PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELAKU PEMBUNUHAN ANAK SEKETIKA SETELAH DILAHIRKAN OLEH IBU KANDUNGNYA Oleh : Shinta Ayu Purnamawati Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Email : [email protected] Abstraksi Perkosaan adalah ketidakadilan terbesar pada wanita. Tetapi ketidakadilan yang lebih besar terjadi jika anak yang juga merupakan korban hasil perkosaan turut dibunuh. Pada dasarnya seorang wanita memiliki rasa keibuan yang alami. Jauh di lubuk hatinya selalu ada kasih dan kekuatan. Keputusan untuk melahirkan anak adalah keputusan untuk membawa sesuatu yang baik keluar dari sesuatu yang kelihatannya jahat. Keputusan ini adalah kemenangan atas kejahatan perkosaan. Keputusan ini akan membawa si wanita untuk selalu mengingat keberanian dan kemurahan hatinya, dibandingkan ketakutan dan rasa malunya. Dalam kasus pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan oleh seorang ibu korban perkosaan hukuman yang diterima oleh sang ibu seringkali dirasa kurang memenuhi rasa keadilan. Hal tersebut dikarenakan pembunuhan yang dilakukannya adalah akibat perkosaan dimana pelaku pembunuhan ini (ibu) juga adalah korban kejahatan yang lain. Sekalipun dirasa kurang adil hal ini tidak menjadikan alasan tindakan pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan yang dilakukan oleh ibu korban perkosaan menjadi legal. Selain fakta bahwa bayi-bayi yang tak bersalah akan terbunuh, hukum ini akan menemui kesulitan jika dijalankan. Jika seorang wanita mengaku diperkosa dan oleh karenanya hendak menghilangkan nyawa anak yang masih dikandungnya ataupun anak yang baru saja dilahirkannya, dapatkah wanita ini memberikan bukti nyata kalau ia diperkosa? Haruskah ia melaporkan perkosaan dirinya pada polisi? Kata Kunci: Wanita (Ibu), Korban, Pembunuhan anak seketikan setelah dilahirkan. Abstract Rape is the greatest injustice to women. But the greater injustice occurs if the children who were victims of rape participate killed. Basically, a woman has a natural sense of motherhood. Deep down there is always love and strength. The decision to have children is the decision to bring something good out of something that looks nasty. This decision is a victory for the crime of rape. This decision will bring the woman to always remember the courage and generosity, rather than fear and shame. In the case of murder of the child immediately after birth by a mother of rape victim sentence received by his mother often felt less sense of fairness. This is because the murder was a result of rape where the perpetrator is (mother) is also another victim of crime. Although it is less fair this does not make the cause of action immediately after the killing of children born by mothers of rape victims become legal. Besides the fact that babies are innocent will be killed, this law would have difficulty if executed. If a woman alleges rape and therefore want to eliminate the still unborn child's life or the child who has just birth, this woman can give evidence that she was raped? Should she reported her rape to the police? Key Word : Women (Mother), Victim, murder of the child immediately after birth ____________________________________________________________________________________ 132 PENDAHULUAN Di masa sekarang ini berita dan fakta mengenai pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sendiri sudah menjadi hal yang tidak asing lagi. Pembunuhan anak itu sendiri terbagi dalam dua kelompok yaitu yang pertama adalah pembunuhan anak yang terjadi semasa anak masih berada dalam kandungan atau lebih dikenal oleh masyarakat dengan istilah aborsi atau pengguguran kandungan, yang kedua adalah pembunuhan anak diluar kandungan. Untuk kasus pembunuhan anak diluar kandungan terbagi lagi dalam dua kelompok yaitu pembunuhan anak yang terjadi seketika setelah dilahirkan, sehingga dalam kasus ini anak yang baru dilahirkan belum sempat sama sekali mendapatkan perawatan ataupun disusui, dan yang kedua adalah pembunuhan anak biasa, dimana anak telah sempat mendapatkan perawatan, disusui, pendidikan, dan terjadi pada saat usia dibawah 18 tahun. Pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan juga banyak dilakukan oleh perempuan yang belum menikah. Hal ini terjadi dikarenakan pergaulan laki-laki dan perempuan yang semakin bebas, sehingga melanggar batasbatas yang seharusnya belum boleh dilakukan sebelum sah menjadi suami isteri. Hal ini terjadi pada anak-anak muda yang menganut gaya hidup seks bebas. Pada awalnya para anak muda tersebut hanya berpacaran biasa, akan tetapi setelah cukup lama berpacaran mereka melakukan hubungan suami isteri. Ketika hubungan mereka membuahkan janin dalam kandungan, timbul masalah karena mereka belum menikah dan kebanyakan masih harus menyelesaikan sekolah atau kuliahnya. Ditambah adanya rasa takut ketahuan dan rasa malu apabila masalah kehamilan itu ketahuan oleh orang tua dan orang lain, maka berbagai cara ditempuh untuk mengatasi benih bakal manusia yang ada di dalam rahim. Ada yang melakukan pernikahan sehingga dikenal istilah MBA (Married By Accident) atau nikah setelah perut sang gadis agak membesar karena hamil. Namun ada pula yang mengambil jalan pintas dengan cara menggugurkan kandungannya, bahkan membunuh anaknya saat dilahirkan.1 Pembunuhan terhadap anak ini juga sering dilakukan oleh para wanita yang menjadi korban perkosaan. Alasan yang sering diajukan oleh para wanita yang diperkosa itu adalah bahwa mengandung anak hasil perkosaan itu akan menambah derita batinnya karena melihat anak itu akan selalu mengingatkannya akan peristiwa buruk tersebut, apalagi jika sampai anak hasil perkosaan tersebut dilahirkan, akan semakin kompleks permasalahannya, karena ibu korban perkosaan harus merawat sendiri anaknya dan apabila anak tersebut terlahir dari keluarga miskin maka ia tidak akan mendapat penghidupan yang layak, belum lagi tekanan batin karena anak itu lahir tanpa ayah, ia akan dicemooh masyarakat sehingga seumur hidup menanggung malu. Hal ini dikarenakan dalam budaya timur Indonesia, tidak dapat menerima anak yang lahir di luar nikah. Alasan inilah yang kadang-kadang membuat perempuan yang hamil di luar nikah ataupun perempuan korban perkosaan nekat melakukan pembunuhan terhadap anaknya. Namun demikian tidak selamanya kejadian-kejadian pemicu seperti sudah terlalu banyak anak, kehamilan di luar nikah, dan korban perkosaan tersebut membuat seorang wanita memilih untuk menghilangkan nyawa anaknya. Ada juga yang tetap mempertahankan kandungannya dan merawat anak yang dilahirkannya dengan alasan bahwa pembunuhan terhadap anak apapun alasannya merupakan perbuatan dosa dan melanggar hukum. Perkosaan adalah kejahatan terburuk yang menimpa wanita. Para korban sangat membutuhkan bantuan dan dukungan kita. Kita perlu memberikan perlindungan dan bantuan yang lebih pada mereka. Tetapi pembunuhan 1 Problematika Tindak Pidana Pembunuhan Bayi Suatu Tijauan Normatif, http://Aborsi.org/, diakses pada 28 Maret 2009. 133 anak, seperti juga perkosaan, adalah sebuah tindakan yang menghancurkan. Tindakan menghilangkan nyawa anak hasil perkosaan adalah seperti menjawab kekejaman atas seorang wanita yang tak berdosa (yaitu korban perkosaan) dengan kekejaman atas satu korban yang tak berdosa juga. Pembunuhan anak sekalipun dia masih berada dalam kandungan ataupun seketika setelah dilahirkan selalu menyebabkan hilangnya kehidupan manusia. Pembunuhan anak korban perkosaan baik ketika masih berada dalam kandungan ataupun seketika setelah dilahirkan tidak membantu si wanita untuk menghilangkan trauma perkosaan. Karena tindakan menghilangkan nyawa anaknya itu sendiri dapat mengakibatkan luka jiwa yang hanya menambah beban derita korban. Pendapat masyarakat bahwa pembunuhan anak saat anak korban perkosaan masih berada dalam kandungan adalah keputusan terbaik bagi korban perkosaan, mencerminkan masyarakat yang melihat korban sebagai "tidak bersih" dan karenanya harus "dibersihkan dari noda perkosaan" dengan jalan menghilangkan nyawa anaknya. Masyarakat harus sadar, rasa marah, bersalah, takut, tidak percaya diri akibat menjadi korban perkosaan akan terus menghantui korban. Tetapi opini, sikap dan kepercayaan masyarakat seringkali membuat korban sulit untuk memilih kemungkinan lain selain ingin cepat-cepat menghilangkan nyawa anaknya. Takut disalahkan dan dibuang oleh keluarganya, teman-temannya atau lingkungannya membuat korban ingin bersembunyi dengan cara membuang bukti nyata kejahatan perkosaan. Pasal 341 menyebutkan: “Seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak dihukum, karena makar mati terhadap anak (kinderdoodslag), dengan dihukum penjara selama–lamanya tujuh tahun” Unsur yang harus dipenuhi dalam pasal ini adalah: 1. Yang dihukum adalah seorang ibu, baik kawin maupun tidak, yang dengan sengaja (tidak direncanakan lebih dahulu) membunuh anaknya pada waktu dilahirkan atau tidak beberapa lama sesudah dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan seorang anak. Kejahatan ini dinamakan “makar mati anak” atau membunuh biasa anak (kinderdoodslag). Apabila pembunuhan tersebut dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu dikenakan pasal 342 (kindermoord) 2. Syarat terpenting dalam pembunuhan tersebut dalam kedua pasal tersebut, bahwa pembunuhan anak itu dilakukan oleh ibunya dan harus terdorong oleh rasa ketakutan akan diketahui kelahiran anak itu. Biasanya anak yang didapat dari berzina atau hubungan kelamin yang tidak sah. Apabila syarat ini tidak ada maka perbuatan itu dikenakan sebagai pembunuhan biasa tersebut pasal 338 atau 340. 3. Peristiwa membuang bayi, jika dapat dibuktikan bahwa bayi itu waktu dilahirkan sudah mati, tidak dikenakan pasal ini, akan tetapi dikenakan pasal 181. Pasal 342 menyebutkan: “Seorang ibu yang dengan sengaja akan menjalankan keputusan yang diambilnya sebab takut ketahuan bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak, menghilangkan jiwa anaknya itu pada ketika dilahirkan atau tidak lama kemudian dari pada itu, dihukum karena pembunuhan anak (kindermoord), yang direncanakan dengan hukuman penjara selama–lamanya sembilan tahun.” Jika dalam kasus pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan dengan alasan–alasan yang lain seorang ibu yang melakukan pembunuhan terhadap bayinya sesungguhnya juga adalah korban. Dapat dikatakan sebagai korban karena pelaku hamil diluar kehendak atau 134 kemauannya. Pada saat kehamilan terjadi tentunya ia sudah merasakan penderitaan batin. Tekanan mental ibu takut kehamilannya diketahui orang karena sesungguhnya ia belum menikah, tekanan takut tidak mampu memberi penghidupan yang layak pada anaknya, dan mungkin juga tekanan dari pasangannya yang tidak menghendaki kehamilan terjadi. Keadaan mental ibu yang tertekan juga perang batin dalam hatinya untuk tetap mempertahankan anaknya atau melenyapkannya menyebabkan terjadinya gangguan psikologi sehingga muncul dorongan untuk membunuh anaknya. Terlebih dalam pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan yang dilatar belakangi karena adanya kekerasan dalam rumah tangga, kawin paksa, poligami, perceraian secara sepihak tanpa mempertimbangkan keadilan bagi isteri dan anak, dan bentuk-bentuk kesewenangan lain terhadap perempuan menunjukkan bahwa sesungguhnya ibu atau pelaku pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan adalah juga seorang korban. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan paparan di atas maka permasalahan dirumuskan sebagai berikut: 1) Apakah faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan yang dilakukan oleh ibu kandungnya? 2) Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi narapidana pelaku pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan oleh ibu kandungnya? PEMBAHASAN Faktor Yang Melatarbelakangi Terjadinya Tindak Pidana Pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan Yang Dilakukan Oleh Ibu Kandungnya 1. Faktor Ekonomi Alasan ekonomi merupakan alasan klasik yang melatar belakangi terjadinya tindak kejahatan. Demikian pula dalam kasus pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan oleh ibu kandungnya. Sebagian besar pelaku tindak pidana tersebut menyatakan bahwa kesulitan ekonomi yang membuat mereka terpaksa membunuh anak yang baru dilahirkannya. Kekhawatiran tidak mampu memberikan kehidupan yang layak pada anaknya kelak dikemudian hari membuat seorang ibu nekat melakukan pembunuhan ini. Seorang ibu yang membunuh bayinya dengan alasan ekonomi atau malu dengan cap yang diberikan oleh masyarakat karena memiliki banyak anak akan menganggap perbuatannya adalah benar, karena dalam pikiran ibu tersebut ia telah menyelamatkan sang anak yang akan lahir ditengah–tengah kemiskinan dan keterbatasan. Norma dan pembenaran yang dianut oleh ibu tersebut tentunya bertentangan dengan norma yang dianut dalam masyarakat dominan, yang menganggap bahwa pembunuhan adalah bentuk kejahatan yang melanggar norma dan aturan dalam masyarakat. Akan tetapi pada ibu yang telah melakukan pembunuhan tersebut tidak lantas begitu saja dapat dikatakan ia adalah seorang kriminal, karena sesungguhnya yang terjadi adalah ibu tersebut hanya memiliki perbedaan norma yang dianutnya (conduct norm) dengan norma yang dianut oleh masyarakat dominan. Teori Strain dan Penyimpangan Budaya berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku kriminal berhubungan, tetapi berbeda dalam hal sifat hubungan tersebut. Para penganut teori Strain beranggapan bahwa seluruh anggota masyarakat mengikuti satu set nilai-nilai budaya yaitu nilai-nilai budaya dari kelas menengah. Satu nilai budaya terpenting adalah keberhasilan ekonomi, karena orang-orang kelas bawah tidak mempunyai sarana-sarana yang sah untuk mencapai tujuan tersebut, mereka menjadi frustasi dan beralih menggunakan sarana yang tidak sah. Pada teori penyimpangan budaya menyatakan bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki satu set nilai-nilai yang berbeda, yang cenderung konflik dengan nilai-nilai dari kelas menengah. 135 Sebagai konsekuensinya manakala orang-orang kelas bawah mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melanggar normanorma konvensional. 2. Faktor Kejiwaan/ psikis Rasa bersalah, ketakutan, malu dan tertekan yang dialami oleh ibu yang tengah mengandung anaknya tanpa adanya suatu ikatan perkawinan, dimana bapak dari anak tersebut tidak diketahui, atau tidak mau bertanggung jawab, tentunya tidak semua orang mampu menanggung aib seperti ini. Sekalipun dalam posisi ini ibu turut bersalah atas kehamilan yang tidak diinginkannya, namun sesungguhnya ibu adalah korban. Korban ketidak berdayaan atas perbuatan orang lain yang tidak bertanggung jawab. Kodratnya sebagai seorang wanita adalah mengandung dan melahirkan anak, namun satu perbuatan yang melanggar moral dan etika menempatkannya sebagai seorang yang bersalah atas perbuatan yang seharusnya dipertanggung jawabkan bersama. Ibu sebagai korban seharusnya mendapat perlindungan hukum yang salah satu caranya adalah mengembalikan kondisi jiwanya akibat tekanan daya paksa dari pihak lain (tekanan psikologis). Alasan tekanan psikologis dengan melihat posisi ibu sebagai korban inilah yang seharusnya dapat dijadikan pertimbangan untuk menjatuhkan sanksi pidana. Sudah menjadi opini publik bahwa pembunuhan adalah kejahatan terbesar, karena sesungguhnya hanya Tuhan yang mempunyai wewenang menyudahi hidup seseorang, terlebih jika pembunuhan tersebut korbannya adalah anak yang baru lahir yang tentunya sangat lemah dan tidak berdaya. Apapun alasannya tindak pidana pembunuhan, siapapun korbannya dilarang undang-undang karena bertentangan dengan moral masyarakat dan atau moral agama. kemudian pergi tidak mau bertanggung jawan atas perbuatannya bukan ibu yang sudah mengandung dan susah payah melahirkan. Perempuan dalam hal ini adalah sebagai korban dari rentetan perbuatan pidana (misal perzinahan akibat hubungan diluar nikah). Apabila dihubungkan dengan Pasal 49 KUHP, sebenarnya Pasal ini mengakui adanya daya paksa bagi barang siapa yang melakukan tindak pidana. Dalam teori hukum pidana, Moeljatno membagi daya paksa menjadi 2 yaitu daya paksa dalam arti sempit atau overmacht dan daya paksa karena keadaan darurat atau noodtoestand yang terdiri dari 3 kemungkinan yaitu: a. Orang terjepit antara dua kepentingan dalam hal adanya konflik diantara dua kepentingan, b. Orang terjepit antara kepentingan dan kewajiban, c. Orang terjepit antara dua kewajiban. 2 Dihubungkan dengan teori tersebut, kasus pembunuhan anak oleh ibu kandungnya seketika setelah dilahirkan terjadi konflik antara 2 (dua) hak, hak perempuan yang melahirkan bertentangan dengan hak anak. Dengan demikian untuk menentukan apakah perempuan yang melakukan pembunuhan terhadap anaknya seketika setelah dilahirkan, akibat kehamilan yang tidak dikehendaki sehingga pelaku mengalami gangguan psikologis dapat dipidana atau tidak dapat dinilai dari kepentingan manakah yang lebih utama.3 Hak anak untuk tetap hidup atau hak perempuan untuk tetap menjalankan hidupnya tanpa tekanan psikologis dan sosial. Seperti yang sudah yang dikutip oleh I 2 3 Apabila dihubungkan dengan pendapat tersebut, sebenarnya yang menentang moral adalah laki–laki yang telah menghamili ibu yang Moeljatno, 1982, Azas-azas Hukum Pidana, Yogyakarta Universitas Gadjah Mada Pers. hlm. 140. Suryono Ekotama, et.al., 2001. Perlindungan Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Yogyakarta. Universitas Atma Jaya. hlm. 194. 136 Nyoman Nurjaya4, Abbot dan Wallace menyatakan bahwa teori–teori di masa lalu lebih menunjuk bahwasanya faktor pembawaan, biologis, atau genetika sebagai kausa wanita melakukan keja-hatan. Namun teori yang lain menjelaskan bahwa ciri–ciri biologis dan psikologis yang khas merupakan basis untuk dapat menjelaskan latar belakang wanita melakukan kejahatan. Wanita memiliki ciri–ciri biologis dan psikologis yang berbeda dengan pria, dan karena itu boleh jadi menjadi sumber kecenderungan wanita melakukan kejahatan. Teori yang kini menjadi popular menyatakan bahwa semua wanita pada dasarnya menjadi budak dari biologisnya dan melakukan kejahatan, karena proses alami dari kondisi dan ciri–ciri biologisnya. Pengaruh tahap–tahap generatif suatu kehamilan, menstruasi, dan menopause cenderung mendorong wanita melakukan kejahatan. Hal ini secara umum diakui bahwa ketika wanita hamil, menstruasi, atau memasuki menopause kerap kali dibarengi dengan gangguan–gangguan hormonal, yang menuntut pemenuhan kebutuhan dan pemuasan tertentu. Proses biologis yang menimbulkan ketidak seimbangan hormonal cenderung mendorong wanita melakukan kejahatan. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa jika dikaitkan dengan kondisi biologis wanita yang khas, maka wanita sering menjadi tidak berdaya oleh ketidakstabilan hormonal ketika meng-hadapi masa kehamilan, menstruasi, atau menopause. Karena itu dari sisi ini secara teoritis kondisi hormonal wanita dipandang sebagai penyebab wanita melakukan kejahatan. Berkaitan dengan faktor biologis yang dapat mempengaruhi terjadinya tindak kejahatan muncul faktor psikologis yang juga merupakan faktor intern dari dalam diri manusia untuk melakukan suatu tindak kejahatan. Melihat teori tersebut menunjukkan bahwa seorang wanita memiliki sifat alami yang labil sekalipun dalam kondisi fisik dan psikis yang sehat. Daya tahan 4 I Nyoman Nurjaya. Loc.Cit menerima ancaman dari lingkungan disekitarnya sangat lemah sehingga rentan mengalami gangguan psikologis. Dengan kondisi kejiwaan wanita yang tertekan dan labil seperti ini, kiranya tidak adil jika ibu yang membunuh anaknya tetap dikenakan sanksi hukum layaknya penjahat kriminal lainnya. Terlebih jika tindakan pembunuhan tersebut disebabkan oleh trauma yang mendalam sehingga menyebabkan kondisi psikisnya terganggu. Sekalipun seorang ibu telah membunuh anaknya yang berarti ibu tersebut telah melakukan perbuatan pidana akan tetapi sesungguhnya ibu adalah juga seorang wanita yang menjadi korban. Dia adalah korban dari hubungan diluar perkawinan, jika ibu tersebut hamil diluar nikah. Jika pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan dilakukan oleh seorang ibu dalam suatu ikatan perkawinan, Ibu juga dapat disebut sebagai korban karena berusaha memenuhi keinginan suami untuk tidak punya anak lagi, ibu juga menjadi korban karena kondisi ekonomi yang dianggapnya tidak akan cukup untuk menghidupi anaknya. Mencermati undang-undang yang telah lama diberlakukan dikaitkan dengan keadaan sekarang, khususnya berkait dengan pembunuhan anak oleh ibu kandungnya seketika setelah dilahirkan pada akhirnya penyelesaian kasus tersebut sangat tergantung pada para penegak hukum untuk menegakkan keadilan terutama bagi perempuan yang jelas-jelas berkedudukan sebagai korban, alasan psikologis dan latar belakang dilakukannya tindak pidana menjadi sangat penting untuk menjatuhkan vonis pidana yang adil. 3. Faktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga Masalah kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam rumah tangga, bukanlah yang sepele. Apabila kekerasan tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan berdampak secara fisik dan psikis terhadap perempuan. Kekerasan yang dimaksudkan disini bukan hanya kekerasan secara verbal saja (dalam 137 bentuk perbuatan, misal memukul, menampar, dsb) melainkan juga kekerasan non verbal (seperti mencaci, marah–marah, mengeluarkan kata–kata kotor). Efek psikologis penganiayaan bagi banyak perempuan lebih parah dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan. sampai terlemah yaitu: takut pada kemarahan orang tua, belum siap secara mental dan ekonomi untuk menikah dan mempunyai anak, malu pada lingkungan sosial bila ketahuan mempunyai anak sebelum menikah, kekerasan dalam rumah tangga, dan, malu pada status anak nantinya karena tidak dikenal bapaknya akibat hubungan sebelum menikah. Istri yang teraniaya sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti penganiayaan mereka. Keadaan seperti ini dapat berakibat fatal jika kekerasan tersebut dilakukan pada perempuan yang sedang hamil, dimana emosinya sangat tidak stabil sehingga dengan mudah melukai perasaannya atau menimbulkan tekanan mental dan batin. Tindak kekerasan juga berakibat mempengaruhi cara berfikir korban, misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bisa percaya kepada apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban. Maka tidak heran jika kemudian perempuan yang semasa hamilnya dan sebelumnya telah menerima kekerasan dari pasangannya tidak dapat berpikir jernih dan membunuh anak yang baru dilahirkannya. Status anak yang lahir diluar ikatan perkawinan dalam masyarakat kita masih dianggap sebagai hal yang tabu. Anak yang lahir kemudian dicap sebagai anak haram, anak yang tidak jelas bapaknya, dsb. Tentunya hal ini akan mengganggu kondisi kejiwaan anak, jika kelak dia telah mengerti. Adakalanya masyarakat mengucilkan ibu yang melahirkan maupun anak yang lahir diluar ikatan perkawinan. Sanksi moral di tengah masyarakat ini lebih berat kerena akan melekat seumur hidup pada diri ibu dan anak. 4. Faktor Lingkungan Sosial Pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sesaat setelah dilahirkan yang terjadi dewasa ini lebih banyak didasarkan pada alasan sosiologis sekalipun alasan-alasan sosiologis ini dilarang dan termasuk perbuatan pidana. Hal tersebut dikarenakan tidak seluruhnya kehamilan perempuan merupakan kehamilan yang dikehendaki, artinya ada kehamilan yang tidak dikehendaki dengan alasan anak sudah banyak, hamil diluar nikah sebagai akibat pergaulan bebas, perselingkuhan dan sebagainya. Hasil penelitian tentang kehamilan yang tidak dikehendaki sehingga berujung pada pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan didasarkan pada alasan-alasan yang terkuat Kondisi lingkungan sosial masyarakat kita yang demikian itu tentu saja menjadi alasan terbesar bagi seorang ibu untuk membunuh anaknya seketika saat dilahirkan. Dengan membunuh anaknya ibu beranggapan dapat menyembunyikan status anaknya yang lahir diluar perkawinan, hal tersebut juga akan menutup aibnya karena hamil dan melahirkan tanpa seorang suami. Dan yang paling penting menurut anggapan sang ibu dia tidak akan mendaptkan sanksi negatif dari masyarakat. 5. Faktor Pendidikan Tingkat pendidikan para pelaku ini tentunya akan berpengaruh juga terhadap pola pikir mereka. Kita tahu, pendidikan berkaitan dengan perkembangan kejiwaan dan kepribadian, budi pekerti dan etika. Pendidikan juga berkaitan dengan penguasaan pengetahuan serta keterampilan. Meskipun bukan berarti pendidikan rendah akan melatar belakangi setiap kejahatan, karena nafsu jahat timbul dari tiap– tiap manusia, dan tergantung bagaimana kita mengendalikannya. 138 Akan tetapi dalam hal ini pendidikan mempunyai pengaruh besar dalam membentuk pola pikir seseorang dalam menyelesaikan masalah. Seorang yang hanya tamatan Sekolah Dasar tentunya mempunyai cara pendang dan pola pikir berbeda dengan tamatan Sekolah Menengah. Kemapuan berpikir dan nalar akan terbentuk manakala seseorang belajar mengenai hal–hal baru, mencoba menjawab latihan–latihan soal yang umumnya diberikan di sekolah. Sekolah memegang peranan penting dalam pendidikan karena pengaruhnya besar sekali pada jiwa anak. Maka disamping kelurga sebagai pusat pendidikan, sekolah pun mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan untuk pembentukan pribadi anak. Memang dalam hal ini pendidikan tidak hanya dari lembaga formal saja, pendidikan dapat diperoleh seseorang lewat lingkungannya. Lingkungan ini mengitari manusia sejak manusia dilahirkan sampai dengan meninggalnya. Antara lingkungan dan manusia ada pengaruh yang timbal balik, artinya lingkungan mempengaruhi manusia, dan sebaliknya, manusia juga mempengaruhi lingkungan di sekitarnya. Lingkungan yang paling kecil adalah lingkungan keluarga. Dalam lingkungan keluarga ini pendidikan berawal. Orang tua akan mengajarkan perbedaan yang baik dan yang buruk, yang patut dilakukan dan yang tidak seharusnya dilakukan, yang benar dan yang salah, dsb. Dari lingkungan terkecil keluarga, orang tua juga akan mengajarkan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Pendidikan yang diberikan oleh keluarga adalah sederhana akan tetapi akan membentuk kepribadian seorang anak. Dalam keluarga seorang anak akan belajar menunaikan kewajiban–kewajibannya dan menerima haknya. Jika seorang anak tumbuh dilingkungan keluarga yang tidak lengkap, maka dia akan merasa kehilangan hak–haknya. Sehigga akan sulit baginya menghargai hak–hak orang lain. begitu tega membunuh anaknya ada kemungkinan berawal dari rasa tidak puasnya terhadap hak kasih sayang yang semestinya didapat dari kedua orang tuanya tetapi tidak pernah didapatnya. Sehingga sulit juga baginya memberikan rasa sayang kepada anak yang baru dilahirkannya. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Pembunuhan Anak Seketika Dilahirkan Oleh Ibu Kandungnya Kajian Undang–Undang Nomor 13 2006 Tentang Saksi dan Korban Pelaku Setelah dalam Tahun Dalam kasus pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan oleh ibu kandungnya perlu diingat bahwa ibu yang melakukan tindak pidana ini adalah korban dari tindak pidana yang terjadi sebe-lumnya. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan ini disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya adalah ibu sebagai korban tindak kekerasan dalam rumah tangga, dan faktor sosiologis lain yang menempatkan ibu sebagai pelaku tindak pidana ini adalah korban. Perlindungan hukum bagi ibu kandung pelaku pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan juga dapat diberikan oleh Undang Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Menurut pasal 1 butir 2 UU tersebut disebutkan yang dimaksud sebagai korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Memang manakala ibu sebagai pelaku tindak pidana ini diperiksa dan menjalani proses hukum, hak–haknya sebagai pelaku tindak pidana telah diatur dalam KUHAP. KUHAP sangat memperhatikan hak-hak seseorang yang tersangkut tindak pidana, mulai dari proses penyidikan, pemeriksaan di persidangan, penjatuhan hukuman sampai pasca persidangan, yaitu pelaksanaan putusan. Karenanya, tidak mengherankan jika KUHAP dinilai sangat peduli terhadap hak asasi manusia (HAM). Seorang pelaku pembunuhan anak akan 139 Saratnya muatan hak-hak seorang ibu yang menjadi pelaku dalam tindak pidana pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan, ternyata tidak diimbangi pengemasan hakhaknya sebagai korban kejahatan. Seperti kita ketahui, antara pelaku dan korban kejahatan sama-sama merupakan pencari keadilan. Pelaku tindak pidana menghendaki perkaranya diperiksa secara adil dengan mengindahkan hak-haknya serta aturan main yang ditentukan. Sebaliknya, korban kejahatan (victim of crime) juga menghendaki keadilan, yaitu pelaku kejahatan diadili dan kalau perlu dihukum setimpal dengan perbuatannya. Yang membuat masalah ini menjadi sedikit rancu adalah posisi ibu sebagai pelaku sekaligus juga korban tindak pidana lain. Posisi ibu sebagai korban tindak pidana lain inilah yang mendorong dirinya melakukan tindak pidana pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan. Sebagai seorang korban semestinya ibu tidak dipidana bahkan jika memungkinkan, korban kejahatan menghendaki pemberian ganti rugi untuk memulihkan keadaan (estitutior inintegrum). Pada kenyataannya, posisi ibu sebagai pelaku kejahatan lebih mendapat perhatian ketimbang posisinya sebagai korban kejahatan yang patut memperoleh perlindungan. Betapa tidak, sejak awal pemeriksaan (mulai tingkat penyidikan sampai pemeriksaan pengadilan dan pelaksanaan putusan hakim) ibu lebih banyak ditempatkan dalam posisi pelaku tindak pidana, meskipun hak-haknya sebagai pelaku kejahatan dilindungi namun hak–haknya sebagai korban terabaikan. Sebenarnya, mengabaikan hak korban kejahatan merupakan suatu wujud ketidakadilan tersendiri. Menerlantarkan korban kejahatan merupakan tindakan dehumanisasi, yang tidak mengembangkan hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia. Kedudukan korban yang terabaikan ini, jelas merupakan suatu ketidakadilan. Kalaupun korban difungsikan dalam proses peradilan pidana, tidak lebih hanya sebagai pendukung penguasa (Jaksa Penuntut Umum) dalam rangka “penegakan ketertiban,” sementara itu “nasibnya” sendiri sebagai pihak yang dirugikan oleh suatu perbuatan pidana, terisolasi atau paling tidak, kurang mendapat perhatian, teracuhkan. Korban dalam hal ini menurut Arif Gosita,5 “difungsikan/dimanfaatkan sebagai sarana pembuktian saja.” Padahal menurut Iswanto6, Viktimologi sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan yang mandiri mendasarkan pada hubungan antara pembuat/pelaku kejahatan dan korban kejahatan menekankan pada pengakuan terhadap peranan dan tanggung jawab korban bukan hanya sebagai saksi korban dalam peradilan pidana, tetapi merupakan bagian utama serta suatu pemecahan fungsional terhadap masalah kejahatan dalam peradilan pidana. Dalam kasus pembunuhan anak oleh ibu kandungnya seketika setelah dilahirkan, apabila posisi ibu sebagai korban ditempatkan sebagai bagian utama dengan melihat alasan yang mendorong ibu melakukan pembunuhan terhadap anaknya saat dilahirkan maka hak–hak ibu sebagai korban dari tindak pidana lain akan terlindungi, akan tetapi apabila dalam kasus ini ibu tetap dipandang sebagai seorang penjahat atau orang yang telah melakukan tindak pidana maka ia akan kehilangan hak–haknya sebagai seorang korban kejahatan. Senada dengan uraian di atas, Mulyana W. Kusumah7 menulis, “Masalah kejahatan senantiasa berkisar pada pertanyaan apa yang dapat dilakukan terhadap penjahat dan tak seorangpun yang mempertanyakan apa yang dapat dilakukan terhadap korban. Setiap orang menganggap bahwa jalan terbaik untuk menolong korban adalah dengan menangkap si 5 ..Arif Gosita, 1987, Relevansi Viktimologi, Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan Jakarta, hlm. 29. 6 ..Iswanto, Yazid Effendi dan Angkasa, 1998, Viktimologi. Purwokerto: Penerbit Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 68 7 ..Mulyana W. Kusumah, 1981, Aneka Permasalahan Dalam Ruang Lingkup Kriminologi, Bandung, hlm. 2. 140 penjahat, seakan akan penjahat adalah satusatunya sumber kesulitan-kesulitan bagi korban.” Dengan perkembangan pemikiran tentang tujuan pemidanaan, yang antara lain didasarkan kepada perlunya pembinaan si pelaku (terpidana) agar dapat kembali dalam kehidupan masyarakat, telah dibarengi dengan kenyataan sangat berkurangnya perhatian kepada korban. Dan, kalaupun ada perhatian terhadap korban kejahatan, hal itu dianggap tidak boleh menghalangi pembinaan terpidana. Korban sebagai pihak yang dirugikan dalam hal terjadinya suatu kejahatan, seyogyanya juga harus mendapat perhatian dan pelayanan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kepentingannya. Pelayanan dalam hal ini bukan diartikan sebagai suatu kesamaan perlakuan, melainkan adalah digantungkan pada situasi dan kondisi dengan mempertimbangkan berbagai faktor, terutama yang menyangkut faktor keterlibatan korban itu sendiri (shared responsibility) dalam hal terjadinya delik. Maka oleh sebab itu, adalah penting dalam rangka kajian kriminologi, penologi dan viktimologi untuk memberikan perhatian dan perlakuan kepada pembuat kejahatan dan korbannya secara seimbang, baik mengenai hak maupun kewajiban agar dapat mencerminkan rasa tanggung jawab atas peran sertanya masing-masing dalam hal terjadinya kejahatan. Hak dan kewajiban pembuat kejahatan dan korbannya memang berbeda, dan bahkan dalam beberapa hal bertentangan.8 Dalam kaitan ini, Andi Mattalatta9 berpendapat, “Hakekat dari suatu kejahatan seharusnya juga dilihat sebagai sesuatu yang menimbulkan kerugian pada korban, maka dengan demikian, pidana yang dijatuhkan kepada pelaku harus pula memperhatikan kepentingan korban.” Terjadinya suatu kejahatan, menurut 8 9 Iswanto, 1995, Op. Cit, hlm. 3. Andi Mattalatta, 1987, Op. Cit, hlm. 42 Stephen Schafer,10 dalam teorinya yang terkenal dengan Criminal Victim Relationship, adalah karena adanya hubungan korban dengan pembuat kejahatan, sehingga di dalamnya terdapat functional responsibility. Berdasarkan teori Criminal Victim Relationship ini, maka keterlibatan korban akan berpengaruh pada tingkat kesalahan pelaku kejahatan. Lebih lanjut, tingkat kesalahan ini akan berpengaruh pula pada aspek pertanggungjawaban pidana. Maka sebaliknya, seharusnya keterlibatan korban itu sendiri juga mempengaruhi aspek pelayanan dalam mewujudkan perlindungan terhadap kepentingannya, baik dalam wujud kompensasi maupun restitusi, sehingga fungsi dan peranan korban dalam hal ini tidak semata-semata berorientasi pada kepentingan peradilan pidana atau dalam rangka penegakan ketertiban seperti diuraikan di atas, melainkan seyogyanya juga berorientasi pada perlindungan terhadap kepentingannya secara kongkrit. Apabila dalam kasus pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan oleh ibu kandungnya diterapkan teori Criminal Victim Relationship, ibu sebagai pelaku tindak pidana yang juga merupakan korban tindak pidana lainnya akan ditempatkan dalam posisi sama / berimbang sehingga ia akan mendapatkan perlindungan terhadap kepentingannya sebagai pelaku maupun korban. Dengan memperhatikan alasan–alasan yang membuat pelaku melakukan tindak pidana tentunya hakim tidak akan menjatuhkan pidana yang merugikan ibu sebagai pelaku sekaligus korban. Mengingat kebijakan kriminal yang ditempuh saat ini lebih berorientasi pada pelaku, terbukti tidak berhasil memberantas kejahatan, sehubungan dengan itu tentu saja akibat negatif terhadap korban, baik korban dalam pengertian individu maupun kolektif juga tidak dapat dihindari, sehingga dengan demikian kebijakan kriminal perlu diubah, yaitu di samping 10 Mardjono Reksodiputro, 1994, Op. Cit, hlm. 103 141 berorientasi pada pelaku kejahatan juga terhadap korban secara seimbang. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Faktor Yang Melatarbelakangi Terjadinya Tindak Pidana Pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan Yang Dilakukan Oleh Ibu Kandungnya adalah : 1. Faktor Ekonomi 2. Faktor Kejiwaan/Psikis 3. Faktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4. Faktor Lingkungan Sosial 5. Faktor Pendidikan SARAN Bagi wanita yang menjadi korban dalam kejahatan sehingga mendorong dirinya untuk melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap anak kandungnya seketika setelah dilahirkan perlu menyadari bahwa mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum merupakan salah satu hak asasi manusi. Perlindungan hukum adalah melindungi hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan undang-undang, maka oleh karena itu untuk setiap pelanggaran hukum yang dituduhkan padanya serta dampak yang diderita olehnya ia berhak pula untuk mendapat hukum yang diperlukan sesuai dengan asas hukum. Bagi Hakim yang memutuskan perkara tindak pidana pembunuhan anak oleh ibu kandungnya seketika setelah dilahirkan, seperti yang telah kita ketahui bahwa perbuatan tindak pidana tersebut merupakan kejahatan yang lebih dilandasi oleh dorongan emosi, dan kejiwaan seseorang, bukan karena dorongan nafsu jahat. Jadi walaupun seberapa berat hukuman yang diancam, tidak akan dapat mencegah orang untuk melakukan kejahatan tersebut. Sehingga dalam menjatuhkan putusan hakim lebih mempertimbangkan latar belakang pelaku tindak pidana tersebut serta faktor–faktor atau alasan yang menyebabkan terjadinya pembunuhan anak oleh ibu kandungnya saat dilahirkan. Bagi masyarakat perlunya kesadaran diri bahwa kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun. Segala daya upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau mengurangi meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat kembali sebagai warga masyarakat yang baik. Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan, tidaklah sekedar mengatasi kejahatan yang sedang terjadi dalam lingkungan masyarakat, tapi harus diperhatikan pula, atau harus dimulai dari kondisi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia. Perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan. Hal itu menjadi tugas dari setiap kita, karena kita adaIah bagian dari masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Atmasasmita, Romli 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung, Eresco Gosita, Arif, 2004, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) Pemahaman Perempuan dan Kekerasan, Jakarta, PT. Bhuwana Ilmu Populer. Hamzah, Andi, 2008, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Keumalahayati, 2004, Kekerasan Pada Istri Dalam Rumah Tangga Berdampak Terhadap Kesehatan Reprodusi. Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008. Monks, F.J. et.al. l994, Psikologi Perkembangan. Alih Bahasa : Siti Rahayu Haditono. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Mudzakkir, Viktimologi, Studi Kasus di Indonesia. Surabaya 2005. Muhajir, N. 1997, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Suatu Teori Pendidikan. Yogyakarta: Saresehan. Muhammad, Abdulkadir, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, 142 Bandung. Nawawi Arief, Barda, 2008, Kebijakan Hukum Pidana : Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Kencana. Jakarta. Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Ninik Widiyanti, Julius Waskita, 1997, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya, Jakarta: Bina Aksara. Nyoman Nurjaya, I, 1990.Wanita dan Kejahatan Antara Teori dan Realitas, Hukum dan Pembangunan. Purnianti, Moh. Kemal Darmawan. 1994. Mazhab dan Penggolongan Teori dalam Kriminologi. Bandung, Citra Aditya Bakti. Ruba’I, Masruchin, 1994.Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, IKIP, Malang. Sadhi Astuti, Made, 1997. Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana. Penerbit IKIP Malang. Surya, M, l990, Pengantar Psikologi Perkembangan. Publikasi Jurusan PPB FIP IKIP Bandung. Sumiyanto, 2008, Sanksi Bagi Ibu yang Melakukan Pembunuhan Terhadap Anaknya, Ringkasan Disertasi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Soekanto, Soerjono, 1996, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta. Topo santoso, Eva Achjani Zulfa. 2002. Kriminologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada -------,1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Citra Adya Bakti. Bandung. 2000 http//www. Suara Merdeka.com. Pembunuhan anak di Indonesia, 27 Februari 2000 http//www.google.com Gender Kesrepro. Info. Pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan Di Indonesia. Juni 2002. http//www.Kompas.com. Pembunuhan anak dan pelayanan kesehatan.2000 www.hukumonline.com.Hukum Pidana Indonesia, Proyeksi Hukum Pidana Materil lndonesia di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Semarang, 1990. diakses pada tanggal 21 February 2009. http//www.google.com.Surya, M. (l997). Bimbingan untuk Mempersiapkan Generasi Muda Memasuki Abad-21 (Pendekatan Psiko-Pedagogis). Pidato Pengukuhan Guru Besar FIP. Jurusan PPB IKIP Bandung. Perarturan Perundang – Undangan Kitab Undang–Undang Hukum Pidana Undang–Undang No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang–Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Internet http//www.Kompas.com. Ada 2,3 Juta Pembunuhan Bayi Setiap Tahun, 3 Maret 143