BAB IV

advertisement
A. Analisis Terhadap Pelaksanaan Pasal 2 Ayat (2) Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pencatatan Perkawinan di
Kecamatan Mijen
Mengenai permasalahan pencatatan perkawinan, seperti telah dikemukakan
di atas belum banyak para ilmuan yang membahasnya secara detail. Namun jika
kita mempelajari dan memahami tentang Undang-undang perkawinan maka kita
dapat menemukan sedikit jawaban dan pemecahan dari permasalahan tersebut.
Dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
tentang pencatatan perkawainan, berarti setiap orang yang akan melangsungkan
perkawinan harus mencatatkan perkawinannya kepada Pegawai Pencatat Nikah,
karena Undang-undang tersebut, merupakan era baru bagi kepentingan umat
Islam khususnya masyarakat Indonesia tidak terkecuali masyarakat Kecamatan
Mijen khususnya di desa Kedung Jangan, Kali Getas dan Sidodadi. Yang mana
dalam pelaksanaan di ketiga tersebut yang penyusun jadikan sebagai responden
adalah yang pada tidak melaksanakan pencatatan perkawinan. Dimana di desa
Kedung Jangan dalam jangka 4 tahun sejak tahun 2000 sampai 2004 yang
melaksanakan perkawinan sebanyak 87 pasangan. Namun dari 87 pasangan
tersebut yang mencatatkan perkawinannya kepada Pegawai Pencatat Nikah hanya
16 pasangan. Sedangkan di desa Sidodadi selama 4 tahun yang melaksanakan
44
khususnya pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan perkawinan yang telah
disosialisasikan selama 20 tahun lebih, namun sampai saat ini masih dirasakan
adanya kendala yang berkepanjangan, seperti di ketiga desa tersebut. Oleh karena
itu upaya perlu terus menerus dilakukan berkesinambungan dengan memberikan
penyuluhan-penyuluhan tentang arti pentingnya pencatatan nikah.
Di desa Kali Getas selama 4 tahun, sejak tahun 2000 sampai 2004 yang
melaksanakan perkawinan sebanyak 63 pasangan. Dari 63 pasangan tersebut
yang mencatatkan perkawinannya kepada Pegawai Pencatat Nikah sebanyak 21
pasangan. Adapun yang 42 pasangan dari 63 yang melaksanakan perkawinan
selama 4 tahun adalah pasangan suami isteri yang tidak mencatatkan
perkawinannya kepada Pegawai Pencatat Nikah.
Hal ini, boleh jadi karena sebagian masyarakat muslim masih ada yang
memahami ketentuan perkawinan yang lebih menekankan perspektif fiqh
sentris.57 Seperti halnya di Kecamatan Mijen khususnya di desa Kedung Jangan,
Kali Getas dan Sidodadi. Menurut pemahaman versi ini, perkawinan telah cukup
apabila syarat dan rukunnya menurut ketentuan fiqh terpenuhi, tanpa diikuti
pencatatan, apalagi Akta Nikah. Kondisi semacam ini dipraktekkan sebagian
masyarakat seperti halnya di Kecamatan Mijen khususnya di ke tiga desa tersebut
57
Ahmad Rofiq, op. cit, hlm. 109
merupakan misi utama sebuah perkawinan, seperti poligami liar tanpa isteri
pertama atau tanpa izin Pengadilan Agama. Kenyataan semacam ini, menjadi
hambatan besar suksesnya pelaksanaan Undang-undang perkawinan tersebut.
Ungkapan kenyataan semacam ini dimaksudkan agar semua pihak dapat lebih
mengerti dan menyadari betapa penting nilai keadilan dan ketertiban dalam
sebuah perkawinan.
Akan hal tentang pencatatan perkawinan, kompilasi juga menjelaskan
dalam pasal 5 :
1. Agar terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam perkawinan harus dicatat.
2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 tahun
1946 Jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954.
Teknis pelaksanaannya, dijelaskan dalam pasal 6 yang menyebutkan :
1. Untuk memenuhi kebutuhan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
tidak mempunyai kekuatan hukum.58
58
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Humaniora Utama Press, 1992, hlm. 21
melangsungkan perkawinan. Pencatatan perkawinan diatur karena tanpa
pencatatan suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum.59 Akibat yang
ditimbulkan adalah, apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya maka
pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki buktibukti yang sah dan oetentik dari perkawinan yang dilangsungkannya oleh
pasangan tersebut.
Sedangkan kesahannya sendiri hanya ada satu kemungkinan yaitu
berdasarkan hukum agama, tetapi akibatnya karena di Indonesia menganut agama
yang berbeda dapat menimbulkan keanekaragaman perkawinan.60 Seperti halnya
masalah pencatatan yang dirasa masalah pribadi tanpa harus mencatatkan
perkawinannya kepada Pegawai Pencatat Nikah. Tentu saja keadaan demikian
bertentangan dengan misi dan tujuan perkawinan itu sendiri.
Oleh karena itu lebih rincinya, peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Bab II pasal (2) menjelaskan tentang pencatatan perkawinan :
1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana
59
60
Ahmad Rofiq, op. cit, hlm. 110
Djuhaendah Hasan, Efek Unifikasi dalam Bidang-bidang Hukum Keluarga (Perkawinan),
Jakarta : Pengayoman, 1991, hlm. 44
dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil
sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai
pencatatan perkawinan.
3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata
cara pencatatan perkawinan berdasarkan pada berbagai peraturan yang
berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan
dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintah ini.61
Perkawinan yang terjadi di desa Kedung Jangan, Kali Getas dan Sidodadi
dalam hal pencatatan perkawinan tidak efektif karena sebagian masyarakat
memahami fiqih sentris tanpa melihat dan memperhatikan kelangsungan
perkawinan.
Menurut hemat penyusun para responden harus mengetahui manfaat dari
sebuah pencatatan perkawinan yang mereka laksanakan. Adapun manfaatnya
adalah sebagai berikut :
Pencatatan
perkawinan
memiliki
manfaat
preventif,
yaitu
untuk
menanggulangi agat tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan
syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaan itu, maupun
61
Soedjito Tjokrowisastro, Pedoman Penyelenggaraan Catatan Sipil, Jakarta : Bina Aksara,
1985, hlm. 44
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan.
2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3. Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu
alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepada Daerah.
Sesaat setelah dilangsungkan akad nikah, kedua mempelai menandatangani
Akta Nikah dan salinannya yang telah disiapkan Pegawai Pencatat berdasarkan
ketentuan yang berlaku. Setelah itu, diikuti penandatanganan oleh kedua saksi
dan Pegawai Pencatat yang menghadiri akad nikah.62 Kemudian wali nikah atau
yang mewakilinya, juga ikut nmenandatangani. Dengan penandatanganan Akta
Nikah dan salinannya maka perkawinan telah tercatat secara resmi (Ps. 11 PP
No. 9/1975) dan mempunyai kekuatan hukum (KHI Ps. 6 (2)).
Akta Nikah selain bukti oetentik suatu perkawinan, ia memiliki manfaat
sebagai “jaminan hukum” apabila salah seorang suami atau isteri melakukan
suatu tindakan yang menyimpang. Misalnya, seorang suami tidak memberikan
nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara sebenarnya ia mampu, atau suami
melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibacanya, maka pihak isteri yang
62
Ahmad Rofiq, op. cit, hlm. 115
Islam menegaskan pada ayat (1) “perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan
Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”.
Adapun manfaat pencatatan perkawinan yang bersifat represif adalah
sebagai berikut. Bagi suami isteri yang karena sesuatu hal perkawinannya tidak
dibuktikan dengan Akta Nikah. Kompilasi membuka kesempatan kepada mereka
untuk mengajukan permohonan isbat nikah (penetapan) kepada Pengadilan
Agama. Inilah hemat penyusun, pencatatan sebagai tindakan represif. Hal ini
dimaksudkan untuk membantu masyarakat dalam melangsungkan perkawinan
tidak hanya mementingkan aspek hukum fiqh saja, tetapi aspek-aspek
keperdataannya juga perlu diperhatikan secara seimbang. Jadi sekali lagi,
pencatatan adalah merupakan usaha pemerintah untuk mengayomi dan
melindungi masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan dalam
mengarungi kehidupan. Pasal 7 ayat (2) dan (3) menyatakan :
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat
diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai halhal yang berkenaan dengan :
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
b. Hilangnya Akta Nikah.
perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tentang 1974.
Adapun yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah, menurut
ayat (4) tersebut adalah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah, dan
atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Akta Nikah, menurut ketentuann pasal 13 (PP No. 9/1975) dibuat
rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua
disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan
Perkawinan itu berada (ayat (1)). Kepada suami dan isteri masing-masing
diberikan kutipan akta perkawinan ayat (2).
Pencatatan perkawinan dan aktanya, bagi sebagian masyarakat masih
perlu disosialisasikan. Boleh jadi hal ini akibat pemahaman fiqih sentris, yang
dalam kitab-kitab fiqh hampir tidak pernah dibicarakan sejalan dengan situasi
dan kondisi fiqh itu ditulis. Namun apabila kita coba perhatikan ayat
Mudayanah (al-Baqarah, 2 : 282) mengisyaratkan bahwa adanya bukti
oetientik sangat diperlukan untuk menjaga kepastian hukum. Bahkan
redaksinya dengan tegas menggambarkan bahwa pencatatan didahulukan dari
‫وﻟﻴﻤﻠِﻞِ اﻟﺬِي ﻋﻠﻴﻪِ اﻟﺤﻖ وﻟﻴﺘﻖِ اﻟﻠﻪ رﺑﻪ وﻻ ﻳﺒﺨﺲ ﻣِﻨﻪ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﺈن آﺎن‬
‫ﻞ‬
ْ ‫ﺴﺘَﻄِﻴ ُﻊ أَن ُﻳ ِﻤﻞﱠ ُه َﻮ َﻓ ْﻠ ُﻴ ْﻤِﻠ‬
ْ َ‫ﻻ ﻳ‬
َ ‫ﺿﻌِﻴﻔًﺎ َأ ْو‬
َ ‫ﺱﻔِﻴﻬًﺎ َأ ْو‬
َ ‫ﻖ‬
‫ﺤﱡ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟ‬
َ ‫اﱠﻟﺬِي‬
‫ﻦ‬
ِ ‫ﺟَﻠ ْﻴ‬
ُ ‫ﻦ ﻣﻦ ﱢرﺟَﺎِﻟ ُﻜ ْﻢ َﻓﺈِن ﱠﻟ ْﻢ ﻳَﻜُﻮﻥَﺎ َر‬
ِ ‫ﺷﻬِﻴ َﺪ ْﻳ‬
َ ‫ﺸ ِﻬﺪُوْا‬
ْ ‫ﺱ َﺘ‬
ْ ‫ل وَا‬
ِ ‫َوِﻟ ﱡﻴ ُﻪ ﺑِﺎ ْﻟ َﻌ ْﺪ‬
‫ﺡﺪَا ُهﻤَﺎ َﻓ ُﺘ َﺬ ﱢآ َﺮ‬
ْ ‫ﻞ ْإ‬
‫ﻀﱠ‬
ِ ‫ﺸ َﻬﺪَاء أَن َﺗ‬
‫ﻦ اﻟ ﱡ‬
َ ‫ن ِﻣ‬
َ ‫ﺿ ْﻮ‬
َ ‫ن ِﻣﻤﱠﻦ َﺗ ْﺮ‬
ِ ‫ﻞ وَا ْﻣ َﺮَأﺗَﺎ‬
ٌ‫ﺟ‬
ُ ‫َﻓ َﺮ‬
‫ﺴَﺄ ُﻣ ْﻮْا َأن َﺗ ْﻜ ُﺘ ُﺒ ْﻮ ُﻩ‬
ْ ‫ﻻ َﺗ‬
َ ‫ﺸ َﻬﺪَاء ِإذَا ﻣَﺎ ُدﻋُﻮْا َو‬
‫ب اﻟ ﱡ‬
َ ‫ﻻ َﻳ ْﺄ‬
َ ‫ﺥﺮَى َو‬
ْ‫ﻷ‬
ُ ‫ﺡﺪَا ُهﻤَﺎ ا‬
ْ ‫ِإ‬
‫ﺸﻬَﺎ َد ِة َوَأ ْدﻥَﻰ‬
‫ﻂ ﻋِﻨ َﺪ اﻟّﻠ ِﻪ َوَأﻗْﻮ ُم ﻟِﻠ ﱠ‬
ُ‫ﺴ‬
َ ‫ﺟِﻠ ِﻪ َذِﻟ ُﻜ ْﻢ َأ ْﻗ‬
َ ‫ﺻﻐِﻴﺮًا أَو َآﺒِﻴﺮًا ِإﻟَﻰ َأ‬
َ
‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ‬
َ ‫ﺲ‬
َ ‫ﺿ َﺮ ًة ُﺗﺪِﻳﺮُو َﻥﻬَﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ َﻓَﻠ ْﻴ‬
ِ ‫ن ِﺗﺠَﺎ َر ًة ﺡَﺎ‬
َ ‫ﻻ أَن َﺗﻜُﻮ‬
‫ﻻ َﺗ ْﺮﺗَﺎﺑُﻮ ْا ِإ ﱠ‬
‫َأ ﱠ‬
‫ﻻ ﺷَﻬِﻴ ٌﺪ َوإِن‬
َ ‫ﺐ َو‬
ٌ ِ‫ﻻ ُﻳﻀَﺂ ﱠر آَﺎﺗ‬
َ ‫ﺷ ِﻬ ُﺪ ْوْا ِإذَا َﺗﺒَﺎ َﻳ ْﻌ ُﺘ ْﻢ َو‬
ْ ‫ﻻ َﺗ ْﻜ ُﺘﺒُﻮهَﺎ َوَأ‬
‫ح َأ ﱠ‬
ٌ ‫ﺟﻨَﺎ‬
ُ
‫ﻲ ٍء ﻋَﻠِﻴ ٌﻢ‬
ْ ‫ﺷ‬
َ ‫ق ِﺑ ُﻜ ْﻢ وَا ﱠﺗﻘُﻮْا اﻟّﻠ َﻪ وَ ُﻳﻌَﻠﱢ ُﻤ ُﻜ ُﻢ اﻟّﻠ ُﻪ وَاﻟّﻠ ُﻪ ِﺑ ُﻜﻞﱢ‬
ٌ ‫َﺗ ْﻔ َﻌﻠُﻮْا َﻓِﺈ ﱠﻥ ُﻪ ُﻓﺴُﻮ‬
(٢٨٢ : ‫)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penyusun diantara kamu
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka
hendaklah mereka yang berhutang itu mengimlakkannya apa yang
akan ditulis. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada utangnya.
Maka jika nyang berhutang itu yang lemah akalnya atau lemah
keadaannya, atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki
diantaramu. Jika tidak ada dua orang saksi laki-laki, boleh
seorang laki-laki dan dua orang wanita saksi-saksi yang kamu
ridhoi, supaya jika yang seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu enggan memberi
keterangan apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu
menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu lebih adil disisi Allah dan lebih
dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
menimbulkan keraguanmu. Tulislah muamalahmu itu, maka tidak
ada dosa kamu jika kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli, dan janganlah penyusun dan saksi
pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan Akta Nikah, tidak
dianalogikan kepada ayat muamalah tersebut. Dalam kaidah hukum Islam,
pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, sangat jelas
mendatangkan maslahat bagi tegaknya rumah tangga, sejalan dengan prinsip.
٦٣
‫درأاﻟﻤﻔﺎﺱﺪ ﻣﻘﺪم ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ‬
Artinya : “Menolak kemadharatan lebih di dahulukan dari pada memperoleh
kemaslahatan”.
٦٤
‫ﺗﺼﺮّف اﻻ ﻣﻠﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﺮﻋﻴّﺔ ﻣﻨﻮط ﺑﺎﻟﻤﺼﺎﻟﺤﺔ‬
Artinya : “Suatu tindakan (peraturan) pemerintah, berintikan terjaminnya
kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya”.
Praktek pemerintah yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dan
dibuktikannya dengan akta nikah, ini harus lebih ditekan kepada setiap orang
yang melaksanakan perkawinan supaya pelaksanaan perkawinan berjalan
dengan tertib dan menindak tegas terhadap praktek kawin liar demi
terciptanya ketertiban hukum nasional serta dapat terlaksananya pasal 2
ayat (2).
63
H. A. Djazuli dan I. Nuro'Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002, hlm. 228
64
Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 118
syara’ yang ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia atau dengan
memperhatikan ayat yang dikutip di atas dapat dilakukan analogi (qiyas)
karena ada kesamaan illat yaitu dampak negatif yang ditimbulkan.
Jadi dengan uraian-uraian di atas terjawab sudah bahwa masalah
pencatatan perkawinan ini sangat penting sekali, dan sekaligus bermanfaat
bagi orang yang mencatatkan perkawinannya.
Adapun manfaatnya yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi
kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, yaitu baik
menurut hukum agama dan kepercayaan itu, maupun menurut perundangundangan.
B. Analisis Terhadap Faktor Penghambat Pelaksanaan Pasal 2 Ayat (2)
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pencatatan
Perkawinan di Kecamatan Mijen
Pencatatan perkawinan merupakan salah satu perundang-undangan yang
berkenaan dengan sah tidaknya suatu perkawinan yang dilangsungkan. Adapun
faktor penghambat pelaksanaan pasal 2 ayat (2) Undang-undang perkawinan
yang dilakukan sebagian masyarakat Kecamatan Mijen adalah sebagai berikut :
kehidupan sehari-hari masyarakat Kecamatan Mijen yang penyusun jadikan
sebagai
responden
beranekaragam,
dalam
tetapi
tulisan
kesamaannya
ini
didapatkan
adalah
pada
pekerjaan
yang
agraris
(tanah
sawah/pertanian). Di mana tanah yang mereka garap atau diolah tidak bisa
ditentukan penghasilan tiap tahunnya atau masa panennya. Oleh karena itulah
tentang masalah pencatatan perkawinan yang terjadi di Kecamatan Mijen
seperti di Kedung Jangan, Kali Getas dan Sidodadi masyarakatnya sebagian
pada tidak mencatatkan perkawinan yang mereka langsungkan.
Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat Mijen khususnya di desa
Sidodadi, Kali Getas dan Kedung Jangan menurut WN bahwa perkawinan
yang
mereka
langsungkan
sangat
keberatan
kalau
dituntut
untuk
melaksanakan pencatatan perkawinan, sebab ekonomi yang mereka miliki
adalah sangat agraris. Yang mana penghasilan tersebut tidak dapat ditentukan
hasilnya. Oleh karena itulah perkawinan di ke tiga tersebut yaitu Kedung
Jangan, Kali Getas dan Sidodadi pada tidak mencatatkan perkawinan kepada
Pegawai Pencatat Nikah karena minimnya penghasilan dan rumitnya
birokrasi atau prosedur terlalu berbelit-belit serta tidak sedikit jumlah biaya
yang harus dikeluarkan oleh pihak yang melaksanakan perkawinan tersebut.
2. Faktor Pendidikan Masyarakat
khususnya para responden yang penyusun wawancarai seperti saudara
Harsono dari Kedung Jangan yang hanya lulusan dari SD saja. Oleh karena
itu faktor pendidikan sangat mempengaruhi adanya pengetahuan masyarakat
Kecamatan Mijen yang hubungannya dengan masalah perkawinan, lebih
khususnya adalah pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan perkawinan. Dari faktor
inilah menurut penyusun adalah merupakan indikasi mengapa masyarakat
Kecamatan Mijen khususnya di desa Kedung Jangan, Kali Getas dan
Sidodadi pada tidak mencatatkan perkawinan yang mereka langsungkan
kepada Pengawai Pencatat Nikah karena kurangnya pengetahuan masyarakat
arti sebuah pentingnya pencatatan perkawinan dan aktanya. Hal tersebut juga
diungkapkan oleh AR dari desa Sidodadi yang kurang mengertinya tentang
pencatatan perkawinan. Boleh jadi ini akibat pemahaman yang fiqh sentris,
yang hampir dalam kitab-kitab fiqh tidak pernah dibicarakan sejalan dengan
situasi dan kondisi waktu fiqh itu ditulis.
Dari faktor kedua tersebut di atas masing-masing saling terkait, sebab
dengan minimnya ekonomi maka dampaknya adalah pendidikan. Oleh sebab
itu pelaksanaan pasal 2 ayat (2) menjadi terhambat. Maka dari itulah
3. Faktor Kegamaan
Masyarakat pada umumnya memeluk agama Islam kurang lebih 99 %,
begitu halnya di Kecamatan Mijen pada umumnya dan khusus di desa
Kedung Jangan dan Sidodadi masyarakat tersebut sangat sekali memahami
ajaran Islam yang sangat mononton. Hal ini terbukti karena masyarakat
sangat kental terhadap ajaran-ajaran Islam yang hanya mementingkana
akhirat tanpa melihat dan mengkaji serta memahami pesan, seperti halnya
pelaksanaan pencatatan perkawinan yang tanpa menengok betapa penting dan
berartinya sebuah pencatatan tersebut.
Pelaksanaan pencatatan perkawinan di ke tiga desa tersebut tidak
mencatatkan perkawinannya, karena perkawinan di muka agama dan tokoh
masyarakat sudah dianggap sah, asalkan memenuhi rukun dan syaratnya yang
telah ditentukan oleh agama Islam. Hal ini diungkapkan oleh sebagian
masyarakat yang bernama Munawir, mengungkapkan bahwa perkawinan di
depan pak kiyai atau alim ulama’ sudah sah, asalkan rukun dan syaratnya
terpenuhi. Oleh karena itulah perkawinan yang terjadi di ke tiga desa tersebut
cita-cita bangsa. Adapun faktor tersebut di atas semuanya saling keterkaitan
antara satu dengan yang lain, dimana faktor ekonomi berdampak kepada
masyarakat dengan lemahnya pendidikan yang akibatnya pengetahuan yang
mereka peroleh sangat kurang sekali. Hal ini dapat berakibat terhadap suatu
tatanan pemerintah seperti perkawinan yang terjadi di Kecamatan Mijen pada
umumnya khusus di desa Kedung Jangan, Kali Getas, dan Sidodadi pada
tidak mencatatkan perkawinannya karena minimnya ekonomi dan rendahnya
pendidikan.
Faktor kebudayaan sosial masyarakat tidak hanya mengandung akibat
dari pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan perkawinan, namun ada sebagian
masyarakat yang masih enggan mencatatkan perkawinannya karena nenek
moyangnya dulu tidak mencatatkan perkawinannya. Sedangkan faktor
keagamaan sangat berpengaruh pada masyarakat di mana bagi pasangan
suami isteri yang tidak mencatatkan perkawinannya kepada Pegawai Pencatat
Nikah, tidak melihat manfaat dan maslahah mursalah bagi kehidupan mereka
sendiri. Sebagian dari mereka yang tidak mencatatkan perkawinannya juga
mengungkapkan bahwa di dalam fiqh tidak ada yang menuntut untuk
serta penyuluhan-penyuluhan demi memenuhi cita-cita bangsa.
Download