Ill. IDENTlFlKASl VARIABEL MAKROEKONOMI YANG BERPENGARWH ?ADA SEKTOR PERTANIAN Esensi dari studi -ini adalah bahwa kebijakan makroekonomi mmpengaruhi sektor pedanian rnelalui keterkaitan variabel dan kebijakan makroekonomi dalam jumla h dan aiokasi investasi pada sektor-sektor ekonomi. Kebijakan fiskal (penerimaan pemerintah) dan kebijakan perbelanjaan pemerintah mempengaruhi volume investasi pemerintah. Kemudian distorsi nilai tukar (kurs) dan distorsi perdagangan mempengaruhi pergerakan kurs nominal dan nilai tukar barter pertanian. Kurs mmpengaruhi defrsit transaksi berjalan melalui pengarunya pada ekspor-impor, -. dan memperrgaruhi suku bunga, inflasi dan investasi swasta. Suku bunga nominal secara bersama-sarna dengan kurs, pendapatan dan investasi pemerintah mempengaruhi keputusan swasta untuk berinvestasi. lnvesbsi pemrinbh dan swasta yang terjadi dalam perekonomian teralokasi pada sektor pertanian dan sektor non pertanian dengan mernpertimbangkan keunggulan relatif kedua sektor. lnvestasi yang msuk kepada masing-masing sektor mnentukan pertumbuhan kapital stok yang selanjutnya mempengaruhi pertumbuhsn output dan penyerapan tenaga kerja kedua sektor. 3.1 Kebljakan Fiskal dan Perbelanjaan Pemerintah Pemerintah mmpunyai peranan yang amat penting dalam m a n g u n a n ekonomi di Indonesia. Peranan pemrintah antara lain dapat dilihat dari kebijakan fiskal dan perbelanjaan pemerintah. Kebijakan fiskal menyangkut bagaimana pemerintah memperoleh penerimaan. Sedangkan kebijakan perbelanjaan menyangkut penggunaan dan alokasi pengeluaran pemerintah khususnya pengeluaran investasi pemerintah. Sumber penerimaan pemrintah di Indonesia digolongkan menjadi dua ketompok yaitu: penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan. Penerimaan dalam negeri bersumber dari penerimaan dari minyak dan gas bumi, pajak dan penerimaan bukan pajak. Semntara itu peneriman pembangunan bersumber dari pinjaman luar negeri baik dari ODA (0fir~:ialDeuelopment Asistance) melalui IGGI/ CG1 yang biasanya berupa pinjaman lunak maupun dari OOF (Other Otkial Finance) yakni pinjaman bilateral dengan syarat pinjaman komersial. Dengan demikian, persamaan identitas penerimaan pemerintah dapat dimmuskan sebagai berikut. GR = GRD + GRF = GROL + GRET + GREL + GREF + DGD ...... ................. (1) dimana : GR = Total penerimaan pemerintah GRD = GROL+GRET+GREL = Penerimaan dalam negeri Pemerinbh GROL = Penerimaan migas GRET = Penerimaan pajak GREL = Penerimaan dalam negeri lainnya GREF = Pinjaman luar negeri DGD = Perubahan tabungan pemerintah di Bank Indonesia Penerimaan pemerintah digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran . rutin mencakup belanja pegawai, pembelian barang, subsidi dan pernbayaran bunga dan cicitan uiang luar negeri. Sedangkan pengeluaran pembangunan digunakan untuk membiayai programprogram investasi di dalam negeri sehingga disebut juga pengeluaran investasi pemerintah. Dengan demikian persarnaan identitas pengeluaran pemerintah dapat dirumuskan sebagai berikut : GE = GCN + GAUT + GE1 .........................,................... (2) dimana: GE = Total pengeluran pemerintah GCN = Pengeluaran konsumsi Pemerintah GAUT= Pembayaran bunga dan cicilan utang GEI = Pengeluran investasi pemerintah Prinsip anggaran berimbang yang dianut pemrintah adalah penerimaan sarna dengan pengeluaran, mengikuti persamaan identitas berikut : GROL+GR€T+GREL+GREF-DGD = GCN + GAUT + GEI ... (3) Adanya komponen pinjarnan luar negeri dalam penerimaan pemrintah menunjukkan bahwa sebetulnya pemrintah menganut prinsip anggaran defisit. 8esarnya def~sitanggaran pemerintah mrupakan selisih penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran pemerintah, sebagai berikut: DEFG = GRD - GE = GRF - DGD ................................. (4) dimana : DEFG = M s i t anggaran pemrintah Dengan demikian persamaan (4) menjelaskan bahwa defisit anggaran pemehntah dibiayai dari hutang luar negeri dan pinjaman (tabungan) pemerintah pada Bank Indonesia. Penerimaan pemerintah diutamakan untuk membiayai pengeluaran rutin pemerintah yang mencakup konsumsi pemerintah dan pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri. Oleh karena itu, pada dasarnya pernbiayaan defisit anggaran pemerintah menrpakan pembiayaan investasi pemerintah. Setiap perubahan dalam penerimaan pemerintah akan secara langsung mmpengaruhi pengeluaran investasi pe-rintah. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, penerimaan pemerintah krsumber dari ekspor migas, pajak dan pinjaman luar negeri. Oleh karena itu perubahan harga minyak internasional, perubahan penerimaan pajak dan pinjaman luar negeri akan mmpengaruhi pengeluaran invesbsi pemerintah. Berdasarkan uraian di atas, maka perilaku investasi pemrintah dapat dirumuskan sebaga~berikut. GEI = GEI (PWOL, GRET, GREF) ..................................... dimana: PWOL = Harga minyak internasional (5) 3.2 Kebijakan Niki Tukar dan Perdagangan lntemasional Nilai tukar mata uang rupiah terhadap Arnerika Serikat) mrupakan salah satu mata uang ssing (Dollar indikator daya saing perekonomian Indonesia relatif terhadap negara lain. Oepresiasi rupiah mencerminkan penurunan biaya produksi barang yang dihasilkan Indonesia relatif terhadap negara lain, sehingga rneningkatkan daya saing barang-barang asal Indonesia di pasar internasional. Sebaliknya apresiasi rupiah mencerminkan kenaikan biaya produksi (inflasi) di dalam negeri sehingga mnurunkan daya wing barang-barang asal Indonesia di pasar internasional. Oleh karena itu pengelolaan nilai tukar menjadi sangat penting dalam pengelolaan makroekonomi. Nilai tukar dapat dibedakan atas nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal rnerupakan suatu konsep rnoneter yang mengukur harga relatif dua mata uang. Sedangkan nilai tukar riil mengukur harga dua barang atau harga relatif barang yang diperdagangkan secara internasional (tradable goods) dengan harga barang yang tidak diperdagangkan secara internasional (non tradable goods) (Edwards, 1989 ; Rivera Batiz, 1994). sebagai berikut PT RER = - ............................................................... (6) PNF dimana : RER = Nilai tukar riil PT = Harga tradable goods = Harga non tradable goods PNT Suatu kenaikan RER (depresiasi) berarti penurunan biaya produksi tradabie goods sehingga meningkatkan daya saingnya dipasar internasional. Sebaliknya suatu penurunan RER (apresiasi) mencerminkan kenaikan biaya produksi tradable goods sehingga mnurunkan daya saingnya di pasar internasional. Pada berbagai studi empiris sebagai proxy perhitungan RER yang sering digunakan adalah sebagai berikut. RER = E. P* I P ............................................................ (7) dimana : P* = Harga internasional yang biasanya digunakan indeks harga perdagangan besar negara partner dagang. -. P = Harga domestik yang biasanya digunakan indeks harga konsumen di dalam negeri. E = Nilai tukar nominal yakni harga mata uang domestik (rupiah)terhadap mata uang asing (Dollar Amerika Serikat) Dalam bentuk perubahan, persamaan (7) dapat dimmuskan sebagai berikut : dimana : A RER = A RERI RER = Perubahan nilai tukar riil A E= A E/ E = Perubahan nila~tukar nominal A P* = A P l P' = Perubahan harga internasional A P= API P = Perubahan harga domstik Persarnaan (8) menjelaskan bahwa perubahan nilai tukar riil disebabkan oleh perubahan nilai tukar nominal dan selisih perubahan harga internasional dengan harga domstik. Pada konsep paritas daya beti, diasumsikan perubahan nilai tukar riil s a m dengan nol, sehingga penrbahan nilai tukar nominal sama dengan perbedaan perubahan harga internasional dengan d o m k atau perbedaan inflasi antara dua negara yang bersangkutan. Dengan kata lain menurut konsep paritas daya beli nilai RER adalah tetap sepanjang waMu. Hal ini mengasumsikan bahwa pehdaan laju inflasi d o m t i k dengan laju inflasi partner dagang utama selalu tercerrnin pada laju depresiasi nilai tukar nominal. Mengikuti konsep paritas daya beli ini, faktor-faktor yang mmpengaruhi perbedaan laju inflasi tersebut dapat dikembangkan dengan mengkaitkannya dengan keseirnbangan pasar uang pada dua negara yang bersangkutan (Rivera Batiz, 1994) sebagai berikut. MIP =L(y,i) .1 ...................... . . .............................. (9) -, M*/ P* = Lw(y*, i*) ......................................................... MIP = Penawaran uang riil domestik M'I P* = Penawaran uang nil partner dagang utama (10) L(Y,~) = Permintaan uang domstik L* (y*, i*)= Permintaan uang di negara partner dagang utama i = Tingkat suku bunga domestik i* = Tingkat suku bunga di negara partner dagang utama Y = Tingkat pendapatan domestik = Tingkat pendapatan negara partner dagang utama Y* Dengan membagi persamaan (9) dengan persarnaan (10) dan disajikan dalam bentuk perubahan, diperoleh persamaan yang mnjelaskan komponen-komponen yang mnyebabkan perbedaan inflasi pada kedua negara sebagai berilrut. dimana : A, 0 = suatu parameter bemilai positif 'Persamaan (1 1) menjelaskan bahwa laju perbedam inflasi kedua negara sama dengan perbedaan laju penwaran uang, perbedaan laju pendapatan dan perbeciaan laju tingkat suku bunga. Mengikuti konsep paritas daya beli maka perubahan nilai tukar nominal sama dengan pebdaan laju infiasi, sehingga dengan menggabungkan persamaan ( 8) dengan (I?), dapat dirumuskan suatu fungsi yang rnenunjukkan faktor-faktor yaw mempengaruhi nilai tukar nominal sebagai berikut. E = E (Ms, Y,i, Ms',Y,i*) .............................................. (12) untuk : dU aMs,d l 3 die, a€/ aY > 0 aW M s * , a€/ ai, a€/ aY * < 0 Persamaan (12) menjelaskan bahwa peningkatan penawaran uang domtik, suku bunga luar negeri, pendapatan domestik akan menyebabkan depresiasi nilai tukar nominal. Sedangkan peningkatan penawaran uang dan pendapatan diluar negen' serta kenaikan suku bunga domestik akan menyebabkan nilai tukar nominal mengalami apresiasi. Asumsi pendekatan paritas daya beli bahwa perubahan inflasi selalu dicerminkan oleh perubahan nilai tukar nominal , kurang realistis. Pada kenyataannya dalam perekonomian terdapat sejumlah hambatan transrnisi @ass ffimugh pmbiem) baik yang bersifat struktural, kelembagaan mupun kebijakan pemerintah. Pada kondisi yang demikian, perubahan inflasi tidak selalu ditransmisikan secara sempurna dan cepat pada perubahan nilai tukar nominal. Dengan kata lain perubahan nilai tukar riil tidak selalu sama dengan nol. Edwards (1989) mengemukakan bahwa keseirnbangan nilai tukar bukanlah tetap tetapi berubah-ubah (memiliki lintasan pergerakan). Nilai tukar aktual juga tidak wlalu sama dengan nilai tukar keseimbangan karena berbagai pengaruh yang disebut sebagai faktor fundamental nilai tukar dan tekanan kebijakan makroekonomi. Fundamental nilai tukar yang dimaksud terdiri atas fundamental nilai tukar eksternal seperti tern of trade, capital inflowdan pinjaman luar negeri, suku bunga internasional dan lain-lain. Sedangkan fundamental nilai tukar internal yang dimaksud seperti kebijakan proteksi, kontrol devisa, kebijakan fiskal dan mneter serta variabel-variabel non kebijakan seperti kemajuan teknologi. Peningkatan pinjaman luar negeri (misalnya untuk mernbiayai defisit anggaran) dan peningkatan cerp$al inflow lainnya akan mengakibatkan nilai tukar terapresiasi. Kemudian memburuknya terms of trade menyebabkan nilai tukar terdepresiasi. Perilaku niiai tukar secara teoritis di atas mengasumsikan bahwa kurs rupiah ditentukan sepenuhnya oleh mekanism pasar. Sehingga perubahan pada kekuatan permintaan dan penawaran kurs tercermin dalam depresiasi atau apresiasi kurs. Namun pada kenyataannya kurs rupiah tidak pernah mengalami apresiasi dalam kurun waktu tahun 1969 - 1996. Kurs rupiah selalu terdepresiasi atau didevaluasi yang dilakukan pemerintah. Dalam kurun waktu 1969 - 1996, Indonesia mnganut dua r8girn nilai tukar nominal y a k regim nilai tukar tetap ( k e d exchange rate) yakni pada tahun 1972 - 1977 dan tahun lainnya menganut nilai tukar mengambang terkendali (managed Abating exchange rate). Pada regim nilai tukar tetap pemerintah mematok Rp 415 per US$ dengan melakukan intervensi di pasar valuta asing. Sedangkan pada regim nilai tukar mengambang terkendali pengonttolan nilai tukar nominal rupiah oleh otoritas mneter dilakukan dengan mnetapkan target depresiasi rupiah rata-rata 5 persen per tahun atau mernbiarkan pergerakan rupiah pada batas-batas yang ditetapkan pemerintah yang disebut dengan pita intervensi (band interventbn). Hal ini berarti, pergerakan kurs rupiah pada periode tahun 1969 - 1996 lebih banyak ditentukan pemerintah dan bukan oleh kekuatan m k a n i s m pasar Dengan pengontrolan depresiasi rupiah demikian, maka faktor- faMor yang mempengaruhi perubahan nilai tukar nominal sebagaimana pada persamaan (12 ) tidak lagi mncermin kan pergerakan nilai tukar yang seharusnya tejadi. Oengan perkataan lain intervensi pemerintah pada kurs rupiah mnjadi faktor utama dalam menentukan kurs rupiah aktual. Derajat intervensi pemerintah pada kurs rupiah dapat diukur dari perbeciaan antara kurs rupiah aktual dengan kurs rupiah keseimbangan seandainya kurs rupiah ditentukan oleh mekanisme pasar dengan menggunakan suatu indeks distorsi nilai tukar. Untuk mngukur, keseimbangan nilai tukar yang sebenarnya dapat dihitung dengan rnenggunakan pendekaian paritas daya beli sebagai berikut. RER (t) = ECR [ICPl ru 1 ICPI tlmTjl [IWPl(t,I IWPI (IW dimana: RER lCPl .........................,. (13) = Nilai tukar keseimbangan = lndeks harga konsumen Indonesia lWPl = lndeks harga perdagangan besar negara-negara mitra dagang Indonesia yang diwakili oleh Amerika Serikat. RECR = ECR I RER = lndeks distorsi kurs rupiah Selain intervensi pada pasar valuta asing pernerintah juga , melakukan intervensi pada perdagangan internasional. lntenrensi pada perdagangan internasionat ini akan mmpengaruhi pergerakan nilai tukar nominal melalui pengaruhnya pada ekspor dan impor. Bentuk intervensi pada perdagangan tidak saja tercermin dari tarif atau pajak eksplisit tapi juga bentuk-bentuk hambatan perdagangan non tarif. Oleh karena itu untuk menangkap derajat intervensi pada perdagangan tarif eksplisit dan implisit periu diperhitungkan. Terdapat sejumlah metode pengukuran proteksi perdagangan mulai dari metode sedethana sampai metode yang lebih rumit. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut: Pertarna, Pengukuran proteksi dengan menggunakan tarif atau pajak rata-rats yakni total penerirnaan pajak impor (ekspot) di bagi dengan nilai impor (ekspor). Pendekatan ini relatif mudah namun mememiliki kelemahan. Kelarnahannya adalah pendekatan ini hanya mampu rnenangkap bentuk proteksi yang bemifat tarif. Sedangkan bentuk proteksi yang sifatnya non tarif seperti kuota, lisensi, prosedur impor atau ekspor yang birokratis, larangan ekspor dan impor tidak terukur. Pada hal, bentuk-bentuk proteksi non tarif ini sangat dominan dilakukan di negaranegara betkernbang termasuk Indonesia. Kelemahan lainnya adalah pendekatan ini tidak mampu menangkap pengaruh nilai tukar (overvalued atau undervalued). Kedua, pengukuran proteksi perdagangan dengan menggunakan tarif implisit yakni dengan mnghitung tingkat proteksi nominal sebagai berikut: NRP = (PDI PB - 1) ..................................... .... ..... , , (14) = Tingkatproteksinominal .-eD = Harga dornestik barang-barang impor atau ekspor -. PB = Harga border barang impor atau ekspor yang dinilai dalam NRP mata uang domestik dan dikareksi dengan biaya bongkar muat di pelabuhan ke pasar acuan di dalarn negeri. Metode ini merniliki keunggulan dalam pengukuran proteksi karena mnghitung bentuk proteksi tarif maupun non tarif. Namun, untuk menghitung tingkat proteksi tersebut cukup rumit karena harus menghitung harga domestik dan harga border untuk setiap jenis dan kualitas barang yang diekspor atau diimpor yang umumnya tidak mudah mmperoleh datadata yang diperlukan. Selain itu, pengukuran tingkat proteksi nominal ini juga belum mperhitungkan pengaruh distorsi nilai tukar. Ketiga, Pengukuran proteksi dengan menghitung koefisien protelrsi riil dengan mengkombinasikan proteksi nominal dan distorsi nilai tukar sebagai berikut: RPC - =(ECRIRER) (PDIPB) ............................ ......... (15) dimana: RPC = Koefrsien proteksi riil ECR = Nilai tukar nominal pasar RER = Nilai tukar keseimbangan Pendekatan proteksi riil tersebut telah mengakomodasikan pengaruh bentuk-bentuk proteksi tarif maupun non tarif serta distorsi nilai tukar. Namun betum mengakomadir pengaruh subsidi input di dalam negeri. Selain itu, metode pengukuran nilai tukar keseimbangan menjadi salah satu hat yang dapat diperdebatkan. ldealnya untuk m n gukur proteksi riil tersebut harus mng hitung disparitas harga domestik (tergantung pasar acuan) dengan harga border untuk setiap barang yang diperdagangkan secara intemasional. Masalahnya datadata yang diperlukan untuk itu apalagi data deret waktu yang relatif panjang umumnya tidak tersedia termasuk di Indonesia. Sebagai pendekatan (yang digunakan datam studi ini) pengaruh proteksi perdagangan, digunakan indeks proteksi nominal yang dihitung sebagai berikut: NPCMN = NPC't) PDMfl1IECRct,PWMfll [I+ trn(198~]...-.(16) PDM (issq I ECR (ism). PWM cim PDX a I ECR (t, WVX [1 = [ PDX t~mnl ECR (~gaq.PWX (torn - k (issnI.... . (17) dimana: NPCMet,= lndeks proteksi nominal impor tahun-t NPC&] = lndeks proteksi nominal ekspor tahun-t PDMfll = tndek harga perdagangan besar domestik barangbarang impor PDX (t, = lndek harga perdagangan besar d o m t i k barang- barang ekspor ECR (tl = Nilai tukar nominal = Rata-rata tarif impor yang dihitung dari total penerimaan pajak impor (termasuk pajak pertambahan nilai barang- tm barang impor) dibagi dengan nilai impor = Rata-rata pajak ekspor yang dihitung dari total penerimaan pajak ekspor dibagi dengan nilai ekspor PW = lndeks harga internasional barang-barang impor Indonesia. PWX =Indeks harga intemasional barang-barang ekspor Indonesia. NPCXMPCM = Bias kebijakan perdagangan PWXPWM = Nilai tukar barter &dagangan - Dengan mengkombinasikan persamaan (131, (16) dan (17 ) maka dapat dirumuskan indeks proteksi riil sebagai berikut. RPCM(t~ = RPCqt)= ECRttl . NPCM ltl ........................................ ( 18) RERs ECR (t> . NPCX (tl ........................................ (19) RER(t, dimana: RPCM = Indeks proteksi riil impor RPCX = lndeks proteksi riil ekspor Pendekatan proteksi perdagangan seperti persamaan (16) sampai persamaan (19) mmiliki sejumlah kelemahan yaitu: (1) Rata-rata tarif impor atau pajak ekspor pada tahun dasar (1987) belum tentu mencednkan tingkat proteksi yang sebenarnya, (2) Persamaan (3.16) dan (3.17) mengasumsikan bahwa biaya bongkar muat pelabuhan, biaya transportasi dari pelabuhan ke pasar acuan merupakan suatu persentase yang tetap dari nilai impor &u rnenggunakan tahun dassr 1987 sebagai nilai ekspor dan (3) dasar perhitungan keseimbangan nilai tukar (persamaan 13) mengasumsikan bahwa nilai tukar rupiah telah mendekati nilai keseimbangan pada tahun 1987 (setelah pemerintah mendevaluasi rupiah s e k i r 40 persen tahun 1986), masih dapat diperdebatkan. Oengan kelemahan yang demikian, jelas pendekatan tersebut tidak dapat digunakan pada studi-studi yang lebih mengutamakan akuntansi tarif atau perhitungan tarif absolut. Narnun stud! yang lebih mengutamakan k-nderungan perilaku seperti studi ini, pendekatan ter'sebut masih dapat digunakan dengan catatan bahwa indeks tarif tersebut merupakan ukuran relatif terhadap keadaan tahun dasar yakni tahun 1987. Berdasarkan pemikiran di atas, maka perilaku nilai tukar rupiah nominal di duga dipengaruhi oleh derajat intervensi pernerintah pada kurs rupiah (RECR), intervensi pemerintah pada perdagangan internasional (NPCmPCM) dan nilai tukar barter perdagangan luar negeri (PWXIPWM) mngikuti fungsi berikut. ECR = ECR ( RECR, NPCXMPCM, PWXIPWM) 3.3 .................. (20) Kebijakan Suku Bunga Tingkat suku bunga rnerupakan "harga' dari asset finansial atau *hargaU dad dana yang dapat dipinjamkan (loan8bEe). Namun, faktor- faktor apa yang mernpenganrhi tingkat suku bunga masih kontroversial dalam sejarah makroekonomi. Terdapat beberapa pandangan tentang faktor-faktor yang menentukan dan mempengaruhi tingkat suku bunga, yaitu: (1) pandangan ekonomi klasik; (2) pandangan Fisher (Fisher EfTect); (3) pandangan preferensi likuiditas dari Keynes (4) pandangan paritas suku bunga dan (5) pandangan kelembagaawebijakan pemerintah (Mankiw, 1997 ; Stegman and Junor, 1998). Menurut pandangan ekonomi klasik, tingkat suku bunga ditentukan oleh penawaran tabungan dan permintaan investasi. Penawaran tabungan bertitik tolak dari perilaku konsumen dalarn menggunakan pendapatan untuk konsumsi sekarang atau menunda konsumsi (tabungan) yang tergantung pada biaya korbanan konsumsi sekarang yakni suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin besar biaya korbanan konsumsi sekarang sehingga konsumen cenderung meningkatkan tabungan. Namun teori suku bunga ekonomi klasik ini rnendapat kritikan dari para ahli ekonomi, karena tidak ada bukti yang konsisten bahwa peningkatan tabungan akan mnurunkan suku bunga dan permintaan investasi akan menaikkan suku bunga. Menurut pandangan teori preferensi likuiditas, tingkat suku bunga ditentukan oleh permintaan dan penawaran uang . Teori preferensi likuiditas ini bertitik tolak dari teori permintaan uang untuk spekulasi dari Keynes, yang melihat uang sebagai asset (teori portfolio). Menurut teori portfolio Keynes, keputusan apakah memilih memegang uang tunai . dengan kehilangan pendapatan bunga atau memgang surat-surat berharga dengan mmperoleh penciapatan tertentu namun rnengandung resiko kerugian (capital loss), tergantung pada ekspektasi prgerakan suku bunga dimasa yang akan datang bedasarkan tingkat .suku bunga saat ini. Pada umumnya bila suku bunga saat ini naik. maka sebagian besar pelaku ekonomi akan memperkirakan suku bunga akan turun dimasa yang akan datang, sehingga pemintaan akan surat-surat berharga saat ini akan turun. Dengan asumsi bahwa penawaran uang eksogenus (ditentukan oleh otoritas moneter) maka tingkat suku bunga ditentukan oleh perubahan pemintaan dan penawaran uang. Pandsngan Fisher bertitik tolak dari pentingnya peranan ekspektasi inflasi dati perilaku ekonomi dalam menentukan tingkat suku bunga. Fisher membedakan antara suku bunga nominal dengan suku bunga riil mlalui persamaan Fisher berikut. INRI = INTR + ElNF ................ ......... ............. .............. ( 21) dimana : INRI = Tingkat suku bunga nominal INTR = Tingkat suku bunga riil ElNF = Ekspektasi tingkat infiasi Menurut Fisher perubahan tingkat suku bunga nominal disebabkan oleh perubahan suku bunga riil, perubahan tingkat inflasi atau keduaduanya. Tingkat suku bunga riil ditentukan oleh lceseimbangan tabungan dan investasi. Sedangkan tingkat inflasi ditentukan oleh penawaran uang (mengikuti persamaan kuantitas Fisher). Hubungan antara tingkat inflasi dengan tingkat suku bunga ini disebut dengan FMer E M yakni setiap peningkatan penawaran uang satu persen akan mnyebabkan kenaikan inflasi satu persen dan setiap kenaikan satu persen inflasi akan menaikkan satu persen tingkat suku bunga nominal. Pandangan Fisher ini memperoleh pembenaran secara empiris, misalnya pada perekonomian Amerika Serikat pada kurun waMu tahun 1952-1995 dimana terdapat hubungan yang positif antara tingkat inflasi dengan tingkat suku bunga nominal (Mankiw, 1997). Persamaan tingkat suku bunga Fisher tersebut mngasumsikan perekonornian tertutup. Dalam perekonornian terbuka teori paritas suku bunga berpandangan bahwa suku bunga domestik ditentukan oleh tingkat suku bunga dunia dengan ekspektasi depresiasi mata uang domestik melalui persamaan paritas sebagai berikut. INRI = lNRW + A E ........................ . .... ... .... ......... ...... (22) dimana : INRI = Tingkat suku bunga domestik INRW = Tingkat suku bunga dunia AE = Ekspektasi depresiasi mata uang domestik Teori paritas suku bunga ini pada dasamya bertltik tolak pada pilihan memegang surat-surat berharga domestik dengan surat-surat berharga luar negeri, dimana perbedaan suku bunga domestik dengan luar negeri merupakan kompensasi resiko kemungkinan depresiasi mata uang domestik. Dengan demikian perubahan suku bunga domestik disebabkan oleh perubahan tingkat suku bunga dunia dan ekspektasi depresiasi mata uang d m s t i k . Tmri Klasik, Keynes, Fisher maupun paritas suku bunga berpendapat bahwa tingkat suku bunga ditenhrkan oleh mekanisme pasar dengan mengasumikan pasar finansial, telah berkembang dalam perekonomian dan mobilitas kapital secara internasional berlangsung secara sempuma dan simtris. Namun pada kenyataannya teori paritas suku bunga jarang terpenuhi sehingga perbedaan svku bunga dwnestik dan internasional tetap tejadi secara persisten (Stegman and Junor, 1998). Di negara-negara berkembang, umumnya pasar finansial belum berkembang dengan baik yang dicirikan oleh keterbatasan organisasi finansial, keterbatasan bentuk-bentuk as& finansial, keterbatasan subsitusi antara uang dan aset finansial sehingga tingkat suku bunga lebih ditentukan secara administrati (kebijakan -pemerintah) daripada hasil mekanisme pasar (Gathak, 1983). Secara teoritis, pemrintah mlalui otoritas mneter dapat mmpengaruhi tingkat suku bunga pasar melalui instrumen tingkat suku bunga diskonto. Naik turunnya tingkat suku bunga pasar diperkirakan dipengaruhi oleh naik turunnya suku bunga diskonto dari bank sentral (Bank Indonesia). Variabel penting yang dipertimbangkan otoritas mneter dalam menentukan suku bunga diskonto diduga adalah depresiasi rupiah. Semakin terdepresiasi rupiah semakin meningkat suku bunga diskonto dengan harapan suku bunga di pasar uang akan meningkat sedemikian rupa. sehingga masyarakat tidak akan merubah keputusan manajemn portofolionya dari mata uang rupiah. Selain itu, suku bunga di lndonesia juga diperkirakan dipengaruhi oleh defisit transaksi berjalan. Hal ini mengikuti teori keseirnbangan neraca pembayaran (balance of paymenf) dimana bila terjadi defisit transaksi berjalan, suku bunga domestik akan naik untuk menarik arus masuk modal asing (capital inflow) untuk menutup defisit transaksi berjalan yang terjadi. Dengan pemikiran di atas, perilaku suku bunga di Indonesia diperkirakan dipengaruhi oleh tingkat suku bunga diskonto, suku bunga internasional, depresiasi mata uang rupiah dan jumlah uang beredar sebagai berikut. INRI = INRI (DINRI, MSR, DCA)....... ....... ................ ........ (23) DlNRl = DlNRl (DEPR) dimana : 3.4 INRI = Ttngkat suku bunga nominal DEPR MSR = Laju depresiasi nilai tukar rupiah nominal = Jumlah uang beredar di lndonesia DINR1 = Tingkat suku bunga diskonto dari Bank lndonesia DCA = Defisit Transaksi bejalan Indonesia Perilaku lnflasi Teori perilaku inflasi pada umumnya bertolak pada penyebab terjad inya kenaikan harga-harga umum dalam perekonomian, yakni kenaikan permintaan (demancCpull inflation) dan kenaikan biaya produksi (cost- push inflation) dalam perekonomian (Branson and Lihrack, 1981); Manki, 1997; Stigman and Junor, 1998). Menurut pandangan kenaikan perminban, inflasi merupakan fenomena kelebihan permintaan agregat dalam perekonomian. Setidaktidaknya terdapat dua pandangan yang menjelaskan terjadinya inflasi akibat kelebihan permintaan tersebut yakni pandangan Keynesian dan pandangan moneteris. Pandangan Keynesian mngemukakan bahwa inflasi merupakan fenomena sektor riil yang diakibatkan oleh peningkatan permintaan atau pengeluaran agregat yang mlampaui peningkatan produksi agregat atas barang dan jasa dalam perekonomian. Hal ini dapat dijelaskan melalui persamaan berikut. dimana: P = Tingkat harga-harga urnurn AE = Nilai nominal output (pengeluaran) agregat AS = Nilai riil output (tingkat produksi) agregat Dalam bentuk perubahan, persamaan (24) dapat dirumuskan sebagai berikut: Dimana: A P = Tingkat inflasi A AE = taju perubahan pengeluaran agregat A AS = Laju perubahan produksi agregat Dengan demikian persamaan (25) menjelaskan bahwa inflasi terjadi bila pengelusran agregat (permintaan agregat) melampaui laju produksi agregat (penawaran agregat). Pandangan moneteris mengemukakan bahwa inflasi merupakan fenomna moneter yang disebabkan kelebihan uang beredar. Pandangan moneteris ini bertolak dari teori kuantitas uang sebagai berikut. dimana: M = Jumlah uang beredar V = Kecepatan perputaran uang = Tingkat harga-harga umum = Tingkat prduksi agregat P Y -. Dalam bentuk perubahan, persamaan (26) dapat dirumuskan sebagai krikut. dimana: A P = Tingkat inflasi A M = Pertumbuhan uang beredar A V = Laju kecepatan perputaran uang A Y = Pertumbuhan produksi agregat yang negatif antara perhrmbuhan pendapatan per kapita dengan pangsa sektor pertanian. Sebaliknya hubungan positif teqadi pada pangsa ~ektor industri maupun jasa. Dengan meningkatnya pendapatan per kapita, pangsa sektor pertanian dalam PDB mengalami penurunan sebaliknya pangsa sektor industri dan jasa mengalami peningkatan. Chenety and Taylor (1968) menganalisis kaitan antara perubahan struktur ekonomi dengan memperhatikan besar kecilnya negara dan kebijakan perdagangan. Oengan menggunakan datadata 54 negara dalam kurun waktu tahun 1950-1963, beliau menggolongkan menjadi tiga kelompok negara, yakni negara besar dengan jumlah penduduk lebih dari 15 juta jiwa; negara kecil dengan basis ekonomi sektor primer dan negara kecil dengan basis ekonomi sektor industri (bedasarkan pangsanya dalam PDB maupun dalam ekspor). Hasil studi menunjukkan bahwa besar kecilnya negara dan basis ekonomi, kebijakan perdagangan, temyata rnempengaruhi kecepatan perubahan stnrktur perekonomian. Pada negara besar, pangsa sektor industri meningkat sangat cepat sementara pangsa sektor pertanian menurun cepat. Ketika pendapatan perkapita masih kurang atau sama dengan US $100, pangsa sektor industri hanya 16 persen. Namun ketika pendapatan perkapita meningkat menjadi US $400 pangsa sektor industn meningkat cepat menjadi 32 persen. Kemudian ketika pendapatan per kapita naik menjadi US $ 1000, pangsa sektor industri mengalami perlambatan peningkatan yakni menjadi sekitar 37 persen. Hal yang menarik dari studi ini adalah ternyata negara kecil yang basis ekonominya pada sekbr primer dan menganut kebijakan perdagangan terbuka, tidak mengalami perubahan struktural yang normal (seperti negara besar). Namun, negara kecil yang basis ekonominya pada sektor industri dan menganut kebijakan perdagangan terbuka cenderung rnenyerupai negara besar dimana perubahan struktur ekonominya lebih cepat. Chenery, Elington and Sins (1970) menganalisis 18 indikator perubahan struktural pada 100 lebih negara dengan rentang pendapatan perkapita antara US $ 50 sampai US $ 2000. Beberapa indikator diantaranya adalah pangsa sektor primer dalam PDB, pangsa sektor industri dalam PDB, pangsa penyerapan tenaga keja pada sektor primer dan sektor industri, serta pangsa konsumsi makanan dalam konsumsi - total. Hasil studi menunjukkan bahwa meningkatnya pendapatan per kapita dari US $ 5 0 menjadi US $2000, menurunkan pangsa sektor primer dalam PDB dari sekitar 58 persen menjadi 10 persen. Sementara pangsa sektor industri meningkat dari sekitar 7 persen menjadi sekitar 40 persen. Dalam penyerapan tenaga keja juga mengalami kecenderungan yang sama yakni pangsa sektor primer turun dari 43 persen menjadi hanya 7 persen, sebaliknya pangsa sektor industri naik dari 7 persen menjadi 40 persen. Selama itu, pangsa konsumsi makanan dalam total konsumsi juga mengalami penurunan yakni dari 62 persen menjadi sekitar 25 persen. Chenery and Syrquin (1975) menganalisis kaitan antara peningkatan pendapatan perkapita dengan (antara lain) struktur produksi, struktur permintaan dornestik dan struMur perdagangan pada 101 negara yang berpendapatan per kapita riil dari US $100 dalam kurun waktu tahun 1950 sampai tahun 1970. Hasil studi menunjukkan bahwa meningkatnya pendapatan per kapita dari US $ 100 menjadi US $ 1000 diikuti oleh perubahan struktur produksi (PDB) yakni pangsa sektor pertanian turun dari 45 persen menjadi 14 persen, sementara pangsa sektor industri naik dari 15 persen menjadi 34 persen. Pangsa konsurnsi total dari PDB turun dari sekitar 39 persen menjadi 17 persen. Hal yang sama juga terjadi pada konsumsi rumah tangga yakni turun dari sekitar 72 persen menjadi 62 persen. Mengikuti penunrnan pangsa sektor primer dalam PDB, pangsa ekspor bahan mentah dalam total ekspor turun dari sekitar 4 3 persen menjadi 10 persen. Sedangkan pangsa ekspor barang-barang industri jasa naik dari 2 persen menjadi 10 persen. Branson, Guerrero and Gunter (1998) menganalisis perubahan struktur ekonomi dengan menggunakan 46 indikator perubahan struktural pada 93 negara dalam kurun warn tahun 197&1994. Negara-negara yang dianalisis dibagi atas 4 (empat) kelompok yaitu : negara pendapatan rendah dengan rata-rata pangsa sektor pertanian sekitar 36 persen (39 negara), negara berpendapatan menengah terbawah (lower - middle - income) dengan pangsa sektor pertanian rata+ata 19 persen (22 negara), negara berpendapatan menengah teratas (upper - middle - income) dengan pangsa sektor pertanian rata-rata 13 persen (11 negara) dan negara berpendapatan tinggi dengan pangsa pertanian sekitar 4 persen (21 negara). Hasil studi tetap kmsisten dengan studi-studi sebelumnya sebagai brikut: (1) meningkatnya.pendapatsn per kapita menurunkan pangsa sektor pettanian dan sebaliknya meningkatkan pangsa sektor non pertanian, (2) pangsa investasi dalam PDB meningkat dengan meningkatnya PDB, (3) pangsa tabungan meningkat dengan meningkatnya PDB, sebaliknya pangsa konsurnsi baik konsumsi total maupun swasta menurun, (4) pangsa pengeluaran dan penerimaan pemerintah umumnyalebih besar pada negara berpendapatan tinggi dibandingkan pada negara berpendapatan rendah, (5) defisit transaksi berjalan dan surplus neraca modal makin menurun dengan meningkatnya intensitas (keterbukaan) perdagangan, (6) pangsa ekspor dalm PDB meningkat dengan meningkatnya PDB per kapita, (7) konsentrasi produk -, ekspor pada negara berpendapatan tinggi lebih tinggi daripada negara berpendaptan rendah, dan (8) terdapat hubungan yang positif antara peningkatan pendapatan dengan perkembangan pasar finansial. Hasil-hasil studi tersebut seluruhnya konsisten yakni pangsa sektor pertanian dalam PDB mengalami penurunan dalam perekonomian yang sedang bertumbuh. Fenomena yang sama juga tejadi dalam perekonomian Indonesia (Anwar, 1983 ; World Bank, 1990, 1991, 1992 ; Martin and Warr, 1933 ; Simatupang dan Mardianto, 1996), dimana pangsa sektor perkanian ,mengalami penurunan dengan meningkatnya pembangunan (PDB). Menurunnya pangsa sektor pertanian dalam perekonomian yang krtumbuh berarti iaju pertumbuhan s&br pertanian labih rendah daripada laju pertumbuhan sektor non pertanian dengafl sektor non pertanian dalam perekonomian. 2.6.3. FaMor Yang Mempengaruhi Kontribusi Sektor PertanIan Penurunan pangsa sektor pertanian dalam perekonomian yang bertumbuh disebabkan oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu : penurunan harga relatif komoditas pertanian terhadap harga prduk n m pertanian, perbedaan laju perubahan teknologi dan perubahan relatif faktor produksi (Martin and Warr, 1993) Penurunan harga relatif tersebut berkaitan dengan Hukum Engel dimana elastisitas pendapatan dari permintaan bahan-bahan pangan umumnya relatif kecil (inelastis), sementara produk-produk non pertanian umumnya elastis. Sehingga bila pendapatan meningkat persentase kenaikan konsumsi pangan tebih kecil dari persentase kenaikan pendapatan. Sebaliknya persentase kenaikan konsumsi produk-produk non pertanian lebih besar dari persentase kenaikan pendapatan. Akibatnya harga bahan pangan cenderung menurun secara relatif terhadap harga produk non pertanian (efek hukum Engel). Pengaruh perbedaan laju perubahan teknolcgi berkaitan dengan karakteristik perubahan teknologi antara sektor pertanian dengan sektor non pertanian. Perbaikan teknologi di sektor pertanian umumnya bias terhadap sektor non pertanian, dimana kemajuan kknologi sektor pertanian ~ e n d e ~ n g mensubstitusi input sektor pertanian yang berasal dari sektor pertanian &wan produk asal sektor non pertanian (misalnya penggantian pupuk organik dengan pupuk anorganik, penggantian tenaga keja temak dengan traktor). Sementara perbaikan teknologi pada sektor non.peitanian cenderung makin menghemat penggunaan bahan baku. Selain itu, kernajuan teknologi pada sektor pertanian akan menggeser kuwa penawaran produk pertanian ke kanan yakni jumlah yang ditawarkan meningkat sehingga harga turun (efek perubahan Teknologi). Kemudian pengaruh perubahan relatif faktor berkaitan dengan Efek Rybczynski yang menyatakan bahwa jika kapatal stok agregat meningkat relatif terhadap tenaga kerja, maka output dari sektw ekonomi yang relaW padat modal akan naik dengan proporsi yang kbih besar dad kenaikan kapital stok (diasumsikan teknologi berada pada kondisi constant return to scale), sementara output sektor ekonomi yang relatif padat karya akan menurun secara absolut. Hasil studi empiris mernbenarkan ha1 tersebut. Hasil studi Chenery and Syrquin (1975) dan Branson, Guerrero and Gunter (1998) mengungkapkan bahwa pangsa konsumsi makanan dalarn konsumsi agregat mengalami penurunan dengan meningkatnya pendapatan per kapita penduduk. Untuk kasus Indonesia juga membenarkan fenomena tersebut. Martin and Wan (1933) mengemukakan babwa efek Hukum Engel, efek Perubahan Teknologi dan efek Rybczynski dapat menjelaskan penunrnan pangsa sektor pertanian dalarn PDB non migas di Indonesia. Hal yang menarik dari studi tersebut adaiah temyata efek Rybcrynski lebih besar - pengaruhnya dibandingkan dengan efek Hukum Engel maupun efek Perubahan Teknologi. Studi lainnya di Indonesia juga menunjukkan bahwa fenomena diatas juga berlaku. Simatupang (1992), Simatupang dan. Isdijoso (1992) menjelaskan secara teoritis dengan baik bahwa : (1) nilai tukar barter pertanian makin memburuk bila laju produksi sektor pertanian akibat peningkatan teknologi semakin besar, (2) peningkatan pendapatan perkapita akan menurunkan nilai tukar barter sektor pertanian, dan (3) nilai tukar barter sektor pertanian akan membaik bila laju pertumbuhan penduduk semakin besar, laju produksi sektor non pertanian yang diakibatkan perbaikan teknologi semakin besar dan bila laju kemajuan teknologi sektor pertanian. Penjelasan teoritis ini konsisten dengan hasil empiris yakni nitai tukar barter sektor pertanian bemubungan positif dengan perturnbuhan prcduksi sektor non pertanian dan bemubungan negatif dengan laju pertumbuhan produksi sektor pertanian. Efek Hukum Engel yang menjelaskan penurunan pangsa sektor pertanian mendapatkan kritikan dari Cavaljo and Mundlak (1982). Menurut Cavallo and Mundlak, efek Hukum Engel tersebut pada penurunan pangsa sektor pertanian hanya berlaku pada ekonomi tertutup. Pada ekonomi terbuka dengan asumsi setiap negara adalah price taker pada pasar hasii pertanian dunia, setiap negara dapat meningkatkan produksi pertaniannya tanpa harus mengakibatkan penurunan harga relatif produk pettanian di pasar domestik. Bila dikaitkan dengan fakta bahwa peningkatan produksi sektor pertanian justru menunrnkan pangsa sektor pertanian secara drastis di banyak negara temasuk di Indonesia, maka pandangan Cavallo dan Mundlak tersebut menjelaskan bahwa penurunan pangsa pertanian yang sangat cepat disebabkan suatu strategi kebijakan ekonmi yang menrgikan sektor pemnian atau suatu kebijakan yang menguntungkan seMoi non pertanian. Pandangan ini sesuai dengan pandangan Bale and Lutz (1982) maupun Schiff and Valdes (1998) yang menyatakan bahwa sebagian besar kebijakan di negara-negara berkembang bias terhadap sektor non pertanian sehingga sektor pertanian menjadi undervalued. Hasil studi Gupta (1977) di Indonesia mendukung pandangan tersebut yakni kebijakan ekonomi bias ke sektor non pertanian dan terlalu menekankan pengembangan industri yang sedikit menyerap tenaga kerja dan tekanan pada penggunaan devisa. Kebijakan pembangunan ekonomi p n g bias terttadap sektor non pertanian dan mengorbankan sektor pertanian berkaitan dengan pandangan umurn pembangunan ekonomi khususnya pada awal pembangunan dengan cara memeras sektor pertanian untuk membiayai pembangunan sektor non pertanian (Marxian thesis) yang dikenal dengan pembangunan yang memeras ganda sektor pertanian (double development squeeze) sebagaimana dikemukakan Lewis (1954) dan Nurkse, 1953). Berbagai bentuk pernerasan ganda sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi (Yoto Poulus and Nugent, 1976) adalah : (1) kebijakan harga produk pertanian rnurah untuk membiayai pembangunan indushi (Manrist-Lennist Appmch), (2) kebijakan harga tinggi produk pertanian yang disertai dengan penarikan pajak yang tinggi (Pendekatan Meiji Jepang) dan (3) perbaikan teknologi seMor pertanian (MilkManhall Model). Ketiga bentuk pemerasan pertanian dimaksudkan untuk mempermurah upah tenaga keja dan bahan baku di sektor industri sedemikian rupa, sehingga dapat mempercepat pengembangan sektor industri. Dengan demikian, menurut pandangan tersebut fenomena penurunan pangsa sektor pertanian dalam perekonomian merupakan sesuatu yang direncanakan (by design) unkrk mempercepat pembangunan industri. Pembangunan indusbi dengan cara merneras sektor pertanian mungkin dapat diterima pada kondisi suatu negara dimana sebagian besar penduduknya tidak lagi menggantungkan kehidupan ekonorninya pada sektor pertanian dan peluang pasar produk-produk industri masih terbuka luas di pasar internasional sebagaimana pada awal pembangunan ekonomi di negara-negara yang saat ini disebut negara-negara industri maju. Namun pada negara-negara berkembang seperti Indonesia yang penduduknya sebagian k s a r masih di sektor pertanian dan potensi pasar produk industri di pasar internasional sudah dikuasai negara-negara maju, memeras sektor pertanian untuk membiayai industri merupakan kebijakan yang kontra produktif. 2.6.4 Keterlraitan Pertumbuhan Sektor Pertanian dengan Sektor Non Pertanian Sektor pertanian dan sektor non pertanian merupakan suatu sistem dalam perekonmian oleh karena itu sektor pertanian dengan sektor non pertanian memiliki keterkaitan ekonomi yang saling mempengaruhi kinej a kedua sektor tersebut. Paling tidak, terdapat 5 (lima) mekanisme keterkaitan ekondmi antara seMor pertanian dan non pertanian (Rangrajan, 1982) sebagai berikut, Pertarna, seMor pertanian menghasilkan bahan baku bagi seMor non pertanian. Produksi sektor pertanian berupa bahan pangan dan non pangan menrpakan input &ma dari sektor non pertanian seperti industri pengolahan hasil pertanian dan perdagangan, restoran. Kedua, sektor non pertanian menghasilkan input yang diperlukan-olehsektm pertanian. Pupuk, pestisida, mesin peralatan pertanian dan berbagai jenis jasa merupakan hasil sektor non pertanian yang mnjadi input sektor pertanian. Ketiga, seMor pertanian (rumah tangga pertanian) merupakan pasar bagi output akhir sektor non pertanian. Bahan pangan olahan, sandang dan papan serta berbagi jenis jasa-jasa yang dihasilkan oleh sektor non pertanian di konsumsi oleh rumah tangga pertanian. Keempat, keter- kaitan melalui tabungan pemerintah dan investasi publik. Peningkatan output sektor pertanian akan secara langsung meningkatkan penerimaan pajak tak langsung pemrintah yang selanjutnya digunakan untuk mem biayai investasi publik. Peningkatan investasi publik ini akan ningkatkan permintaan barang-barang modal yang dihasilkan me sektor non pertanian. Kelima, keterkaitan mdalui perilaku investasi swasta. Harga komoditas pertanian yang reahif rendah dan stabil, akan merangsang investasi swasta pad8 sektor non pertanian. Sebaliknya kenaikan harga komodiatas pertanian akan mengurangi insentif investasi swasta pada &tor pertanian. Hal ini diebabkan karena naik turunnya non harga komoditas pertanian akan meningkatkan atau menumnkan biaya produksi sektor non pertanian baik melalui kenaikan atau penurunan biaya bahan baku maupun upah tenaga kerja. Dengan keterkaitan demikian, petumbuhan sektor pertanian dengan pertumbuhan sektor non pertanian secara teoritis akan saling mendukung pertumbuhan ekonomi agregat. Studi yang dilakukan Bank Dunia (Timer, 1988) tentang keterkaitan pertumbuhan sektor dengan sektor non pertanian (pertumbuhan ekonomi) menunjukkan ha1 tersebut. Dari 23 negara yang pangsa sektor pertanian dalam PDB leWh dari 20 persen dan laju pertumbuhan PD8 lebih dari 5 persen per tahun, 17 negara diantaranya mengalami petumbuhan sektor pertanian lebih dan 3 persen per tahun. Sedangkan 11 negara yang mengalami pertumbuhan PDB dibawah 3 persen per tahun, tingkat pertumbuhan sektor pertanian hanya mencapai satu persen atau kurang. Fenomena ini terkecuali pada negara-negara yang perekonomiannya bersurnber dan rnlgas dan bahan tambang dimana pertumbuhan PDB yang cepat disertai oleh pertumbuhan sektor pertanian yang lambat. Hasil studi Bank Dunia tersebut juga menunjukkan bahwa perbedaan pertumbuhan sektor non pertanian dengan pertumbuhan ekonomi agregat adalah sekitar 2 persen baik pada q a r a yang mengalami pertumbuhan ekonomi agregat lebih dari 5 persen maupun kurang dari 3 persen per tahun. Fenomena yang berbeda ditemukan di India. Rangrajan (1982) menganalisis pertumbuhan sektor pertanian, industri dan ekonomi agregat India dalam kurun waktu tahun 1961-1976. Hasil simulasi menunjukkan bahwa setiap pertumbuhan sektor pertanian satu persen, hanya meningkatkan pertumbuhan sektor industri 0,5 persen dan ekonomi agregat 0,7 persen. Perbedaan kedua studi tersebut mungkin disebabkan oleh tingkat keterkaitan sektor pertanian dengan sektor non pertanian dimana di India keterkaitan tersebut relatif lemah. Keterkaitan sektor pertanian dengan sektor non pertanian yang relatif lemah juga terjadi di Indonesia. Dengan rnenggunakan Tabel input-output Indonesia tahun 1980, Sumartono (1985) mengungkapkan bahwa koefisien ketefkaitan langsung ke depan sektor pertanian hanya (rat-ta) 0.44 dan koefisien keterkaltan ke belakang hanya 0.34 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor non pertanian belum banyak menggunakan output sektor pertanian dalam proses produkslnya. Sebaliknya sektor pertanian juga belurn banyak menggunakan output sektor non pertan~an. Keadaan yang kurang leb~hsama juga drtemukan Oasnl ( 1993). Dengan menggunakan Tabel input-output Indonesia tahun 1971, 4975, 1980 dan 1985 mengemukakan bahwa keterkaitan sektor pertanian dengan sektor non pertanian masih lemah meskipun cendenrng meningkat Bahkan keterkaitan sekitar pertanian dengan industri pengolahan hasi pertanian juga masih lemah yakni brkisar antara 0.050sampai dengan 0.63, kecuali industri penggilingan padigadian. Selain itu, temyata ketehitan ke belakang tidak langsung total lebih b a r dari keterkain ke betakang tidak langsung domestik pada umumnya terjadi pada semua sektor. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pertumbuhan sektor-sektor ekonomi Indonesia makin tergantung pada impor. Hal lain yang menarik dad studi ini adatah ternyata keterkaitan ke depan tidak langsung transaksi domestik sektor pertanian cenderung metemah, sedangkan keterkaitan tidak langsung transaksi domestik sektor non pertanian cenderung menguat. Fenornena ini sesuai dengan kenyataan bahwa peranan sektor pertanian dalam pembentukan PDB makin menurun sedangkan peranan sektor non pertanian makin meningkat. - Secrrra keseluruhan hasil studi ernpiris keterkaitan sektor pertanian dengan sektor non pertanian menunjukkan bahwa keterkaitan yang lemah antara pertumbuhan sektor pertanian dengan sektor non pertanian cenderung menurunkan peranan sektor pertanian dalam pembentukan PDB. Namun belum menunjukkan faktor-faktor apa yang menyebabkan lemahnya keterkaitan tersebut. 2.6.5 Pengaruh Kebijakan Makroekonomi Tehadap Sektor Pertanian Edward Schuh merupakan diantara ahli-ahli ekonomi yang pertama kali melihat keterkaitan kebijakan makroekonomi pada sektor pertanian. Pada awalnya Schuh (1974) melihat pengatuh kebijakan nlai tukar (kurs) terhadap selrtor pertanian di Arnerika Serikat. Kemudian Schuh (1976, 1986) melihat kebijakan makro yang lebih luas terhadap sektor pertanian. Menurut Schuh interaksi antara kebijakan makroekonomi terhadap sektor pertanian adalah melalui pengaruhnya pada inflasi, nilai tukar riil, suku bunga riil dan insentif eksporirnpor pertanian. Byerlee and Halter (1974) menggunakan tabel input-output Nigeria untuk melihat keterkaitan beberapa variabel makro dengan sektor pertanian. Studi tersebut membedakan dua keterkaitan ke atas (upward linkages) yaitu variabel-variabel sektor pertanian (ekspor, impor, investasi, pendapatan, tenaga kerja, teknolcgi dan harga pertanian) yang mempengaruhi perekonomian makro, keterkaitan lainnya adalah keterkaitan ke bawah (downward linkages) yakni variabel-varia be1 makro (pendapatan, penduduk, konsumsi sektor non pertanian) yang mempengaruhi sektor pertanian. Salah satu hasil simulasiAyangdilakukan adalah kebijakan promosi ekspor pertanian dapat meningkatkan pendapatan sektor pertanian dan sektor non pertanian, McFall Lamn (1980) mernbangun persamaan ekonometrika simultan untuk melihat keterkaitan kebijakan makro terhadap sektor pertanian Hasil simulasi mengungkapkan bahwa harga (inflasi) merupakan media transis1 kebijakn makro terhadap sektor pertanian. Selain itu juga mengungkapkan bahwa subsidi pemerintah dalam bentuk dukungan harga justru bersifat kontra-produktif terhadap peningkatan produksi dan kesempatan kerja dl sektor pertanian. Cavallo and Mundlak (1982) membangun model ekonometrik persamaan simultan keterkaitan antara sektor pwtanian dengan perekonomian makro di Argentina. Hasil simulasi sntara lain menunjukkan bahwa jika kebijakan makro diarahkan untuk memanfaatkan keunggulan komparatif pada ekspor produk pertanian, Argentina dapat menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Kebijakan liberalisasi perdagangan yang disertai dengan pengelolaan nilai tukar yang tepat dapat meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian dan sektor non pertanian. Demikian juga pengalokasian sebagian pajak tak langsung pada investasi pemerintah (mengurangi konsumsi pernerintah) dapat rneningkatkan pendapatan per kapita. Timer (1984) menggunakan model ekonmetrik persamaan simultan untuk menganalisis pengaruh kenaikan harga minyak (oil boom) terhadap sektor pertanian pada negara eksportir dan importir minyak. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak merugikan sektor pertanian karena kenaikan inflasi di dalam negeri tidak di transmisikan pada depresiasi mats uang domestik. Oleh karena itu studi tersebut merekomendasikan perlunya pengelolaan kebijakan makroekonomi yang tepat guna mencegah kemerosotan sektor pertanian akibat oil boom. Rausser et.al (1986) menggunakan model ekonometrik persamaan simultan untuk menganalisis keterkaitan makroekonomi dengan sektor pertanian di Arnerika Serikat. Hasil studi mengungkapkan bahwa vanakl ekspor merupakan media transmisi penting penganth kebijakan makro terhadap sektor pertanian. Timer (1986) menganalisis keterkaitan kebijakan makroekonomi terhadap sektor pangan di Indonesia. Studi tersebut mengungkapkan bahwa nilai tukar mata uang rupiah merupakan variabel yang sangat penting sebagai media transmisi penganlh kebijakan makro tehadap seMor pangan. Temuan yang sama juga dikemukakan Dorosch (W86) bahwa variabel inflasi dan nilai tukar memiliki pengaruh luas pada sektor pangan di Indonesia. Monke and Pearson (1989) mengemukakan bahwa kebijakan fiskal dan kebijakan moneter mempengaruhi sektor pertanian melalui pasar kapital ban pasar valuta asing yang selanjutnya mempengaruhi pasar kornoditi sektor pertanian. Dengan perkataan lain media transmisi kebijakan makro mempengaruhi pertanian adalah melalui suku bunga, nilai tukar dan harga (inflasi). lsdijoso (1992) membangun model ekonomi makro dan keterkaitan dengan sektor pertanian Indonesia. Variabel yang menjadi media transmisi penganrh kebijakan makro terhadap sektor pertanian antara lain adalah kredit, konsumsi pemerintah, ekspor, impor dan inflasi. Simatupang dan Mardianto (1996) menganalisis pengaruh kebijakan moneter dan kurs terhadap transfomasi struktur perekonomian Indonesia. Oengan menggunakan model ekonometnik sedethana (persamaan tunggal) menyimpulkan bahwa kredit dan nilai tukar barter pertanian merupakan media transmisi pengaruh kebijakan moneter terhadap sektor pertanian. Selain itu, juga disimpu!kan bahwa peningkatan jumlah uang beredar dan devaluasi mata uang rupiah menguntungkan sektor pertanian. Lachaal and Womaek (1998) menganalisis pengaruh kebijakan perdagangan dan makroekonomi pada sektw pertanian Kanada, khususnya melihat peranan nilai tuhr (kurs) dan kebijakan makroekonomi. Hasil studi tersebut mengungkapkan bahwa harga relatif produk pertanian yang diukur rnelalui rasio deflator PDB pertanian dengan indeks harga konsumen sangat dipenganrhi oleh kebijakan makro dan mempengaruhi sektor pertanian. Kebijakan makro yang inflasioner seperti ekspansi moneter menurunkan harga relatif pertanian dan output sektor pertanian. Selain studi-studi yang menganalisis pengaruh berbagai kebijakan makroekonomi terhadap sektor pertanian, terdapat sejumlah studi yang hanya melihat penganrh satu variabel makro yang mempengaruhi sektor pertanian dimana variabel makro lainnya dijadikan variabel eksogenus. Beberapa studj yang dimaksud adalah studi yang memusatkan perhatian pada pengaruh nitai tukar dan perdagangan terhadap sektor pertanian. -' Setelah Edward Schuh (1974) mengungkapkan pengaruh kebijakan nilai tukar (kurs) terhadap sektor pertanian, banyak studi yang dilakukan para ahli ekonomi mengenai ha1 yang sama di berbagai negara berkembang. Beberapa diantaranya akan diuraikan berikut ini. Garcia (1981) menganalisis pengaruh kebijakan nilai tukar pada sektor pertanian di Colombia. Hasil studi tersebut mengungkapkan bahwa nilai tukar peso yang overvaIued tidak hanya menghambat ekspor sektor pertanian tapi juga menghambat pengembangan produk baru untuk diversifikasi ekspor. Tshibaka (1986) menganalisis pengamh kebijakan perdagangan dan nilai tukar temadap sekbr pertanian di Zaire. Hasil shldi tersebut mengungkapkan bahwa kebijakan proteksi (melalui tarif dan nilai tukar) pada regim substitusi impor brdampak pada proteksi sektor pertanian. Setiap kenaikan satu persen kenaikan harga barang-barang impor di dalam negeri, menyebabkan kenaikan pajak ekspor pertanian sebesar 0.52 persen. Artinya, kebijakan melindungi sektor indusk! domestik pada hakekatnya juga menerapkan pajak implisit pada ekspor pertanian sehingga juga menekan perturnbuhan sektor pertanian. Oyejide (1986) menganalisis pengaruh kebijakan perdagangan dan nilai tukar terhadap sektor pertanian Nigeria pada masa oil boom. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa sekitar 55 sampai 90 persen dari kenaikan tarif impor industri ditransmisikan dalam bentuk pajak implisit ekspor pertanian sehingga menghambat pertumbuhan sektor pertanian. Selain itu,-tejadi Dutch Disease pada masa oil boom juga menghambat sebr pertanian. Subsidi ekspor pertanian yang diberikan pemerintah Nigeria pada periode yang sama temyata juga tidak dapat mengimbangi dampak negatif Dutch Disease dan kebijakan nilai tukar serta perdagangan pada sektor pertanian. Bautista (1987) menganalisis pengaruh kebijakan nilai tukar dan perdagangan terhadap sektor pertanian di Philipina. Hasil studi tersebut mengungkapkan bahwa mata uang peso telah mengalami overvalued sekitar I 0 0 persen pada masa regim kontrol devisa, 44-56 persen setelah devaluasi peso tahun 1 9 W n dan sekitar 17-20 persen pada masa regim nilai hrkar fleksibel dan pengurangan hambatan perdagangan tahun 197-n. Selain itu juga mengemukakan b a M penurunan harga relatif produk pertanian terhadap bararhg-banrang non tradeble gmdsl home goods disebabkan oleh kebijakan nilai tukar,yang ove~alueddan hambatan perdagangan. Setiap kenaikan harga barang-barang import di dalam negeri, ditransmisikan kepada penurunan harga relatif produk pertanian sebesar 0.66 persen. Temuan yang relatif sama juga dikemukakan Dorosh and Voldes (1990) yang menganalisis pengaruh kebijakan nilai tukar dan perdagangan terhadap sektor pertanian Pakistan. Studi tersebut mengungkapkan bahwa penyebab kernemsotan produksi komoditas pettanian utama Pakistan dalam periode tahun 197S1987 adalah akibat kebijakan nilai tukar yang overvalued. Selain itu, hasil simulasi menunjukkan bahwa bila diadopsi kebijakan free trade dan kebijakan nYai tukar yang mendekati keseimbangan, maka produksi pertanian utama meningkat, ekspor naik, konsumsi pangan domestik turun. BahKan beberapa komoditas pertanian yang masih net impor dapat berubah menjadi net ekspor. Hasil-hasil studi yang dikemukakan di atas rnenunjukkan bahwa kebijakan makroekonomi sangat mempengaruhi sektor pertanian. Kebijakan makroekonomi yang diternpuh di negara-negara betkernbang tampaknya cenderung merugikan sektor pertanian sehingga besar dugaan bahwa kebijakan makro memegang peranan yang sangat penting terjadinya perubahan struktur perekonmian yang tidak berimbang. Penurunan pangsa sektor pertanian dalam PDB yang cukup cepat tidak diikuti oleh penunrnan beban penyerapan tenaga kej a yang proporsional. Namun demikian, studi-studi di atas masih memiliki berbagai keterbatasan yang di antaranya adalah sebagai berikut. Pertsrma, studi-studi yang ada belurn memperlihatksn keterkaitan antar vatiabel-variabel makroekonomi, sebagai satu kesatuan perilaku kebijakan makm yang ditempuh; Kedua, kurang memberi perhatian pada peranan dan perilaku investasi antar sektor di dalam perekonomian sehingga bagaimana pengaruh kebijakan rnakro yang ditempuh mempengaruhi alokasi sumberdaya investasi antar sektor yang selanjutnya mempenganrhi pertumbuhan sektor pertanian tidak dapat diungkapkan; Ketiga, kurang mernberi perhatian pada masalah kesempatan keja atau alokasi tenaga kerja antar sektor khususnya sektor pertanian. Hal ini penting mengingat pewbahan struktur ekonomi yang semakin menurunkan kontribusi sewor prtanian dalam PDB tidak diikuti oleh penurunan penyerapan tenaga kerja yang proporsional: Kempat, belum memberikan suatu rekomendasi kebijakan pengelolaan makro yang dapat ditempuh sebagai strategi pembangunan ekonomi yang memungkinkan terjadinya proses perubahan strwkhrr yang lebih seimbang khususnya bagi negara-negara berkembang dimana sebagian penduduknya masih hidup dari sektor pertanian. 2.7 Kontribusi Penelitian ini Sependapat dengan S&uh (1976) yang mengatakan bahwa untuk memahami fenomena pembangunan Mar pertanian tidak dapat dilepaskan dari kebijakan makro ekonomi yang ditempuh baik kebijakan fiskal maupun moneter. Upaya-upaya apapun yang dilakukan pada sektor pertanian termasuk subidi bla kebijakan rnakro yang ditempuh merugikan sektor prtanian, maka upaya-upaya tersebut tidak akan banyak gunanya. Kebijakan moneter seperti nilai tukar, suku bunga dan kebijakan fiskal- khususnya alokasi pengeluaran, investasi pemerintah tidak berdiri sendiri metainkan saling berinteraksi sebagai kesatuan kebijakan makro. Oleh sebab itu bagaimana interaksi perilaku anbr komponen-komponen kebijakan makro menjadi sangat penting dalam melihat pengaruh kebijakan makro terhadap sektor pertanian. lnteraksi perilaku komponen-komponen kebijakan makro tersebut belum banyak terakomodasi di dalam studi-studi terdahulu. Pengaruh distorsi perdagangan luar negeri dan distorsi kurs terhadap sektor pertanian juga belum terokomodasi pada studi-studi terdahulu. Padahal distorsi tekebut khususnya distorsi kun mempengaruhi insentif untuk ekspor maupun impor. Selain itu, peranan dan perilaku investasi swasta asing, domestik dan pemerintah juga belum banyak rnemperoleh perhatian pada studi-studi terdahulu. lnvestasi diduga merupakan media transmisi pengaruh kebijakan makro terhadap sektor pertanian. Apakah dugaan ini benar akan terbukti pada hasil empiris. Faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi tenaga kej a antar sektor juga M u m banyak rnemperoleh perhatian pada studi terdahulu. Alokasi tenaga kerja ini seharusnya menjadi target kebijakan makro yang penting mengingat pembangunan ekonomi pada akhimya hams dinilai pada peningkatan pendapatan penduduk. 2.8 Lingkup dan Keterbatasan Penelitisn Secara garis besar penelitian ini mencakup hal-ha1 berikut ini yakni: keterkaitan perilaku antar bebetapa variabel makraekonomi khususnya nilai tukar, suku bunga, dan inflasi; keterkaitan antara variabel makro den- gan alokasi sumkrdaya antara sektor pertanian dengan sektor non pertanian, khususnya alokasi investasi asing, investasi swasta domstik, investasi pemerintah, kredit pehankan dan tenaga kerja serta keterkaitan pertumbuhan sektor pertanian dengan sektor non pertanian. Dengan cakupan yang dernikian dapat dipahami perilaku variabel kebijakan makro, peiilaku alokasi surnberdaya dan perilaku pertumbuhan seMor pertanian dan sektor non pertsnian dalam perekonomian nasional. Selain itu, dapat juga dianalisis pengaruh perubahan berbagai kebijakan makro khususnya terhadap sektor pertanian, melalui suatu analisis sirnulasi kebijakan. Dengan cakupan seperti itu, jelas penelitian ini memiliki berbagai keterbatasan baik karena keterbatasan data maupun berbagai keterbata- san sumberdaya yang dihadapi. Beberapa keterbatasan dari penelitian ini adalah sebagai krikut : Pertam, penelitian ini tidak miakukan disaggregasi sektor per- tanian misalnya berdasarkan sub-sektor, skala usaha, maupun rumah tangga. Hal yang sama juga tidak dilakukan disagregasi sektor non per- ' tanian. Hal ini mngasumikan bahwa perilaku ekonomi pada level agre gat tidak jauh berbeda (setidak-tidsknya tidak bedentangan) dengan peri- laku mikro. Dengan keterbatasan ini , jelas penelitian ini tidak dapat mlihat pengaruh suatu pemba han kebijakan makroekonomi terhadap sektor- sektor mikro. Kedua, sebagaimana dikemukakan Cavallo and Mundlak (1982) teknologi dalam suatu perekonomian menipakan suatu himpunan teknik- teknik produksi yang beragam sesuai dengan keragamn barang dan jasa yang dihasilkan dalam perekonomian, serta mengalami perubahan dari waktu ke waktu baik karena perubahan kelembagaan, proses helajar, perubahan kebijakan dan lain-lain yang disebut dengan state variable. Oleh karena itu dalam studi empiris tidak realistis untuk menganggap ha! tersebut sama dari waktu ke MMu. Hal inilah salah satu keterbatasan penelitian ini dimana hal-hat tersebut tidak terakomodasi sepenuhnya. Ketiga, selain investasi pemerintah dan investasi swasta asing, swasta domestik masih ada surnber pembiayaan investasi yang bersifat non-fasilitas yakni investasi yang dilakukan rakyat (masyarakat). lnvestasi rakyat ini diperkirakan cukup besar peranannya dalam sektor pertanian. Namun sayangnya, data-data investasi rakyat tersebut tidak terdokumen- tasi dengan baik sehingga tidak dapat diakomodir dalam penelitian ini. Keempat, penelitian ini tidak m n g a k o d i r pengaruh kebijakan makroekonomi di negara lain. Hal ini memang kurang realistis dalam keadaan dimana perekonomian Indonesia telah makin terintegrasi dengan perekonomian dunia. + Dengan asumsi kecepatan perputaran uang stabil (sehingga V = 0) maka persamaan (27) menjelaskan bahwa inflasi terjadi bila pertumbuhan uang beredar lebih besar daripada pertumbuhan produksi agregat Teori inflasi Keynesian dan monehris pada dasarnya sama. Variabe! kelebihan uang beredar (moneteris) akan tenrvujud dalam peningkatan pengeluaran nominal (Keynesian) dalarn perekonomian yang akhirnya akan menimbulkan inflasi. Teori lain tentang inflasi adalah teori dorongan kenaikan biaya produksi dalam perekonomian. Teori inflasi ini merupakan fenomena mikroekonomi yakni teori biaya perusahaan. Kenaikan harga-harga faktor-faktor produksi seperti: upah, bahan baku, pajak, praktek mark-up (misalnya karena -ada kekuatan monopolistik) dan lain sebagainya akan menaikkan biaya produksi barang dan jasa dalam perekonomian sedemikian rupa (kuwa agregat supply bergeser ke kiri atas) sehingga dengan pengeluaran agregat yang tetap Cjuga bila naik) akan mnimbulkan inflasi. Di Indonesia kenaikan upah diperkirakan berpengaruh besar pada laju inflasi. Kenaikan upah berdampak ganda terhadap inflasi yaitu peningkatan permintaan dengan meningkatnya pendapatan (upah) dan peningkatan biaya produksi agregat akibat kenaikan biaya upah tenaga kerja. sehingga mendorong inflasi. Kenaikan harga barang-barang impor yang disebabkan berbagai faktor seperti depresiasi nilai tukar juga dapat mendorong inflasi di dalam negeri baik secara langsung (bila ysng diimpor adalah barang-barang konsumi) maupun secara tidak langsung (bila yang diimpor adalah barang modal) melalui peningkatan biaya prduksi. Karena itu variabel nilai tukar mata uang rupiah perlu dipertimbangkan dalam model perilaku inflasi. Selain itu, peningkatan permintaan pada bamng-barang yang tidak diperdagangkan secara internasional (non tradeable goods) misalnya peningkatan pengeluaran investasi pemerintah juga meningkatkan harga input non tradeable sehingga juga mndorong inflasi Dalam dunia nyata, fenomna inflasi tidak mudah dipisahkan secara tegas apakah disebabkan oleh tarikan perminban atau dorongan kenaikan biaya produksi. Oleh karena itu, dalam mtumuskan suatu model ekonomi perilaku inflasi perlu mengakomodasikan variabel tarikan permintaan maupun variabel pendorong kenaikan biaya produksi. Berdasarkan pemikiran di atas, perilaku inflasi yang didefenisikan sebagai perubahan indeks harga konsumn dirumuskan sebagai berikut. lCPl = ICPI ( ECR, GEI, IWAN, MSR) ............... ..... ... . . . (28) dimana: lCPl MSR G El IWAN = lndeks harga konsumen = Jumlah uang beredar = Pengeluaran investasi pemerintah = lndeks upah di Indonesia Dari segi akuntansi, neraca transaksi berjalan merupakan penjumlahan dari nerca perdagangan (ekspor- impor barang) dengan neraca jasa sea transfer pendapatan, sebagai berikut: 84 CA = XRI - (MRI + NST + NTOI) ...................................... (29) dimana: MRI = Neraca transaksi berjalan = Nilai ekspor barang = Nilai impor barang NST = Defisit perdagangan jasa-jasa NTOI = Defisit transfer pendapatan CA XR1. Meskipun neraca transaksi berjalan merupakan suatu persamaan identis akuntansi, perilaku transaksi berjalan dipengaruhi oleh perilaku impor, ekspor, jasa dan transfer pendapatan yang merupakan komponen neraca transaksi bejalan itu sendiri. Ekspor suatu negara dapat diartikan dari dua sisi yaitu sisi knawaran dan sisi permintaan,. Dari sisi penawaran, ekspbr merupakan penawaran barang dari suatu negara ke pasar intemasional yang perilakunya mengikuti hukum penawaran yakni berhubungan positif dengan harga. Secara umum mningkatnya harga barang-barang ekspor di pasar intemasional akan mendorong peningkatan ekspor dari negara yang bersangkutan. Dari sisi permintaan ekspor suatu negara merupakan perrnintaan negara-negara lain terf~adapbarang-barang ekspor negara yang bersangkutan yang perilakunya mengikuti perilaku permintaan atau konsumsi, yakni berhubungan negatif terhadap harga dan berhubungan positif dengan pendapatan di negara penginpor. Selain dipengaruhi oleh harga dan pendapatan negara pengimpor, perilaku ekspor juga dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang negara pengekspor terhadap mata uang negam pengimpor, serta kebijakan perdagangan mengikuti persamaan berikut: . PDX = PWX . ECR ( 1 -h) ..................... ...................,.... (30) dimana: = Harga barang-barang ekspor yang diterima eksportir didalam negeri (Indeks harga perdagangan besar PDX barang-barang ekspor) a = Pajak eksprisit ekspor Pada harga internasional dan pajak ekspor yang tetap, depresiasi kurs akan mnyebabkan kenaikan harga barang-barang ekspor yang diterima oleh eksportir di Indonesia (dinilai dalam mata uang rupiah), sehingga meningkatkan ekspor. Wangkan pada harga internasional dan kurs yang tetap, setiap kenaikan pajak ekspor akan menurunkan harga barang-barang ekspor yang diterima oleh eksportir Indonesia sehingga akan menurunkan ekspor. Persamaan (30) tersebut mengasurnsikan tidak ada distorsi nilai tukar rupiah. Pada keadaan dimana terjadi distorsi nilai tukar misalnya owe1~8lued,secara implisit nilai tukar overvalued menrpakan suatu pajak kurs ekspor yang pengaruhnya terhadap ekspor identik dengan kebijakan pajak ekspor. Demikian juga persatman (30) mengasumsikan tidak ada bentuk harnbatan ekspor selain selain pajak ekspor. Pada kondisi dimana hambatan ekspor selain pajak ekspor terjadi (quota, izin ekspor dll) sebagaimana tejadi dalam perekonomian Indonesia selama periode tahun 1969 - 1996, pajak nominal ekspor temebut tidak mncerrninkan harnbatan ekspor yang sebenamya. Dengan perkataan lain, kmbinasi pengaruh kurs dan hambatan ekspor (pajak dan non pajak) perlu dipertimbangkan dalam merumuskan perilaku ekspor. Bedasarkan pemikiran di atas, perilaku ekspor lndonesia dirumuskan sengai berikut: XRI = XRI (WVX, ECR, NPCX, PDBW) ............................... (31 dimana: XRI PDBW = Nilai ekspor Indonesia = Pendapatan negara-negara pengimpor (negara industri maiu) Dengan analogi yang sarna, juga dapat dirumuskan perilaku impor Indonesia. lmpor lndonesia dapat diartikan sebagai permintaan barangbarang luar negeri dari lndonesia yang perilakunya mngikuti perilaku konsumi dan permintaan. Semakin tinggi harga internasional barang- barang impor, impor lndonesia semakin turun. Sebaliknya, semakin tinggi pendapatan lndonesia semakin mningkat permintaan impor Indonesia. Komponen terbesar dalarn impor lndonesia adalah bahan baku dan barang-barang modal yang diperlukan untuk investasi di Indonesia. Karena itu, besarnya investasi di lndonesia diperkirakan akan besar peranannya dalam mmpengaruhi perilaku impor Indonesia. Analog dengan harga barang ekspor di dalam negeri, harga barang-barang impor di dalarn negeri selain dipengaruhi harga internasional, juga dipengaruhi kebijaksanaan impor dan kebijakan kurs rupiah, yang keterkaitannya mngikuti persamaan berikut: PDM = PWM. ECR (I+ tm) ............ ................ .................... (32) dimana: PDM = Harga barangaarang impor di dalam negeri (Indeks harga perdagangan besar barang-barang impor) tm = Tarif eksplisit impar Adanya kebijakan rion tarif dalarn perekonomian Indonesia pada periode tahun 1069 - 1996 mnyebabkan 'tarif eksplisit impor tidak mncerrninkan hambatan impor yang sebenamya. Sementara itu tejadinya owewaIued rupiah merupakan subsidi kurs impor. Oleh karena itu pengaruh kombinasi tarif implisit (tarif eksplisit dan non tarif) dan subsidi kurs impor, perlu dipertimbangkan dalam mrumuskan perilaku impor Indonesia. Berdasarkan pemikiran di atas, maka perilaku impor lndonesia dirumuskan mengikuti persamaan berikut: MRI = MRI (PWM, ECR, NPCM, INV) ................................ .:' (33) dimana: MRI = Nilai impor Indonesia INV = Nilai investasi di Indonesia Neraca jasa lndonesia selalu mengalami defisit dan mngalami peningkatan dalam periode tahun 1969 - 1996. Komponen terbesar dari neraca jasa adalah biaya pengangkutan barang-barang impor dan ekspor Indonesia. Karena itu neraca bersih jasa-jasa Indonesia diperkirakan dipengaruhi oleh perilaku ekspor dan iwor sebagai berikut: NST = NST (XRI, MRI) ............................. ................... (34) Neram transfer pendapatan lndonesia senantiasa defisit dan mngalami peningkatan dari tahun ke tahun. Komponen utama dari transferpendapatan ini adalah pembayaran kontrak karya dan bagi hasil dari sektor migas, transfer keuntungan dari perusahaan asing yang ada di Indonesia dan deviden perusahaan asing yang &a di Indonesia. Karena keuntungan berkorelasi dengan perubahan praduk d m t i k bruto Indonesia, maka perilaku net transfer pendapatan diperkirakan mengikuti persamaan berikut. NTOl = NTOl (XOIL, PDBI) ... ..... ...... ...........................-. (35) dimana: XOlL = Nilai ekspor rninyak dan gas bumi Indonesia 3.6 Nilai Tukar Barter Pertanian Nilai tukar barter sektor pertanian yang didefenisikan sebagai rasio deflator harga sektor pertanian terhadap deflator harga sektot non - pertanian, diperkirakan sangat penting peranannya dalam mrnpengaruhi alokasi sumberdaya antara sektor pertanian dan sektor non pertanian. Penjelasan teoritis tentang faktor-faktor yang mrnpengaruhi nilai tukar barter pertanian adalah efek hukum Engel dan efek bias kemajuan teknologi (Martin dan Warr, 1993; Simatupang, 1992). Efek hukum Engel berkaitan dengan elatisitas permintaan komoditas pertanian yang umumnya relatif inelastis, sehingga setiap peningkatan pendapatan menyebabkan persentase pengeluaran konsumsi k o d i t a s pertanian yang lebih kecil dari persentase kenaikan pendapatan. Efek bias kemajuan teknologi pada sektor pertanian terhadap nilai tukar barter sektor pertanian bersumber dari dua sisi yaitu peningkatan teknologi pertanian akan mningkatkan pemuintaan produk-produk non -- pertanian khususnya jasa dan bamng modal, sementara peningkatan produktiis pertanian yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi akan menekan harga produk pertanian ke bawah. Idealnya, untuk rnelihat efek hukum Engel pada nilai tukar barter pertanian digunakan pangsa pengeluaran penduduk pada konsumi komoditas pertanian. Namun datadata time series pangsa pengeluaran tersebut tidak tersedia sesuai dengan rentang waktu studi ini. Sebagai gantinya (proxy) dalam studi ini digunakan pangsa pengeluaran agregat untuk konsumsi. Hal ini dapai diterima mengingat sebagian besar dari pengeluaran konsumi di Indonesia adalah untuk konsumi pangan. Kemajuan teknologi pertanian di Indonesia terutama tejadi pada produksi gabah seperti irigasi, henih unggul, pemupukan daln lain sebagainya. Oleh karena itu indikator kemajuan teknolagi perknian dapat didekati dengan mnggunakan kemajuan teknologi pada produksi gabah. Martin and Wan (1993) mnggunakan persentase dari luas areal bimas dan inmas padi sebagai proxy kemajuan teknolagi pertanian di Indonesia untuk analisis tahun 1960 - 1987. Hal ini dapat dipahami mengingat dalam periode tersebut merupakan periode penerapan teknolagi inmas dan bims. Namun, setelah tahun 1987 penggunaan persentase luas areal bimas dan inmas mungkin tidak relevan lagi, mngingat pada sepuluh tahun terakhir program tersebut tidak intensif lagi dilakukan. Selain itu, lahan-lahan sawah produktif (termasuk areal bimas) sudah banyak mengalami alih fungsi. Sebagai gantinya, dalam studi ini digunakan variabel produktiiitas padi sawah. Penggunaan produktifitas sebagai indikator kemajuan teknologi m r a implisit juga telah menggarnbarkan pengaruh bimas, inmas dan suprainsus. Sedangkan kemajuan teknologi pada sektor non pertanian didekati dengan perbandingan nilai tambah per tenaga kerja sekor industri. Penurunan nilai tukar barter sektor pertanian baik efek hukum Engel maupun bias kemajuan teknologi, mungkin relevan pada ekonomi tertutup atau pada suatu regirn perdagangan yang anti ekspor atau pro impor atau pada perekonomian dimana sektor industrinya diproteksi tinggi. Pembangunan ekonomi yang memberikan proteksi pada sektor industri akan mmpengaruhi sektor pertanian melalui tiga cara yakni: (I)melalui nilai tukar riil, proteksi s e k r industri menyebabkan hargaharga di dalam negeri naik sehingga menurunkan harga relatif produk pertanian -terhadap produk non tradeable; (2) proteksi sektor industri di dalam negeri menyebabkan prduk industri dalam negeri meningkat sehingga menurunkan harga relatif produk pertanian terhadap produk industri, dan (3) penurunan nilai tambah sektor pertanian sebagai akibat peningkatan harga produk industri yang menjadi input sektor pertanain (Krueger, Schiff and Voldes, 1988; Schiff and Voldes, 1992; 1998). Pada perekonomian yang anti ekspor, sektor pertanian domestik mengalami hambatan perdagangan untuk mengekspor surplus produksinya ke pasar Intemasional. Demikianjuga pada regim pro- impor, sektor pehnian domestik menghadapi tekanan dari impor produk pertanian. Kemudian pada perekonomian yang mernproteksi sektor industri di dalam negeri akan menyebabkan kenaikan harga pmduk industri di dalam negeri. Sehingga efek netonya mmperftuat efek hukum - Engel dan bias kemajuan teknologi dalam menurunkan nilai tukar barter sektor pertanian. Sebaliknya pada regim perdagangan netral dan tanpa proteksi, seMor pertanian mungkin berkesempatan untuk rnengekspor surplus produksi ke pasar lnternasional tanpa mmpengaruhi harga intemasional (diasumsikan Indonesia price taker di pasar lnternasional) sedemikian mpa, sehingga efek hukum engel dan bias kemajuan teknologi tidak harus menurunkan nilai tukar barter sektor pertanian. Oleh karena itu, pengaruh bias perdagangan perlu dipertimbangkan dalam mnganalisis perilaku nilai tukar barter sektor pertanian. Berdasarkan pemikiran di atas, rnaka perilaku nilai tukar barter sektor pertanian dirumuskan mengikuti persamaan berikut: RPA = RPA ( SCON, RTEK, RECR, ) ............................. (36) dirnana: RPA = Nilai tukar barter seMor pertanian yang didefenisikan sebagai rasio indeks harga deflator GDP pertanian dengsn indeks harga deflator GDP non pertanian SCON= Pangsa pengeiuaran konsumsi dari total pengeluaran agregat sebagai proxy terhadap efek hukurn engel RTEK= Rasio kemajuan teknologi antara sektor pertanian dengan sektor non pertanian. 3.7 Perilaku Investasi Swasta Perilaku investasi didasarkan dengan asumsi bahwa investor akan berperilaku memaksimumkan nilai kini Cpresent value) dari manfaat firransial dari kegiatan investasi yang temdia (Jorgenson, 1971; Branson and Litvack, 1981; Gandhi, 1990; Rosegrant and Pasandaran, 1995; Pindydr and Rubenfeld, 1995; Manki, 1997). Secara mtematis, perilaku investor tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut. w n Max. NPV= j e - " [ h ~(Vt, Q- WM-Rt(k+6Kt)]dt ...... (37) 0 dimana : NPV = Net present value manfaat investasi P = Harga output F-) = Teknologi produksi VI Kt = VeMor input variabel = Kapital yang digunakan Wt = Harga input variabel A Kt = A%/ dt = Pertumbuhan kapital 6= Laju depresiasi kapital r = Tingkat suku bunga t = Waktu First oder conditbn dari persamaan (28) adalah sebagai berikut : dimana : Fk = Produktivitas marginal penggunaan kapital F, = Produktivitas marginal penggunaan input variabel Persamaan (38) menjelaskan bahwa investor akan meningkatkan penggunaan kapitel sedemikian rupa, sampai nilai kini dari pmdukthitas marginal penggunaan kapital sama dengan biaya penggunaan kapital. Tingkat penggunaan kapital dan input variabel optimal yang diharapkan dapat diturunkan dari persamaan (38) dan (391, yakni mengikuti fungsi berikut: Ktl'=he(P,R,r, W,6) .......................................-.......... (40) dimana : ' Kt* = Tingkat kapital optimal yang diharapkan. Permmaan (40) menunjukkan bahwa tingkat penggunaan kapital yang diharapkan dipengaruhi oleh harga output, harga kapital, suku bunga, harga input variabet, dan laju depresiasi kapital. Selisih antara tingkat kapital optimal yang diharapkan dengan tingkat kapital yang direalisasikan mrupakan tingkat investasi yang diharapkan. Mengikuti persamaan (40) tingkat investasi yang (P, R, r, W, 6) ........................................... (41) diharapitan dapat dirumuskan sebagai brikut. (Kt* - &) = It* dimana : ;1 = Tingkat investasi yang diharapkan Tingkat kapital optimal yang diharapkan tidak otornatis menjadi kapital yang direalisasikan, melainkan memerlukan proses penyesuaian parsial, yang tergantung pada biaya penyesuaian internal (keterlambatan perencanaan dan implemntasi) dan ketersediaan sumberdaya ekstemal seperti kredit (Eisner and Strotr, 1963; Clark, 1979; Mffiuirk and Mundlak, 1991, 1992; Gandhi, 1990). KetePsediaan kredit ini sangat krusial dalam mempengaruhi periiaku investasi di negara-negara berkenJbang dimana lembaga pembiayaan belum berkembang dan suku bunga umumnya relatif tinggi. Ttansformasi kapital yang diharapkan mnjadi kapital yang direalisasikan mengikuti proses penyesuaian parsial dapat dirumuskan sebagai berikut : dimana : (at) =Variabe!-variabel biaya penyesuaian internal dan sumberdaya &sternal yang mempengaruhi proses tranforrnasi dari kapital yang diharapkan menjadi kapital yang direalisasikan. f lnvestasi baru ditujukan untuk mmpertahankan kapasitas produksi yang telah ada dengan penggantian kapital yang telah usang -(replacementinvestment) dan untuk mening katkan kapasitas produksi (net investment) (Branson and Lifvadr, 1981; Mankiw, 1997). Penjumlahan kedua jenis investasi tersebut merupakan investasi bruto sebagai berikut : It=(&-Kt+,)+&&., ................................................... (43) dirnana : = lnvestasi bruto It K, - = lnvestasi bersih (net invesmenf) 6 &-I Dengan = lnvestasi pengganti (replacement invesment) menggabungkan variabel-variabel eksogenus dari persamaan (41) dan (42) terdahulu, dapat dirumuskan suatu fungsi perilaku investasi secara umum sebagai berikut : It = It (P, R,r, W, a,6 ) ................................................. (44) Persamaan (44) menjelaskan bahwa investasi dipengaruhi oleh harga output, biaya penggunaan invesbsi, suku bunga, harga input variabel, biaya internal dan ketersediaan sumberdaya ekstemal serta laju depresiasi kapital; Teori pen'laku investasi seperti persamaan (44) dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku investasi menurut surnber investasi dengan mlakukan berbagai penyesuaian baik berdasarkan teon'tis maupun hasil- hasil empiris. Sumber pembiayaan investasi di Indonesia terdiri atas investasi pemrintah, investasi swasta domestik (PMDN), investasi swasta asing (PMA) dan investasi masyarakat (non-fasilitas). Data investasi masyarakat tidak terdokumentasi dengan baik, sehingga tidak dapat -- dianalisis pada studi ini. lnvestasi pemetintah telah dirumuskan pada persamaan (5) terdahulu, sehingga pada sub bab ini hanya mnjelaskan investasi swasta domestik dan swasta asing. lnvestasi swasta asing merupakan sumber pembiayaan investasi pembangunan di banyak negara berkembang sejak berakhimya Perang Dunia I!. Hal ini terutama disebabkan karena pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. kernampuan menabung masih rendah sehingga kemampuan investasi rendah. Sehingga sumber investasi asing rnenjadi altematif yang tersedia untuk memenuhi target investasi. Banyak faktor yang mempengaruhi aliran investasi asing dari negara asal ke negara tujuan seperti ke Indonesia. Klein (1974) menjelaskan bahwa penrsahaan-penisahaan di Amerika Serikat yang kehilangan daya saing di dalam negeri (knomena m u d life cyde) cenderung rnereldcasi investasi baru ke luar negeri. Hal yang sarna juga dikemukakan Ogawa dan tee (1994) bahw industri-industri yang kehilangan daya saing di Jepang seperti industriindustri padat karya, direlokasi ke negara-negara yang mmiliki upah tenage kefja yang relatif murah. Hal ini menunjukkan bahwa falttot pendorong (push fact@ yakni penurunan daya saing investasi baru di negara-negara rnaju mnjadi salah satu faMor yang mempengaruhi peningkatan investasi asing ke negara-negata berkembang. Selain faktor pendorong tersebut, faktor penarik (puII-factor) dati negara penerima investasi asing juga penting. Banyak faktor yang merupakan daya tarik investasi mulai dari faktor ekonomi sampai pada faktor sosial politik. Faktor ekonomi antara lain adalah ketersediaan infrastruktur, ketersediaan bahan baku, besarnya pasar (market size), harga bahan bakul faktor variabel, tingkat suku bunga. nilai tukar dan lainlain. Ketersediaan infrastruktur seperti jalan raya, pelabuhan, listrik dan lain-lain dapat mengurangi beban biaya investasi. Tingkat suku bunga domestik yang relatif tinggi dari suku bunga di negara-negara maju, mungkin juga mnjadi salah satu yang mempengaruhi investasi. Depresiasi nilai tukar mata uang domestik juga mmpengaruhi masuknya investasi asing. Depresiasi nilai tukar di satu sisi meningkatkan daya saing produk asal Indonesia di pasar internasional sedangkan di sisi lain meningkatkan daya beli mata uang asing di dalam negeri. Berdasarkan pemikiran di atas, perilaku investasi swasta asing di Indonesia dirumuskan sebagai berikut : FlNV = FtNV(INRI, ECR, PDBI, GEI) ............................. (45) dimana : FlNV = lnvestasi swasta asing di Indonesia Variabel pengeluaran investasi pemerintah (GEt) pada persamaan (45) merupakan proxy terhadap ketersediaan infrastruktur di Indonesia. Variabel PDBl mrupakan proxy terhadap besarnya pasar domestik. Kemudian perilaku investasi swasta domestik dirumuskan sebagai berikut: OlNV = DtNV (INRI, ECR, PDBI, GEI, CRED) ................... (46) dimana : DlNV = lnvestasi swasta domestik di Indonesia CRED = Total kredit yang disalurkan pemerintah Variabel kredit (CRED) pada persamaan (46) merupakan proxy terhadap ketersediaan sunaberdaya ekstemal. Kemudian variakl investasi pemerintah selain menunjukkan ketersediaan infrastruMur juga mtupakan indikator kesempatan investasi bagi swasta. Gandhi (1990) .' mengungkapkan bahwa investasi pemerintah dapat mengurangi biaya pelaksanaan investasi swasta, peningkatan produktivitas dan menstimulus peningkatan kapital stok. 3.8 Perilaku Pangsa Alokasi Investasi Antar Sektor lnvestasi yang disajikan pada persamaan (441, (45) dan (46) rnerupakaan perilaku investasi agregat. lnvestasi agregat ini merupakan investasi yang tersedia untuk dialdtasikan pada sektor pertanian dan sektor non pertanian. Dengan asumsi bahwa perilaku investasi bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan, maka alokasi investasi antara sektor pertanian dengan sektor non pertanian ditentukan oleh keuntungan xelatif kedua sektor. Hal ini berarti sektor pertanian dan seMor non pertanian akan bersaing memperebutkan investasi yang tersedia. Mengikuti Mundlak (1979) dan Cavallo and Mundlak (19821, perilaku persaingan alokasi investasi tersebut secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : FINVAG = SAF (..) FlNV ................................................ (47) FlNVNA = [ 1 - SAF (..) ] FINV ........................................ (48) DlNVAG= SAD I..) OlNV ................................. .... ....... (49) GElAG = SAG (..) GEI .................................................... (51) GElNA = [ 1 - SAG (..) ] GEI ............................................ (52) dimana : I.. FINVAG = lnvestasi swasta asing yang teralokasi pada sektor perta nian FINVNA = lnvestasi swasta asing yang teralokasi pada sektor non pertanian DlNVAG = lnvestasi swasta domestik yang teralokasi pada sektor pertanian DINVNA = lnvestasi swasta domestik yang teralokasi pada sektor non pertanian GElAG = lnvestasi pemerintah pada seldor pertanian dan pengairan GElNA SAF = lnvestasi pemerintah pada seMor non pertanian = Pangsa alokasi investasi swasta asing pada sektor per tanian yang mrupakan suatu fungsi yang bernilai no1 sampai dengan satu. SAD = Pangsa alokasi investasi swasta domestik pada seMor pertanian yang merupakan suatu fungsi yang bemilai nol sampai dengan satu. SAG =Pangsa alokasi investasi pemerintah pada sektor pertanian dan pengairan yang merupakan suatu fungsi yang bernilai no1 dengan sampai dengan satu. Pangsa alokasi investasi swasta pada seMor pertanian dan non pertanian tergantung pada keuntungan relatif investasi antara kedua sektor. Keuntungan relatif ini dapat berupa ketersediaan relatif sumberdaya eksternal investasi (seperti kredit) dan harga relatif produk pertanian terhadap produk non pertanian. Semakin besar alokasi kredit pada sektor pertanian, semakin besar alokasi investasi swasta pada sektor pertanian. Demikian juga, semakin meningkat rasio harga antara produk pertanian dengan non pertanian, berarti investasi =Mar pertanian investasi seMor non pertanian. relatif lebih mnguntungkan daripada -. Selain itu, pangsa atokasi investasi pemerintah pada sektor pertanian dan sektor non pertanian diperkirakan mmpengaruhi alokasi investasi swasta antar kedua sektor. lnvestasi pemerintah selain m n gurangi biaya investasi swasta juga menciptakan kesempatan investasi pada swasta. Investasi pemrintah pada sektor pertanian dalam kurun waktu tahun 1969 -19M yang terpenting adalah untuk pembangunan itigasi dan penelitian pengembangan Serb penyuluhan pertanian dengan target u t a m peningkatan produksi pangan khususnya beras. Oleh karena itu, pangsa alokasi investasi pemrintah pada sektor pertanian diperkirakan dipengaruhi oleh harga beras internasional. Semakin tinggi harga beras di , pasar internasional, semakin besar alokasi investasi pemrintah pada sektor pertanian. Selain itu, persentase jumla h penduduk di pedesaan diperkirakan juga mempengaruhi alokasi investai pemerintah pada sektor .pertanian. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa investasi pmrintah bertujuan untuk mmaksimumkan kesejahteraan sosial masyarakat, sehingga pada sektor mana penduduk terbesar, diperkirakan investasi pemerintah juga lebih besar ke sekior tersebut. Berdasarkan pemikiran diatas, maka perilaku pangsa alokasi investasi dapat dirumuskan sebagai berikut : . SAF = SAF (RPA, SAG SAC) ................................... (53) SAD = SAD ( RPA, SAG , SAC, ................................... (54) SAG = SAG (PWRC, SRP) .................... .................... (55) dimana : PWRC = Harga beras di pasar internasional 3.9 SRP = Persentase penduduk di pedesaan SAC = Pangsa alokasi kredit perbankan pada seMor pertanian Produksi Sektor Pertarmian dan SeMor Non Pertanian lnvestasi yang teralokasi pada sektor pertanian dan sektor non pertanian sebagaimana dijelaskan melalui persamaan (47) sampai persamaan (47) merupakan investasi bruto untuk meningkatkan kapitai stok masing-masing sektor, yang kemudian mnentukan produksi masingmasing sektor. Mengikuti persamaan (43) terdahulu, trasnformasi investasi bruto mnjadi kapital stok adalah mngikuti persariwan berikut: = FINVAGt + (1 -dl) CSFAtWl........................... (56) CSF4 CSFW - = FlNVNk + (Id2) CSFNA-1 ............................ (57) ............................ CSDAt = DINVAGt + (1.- ds) CSDAt,l CSDNk = DINVNh + (1- d4) CSDN&-l .......................... CSG& = GEIAGt+ (1 - d5) CSGAt-, ............................. (60) (58) (59) dirnana : CSFA = Kapital stok asal investasi asing pada sektor pertanian CSFNA = Kapital stok asal investasi asing pada sektor non pertanian CSDA = h p i t a l stok asal ~nvestasidomestik pada sektor pertanian CSDMA = Kapital stok asal investasi domestik pada seMor non pertanian CSGA = Kapital stok asal investasi pemerintah pada sektor pertanian CSGNA = Kapital stok asal investasi pemrintah pada sektor non pertanian dl, d p , ...db= Laju depresiasi kapital Laju depresiasi kapital stok yang sering digunakan pada studi empiris di Indonesia adalah 10 persen (Bank Indonesia , 1996 ). Angka ini juga digunakan untuk depresiasi kapital diseMor non pertanian dan di seMor pertanian. Kapital stok pada masing-masing sektor ekonomi akan mnentukan prduksi agregat masing-masing sektor. Selain kapital stok, jumlah penggunaan tenaga keja, teknologi, infrastrulrtur jalan, output sektor non pertanian akan mmpengaruhi pertumbuhan seMor pertanian. TeKnologi dalam seMor pertanian beragam jenisnya dan tingkatnya, sehingga tidak mungkin mngakomodasikan seluruhnya ke dalam model. Sebagai pendekatan dalam penelitian ini digunakan produktivitas padi sawah sebagai indikator teKnologi, mengingat kontribusi padi sawah cukup besar dalam pembentukan PDB sektor pertanian di Indonesia. Infraslnrktur jalan diperkirakan juga besar peranannya dalam mempenganrhi PDB pertanian. Ketemdiaan infrastruktur jalan akan mendorong pembukaan areal-areal baru pertanian serta mempermudah lalu-lintas barang dan jasa baik ke sektor pertanian maupun dari sektor pertanian. Pertumbuhan PDB sektor non pertanian juga diperkirakan mmpengaruhi P08 sektor pertanian. Perubahan PDB sektor non pertanian mencerminkan perubahan produksi barang-barang d a i dan jasa yang dipergunakan sektor pertanian, sehingga mempengaruhi produksi pertanian dari sisi penawaran (Supply-dnLen). Selain itu perubahan PDB sektor non pertanian juga mencerminkan perubahan daya serap pasar bagi output sektor pertanian sehingga mmpengaruhi produksi pertanian dari sisi perrnintaan (Demand-driven). Kemudian pada sektor non pertanian terdapat industri dan jasa yang mnggunakan bahan baku impor dan praduk pertanian domstik (industri hasil pertanian dan perciagangan hasii pertanian). O k h karena itu, produksi sektor pertanian dan kemajuan teknologi diperkirakan juga mernpengaruhi pertumbuhan sektor non pertanian. Seperti halnya pada sektor pertanian, tehnologi pada sektor non pertanian juga beragam jenis dan tingkatannya, sehingga tidak mungkin mngakomodasikan seluruhnya dalarn model. Sebagai pendekatan, kernajuan tehnologi pada sektor non pertanian digunakan rata-rata produktivitas tenaga kerja di seMor industri. Hal ini mengasumsikan bahwa sektor industri merupakan sektor yang penting dan terbesar dalam sektor non pertanian . Berdasarkan pemikiran di atas, maka produksi aggregat sektor pertanian dan sektor non pertanian dirumuskan sebagai berikut. PDBA = PDf3A (CSFA, CSDA, CSGA, lA, PRODV, PJ, PDBNA) ...... :. ................................................. (62) PDBNA = PDBNA (CSFNA, CSDNA, CSGNA, MRI, TEKNA, LNA, PDBA) ..................................................... (63) dimana: PDBA = Produksi (GDP) seMor pertanian PDBNA LA = Produksi (GDP) sektor non pertanian = Jumlah tenaga kej a pada seMor pertanian LNA = Jumlah tenaga kerja pada sektor non pertanian PRODV = lndeks kemajuan teknolagi sektor pertanian TEKNA = lndeks kemajuan teknologi pada sektor non pertanian PJ = Panjang jalan di Indonesia 3.f0 Penyerapan Tenaga Kerja < Pembangunan ekonomi antara lain bertujuan untuk meningkatkan pendapabn misalnya melalui peningkatan pendapatan pemilik faktor- faktor produksi. Tenaga kej a mrupakan faktor produksi yang dimiliki seluruh rakyat, karenanya upaya menciptakan kesempatan kerja yang memberikan pendapatan layak, mrupakan target makro yang penting. Hal ini mnyangkut alokasi tenaga kej a di dalam perekonomian. Teori tentang kerja dalarn perekonotiian alokasi tenaga khususnya di negara-negara berkembang pada dasamya mengikuti teori ekonomi Neo Klasik, teori ekonomi Keynes dan teori ekonomi Haris- Todaro (Yoto Poulus and Nugent, 1976 ; Gillis et. a/. 1987 ; Harton et. al. 1994 ; Roger, 1994 ; Boyers, t 994 ; Addison and Demery, 1994 ; Edward and Edward, 1994 ; Fields, 1994 ; Todaro, 1969, 1970, 1997). Teori alokasi tenaga keja menurut ekonomi Neo KIasik mengasumsikan adanya fleksibilitas upah perekonomian sedemikian rupa, sehingga selalu tejadi kondisi full employment. Sedangkan menurut teori ekonomi Keynes, diasumsikan bahwa dalarn perekonomian terjadi kekakuan upah (down-ward wage rigEditties), sehingga dalam perekonomian setalu teqadi pengganguran. Tampaknya kedua teori tersebut kurang relevan untuk digunakan menjelaskan fenomena pasar tenaga kerja di Indonesia. adalah (1) Seba bnya fleksibilitas upah yang menjamin full employment dengan tingkat upah yang seragam tidak tejadi di Indonesia. Pada kenyataannya, perbedaan tingkat upah tejadi antar sektor ekonomi misalnya antara sektor pertanian dengan sektor industri ; (2) kekakuan upah seperti upah minimum sebagairnana dikemukakan Keynes, hanya bertaku pada sektor moderen (industri, pemerintah, dan lain-lain), dan tidak berlaku bagi sektor - pertanian, dan (3) pada kenyataannya tidak semua tenaga keja di Indonesia terserap dalam sektor formal (sektor pertanian, industri, pemerintah dan lain-lain) sebagaimana menurut Neo Klasik, tetapi juga tidak benar-benar menganggur (penganggur terbuka), sebagaimana menurut Keynes.. Tenaga kerja yang tidak terserap pada sektor formal terserap pada sektor informal. Teori atokasi tenaga keja yang mungkin lebih relevan untuk menjeiaskan fenomena pasar tenga kerja di Indonesia adalah teori atau model Harris-Todaro (Model H-T). Model H-T ini mengasurnsikan bahwa: (1) pada sewor moderen berlaku"upahminimum yang ditentukan secata kelembagaan; (2) pada seMor pertanian berlaku fleksibilitas upah dan, (3) tenaga kerja yang tidak terserap pada sektor moderen dan tidak bersedia bekerja di sektor pertanian migrasi ke sektor informal dengan pendapatan atau "tingkat upah" an& sektor pehnian dan sektor moderen. Mengikuti Model H-T, untuk mnjelaskan fenomena aloksi tenaga kerja antar sektor, sektor ekonomi dibagi atas tiga sektor (sebagai penyederhanaan) yakni seMor pertanian, seMor moderen dan sektor informat. Sektor pertanian mmpunyai fungsi produksi yang ditentukan oleh penggunaan tenaga keja dan kapital. Dernikian juga sektor moderen, produksi seMor moderen tergantung pada penggunaan tenaga kerja dan kapital. Mengikuti Model H-T, maka ketiga seMor tersebut diceminkan oleh fungsi berikut : YA = YA(LA,&) ...................................................... (64) YM = YM(b,k).................................................... (65) WA = a Y ~ / LA a ....................................................... (66) dimana: YM = Produksi sektor moderen. = Tenaga kerja yang terserap pada sektor moderen . = Kapital pada sektor moderen. = Upah sektor peitanian. = Upah sektor mderen. = Tenaga kerja pada sektor informal. = Harga produk &or pertanian. = Harga produk sektor moderen. = Total angkatan kej a nasional. Mengikuti Model H-T, keseirnbangan alokasi tenaga kej a antar ketiga sektor tersebut dapat diperlihatkan pada Gambar 4. knurut Harris-Todaro, bila upah di sektor moderen adalah sebesar WM2, maka mengikuti kurva H-T, upah mMor pertanian adalah sebesar WAI . Dengan demikian jumlah tenaga keja yang terserap pada sektor pertanian adalah sebesar ALA3 ; pada sektor moderen sebesar MLM sedangkan pada seMor informal sebesar LA3LM. Tenaga kerja yang masuk ke sektor informal ini merupakan tenaga keja yang tidak dapat masuk ke sektor moderen dan tidak bersedia bekeja di sektor pertanian. Dengan kata lain tenaga kej a sektor infomaal ini merupakan migrasi dari seMor pertanian. Gambar 4. Alokasi Tenaga Kej a Antar Sektor Menurut Model HarrisTodaro Keterangan : W& = WM1 : Upah keseimbangan Neo-Klasik DA = Kurva permintaan tenaga kerja seMor pertanian = Kuwa permintaan tenaga keja seMor moderen DM H-T = Kurva Harris-Todaro untuk sektor informal mengikuti persamaan LM. WM = WA (LM + LA) Bila sektor moderen dan sektor informal ini disebut sebagai sektor non pertanian, maka perubahan jumlah tenaga keja di sektor non pertanian menurut Harris-Todaro dimmuskan sebagai berikut : d ( ~ + L I ) = M [ ( L u I ~ + ~ ) ] W M ......................... -WA (70) dirnana : M' > 0 Dengan demikian persatman (70) menjelaskan bahwa perbedaan upah antar sektor pertanian dan sektor moderen merupakan fatctor penarik migrasi tenaga kerja dari sektor perknian ke sektor non pertanian. Migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian menyebabkan pewbahan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian, sektor moderen dan sektor informal. Perubahan tersebut dan faktor-faktor yang mempengaruhi dapat dijelaskan sebagai berikut : Dengan melakukan defrensial total dari kornbinasi persamaan (66) dan (67) dapat diperoleh persamaan berikut : h + LM). ................. ............. ......... ......................... ........(73) dimana : = Elastisitas permintaan tenaga kerja terhadap upah pertanian; Ea> 0 Sa = Pangsa penyerapan tenaga kerb sektor pertanian dari 0 < Sa< 1 angkatan kerja ; sektor total h LA = Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja #&or pertanian A KA = Perturnbuhan kapital sektor pertanian A = Pertumbuhantotal angkatan kerja nasional 1 A WM = Pertumbuhan upah sektor moderen A LM = Pertumbuhan penyerapan tenaga kei-jasektor moderen Persamaan (71) menjelaskan bahwa peningkatan kapital di sektor pertanian dan pertumbuhan total anghtan kerja nasional akan meningkatkan jumlah tenaga keja di sektor pertanian. Selain itu, peningkatan kesempatan kerja di sektor moderen akan mnunrnkan tenaga kej a di &tor pertanian. Perubahan penyerapan tenaga kerja di sektor moderen, dapat diturunkan dari persamaan (08) sebagai berikut : dimana : A LM = Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja seMor moderen Em = Elastisitas pemintaan tenaga kej a terhadap upah A sektor modem PA I PM= Laju pertumbuhan harga relatif produk pertanian dengan produk sektor d e r e n h KM = Laju pertumbuhan kapital di sektor modeten Persamaan (72) mnjelaskan bahwa pertumbuhan kapttal di sektor modefen akan &ningkatkan penyerapan tenaga kerja bila bju harga relatif produk sektor pertanian dengan produk sektor moderen lebih besar dari Iaju peningkatan upah. Kemudian, perubahan penyerapan tenaga kerja di sektor informal dapat diturunkan dengan melakukan defrensial total persamaan (69) dan mensubstitusi persamaan (71)dan (72)sebagai berikut: dimana : SI = Pangsa tenaga keja &or kerja nasional informal dalam total angkatan A I = Laju pertumbuhan penyerapan tenaga kej a sektor informal &,=Pangsa tenaga kerja W o r ' W e r e n dari total angkatan kerja nasional Persamaafi (73) mnjelaskan bahwa jumlah tenaga kej a sektor informal akan riieningkat bila terjadi pertumbuhan total angkatan kerja nasional dan peningkatan upah di sektor modefen. Selain itu peningkatan kapital di sektor pettanian akan menurunkan jumlah tenaga kerja pada sektor informal. Untuk mnjelaskan perilaku penyerapan tenaga kerja sebagaimana dikemukakan di atas, memrlukan data jumlah tenaga kerja yang terserap pada sektor informal, sektor moderen dan sektor peftanian. Sayangnya data tentang tenaga kerja di sektor informal tidak terdokumentasi dengan baik sehingga perilaku penyerapan tenaga kerja model tiga sektor tersebut tidak dapat dilakukan. Mengatasi masalah ini diasumsikan bahwa tenaga kerja sektor informal mrupakan tenaga kerja yang tidak tersedia bagi sektor pertanian, sehingga tenaga kerja yang bekeja pada sektor informal digabung dengan tenaga kej a pada sektor moderen dan disebut sebagai tenaga ketja non pertanian. Dengan demikian analisis penyerapan tenaga kerja dalam studi ini digunakan model dua sektor yaitu sektor pertanian dan sektor non pertanian (sesuai tujuan studi ini). Berdasarkan pemikiran yang dikemukakn diatas, maka perilaku penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian dengan &or non pertanian dirumuskan sebagai brikut : SAL = SAL ( CSG f CSNA ,PBMA - PDBA) .................... .. (76) dimana : L = Total tenaga kerja nasional CSG = Total kapital stok sektor pertanian = Total kapital stok seMor non pertanian = Pangsa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian yang CSNA SAL menrpakan suatu fungsi yang bernilai antara no! dengan satu -. Perbedaan PDB s e ~ o t non pertanian dengan PDB saktor pertanian pada persamaan (76) tersebut sakaligus dapat menangkap perbedaan tingkat upah, perbedaan teknologi dan perbedsan harapan tingkat kesejahteraan pada kedua sektor. 3.1 1 Pengaruh Penghapusan Distorsi Nitai Tukar dan Perdagangan. Untuk menjelaskan bagairnana pengaruh peng hapusan distorsi nilai tukar dan perdagangan digunakan bantuan grafik sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5. Kondisi sektor ekspor (eksportable) pertanian diperlihatkan pada Gambar SA, dimana SA merupakan kuwa penawaran produk sektor ekspor, DA mrupakan kuwa permintaan domestik dan PWX mrupakan harga intemasional yang sekaligus A. SeMor Eksportable B. Pasar Valuta Asing C. Sektor importable Gambar 5. Pengawh Penghapusan Distorri Nilai Tukar dan Perdagangan Terhadap Sektor Ekspodable dan SeMor importable merupakan kurva pennintaan pasar internasional yang dihadapi lndonesia (diasumsikan lndonesia p t i x taker di pasar internasional ). Garnbar 5B menggambarkan pasar valuta asing yakni nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Seriht, dimna S $ dan D $ berturut-tumt penawaran dan permintaan mta uang dollar Amen'ka Serikat. Gambar 5C menggambarkan kondisi sektor industri substitusi impor (importable)dimana SNA dan DNA berturut-turut adalah penawaran dan permintaan produk industri yang bersangkutan. Dengan asumsi Indonesia juga price taker pada pasar produk industri tersebut di pasar intemasional, maka harga intemasional produk industri adalah PWM yang sekaligus merupakan kuwa penawaran produk internasional yang -- dihadapi Indonesia, Sebelum menjelaskan penghapusan distrosi nilai tukar dan perdagangan, terlebih dahulu dijelaskan kondisi perekonomian (sektor eksportable)dan sektor imporfabb) dalam kurun waktu tahun 1969-1996. Sebagaimana dikemukakan sebelumya. bahwa selam tahun 1969-1996 mata uang rupiah telah mengalami over valued yang digambarkan oleh €2 pada Gambar 5B. Untuk mempertahankan nilai tukar Ez pemerintah harus rnanilikl cadangan devisa minimum sebesar FG. Dengan nilai tukar Eq, maka harga produk eksportable di pasar domestik adalah sebesar P2= PWX*E2,sedangkan harga barang-barang importable di dalam negeri adalah sebesar P2 = PWM'E2. Oleh karena pemerintah juga mnerapkan kebijakan proteksi impor dan ekspor pada kurun wktu 196Sl996, maka produk sektor ekqmt8ble di dalam negeri adalah sebesar PI = E2 (1 - tJ PWX dirnana tx merupakan pajak implisit ekspor. Sedangkan harga produk sektor iinportable di dalam negeri adalah P4= E2( 1 + b)PWM dimana merupakan tarif implisit impor. Pada tingkat harga produk sektor ekspoftabiedomestik sebesar PI maka eksporl sektor tersebut hanya sebesar TK dengan nilai ekspor OPITK. Sedangkan pada harga domestik produk importable sebesar P.+, volume impor adalah sebesar RV dengan nilai devisa yang diperlukan seksar OPCRV. Dengan demikian rasio harga produk eksporfable terhadap harga produk importable di dalam negeri adalah PI I P4. Seandainya Indonesia memberlakukan liberalisasi perdagangan sejak awal pembangunan, maka harga produk eksportable di dalam negeri rnenjadi P2 = E2 . PWX dan harga produk importable di dalam negeri menjadi P2= EZ. PWM. Pada tingkat harga eksportable di dalam negeri sebesar P2 , volume ekspor Indonesia adalah sebesar R t dengan devisa yang dihasilkan sebesar OPz* RL. Dengan demikian pendapatan bruto sektor eksportable adalah sebesar OP2*P2tyang bersumber dari pasar domestik sebesar OP1*P2Rdan dari pasar internasional sebesar OP2*RL. Kemudian pada tingkat harga barang importable domestik sebesar P2, maka volume Impor adalah sebesar HZ dengan devisa yang digunakan sebesar OP2*HZ. Pendapatan bruto dari sektor tersebut ini adalah ditentukan oleh selisih OP2*P2H dengan OPiHZ. Dengan demikian secara teoritis, bila sektor pertanian adalah sektor eksportable dan sektor non pertanian sektor imptable maka penghapusan distrcsi perdagangan (liberalisasi perdagangan) akan meningkatkan produk dmmtik bruto sektor seMor ekspor2able dan menurunkan produk domestik bruto s e b r importable. Selain itu, harga relatif produk sektor eksport8bb terhadap harga produk importable meningkat dari Pt 1 P4mnjadi Pp!P2. Perlu' dicatat bahwa pada tingkat harga P2 dan nilai tukar sebesar E2,sektor seMor eksportable masih dikenakan pajak nilai tukar sebesar ErE2 untuk setiap dollar yang dipetoleh dari ekspor. Sebaliknya produk importable masih mmperoleh subsidi nilai tukar sebesar -2 untuk setiap dollar yang diirnpor. Jika liberalisasi perdagangan diikuti dengan koreksi nilai tukar tepat atau mendekati nilai keseimbangan yakni Es, maka harga produk sektor eksportable di pasar domestik adalah Pg = E3*PWX, sementara harga produk importabledi pasar domestik adalah sebesar P3= WPWM. Pada tingkat harga produk sektor eksportable di pasar domstik sebesar P3,volume ekspor sekfor eksportable adalah sebesar MN dengan devisa yang dihasilkan sebesar OP3*MN.Pendapatan Bruto sektor seMor eksportable adalah sebesar OP3*P3Nyang bersurnber dari pasar domstik sebesar OP3*P3M dan dari pasar internasional sebesar OP3*MN. Sementara itu. dengan harga produk importable di dalam negeri sebesar Pa, volume impor adalah sebesar JW dengan devisa yang diperlukan sebesar OP3*JW. Dengan demikian pendapatan brut0 seMor importable adalah ditentukan selisih antara OP3'Pd dengan OPjJW. Dari uraian teoritis tersebut diatas menunjukkan bahwa penghapusan distrosi nilai tukar dan perdagangan akan mmpengaruhi perekonomian Indonesia sebagai berikut : Pertama; Harga relatif praduk pertanian terhadap harga produk industti (non pertanian) akan meningkat. Peningkatan harga ini akan menarik sumberdaya dari sektor non pertanian ke sektor pertanian sedemikian rupa sehingga meningkatkan produksi sektor pertanian dan menurunkan produksi sektor non pertanian. Kedua; Peningkatan produksi pertanian akan meningkatkan ekspor produk pertanian, sedangkan penurunan produksi sektor meningkatkan impor produk industri. industri akan