaan. Sedangkan
kebijakan
perbelanjaan
menyangkut
penggunaan dan alokasi pengeluaran pemerintah khususnya pengeluaran
investasi pemerintah.
Sumber penerimaan pemrintah di Indonesia digolongkan menjadi
dua ketompok yaitu: penerimaan dalam negeri dan penerimaan
pembangunan.
Penerimaan dalam negeri bersumber dari penerimaan
dari minyak dan gas bumi, pajak dan penerimaan bukan pajak.
Semntara itu peneriman pembangunan bersumber dari pinjaman luar
negeri baik dari ODA (0fir~:ialDeuelopment Asistance) melalui IGGI/ CG1
yang biasanya berupa pinjaman lunak maupun dari OOF (Other Otkial
Finance) yakni pinjaman bilateral dengan syarat pinjaman komersial.
Dengan demikian, persamaan identitas penerimaan pemerintah
dapat dimmuskan sebagai berikut.
GR = GRD + GRF
= GROL + GRET + GREL + GREF + DGD ...... ................. (1)
dimana :
GR
= Total penerimaan pemerintah
GRD = GROL+GRET+GREL = Penerimaan dalam negeri
Pemerinbh
GROL =
Penerimaan migas
GRET = Penerimaan pajak
GREL
= Penerimaan dalam negeri lainnya
GREF = Pinjaman luar negeri
DGD
= Perubahan tabungan pemerintah di Bank Indonesia
Penerimaan pemerintah digunakan untuk membiayai pengeluaran
rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran . rutin mencakup
belanja pegawai, pembelian barang, subsidi dan pernbayaran bunga dan
cicitan uiang luar negeri. Sedangkan pengeluaran pembangunan
digunakan untuk membiayai programprogram investasi di dalam negeri
sehingga disebut juga pengeluaran investasi pemerintah.
Dengan demikian persarnaan identitas pengeluaran pemerintah
dapat dirumuskan sebagai berikut :
GE = GCN + GAUT + GE1
.........................,................... (2)
dimana:
GE
= Total pengeluran pemerintah
GCN
= Pengeluaran konsumsi Pemerintah
GAUT= Pembayaran bunga dan cicilan utang
GEI
= Pengeluran investasi pemerintah
Prinsip anggaran berimbang yang dianut pemrintah adalah
penerimaan sarna dengan pengeluaran, mengikuti persamaan identitas
berikut :
GROL+GR€T+GREL+GREF-DGD = GCN + GAUT + GEI ... (3)
Adanya komponen pinjarnan luar negeri dalam penerimaan
pemrintah menunjukkan bahwa sebetulnya pemrintah menganut prinsip
anggaran defisit. 8esarnya def~sitanggaran pemerintah mrupakan selisih
penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran pemerintah, sebagai
berikut:
DEFG = GRD - GE = GRF - DGD
................................. (4)
dimana :
DEFG = M s i t anggaran pemrintah
Dengan demikian persamaan (4) menjelaskan bahwa defisit
anggaran pemehntah dibiayai dari hutang luar negeri dan pinjaman
(tabungan) pemerintah pada Bank Indonesia.
Penerimaan
pemerintah
diutamakan
untuk
membiayai
pengeluaran rutin pemerintah yang mencakup konsumsi pemerintah dan
pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri. Oleh karena itu, pada
dasarnya
pernbiayaan
defisit
anggaran
pemerintah
menrpakan
pembiayaan investasi pemerintah. Setiap perubahan dalam penerimaan
pemerintah akan secara langsung mmpengaruhi pengeluaran investasi
pe-rintah.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, penerimaan pemerintah
krsumber dari ekspor migas, pajak dan pinjaman luar negeri.
Oleh
karena itu perubahan harga minyak internasional, perubahan penerimaan
pajak dan pinjaman luar negeri akan mmpengaruhi pengeluaran invesbsi
pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas, maka perilaku investasi pemrintah
dapat dirumuskan sebaga~berikut.
GEI = GEI (PWOL, GRET, GREF) .....................................
dimana:
PWOL = Harga minyak internasional
(5)
3.2 Kebijakan Niki Tukar dan Perdagangan lntemasional
Nilai tukar mata uang rupiah terhadap
Arnerika
Serikat)
mrupakan salah
satu
mata uang ssing (Dollar
indikator daya
saing
perekonomian Indonesia relatif terhadap negara lain. Oepresiasi rupiah
mencerminkan penurunan biaya produksi barang yang dihasilkan
Indonesia relatif terhadap negara lain, sehingga rneningkatkan daya saing
barang-barang asal Indonesia di pasar internasional. Sebaliknya apresiasi
rupiah mencerminkan kenaikan biaya produksi (inflasi) di dalam negeri
sehingga mnurunkan daya wing barang-barang asal Indonesia di pasar
internasional. Oleh karena itu pengelolaan nilai tukar menjadi sangat
penting dalam pengelolaan makroekonomi.
Nilai tukar dapat dibedakan atas nilai tukar nominal dan nilai tukar
riil. Nilai tukar nominal rnerupakan suatu konsep rnoneter yang mengukur
harga relatif dua mata uang. Sedangkan nilai tukar riil mengukur harga
dua barang atau harga relatif barang yang diperdagangkan secara
internasional (tradable goods) dengan harga barang yang tidak
diperdagangkan secara internasional (non tradable goods) (Edwards,
1989 ; Rivera Batiz, 1994). sebagai berikut
PT
RER = - ............................................................... (6)
PNF
dimana :
RER
= Nilai tukar riil
PT
= Harga tradable goods
= Harga non tradable goods
PNT
Suatu kenaikan RER (depresiasi) berarti penurunan biaya produksi
tradabie goods sehingga
meningkatkan daya
saingnya dipasar
internasional. Sebaliknya suatu penurunan RER (apresiasi) mencerminkan
kenaikan biaya produksi tradable goods sehingga mnurunkan daya
saingnya di pasar internasional.
Pada berbagai studi empiris
sebagai proxy perhitungan RER
yang sering digunakan adalah sebagai berikut.
RER = E. P* I P ............................................................ (7)
dimana :
P*
= Harga internasional yang biasanya digunakan indeks harga
perdagangan besar negara partner dagang.
-.
P
= Harga domestik yang biasanya digunakan indeks harga
konsumen di dalam negeri.
E
= Nilai tukar nominal yakni harga mata uang domestik
(rupiah)terhadap mata uang asing (Dollar Amerika Serikat)
Dalam bentuk perubahan, persamaan (7) dapat dimmuskan sebagai
berikut :
dimana :
A
RER = A RERI RER = Perubahan nilai tukar riil
A
E= A E/ E = Perubahan nila~tukar nominal
A
P* = A P l P' = Perubahan harga internasional
A
P= API P = Perubahan harga domstik
Persarnaan (8) menjelaskan bahwa perubahan nilai tukar riil
disebabkan oleh perubahan nilai tukar nominal dan selisih perubahan
harga internasional dengan harga domstik.
Pada konsep paritas daya beti, diasumsikan perubahan nilai tukar
riil s a m dengan nol, sehingga penrbahan nilai tukar nominal sama
dengan perbedaan perubahan harga internasional dengan d o m k atau
perbedaan inflasi antara dua negara yang bersangkutan. Dengan kata
lain menurut konsep paritas daya beli nilai RER adalah tetap sepanjang
waMu. Hal ini mengasumsikan bahwa pehdaan laju inflasi d o m t i k
dengan laju inflasi partner dagang utama selalu tercerrnin pada laju
depresiasi nilai tukar nominal.
Mengikuti konsep paritas daya beli ini, faktor-faktor
yang
mmpengaruhi perbedaan laju inflasi tersebut dapat dikembangkan
dengan mengkaitkannya dengan keseirnbangan pasar uang pada dua
negara yang bersangkutan (Rivera Batiz, 1994) sebagai berikut.
MIP
=L(y,i) .1 ...................... .
.
.............................. (9)
-,
M*/ P* = Lw(y*, i*) .........................................................
MIP
= Penawaran uang riil domestik
M'I P*
= Penawaran uang nil partner dagang utama
(10)
L(Y,~) = Permintaan uang domstik
L* (y*, i*)= Permintaan uang di negara partner dagang utama
i
= Tingkat suku bunga domestik
i*
= Tingkat suku bunga di negara partner dagang utama
Y
= Tingkat pendapatan domestik
= Tingkat pendapatan negara partner dagang utama
Y*
Dengan membagi persamaan (9) dengan persarnaan (10) dan
disajikan dalam
bentuk
perubahan, diperoleh
persamaan
yang
mnjelaskan komponen-komponen yang mnyebabkan perbedaan inflasi
pada kedua negara sebagai berilrut.
dimana :
A, 0 = suatu parameter bemilai positif
'Persamaan (1 1) menjelaskan bahwa laju perbedam inflasi kedua negara
sama dengan perbedaan laju penwaran uang, perbedaan laju
pendapatan dan perbeciaan laju tingkat suku bunga.
Mengikuti konsep paritas daya beli maka perubahan nilai tukar
nominal sama dengan pebdaan laju infiasi, sehingga dengan
menggabungkan persamaan ( 8) dengan (I?),
dapat dirumuskan suatu
fungsi yang rnenunjukkan faktor-faktor yaw mempengaruhi nilai tukar
nominal sebagai berikut.
E = E (Ms, Y,i, Ms',Y,i*) .............................................. (12)
untuk :
dU aMs,d l 3 die, a€/ aY > 0
aW M s * , a€/ ai, a€/ aY * < 0
Persamaan (12) menjelaskan bahwa peningkatan penawaran uang
domtik,
suku
bunga
luar negeri, pendapatan domestik akan
menyebabkan depresiasi nilai tukar nominal. Sedangkan peningkatan
penawaran uang dan pendapatan diluar negen' serta kenaikan suku bunga
domestik akan menyebabkan nilai tukar nominal mengalami apresiasi.
Asumsi pendekatan paritas daya beli bahwa perubahan inflasi
selalu dicerminkan oleh perubahan nilai tukar nominal , kurang realistis.
Pada kenyataannya dalam perekonomian terdapat sejumlah hambatan
transrnisi @ass ffimugh pmbiem) baik yang bersifat struktural,
kelembagaan mupun kebijakan pemerintah.
Pada kondisi yang
demikian, perubahan inflasi tidak selalu ditransmisikan secara sempurna
dan cepat pada perubahan nilai tukar nominal.
Dengan kata lain
perubahan nilai tukar riil tidak selalu sama dengan nol.
Edwards (1989) mengemukakan bahwa keseirnbangan nilai tukar
bukanlah tetap tetapi berubah-ubah (memiliki lintasan pergerakan). Nilai
tukar aktual juga tidak wlalu sama dengan nilai tukar keseimbangan
karena berbagai pengaruh yang disebut sebagai faktor fundamental nilai
tukar dan tekanan kebijakan makroekonomi.
Fundamental nilai tukar yang dimaksud terdiri atas fundamental
nilai tukar eksternal seperti tern of trade, capital inflowdan pinjaman luar
negeri, suku bunga internasional dan lain-lain. Sedangkan fundamental
nilai tukar internal yang dimaksud seperti kebijakan proteksi, kontrol
devisa, kebijakan fiskal dan mneter serta variabel-variabel non kebijakan
seperti kemajuan teknologi.
Peningkatan pinjaman luar negeri (misalnya untuk mernbiayai
defisit
anggaran) dan peningkatan cerp$al inflow lainnya
akan
mengakibatkan nilai tukar terapresiasi. Kemudian memburuknya terms of
trade menyebabkan nilai tukar terdepresiasi.
Perilaku niiai tukar secara teoritis di atas mengasumsikan bahwa
kurs rupiah ditentukan sepenuhnya oleh mekanism pasar. Sehingga
perubahan pada kekuatan permintaan dan penawaran kurs tercermin
dalam depresiasi atau apresiasi kurs. Namun pada kenyataannya kurs
rupiah tidak pernah mengalami apresiasi dalam kurun waktu tahun 1969 -
1996. Kurs rupiah selalu terdepresiasi atau didevaluasi yang dilakukan
pemerintah.
Dalam kurun waktu 1969 - 1996, Indonesia mnganut dua r8girn
nilai tukar nominal y a k regim nilai tukar tetap ( k e d exchange rate) yakni
pada tahun 1972
-
1977 dan tahun lainnya menganut nilai tukar
mengambang terkendali (managed Abating exchange rate). Pada regim
nilai tukar tetap pemerintah mematok Rp 415 per US$ dengan melakukan
intervensi di pasar valuta asing.
Sedangkan pada regim nilai tukar
mengambang terkendali pengonttolan nilai tukar nominal rupiah oleh
otoritas mneter dilakukan dengan mnetapkan target depresiasi rupiah
rata-rata 5 persen per tahun atau mernbiarkan pergerakan rupiah pada
batas-batas yang ditetapkan pemerintah yang disebut dengan pita
intervensi (band interventbn). Hal ini berarti, pergerakan kurs rupiah pada
periode tahun 1969
- 1996 lebih banyak ditentukan pemerintah dan bukan
oleh kekuatan m k a n i s m pasar
Dengan pengontrolan depresiasi rupiah demikian, maka faktor-
faMor yang mempengaruhi perubahan nilai tukar nominal sebagaimana
pada persamaan (12 ) tidak lagi mncermin kan pergerakan nilai tukar yang
seharusnya tejadi. Oengan perkataan lain intervensi pemerintah pada
kurs rupiah mnjadi faktor utama dalam menentukan kurs rupiah aktual.
Derajat intervensi pemerintah pada kurs rupiah dapat diukur dari
perbeciaan antara kurs rupiah aktual dengan kurs rupiah keseimbangan
seandainya kurs rupiah ditentukan oleh mekanisme pasar dengan
menggunakan suatu indeks distorsi nilai tukar.
Untuk mngukur, keseimbangan nilai tukar yang sebenarnya dapat
dihitung dengan rnenggunakan pendekaian paritas daya beli sebagai
berikut.
RER (t) = ECR
[ICPl ru 1 ICPI tlmTjl
[IWPl(t,I IWPI (IW
dimana:
RER
lCPl
.........................,. (13)
= Nilai tukar keseimbangan
= lndeks harga konsumen Indonesia
lWPl = lndeks harga perdagangan besar negara-negara mitra
dagang Indonesia yang diwakili oleh Amerika Serikat.
RECR
= ECR I RER = lndeks distorsi kurs rupiah
Selain intervensi pada pasar valuta asing pernerintah juga
,
melakukan intervensi pada perdagangan internasional. lntenrensi pada
perdagangan internasionat ini akan mmpengaruhi pergerakan nilai tukar
nominal melalui pengaruhnya pada ekspor dan impor.
Bentuk intervensi pada perdagangan tidak saja tercermin dari tarif
atau pajak eksplisit tapi juga bentuk-bentuk hambatan perdagangan non
tarif.
Oleh karena itu untuk menangkap derajat intervensi pada
perdagangan tarif eksplisit dan implisit periu diperhitungkan.
Terdapat sejumlah metode pengukuran proteksi perdagangan mulai
dari metode sedethana sampai metode yang lebih rumit. Beberapa di
antaranya adalah sebagai berikut:
Pertarna, Pengukuran proteksi dengan menggunakan tarif atau
pajak rata-rats yakni total penerirnaan pajak impor (ekspot) di bagi dengan
nilai impor (ekspor). Pendekatan ini relatif mudah namun mememiliki
kelemahan. Kelarnahannya adalah pendekatan ini hanya mampu
rnenangkap bentuk proteksi yang bemifat tarif.
Sedangkan bentuk
proteksi yang sifatnya non tarif seperti kuota, lisensi, prosedur impor atau
ekspor yang birokratis, larangan ekspor dan impor tidak terukur. Pada hal,
bentuk-bentuk proteksi non tarif ini sangat dominan dilakukan di negaranegara betkernbang termasuk Indonesia.
Kelemahan lainnya adalah
pendekatan ini tidak mampu menangkap pengaruh nilai tukar (overvalued
atau undervalued).
Kedua, pengukuran proteksi perdagangan dengan menggunakan
tarif implisit yakni dengan mnghitung tingkat proteksi nominal sebagai
berikut:
NRP
= (PDI PB
- 1) ..................................... .... .....
,
,
(14)
= Tingkatproteksinominal
.-eD
= Harga dornestik barang-barang impor
atau ekspor
-.
PB = Harga border barang impor atau ekspor yang dinilai dalam
NRP
mata uang domestik dan dikareksi dengan biaya bongkar
muat di pelabuhan ke pasar acuan di dalarn negeri.
Metode ini merniliki keunggulan dalam pengukuran proteksi karena
mnghitung bentuk proteksi tarif maupun non tarif.
Namun, untuk
menghitung tingkat proteksi tersebut cukup rumit karena harus
menghitung harga domestik dan harga border untuk setiap jenis dan
kualitas barang yang diekspor atau diimpor yang umumnya tidak mudah
mmperoleh datadata yang diperlukan. Selain itu, pengukuran tingkat
proteksi nominal ini juga belum mperhitungkan pengaruh distorsi nilai
tukar.
Ketiga, Pengukuran proteksi dengan menghitung koefisien protelrsi
riil dengan mengkombinasikan proteksi nominal dan distorsi nilai tukar
sebagai berikut:
RPC
-
=(ECRIRER) (PDIPB) ............................
.........
(15)
dimana:
RPC
= Koefrsien proteksi riil
ECR
= Nilai tukar nominal pasar
RER
= Nilai tukar keseimbangan
Pendekatan proteksi riil tersebut telah mengakomodasikan
pengaruh bentuk-bentuk proteksi tarif maupun non tarif serta distorsi nilai
tukar.
Namun betum mengakomadir pengaruh subsidi input di dalam
negeri. Selain itu, metode pengukuran nilai tukar keseimbangan menjadi
salah satu hat yang dapat diperdebatkan.
ldealnya untuk m n gukur proteksi riil tersebut harus mng hitung
disparitas harga domestik (tergantung pasar acuan) dengan harga border
untuk setiap barang yang diperdagangkan secara intemasional.
Masalahnya datadata yang diperlukan untuk itu apalagi data deret waktu
yang relatif panjang umumnya tidak tersedia termasuk di Indonesia.
Sebagai pendekatan (yang digunakan datam studi ini) pengaruh
proteksi perdagangan, digunakan indeks proteksi nominal yang dihitung
sebagai berikut:
NPCMN =
NPC't)
PDMfl1IECRct,PWMfll [I+ trn(198~]...-.(16)
PDM (issq I ECR (ism). PWM cim
PDX a I ECR (t, WVX
[1
= [ PDX t~mnl ECR (~gaq.PWX (torn
-
k (issnI....
. (17)
dimana:
NPCMet,= lndeks proteksi nominal impor tahun-t
NPC&] = lndeks proteksi nominal ekspor tahun-t
PDMfll = tndek harga perdagangan besar domestik barangbarang impor
PDX (t, = lndek harga perdagangan besar d o m t i k barang- barang
ekspor
ECR (tl
= Nilai tukar nominal
= Rata-rata tarif impor yang dihitung dari total penerimaan
pajak impor (termasuk pajak pertambahan nilai barang-
tm
barang impor) dibagi dengan nilai impor
= Rata-rata pajak ekspor yang dihitung dari total penerimaan
pajak ekspor dibagi dengan nilai ekspor
PW = lndeks harga internasional barang-barang impor Indonesia.
PWX =Indeks harga intemasional barang-barang ekspor Indonesia.
NPCXMPCM = Bias kebijakan perdagangan
PWXPWM
= Nilai tukar barter &dagangan
-
Dengan mengkombinasikan persamaan (131, (16) dan (17 ) maka
dapat dirumuskan indeks proteksi riil sebagai berikut.
RPCM(t~
=
RPCqt)=
ECRttl
. NPCM ltl ........................................
( 18)
RERs
ECR (t> . NPCX (tl ........................................ (19)
RER(t,
dimana:
RPCM = Indeks proteksi riil impor
RPCX = lndeks proteksi riil ekspor
Pendekatan proteksi perdagangan seperti persamaan (16) sampai
persamaan (19) mmiliki sejumlah kelemahan yaitu:
(1) Rata-rata tarif impor atau pajak ekspor pada tahun dasar (1987) belum
tentu mencednkan tingkat proteksi yang sebenarnya, (2) Persamaan
(3.16) dan (3.17) mengasumsikan bahwa biaya bongkar muat pelabuhan,
biaya transportasi dari pelabuhan ke pasar acuan merupakan suatu
persentase yang tetap dari nilai impor &u
rnenggunakan
tahun
dassr
1987
sebagai
nilai ekspor dan (3)
dasar
perhitungan
keseimbangan nilai tukar (persamaan 13) mengasumsikan bahwa nilai
tukar rupiah telah mendekati nilai keseimbangan pada tahun 1987 (setelah
pemerintah mendevaluasi rupiah s e k i r 40 persen tahun 1986), masih
dapat diperdebatkan.
Oengan kelemahan yang demikian, jelas pendekatan tersebut tidak
dapat digunakan pada studi-studi yang lebih mengutamakan akuntansi
tarif atau perhitungan tarif absolut. Narnun stud! yang lebih mengutamakan
k-nderungan
perilaku seperti studi ini, pendekatan ter'sebut masih dapat
digunakan dengan catatan bahwa indeks tarif tersebut merupakan ukuran
relatif terhadap keadaan tahun dasar yakni tahun 1987.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka perilaku nilai tukar rupiah
nominal di duga dipengaruhi oleh derajat intervensi pernerintah pada kurs
rupiah (RECR), intervensi pemerintah pada perdagangan internasional
(NPCmPCM)
dan
nilai tukar
barter perdagangan luar negeri
(PWXIPWM) mngikuti fungsi berikut.
ECR = ECR ( RECR, NPCXMPCM, PWXIPWM)
3.3
.................. (20)
Kebijakan Suku Bunga
Tingkat suku bunga rnerupakan "harga' dari asset finansial atau
*hargaU dad dana yang dapat dipinjamkan (loan8bEe). Namun, faktor-
faktor apa yang mernpenganrhi tingkat suku bunga masih kontroversial
dalam sejarah makroekonomi.
Terdapat beberapa pandangan tentang faktor-faktor yang
menentukan dan mempengaruhi tingkat suku bunga, yaitu: (1) pandangan
ekonomi klasik; (2) pandangan Fisher (Fisher EfTect); (3) pandangan
preferensi likuiditas dari Keynes (4) pandangan paritas suku bunga dan
(5) pandangan kelembagaawebijakan pemerintah (Mankiw, 1997 ;
Stegman and Junor, 1998).
Menurut pandangan ekonomi klasik, tingkat suku bunga
ditentukan oleh penawaran tabungan dan permintaan investasi.
Penawaran tabungan bertitik tolak dari perilaku konsumen dalarn
menggunakan pendapatan untuk konsumsi sekarang atau menunda
konsumsi (tabungan) yang tergantung pada biaya korbanan konsumsi
sekarang yakni suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin besar
biaya korbanan konsumsi sekarang sehingga konsumen cenderung
meningkatkan tabungan.
Namun teori suku bunga ekonomi klasik ini
rnendapat kritikan dari para ahli ekonomi, karena tidak ada bukti yang
konsisten bahwa peningkatan tabungan akan mnurunkan suku bunga
dan permintaan investasi akan menaikkan suku bunga.
Menurut pandangan teori preferensi likuiditas, tingkat suku bunga
ditentukan oleh permintaan dan penawaran uang . Teori preferensi
likuiditas ini bertitik tolak dari teori permintaan uang untuk spekulasi dari
Keynes, yang melihat uang sebagai asset (teori portfolio). Menurut teori
portfolio Keynes, keputusan apakah memilih memegang uang tunai
.
dengan kehilangan pendapatan bunga atau memgang surat-surat
berharga dengan mmperoleh penciapatan tertentu namun rnengandung
resiko kerugian (capital loss), tergantung pada ekspektasi prgerakan
suku bunga dimasa yang akan datang bedasarkan tingkat .suku bunga
saat ini.
Pada umumnya bila suku bunga saat ini naik. maka sebagian
besar pelaku ekonomi akan memperkirakan suku bunga akan turun
dimasa yang akan datang, sehingga pemintaan akan surat-surat
berharga saat ini akan turun. Dengan asumsi bahwa penawaran uang
eksogenus (ditentukan oleh otoritas moneter) maka tingkat suku bunga
ditentukan oleh perubahan pemintaan dan penawaran uang.
Pandsngan Fisher bertitik tolak dari pentingnya peranan ekspektasi
inflasi dati perilaku ekonomi dalam menentukan tingkat suku bunga.
Fisher membedakan antara suku bunga nominal dengan suku bunga riil
mlalui persamaan Fisher berikut.
INRI = INTR + ElNF ................ ......... ............. .............. ( 21)
dimana :
INRI
= Tingkat suku bunga nominal
INTR
= Tingkat suku bunga riil
ElNF
= Ekspektasi tingkat infiasi
Menurut Fisher perubahan tingkat suku bunga nominal disebabkan
oleh perubahan suku bunga riil, perubahan tingkat inflasi atau keduaduanya. Tingkat suku bunga riil ditentukan oleh lceseimbangan tabungan
dan investasi. Sedangkan tingkat inflasi ditentukan oleh penawaran uang
(mengikuti persamaan kuantitas Fisher). Hubungan antara tingkat inflasi
dengan tingkat suku bunga ini disebut dengan FMer E M yakni setiap
peningkatan penawaran uang satu persen akan mnyebabkan kenaikan
inflasi satu persen dan setiap kenaikan satu persen inflasi akan
menaikkan satu persen tingkat suku bunga nominal.
Pandangan Fisher ini memperoleh pembenaran secara empiris,
misalnya pada perekonomian Amerika Serikat pada kurun waMu tahun
1952-1995 dimana terdapat hubungan yang positif antara tingkat inflasi
dengan tingkat suku bunga nominal (Mankiw, 1997).
Persamaan tingkat suku bunga Fisher tersebut mngasumsikan
perekonornian tertutup. Dalam perekonornian terbuka teori paritas suku
bunga berpandangan bahwa suku bunga domestik ditentukan oleh tingkat
suku bunga dunia dengan ekspektasi depresiasi mata uang domestik
melalui persamaan paritas sebagai berikut.
INRI = lNRW + A E ........................
. ....
...
.... ......... ...... (22)
dimana :
INRI
= Tingkat suku bunga domestik
INRW
= Tingkat suku bunga dunia
AE
= Ekspektasi depresiasi mata uang domestik
Teori paritas suku bunga ini pada dasamya bertltik tolak pada
pilihan memegang surat-surat berharga domestik dengan surat-surat
berharga luar negeri, dimana perbedaan suku bunga domestik dengan
luar negeri merupakan kompensasi resiko kemungkinan depresiasi mata
uang domestik.
Dengan demikian perubahan suku bunga domestik
disebabkan oleh perubahan tingkat suku bunga dunia dan ekspektasi
depresiasi mata uang d m s t i k .
Tmri Klasik, Keynes, Fisher maupun paritas suku bunga
berpendapat bahwa tingkat suku bunga ditenhrkan oleh mekanisme pasar
dengan mengasumikan pasar finansial, telah berkembang dalam
perekonomian dan mobilitas kapital secara internasional berlangsung
secara sempuma dan simtris. Namun pada kenyataannya teori paritas
suku bunga jarang terpenuhi sehingga perbedaan svku bunga dwnestik
dan internasional tetap tejadi secara persisten (Stegman and Junor,
1998).
Di negara-negara berkembang, umumnya pasar finansial belum
berkembang dengan baik yang dicirikan oleh keterbatasan organisasi
finansial, keterbatasan bentuk-bentuk as&
finansial, keterbatasan
subsitusi antara uang dan aset finansial sehingga tingkat suku bunga lebih
ditentukan secara administrati (kebijakan -pemerintah) daripada hasil
mekanisme pasar (Gathak, 1983).
Secara teoritis, pemrintah mlalui otoritas mneter dapat
mmpengaruhi tingkat suku bunga pasar melalui instrumen tingkat suku
bunga diskonto. Naik turunnya tingkat suku bunga pasar diperkirakan
dipengaruhi oleh naik turunnya suku bunga diskonto dari bank sentral
(Bank Indonesia).
Variabel penting yang dipertimbangkan otoritas mneter dalam
menentukan suku bunga diskonto diduga adalah depresiasi rupiah.
Semakin terdepresiasi rupiah semakin meningkat suku bunga diskonto
dengan harapan suku bunga di pasar uang akan meningkat sedemikian
rupa. sehingga masyarakat tidak akan merubah keputusan manajemn
portofolionya dari mata uang rupiah.
Selain itu, suku bunga di lndonesia juga diperkirakan dipengaruhi
oleh defisit transaksi berjalan.
Hal ini mengikuti teori keseirnbangan
neraca pembayaran (balance of paymenf) dimana bila terjadi defisit
transaksi berjalan, suku bunga domestik akan naik untuk menarik arus
masuk modal asing (capital inflow) untuk menutup defisit transaksi
berjalan yang terjadi.
Dengan pemikiran di atas, perilaku suku bunga
di Indonesia
diperkirakan dipengaruhi oleh tingkat suku bunga diskonto, suku bunga
internasional, depresiasi mata uang rupiah dan jumlah uang beredar
sebagai berikut.
INRI = INRI (DINRI, MSR, DCA)....... ....... ................ ........ (23)
DlNRl = DlNRl (DEPR)
dimana :
3.4
INRI
= Ttngkat suku bunga nominal
DEPR
MSR
= Laju depresiasi nilai tukar rupiah nominal
= Jumlah uang beredar di lndonesia
DINR1
= Tingkat suku bunga diskonto dari Bank lndonesia
DCA
= Defisit Transaksi bejalan Indonesia
Perilaku lnflasi
Teori perilaku inflasi pada umumnya bertolak pada penyebab
terjad inya kenaikan harga-harga umum dalam perekonomian, yakni
kenaikan permintaan (demancCpull inflation) dan kenaikan biaya produksi
(cost- push inflation) dalam perekonomian (Branson and Lihrack, 1981);
Manki, 1997; Stigman and Junor, 1998).
Menurut pandangan kenaikan perminban, inflasi merupakan
fenomena kelebihan permintaan agregat dalam perekonomian. Setidaktidaknya terdapat dua pandangan yang menjelaskan terjadinya inflasi
akibat kelebihan permintaan tersebut yakni pandangan Keynesian dan
pandangan moneteris.
Pandangan Keynesian mngemukakan bahwa inflasi merupakan
fenomena sektor riil yang diakibatkan oleh peningkatan permintaan atau
pengeluaran agregat yang mlampaui peningkatan produksi agregat atas
barang dan jasa dalam perekonomian. Hal ini dapat dijelaskan melalui
persamaan berikut.
dimana:
P
= Tingkat harga-harga urnurn
AE
= Nilai nominal output (pengeluaran) agregat
AS
= Nilai riil output (tingkat produksi) agregat
Dalam bentuk perubahan, persamaan (24) dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Dimana:
A
P
= Tingkat inflasi
A
AE
= taju perubahan pengeluaran agregat
A
AS
= Laju perubahan produksi agregat
Dengan demikian persamaan (25) menjelaskan bahwa inflasi terjadi bila
pengelusran agregat (permintaan agregat) melampaui laju produksi
agregat (penawaran agregat).
Pandangan moneteris mengemukakan bahwa inflasi merupakan
fenomna moneter yang disebabkan kelebihan uang beredar. Pandangan
moneteris ini bertolak dari teori kuantitas uang sebagai berikut.
dimana:
M
= Jumlah uang beredar
V
= Kecepatan perputaran uang
= Tingkat harga-harga umum
= Tingkat prduksi agregat
P
Y
-.
Dalam bentuk perubahan, persamaan
(26) dapat dirumuskan
sebagai krikut.
dimana:
A
P
= Tingkat inflasi
A
M
= Pertumbuhan uang beredar
A
V
= Laju kecepatan perputaran uang
A
Y
= Pertumbuhan produksi agregat
yang negatif antara perhrmbuhan pendapatan per kapita dengan pangsa
sektor pertanian. Sebaliknya hubungan positif teqadi pada pangsa ~ektor
industri maupun jasa.
Dengan meningkatnya pendapatan per kapita,
pangsa sektor pertanian dalam PDB mengalami penurunan sebaliknya
pangsa sektor industri dan jasa mengalami peningkatan.
Chenety and Taylor (1968) menganalisis kaitan antara perubahan
struktur
ekonomi dengan memperhatikan besar kecilnya negara dan
kebijakan perdagangan.
Oengan menggunakan datadata 54 negara
dalam kurun waktu tahun 1950-1963, beliau menggolongkan menjadi tiga
kelompok negara, yakni negara besar dengan jumlah penduduk lebih dari
15 juta jiwa; negara kecil dengan basis ekonomi sektor primer dan negara
kecil dengan basis ekonomi sektor industri (bedasarkan pangsanya
dalam PDB maupun dalam ekspor).
Hasil studi menunjukkan bahwa besar kecilnya negara dan basis
ekonomi, kebijakan perdagangan, temyata rnempengaruhi kecepatan
perubahan stnrktur perekonomian. Pada negara besar, pangsa sektor
industri meningkat sangat cepat
sementara pangsa sektor pertanian
menurun cepat. Ketika pendapatan perkapita masih kurang atau sama
dengan US $100, pangsa sektor industri hanya 16 persen. Namun ketika
pendapatan perkapita meningkat menjadi US $400 pangsa sektor industn
meningkat cepat menjadi 32 persen. Kemudian ketika pendapatan per
kapita naik menjadi US $ 1000, pangsa sektor industri mengalami
perlambatan peningkatan yakni menjadi sekitar 37 persen.
Hal yang menarik dari studi ini adalah ternyata negara kecil yang
basis ekonominya pada sekbr primer dan menganut kebijakan
perdagangan terbuka, tidak mengalami perubahan struktural yang normal
(seperti negara besar). Namun, negara kecil yang basis ekonominya pada
sektor industri dan menganut kebijakan perdagangan terbuka cenderung
rnenyerupai negara besar dimana perubahan struktur ekonominya lebih
cepat.
Chenery, Elington and Sins (1970) menganalisis 18 indikator
perubahan struktural pada 100 lebih negara dengan rentang pendapatan
perkapita antara US $ 50 sampai US $ 2000. Beberapa indikator
diantaranya adalah pangsa sektor primer dalam PDB, pangsa sektor
industri dalam PDB, pangsa penyerapan tenaga keja pada sektor primer
dan sektor industri, serta pangsa konsumsi makanan dalam konsumsi
-
total.
Hasil studi menunjukkan bahwa meningkatnya pendapatan per
kapita dari US $ 5 0 menjadi US $2000, menurunkan pangsa sektor primer
dalam PDB dari sekitar 58 persen menjadi 10 persen. Sementara pangsa
sektor industri meningkat dari sekitar 7 persen menjadi sekitar 40 persen.
Dalam penyerapan tenaga keja juga mengalami kecenderungan yang
sama yakni pangsa sektor primer turun dari 43 persen menjadi hanya 7
persen, sebaliknya pangsa sektor industri naik dari 7 persen menjadi
40
persen. Selama itu, pangsa konsumsi makanan dalam total konsumsi
juga mengalami penurunan yakni dari 62 persen menjadi sekitar
25 persen.
Chenery
and
Syrquin
(1975)
menganalisis kaitan
antara
peningkatan pendapatan perkapita dengan (antara lain) struktur produksi,
struktur permintaan dornestik dan struMur perdagangan pada 101 negara
yang berpendapatan per kapita riil dari US $100 dalam kurun waktu tahun
1950 sampai tahun 1970.
Hasil studi menunjukkan bahwa meningkatnya pendapatan per
kapita dari US $ 100 menjadi US $ 1000 diikuti oleh perubahan struktur
produksi
(PDB) yakni pangsa sektor pertanian turun dari 45 persen
menjadi 14 persen, sementara pangsa sektor industri naik dari 15 persen
menjadi 34 persen. Pangsa konsurnsi total dari PDB turun dari sekitar 39
persen menjadi 17 persen. Hal yang sama juga terjadi pada konsumsi
rumah tangga yakni turun dari sekitar 72 persen menjadi 62 persen.
Mengikuti penunrnan pangsa sektor primer dalam PDB, pangsa
ekspor bahan mentah dalam total ekspor turun dari sekitar 4 3 persen
menjadi 10 persen. Sedangkan pangsa ekspor barang-barang industri
jasa naik dari 2 persen menjadi 10 persen.
Branson, Guerrero and Gunter (1998) menganalisis perubahan
struktur ekonomi dengan menggunakan 46 indikator perubahan struktural
pada 93 negara dalam kurun warn tahun 197&1994.
Negara-negara
yang dianalisis dibagi atas 4 (empat) kelompok yaitu : negara pendapatan
rendah dengan rata-rata pangsa sektor pertanian sekitar 36 persen (39
negara), negara berpendapatan menengah terbawah (lower
- middle -
income) dengan pangsa sektor pertanian rata+ata 19 persen (22 negara),
negara berpendapatan menengah teratas (upper
-
middle
- income)
dengan pangsa sektor pertanian rata-rata 13 persen (11 negara) dan negara
berpendapatan tinggi dengan pangsa pertanian sekitar 4 persen (21 negara).
Hasil studi tetap kmsisten dengan studi-studi sebelumnya sebagai
brikut: (1) meningkatnya.pendapatsn per kapita menurunkan pangsa sektor
pettanian dan sebaliknya meningkatkan pangsa sektor non pertanian, (2)
pangsa investasi dalam PDB meningkat dengan meningkatnya PDB, (3)
pangsa tabungan meningkat dengan meningkatnya PDB, sebaliknya pangsa
konsurnsi baik konsumsi total maupun swasta menurun, (4) pangsa
pengeluaran dan penerimaan pemerintah umumnyalebih besar pada negara
berpendapatan tinggi dibandingkan pada negara berpendapatan rendah, (5)
defisit transaksi berjalan dan surplus neraca modal makin menurun dengan
meningkatnya intensitas (keterbukaan) perdagangan, (6) pangsa ekspor dalm
PDB meningkat dengan meningkatnya PDB per kapita, (7) konsentrasi produk
-,
ekspor pada negara berpendapatan tinggi lebih tinggi daripada negara
berpendaptan rendah, dan (8) terdapat hubungan yang positif antara
peningkatan pendapatan dengan perkembangan pasar finansial.
Hasil-hasil studi tersebut seluruhnya konsisten yakni pangsa sektor
pertanian dalam PDB mengalami penurunan dalam perekonomian yang
sedang bertumbuh. Fenomena yang sama juga tejadi dalam perekonomian
Indonesia (Anwar, 1983 ; World Bank, 1990, 1991, 1992 ; Martin and Warr,
1933 ; Simatupang dan Mardianto, 1996), dimana pangsa sektor perkanian
,mengalami penurunan dengan meningkatnya pembangunan (PDB).
Menurunnya pangsa sektor pertanian dalam perekonomian yang
krtumbuh berarti iaju pertumbuhan s&br
pertanian labih rendah daripada
laju pertumbuhan sektor non pertanian dengafl sektor non pertanian dalam
perekonomian.
2.6.3. FaMor Yang Mempengaruhi Kontribusi Sektor PertanIan
Penurunan pangsa sektor pertanian dalam perekonomian yang
bertumbuh disebabkan oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu : penurunan harga
relatif komoditas pertanian terhadap harga prduk n m pertanian, perbedaan
laju perubahan teknologi dan perubahan relatif faktor produksi (Martin and
Warr, 1993)
Penurunan harga relatif tersebut berkaitan dengan Hukum Engel
dimana elastisitas
pendapatan dari permintaan bahan-bahan pangan
umumnya relatif kecil (inelastis), sementara produk-produk non pertanian
umumnya elastis. Sehingga bila pendapatan meningkat persentase kenaikan
konsumsi pangan tebih kecil dari persentase kenaikan pendapatan. Sebaliknya
persentase kenaikan konsumsi produk-produk non pertanian lebih besar dari
persentase kenaikan pendapatan. Akibatnya harga bahan pangan cenderung
menurun secara relatif terhadap harga produk non pertanian (efek hukum
Engel).
Pengaruh perbedaan laju perubahan teknolcgi berkaitan dengan
karakteristik perubahan teknologi antara sektor pertanian dengan sektor non
pertanian. Perbaikan teknologi di sektor pertanian umumnya bias terhadap
sektor non pertanian, dimana kemajuan kknologi sektor pertanian ~ e n d e ~ n g
mensubstitusi input sektor pertanian yang berasal dari sektor pertanian &wan
produk asal sektor non pertanian (misalnya penggantian pupuk organik
dengan pupuk anorganik, penggantian tenaga keja temak dengan traktor).
Sementara perbaikan teknologi pada sektor non.peitanian cenderung makin
menghemat penggunaan bahan baku. Selain itu, kernajuan teknologi pada
sektor pertanian akan menggeser kuwa penawaran produk pertanian ke kanan
yakni jumlah yang ditawarkan meningkat sehingga harga turun (efek
perubahan Teknologi).
Kemudian pengaruh perubahan relatif faktor berkaitan dengan Efek
Rybczynski yang menyatakan bahwa jika kapatal stok agregat meningkat
relatif terhadap tenaga kerja, maka output dari sektw ekonomi yang relaW
padat modal akan naik dengan proporsi yang kbih besar dad kenaikan kapital
stok (diasumsikan teknologi berada pada kondisi constant return to scale),
sementara output sektor ekonomi yang relatif padat karya akan menurun
secara absolut.
Hasil studi empiris mernbenarkan ha1 tersebut. Hasil studi Chenery and
Syrquin (1975) dan Branson, Guerrero and Gunter (1998) mengungkapkan
bahwa pangsa konsumsi makanan dalarn konsumsi agregat mengalami
penurunan dengan meningkatnya pendapatan per kapita penduduk.
Untuk kasus Indonesia juga membenarkan fenomena tersebut. Martin
and Wan (1933) mengemukakan babwa efek Hukum Engel, efek Perubahan
Teknologi dan efek Rybczynski dapat menjelaskan penunrnan pangsa sektor
pertanian dalarn PDB non migas di Indonesia. Hal yang menarik dari studi
tersebut adaiah temyata efek
Rybcrynski lebih besar - pengaruhnya
dibandingkan dengan efek Hukum Engel maupun efek Perubahan Teknologi.
Studi lainnya di Indonesia juga menunjukkan bahwa fenomena diatas
juga
berlaku.
Simatupang (1992), Simatupang dan. Isdijoso (1992)
menjelaskan secara teoritis dengan baik bahwa : (1) nilai tukar barter pertanian
makin memburuk bila laju produksi sektor pertanian akibat peningkatan
teknologi semakin besar, (2) peningkatan pendapatan perkapita akan
menurunkan nilai tukar barter sektor pertanian, dan (3) nilai tukar barter sektor
pertanian akan membaik bila laju pertumbuhan penduduk semakin besar, laju
produksi sektor non pertanian yang diakibatkan perbaikan teknologi semakin
besar dan bila laju kemajuan teknologi sektor pertanian. Penjelasan teoritis ini
konsisten dengan hasil empiris yakni nitai tukar barter sektor pertanian
bemubungan positif dengan perturnbuhan prcduksi sektor non pertanian dan
bemubungan negatif dengan laju pertumbuhan produksi sektor pertanian.
Efek Hukum Engel yang menjelaskan penurunan pangsa sektor
pertanian mendapatkan kritikan dari Cavaljo and Mundlak (1982). Menurut
Cavallo and Mundlak, efek Hukum Engel tersebut pada penurunan pangsa
sektor pertanian hanya berlaku pada ekonomi tertutup. Pada ekonomi terbuka
dengan asumsi setiap negara adalah price taker pada pasar hasii pertanian
dunia, setiap negara dapat meningkatkan produksi pertaniannya tanpa harus
mengakibatkan penurunan harga relatif produk pettanian di pasar domestik.
Bila dikaitkan dengan fakta bahwa peningkatan produksi sektor
pertanian justru menunrnkan pangsa sektor pertanian secara drastis di banyak
negara temasuk di Indonesia, maka pandangan Cavallo dan Mundlak tersebut
menjelaskan bahwa penurunan pangsa pertanian yang sangat cepat
disebabkan suatu strategi kebijakan ekonmi yang menrgikan sektor pemnian
atau suatu kebijakan yang menguntungkan seMoi non pertanian. Pandangan
ini sesuai dengan pandangan Bale and Lutz (1982) maupun Schiff and Valdes
(1998) yang menyatakan bahwa sebagian besar kebijakan di negara-negara
berkembang bias terhadap sektor non pertanian sehingga sektor pertanian
menjadi undervalued.
Hasil studi Gupta (1977) di Indonesia mendukung
pandangan tersebut yakni kebijakan ekonomi bias ke sektor non pertanian dan
terlalu menekankan pengembangan industri yang sedikit menyerap tenaga
kerja dan tekanan pada penggunaan devisa.
Kebijakan pembangunan ekonomi p n g bias terttadap sektor non
pertanian dan mengorbankan
sektor pertanian berkaitan dengan pandangan
umurn pembangunan ekonomi khususnya pada awal pembangunan dengan
cara memeras sektor pertanian untuk membiayai pembangunan sektor non
pertanian (Marxian thesis) yang dikenal dengan pembangunan yang memeras
ganda
sektor pertanian (double development squeeze) sebagaimana
dikemukakan Lewis (1954) dan Nurkse, 1953).
Berbagai
bentuk
pernerasan
ganda
sektor
pertanian
dalam
pembangunan ekonomi (Yoto Poulus and Nugent, 1976) adalah : (1) kebijakan
harga produk pertanian rnurah untuk membiayai pembangunan indushi
(Manrist-Lennist Appmch), (2) kebijakan harga tinggi produk pertanian yang
disertai dengan penarikan pajak yang tinggi (Pendekatan Meiji Jepang) dan (3)
perbaikan teknologi seMor pertanian (MilkManhall Model).
Ketiga bentuk
pemerasan pertanian dimaksudkan untuk mempermurah upah tenaga keja
dan bahan baku di sektor industri sedemikian rupa, sehingga dapat
mempercepat pengembangan sektor industri.
Dengan demikian, menurut pandangan tersebut fenomena penurunan
pangsa sektor pertanian dalam perekonomian merupakan sesuatu yang
direncanakan (by design) unkrk mempercepat pembangunan industri.
Pembangunan indusbi dengan cara merneras sektor pertanian mungkin
dapat
diterima pada kondisi suatu negara dimana sebagian besar
penduduknya tidak lagi menggantungkan kehidupan ekonorninya pada sektor
pertanian dan peluang pasar produk-produk industri masih terbuka luas di
pasar internasional sebagaimana pada awal pembangunan ekonomi di
negara-negara yang saat ini disebut negara-negara industri maju.
Namun
pada negara-negara berkembang seperti Indonesia yang penduduknya
sebagian k s a r masih di sektor pertanian dan potensi pasar produk industri di
pasar internasional sudah dikuasai negara-negara maju,
memeras sektor
pertanian untuk membiayai industri merupakan kebijakan yang kontra
produktif.
2.6.4 Keterlraitan Pertumbuhan Sektor Pertanian dengan Sektor Non
Pertanian
Sektor pertanian dan sektor non pertanian merupakan suatu sistem
dalam perekonmian oleh karena itu sektor pertanian dengan sektor non
pertanian memiliki keterkaitan ekonomi yang saling mempengaruhi kinej a
kedua sektor tersebut.
Paling tidak, terdapat 5 (lima) mekanisme keterkaitan ekondmi
antara seMor pertanian dan non pertanian (Rangrajan, 1982) sebagai
berikut, Pertarna, seMor pertanian menghasilkan bahan baku bagi seMor
non pertanian. Produksi sektor pertanian berupa bahan pangan dan non
pangan menrpakan input &ma dari sektor non pertanian seperti industri
pengolahan hasil pertanian dan perdagangan, restoran. Kedua, sektor
non pertanian menghasilkan input yang diperlukan-olehsektm pertanian.
Pupuk, pestisida, mesin peralatan pertanian dan berbagai jenis jasa
merupakan hasil sektor non pertanian yang mnjadi input sektor pertanian.
Ketiga, seMor pertanian (rumah tangga pertanian) merupakan
pasar bagi output akhir sektor non pertanian. Bahan pangan olahan, sandang dan papan serta berbagi jenis jasa-jasa yang dihasilkan oleh sektor
non pertanian di konsumsi oleh rumah tangga pertanian. Keempat, keter-
kaitan melalui tabungan pemerintah dan investasi publik. Peningkatan
output sektor pertanian akan secara langsung meningkatkan penerimaan
pajak tak langsung pemrintah yang selanjutnya digunakan untuk mem
biayai investasi publik. Peningkatan investasi publik ini akan
ningkatkan permintaan barang-barang modal yang dihasilkan
me
sektor
non pertanian. Kelima, keterkaitan mdalui perilaku investasi swasta. Harga
komoditas pertanian yang reahif rendah dan stabil, akan merangsang investasi
swasta pad8 sektor non pertanian. Sebaliknya kenaikan harga komodiatas
pertanian akan mengurangi insentif investasi swasta pada &tor
pertanian.
Hal ini diebabkan karena naik turunnya
non
harga komoditas
pertanian akan meningkatkan atau menumnkan biaya produksi sektor non
pertanian baik melalui kenaikan atau penurunan biaya bahan baku maupun
upah tenaga kerja.
Dengan keterkaitan demikian, petumbuhan sektor pertanian dengan
pertumbuhan sektor non pertanian secara teoritis akan saling mendukung
pertumbuhan ekonomi agregat.
Studi yang dilakukan Bank Dunia (Timer, 1988) tentang keterkaitan
pertumbuhan sektor dengan sektor non pertanian (pertumbuhan ekonomi)
menunjukkan ha1 tersebut.
Dari 23 negara yang pangsa sektor pertanian
dalam PDB leWh dari 20 persen dan laju pertumbuhan PD8 lebih dari 5
persen per tahun, 17 negara diantaranya mengalami petumbuhan sektor
pertanian lebih dan 3 persen per tahun.
Sedangkan 11 negara yang
mengalami pertumbuhan PDB dibawah 3 persen per tahun, tingkat
pertumbuhan
sektor pertanian hanya mencapai satu persen atau kurang.
Fenomena ini terkecuali pada negara-negara yang perekonomiannya
bersurnber dan rnlgas dan bahan tambang dimana pertumbuhan PDB yang
cepat disertai oleh pertumbuhan sektor pertanian yang lambat.
Hasil studi Bank Dunia tersebut juga menunjukkan bahwa perbedaan
pertumbuhan sektor non pertanian dengan pertumbuhan ekonomi agregat
adalah sekitar 2 persen baik pada q a r a yang mengalami pertumbuhan
ekonomi agregat lebih dari 5 persen maupun kurang dari 3 persen per tahun.
Fenomena yang berbeda ditemukan di India. Rangrajan (1982)
menganalisis pertumbuhan sektor pertanian, industri dan ekonomi agregat
India dalam kurun waktu tahun 1961-1976.
Hasil simulasi menunjukkan
bahwa setiap pertumbuhan sektor pertanian satu persen, hanya meningkatkan
pertumbuhan sektor industri 0,5 persen dan ekonomi agregat 0,7 persen.
Perbedaan kedua studi tersebut mungkin disebabkan oleh tingkat
keterkaitan sektor pertanian dengan sektor non pertanian dimana di India
keterkaitan tersebut relatif lemah.
Keterkaitan sektor pertanian dengan sektor non pertanian yang relatif
lemah juga terjadi di Indonesia. Dengan rnenggunakan Tabel input-output
Indonesia tahun 1980, Sumartono (1985) mengungkapkan bahwa koefisien
ketefkaitan langsung ke depan sektor pertanian hanya (rat-ta)
0.44 dan
koefisien keterkaltan ke belakang hanya 0.34 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa sektor non pertanian belum banyak menggunakan output sektor
pertanian dalam proses produkslnya. Sebaliknya sektor pertanian juga belurn
banyak menggunakan output sektor non pertan~an.
Keadaan yang kurang leb~hsama juga drtemukan Oasnl ( 1993). Dengan
menggunakan Tabel input-output Indonesia tahun 1971, 4975, 1980 dan 1985
mengemukakan
bahwa keterkaitan sektor pertanian dengan sektor non
pertanian masih lemah meskipun cendenrng meningkat Bahkan keterkaitan
sekitar pertanian dengan industri pengolahan hasi pertanian juga masih lemah
yakni brkisar antara 0.050sampai dengan 0.63, kecuali industri penggilingan
padigadian. Selain itu, temyata ketehitan ke belakang tidak langsung total
lebih b a r dari keterkain ke betakang tidak langsung domestik pada
umumnya terjadi pada semua sektor.
Hal ini menunjukkan bahwa untuk
pertumbuhan sektor-sektor ekonomi Indonesia makin tergantung pada impor.
Hal lain yang menarik dad studi ini adatah ternyata keterkaitan ke depan
tidak langsung
transaksi domestik sektor pertanian cenderung metemah,
sedangkan keterkaitan tidak langsung transaksi domestik sektor non pertanian
cenderung menguat. Fenornena ini sesuai dengan kenyataan bahwa peranan
sektor pertanian dalam pembentukan PDB makin menurun sedangkan
peranan sektor non pertanian makin meningkat.
-
Secrrra keseluruhan hasil studi ernpiris keterkaitan sektor pertanian
dengan sektor non pertanian menunjukkan bahwa keterkaitan yang lemah
antara pertumbuhan sektor pertanian dengan sektor non pertanian cenderung
menurunkan peranan sektor pertanian dalam pembentukan PDB.
Namun
belum menunjukkan faktor-faktor apa yang menyebabkan lemahnya
keterkaitan tersebut.
2.6.5 Pengaruh Kebijakan Makroekonomi Tehadap Sektor Pertanian
Edward Schuh merupakan diantara ahli-ahli ekonomi yang pertama kali
melihat keterkaitan kebijakan makroekonomi pada sektor pertanian.
Pada
awalnya Schuh (1974) melihat pengatuh kebijakan nlai tukar (kurs) terhadap
selrtor pertanian di Arnerika Serikat. Kemudian Schuh (1976, 1986) melihat
kebijakan makro yang lebih luas terhadap sektor pertanian. Menurut Schuh
interaksi antara kebijakan makroekonomi terhadap sektor pertanian adalah
melalui pengaruhnya pada inflasi, nilai tukar riil, suku bunga riil dan insentif
eksporirnpor pertanian.
Byerlee and Halter (1974) menggunakan tabel input-output Nigeria
untuk melihat keterkaitan beberapa variabel makro dengan sektor pertanian.
Studi tersebut membedakan dua keterkaitan ke atas (upward linkages) yaitu
variabel-variabel sektor pertanian (ekspor, impor, investasi, pendapatan,
tenaga
kerja,
teknolcgi
dan
harga pertanian) yang
mempengaruhi
perekonomian makro, keterkaitan lainnya adalah keterkaitan ke bawah
(downward linkages) yakni variabel-varia be1 makro (pendapatan, penduduk,
konsumsi sektor non pertanian) yang mempengaruhi sektor pertanian. Salah
satu hasil simulasiAyangdilakukan adalah kebijakan promosi ekspor pertanian
dapat meningkatkan pendapatan sektor pertanian dan sektor non pertanian,
McFall Lamn (1980) mernbangun persamaan ekonometrika simultan
untuk melihat keterkaitan kebijakan makro terhadap sektor pertanian Hasil
simulasi mengungkapkan bahwa harga (inflasi) merupakan media transis1
kebijakn makro terhadap sektor pertanian. Selain itu juga mengungkapkan
bahwa subsidi pemerintah dalam bentuk dukungan harga justru bersifat
kontra-produktif terhadap peningkatan produksi dan kesempatan kerja dl
sektor pertanian.
Cavallo and Mundlak (1982)
membangun model ekonometrik
persamaan simultan keterkaitan antara sektor pwtanian dengan perekonomian
makro di Argentina. Hasil simulasi sntara lain menunjukkan bahwa jika
kebijakan makro diarahkan untuk memanfaatkan keunggulan komparatif pada
ekspor produk pertanian, Argentina dapat menikmati pertumbuhan ekonomi
yang lebih tinggi. Kebijakan liberalisasi perdagangan yang disertai dengan
pengelolaan nilai tukar yang tepat dapat meningkatkan pertumbuhan sektor
pertanian dan sektor non pertanian. Demikian juga pengalokasian sebagian
pajak tak langsung pada investasi pemerintah (mengurangi konsumsi
pernerintah) dapat rneningkatkan pendapatan per kapita.
Timer (1984) menggunakan model ekonmetrik persamaan simultan
untuk menganalisis pengaruh kenaikan harga minyak (oil boom) terhadap
sektor pertanian pada negara eksportir dan importir minyak. Hasil simulasi
menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak merugikan sektor pertanian
karena kenaikan inflasi di dalam negeri tidak di transmisikan pada depresiasi
mats uang domestik.
Oleh karena itu studi tersebut merekomendasikan
perlunya pengelolaan kebijakan makroekonomi yang tepat guna mencegah
kemerosotan sektor pertanian akibat oil boom.
Rausser et.al (1986) menggunakan model ekonometrik persamaan
simultan untuk menganalisis keterkaitan makroekonomi dengan sektor
pertanian di Arnerika Serikat. Hasil studi mengungkapkan bahwa vanakl
ekspor merupakan media transmisi penting penganth kebijakan makro
terhadap sektor pertanian.
Timer (1986) menganalisis keterkaitan kebijakan makroekonomi
terhadap sektor pangan di Indonesia. Studi tersebut mengungkapkan bahwa
nilai tukar mata uang rupiah merupakan variabel yang sangat penting sebagai
media transmisi penganlh kebijakan makro tehadap seMor pangan. Temuan
yang sama juga dikemukakan Dorosch (W86) bahwa variabel inflasi dan nilai
tukar memiliki pengaruh luas pada sektor pangan di Indonesia.
Monke and Pearson (1989) mengemukakan bahwa kebijakan fiskal dan
kebijakan moneter mempengaruhi sektor pertanian melalui pasar kapital ban
pasar valuta asing yang selanjutnya mempengaruhi pasar kornoditi sektor
pertanian.
Dengan perkataan lain media transmisi kebijakan makro
mempengaruhi pertanian adalah melalui suku bunga, nilai tukar dan harga
(inflasi).
lsdijoso (1992) membangun model ekonomi makro dan keterkaitan
dengan sektor pertanian Indonesia. Variabel yang menjadi media transmisi
penganrh kebijakan makro terhadap sektor pertanian antara lain adalah kredit,
konsumsi pemerintah, ekspor, impor dan inflasi.
Simatupang dan Mardianto (1996) menganalisis pengaruh kebijakan
moneter dan kurs terhadap transfomasi struktur perekonomian Indonesia.
Oengan menggunakan model ekonometnik sedethana (persamaan tunggal)
menyimpulkan bahwa kredit dan nilai tukar barter pertanian merupakan media
transmisi pengaruh kebijakan moneter terhadap sektor pertanian. Selain itu,
juga disimpu!kan bahwa peningkatan jumlah uang beredar dan devaluasi mata
uang rupiah menguntungkan sektor pertanian.
Lachaal and Womaek (1998) menganalisis pengaruh kebijakan
perdagangan dan makroekonomi pada sektw pertanian Kanada, khususnya
melihat peranan nilai tuhr (kurs) dan kebijakan makroekonomi. Hasil studi
tersebut mengungkapkan bahwa harga relatif produk pertanian yang diukur
rnelalui rasio deflator PDB pertanian dengan indeks harga konsumen sangat
dipenganrhi oleh kebijakan makro dan mempengaruhi sektor pertanian.
Kebijakan makro yang inflasioner seperti ekspansi moneter menurunkan harga
relatif pertanian dan output sektor pertanian.
Selain studi-studi yang menganalisis pengaruh berbagai kebijakan
makroekonomi terhadap sektor pertanian, terdapat sejumlah studi yang hanya
melihat penganrh satu variabel makro yang mempengaruhi sektor pertanian
dimana variabel makro lainnya dijadikan variabel eksogenus. Beberapa studj
yang dimaksud adalah studi yang memusatkan perhatian pada pengaruh nitai
tukar dan perdagangan terhadap sektor pertanian.
-'
Setelah Edward Schuh (1974) mengungkapkan pengaruh kebijakan
nilai tukar (kurs) terhadap sektor pertanian, banyak studi yang dilakukan para
ahli ekonomi mengenai ha1 yang sama di berbagai negara berkembang.
Beberapa diantaranya akan diuraikan berikut ini.
Garcia (1981) menganalisis pengaruh kebijakan nilai tukar pada sektor
pertanian di Colombia. Hasil studi tersebut mengungkapkan bahwa nilai tukar
peso yang overvaIued tidak hanya menghambat ekspor sektor pertanian tapi
juga menghambat pengembangan produk baru untuk diversifikasi ekspor.
Tshibaka (1986) menganalisis pengamh kebijakan perdagangan dan
nilai tukar temadap sekbr pertanian di Zaire. Hasil shldi tersebut
mengungkapkan bahwa kebijakan proteksi (melalui tarif dan nilai tukar) pada
regim substitusi impor brdampak pada proteksi sektor pertanian. Setiap
kenaikan satu persen kenaikan harga barang-barang impor di dalam negeri,
menyebabkan kenaikan pajak ekspor pertanian sebesar 0.52 persen. Artinya,
kebijakan melindungi sektor indusk! domestik pada hakekatnya juga
menerapkan pajak implisit pada ekspor pertanian sehingga juga menekan
perturnbuhan sektor pertanian.
Oyejide (1986) menganalisis pengaruh kebijakan perdagangan dan nilai
tukar terhadap sektor pertanian Nigeria pada masa oil boom.
Hasil studi
tersebut menunjukkan bahwa sekitar 55 sampai 90 persen dari kenaikan tarif
impor industri ditransmisikan dalam bentuk pajak implisit ekspor pertanian
sehingga menghambat pertumbuhan sektor pertanian. Selain itu,-tejadi Dutch
Disease pada masa oil boom juga menghambat sebr pertanian. Subsidi
ekspor pertanian yang diberikan pemerintah Nigeria pada periode yang sama
temyata juga tidak dapat mengimbangi dampak negatif Dutch Disease dan
kebijakan nilai tukar serta perdagangan pada sektor pertanian.
Bautista (1987) menganalisis pengaruh kebijakan nilai tukar dan
perdagangan terhadap sektor pertanian di Philipina. Hasil studi tersebut
mengungkapkan bahwa mata uang peso telah mengalami overvalued sekitar
I 0 0 persen pada masa regim kontrol devisa, 44-56
persen setelah devaluasi
peso tahun 1 9 W n dan sekitar 17-20 persen pada masa regim nilai hrkar
fleksibel dan pengurangan hambatan perdagangan tahun 197-n.
Selain itu
juga mengemukakan b a M penurunan harga relatif produk pertanian
terhadap bararhg-banrang non tradeble gmdsl home goods disebabkan oleh
kebijakan nilai tukar,yang ove~alueddan hambatan perdagangan. Setiap
kenaikan harga barang-barang import di dalam negeri, ditransmisikan kepada
penurunan harga relatif produk pertanian sebesar 0.66 persen.
Temuan yang relatif sama juga dikemukakan Dorosh and Voldes (1990)
yang menganalisis pengaruh kebijakan nilai tukar dan perdagangan terhadap
sektor pertanian Pakistan. Studi tersebut mengungkapkan bahwa penyebab
kernemsotan produksi komoditas pettanian utama Pakistan dalam periode
tahun 197S1987 adalah akibat kebijakan nilai tukar yang overvalued. Selain
itu, hasil simulasi menunjukkan bahwa bila diadopsi kebijakan free trade dan
kebijakan nYai tukar yang mendekati keseimbangan, maka produksi pertanian
utama meningkat, ekspor naik, konsumsi pangan domestik turun. BahKan
beberapa komoditas pertanian yang masih net impor dapat berubah menjadi
net ekspor.
Hasil-hasil studi yang dikemukakan di atas rnenunjukkan bahwa
kebijakan makroekonomi sangat mempengaruhi sektor pertanian. Kebijakan
makroekonomi yang diternpuh di negara-negara betkernbang tampaknya
cenderung merugikan sektor pertanian sehingga besar dugaan bahwa
kebijakan makro memegang peranan yang sangat penting terjadinya
perubahan struktur perekonmian yang tidak berimbang. Penurunan pangsa
sektor pertanian dalam PDB yang cukup cepat tidak diikuti oleh penunrnan
beban penyerapan tenaga kej a yang proporsional.
Namun demikian, studi-studi di atas masih memiliki berbagai
keterbatasan yang di antaranya adalah sebagai berikut. Pertsrma, studi-studi
yang
ada
belurn memperlihatksn keterkaitan antar
vatiabel-variabel
makroekonomi, sebagai satu kesatuan perilaku kebijakan makm yang
ditempuh;
Kedua, kurang memberi perhatian pada peranan dan perilaku
investasi antar sektor di dalam perekonomian sehingga bagaimana pengaruh
kebijakan rnakro yang ditempuh mempengaruhi alokasi sumberdaya investasi
antar sektor yang selanjutnya mempenganrhi pertumbuhan sektor pertanian
tidak dapat diungkapkan; Ketiga, kurang mernberi perhatian pada masalah
kesempatan keja atau alokasi tenaga kerja antar sektor khususnya sektor
pertanian.
Hal ini penting mengingat pewbahan struktur ekonomi yang
semakin menurunkan kontribusi sewor prtanian dalam PDB tidak diikuti oleh
penurunan penyerapan tenaga kerja yang proporsional:
Kempat, belum
memberikan suatu rekomendasi kebijakan pengelolaan makro yang dapat
ditempuh sebagai strategi pembangunan ekonomi yang memungkinkan
terjadinya proses perubahan strwkhrr yang lebih seimbang khususnya bagi
negara-negara berkembang dimana sebagian penduduknya masih hidup dari
sektor pertanian.
2.7
Kontribusi Penelitian ini
Sependapat dengan S&uh (1976) yang mengatakan bahwa untuk
memahami fenomena pembangunan Mar pertanian tidak dapat dilepaskan
dari kebijakan makro ekonomi yang ditempuh baik kebijakan fiskal maupun
moneter. Upaya-upaya apapun yang dilakukan pada sektor pertanian
termasuk subidi bla kebijakan rnakro yang ditempuh merugikan sektor
prtanian, maka upaya-upaya tersebut tidak akan banyak gunanya.
Kebijakan moneter seperti nilai tukar, suku bunga dan kebijakan fiskal-
khususnya alokasi pengeluaran, investasi pemerintah tidak berdiri sendiri
metainkan saling berinteraksi sebagai kesatuan kebijakan makro. Oleh sebab
itu bagaimana interaksi perilaku anbr komponen-komponen kebijakan makro
menjadi sangat penting dalam melihat pengaruh kebijakan makro terhadap
sektor pertanian.
lnteraksi perilaku komponen-komponen kebijakan makro
tersebut belum banyak terakomodasi di dalam studi-studi terdahulu.
Pengaruh distorsi perdagangan luar negeri dan distorsi kurs terhadap
sektor pertanian juga belum terokomodasi pada studi-studi terdahulu. Padahal
distorsi tekebut khususnya distorsi kun mempengaruhi insentif untuk ekspor
maupun impor.
Selain itu, peranan dan perilaku investasi swasta asing, domestik dan
pemerintah juga belum banyak rnemperoleh perhatian pada studi-studi
terdahulu. lnvestasi diduga merupakan media transmisi pengaruh kebijakan
makro terhadap sektor pertanian. Apakah dugaan ini benar akan terbukti pada
hasil empiris.
Faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi tenaga kej a antar sektor juga
M u m banyak rnemperoleh perhatian pada studi terdahulu. Alokasi tenaga
kerja ini seharusnya menjadi target kebijakan makro yang penting mengingat
pembangunan ekonomi pada akhimya hams dinilai pada peningkatan
pendapatan penduduk.
2.8 Lingkup dan Keterbatasan Penelitisn
Secara garis besar penelitian ini mencakup hal-ha1 berikut ini yakni:
keterkaitan perilaku antar bebetapa variabel makraekonomi khususnya
nilai tukar, suku bunga, dan inflasi; keterkaitan antara variabel makro den-
gan alokasi sumkrdaya antara sektor pertanian dengan sektor non pertanian, khususnya alokasi investasi asing, investasi swasta domstik, investasi pemerintah, kredit pehankan dan tenaga kerja serta keterkaitan
pertumbuhan sektor pertanian dengan sektor non pertanian.
Dengan cakupan yang dernikian dapat dipahami perilaku variabel
kebijakan makro, peiilaku alokasi surnberdaya dan perilaku pertumbuhan
seMor pertanian dan sektor non pertsnian dalam perekonomian nasional.
Selain itu, dapat juga dianalisis pengaruh perubahan berbagai kebijakan
makro khususnya terhadap sektor pertanian, melalui suatu analisis sirnulasi kebijakan.
Dengan cakupan seperti itu, jelas penelitian ini memiliki berbagai
keterbatasan baik karena keterbatasan data maupun berbagai keterbata-
san sumberdaya yang dihadapi. Beberapa keterbatasan dari penelitian ini
adalah sebagai krikut :
Pertam, penelitian ini tidak miakukan disaggregasi sektor per-
tanian misalnya berdasarkan sub-sektor, skala usaha, maupun rumah
tangga. Hal yang sama juga tidak dilakukan disagregasi sektor non per-
'
tanian. Hal ini mngasumikan bahwa perilaku ekonomi pada level agre
gat tidak jauh berbeda (setidak-tidsknya tidak bedentangan) dengan peri-
laku mikro. Dengan keterbatasan ini , jelas penelitian ini tidak dapat mlihat pengaruh suatu pemba han kebijakan makroekonomi terhadap sektor-
sektor mikro.
Kedua, sebagaimana dikemukakan Cavallo and Mundlak (1982)
teknologi dalam suatu perekonomian menipakan suatu himpunan teknik-
teknik produksi yang beragam sesuai dengan keragamn barang dan jasa
yang dihasilkan dalam perekonomian, serta mengalami perubahan dari
waktu ke waktu baik karena perubahan kelembagaan, proses helajar,
perubahan kebijakan dan lain-lain yang disebut dengan state variable.
Oleh karena itu dalam studi empiris tidak realistis untuk menganggap ha!
tersebut sama dari waktu ke MMu. Hal inilah salah satu keterbatasan
penelitian ini dimana hal-hat tersebut tidak terakomodasi sepenuhnya.
Ketiga, selain investasi pemerintah dan investasi swasta asing,
swasta domestik masih ada surnber pembiayaan investasi yang bersifat
non-fasilitas yakni investasi yang dilakukan rakyat (masyarakat). lnvestasi
rakyat ini diperkirakan cukup besar peranannya dalam sektor pertanian.
Namun sayangnya, data-data investasi rakyat tersebut tidak terdokumen-
tasi dengan baik sehingga tidak dapat diakomodir dalam penelitian ini.
Keempat, penelitian ini tidak m n g a k o d i r pengaruh kebijakan
makroekonomi di negara lain. Hal ini memang kurang realistis dalam
keadaan dimana perekonomian Indonesia telah makin terintegrasi dengan
perekonomian dunia.
+
Dengan asumsi kecepatan perputaran uang stabil (sehingga V = 0)
maka persamaan (27) menjelaskan bahwa inflasi terjadi bila pertumbuhan
uang beredar lebih besar daripada pertumbuhan produksi agregat
Teori inflasi Keynesian dan monehris pada dasarnya sama.
Variabe! kelebihan uang beredar (moneteris) akan tenrvujud dalam
peningkatan pengeluaran nominal (Keynesian) dalarn perekonomian yang
akhirnya akan menimbulkan inflasi.
Teori lain tentang inflasi adalah teori dorongan kenaikan biaya
produksi dalam perekonomian. Teori inflasi ini merupakan fenomena
mikroekonomi yakni teori biaya perusahaan.
Kenaikan harga-harga
faktor-faktor produksi seperti: upah, bahan baku, pajak, praktek mark-up
(misalnya karena
-ada kekuatan monopolistik) dan lain sebagainya akan
menaikkan biaya produksi barang dan jasa dalam perekonomian
sedemikian rupa (kuwa agregat supply bergeser ke kiri atas) sehingga
dengan pengeluaran agregat yang tetap
Cjuga bila naik) akan
mnimbulkan inflasi.
Di Indonesia kenaikan upah diperkirakan berpengaruh besar pada
laju inflasi. Kenaikan upah berdampak ganda terhadap inflasi yaitu
peningkatan permintaan dengan meningkatnya pendapatan (upah) dan
peningkatan biaya produksi agregat akibat kenaikan biaya upah tenaga
kerja. sehingga mendorong inflasi.
Kenaikan harga barang-barang impor yang disebabkan berbagai
faktor seperti depresiasi nilai tukar juga dapat mendorong inflasi di dalam
negeri baik secara langsung (bila ysng diimpor adalah barang-barang
konsumi) maupun secara tidak langsung (bila yang diimpor adalah
barang modal) melalui peningkatan biaya prduksi. Karena itu variabel
nilai tukar mata uang rupiah perlu dipertimbangkan dalam model perilaku
inflasi.
Selain itu, peningkatan permintaan pada bamng-barang yang tidak
diperdagangkan secara internasional (non tradeable goods) misalnya
peningkatan pengeluaran investasi pemerintah juga meningkatkan harga
input non tradeable sehingga juga mndorong inflasi
Dalam dunia nyata, fenomna inflasi tidak mudah dipisahkan
secara tegas apakah disebabkan oleh tarikan perminban atau dorongan
kenaikan biaya produksi. Oleh karena itu, dalam mtumuskan suatu
model ekonomi perilaku inflasi perlu mengakomodasikan variabel tarikan
permintaan maupun variabel pendorong kenaikan biaya produksi.
Berdasarkan pemikiran di atas, perilaku inflasi yang didefenisikan
sebagai perubahan indeks harga konsumn dirumuskan sebagai berikut.
lCPl
= ICPI ( ECR, GEI, IWAN, MSR) ............... ..... ... . . . (28)
dimana:
lCPl
MSR
G El
IWAN
= lndeks harga konsumen
= Jumlah uang beredar
= Pengeluaran investasi pemerintah
= lndeks upah di Indonesia
Dari segi akuntansi, neraca transaksi berjalan merupakan
penjumlahan dari nerca perdagangan (ekspor- impor barang) dengan
neraca jasa sea transfer pendapatan, sebagai berikut:
84
CA = XRI - (MRI + NST + NTOI)
......................................
(29)
dimana:
MRI
= Neraca transaksi berjalan
= Nilai ekspor barang
= Nilai impor barang
NST
= Defisit perdagangan jasa-jasa
NTOI
= Defisit transfer pendapatan
CA
XR1.
Meskipun neraca transaksi berjalan merupakan suatu persamaan
identis akuntansi, perilaku transaksi berjalan dipengaruhi oleh perilaku
impor, ekspor, jasa dan transfer pendapatan yang merupakan komponen
neraca transaksi bejalan itu sendiri.
Ekspor suatu negara dapat diartikan dari dua sisi yaitu sisi
knawaran dan sisi permintaan,. Dari sisi penawaran, ekspbr merupakan
penawaran barang dari suatu negara ke pasar intemasional yang
perilakunya mengikuti hukum penawaran yakni berhubungan positif
dengan harga. Secara umum mningkatnya harga barang-barang ekspor
di pasar intemasional akan mendorong peningkatan ekspor dari negara
yang bersangkutan. Dari sisi permintaan ekspor suatu negara merupakan
perrnintaan negara-negara lain terf~adapbarang-barang ekspor negara
yang bersangkutan yang perilakunya mengikuti perilaku permintaan atau
konsumsi, yakni berhubungan negatif terhadap harga dan berhubungan
positif dengan pendapatan di negara penginpor.
Selain dipengaruhi oleh harga dan pendapatan negara pengimpor,
perilaku ekspor juga dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang negara
pengekspor terhadap mata uang negam pengimpor, serta kebijakan
perdagangan mengikuti persamaan berikut:
.
PDX = PWX . ECR ( 1 -h) ..................... ...................,.... (30)
dimana:
= Harga barang-barang ekspor yang diterima eksportir
didalam negeri (Indeks harga perdagangan besar
PDX
barang-barang ekspor)
a
= Pajak eksprisit ekspor
Pada harga internasional dan pajak ekspor yang tetap, depresiasi
kurs akan mnyebabkan kenaikan harga barang-barang ekspor yang
diterima oleh eksportir di Indonesia (dinilai dalam mata uang rupiah),
sehingga meningkatkan ekspor. Wangkan pada harga internasional dan
kurs yang tetap, setiap kenaikan pajak ekspor akan menurunkan harga
barang-barang ekspor yang diterima oleh eksportir Indonesia sehingga
akan menurunkan ekspor.
Persamaan (30) tersebut mengasurnsikan tidak ada distorsi nilai
tukar rupiah. Pada keadaan dimana terjadi distorsi nilai tukar misalnya
owe1~8lued,secara implisit nilai tukar overvalued menrpakan suatu pajak
kurs ekspor yang pengaruhnya terhadap ekspor identik dengan kebijakan
pajak ekspor. Demikian juga persatman (30) mengasumsikan tidak ada
bentuk harnbatan ekspor selain selain pajak ekspor. Pada kondisi dimana
hambatan ekspor selain pajak ekspor terjadi (quota, izin ekspor dll)
sebagaimana tejadi dalam perekonomian Indonesia selama periode
tahun 1969
-
1996, pajak nominal ekspor temebut tidak mncerrninkan
harnbatan ekspor yang sebenamya.
Dengan perkataan lain, kmbinasi pengaruh kurs dan hambatan
ekspor (pajak dan non pajak) perlu dipertimbangkan dalam merumuskan
perilaku ekspor.
Bedasarkan pemikiran di atas, perilaku ekspor lndonesia
dirumuskan sengai berikut:
XRI = XRI (WVX, ECR, NPCX, PDBW) ............................... (31
dimana:
XRI
PDBW
= Nilai ekspor Indonesia
= Pendapatan negara-negara pengimpor (negara industri
maiu)
Dengan analogi yang sarna, juga dapat dirumuskan perilaku impor
Indonesia. lmpor lndonesia dapat diartikan sebagai permintaan barangbarang luar negeri dari lndonesia yang perilakunya mngikuti perilaku
konsumi dan permintaan. Semakin tinggi harga internasional barang-
barang impor, impor lndonesia semakin turun. Sebaliknya, semakin tinggi
pendapatan lndonesia semakin mningkat permintaan impor Indonesia.
Komponen terbesar dalarn impor lndonesia adalah bahan baku
dan barang-barang modal yang diperlukan untuk investasi di Indonesia.
Karena itu, besarnya investasi di lndonesia diperkirakan akan besar
peranannya dalam mmpengaruhi perilaku impor Indonesia.
Analog dengan harga barang ekspor di dalam negeri, harga
barang-barang impor di dalarn negeri selain dipengaruhi harga
internasional, juga dipengaruhi kebijaksanaan impor dan kebijakan kurs
rupiah, yang keterkaitannya mngikuti persamaan berikut:
PDM = PWM. ECR (I+ tm)
............ ................ .................... (32)
dimana:
PDM
= Harga barangaarang impor di dalam negeri (Indeks
harga perdagangan besar barang-barang impor)
tm
= Tarif eksplisit impar
Adanya kebijakan rion tarif dalarn perekonomian Indonesia pada
periode tahun 1069
-
1996 mnyebabkan 'tarif eksplisit impor tidak
mncerrninkan hambatan impor yang sebenamya.
Sementara itu
tejadinya owewaIued rupiah merupakan subsidi kurs impor. Oleh karena
itu pengaruh kombinasi tarif implisit (tarif eksplisit dan non tarif) dan
subsidi kurs impor, perlu dipertimbangkan dalam mrumuskan perilaku
impor Indonesia.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka perilaku impor lndonesia
dirumuskan mengikuti persamaan berikut:
MRI = MRI (PWM, ECR, NPCM, INV) ................................ .:' (33)
dimana:
MRI
= Nilai impor Indonesia
INV
= Nilai investasi di Indonesia
Neraca jasa lndonesia selalu mengalami defisit dan mngalami
peningkatan dalam periode tahun 1969 - 1996. Komponen terbesar dari
neraca jasa adalah biaya pengangkutan barang-barang impor dan ekspor
Indonesia. Karena itu neraca bersih jasa-jasa Indonesia diperkirakan
dipengaruhi oleh perilaku ekspor dan iwor sebagai berikut:
NST = NST (XRI, MRI) ............................. ................... (34)
Neram transfer
pendapatan lndonesia senantiasa defisit dan
mngalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Komponen utama dari
transferpendapatan ini adalah pembayaran kontrak karya dan bagi hasil
dari sektor migas, transfer keuntungan dari perusahaan asing yang ada di
Indonesia dan deviden perusahaan asing yang &a di Indonesia. Karena
keuntungan berkorelasi dengan perubahan praduk d m t i k bruto
Indonesia, maka perilaku net transfer pendapatan diperkirakan mengikuti
persamaan berikut.
NTOl = NTOl (XOIL, PDBI) ... ..... ...... ...........................-. (35)
dimana:
XOlL
= Nilai ekspor rninyak dan gas bumi Indonesia
3.6 Nilai Tukar Barter Pertanian
Nilai tukar barter sektor pertanian yang didefenisikan sebagai
rasio deflator harga sektor pertanian terhadap deflator harga sektot non
-
pertanian, diperkirakan sangat penting peranannya dalam mrnpengaruhi
alokasi sumberdaya antara sektor pertanian dan sektor non pertanian.
Penjelasan teoritis tentang faktor-faktor yang mrnpengaruhi nilai
tukar barter pertanian adalah efek hukum Engel dan efek bias kemajuan
teknologi (Martin dan Warr, 1993; Simatupang, 1992). Efek hukum Engel
berkaitan dengan elatisitas permintaan komoditas pertanian yang
umumnya relatif inelastis, sehingga setiap peningkatan pendapatan
menyebabkan persentase pengeluaran konsumsi k o d i t a s pertanian
yang lebih kecil dari persentase kenaikan pendapatan.
Efek bias kemajuan teknologi pada sektor pertanian terhadap nilai
tukar barter sektor pertanian bersumber dari dua sisi yaitu peningkatan
teknologi pertanian akan mningkatkan pemuintaan produk-produk non
--
pertanian khususnya jasa dan bamng modal, sementara peningkatan
produktiis pertanian yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi akan
menekan harga produk pertanian ke bawah.
Idealnya, untuk rnelihat efek hukum Engel pada nilai tukar barter
pertanian digunakan pangsa pengeluaran penduduk pada konsumi
komoditas pertanian. Namun datadata time series pangsa pengeluaran
tersebut tidak tersedia sesuai dengan rentang waktu studi ini. Sebagai
gantinya (proxy) dalam studi ini digunakan pangsa pengeluaran agregat
untuk konsumsi. Hal ini dapai diterima mengingat sebagian besar dari
pengeluaran konsumi di Indonesia adalah untuk konsumi pangan.
Kemajuan teknologi pertanian di Indonesia terutama tejadi pada
produksi gabah seperti irigasi, henih unggul, pemupukan daln lain
sebagainya. Oleh karena itu indikator kemajuan teknolagi perknian dapat
didekati dengan mnggunakan kemajuan teknologi pada produksi gabah.
Martin and Wan (1993) mnggunakan persentase dari luas areal
bimas dan inmas padi sebagai proxy kemajuan teknolagi pertanian di
Indonesia untuk analisis tahun 1960
-
1987. Hal ini dapat dipahami
mengingat dalam periode tersebut merupakan periode penerapan
teknolagi inmas dan bims.
Namun, setelah tahun 1987 penggunaan
persentase luas areal bimas dan inmas mungkin tidak relevan lagi,
mngingat pada sepuluh tahun terakhir program tersebut tidak intensif lagi
dilakukan. Selain itu, lahan-lahan sawah produktif (termasuk areal bimas)
sudah banyak mengalami alih fungsi. Sebagai gantinya, dalam studi ini
digunakan variabel produktiiitas padi sawah. Penggunaan produktifitas
sebagai indikator kemajuan teknologi m r a implisit juga telah
menggarnbarkan pengaruh bimas, inmas dan suprainsus.
Sedangkan
kemajuan teknologi pada sektor non pertanian didekati dengan
perbandingan nilai tambah per tenaga kerja sekor industri.
Penurunan nilai tukar barter sektor pertanian baik efek hukum
Engel maupun bias kemajuan teknologi, mungkin relevan pada ekonomi
tertutup atau pada suatu regirn perdagangan yang anti ekspor atau pro
impor atau pada perekonomian dimana sektor industrinya diproteksi tinggi.
Pembangunan ekonomi yang memberikan proteksi pada sektor
industri akan mmpengaruhi sektor pertanian melalui tiga cara yakni:
(I)melalui nilai tukar riil, proteksi s e k r industri menyebabkan hargaharga di dalam negeri naik sehingga menurunkan harga relatif produk
pertanian -terhadap produk non tradeable; (2) proteksi sektor industri di
dalam negeri menyebabkan prduk industri dalam negeri meningkat
sehingga menurunkan harga relatif produk pertanian terhadap produk
industri, dan (3) penurunan nilai tambah sektor pertanian sebagai akibat
peningkatan harga produk industri yang menjadi input sektor pertanain
(Krueger, Schiff and Voldes, 1988; Schiff and Voldes, 1992; 1998).
Pada perekonomian yang anti ekspor, sektor pertanian domestik
mengalami
hambatan
perdagangan
untuk
mengekspor
surplus
produksinya ke pasar Intemasional. Demikianjuga pada regim pro- impor,
sektor pehnian domestik menghadapi tekanan dari impor produk
pertanian.
Kemudian pada perekonomian yang mernproteksi sektor
industri di dalam negeri akan menyebabkan kenaikan harga pmduk
industri di dalam negeri. Sehingga efek netonya mmperftuat efek hukum
-
Engel dan bias kemajuan teknologi dalam menurunkan nilai tukar barter
sektor pertanian.
Sebaliknya pada regim perdagangan netral dan tanpa proteksi,
seMor pertanian mungkin berkesempatan untuk rnengekspor surplus
produksi ke pasar lnternasional tanpa mmpengaruhi harga intemasional
(diasumsikan Indonesia price taker di pasar lnternasional) sedemikian
mpa, sehingga efek hukum engel dan bias kemajuan teknologi tidak harus
menurunkan nilai tukar barter sektor pertanian. Oleh karena itu, pengaruh
bias perdagangan perlu dipertimbangkan dalam mnganalisis perilaku
nilai tukar barter sektor pertanian.
Berdasarkan pemikiran di atas, rnaka perilaku nilai tukar barter
sektor pertanian dirumuskan mengikuti persamaan berikut:
RPA = RPA ( SCON, RTEK, RECR, ) ............................. (36)
dirnana:
RPA = Nilai tukar barter seMor pertanian yang didefenisikan
sebagai rasio indeks harga deflator GDP pertanian
dengsn indeks harga deflator GDP non pertanian
SCON= Pangsa pengeiuaran konsumsi dari total pengeluaran
agregat sebagai proxy terhadap efek hukurn engel
RTEK= Rasio kemajuan teknologi antara sektor pertanian dengan
sektor non pertanian.
3.7 Perilaku Investasi Swasta
Perilaku investasi didasarkan dengan asumsi bahwa investor akan
berperilaku memaksimumkan nilai kini Cpresent value) dari manfaat
firransial dari kegiatan investasi yang temdia (Jorgenson, 1971; Branson
and Litvack, 1981; Gandhi, 1990; Rosegrant and Pasandaran, 1995;
Pindydr and Rubenfeld, 1995; Manki, 1997). Secara mtematis, perilaku
investor tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.
w
n
Max. NPV= j e - " [ h ~(Vt, Q- WM-Rt(k+6Kt)]dt
......
(37)
0
dimana :
NPV = Net present value manfaat investasi
P
= Harga output
F-)
= Teknologi produksi
VI
Kt
= VeMor input variabel
= Kapital yang digunakan
Wt
= Harga input variabel
A
Kt
= A%/ dt = Pertumbuhan kapital
6= Laju depresiasi kapital
r = Tingkat suku bunga
t
= Waktu
First oder conditbn dari persamaan (28) adalah sebagai berikut :
dimana :
Fk
= Produktivitas marginal penggunaan kapital
F, = Produktivitas marginal penggunaan input variabel
Persamaan (38) menjelaskan bahwa investor
akan meningkatkan
penggunaan kapitel sedemikian rupa, sampai nilai kini dari pmdukthitas
marginal penggunaan kapital sama dengan biaya penggunaan kapital.
Tingkat penggunaan kapital dan input variabel optimal yang
diharapkan dapat diturunkan dari persamaan (38) dan (391, yakni
mengikuti fungsi berikut:
Ktl'=he(P,R,r, W,6) .......................................-.......... (40)
dimana :
'
Kt* = Tingkat kapital optimal yang diharapkan.
Permmaan (40) menunjukkan bahwa tingkat penggunaan kapital
yang diharapkan dipengaruhi oleh harga output, harga kapital, suku
bunga, harga input variabet, dan laju depresiasi kapital.
Selisih antara tingkat kapital optimal yang diharapkan dengan
tingkat kapital yang direalisasikan mrupakan tingkat investasi yang
diharapkan.
Mengikuti persamaan (40)
tingkat
investasi
yang
(P, R, r, W, 6) ...........................................
(41)
diharapitan dapat dirumuskan sebagai brikut.
(Kt* - &) = It*
dimana :
;1 = Tingkat investasi yang diharapkan
Tingkat kapital optimal yang diharapkan tidak otornatis menjadi
kapital yang direalisasikan, melainkan memerlukan proses penyesuaian
parsial, yang tergantung pada biaya penyesuaian internal (keterlambatan
perencanaan dan implemntasi) dan ketersediaan sumberdaya ekstemal
seperti kredit (Eisner and Strotr, 1963; Clark, 1979; Mffiuirk and Mundlak,
1991, 1992; Gandhi, 1990). KetePsediaan kredit ini sangat krusial dalam
mempengaruhi periiaku investasi di negara-negara berkenJbang dimana
lembaga pembiayaan belum berkembang dan suku bunga umumnya
relatif tinggi.
Ttansformasi kapital yang diharapkan mnjadi kapital yang
direalisasikan mengikuti proses penyesuaian parsial dapat dirumuskan
sebagai berikut :
dimana :
(at) =Variabe!-variabel biaya penyesuaian internal dan
sumberdaya &sternal yang mempengaruhi proses
tranforrnasi dari kapital yang diharapkan menjadi kapital
yang direalisasikan.
f
lnvestasi baru ditujukan untuk mmpertahankan kapasitas
produksi yang telah ada dengan penggantian kapital yang telah usang
-(replacementinvestment) dan untuk mening katkan kapasitas produksi (net
investment) (Branson and Lifvadr, 1981; Mankiw, 1997). Penjumlahan
kedua jenis investasi tersebut merupakan investasi bruto sebagai berikut :
It=(&-Kt+,)+&&.,
...................................................
(43)
dirnana :
= lnvestasi bruto
It
K,
-
= lnvestasi bersih (net invesmenf)
6 &-I
Dengan
= lnvestasi pengganti (replacement invesment)
menggabungkan
variabel-variabel eksogenus dari
persamaan (41) dan (42) terdahulu, dapat dirumuskan suatu fungsi
perilaku investasi secara umum sebagai berikut :
It = It (P, R,r, W, a,6 ) .................................................
(44)
Persamaan (44) menjelaskan bahwa investasi dipengaruhi oleh
harga output, biaya penggunaan invesbsi, suku bunga, harga input
variabel, biaya internal dan ketersediaan sumberdaya ekstemal serta laju
depresiasi kapital;
Teori pen'laku investasi seperti persamaan (44) dapat digunakan
untuk menjelaskan perilaku investasi menurut surnber investasi dengan
mlakukan berbagai penyesuaian baik berdasarkan teon'tis maupun hasil-
hasil empiris.
Sumber pembiayaan investasi di Indonesia terdiri atas investasi
pemrintah, investasi swasta domestik (PMDN), investasi swasta asing
(PMA) dan investasi masyarakat (non-fasilitas).
Data investasi
masyarakat tidak terdokumentasi dengan baik, sehingga tidak dapat
--
dianalisis pada studi ini. lnvestasi pemetintah telah dirumuskan pada
persamaan (5) terdahulu, sehingga pada sub bab ini hanya mnjelaskan
investasi swasta domestik dan swasta asing.
lnvestasi swasta asing merupakan sumber pembiayaan investasi
pembangunan di banyak negara berkembang sejak berakhimya Perang
Dunia I!.
Hal ini terutama disebabkan karena pada negara-negara
berkembang seperti Indonesia. kernampuan menabung masih rendah
sehingga kemampuan investasi rendah. Sehingga sumber investasi asing
rnenjadi altematif yang tersedia untuk memenuhi target investasi.
Banyak faktor yang mempengaruhi aliran investasi asing dari
negara asal ke negara tujuan seperti ke Indonesia. Klein (1974)
menjelaskan bahwa penrsahaan-penisahaan di Amerika Serikat yang
kehilangan daya saing di dalam negeri (knomena m u d life cyde)
cenderung rnereldcasi investasi baru ke luar negeri. Hal yang sarna juga
dikemukakan Ogawa dan tee (1994) bahw industri-industri yang
kehilangan daya saing di Jepang seperti industriindustri padat karya,
direlokasi ke negara-negara yang mmiliki upah tenage kefja yang relatif
murah. Hal ini menunjukkan bahwa falttot pendorong (push fact@ yakni
penurunan daya saing investasi baru di negara-negara rnaju mnjadi
salah satu faMor yang mempengaruhi peningkatan investasi asing ke
negara-negata berkembang.
Selain faktor pendorong tersebut, faktor penarik (puII-factor) dati
negara penerima investasi asing juga penting. Banyak faktor yang
merupakan daya tarik investasi mulai dari faktor ekonomi sampai pada
faktor sosial politik.
Faktor ekonomi antara lain adalah ketersediaan
infrastruktur, ketersediaan bahan baku, besarnya pasar (market size),
harga bahan bakul faktor variabel, tingkat suku bunga. nilai tukar dan lainlain.
Ketersediaan infrastruktur seperti jalan raya, pelabuhan, listrik dan
lain-lain dapat mengurangi beban biaya investasi. Tingkat suku bunga
domestik yang relatif tinggi dari suku bunga di negara-negara maju,
mungkin juga mnjadi salah satu yang mempengaruhi investasi.
Depresiasi nilai tukar mata uang domestik juga mmpengaruhi masuknya
investasi asing. Depresiasi nilai tukar di satu sisi meningkatkan daya
saing produk asal Indonesia di pasar internasional sedangkan di sisi lain
meningkatkan daya beli mata uang asing di dalam negeri.
Berdasarkan pemikiran di atas, perilaku investasi swasta asing di
Indonesia dirumuskan sebagai berikut :
FlNV = FtNV(INRI, ECR, PDBI, GEI)
............................. (45)
dimana :
FlNV
= lnvestasi swasta asing di Indonesia
Variabel pengeluaran investasi pemerintah (GEt) pada persamaan
(45) merupakan proxy terhadap ketersediaan infrastruktur di Indonesia.
Variabel PDBl mrupakan proxy terhadap besarnya pasar domestik.
Kemudian perilaku investasi swasta domestik dirumuskan sebagai
berikut:
OlNV = DtNV (INRI, ECR, PDBI, GEI, CRED) ...................
(46)
dimana :
DlNV
= lnvestasi swasta domestik di Indonesia
CRED
= Total kredit yang disalurkan pemerintah
Variabel kredit (CRED) pada persamaan (46) merupakan proxy
terhadap ketersediaan sunaberdaya ekstemal.
Kemudian variakl
investasi pemerintah selain menunjukkan ketersediaan infrastruMur juga
mtupakan indikator kesempatan investasi bagi swasta. Gandhi (1990) .'
mengungkapkan bahwa investasi pemerintah dapat mengurangi biaya
pelaksanaan investasi swasta, peningkatan produktivitas dan menstimulus
peningkatan kapital stok.
3.8
Perilaku Pangsa Alokasi Investasi Antar Sektor
lnvestasi yang disajikan pada persamaan (441, (45) dan (46)
rnerupakaan perilaku investasi agregat. lnvestasi agregat ini merupakan
investasi yang tersedia untuk dialdtasikan pada sektor pertanian dan
sektor non pertanian.
Dengan asumsi bahwa perilaku investasi bertujuan untuk
memaksimumkan keuntungan, maka alokasi investasi antara sektor
pertanian dengan sektor non pertanian ditentukan oleh keuntungan xelatif
kedua sektor.
Hal ini berarti sektor pertanian dan seMor non pertanian
akan bersaing memperebutkan investasi yang tersedia.
Mengikuti Mundlak (1979) dan Cavallo and Mundlak (19821,
perilaku persaingan alokasi investasi tersebut secara matematis dapat
dirumuskan sebagai berikut :
FINVAG = SAF (..) FlNV ................................................
(47)
FlNVNA = [ 1 - SAF (..) ] FINV ........................................
(48)
DlNVAG= SAD I..) OlNV .................................
....
....... (49)
GElAG = SAG (..) GEI .................................................... (51)
GElNA = [ 1 - SAG (..) ] GEI ............................................
(52)
dimana :
I..
FINVAG = lnvestasi swasta asing yang teralokasi pada sektor perta
nian
FINVNA = lnvestasi swasta asing yang teralokasi pada sektor non
pertanian
DlNVAG = lnvestasi swasta domestik yang teralokasi pada sektor
pertanian
DINVNA = lnvestasi swasta domestik yang teralokasi pada sektor
non pertanian
GElAG = lnvestasi pemerintah pada seldor pertanian dan
pengairan
GElNA
SAF
= lnvestasi pemerintah pada seMor non pertanian
= Pangsa alokasi investasi swasta asing pada sektor per
tanian yang mrupakan suatu fungsi yang bernilai no1
sampai dengan satu.
SAD
= Pangsa alokasi investasi swasta domestik pada seMor
pertanian yang merupakan suatu fungsi yang bemilai
nol sampai dengan satu.
SAG
=Pangsa alokasi investasi pemerintah pada sektor
pertanian
dan pengairan yang merupakan suatu
fungsi yang bernilai no1 dengan sampai dengan satu.
Pangsa alokasi investasi swasta pada seMor pertanian dan non
pertanian tergantung pada keuntungan relatif investasi antara kedua
sektor.
Keuntungan relatif ini dapat berupa ketersediaan relatif
sumberdaya eksternal investasi (seperti kredit) dan harga relatif produk
pertanian terhadap produk non pertanian. Semakin besar alokasi kredit
pada sektor pertanian, semakin besar alokasi investasi swasta pada
sektor pertanian. Demikian juga, semakin meningkat rasio harga antara
produk pertanian dengan non pertanian, berarti investasi =Mar pertanian
investasi seMor non pertanian.
relatif lebih mnguntungkan daripada -.
Selain itu, pangsa atokasi investasi pemerintah pada sektor
pertanian dan sektor non pertanian diperkirakan mmpengaruhi alokasi
investasi swasta antar kedua sektor. lnvestasi pemerintah selain
m n gurangi biaya investasi swasta juga menciptakan kesempatan
investasi pada swasta.
Investasi pemrintah pada sektor pertanian dalam kurun waktu
tahun 1969 -19M yang terpenting adalah untuk pembangunan itigasi dan
penelitian
pengembangan Serb penyuluhan pertanian dengan target
u t a m peningkatan produksi pangan khususnya beras. Oleh karena itu,
pangsa alokasi investasi pemrintah pada sektor pertanian diperkirakan
dipengaruhi oleh harga beras internasional. Semakin tinggi harga beras di
,
pasar internasional, semakin besar alokasi investasi pemrintah pada
sektor pertanian.
Selain itu, persentase jumla h penduduk di pedesaan diperkirakan
juga mempengaruhi alokasi investai pemerintah pada sektor .pertanian.
Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa investasi pmrintah bertujuan
untuk mmaksimumkan kesejahteraan sosial masyarakat, sehingga pada
sektor mana penduduk terbesar, diperkirakan investasi pemerintah juga
lebih besar ke sekior tersebut.
Berdasarkan pemikiran diatas, maka perilaku pangsa alokasi
investasi dapat dirumuskan sebagai berikut :
.
SAF
= SAF (RPA, SAG SAC) ...................................
(53)
SAD
= SAD ( RPA, SAG , SAC, ...................................
(54)
SAG
= SAG (PWRC, SRP)
....................
....................
(55)
dimana :
PWRC = Harga beras di pasar internasional
3.9
SRP
= Persentase penduduk di pedesaan
SAC
= Pangsa alokasi kredit perbankan pada seMor pertanian
Produksi Sektor Pertarmian dan SeMor Non Pertanian
lnvestasi yang teralokasi pada sektor pertanian dan sektor non
pertanian sebagaimana dijelaskan melalui persamaan (47) sampai
persamaan (47) merupakan investasi bruto untuk meningkatkan kapitai
stok masing-masing sektor, yang kemudian mnentukan produksi masingmasing sektor.
Mengikuti persamaan (43) terdahulu, trasnformasi investasi bruto
mnjadi kapital stok adalah mngikuti persariwan berikut:
= FINVAGt + (1 -dl) CSFAtWl........................... (56)
CSF4
CSFW
-
= FlNVNk + (Id2)
CSFNA-1 ............................ (57)
............................
CSDAt
= DINVAGt + (1.- ds) CSDAt,l
CSDNk
= DINVNh + (1- d4) CSDN&-l ..........................
CSG&
= GEIAGt+ (1 - d5) CSGAt-, ............................. (60)
(58)
(59)
dirnana :
CSFA
= Kapital stok asal investasi asing pada sektor pertanian
CSFNA
= Kapital stok asal investasi asing pada sektor non
pertanian
CSDA
= h p i t a l stok asal ~nvestasidomestik pada sektor
pertanian
CSDMA
= Kapital stok asal investasi domestik pada seMor non
pertanian
CSGA
= Kapital stok asal investasi pemerintah pada sektor
pertanian
CSGNA
= Kapital stok asal investasi pemrintah pada sektor
non pertanian
dl, d p , ...db= Laju depresiasi kapital
Laju depresiasi kapital stok yang sering digunakan pada studi
empiris di Indonesia adalah 10 persen (Bank Indonesia , 1996 ). Angka ini
juga digunakan untuk depresiasi kapital diseMor non pertanian dan di
seMor pertanian.
Kapital stok
pada masing-masing sektor
ekonomi akan
mnentukan prduksi agregat masing-masing sektor. Selain kapital stok,
jumlah penggunaan tenaga keja, teknologi, infrastrulrtur jalan, output
sektor non pertanian akan mmpengaruhi pertumbuhan seMor pertanian.
TeKnologi dalam seMor pertanian beragam jenisnya
dan
tingkatnya, sehingga tidak mungkin mngakomodasikan seluruhnya ke
dalam model. Sebagai pendekatan dalam penelitian ini digunakan
produktivitas padi sawah sebagai indikator teKnologi, mengingat kontribusi
padi sawah cukup besar dalam pembentukan PDB sektor pertanian di
Indonesia.
Infraslnrktur jalan diperkirakan juga besar peranannya dalam
mempenganrhi PDB pertanian. Ketemdiaan infrastruktur jalan akan
mendorong pembukaan areal-areal baru pertanian serta mempermudah
lalu-lintas barang dan jasa baik ke sektor pertanian maupun dari sektor
pertanian.
Pertumbuhan PDB sektor non pertanian juga
diperkirakan
mmpengaruhi P08 sektor pertanian. Perubahan PDB sektor non
pertanian mencerminkan perubahan produksi barang-barang d a i dan
jasa yang dipergunakan sektor pertanian, sehingga mempengaruhi
produksi pertanian dari sisi penawaran (Supply-dnLen). Selain itu
perubahan PDB sektor non pertanian juga mencerminkan perubahan daya
serap pasar bagi output sektor pertanian sehingga mmpengaruhi
produksi pertanian dari sisi perrnintaan (Demand-driven).
Kemudian pada sektor non pertanian terdapat industri dan jasa
yang mnggunakan bahan baku impor dan praduk pertanian domstik
(industri hasil pertanian dan perciagangan hasii pertanian). O k h karena
itu, produksi sektor pertanian dan kemajuan teknologi diperkirakan juga
mernpengaruhi pertumbuhan sektor non pertanian.
Seperti halnya pada sektor pertanian, tehnologi pada sektor non
pertanian juga beragam jenis dan tingkatannya, sehingga tidak mungkin
mngakomodasikan seluruhnya dalarn model. Sebagai pendekatan,
kernajuan tehnologi pada sektor non pertanian digunakan rata-rata
produktivitas tenaga kerja di seMor industri. Hal ini mengasumsikan bahwa
sektor industri merupakan sektor yang penting dan terbesar dalam sektor
non pertanian .
Berdasarkan pemikiran di atas, maka produksi aggregat sektor
pertanian dan sektor non pertanian dirumuskan sebagai berikut.
PDBA = PDf3A (CSFA, CSDA, CSGA, lA, PRODV,
PJ, PDBNA) ...... :. ................................................. (62)
PDBNA = PDBNA (CSFNA, CSDNA, CSGNA, MRI, TEKNA,
LNA, PDBA) ..................................................... (63)
dimana:
PDBA = Produksi (GDP) seMor pertanian
PDBNA
LA
= Produksi (GDP) sektor non pertanian
= Jumlah tenaga kej a pada seMor pertanian
LNA = Jumlah tenaga kerja pada sektor non pertanian
PRODV
= lndeks kemajuan teknolagi sektor pertanian
TEKNA
= lndeks kemajuan teknologi pada sektor non pertanian
PJ
= Panjang jalan di Indonesia
3.f0 Penyerapan Tenaga Kerja
<
Pembangunan ekonomi antara lain bertujuan untuk meningkatkan
pendapabn misalnya melalui peningkatan pendapatan pemilik faktor-
faktor produksi. Tenaga kej a mrupakan faktor produksi yang dimiliki
seluruh rakyat, karenanya upaya menciptakan kesempatan kerja yang
memberikan pendapatan layak, mrupakan target makro yang penting.
Hal ini mnyangkut alokasi tenaga kej a di dalam perekonomian.
Teori tentang
kerja dalarn perekonotiian
alokasi tenaga
khususnya di negara-negara berkembang pada dasamya mengikuti teori
ekonomi Neo Klasik, teori ekonomi Keynes dan teori ekonomi Haris-
Todaro (Yoto Poulus and Nugent, 1976 ; Gillis et. a/. 1987 ; Harton et. al.
1994 ; Roger, 1994 ; Boyers, t 994 ; Addison and Demery, 1994 ; Edward
and Edward, 1994 ; Fields, 1994 ; Todaro, 1969, 1970, 1997).
Teori alokasi tenaga keja menurut ekonomi Neo KIasik
mengasumsikan adanya fleksibilitas upah perekonomian sedemikian rupa,
sehingga selalu tejadi kondisi full employment. Sedangkan menurut teori
ekonomi Keynes, diasumsikan bahwa dalarn perekonomian terjadi
kekakuan
upah
(down-ward
wage
rigEditties),
sehingga
dalam
perekonomian setalu teqadi pengganguran.
Tampaknya kedua teori tersebut kurang relevan untuk digunakan
menjelaskan fenomena pasar tenaga kerja di Indonesia.
adalah (1)
Seba bnya
fleksibilitas upah yang menjamin full employment dengan
tingkat upah yang seragam tidak tejadi di Indonesia. Pada kenyataannya,
perbedaan tingkat upah tejadi antar sektor ekonomi misalnya antara
sektor pertanian dengan sektor industri ; (2) kekakuan upah seperti upah
minimum sebagairnana dikemukakan Keynes, hanya bertaku pada sektor
moderen (industri, pemerintah, dan lain-lain), dan tidak berlaku bagi sektor
-
pertanian, dan (3) pada kenyataannya tidak semua tenaga keja di
Indonesia terserap dalam sektor formal (sektor pertanian, industri,
pemerintah dan lain-lain) sebagaimana menurut Neo Klasik, tetapi juga
tidak benar-benar menganggur (penganggur terbuka), sebagaimana
menurut Keynes.. Tenaga kerja yang tidak terserap pada sektor formal
terserap pada sektor informal.
Teori atokasi tenaga keja yang mungkin lebih relevan untuk
menjeiaskan fenomena pasar tenga kerja di Indonesia adalah teori atau
model Harris-Todaro (Model H-T). Model H-T ini mengasurnsikan bahwa:
(1) pada sewor moderen berlaku"upahminimum yang ditentukan secata
kelembagaan; (2) pada seMor pertanian berlaku fleksibilitas upah dan,
(3) tenaga kerja yang tidak terserap pada sektor moderen dan tidak
bersedia bekerja di sektor pertanian migrasi ke sektor informal dengan
pendapatan atau "tingkat upah"
an&
sektor pehnian dan sektor
moderen.
Mengikuti Model H-T, untuk mnjelaskan fenomena aloksi tenaga
kerja antar sektor, sektor ekonomi dibagi atas tiga sektor (sebagai
penyederhanaan) yakni seMor pertanian, seMor moderen dan sektor
informat. Sektor pertanian mmpunyai fungsi produksi yang ditentukan
oleh penggunaan tenaga keja dan kapital.
Dernikian juga sektor
moderen, produksi seMor moderen tergantung pada penggunaan tenaga
kerja dan kapital.
Mengikuti Model H-T, maka ketiga seMor tersebut
diceminkan oleh fungsi berikut :
YA
= YA(LA,&) ......................................................
(64)
YM
= YM(b,k)....................................................
(65)
WA
= a Y ~ / LA
a ....................................................... (66)
dimana:
YM
= Produksi sektor moderen.
= Tenaga kerja yang terserap pada sektor moderen .
= Kapital pada sektor moderen.
= Upah sektor peitanian.
= Upah sektor mderen.
= Tenaga kerja pada sektor informal.
= Harga produk &or pertanian.
= Harga produk sektor moderen.
= Total angkatan kej a nasional.
Mengikuti Model H-T, keseirnbangan alokasi tenaga kej a antar
ketiga sektor tersebut dapat diperlihatkan pada Gambar 4. knurut Harris-Todaro, bila upah di sektor moderen adalah sebesar WM2, maka
mengikuti kurva H-T, upah mMor pertanian adalah sebesar WAI . Dengan
demikian jumlah tenaga keja yang terserap pada sektor pertanian adalah
sebesar ALA3 ; pada sektor moderen sebesar MLM sedangkan pada
seMor informal sebesar LA3LM. Tenaga kerja yang masuk ke sektor
informal ini merupakan tenaga keja yang tidak dapat masuk ke sektor
moderen dan tidak bersedia bekeja di sektor pertanian. Dengan kata lain
tenaga kej a sektor infomaal ini merupakan migrasi dari seMor pertanian.
Gambar 4. Alokasi Tenaga Kej a Antar Sektor Menurut Model HarrisTodaro
Keterangan :
W&
= WM1 : Upah keseimbangan Neo-Klasik
DA
= Kurva permintaan tenaga kerja seMor pertanian
= Kuwa permintaan tenaga keja seMor moderen
DM
H-T
= Kurva Harris-Todaro untuk sektor informal mengikuti
persamaan LM. WM = WA (LM + LA)
Bila sektor moderen dan sektor informal ini disebut sebagai sektor
non pertanian, maka perubahan jumlah tenaga keja di sektor non
pertanian menurut Harris-Todaro dimmuskan sebagai berikut :
d ( ~ + L I ) = M [ ( L u I ~ + ~ ) ] W M .........................
-WA
(70)
dirnana :
M' > 0
Dengan demikian persatman (70) menjelaskan bahwa perbedaan
upah antar sektor pertanian dan sektor moderen merupakan fatctor penarik
migrasi tenaga kerja dari sektor perknian ke sektor non pertanian.
Migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian
menyebabkan pewbahan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian,
sektor moderen dan sektor informal. Perubahan tersebut dan faktor-faktor
yang mempengaruhi dapat dijelaskan sebagai berikut :
Dengan melakukan defrensial total dari kornbinasi persamaan (66)
dan (67) dapat diperoleh persamaan berikut :
h
+ LM). ................. ............. ......... ......................... ........(73)
dimana :
= Elastisitas permintaan tenaga kerja terhadap upah
pertanian; Ea> 0
Sa = Pangsa penyerapan tenaga kerb sektor pertanian dari
0 < Sa< 1
angkatan kerja ;
sektor
total
h
LA
= Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja #&or pertanian
A
KA
= Perturnbuhan kapital sektor pertanian
A
= Pertumbuhantotal angkatan kerja nasional
1
A
WM
= Pertumbuhan upah sektor moderen
A
LM
= Pertumbuhan penyerapan tenaga kei-jasektor moderen
Persamaan (71) menjelaskan bahwa peningkatan kapital di sektor
pertanian dan pertumbuhan total anghtan kerja nasional akan
meningkatkan jumlah tenaga keja di sektor pertanian. Selain itu,
peningkatan kesempatan kerja di sektor moderen akan mnunrnkan
tenaga kej a di &tor
pertanian.
Perubahan penyerapan tenaga kerja di sektor moderen, dapat
diturunkan dari persamaan (08) sebagai berikut :
dimana :
A
LM =
Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja seMor moderen
Em = Elastisitas pemintaan tenaga kej a terhadap upah
A
sektor
modem
PA I PM= Laju pertumbuhan harga relatif produk pertanian
dengan produk sektor d e r e n
h
KM
= Laju pertumbuhan kapital di sektor modeten
Persamaan (72) mnjelaskan bahwa pertumbuhan kapttal di sektor
modefen akan &ningkatkan
penyerapan tenaga kerja bila bju harga
relatif produk sektor pertanian dengan produk sektor moderen lebih besar
dari Iaju peningkatan upah.
Kemudian, perubahan penyerapan tenaga kerja di sektor informal
dapat diturunkan dengan melakukan defrensial total persamaan (69) dan
mensubstitusi persamaan (71)dan (72)sebagai berikut:
dimana :
SI = Pangsa tenaga keja &or
kerja nasional
informal dalam total
angkatan
A
I = Laju pertumbuhan penyerapan tenaga kej a sektor informal
&,=Pangsa tenaga kerja W o r ' W e r e n dari total angkatan
kerja nasional
Persamaafi (73) mnjelaskan bahwa jumlah tenaga kej a sektor
informal akan riieningkat bila terjadi pertumbuhan total angkatan kerja
nasional dan peningkatan upah di sektor modefen. Selain itu peningkatan
kapital di sektor pettanian akan menurunkan jumlah tenaga kerja pada
sektor informal.
Untuk
mnjelaskan
perilaku
penyerapan
tenaga
kerja
sebagaimana dikemukakan di atas, memrlukan data jumlah tenaga kerja
yang terserap pada sektor informal, sektor moderen dan sektor peftanian.
Sayangnya data tentang tenaga kerja di sektor informal tidak
terdokumentasi dengan baik sehingga perilaku penyerapan tenaga kerja
model tiga sektor tersebut tidak dapat dilakukan.
Mengatasi masalah ini diasumsikan bahwa tenaga kerja sektor
informal mrupakan tenaga kerja yang tidak tersedia bagi sektor
pertanian, sehingga tenaga kerja yang bekeja pada sektor informal
digabung dengan tenaga kej a pada sektor moderen dan disebut sebagai
tenaga ketja non pertanian. Dengan demikian analisis penyerapan tenaga
kerja dalam studi ini digunakan model dua sektor yaitu sektor pertanian
dan sektor non pertanian (sesuai tujuan studi ini).
Berdasarkan pemikiran yang dikemukakn diatas, maka perilaku
penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian dengan &or
non
pertanian dirumuskan sebagai brikut :
SAL = SAL ( CSG f CSNA ,PBMA - PDBA) .................... ..
(76)
dimana :
L
= Total tenaga kerja nasional
CSG
= Total kapital stok sektor pertanian
= Total kapital stok seMor non pertanian
= Pangsa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian yang
CSNA
SAL
menrpakan suatu fungsi yang bernilai antara no! dengan
satu
-.
Perbedaan PDB s e ~ o t non pertanian dengan PDB saktor
pertanian pada persamaan (76) tersebut sakaligus dapat menangkap
perbedaan tingkat upah, perbedaan teknologi dan perbedsan harapan
tingkat kesejahteraan pada kedua sektor.
3.1 1 Pengaruh Penghapusan Distorsi Nitai Tukar dan Perdagangan.
Untuk menjelaskan bagairnana pengaruh peng hapusan distorsi
nilai tukar dan perdagangan digunakan bantuan grafik sebagaimana
diperlihatkan pada Gambar 5.
Kondisi sektor ekspor (eksportable)
pertanian diperlihatkan pada Gambar SA, dimana SA merupakan kuwa
penawaran produk sektor ekspor, DA mrupakan kuwa permintaan
domestik dan PWX mrupakan harga intemasional yang sekaligus
A. SeMor Eksportable
B. Pasar Valuta Asing
C. Sektor importable
Gambar 5. Pengawh Penghapusan Distorri Nilai Tukar dan Perdagangan Terhadap Sektor Ekspodable
dan SeMor importable
merupakan kurva pennintaan pasar internasional yang dihadapi lndonesia
(diasumsikan lndonesia p t i x taker di pasar internasional ).
Garnbar 5B menggambarkan pasar valuta asing yakni nilai tukar
mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Seriht, dimna S $ dan D $
berturut-tumt penawaran dan permintaan mta uang dollar Amen'ka
Serikat.
Gambar 5C menggambarkan kondisi sektor industri substitusi
impor (importable)dimana SNA dan DNA berturut-turut adalah penawaran
dan permintaan produk industri yang bersangkutan. Dengan asumsi
Indonesia juga price taker pada pasar produk industri tersebut di pasar
intemasional, maka harga intemasional produk industri adalah PWM yang
sekaligus merupakan kuwa penawaran produk internasional yang
--
dihadapi Indonesia,
Sebelum menjelaskan penghapusan distrosi nilai tukar dan
perdagangan, terlebih dahulu dijelaskan kondisi perekonomian (sektor
eksportable)dan sektor imporfabb) dalam kurun waktu tahun 1969-1996.
Sebagaimana dikemukakan sebelumya. bahwa selam tahun
1969-1996
mata uang rupiah telah mengalami over valued yang
digambarkan oleh
€2
pada Gambar 5B.
Untuk mempertahankan nilai
tukar Ez pemerintah harus rnanilikl cadangan devisa minimum sebesar
FG. Dengan nilai tukar Eq, maka harga produk eksportable di pasar
domestik adalah sebesar P2= PWX*E2,sedangkan harga barang-barang
importable di dalam negeri adalah sebesar P2 = PWM'E2. Oleh karena
pemerintah juga mnerapkan kebijakan proteksi impor dan ekspor pada
kurun wktu 196Sl996, maka produk sektor ekqmt8ble di dalam negeri
adalah sebesar PI = E2 (1
- tJ
PWX dirnana tx merupakan pajak implisit
ekspor. Sedangkan harga produk sektor iinportable di dalam negeri
adalah P4= E2( 1 + b)PWM dimana
merupakan tarif implisit impor.
Pada tingkat harga produk sektor ekspoftabiedomestik sebesar PI
maka eksporl sektor tersebut hanya sebesar TK dengan nilai ekspor
OPITK. Sedangkan pada harga domestik produk importable sebesar P.+,
volume impor adalah sebesar RV dengan nilai devisa yang diperlukan
seksar OPCRV.
Dengan demikian rasio harga produk eksporfable
terhadap harga produk importable di dalam negeri adalah PI I P4.
Seandainya Indonesia memberlakukan liberalisasi perdagangan
sejak awal pembangunan, maka harga produk eksportable di dalam negeri
rnenjadi P2 = E2 . PWX dan harga produk importable di dalam negeri
menjadi P2= EZ. PWM.
Pada tingkat harga eksportable di dalam negeri sebesar P2 ,
volume ekspor Indonesia adalah sebesar R t dengan devisa yang
dihasilkan sebesar OPz* RL. Dengan demikian pendapatan bruto sektor
eksportable adalah sebesar OP2*P2tyang bersumber dari pasar domestik
sebesar OP1*P2Rdan dari pasar internasional sebesar OP2*RL.
Kemudian pada tingkat harga barang importable domestik sebesar
P2, maka volume Impor adalah sebesar HZ dengan devisa yang
digunakan sebesar OP2*HZ. Pendapatan bruto dari sektor tersebut ini
adalah ditentukan oleh selisih OP2*P2H dengan OPiHZ.
Dengan demikian secara teoritis, bila sektor pertanian adalah
sektor eksportable dan sektor non pertanian sektor imptable maka
penghapusan distrcsi perdagangan (liberalisasi perdagangan) akan
meningkatkan produk dmmtik bruto sektor seMor ekspor2able dan
menurunkan produk domestik bruto s e b r importable. Selain itu, harga
relatif produk sektor eksport8bb terhadap harga produk importable
meningkat dari Pt 1 P4mnjadi Pp!P2.
Perlu' dicatat bahwa pada tingkat harga P2 dan nilai tukar sebesar
E2,sektor
seMor eksportable masih dikenakan pajak nilai tukar sebesar
ErE2 untuk setiap dollar yang dipetoleh dari ekspor. Sebaliknya produk
importable masih mmperoleh subsidi nilai tukar sebesar
-2
untuk
setiap dollar yang diirnpor.
Jika liberalisasi perdagangan diikuti dengan koreksi nilai tukar tepat
atau mendekati nilai keseimbangan yakni Es, maka harga produk sektor
eksportable di pasar domestik adalah Pg = E3*PWX, sementara harga
produk importabledi pasar domestik adalah sebesar P3= WPWM.
Pada tingkat harga produk sektor eksportable di pasar domstik
sebesar P3,volume ekspor sekfor eksportable adalah sebesar MN dengan
devisa yang dihasilkan sebesar OP3*MN.Pendapatan Bruto sektor seMor
eksportable adalah sebesar OP3*P3Nyang bersurnber dari pasar domstik
sebesar OP3*P3M dan dari pasar internasional sebesar OP3*MN.
Sementara itu. dengan harga produk importable di dalam negeri sebesar
Pa, volume impor adalah sebesar JW dengan devisa yang diperlukan
sebesar OP3*JW. Dengan demikian pendapatan brut0 seMor importable
adalah ditentukan selisih antara OP3'Pd dengan OPjJW.
Dari
uraian
teoritis
tersebut
diatas
menunjukkan bahwa
penghapusan distrosi nilai tukar dan perdagangan akan mmpengaruhi
perekonomian Indonesia sebagai berikut : Pertama; Harga relatif praduk
pertanian terhadap harga produk industti (non pertanian) akan meningkat.
Peningkatan harga ini akan menarik sumberdaya dari sektor non pertanian
ke sektor pertanian sedemikian rupa sehingga meningkatkan produksi
sektor pertanian dan menurunkan produksi sektor non pertanian. Kedua;
Peningkatan produksi pertanian akan meningkatkan ekspor produk
pertanian, sedangkan
penurunan produksi sektor
meningkatkan impor produk industri.
industri akan
Download