BAB VIII PENUTUP A. Contentious Reform Studi ini menghadirkan konstruksi teori contentious reform, sebagai alternatif atas sejumlah teori reformasi dan teori kekuasaan elite. Pertama, teori kekuasaan elite, yang secara kritis menampilkan konsep “orang kuat” atau elite predator, selalu mengabaikan dimensi reformasi dalam pergulatan kekuasaan. Kedua, model incremental reform, atau lazim disebut inovasi, membawa spirit “when politics ends, administration begins”. Cara pandang ini mengedepankan dimensi kepemimpinan visioner dan pendekatan teknokrasi, sekaligus mengabaikan aspek kekuasaan dalam reformasi. Inovasi ini bersifat parsial dan business as usual, bahkan rentan dan tidak berkelanjutan ketika terjadi pergulatan dan perubahan politik. Ketiga, model institutionalized reform sebagai ideal type reformasi, yakni reformasi yang ditempuh melalui pendekatan partisipatoris dan konsensus kolektif, sehingga membuahkan reformasi yang besar, kokoh dan berkelanjutan. Namun model ini terlalu voluntaristik dalam melihat kekuasaan, bahkan institutionalized reform sulit dibangun dalam situasi contentious politics. Keempat, model audacious reform, sangat kuat memperhatikan dimensi pergulatan kekuasaan dalam arena dan proses reformasi. Dalam konteks contentious politics sekalipun, sang pemimpin dengan modalitas dan insentif politik yang dimiliknya, secara nekat melancarkan gebrakan reformasi tanpa harus membangun konsensus politik dengan beragam aktor. Reformasi yang nekat ini hanya membuahkan keberhasilan sementara yang tidak berkelanjutan. Bahkan, secara generik, teori audacious reform ini kurang memperhatikan dimensi reformasi dalam kekuasaan, yakni reformasi sebagai alat untuk membangun dan mendominasi kekuasaan. Sementara contentious reform merupakan sebuah konstruksi teori alternatif untuk memahami dan menjelaskan frasa “kekuasaan dalam reformasi” (baik 272 kekuasaan untuk reformasi maupun reformasi untuk kekuasaan). Dengan memperhatikan dimensi aktor, pertarungan dan konteks, contentious reform mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1. Contentious reform dibentuk oleh contentious politics, sekaligus merupakan bentuk contentious politics yang diwarnai dengan pertarungan reformasi dan kekuasaan. Antara reformasi dan kekuasaan berjalan bersama, saling melekat, berhimpitan dan juga saling bertarung. 2. Dalam reformasi sarat dengan pertarungan kekuasaan, dan sebaliknya setiap perebutan kekuasaan juga mengandung reformasi. Penguasa menggunakan kekuasaan untuk melancarkan reformasi, sekaligus menggunakan reformasi untuk merebut kekuasaan, memukul dan mengalahkan lawan-lawan politik, memperoleh legitimasi dan dukungan rakyat, serta untuk membangun dominasi kekuasaan. 3. Reformasi muncul dari penguasa maupun dari masyarakat. Reformasi yang digerakkan oleh aktor masyarakat dari luar dan dari bawah hadir dalam tiga bentuk. Pertama, aktor masyarakat menggelar wacana, klaim dan gerakan tandingan atas wacana dan kebijakan reformasi yang digelar oleh penguasa. Kedua, aktor masyarakat menggunakan ide, wacana dan praksis reformasi untuk merebut kekuasaan dari tangan penguasa. Ketiga, aktor masyarakat melakukan aksi kolektif untuk mempengaruhi opini publik dan preferensi politik politisi yang berguna untuk mengobarkan pertarungan politik, dengan tujuan mendelegitimasi dan meruntuhkan penguasa. 4. Proses contentious reform tidak berlangsung secara linear mengikuti alur reformasi untuk meraih kesuksesan, tetapi berjalan secara episodik, dialektik, spiral, dramatis, penuh dengan pertarungan kekuasaan, sarat dengan kejutankejutan yang muncul dari beragam aktor, serta tidak dapat dipastikan hasilnya. 5. Pertarungan antaraktor menempatkan penguasa sebagai titik sentrum, yang terjadi secara kompleks pada ranah kekuasaan dan reformasi. Pertarungan tidak hanya menghadirkan aktor reformis, pendukung dan penentangnya, 273 tetapi menghadirkan empat tipe aktor. Pertama, aktor konformis yang mendukung kekuasaan dan sekaligus mendukung reformsi. Kedua, aktor konservatif yang mendukung kekuasaan tetapi menolak reformasi. Ketiga, aktor radikal yang menolak kekuasaan tetapi mendukung reformasi. Keempat, aktor reaksioner yang menolak kekuasaan dan menolak reformasi. 6. Pada episode reformasi, penguasa menggalang dukungan kaum konformis, secara nekat (audacious) mengabaikan kaum konservatif, serta menggunakan reformasi untuk memukul kaum radikal dan kaum reaksioner. 7. Konfigurasi pertarungan antaraktor mengalami perubahan dengan cepat sejalan dengan dinamika pertarungan maupun konfigurasi kekuasaan dan reformasi. Kaum reaksioner adalah aktor yang paling konsisten sejak awal sampai akhir menentang kekuasaan dan reformasi. Kaum radikal berubah posisi: semula menentang kekuasaan dan mendukung reformasi yang diprakarsai penguasa, berubah menjadi penggerak reformasi dari luar yang melawan dominasi kekuasaan dan korupsi. Korupsi penguasa membuka kesempatan, legitimasi publik dan dukungan bagi kaum radikal untuk menentang penguasa dan gerakan antikorupsi. Kaum reaksioner dan kaum radikal bertemu pada satu titik, yaki melawan korupsi. Kaum konformis yang dibuat kecewa dan disingkirkan oleh penguasa juga melakukan hijrah menjadi kaum radikal yang menentang korupsi penguasa. 8. Reformasi yang diprakarsai oleh penguasa melalui pertarungan mampu menghasilkan perubahan institusional dalam tempo pendek. Tetapi cerita sukses reformasi yang bekerja dalam konteks contentious politics yang tiada henti, atau karena dikelola dengan political contention, maka reformasi itu sangat rentan dan mengalami krisis. 9. Reformasi mengalami pembalikan arah ketika setelah reformasi penguasa meraih dominasi kekuasaan dan kekayaan melimpah dari praktik korupsi. Penguasa yang dominan dan korup menjadi sasaran baru reformasi yang digerakkan oleh aktor-aktor radikal dan reaksioner dari masyarakat. Gerakan 274 baru reformasi itu melawan korupsi penguasa, yang mendelegitimasi karya reformasi dan kekuasaan sang penguasa. 10. Contentious reform berhenti jika telah terjadi pergantian kekuasaan yang menghadirkan penguasa baru, rezim baru, dan konfigurasi politik baru. Penguasa baru cenderung menghindari contentious reform, seraya menata ulang (rekonfigurasi) terhadap warisan reformasi rezim sebelumnya. 11. Contentious reform bersifat kontekstual. Konteks yang beragam dan dinamis membentuk pilihan aktor dan dinamika pertarungan antaraktor dalam ranah reformasi dan pergulatan kekuasaan. a. Di balik stuktur dan institusi yang membatasi, aktor politik mampu menemukan dan memanfaatkan struktur kesempatan yang membuka jalan untuk melancarkan reformasi dan meraih kekuasaan. b. Reformasi tidak selalu hadir dalam konteks politik yang konvergen dan stabil, tetapi bisa muncul dalam konteks politik yang konfliktual dan divergen, atau dalam situsi contentious politics. Karena itu berbeda dengan para sarjana apolitik yang menuding politik sebagai penghambat reformasi, cara pandang contentious reform melihat konteks contentious politics bukanlah hambatan bagi reformasi. c. Reformasi tidak mesti lahir dari pemimpin (penguasa) yang kuat, tetapi bisa juga lahir dari pemimpin (penguasa) yang lemah secara politik. Reformasi nekat (audacious reform) yang diambil penguasa lemah (weak ruler) akan membuat penguasa menjadi kuat (strong ruler). d. Proses elektoral selalu menjadi momen dan arena penting bagi pertarungan ganda (reformasi dan kekuasaan) beragam aktor, baik untuk pengawetan kekuasaan maupun pergantian kekuasaan. Ketika terjadi krisis rezim, maka aktor-aktor masyarakat mempunyai kesempatan besar merebut kekuasaan dengan jalan reformasi. Tetapi ketika penguasa petahana tengah berhasil dalam reformasi dan memiliki kekuasaan yang kuat, maka pengawetan kekuasaan berjalan dengan 275 mulus. Tetapi ketika penguasa petahana yang memperoleh kemenangan mutlak dalam proses elektoral, maka dominasi kekuasaan akan hadir dan oposisi dari masyarakat akan melemah. e. Dominasi kekuasaan buah dari reformasi akan diikuti korupsi (elite capture) ketika oposisi (aktor radikal dan reaksioner) melemah. Oposisi melemah dengan sendirinya karena legitimasi dan dukungan politik rakyat terhadap penguasa (reformis sekaligus dominan) menguat. Pada titik ini penguasa menghadapi dilema antara reformasi-demokrasi versus dominasi-korupsi. Pilihan untuk mengatasi dilema ini sangat tergantung pada asal-usul politik penguasa, preferensi atau moral hazard, pengalaman pilihan tindakan masa sebelumnya. Moral hazard untuk mendominasi kekuasaan dan pilihan pertarungan (yang mengandung ongkos tinggi tetapi juga menghadirkan manfaat besar bagi penguasa), meskipun menghadirkan risiko besar, membuat penguasa memilih reformasi-dominasi-korupsi. f. Krisis rezim, yang dipicu oleh korupsi, menjadi konteks yang membuka kesempatan dan legitimasi bagi aktor-aktor masyarakat melakukan gerakan reformasi melawan penguasa. g. Dalam konteks reformasi yang telah mengalami krisis dan delegitimasi, penguasa (reformis-dominan-korup) tidak mungkin mampu menambalnya dengan inisiatif baru reformasi. Reformasi akan berbalik arah, yakni penguasa menjadi musuh bersama dan sasaran tembak reformasi yang digerakkan oleh masyarakat. Dalam kondisi apa contentious reform terjadi? Meskipun pada butir (11) penulis telah mengelaborasi sejumlah konteks di tengah pertarungan, namun ada baiknya penulis memastikan kembali tentang kondisionalitas dalam kerangka konteks, agensi dan pertarungan yang membentuk contentious reform. Penulis menyajikannya dalam tabel 8.1. 276 Tabel 8.1 Kondisionalitas contentious reform dalam kerangka aktor, konteks dan pertarungan No 1 2 3 Komponen Aktor/agensi Deskripsi Pemimpin yang secara personal bermasalah dan menghadapi beban legitimasi Pemimpin yang pro reformasi tetapi antidemokrasi Aktor-aktor politik di parlemen, politisi partai politik, birokrat dan masyarakat terbelah menjadi empat tipe: konservatif, konformis, radikal dan reaksioner Konteks Masyarakat politik yang gaduh (politisasi kuat). (struktur dan Krisis rezim silih berganti yang membuka kesempatan bagi institusi) aktor masyarakat untuk menggerakkan reformasi atau menantang dan merebut kekuasaan. Warisan konflik personal dan institusional yang kompleks Contentious politics yang berkelanjutan. Struktur pemerintahan yang terbelah (divided government) Masyarakat sipil yang sporadis dan musiman Pertarungan Pemimpin memilih jalan pertarungan ketimbang jalan konsensus kolektif. Pemimpin memilih reformasi secara nekat (audacious reform) untuk perubahan kebijakan yang meningkatkan legitimasi dan dukungan rakyat, sekaligus memukul lawan-lawan politik untuk memperkuat kekuasaan. Pemimpin mengabaikan kaum konservatif, sekaligus memobilisasi kaum konformis untuk melawan kaum radikal dan reaksioner, selain dengan strategi bujuk rayu dan transaksi. Pertarungan tidak hanya terjadi di ranah reformasi, tetapi lawan-lawan politik menembak penguasa dari sisi kekuasaan karena watak personal dan warisan konflik masa lalu. Pada dasarnya contentious reform dibentuk oleh konteks contentious politics yang rumit dan berkelanjutan. Namun hubungan antara contentious politics dan contentious reform tidak sederhana meskipun bisa dibuat struktur parsimoni: jika contentious politics maka contentious reform. Keterkaitan tiga komponen besar (aktor, konteks dan pertarungan) dalam contentious reform membentuk bangunan politik yang rumit laksana lingkaran setan atau benang kusut yang susah diurai. Setiap watak aktor akan membentuk watak lain dan tindakan politik. Setiap konteks akan membentuk konteks yang lain karena dibentuk oleh watak aktor dan 277 pilihan tindakan politik. Watak aktor yang bermasalah secara personal dan menghadapi beban legitimasi sangat kompatibel dengan watak reformis otokratis yang antidemokrasi. Dalam situasi masyarakat politik yang gaduh dan krisis rezim, yang disambut dengan oleh aktor reformis-otokratis (yang memiliki moral hazard tinggi untuk berkuasa dengan membawa reformasi) dengan pertarungan, akan membentuk contentious politics pada babak awal. Pro kontra dan divided government terjadi, sehingga membentuk pertarungan kompleks empat tipe aktor. Kondisi contentious politics membuat pemimpin (penguasa) dalam posisi lemah. Pemimpin dihadapkan pada banyak pilihan (bagan 8.1): (a) menjadi pemimpin konservatif (yang anti demokrasi dan sekaligus tidak mau/berani melakukan reformasi); (b) pemimpin lemah (demokratis dan merakyat, tetapi enggan/takut melakukan reformasi); (c) pemimpin reformis-otokratis (mau/berani melakukan reformasi, tetapi otokratis atau antidemokrasi, yang mempunyai moral hazard kuat untuk berkuasa); atau (d) atau menjadi pemimpin yang sempurna (reformis sekaligus demokratis). Karena karakter awal aktor politik dan situasi contentious politics, sang penguasa cenderung memilih sikap reformis-otokratis untuk memenangkan kekuasaan dengan reformasi melalui pertarungan dengan lawan-lawan politiknya. Pilihan ini membutuhkan ongkos yang tinggi dan proyeksi manfaat sangat tinggi bagi penguasa meskipun juga mendatangkan risiko besar bagi institusi. Karena itu konteks contentious politics akan membuahkan hasil yang beragam tergantung pada tipe pemimpin seperti tersaji dalam bagan 8.1. Pertama, pemimpin konservatif bekerja secara taken for granted, membiarkan contentious politics terus berlangsung tanpa solusi demokrasi maupun reformasi. Tidak jarang pemimpin daerah konservatif ini menjadi pemimpin bermasalah, yang korup, tanpa melakukan perubahan, sekaligus memupuk kekuasaan dengan cara otokratis, yang akhirnya berujung di penjara. 278 Kedua, pemimpin lemah yang prodemokrasi akan memilih jalan politik akomodasi dan konvergensi elite sehingga mampu meredakan contentious politics dan menciptakan harmoni. Tetapi demokrasi tanpa reformasi ini tidak membawa perubahan governability yang lebih baik. Bagan 8.1 Tipologi watak dan pilihan politik pemimpin (penguasa) Sikap terhadap demokrasi Enggan/takut Sikap terhadap reformasi Mau/berani Anti Pro Pemimpin konservatif Pemimpin Lemah Pemimpin reformis-otokratis Pemimpin reformis-demokratis Ketiga, pemimpin reformis-otokratis yang antidemokrasi berani menggelar pertarungan reformasi yang populis untuk memadamkan contentious politics sekaligus membangun dominasi kekuasaan. Di tangan pemimpin reformisotokratis, contentious politics akan mengalami transformasi secara dinamikdramatik menjadi contentious reform. Keempat, pemimpin reformis-demokratis akan memilih jalan reformasi secara demokratis, yakni menggelar negosiasi deliberatif dengan beragam aktor untuk membangun konsensus dan aksi kolektif tentang reformasi. Di tangan pemimpin reformis-demokratis, proses negosiasi deliberatif itu akan membuahkan perubahan contentious politics menjadi institutionalized reform meskipun membutuhkan ongkos dan energi yang besar serta waktu yang panjang. Tipologi kepemimpinan itu tentu mempunyai daya abstraksi-generalisasi yang mampu menembus ruang dan waktu. Sementara contentious reform yang 279 digerakkan oleh pemimpin reformis-otokratis tentu bersifat kontekstual, yang tidak menyajikan struktur parsimoni dan generalisasi. Tetapi ada sejumlah prinsip penting yang bisa menjadi landasan generalisasi bagi model contentious reform. Pertama, contentious reform hanya terjadi ketika reformasi bukan untuk membentuk pemerintahan demokratis dan governability yang kokoh, tetapi yang utama, reformasi menjadi instrumen untuk membangun, mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan. Kedua, contentious reform hanya terjadi dalam pemerintahan yang dikuasai oleh pemimpin yang berwatak otokratis-reformis. Ia melakukan perombakan birokrasi, menciptakan efisiensi, mengalihkan efisiensi dana untuk membiayai kebijakan populis, tetapi tidak didukung dengan perhitungan teknokratis-manajerial yang memadai. Ia menggelar reformasi tetapi antidemokrasi, dan di balik itu sang pemimpin juga melakukan korupsi. Karena itu kombinasi antara gebrakan reformasi, konsolidasi kekuasaan dan korupsi merupakan eksemplar model contentious reform. Ketiga, contentious reform hanya terjadi dalam konteks contentious politics yang kompleks dan berkelanjutan. B. Melampaui Jembrana Pelajaran apa yang bisa diambil dari pengalaman drama contentious reform Jembrana? Apa sumbangan contentious reform Jembrana bagi studi politik lokal di Indonesia dan studi politik pada umumnya? Sumbangan penting studi ini adalah contentious reform. Model contentious reform ini memiliki relevansi bagi studi politik, khususnya menantang studi kekuasaan elite dan studi reformasi. Pertama, contentious reform menantang dan melampaui konsep elite capture, elite predator, orang kuat, maupun pembajakan demokrasi yang sering dipakai oleh studi kekuasaan elite. Dalam kondisi apa elite predator lahir? Apakah mereka hadir by nature? Apakah mereka warisan dari feodalisme dan kelanjutan Orde Baru? Kalaupun seorang aktor mempunyai watak feodal dan mempunyai asalusul politik yang kuat, apakah ia langsung menjadi elite predator? Bagaimana teori elite itu memahami kehadiran orang kuat karena ia melakukan reformasi yang pro 280 rakyat? Bagaimana memahami seorang IGW di Jembrana yang dilahirkan sebagai orang biasa, berkasta rendah, bukan didikan politik Orde Baru, tetapi bisa menjadi orang kuat? Teori kekuasaan elite tidak mampu menjawab sejumlah pertanyaan itu, karena ia hanya berbicara kekuasaan tetapi tidak berbicara tentang reformasi dalam kekuasaan. Sebagai alternatif atas teori kekuasaan elite, contentious reform tentu mampu menjawab sejumlah pertanyaan itu. Seorang aktor politik yang lemah dan bukan elite bisa menciptakan contentious politics, mereka bisa dilahirkan oleh contentious politics, bisa merebut kekuasaan dengan reformasi, bisa menjadi penguasa yang kuat-dominan karena menciptakan contentious reform, dan akhirnya bisa runtuh karena digulung oleh contentious reform. Trajektori elite dalam contentious reform ini bersifat kontekstual, yang tidak bisa dijawab dengan baik oleh teori kekuasaan elite. Kedua, model contentious reform berguna untuk memahami dinamika proses dan hasil reformasi, politik di balik reformasi, pertarungan antara reformasi dan kekuasaan, serta kesuksesan temporer reformasi dan erosi reformasi. Model contentious reform itu merupakan alternatif atas model incremental reform, institutionalized reform serta audacious reform. Model incremental reform, atau lebih tepat disebut sebagai inovasi, bersifat apolitik yang mengabaikan kekuasaan. Seolah-olah inovasi bekerja di ruang yang hampa kekuasaan. Inovasi pemerintahan menurut model ini terjadi karena kepemimpinan (visi, keberanian, kewirausahaan dan kapasitas) serta rekayasa teknokratis yang membuat pemerintahan dan pelayanan publik menjadi efektif dan efisien. Politik, menurut perspektif ini adalah penghambat reformasi, sehingga pemimpin reformis harus diberikan otonomi dari berbagai tekanan politik (Mark Eric Williams, 2002). Pandangan ini paralel dengan dengan semangat “when politics ends, administration begins”, bahwa kontestasi politik harus segera berakhir lalu bergeser pada domain administrasi, agar inovasi berjalan untuk perbaikan pemerintahan dan pelayanan publik. 281 Pandangan antipolitik itu terlalu naif sebab dalam administrasi terdapat politik, dan reformasi adalah tindakan politik, yakni dalam proses reformasi selalu terdapat kontestasi politik. Rekayasa teknokrasi dalam reformasi tanpa politik tentu tidak akan menghasilkan perubahan yang fundamental. Reformasi secara teknokratis hanya bersifat parsial, tambal sulam, dan businees as usual tetapi struktur kemapanan tidak akan berubah. Bahkan inovasi parsial bisa dengan mudah mengalami erosi ketika terjadi perubahan politik. Berbeda dengan inovasi teknokratis yang apolitik, model audacious reform menekankan dimensi kekuasaan dalam reformasi, atau menekankan reformasi sebagai tujuan dan arena bagi penggunaan kekuasaan (power exercise), yakni penguasa/pemimpin menggunakan power to untuk menjalankan reformasi. Sang pemimpin menggelar kontestasi kekuasaan untuk melancarkan prakarsa reformasi melalui penggalangan para pendukung, sembari secara nekat mengabaikan para penentangnya baik di partai politik, parlemen maupun kelompok-kelompok masyarakat. Dalam praktik sang bupati/walikota secara nekat melakukan reformasi kebijakan hanya dengan Peraturan Bupati/Walikota, bukan dengan Peraturan Daerah yang harus melibatkan konsensus politik dengan parlemen. Tujuan-tujuan reformasi bisa berhasil dengan cepat bila sang pengusung reformasi tampil sebagai orang kuat yang berani dan nekat menggunakan kekuasaannya untuk menjalankan reformasi. Namun reformasi model ini hanya membuahkan kesuksesan sementara yang tidak berkelanjutan, karena tidak terlembaga dan kurang memperoleh dukungan politik secara luas. Sementara institutionalized reform dapat dikatakan sebagai ideal type reformasi, yang berproses melalui negosiasi antaraktor dari atas dan dari bawah, sehingga mampu menghasilkan smart reform yang demokratis serta membuahkan hasil-hasil yang kokoh dan berkelanjutan. Model ini sangat relevan sebagai kerangka preskripsi bagi reformasi, tetapi kurang mampu menjadi alat deskripsi dan ekplanasi terhadap proses reformasi, sebab ia terlalu normatif, voluntaristik, tidak empirik, dan mengabaikan konteks. Dalam kondisi contentious politics yang 282 minor, kekuasaan yang berimbang, politik yang kompetitif, masyarakat sipil yang aktif dan kuat, serta hadir pemimpin reformis-demokratis, tentu akan menghadirkan institutionalized reform yang demokratis. Tetapi apakah ada teladan baik smart reform itu dari sejumlah daerah di Indonesia? Apakah Kota Surakarta, Kota Bandung dan Kota Surabaya – yang sering disebut menjadi best practices daerah inovatif – mempunyai predikat institutionalized reform? Ini adalah puzzle yang perlu dijawab lebih lanjut dengan penelitian empirik. Ketiga, contentious reform menantang teori aktor rasional atau teori kalkulus dalam reformasi. Reformasi yang dipimpin elite tidak serta merta karena kalkulasi rasional (ongkos rendah, manfaat besar, dan risiko kecil atau kenyamanan besar). Reformasi juga bisa didorong oleh penguasa yang berkepentingan mengawetkan dan mendominasi kekuasaan, meskipun ditempuh dengan pertarungan dengan ongkos tinggi, manfaat besar tetapi rentan, dan mengandung risiko besar. Keempat, contentious reform meninjau ulang parsimoni “tidak ada pemimpin kuat, tidak ada reformasi”. Contentious reform menunjukkan bahwa pemimpin yang lemah secara politik (menghadapi beban legitimasi, resistensi, pemerintahan yang terbelah) karena contentious politics, mampu melancarkan reformasi untuk meredam perlawanan, mendongkrak legitimasi, dan memperkuat kekuasaan. Hanya dengan reformasi, pemimpin lemah bisa menjadi lebih kuat, sebab penggunaan kekuasaan semata (koersi, represi, kooptasi dan sebagainya) untuk meredam perlawanan tentu membutuhkan ongkos yang jauh lebih besar, manfaat tidak jelas, dan risiko yang lebih besar. Dengan reformasi penguasa memperoleh kemenangan besar. Karena itu contentious reform menghasilkan parsimoni alternatif “tidak ada reformasi, tidak ada pemimpin kuat”. Kelima, contentious reform menantang teori stabilitas politik dan konvergensi elite dalam reformasi yang mempercayai parsimoni “tidak ada stabilitas politik, tidak ada reformasi”. Penulis tidak menampik kebajikan teori ini, sebab secara normatif, reformasi yang ideal bila bekerja dalam konteks stabilitas 283 politik, melalui penyelesaian elite yang konvergen dan konsensus kolektif, sehingga membentuk institusionalized reform yang demokratis. Tetapi kondisi aktor dan konteks politik di setiap daerah sangat berbeda. Ada daerah yang stabil secara politik tetapi ada daerah yang konfliktual secara politik (contentious politics). Pemimpin yang lemah akan semakin lemah, dan membutuhkan waktu dan energi besar, bila harus menempuh jalan stabilitasi, konvergensi dan konsensus kolektif. Dalam konteks contentious politics, pemimpin bisa melakukan reformasi yang berguna untuk menciptakan stabilitas, meskipun hanya stabilitas yang temporer. Karena itu contentious reform menghasilkan parsimoni alternatif, “tidak ada reformasi, tidak ada stabilitas”, meskipun, sekali lagi, stabilitas hanya sementara karena contentious reform selalu menghadirkan pertarungan tiada henti. Keenam, contentious reform menantang studi-praksis reformasi “apolitiknaif” yang dibawa oleh perspektif global governance dan agenda kebijakan baru. Lembaga-lembaga internasional memandang bahwa politik merupakan penghambat reformasi, tetapi praksis mereka apolitik, yakni memaksa reformasi dengan regulasi nasional, rekayasa institusional dan pengembangan kapasitas. Pilihan “program reformasi” ini diambil karena mereka juga sebagai aktor rasional yang menggunakan teori kalkulus: ongkos kecil, hasil dan manfaat besar, serta risiko kecil. Reformasi tentu bukan sekadar program apolitik, tetapi reformasi adalah politik. Ongkos ekonomi politik untuk reformasi terlalu besar, yang belum tentu mendatangkan hasil-manfaat besar dengan risiko kecil. Sebaliknya ongkos program reformasi jauh lebih kecil ketimbang ongkos politik reformasi. Bagaimana mungkin politik reformasi yang berongkos besar bisa ditembus dengan ongkos kecil? Tentu hal ini baru berbicara dari sisi teori kalkulus. Dari sisi proses dan pendekatan, bagaimana mungkin rekayasa institusional dan pengembangan kapasitas mampu menembus contentious politics yang menyertai reformasi? Mungkin program reformasi menyumbang transformasi, inovasi inkremental maupun perubahan artifisial-prosedural, misalnya dalam bentuk kehadiran dinas 284 perizinan dan pelayanan satu atap di hampir semua daerah di Indonesia. Namun semua ini bukanlah perubahan fundamental sebagai buah reformasi. Ketujuh, reformasi yang berjalan secara temporer tidak cukup memadai untuk membuahkan kesimpulan tentang “cerita sukses” reformasi. Reformasi dalam episode yang temporer masih bersifat prematur, rentan dan bahkan bisa mengalami krisis dan erosi jika berbentuk contentious reform. Masalah contentious reform itulah yang tidak ditangkap oleh para sarjana berhaluan institusionalisme konvensional, yang dengan cepat mengambil kesimpulan tentang cerita sukses reformasi, meskipun mereka bisa juga menjelaskan ketidakberlanjutan reformasi dengan cara pandang institutionalized reform. Jika mainstream studi reformasi berbicara kegagalan reformasi dari sisi tidak bekerjanya institutionalized reform, penulis memahami kegagalan reformasi dan sekaligus keruntuhan kekuasaan dari sisi contentious reform. Kedelapan, contentious reform menghadirkan reformasi sebagai pedang bermata dua. Satu mata pedang reformasi berguna untuk membunuh kelembaman dan kemapanan birokrasi untuk menghasilkan perubahan. Inilah yang disebut dengan penggunaan kekuasaan untuk reformasi, atau mengandung dimensi kapasitas (power to) untuk membawa perubahan. Satu mata pedang lain, reformasi adalah alat dominasi kekuasaan, dimana penguasa menggunakan reformasi untuk melemahkan lawan-lawan politiknya dan meraih dominasi kekuasaan. Inilah yang disebut dimensi power over atau dominasi kekuasaan. Kesembilan, pengabaian studi reformasi terhadap kekuatan masyarakat sipil tampaknya perlu ditinjau kembali. Grindle (2007) dan Luebke (2009) telah menunjukkan bahwa kekuatan masyarakat sipil bukan sebagai pendorong perubahan (reformasi). Tetapi persoalan reformasi bukan hanya terletak pada inisiasi. Vitalitas dan keberlanjutan reformasi juga penting, apalagi yang terjadi dalam konteks contentious reform. Selain elemen masyarakat politik, masyarakat sipil sebenarnya merupakan aktor dan komponen pertarungan politik. Masyarakat sipil bertindak mengontrol kekuasaan, menjaga vitalitas reformasi dan mencegah 285 terjadinya korupsi. Dengan kalimat lain, di saat masyarakat sipil tidak hadir, maka kekuasaan akan mengalahkan reformasi, dan kekuasaan membuahkan korupsi. Korupsi membuat arus balik reformasi, yang memicu aksi kolektif masyarakat sipil dengan legitimasi yang kuat, menentang korupsi serta melawan dan meruntuhkan penguasa. Di sisi lain, perspektif ganda “reformasi untuk kekuasaan” dan “kekuasaan untuk reformasi”, menunjukkan bahwa aktor-aktor prodemokrasi dan proreformasi yang berpusat pada masyarakat dapat merebut kekuasaan dengan reformasi dan selanjutnya menggunakan kekuasaan untuk menjalankan reformasi. Kesepuluh, teori contentious reform juga menantang teori induknya, yakni teori contentious politics. Arus utama teori ini mengatakan bahwa contentious politics merupakan drama yang bersifat episodik dan siklikal, yakni penuh dengan pertarungan berkelanjutan tanpa kepastian hasil akhir. Secara metodologis, contentious politics mengandung kompleksitas yang tidak mengenal keteraturan. Sebaliknya belajar pada konteks Jembrana, contentious reform tidak bersifat siklikal melainkan bersifat spiral, yakni dimulai dari merebut kekuasaan, inisiasi reformasi dan konsolidasi kekuasaan, yang keduanya mencapai puncak kejayaan reformasi dan dominasi kekuasaan, tetapi akhirnya terjadi antiklimaks berupa krisis reformasi dan keruntuhan kekuasaan. Dengan demikian contentious reform menyajikan keteraturan politik dari kejayaan dan keruntuhan. Jika kekuasaan digunakan untuk melancarkan reformasi secara nekat menghasilkan audacious reform, sementara jika reformasi digunakan untuk membangun dominasi kekuasaan dengan contentious politics maka akan menghasilkan contentious reform yang berbuah kegagalan reformasi dan kekuasaan. Pengalaman contentious reform dan tragedi reformasi di Jembrana tampaknya menyajikan conundrum reformasi yang bisa menghadirkan pesimisme terhadap reformasi. Apakah reformasi merupakan kemustalihan? Prof. Wahyudi Kumorotomo juga menyampaikan pertanyaan penting. Apakah memang di semua sistem yang mengalami perubahan ke arah demokratisasi yang bergerak cepat selalu akan mengalami kecenderungan adanya contentious reform? Kalau semua 286 perubahan kebijakan ini bersifat spiral, apakah dengan demikian tidak akan pernah ada perubahan ke arah kebijakan publik yang lebih baik? Apa model gagasan reformasi pemimpin daerah yang paling ideal dan cocok untuk keberlanjutan reformasi di Indonesia? Untuk menjawab conundrum itu penulis mulai dengan tiga buah kutipan penting dari tiga tokoh besar dalam filsafat dan politik: 1. Niccolo Machiavelli: “Tidak ada lagi hal tersulit yang dapat dilakukan, tidak ada keraguan lagi untuk kesuksesan, ataupun hal bahaya lain yang tak tertangani, ketimbang membentuk sebuah tatanan baru". 2. Voltaire: “Setiap penyalahgunaan seharusnya direformasi, kecuali reformasi lebih berbahaya dari penyalahgunaan itu sendiri”. 3. Alexis de Tocqueville: “Saat yang paling berbahaya bagi sebuah pemerintahan yang buruk adalah ketika mulai untuk reformasi”. Ketiga argumen itu menyampaikan pesan bahwa reformasi memang menjanjikan tatanan baru yang lebih baik, tetapi ia sungguh berisiko, berbahaya, dan menyajikan keraguan. Pada umumnya studi reformasi juga menunjukkan bahwa keberhasilan dan keberlanjutan reformasi sangat rentan. Teori dan praktik audacious reform dan contentious reform dengan jelas menunjukkan bahwa proses reformasi berlangsung secara dramatis sehingga hasil dan keberlanjutan reformasi serba tidak pasti. Contentious reform tidak akan terjadi di setiap tempat, waktu dan konteks. Tidak setiap reformasi akan mengarah pada contentious reform. Model ini bukanlah kerangka preskripsi bagi reformasi, tetapi ia menjadi model eksplanasi alternatif atas kasus Jembrana, yang tidak bisa dijelaskan dengan model-model lain. Tetapi model ini bisa juga diadaptasi dan bahkan difalsifikasi dengan studi kasus di tempat-tempat lain yang menyerupai Jembrana seperti Sidoarjo dan Sragen. 287 Karena reformasi selalu rentan, maka tidak heran jika sebagian besar daerah di Indonesia tidak melakukan reformasi, dan pada umumnya daerah hanya melakukan inovasi atau reformasi inkremental. Dasar pemikiran inkrementalisme adalah bersifat konservatif dan cenderung tambal sulam. Pembuat kebijakan menerima keabsahan kebijakan yang telah mapan dan secara diam-diam menyetujui agar kebijakan sebelumnya tetap dilaksanakan tanpa melakukan reformasi yang radikal. Pemimpin baru melakukan inovasi terhadap kebijakan dan institusi dengan tetap memanfaatkan sumberdaya yang tersedia, dengan cara menambah, mengurangi, dan menyempurnakan. “Inovasi bukanlah reformasi”, demikian tutur Edmund Burke. Tindakan inovasi inkremental ini tidak akan membuat contentious politics, melainkan menurunkan ketegangan konflik, menjaga harmoni, memelihara stabilitas, dan melindungi sistem politik. Tetapi inovasi merupakan perubahan gradual dan evolusi, lebih banyak beroperasi dalam tubuh birokrasi, yang tidak berdampak langsung dan besar terhadap rakyat. 288