A. Analisis Terhadap Pelaksanaan Pasal 2 Ayat (2) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pencatatan Perkawinan di Kecamatan Mijen Mengenai permasalahan pencatatan perkawinan, seperti telah dikemukakan di atas belum banyak para ilmuan yang membahasnya secara detail. Namun jika kita mempelajari dan memahami tentang Undang-undang perkawinan maka kita dapat menemukan sedikit jawaban dan pemecahan dari permasalahan tersebut. Dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawainan, berarti setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus mencatatkan perkawinannya kepada Pegawai Pencatat Nikah, karena Undang-undang tersebut, merupakan era baru bagi kepentingan umat Islam khususnya masyarakat Indonesia tidak terkecuali masyarakat Kecamatan Mijen khususnya di desa Kedung Jangan, Kali Getas dan Sidodadi. Yang mana dalam pelaksanaan di ketiga tersebut yang penyusun jadikan sebagai responden adalah yang pada tidak melaksanakan pencatatan perkawinan. Dimana di desa Kedung Jangan dalam jangka 4 tahun sejak tahun 2000 sampai 2004 yang melaksanakan perkawinan sebanyak 87 pasangan. Namun dari 87 pasangan tersebut yang mencatatkan perkawinannya kepada Pegawai Pencatat Nikah hanya 16 pasangan. Sedangkan di desa Sidodadi selama 4 tahun yang melaksanakan 44 khususnya pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan perkawinan yang telah disosialisasikan selama 20 tahun lebih, namun sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala yang berkepanjangan, seperti di ketiga desa tersebut. Oleh karena itu upaya perlu terus menerus dilakukan berkesinambungan dengan memberikan penyuluhan-penyuluhan tentang arti pentingnya pencatatan nikah. Di desa Kali Getas selama 4 tahun, sejak tahun 2000 sampai 2004 yang melaksanakan perkawinan sebanyak 63 pasangan. Dari 63 pasangan tersebut yang mencatatkan perkawinannya kepada Pegawai Pencatat Nikah sebanyak 21 pasangan. Adapun yang 42 pasangan dari 63 yang melaksanakan perkawinan selama 4 tahun adalah pasangan suami isteri yang tidak mencatatkan perkawinannya kepada Pegawai Pencatat Nikah. Hal ini, boleh jadi karena sebagian masyarakat muslim masih ada yang memahami ketentuan perkawinan yang lebih menekankan perspektif fiqh sentris.57 Seperti halnya di Kecamatan Mijen khususnya di desa Kedung Jangan, Kali Getas dan Sidodadi. Menurut pemahaman versi ini, perkawinan telah cukup apabila syarat dan rukunnya menurut ketentuan fiqh terpenuhi, tanpa diikuti pencatatan, apalagi Akta Nikah. Kondisi semacam ini dipraktekkan sebagian masyarakat seperti halnya di Kecamatan Mijen khususnya di ke tiga desa tersebut 57 Ahmad Rofiq, op. cit, hlm. 109 merupakan misi utama sebuah perkawinan, seperti poligami liar tanpa isteri pertama atau tanpa izin Pengadilan Agama. Kenyataan semacam ini, menjadi hambatan besar suksesnya pelaksanaan Undang-undang perkawinan tersebut. Ungkapan kenyataan semacam ini dimaksudkan agar semua pihak dapat lebih mengerti dan menyadari betapa penting nilai keadilan dan ketertiban dalam sebuah perkawinan. Akan hal tentang pencatatan perkawinan, kompilasi juga menjelaskan dalam pasal 5 : 1. Agar terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam perkawinan harus dicatat. 2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 Jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954. Teknis pelaksanaannya, dijelaskan dalam pasal 6 yang menyebutkan : 1. Untuk memenuhi kebutuhan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. 2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.58 58 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Humaniora Utama Press, 1992, hlm. 21 melangsungkan perkawinan. Pencatatan perkawinan diatur karena tanpa pencatatan suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum.59 Akibat yang ditimbulkan adalah, apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki buktibukti yang sah dan oetentik dari perkawinan yang dilangsungkannya oleh pasangan tersebut. Sedangkan kesahannya sendiri hanya ada satu kemungkinan yaitu berdasarkan hukum agama, tetapi akibatnya karena di Indonesia menganut agama yang berbeda dapat menimbulkan keanekaragaman perkawinan.60 Seperti halnya masalah pencatatan yang dirasa masalah pribadi tanpa harus mencatatkan perkawinannya kepada Pegawai Pencatat Nikah. Tentu saja keadaan demikian bertentangan dengan misi dan tujuan perkawinan itu sendiri. Oleh karena itu lebih rincinya, peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Bab II pasal (2) menjelaskan tentang pencatatan perkawinan : 1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana 59 60 Ahmad Rofiq, op. cit, hlm. 110 Djuhaendah Hasan, Efek Unifikasi dalam Bidang-bidang Hukum Keluarga (Perkawinan), Jakarta : Pengayoman, 1991, hlm. 44 dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. 3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan pada berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintah ini.61 Perkawinan yang terjadi di desa Kedung Jangan, Kali Getas dan Sidodadi dalam hal pencatatan perkawinan tidak efektif karena sebagian masyarakat memahami fiqih sentris tanpa melihat dan memperhatikan kelangsungan perkawinan. Menurut hemat penyusun para responden harus mengetahui manfaat dari sebuah pencatatan perkawinan yang mereka laksanakan. Adapun manfaatnya adalah sebagai berikut : Pencatatan perkawinan memiliki manfaat preventif, yaitu untuk menanggulangi agat tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaan itu, maupun 61 Soedjito Tjokrowisastro, Pedoman Penyelenggaraan Catatan Sipil, Jakarta : Bina Aksara, 1985, hlm. 44 kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. 2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. 3. Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepada Daerah. Sesaat setelah dilangsungkan akad nikah, kedua mempelai menandatangani Akta Nikah dan salinannya yang telah disiapkan Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Setelah itu, diikuti penandatanganan oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri akad nikah.62 Kemudian wali nikah atau yang mewakilinya, juga ikut nmenandatangani. Dengan penandatanganan Akta Nikah dan salinannya maka perkawinan telah tercatat secara resmi (Ps. 11 PP No. 9/1975) dan mempunyai kekuatan hukum (KHI Ps. 6 (2)). Akta Nikah selain bukti oetentik suatu perkawinan, ia memiliki manfaat sebagai “jaminan hukum” apabila salah seorang suami atau isteri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Misalnya, seorang suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara sebenarnya ia mampu, atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibacanya, maka pihak isteri yang 62 Ahmad Rofiq, op. cit, hlm. 115 Islam menegaskan pada ayat (1) “perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”. Adapun manfaat pencatatan perkawinan yang bersifat represif adalah sebagai berikut. Bagi suami isteri yang karena sesuatu hal perkawinannya tidak dibuktikan dengan Akta Nikah. Kompilasi membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan isbat nikah (penetapan) kepada Pengadilan Agama. Inilah hemat penyusun, pencatatan sebagai tindakan represif. Hal ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat dalam melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan aspek hukum fiqh saja, tetapi aspek-aspek keperdataannya juga perlu diperhatikan secara seimbang. Jadi sekali lagi, pencatatan adalah merupakan usaha pemerintah untuk mengayomi dan melindungi masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan dalam mengarungi kehidupan. Pasal 7 ayat (2) dan (3) menyatakan : (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. (3) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai halhal yang berkenaan dengan : a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. b. Hilangnya Akta Nikah. perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tentang 1974. Adapun yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah, menurut ayat (4) tersebut adalah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah, dan atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Akta Nikah, menurut ketentuann pasal 13 (PP No. 9/1975) dibuat rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada (ayat (1)). Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan ayat (2). Pencatatan perkawinan dan aktanya, bagi sebagian masyarakat masih perlu disosialisasikan. Boleh jadi hal ini akibat pemahaman fiqih sentris, yang dalam kitab-kitab fiqh hampir tidak pernah dibicarakan sejalan dengan situasi dan kondisi fiqh itu ditulis. Namun apabila kita coba perhatikan ayat Mudayanah (al-Baqarah, 2 : 282) mengisyaratkan bahwa adanya bukti oetientik sangat diperlukan untuk menjaga kepastian hukum. Bahkan redaksinya dengan tegas menggambarkan bahwa pencatatan didahulukan dari وﻟﻴﻤﻠِﻞِ اﻟﺬِي ﻋﻠﻴﻪِ اﻟﺤﻖ وﻟﻴﺘﻖِ اﻟﻠﻪ رﺑﻪ وﻻ ﻳﺒﺨﺲ ﻣِﻨﻪ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﺈن آﺎن ﻞ ْ ﺴﺘَﻄِﻴ ُﻊ أَن ُﻳ ِﻤﻞﱠ ُه َﻮ َﻓ ْﻠ ُﻴ ْﻤِﻠ ْ َﻻ ﻳ َ ﺿﻌِﻴﻔًﺎ َأ ْو َ ﺱﻔِﻴﻬًﺎ َأ ْو َ ﻖ ﺤﱡ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟ َ اﱠﻟﺬِي ﻦ ِ ﺟَﻠ ْﻴ ُ ﻦ ﻣﻦ ﱢرﺟَﺎِﻟ ُﻜ ْﻢ َﻓﺈِن ﱠﻟ ْﻢ ﻳَﻜُﻮﻥَﺎ َر ِ ﺷﻬِﻴ َﺪ ْﻳ َ ﺸ ِﻬﺪُوْا ْ ﺱ َﺘ ْ ل وَا ِ َوِﻟ ﱡﻴ ُﻪ ﺑِﺎ ْﻟ َﻌ ْﺪ ﺡﺪَا ُهﻤَﺎ َﻓ ُﺘ َﺬ ﱢآ َﺮ ْ ﻞ ْإ ﻀﱠ ِ ﺸ َﻬﺪَاء أَن َﺗ ﻦ اﻟ ﱡ َ ن ِﻣ َ ﺿ ْﻮ َ ن ِﻣﻤﱠﻦ َﺗ ْﺮ ِ ﻞ وَا ْﻣ َﺮَأﺗَﺎ ٌﺟ ُ َﻓ َﺮ ﺴَﺄ ُﻣ ْﻮْا َأن َﺗ ْﻜ ُﺘ ُﺒ ْﻮ ُﻩ ْ ﻻ َﺗ َ ﺸ َﻬﺪَاء ِإذَا ﻣَﺎ ُدﻋُﻮْا َو ب اﻟ ﱡ َ ﻻ َﻳ ْﺄ َ ﺥﺮَى َو ْﻷ ُ ﺡﺪَا ُهﻤَﺎ ا ْ ِإ ﺸﻬَﺎ َد ِة َوَأ ْدﻥَﻰ ﻂ ﻋِﻨ َﺪ اﻟّﻠ ِﻪ َوَأﻗْﻮ ُم ﻟِﻠ ﱠ ُﺴ َ ﺟِﻠ ِﻪ َذِﻟ ُﻜ ْﻢ َأ ْﻗ َ ﺻﻐِﻴﺮًا أَو َآﺒِﻴﺮًا ِإﻟَﻰ َأ َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َ ﺲ َ ﺿ َﺮ ًة ُﺗﺪِﻳﺮُو َﻥﻬَﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ َﻓَﻠ ْﻴ ِ ن ِﺗﺠَﺎ َر ًة ﺡَﺎ َ ﻻ أَن َﺗﻜُﻮ ﻻ َﺗ ْﺮﺗَﺎﺑُﻮ ْا ِإ ﱠ َأ ﱠ ﻻ ﺷَﻬِﻴ ٌﺪ َوإِن َ ﺐ َو ٌ ِﻻ ُﻳﻀَﺂ ﱠر آَﺎﺗ َ ﺷ ِﻬ ُﺪ ْوْا ِإذَا َﺗﺒَﺎ َﻳ ْﻌ ُﺘ ْﻢ َو ْ ﻻ َﺗ ْﻜ ُﺘﺒُﻮهَﺎ َوَأ ح َأ ﱠ ٌ ﺟﻨَﺎ ُ ﻲ ٍء ﻋَﻠِﻴ ٌﻢ ْ ﺷ َ ق ِﺑ ُﻜ ْﻢ وَا ﱠﺗﻘُﻮْا اﻟّﻠ َﻪ وَ ُﻳﻌَﻠﱢ ُﻤ ُﻜ ُﻢ اﻟّﻠ ُﻪ وَاﻟّﻠ ُﻪ ِﺑ ُﻜﻞﱢ ٌ َﺗ ْﻔ َﻌﻠُﻮْا َﻓِﺈ ﱠﻥ ُﻪ ُﻓﺴُﻮ (٢٨٢ : )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penyusun diantara kamu menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah mereka yang berhutang itu mengimlakkannya apa yang akan ditulis. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada utangnya. Maka jika nyang berhutang itu yang lemah akalnya atau lemah keadaannya, atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki diantaramu. Jika tidak ada dua orang saksi laki-laki, boleh seorang laki-laki dan dua orang wanita saksi-saksi yang kamu ridhoi, supaya jika yang seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil disisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu. Tulislah muamalahmu itu, maka tidak ada dosa kamu jika kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penyusun dan saksi pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan Akta Nikah, tidak dianalogikan kepada ayat muamalah tersebut. Dalam kaidah hukum Islam, pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, sangat jelas mendatangkan maslahat bagi tegaknya rumah tangga, sejalan dengan prinsip. ٦٣ درأاﻟﻤﻔﺎﺱﺪ ﻣﻘﺪم ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ Artinya : “Menolak kemadharatan lebih di dahulukan dari pada memperoleh kemaslahatan”. ٦٤ ﺗﺼﺮّف اﻻ ﻣﻠﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﺮﻋﻴّﺔ ﻣﻨﻮط ﺑﺎﻟﻤﺼﺎﻟﺤﺔ Artinya : “Suatu tindakan (peraturan) pemerintah, berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya”. Praktek pemerintah yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dan dibuktikannya dengan akta nikah, ini harus lebih ditekan kepada setiap orang yang melaksanakan perkawinan supaya pelaksanaan perkawinan berjalan dengan tertib dan menindak tegas terhadap praktek kawin liar demi terciptanya ketertiban hukum nasional serta dapat terlaksananya pasal 2 ayat (2). 63 H. A. Djazuli dan I. Nuro'Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 228 64 Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 118 syara’ yang ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia atau dengan memperhatikan ayat yang dikutip di atas dapat dilakukan analogi (qiyas) karena ada kesamaan illat yaitu dampak negatif yang ditimbulkan. Jadi dengan uraian-uraian di atas terjawab sudah bahwa masalah pencatatan perkawinan ini sangat penting sekali, dan sekaligus bermanfaat bagi orang yang mencatatkan perkawinannya. Adapun manfaatnya yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, yaitu baik menurut hukum agama dan kepercayaan itu, maupun menurut perundangundangan. B. Analisis Terhadap Faktor Penghambat Pelaksanaan Pasal 2 Ayat (2) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pencatatan Perkawinan di Kecamatan Mijen Pencatatan perkawinan merupakan salah satu perundang-undangan yang berkenaan dengan sah tidaknya suatu perkawinan yang dilangsungkan. Adapun faktor penghambat pelaksanaan pasal 2 ayat (2) Undang-undang perkawinan yang dilakukan sebagian masyarakat Kecamatan Mijen adalah sebagai berikut : kehidupan sehari-hari masyarakat Kecamatan Mijen yang penyusun jadikan sebagai responden beranekaragam, dalam tetapi tulisan kesamaannya ini didapatkan adalah pada pekerjaan yang agraris (tanah sawah/pertanian). Di mana tanah yang mereka garap atau diolah tidak bisa ditentukan penghasilan tiap tahunnya atau masa panennya. Oleh karena itulah tentang masalah pencatatan perkawinan yang terjadi di Kecamatan Mijen seperti di Kedung Jangan, Kali Getas dan Sidodadi masyarakatnya sebagian pada tidak mencatatkan perkawinan yang mereka langsungkan. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat Mijen khususnya di desa Sidodadi, Kali Getas dan Kedung Jangan menurut WN bahwa perkawinan yang mereka langsungkan sangat keberatan kalau dituntut untuk melaksanakan pencatatan perkawinan, sebab ekonomi yang mereka miliki adalah sangat agraris. Yang mana penghasilan tersebut tidak dapat ditentukan hasilnya. Oleh karena itulah perkawinan di ke tiga tersebut yaitu Kedung Jangan, Kali Getas dan Sidodadi pada tidak mencatatkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Nikah karena minimnya penghasilan dan rumitnya birokrasi atau prosedur terlalu berbelit-belit serta tidak sedikit jumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak yang melaksanakan perkawinan tersebut. 2. Faktor Pendidikan Masyarakat khususnya para responden yang penyusun wawancarai seperti saudara Harsono dari Kedung Jangan yang hanya lulusan dari SD saja. Oleh karena itu faktor pendidikan sangat mempengaruhi adanya pengetahuan masyarakat Kecamatan Mijen yang hubungannya dengan masalah perkawinan, lebih khususnya adalah pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan perkawinan. Dari faktor inilah menurut penyusun adalah merupakan indikasi mengapa masyarakat Kecamatan Mijen khususnya di desa Kedung Jangan, Kali Getas dan Sidodadi pada tidak mencatatkan perkawinan yang mereka langsungkan kepada Pengawai Pencatat Nikah karena kurangnya pengetahuan masyarakat arti sebuah pentingnya pencatatan perkawinan dan aktanya. Hal tersebut juga diungkapkan oleh AR dari desa Sidodadi yang kurang mengertinya tentang pencatatan perkawinan. Boleh jadi ini akibat pemahaman yang fiqh sentris, yang hampir dalam kitab-kitab fiqh tidak pernah dibicarakan sejalan dengan situasi dan kondisi waktu fiqh itu ditulis. Dari faktor kedua tersebut di atas masing-masing saling terkait, sebab dengan minimnya ekonomi maka dampaknya adalah pendidikan. Oleh sebab itu pelaksanaan pasal 2 ayat (2) menjadi terhambat. Maka dari itulah 3. Faktor Kegamaan Masyarakat pada umumnya memeluk agama Islam kurang lebih 99 %, begitu halnya di Kecamatan Mijen pada umumnya dan khusus di desa Kedung Jangan dan Sidodadi masyarakat tersebut sangat sekali memahami ajaran Islam yang sangat mononton. Hal ini terbukti karena masyarakat sangat kental terhadap ajaran-ajaran Islam yang hanya mementingkana akhirat tanpa melihat dan mengkaji serta memahami pesan, seperti halnya pelaksanaan pencatatan perkawinan yang tanpa menengok betapa penting dan berartinya sebuah pencatatan tersebut. Pelaksanaan pencatatan perkawinan di ke tiga desa tersebut tidak mencatatkan perkawinannya, karena perkawinan di muka agama dan tokoh masyarakat sudah dianggap sah, asalkan memenuhi rukun dan syaratnya yang telah ditentukan oleh agama Islam. Hal ini diungkapkan oleh sebagian masyarakat yang bernama Munawir, mengungkapkan bahwa perkawinan di depan pak kiyai atau alim ulama’ sudah sah, asalkan rukun dan syaratnya terpenuhi. Oleh karena itulah perkawinan yang terjadi di ke tiga desa tersebut cita-cita bangsa. Adapun faktor tersebut di atas semuanya saling keterkaitan antara satu dengan yang lain, dimana faktor ekonomi berdampak kepada masyarakat dengan lemahnya pendidikan yang akibatnya pengetahuan yang mereka peroleh sangat kurang sekali. Hal ini dapat berakibat terhadap suatu tatanan pemerintah seperti perkawinan yang terjadi di Kecamatan Mijen pada umumnya khusus di desa Kedung Jangan, Kali Getas, dan Sidodadi pada tidak mencatatkan perkawinannya karena minimnya ekonomi dan rendahnya pendidikan. Faktor kebudayaan sosial masyarakat tidak hanya mengandung akibat dari pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan perkawinan, namun ada sebagian masyarakat yang masih enggan mencatatkan perkawinannya karena nenek moyangnya dulu tidak mencatatkan perkawinannya. Sedangkan faktor keagamaan sangat berpengaruh pada masyarakat di mana bagi pasangan suami isteri yang tidak mencatatkan perkawinannya kepada Pegawai Pencatat Nikah, tidak melihat manfaat dan maslahah mursalah bagi kehidupan mereka sendiri. Sebagian dari mereka yang tidak mencatatkan perkawinannya juga mengungkapkan bahwa di dalam fiqh tidak ada yang menuntut untuk serta penyuluhan-penyuluhan demi memenuhi cita-cita bangsa.