BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dewasa ini perkembangan pembangunan ekonomi dalam bidang perbankan menunjukkan peningkatan yang pesat. Hal itu dapat dilihat dari semakin besarnya kredit yang disalurkan ke masyarakat sebagai akibat paket kebijakan di bidang perbankan. Pembangunan ekonomi di bidang perbankan ini membutuhkan modal yang sangat besar dalam penanganannya, sehingga masalah hutang piutang dewasa ini sudah merupakan suatu masalah umum yang terjadi di dunia perbankan. Dalam perkembangannya, hutang piutang ini banyak dimanfaatkan di dalam dunia usaha. Hal ini sejalan dengan kemajuan yang dicapai dari kebijaksanaan pembangunan perekonomian yang menimbulkan permintaan akan modal melalui fasilitas kredit 1 . Muchdarsyah Sinungan menyebutkan bahwa lembaga keuangan bank sangat dibutuhkan keberadannya oleh masyarakat sesuai dengan defenisinya, yaitu “lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa – jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang” 2 . Lembaga keuangan dengan kegiatan utamanya 1 S. Mantayborbir, dkk, Pengurusan Piutang Negara Macet Pada PUPN/BUPLN (Suatu Kajian Teori dan Praktik), (Medan:Putaka Bangsa press, 2001), hal. 1. 2 Muchdarsyah Sinaung, Uang dan Bank, (Jakarta:Pudy Cipta, 1991), hal 11. Liat juga Muhammad Djumhana, Hukum perbankan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, bandung, 2000, hal 77 mengatakan bahwa peranan lembaga keuangan yaitu sebagai perantara masyarakat (financial intermeditiary). 1 Universitas Sumatera Utara menghimpun dana dan menyalurkan kredit, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam kegiatan prekonomian. Lembaga keuangan bank tersebut di atas dalam operasionalnya diatur dalam Undang – Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang –Undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam pasal 1 angksaa 2 disebutkan “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk – bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Bank dalam hal ini berperan sebagai pemberi kredit kepada debitur. Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas perkreditan yang sehat. Faktor – faktor yang harus di perhatikan dalam pemberian kredit adalah sebagai berikut: 1. Harus dilakukan dengan menggunakan prinsip kehati – hatian (prudential principles) 2. Harus mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. 3. Wajib memenuhi cara – cara yang tidak merugikan bank dan masyarakat yang mempercayakan dananya pada bank. 4. Harus memperhatikan asas – asas perkreditan yang sehat. Karena perkembangan ekonomi dan perdagangan akan diikuti oleh perkembangan kebutuhan akan kredit dan pemberian fasilitas kredit memerlukan jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut maka adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dihindari lagi. Karena itu pemberian kredit merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dihindari lagi. Universitas Sumatera Utara Karena itu pemberian kredit perlu didukung dengan agunan yang memadai sebagaimana disebutkan pada pasal 1 butir 23 Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 bahwa “Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”. Oleh karena itu agunan tersebut adalah upaya preventif apabila di kemudian hari pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) sesuai dengan persyaratan yang telah disepkati bersama, atau dengan istilah lain akhirnya akan melahirkan kredit bermasalah atau kredit macet. 3 Dengan demikian berarti, istilah “agunan” sebagai terjemahan dari istilah collecteral merupakan bagian dari istilah “jaminan” pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Artinya pengertian “jaminan” lebih luas daripada pengertian “agunan”, dimana agunan berkaitan dengan “barang”, sementara “jaminan” tidak hanya berkaitan dengan “barang”, tetapi berkaitan pula dengan chracter, capacity, capital dan condition of economic 4 dari nasabah debitur yang bersangkutan. 3Munir Fuady, Hukum perbankan Modern, Buku I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal 201. Lihat Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku I, PT. Citra Aditya Bakti, bandung, 1996, hal 177. Lihat jug Rhmad Usman, Aspek – Aspek hukum perbankan Di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jkarta, 2001, hal 225, menyataka bank harus meyakini bahwa kredit yang akan diberikannya dapat dilunasi kembali pada waktunya oleh nasabah debitur dan tidak akan berkembang menjadi kredit bermasalah atau macet. Lihat juga hasanuddin Rahman, Aspek – Aspek Hukum pemberian kredit Perbankan di Indonesia (Panduan Dasar Legal Officer), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal 120. 4 Djuhendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaaan Bahi Tanah Dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Horisontal, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal 12. Universitas Sumatera Utara Menurut Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum perdata menetapkan bahwa “Segala kebendaan siberutang, baik yang berupa benda bergerak maupun benda yang tidak bergerak/benda tetap, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” 5 Menurut J. Satrio hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan – jaminan piutang seorang kreditor terhadap seorang debitur. Ringkasnya hukum jaminan adalah hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang (J. Satrio, 2002: 3). 6 Hukum jaminan memiliki kaitan erat dengan bidang hukum benda dan perbankan yakni sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, yang salah satu usahanya adalah memberikan kredit. Di samping itu juga fungsi jaminan berfungsi melindungi bank dari kerugian yang terjadi baik disengaja maupun yang tidak di sengaja dari pihak debitur. Jaminan kredit biasanya harus melebihi nilai kredit yang diberikan, sehingga jaminan ini bisa dijadikan beban kepada debitur untuk dapat mengembalikan kredit dalam jangka waktu yang telah diperjanjikan. Nilai dan legalitas dari sebuah jaminan yang dikuasai oleh bank atau yang disediakan oleh debitur harus cukup untuk menjamin fasilitas kredit yang diterima nasabah/ debitur. 5 R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Edisi Revisi, cetakan duapuluh delapan, PT. Pradnya Paramita, 1996, hal 291 6 Rchamdi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Hal 1 Universitas Sumatera Utara Kegunaan jaminan adalah untuk: 1. memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk dapat pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut, apabila nasabah melakukan cidera janji, yaitu, tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. 2. Menjamin agar nasabah berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang – kurangnya kemungkinan untuk dapat berbut demikian diperkecil terjadinya. 3. Memeberi dorongan kepada debitur (tertagih) unutuk memenuhi perjanjiankredit khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar tidak kehilangan kekayaan yang telah dijamin kepada bank. Perjanjian kredit harus diukung dengan jaminan dan agunan yang memadai. Dukungan jaminan ini merupakan upaya preventif bank, dimana apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi dikemudian hari maka bank dapat mengeksekui jaminan/agunan untuk membayar hutang dari debitur, maka didalam akta perjanjian kredit tersebut disebutkan jaminan atau agunan. Dalam hal si debitur melalaikan atau tidak memenuhi kewajiban – kewajibannya seperti apa yang telah disepakati bersama dalam perjanjian kredit atau adanya itikad tidak baik dari debitur maka terjadilah wanprestasi atau kredit macet. Berbagai macam banyaknya barang jaminan yang dapat dijadikan sebagai jaminan kredit, maka dalam hal ini tanah merupakan barang jaminan yang banyak disukai oleh kreditur, karena tanah pada umumnya mudah dijual, harganya terus meningkat dan dapat dibebani hak tanggungan yang memberikan hak istimewa kepada kreditur. Universitas Sumatera Utara Menurut pasal 1 ayat (1) Undang – undang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa: Hak Tanggungan atas tanah beserta beserta benda – benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalh hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang – undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan satu kesatuan dengfan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memeberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. 7 Dengan keluarnya Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah (UUHT) maka UUHT tersebutlah yang ada dan berlaku di Indonesia saat ini. Lahirnya undang – undang ini merupakan perwujudan dari ketentuan pasal 51 UUPA yang mengamanahkan terciptanya suatu lembaga jaminan yang dapat dibebankan pada hak atas tanah. Dasar pertimbangan hukum terbentuknya UUHT diantaranya adalah sejalan dengan meingkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi dikaitkan dengan kebutuhan penyediaan dana yang cukup besar dan memerlukan suatu lembaga jaminan yang kuat serta mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan, hal ini dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan dapat memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap krediturkreditur lain. Kreditur tertentu yang dimaksud adalah yang memperoleh atau yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut. 7 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah), UU No. 4 Tahun 1996 (LN 1996-42), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal 158. Universitas Sumatera Utara Dasar pertimbangan hukum terbentuknya UUHT diantaranya adalah sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi dikaitkan dengan kebutuhan penyediaan dana yang cukup besar dan memerlukan suatu lembaga jaminan yang kuat serta mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan. Sambutan positif terhadap lahirnya UUHT muncul dari berbagai pihak termasuk lembaga perbankan milik Negara sebagai pihak pemberi kredit, dengan mengharapkan undang-undang ini dapat menjadi suatu lembaga jaminan yang kuat serta mampu memberikan kepastian hukum dalam rangka melindungi jaminan kreditnya, sebagaimana dijanjikan dengan ketentuan hukumnya. UUHT yang berlaku saat ini merupakan suatu lembaga jaminan hak atas tanah yang cukup kuat dan mempunyai ciri-ciri pokok sebagai berikut: 1. memberikan kedudukan yang diutamakan atau memiliki hak mendahului (prefern) bagi pemegangnya. 2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek jaminan itu berada 3. Memenuhi asas Spesialitas dan Publisitas yang dapat memihak pihak ketiga serta memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan. 4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya Universitas Sumatera Utara Pada prinsipnya dalam suatu kredit perbankan menghendaki bahwa si debitur/penanggung hutang dapat mengembalikan hutang-hutangnya berupa hutang pokok dan bunga tepat waktu sesuai dengan perjanjian kepada kreditur/bank. Namun dapat pula terjadi bahwa si debitur/penanggung hutang tidak dapat mencicil/melunasi hutangnya berupa hutang pokok dan bunga kredit, baik sebahagian maupun keseluruhan tepat pada waktu yang diperjanjikan sehingga tunggkan hutang pokok maupun bunga kredit berubah statusnya menjadi kredit macet. Dalam hal ini terjadi kredit macet biasanya terlebih dahulu diselesaikan secara intern oleh pihak bank dengan pihak penerima kredit (debitur), tapi kalau ternyata piutang tersebut tetap tidak dapat diselesaikan secara intern, hutang tersebut dikategorikan sebagai kredit macet. Maka jalan yang harus ditempuh oleh pihak bank selaku kreditur dalam upaya untuk mengebalikan uangnya adalah dengan menggugat nasabah atau debiturnya atas pertanggungan hutangnya melalui pengadilan negeri, tetapi khusus untuk bank pemerintah, sebelum keluarnya peraturan pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 maka usaha pengembalian kredit macet tersebut pengurusannya diserahan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Namun dengan keluarnya peraturan pemerintah nomor 33 tahun 2006 maka pengurusan piutang perusahaan Negara/daerah dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku di bidang perseroan terbatas dan badan usaha milik Negara berserta peraturan pelaksanaannya. Pada dasarnya baik kreditur maupun debitur tidak menghendaki transaksi kredit brakhir dengan jalan eksekusi jaminan. Kredit diberikan dengan harapan dapat Universitas Sumatera Utara membantu debitur berusaha secara lebih baik dibandingkan sebelum menerima kredit, sehingga akan mampu memperoleh keuntungan lebih banyak dan dapat melunasi pinjamannya. Eksekusi jaminan hanya dijalankan bilamana tidak ada jalan lain yang lebih baik untuk menyelesaikan kredit bermasalah. Banyak bank yang mengalami kesulitan dalam menangani kasus kredit, Karena tidak cermat dalam meneliti aspek hukum dan nilai harta yang diajukan oleh debitur sebagai jaminan kredit, walaupun di pengadilan bank menangani kredit bermasalah dengan debitur, namun pelaksanaan eksekusi jaminan sering kali memakan waktu yang dan biaya yang tidak sedikit. Eksekusi Hak Tanggungan telah diatur dalam pasal 20 dan pasal 21 UUHT. Apabila debitur cidera janji dapat ditempuh eksekusi Hak Tanggungan lewat dua kemungkinan yaitu: 1. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melelui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. 2. Title eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan seperti putusan hakim yang memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini dilaksanakan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri di wilayah mana tanah tersebut terletak. B. Perumusan masalah Dari uraian latar belakang diatas, maka dapat diasimpulkan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Dimanakah diatur mengenai tata cara eksekusi dalam peraturan perundangundangan Universitas Sumatera Utara 2. Siapa pihak-pihak yang teribat dalam pelaksanaan eksekusi hak tanggungan sebagai mana yang tertera dalam undang – undang? 3. Apakah prosedur pelaksanaan eksekusi yang dilakukan oleh PT. BANK UOB BUANA dengan JOHN JERRY sebagai cidera janji dalam undangundang telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku? C. Tujuan dan Manfaat Peneliti11an Berkaitan dengan uraian rumusan permasalahan diatas, maka tujuan penenilitan ini adalah sebagai berikut: 1. untuk mengetahui sebab-sebab eksekusi itu dilaksankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku 2. untuk mengetahui siapa-siapa saja yang terlibat dalam pelaksanaan eksekusi 3. untuk mengetahui apakah kasus yang dibahas mengenai pelaksanaan eksekusi yang dilakukan telah benar terlaksana seperti di dalam undangundang atau tidak, Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat: 1. secara teoritis dapat menambah kepustakaan tentang pelaksanaa eksekusi benda tidak bergerak sebagai jaminan hutang akibat wanprestasi debitur dan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu Universitas Sumatera Utara pengetahuan hukum pada umumnya, juga menjadi bahan untuk pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut tetang pelaksanaan eksekusi benda tidak bergerak. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan membawa dampak positif bagi instansi pelaksana dari suatu eksekusi. D. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi ini yang berjudul: “Eksekusi Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Hutang Akibat Wanprestasi Debitur (Tinjauan kasus Pengadilan Negeri Medan)” merupakan hasil dari pemikiran penulis sendiri Judul ini diangkat agar diketahui lebih lanjut mengenai eksekusi dalam pelaksanaannya diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu Skripsi ini merupakan sebuah karya asli dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka. Tulisan ini belum pernah ada yang membuat, kalaupun ada, penulisan penulis yakni substansi pembahasannya berbeda. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Universitas Sumatera Utara E. Tinjauan Kepustakaan Istilah eksekusi menurut Subekti dan Retno Wulan Sutanto diartikan sebagai pelaksanaan putusan. R. Soepomo menyatakan bahwa hal menjalankan putusan hakim sama artinya dengan eksekusi.8 Eksekusi merupakan suatu tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dari pelakasanaan tata tertib beracara di pengadilan.( Yahya Harahap:2004). Menjalankan putusan pengadilan, tidak lain daripada melakasanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan “secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan alat-alat Negara apabila pihak yang kalah tiadak menjalankan secara sukarela. Pada masa belakangan ini, menurut yahya hampir baku dipergunakan istilah hukum “eksekusi” atau “menjalankan eksekusi” (Yahya Harahap). Sita Eksekusi (executoir beslag) ialah sita yang yang diletakkan atau barangbarang yang tercantum dalam amar putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dimana barang – barang tersbut tidak dapat dieksekusi secara langsung, tetapi harus melalui pelangan. 9 Hukum eksekusi mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alatalat Negara guna mambantu pihak berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia dengan sukarela memenuhi bunyi 8 Soetarwo Soemowidjojo, eksekusi oleh PUPN, proyek pendidikan dan latihan BLPK Departeman Keungan RI, Jakarta 1996, hal 7, dikutip dari S. Mantayborbir, Iman Jauhari, Agus Hari Widodo, Hukum piutang dan Lelang Negara di Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa, 2002), hal 163. 9 Wildan Suyuthi, Sita dan Eksekusi, (Jakarta: PT Tatanusa, 2004), Hal 28 Universitas Sumatera Utara putusan dalam waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang. 10 Hal tersebut memberikan kesempatan bagi pihak yang kalah untuk melaksanakan dengan sukarela putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, namun apabila pihak yang kalah tersebut tidak mau melaksanakannya, maka disinilah fungsi eksekusi tersebut. Akan tetapi. Menurut Wirjono Prodjodikoro 11 tidak semua putusan pengadilan itu dilaksanakan, misalnya: a. putusan yang menolak permohonan gugatan b. putusan yang menyatakan suatu keadaan yang sah (atau disebut juga keputusan declaratoir) c. putusan yang menciptakan suatu yang baru (putusan constitutief) Di dalam KUH Perdata di temukan dua istilah yaitu, benda (zaak) dan barang (goed). Pada umumnya yang diartikan dengan benda (berwujud, bagian kekayaan, hak), ialah segala sesuatu / yang ‘dapat’ dikuasai manusia dan dapat dijadikan obyek hukum (499 KUHD). Pengertian ini adalah abstrak, yang dinamakan dengan istilah subyek hukum (pendukung hak dan kewajiban). Kata ‘dapat’ di sini mempunyai arti yang penting, karena membuka berbagai kemungkinan, yaitu pada saat-saat yang tertentu sesuatu itu belum berstatus sebagai obyek hukum, namun pada saat-saat yang lain merupakan byek hukum, seperti aliran listrik. Untuk menjadi obyek hukum ada syarat harus dipenuhi yaitu penguasaan manusia dan mempunyai nilai ekonomi dan karena itu dapat dijadiakan sebagai obyek (perbuatan) hukum. 10 11 R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: Fazco, 1958), Hal 175 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1962), hal 100. Universitas Sumatera Utara Terlihat di sini ‘proses’ yang teriakat pada waktu jika seseorang membuka hutan, dan mengolahnya, lahir penguasaan terhadap tanah tersebut. Penguasaan itu menjadi pasti setelah pohon-pohon yang ditanami pembuka tanah itu tumbuh berbuah, sehingga hutan yang dibuka itu tadi, bukan lagi merupakan ‘res nulus’ akan tetapi sudah ada pemiliknya. 12 Benda dalam arti Ilmu Pengetahuan Hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum sedangkan menurut pasal 499 KUHD benda ialah segala barang dan hak yang dapat menjadi milik orang (objek hak milik). Benda-benda tersebut dapat dibedakan menjadi: 13 a. Benda tetap ialah benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya atau penetapan undang-undang dianyatakan sebagai benda tak bergerak misalnya bangun-bangunan, tanah tanam-tanaman (karena sifatnya) mesin-mesin pabrik, sarang burung yang dapat dimakan (karena tujuannya), hak postal, hak erpah, hak hipotik (karena penentuan undangundang) dan sebagainya. b. Benda bergerak ialah benda-benda yang karena sifatnya atau karena penentuan undang-undang dianggap benda bergerak misalnya alat-alat pekakas, kenderaan, binatang (karena sifatnya), hak-hak yang terdapat surat-surat berharga (karena undang-undang dan sebagainya). Benda tidak bergerak di dalam KUH Perdata terletak di dalam pasal 509 yang menyebabkan adanya penggolongan benda, penggolongan itu terjadi karena: 14 1. sifatnya sendiri menggolongkan kedalam golongan itu, misalnya: a. Tanah serta segala yang tetap ada disitu, umpamanya bangunan, tanaman, pohon-pohonan, kekayaan alam yang ada di dalam bumi dan barang-barang yang belum terpisah dari rumah itu. 12 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,(Bandung: Alumni, 1997), Hal 35. 13 C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-asas Hukum Perdata Cetakan ke Tiga, (Jakarta: Pradya Paramita, 2000) Hal 157. 14 Ibid, hal 160. Universitas Sumatera Utara b. Rumah tujuan menggolongkannya ke dalam golongan itu misalnya: a. Segala macam peralatan yang dipergunakan buat suatu pabrik, atau pertukangan besi. b. Segala macam kaca, gambar serta perhiasan lain yang diikatkan atau diantungkan atau merupakan bagian dari dinding atau kamar atau ruangan pada sebuah rumah atau tempat tinggal c. Segala macam pupuk yang dipergunakan untuk tanah d. Ikan-ikan yang masih dalam kolam-kolam dan sebagainya. 3. Undang-undang menggolongkan ke dalam golongan itu misalnya: a. hak penggunaan hasil atau pemakaian dasi benda itu b. hak servitut c. hak optal d. segala macam tuntutan hukum untuk menuntut kembali suatu barang 2. yang tak bergerak Pada sistem perbankan juga dikenal istilah mengenai jaminan dari suatu benda, khusunya benda tidak bergerak. Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa objek dari jaminan merupakan benda. Jaminan adalah suatu benda atau barang yang dijadikan sebagai tanggungan dalam bentuk pinjaman uang. Selain itu jaminan menurut kamus diartikan sebagai tanggungan (Wjs Poerwardaminta, kamus umum bahasa Indonesia). Di dalam literatur lain disebutkan bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan (Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok hukum perikatan dan Jamin). Istilah “Jaminan” merupakan terjemahan dari istilah Zakerhaeid atau cautie yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditor, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis Universitas Sumatera Utara sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap kreditornya. 15 Dalam perspektif hukum perbankan, istilah “jaminan” ini dibedakan dengan istilah “agunan”. Di bawah Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang PokokPokok Perbankan, tidak dikenal dengan istilah “agunan”, yang ada istilah “jaminan”. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagai mana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, memberi pengertian yang tidak sama dengan istilah “jaminan” menurut Udang-Undang Nomor 14 Tahun 1967. Arti jaminan menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 diberi istilah “agunan” atau “tanggungan”, sedangkan “jaminan” menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, diberi arti lain, yaitu “keyakinan atas itikad dengan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan Perjanjian”. Jaminan hutang dari suatu kegiatan kredit di dalam bank diartikan sebagai “benda” dimana benda tersebut dijadikan sebagai alat untuk menjamin si debitur membayar kewajiban/hutangnya terhadap kreditur. Jaminan hutang ini dimungkinkan, ketika si debitur tidak dapat membayar hutangnya, maka jaminan tersebut sebagai pegangan kreditur agar tidak rugi. 15 Rachmadi Usman, Op.cit, hal 66. Universitas Sumatera Utara Sebuah perjanjian kredit memerlukan jaminan, dimana jaminan itu berupa benda, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Dalam perjanjian kredit sering terjadi suatu kecurangan-kecurangan, yaitu berupa cidera janji atau dapat disebut juga wanprestasi. Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa belanda “wanprestatie”, artinya tidak memenuhu kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. 16 Wanprestasi juga terdapat di dalam kitap Undang – Undang Hukum Perdata yang terletak di dalam pasal 1238, bahwa “si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau denagn sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ia menetapkan, bahwa siberutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Dengan demikian wanprestasi merupakan sebuah bentuk perbuatan yang dilakuka seseorang dengan sengaja maupun tidak disengaja untuk mengingkari suatu perjanjian yang telah dibuat, antara kreditur dan debitur. Dengan adanya sebuah perjanjanjian maka salah satu yang sangat diperhatikan adalah debitur. Debitur merupakan pihak peminjam kepada pihak kreditur. Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, ‘Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan 16 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan Cetakan Ke Dua, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hal 20. Universitas Sumatera Utara berdasarkan prinsip syariah atau dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. F. Metode Penelitian Untuk menghasilkan karya tulis lmiah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya maka harus didukung dengan fakta-fakta/dalil-dalil yang akurat yang diperoleh melalui penelitian. Penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap sesuatu objek yang mudah terpegang, di tangan. 17 Pada dasarnya sesuatu yang dicari itu tidak lain adalah pengetahuan atau lebih tepatnya pengetahuan yang benar, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu. 18 Dalam penulisan skripsi ini penulis berusaha untuk mengumpulkan informasi dan data-data yang diperlukan untuk menjadi bahan dalam penulisan skripsi ini. Bahan-bahan yang telah dikumpulkan tersebut haruslah mempunyai hubungan satu sama lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penelitian yang akan dilakukan adalah Penelitian Hukum Normitif, penelitian ini sering juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. 17 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1997), hal. 27. 18 Ibid, Hal 27-28. Universitas Sumatera Utara Penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum lain. 19 2. Data dan Sumber Data Pada umumnya data dibagi dalam dua jenis data yakni data primer dan data sekunder. Data primer (primary data) adalah data yang diperoleh peneliti langsung dari sumber pertama, yakni perilaku individu atau masyarakat. Untuk memperoleh data primer, perlu dilakukan pengumpulan data langsung kepada masyarakat dengan cara wawancara, quisioner/angket, pengamatan (observasi) baik secara partisipatif maupun nonpartisipatif. Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh dari sumber pertama. Data sekunder bisa diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya. 20 Pada penulisan skripsi ini data yang digunakan adalah data sekunder. Di dalam penelitian hukum, data skunder mencakup: 21 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari: (a) Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu pembukaan UUD 1945; (b) Perturan Dasar:mencakup diantaranya Batang Tubuh UUD 1945; (c) peraturan perundang-undangan; (d) Bahan hukum yang tidak 19 Ali Murthado, Mustafa Kamal Rokan, Metode Penelitian Hukum suatu pemikiran dan penerapan, (Medan: Wal Ashri Publishing, 2008), hal 27. 20 Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Bahan Ajar Metode Penelitian dan Penulisan Hukum,(Medan : Fakultas Hukum USU), hal. 29. 21 Ali Murthado, Mustafa Kamal Rokan, Op. cit, hal 27-28. Universitas Sumatera Utara dikodifikasikan, seperti hukum adat; (e) Yurisprudensi; (f) Traktat; (g) Bahan Hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan UU, hasil-hasil penelitian, hasil karya dar kalangan hukum seterusnya. c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan pentunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya. 3. Alat Pengumpul Data Pada skripsi ini digunakan alat pengumpul data yang digunakan yakni, Studi Kepustakaan, yakni penelitian yang dilakukan berdasarkan bahan-bahan bacaan, dengan cara membaca buku-buku, literatur-literatur, dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. 4. Analisis Data Sebagai penelitian normatif Ronald Dworkin dalam buku Ali Murthado menyatakan penelitian harus berbasis pada analisis norma hukum, baik hukum dalam arti law as it is written in the the books maupun hukum sebagai putusan-putusan pengadilan (law as it is decided by judge throught judicial process). Dengan demikian objek yang dianalisis adalah norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, maupun keputusan- keputusan majelis hakim atau pengadilan. Universitas Sumatera Utara G. Sistematika Penulisan Di dalam penulisan skripsi sangatlah diperlukan suatu sistematika penulisan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulis dalam melakukan penulisan ini, dan juga untuk memudahkan pembaca untuk mengerti dan memahami isi dari skripsi ini. Skripsi ini dibahas dalam lima bab yang masing-masing terdiri dari sub-sub bab. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Pendahuluan merupakan gambaran terhadap masalah-masalah yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya. Pada bab ini terdiri atas 7 (tujuh) sub bab yakni latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN UMUM ATAS WANPRESTASI PADA BENDA TIDAK BERGERAK Pada bab ini dibahas mengenai pengertian wanprestasi secara menditail dan pengertian benda tidak bergerak. Bab ini terdiri dari 4 (empat) sub bab yakni, pengertian wanprestasi, sebab terjadinya wanprestasi, akibat wanprestasi, dan pengertian benda di dalam kitab undang-undang hukum perdata. BAB III : TINJAUAN UMUM ATAS JAMINAN HUTANG DAN EKSEKUSI Pada bab ini dibahas mengenai pemahaman mengenai jaminan hutang dan eksekusi secara mendalam. Bab ini terdiri dari 5 (lima) sub judul yakni, Universitas Sumatera Utara pengertian jaminan hutang, proses terlaksananya hutang dengan jaminan, pengaturan tentang jaminan hutang, pengertian eksekusi, objek eksekusi dan, proses pelaksanaannya. BAB IV : PENELAAHAN KASUS PENETAPAN NOMOR 31 / Eks / HT / 2008 / PN. Mdn Pada bab ini akan dibahas mengenai kasus terjadi pada perjanjian kredit antara PT BANK OUB BUANA Tbk (kreditur) dengan JHON JERRY(debitur). Bab ini terdiri dari 3 (tiga) sub bab yakni, praturan tentang proses eksekusi, pihak – pihak yang terkait dengan proses eksekusi, penelaahan kasus Nomor 31 / Eks /HT / 2008. Universitas Sumatera Utara