132 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELAKU - E

advertisement
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELAKU PEMBUNUHAN ANAK SEKETIKA SETELAH
DILAHIRKAN OLEH IBU KANDUNGNYA
Oleh : Shinta Ayu Purnamawati
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
Email : [email protected]
Abstraksi
Perkosaan adalah ketidakadilan terbesar pada wanita. Tetapi ketidakadilan yang
lebih besar terjadi jika anak yang juga merupakan korban hasil perkosaan turut dibunuh.
Pada dasarnya seorang wanita memiliki rasa keibuan yang alami. Jauh di lubuk hatinya
selalu ada kasih dan kekuatan. Keputusan untuk melahirkan anak adalah keputusan untuk
membawa sesuatu yang baik keluar dari sesuatu yang kelihatannya jahat. Keputusan ini
adalah kemenangan atas kejahatan perkosaan. Keputusan ini akan membawa si wanita
untuk selalu mengingat keberanian dan kemurahan hatinya, dibandingkan ketakutan dan
rasa malunya. Dalam kasus pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan oleh seorang ibu
korban perkosaan hukuman yang diterima oleh sang ibu seringkali dirasa kurang
memenuhi rasa keadilan. Hal tersebut dikarenakan pembunuhan yang dilakukannya
adalah akibat perkosaan dimana pelaku pembunuhan ini (ibu) juga adalah korban
kejahatan yang lain. Sekalipun dirasa kurang adil hal ini tidak menjadikan alasan tindakan
pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan yang dilakukan oleh ibu korban perkosaan
menjadi legal. Selain fakta bahwa bayi-bayi yang tak bersalah akan terbunuh, hukum ini
akan menemui kesulitan jika dijalankan. Jika seorang wanita mengaku diperkosa dan oleh
karenanya hendak menghilangkan nyawa anak yang masih dikandungnya ataupun anak
yang baru saja dilahirkannya, dapatkah wanita ini memberikan bukti nyata kalau ia
diperkosa? Haruskah ia melaporkan perkosaan dirinya pada polisi?
Kata Kunci: Wanita (Ibu), Korban, Pembunuhan anak seketikan setelah dilahirkan.
Abstract
Rape is the greatest injustice to women. But the greater injustice occurs if the
children who were victims of rape participate killed. Basically, a woman has a natural
sense of motherhood. Deep down there is always love and strength. The decision to have
children is the decision to bring something good out of something that looks nasty. This
decision is a victory for the crime of rape. This decision will bring the woman to always
remember the courage and generosity, rather than fear and shame. In the case of murder of
the child immediately after birth by a mother of rape victim sentence received by his
mother often felt less sense of fairness. This is because the murder was a result of rape
where the perpetrator is (mother) is also another victim of crime. Although it is less fair
this does not make the cause of action immediately after the killing of children born by
mothers of rape victims become legal. Besides the fact that babies are innocent will be
killed, this law would have difficulty if executed. If a woman alleges rape and therefore
want to eliminate the still unborn child's life or the child who has just birth, this woman
can give evidence that she was raped? Should she reported her rape to the police?
Key Word : Women (Mother), Victim, murder of the child immediately after birth
____________________________________________________________________________________
132
PENDAHULUAN
Di masa sekarang ini berita dan fakta
mengenai pembunuhan anak oleh ibu
kandungnya sendiri sudah menjadi hal yang
tidak asing lagi. Pembunuhan anak itu sendiri
terbagi dalam dua kelompok yaitu yang pertama
adalah pembunuhan anak yang terjadi semasa
anak masih berada dalam kandungan atau lebih
dikenal oleh masyarakat dengan istilah aborsi
atau pengguguran kandungan, yang kedua adalah
pembunuhan anak diluar kandungan. Untuk
kasus pembunuhan anak diluar kandungan
terbagi lagi dalam dua kelompok yaitu
pembunuhan anak yang terjadi seketika setelah
dilahirkan, sehingga dalam kasus ini anak yang
baru dilahirkan belum sempat sama sekali
mendapatkan perawatan ataupun disusui, dan
yang kedua adalah pembunuhan anak biasa,
dimana anak telah sempat mendapatkan
perawatan, disusui, pendidikan, dan terjadi pada
saat usia dibawah 18 tahun.
Pembunuhan anak seketika setelah
dilahirkan juga banyak dilakukan oleh
perempuan yang belum menikah. Hal ini terjadi
dikarenakan pergaulan laki-laki dan perempuan
yang semakin bebas, sehingga melanggar batasbatas yang seharusnya belum boleh dilakukan
sebelum sah menjadi suami isteri. Hal ini terjadi
pada anak-anak muda yang menganut gaya hidup
seks bebas. Pada awalnya para anak muda
tersebut hanya berpacaran biasa, akan tetapi
setelah cukup lama berpacaran mereka
melakukan hubungan suami isteri. Ketika
hubungan mereka membuahkan janin dalam
kandungan, timbul masalah karena mereka
belum menikah dan kebanyakan masih harus
menyelesaikan
sekolah
atau
kuliahnya.
Ditambah adanya rasa takut ketahuan dan rasa
malu apabila masalah kehamilan itu ketahuan
oleh orang tua dan orang lain, maka berbagai
cara ditempuh untuk mengatasi benih bakal
manusia yang ada di dalam rahim. Ada yang
melakukan pernikahan sehingga dikenal istilah
MBA (Married By Accident) atau nikah setelah
perut sang gadis agak membesar karena hamil.
Namun ada pula yang mengambil jalan pintas
dengan cara menggugurkan kandungannya,
bahkan membunuh anaknya saat dilahirkan.1
Pembunuhan terhadap anak ini juga
sering dilakukan oleh para wanita yang menjadi
korban perkosaan. Alasan yang sering diajukan
oleh para wanita yang diperkosa itu adalah
bahwa mengandung anak hasil perkosaan itu
akan menambah derita batinnya karena melihat
anak itu akan selalu mengingatkannya akan
peristiwa buruk tersebut, apalagi jika sampai
anak hasil perkosaan tersebut dilahirkan, akan
semakin kompleks permasalahannya, karena ibu
korban perkosaan harus merawat sendiri anaknya
dan apabila anak tersebut terlahir dari keluarga
miskin maka ia tidak akan mendapat
penghidupan yang layak, belum lagi tekanan
batin karena anak itu lahir tanpa ayah, ia akan
dicemooh masyarakat sehingga seumur hidup
menanggung malu. Hal ini dikarenakan dalam
budaya timur Indonesia, tidak dapat menerima
anak yang lahir di luar nikah. Alasan inilah yang
kadang-kadang membuat perempuan yang hamil
di luar nikah ataupun perempuan korban
perkosaan nekat melakukan pembunuhan
terhadap anaknya.
Namun demikian tidak selamanya
kejadian-kejadian pemicu seperti sudah terlalu
banyak anak, kehamilan di luar nikah, dan
korban perkosaan tersebut membuat seorang
wanita memilih untuk menghilangkan nyawa
anaknya. Ada juga yang tetap mempertahankan
kandungannya dan merawat anak yang
dilahirkannya dengan alasan bahwa pembunuhan
terhadap anak apapun alasannya merupakan
perbuatan dosa dan melanggar hukum.
Perkosaan adalah kejahatan terburuk
yang menimpa wanita. Para korban sangat
membutuhkan bantuan dan dukungan kita. Kita
perlu memberikan perlindungan dan bantuan
yang lebih pada mereka. Tetapi pembunuhan
1
Problematika Tindak Pidana Pembunuhan Bayi
Suatu Tijauan Normatif, http://Aborsi.org/,
diakses pada 28 Maret 2009.
133
anak, seperti juga perkosaan, adalah sebuah
tindakan yang menghancurkan. Tindakan
menghilangkan nyawa anak hasil perkosaan
adalah seperti menjawab kekejaman atas seorang
wanita yang tak berdosa (yaitu korban
perkosaan) dengan kekejaman atas satu korban
yang tak berdosa juga. Pembunuhan anak
sekalipun dia masih berada dalam kandungan
ataupun seketika setelah dilahirkan selalu
menyebabkan hilangnya kehidupan manusia.
Pembunuhan anak korban perkosaan baik
ketika masih berada dalam kandungan ataupun
seketika setelah dilahirkan tidak membantu si
wanita untuk menghilangkan trauma perkosaan.
Karena tindakan menghilangkan nyawa anaknya
itu sendiri dapat mengakibatkan luka jiwa yang
hanya menambah beban derita korban. Pendapat
masyarakat bahwa pembunuhan anak saat anak
korban perkosaan masih berada dalam
kandungan adalah keputusan terbaik bagi korban
perkosaan, mencerminkan masyarakat yang
melihat korban sebagai "tidak bersih" dan
karenanya harus "dibersihkan dari noda
perkosaan" dengan jalan menghilangkan nyawa
anaknya. Masyarakat harus sadar, rasa marah,
bersalah, takut, tidak percaya diri akibat menjadi
korban perkosaan akan terus menghantui korban.
Tetapi opini, sikap dan kepercayaan masyarakat
seringkali membuat korban sulit untuk memilih
kemungkinan lain selain ingin cepat-cepat
menghilangkan
nyawa
anaknya.
Takut
disalahkan dan dibuang oleh keluarganya,
teman-temannya atau lingkungannya membuat
korban ingin bersembunyi dengan cara
membuang bukti nyata kejahatan perkosaan.
Pasal 341 menyebutkan:
“Seorang ibu yang dengan sengaja
menghilangkan jiwa anaknya pada ketika
dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah
dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa
ia sudah melahirkan anak dihukum,
karena makar mati terhadap anak
(kinderdoodslag),
dengan
dihukum
penjara selama–lamanya tujuh tahun”
Unsur yang harus dipenuhi dalam pasal
ini adalah:
1. Yang dihukum adalah seorang ibu, baik
kawin maupun tidak, yang dengan sengaja
(tidak direncanakan lebih dahulu) membunuh
anaknya pada waktu dilahirkan atau tidak
beberapa lama sesudah dilahirkan, karena
takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan
seorang anak. Kejahatan ini dinamakan
“makar mati anak” atau membunuh biasa
anak (kinderdoodslag). Apabila pembunuhan
tersebut dilakukan dengan direncanakan lebih
dahulu dikenakan pasal 342 (kindermoord)
2. Syarat terpenting dalam pembunuhan tersebut
dalam kedua pasal tersebut, bahwa
pembunuhan anak itu dilakukan oleh ibunya
dan harus terdorong oleh rasa ketakutan akan
diketahui kelahiran anak itu. Biasanya anak
yang didapat dari berzina atau hubungan
kelamin yang tidak sah. Apabila syarat ini
tidak ada maka perbuatan itu dikenakan
sebagai pembunuhan biasa tersebut pasal 338
atau 340.
3. Peristiwa membuang bayi, jika dapat
dibuktikan bahwa bayi itu waktu dilahirkan
sudah mati, tidak dikenakan pasal ini, akan
tetapi dikenakan pasal 181.
Pasal 342 menyebutkan:
“Seorang ibu yang dengan sengaja akan
menjalankan keputusan yang diambilnya
sebab takut ketahuan bahwa ia tidak
lama lagi akan melahirkan anak,
menghilangkan jiwa anaknya itu pada
ketika dilahirkan atau tidak lama
kemudian dari pada itu, dihukum karena
pembunuhan anak (kindermoord), yang
direncanakan dengan hukuman penjara
selama–lamanya sembilan tahun.”
Jika dalam kasus pembunuhan anak
seketika setelah dilahirkan dengan alasan–alasan
yang lain seorang ibu yang melakukan
pembunuhan terhadap bayinya sesungguhnya
juga adalah korban. Dapat dikatakan sebagai
korban karena pelaku hamil diluar kehendak atau
134
kemauannya. Pada saat kehamilan terjadi
tentunya ia sudah merasakan penderitaan batin.
Tekanan mental ibu takut kehamilannya
diketahui orang karena sesungguhnya ia belum
menikah, tekanan takut tidak mampu memberi
penghidupan yang layak pada anaknya, dan
mungkin juga tekanan dari pasangannya yang
tidak menghendaki kehamilan terjadi. Keadaan
mental ibu yang tertekan juga perang batin
dalam hatinya untuk tetap mempertahankan
anaknya atau melenyapkannya menyebabkan
terjadinya gangguan psikologi sehingga muncul
dorongan untuk membunuh anaknya.
Terlebih dalam pembunuhan anak seketika
setelah dilahirkan yang dilatar belakangi karena
adanya kekerasan dalam rumah tangga, kawin
paksa, poligami, perceraian secara sepihak tanpa
mempertimbangkan keadilan bagi isteri dan
anak, dan bentuk-bentuk kesewenangan lain
terhadap perempuan menunjukkan bahwa
sesungguhnya ibu atau pelaku pembunuhan anak
seketika setelah dilahirkan adalah juga seorang
korban.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan paparan di atas maka
permasalahan dirumuskan sebagai berikut:
1) Apakah faktor yang melatarbelakangi
terjadinya tindak pidana pembunuhan anak
seketika setelah dilahirkan yang dilakukan
oleh ibu kandungnya?
2) Bagaimana bentuk perlindungan hukum
bagi narapidana pelaku pembunuhan anak
seketika setelah dilahirkan oleh ibu
kandungnya?
PEMBAHASAN
Faktor Yang Melatarbelakangi Terjadinya
Tindak Pidana Pembunuhan anak seketika
setelah dilahirkan Yang Dilakukan Oleh Ibu
Kandungnya
1. Faktor Ekonomi
Alasan ekonomi merupakan alasan klasik
yang melatar belakangi terjadinya tindak
kejahatan. Demikian pula dalam kasus
pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan
oleh ibu kandungnya. Sebagian besar pelaku
tindak pidana tersebut menyatakan bahwa
kesulitan ekonomi yang membuat mereka
terpaksa
membunuh
anak
yang
baru
dilahirkannya. Kekhawatiran tidak mampu
memberikan kehidupan yang layak pada anaknya
kelak dikemudian hari membuat seorang ibu
nekat melakukan pembunuhan ini.
Seorang ibu yang membunuh bayinya
dengan alasan ekonomi atau malu dengan cap
yang diberikan oleh masyarakat karena memiliki
banyak anak akan menganggap perbuatannya
adalah benar, karena dalam pikiran ibu tersebut
ia telah menyelamatkan sang anak yang akan
lahir
ditengah–tengah
kemiskinan
dan
keterbatasan. Norma dan pembenaran yang
dianut oleh ibu tersebut tentunya bertentangan
dengan norma yang dianut dalam masyarakat
dominan, yang menganggap bahwa pembunuhan
adalah bentuk kejahatan yang melanggar norma
dan aturan dalam masyarakat. Akan tetapi pada
ibu yang telah melakukan pembunuhan tersebut
tidak lantas begitu saja dapat dikatakan ia adalah
seorang kriminal, karena sesungguhnya yang
terjadi adalah ibu tersebut hanya memiliki
perbedaan norma yang dianutnya (conduct norm)
dengan norma yang dianut oleh masyarakat
dominan.
Teori Strain dan Penyimpangan Budaya
berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku
kriminal berhubungan, tetapi berbeda dalam hal
sifat hubungan tersebut. Para penganut teori
Strain beranggapan bahwa seluruh anggota
masyarakat mengikuti satu set nilai-nilai budaya
yaitu nilai-nilai budaya dari kelas menengah.
Satu nilai budaya terpenting adalah keberhasilan
ekonomi, karena orang-orang kelas bawah tidak
mempunyai sarana-sarana yang sah untuk mencapai tujuan tersebut, mereka menjadi frustasi
dan beralih menggunakan sarana yang tidak sah.
Pada teori penyimpangan budaya menyatakan
bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki
satu set nilai-nilai yang berbeda, yang cenderung
konflik dengan nilai-nilai dari kelas menengah.
135
Sebagai konsekuensinya manakala orang-orang
kelas bawah mengikuti sistem nilai mereka
sendiri, mereka mungkin telah melanggar normanorma konvensional.
2. Faktor Kejiwaan/ psikis
Rasa bersalah, ketakutan, malu dan
tertekan yang dialami oleh ibu yang tengah
mengandung anaknya tanpa adanya suatu ikatan
perkawinan, dimana bapak dari anak tersebut
tidak diketahui, atau tidak mau bertanggung
jawab, tentunya tidak semua orang mampu
menanggung aib seperti ini. Sekalipun dalam
posisi ini ibu turut bersalah atas kehamilan yang
tidak diinginkannya, namun sesungguhnya ibu
adalah korban. Korban ketidak berdayaan atas
perbuatan orang lain yang tidak bertanggung
jawab. Kodratnya sebagai seorang wanita adalah
mengandung dan melahirkan anak, namun satu
perbuatan yang melanggar moral dan etika
menempatkannya sebagai seorang yang bersalah
atas perbuatan yang seharusnya dipertanggung
jawabkan bersama.
Ibu sebagai korban seharusnya mendapat
perlindungan hukum yang salah satu caranya
adalah mengembalikan kondisi jiwanya akibat
tekanan daya paksa dari pihak lain (tekanan
psikologis). Alasan tekanan psikologis dengan
melihat posisi ibu sebagai korban inilah yang
seharusnya dapat dijadikan pertimbangan untuk
menjatuhkan sanksi pidana.
Sudah menjadi opini publik
bahwa
pembunuhan adalah kejahatan terbesar, karena
sesungguhnya hanya Tuhan yang mempunyai
wewenang menyudahi hidup seseorang, terlebih
jika pembunuhan tersebut korbannya adalah
anak yang baru lahir yang tentunya sangat lemah
dan tidak berdaya. Apapun alasannya tindak
pidana pembunuhan, siapapun korbannya
dilarang undang-undang karena bertentangan
dengan moral masyarakat dan atau moral agama.
kemudian pergi tidak mau bertanggung jawan
atas perbuatannya
bukan ibu yang sudah
mengandung dan susah payah melahirkan.
Perempuan dalam hal ini adalah sebagai korban
dari rentetan perbuatan pidana (misal perzinahan
akibat hubungan diluar nikah).
Apabila dihubungkan dengan Pasal 49
KUHP, sebenarnya Pasal ini mengakui adanya
daya paksa bagi barang siapa yang melakukan
tindak pidana. Dalam teori hukum pidana,
Moeljatno membagi daya paksa menjadi 2 yaitu
daya paksa dalam arti sempit atau overmacht
dan daya paksa karena keadaan darurat atau
noodtoestand yang terdiri dari 3 kemungkinan
yaitu:
a. Orang terjepit antara dua kepentingan
dalam hal adanya konflik diantara dua
kepentingan,
b. Orang terjepit antara kepentingan dan
kewajiban,
c. Orang terjepit antara dua kewajiban. 2
Dihubungkan dengan teori tersebut, kasus
pembunuhan anak oleh ibu kandungnya seketika
setelah dilahirkan terjadi konflik antara 2 (dua)
hak, hak perempuan yang melahirkan
bertentangan dengan hak anak. Dengan demikian
untuk menentukan apakah perempuan yang
melakukan pembunuhan terhadap anaknya
seketika setelah dilahirkan, akibat kehamilan
yang tidak dikehendaki sehingga pelaku
mengalami gangguan psikologis dapat dipidana
atau tidak dapat dinilai dari kepentingan
manakah yang lebih utama.3 Hak anak untuk
tetap hidup atau hak perempuan untuk tetap
menjalankan hidupnya tanpa tekanan psikologis
dan sosial.
Seperti yang sudah yang dikutip oleh I
2
3
Apabila dihubungkan dengan pendapat
tersebut, sebenarnya yang menentang moral
adalah laki–laki yang telah menghamili ibu yang
Moeljatno, 1982, Azas-azas Hukum Pidana,
Yogyakarta Universitas Gadjah Mada Pers. hlm.
140.
Suryono Ekotama, et.al., 2001. Perlindungan Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi,
Kriminologi dan Hukum Pidana, Yogyakarta.
Universitas Atma Jaya. hlm. 194.
136
Nyoman Nurjaya4, Abbot dan Wallace
menyatakan bahwa teori–teori di masa lalu lebih
menunjuk bahwasanya faktor pembawaan,
biologis, atau genetika sebagai kausa wanita
melakukan keja-hatan. Namun teori yang lain
menjelaskan bahwa ciri–ciri biologis dan
psikologis yang khas merupakan basis untuk
dapat menjelaskan latar belakang wanita
melakukan kejahatan. Wanita memiliki ciri–ciri
biologis dan psikologis yang berbeda dengan
pria, dan karena itu boleh jadi menjadi sumber
kecenderungan wanita melakukan kejahatan.
Teori yang kini menjadi popular menyatakan
bahwa semua wanita pada dasarnya menjadi
budak dari biologisnya dan melakukan
kejahatan, karena proses alami dari kondisi dan
ciri–ciri biologisnya. Pengaruh tahap–tahap
generatif suatu kehamilan, menstruasi, dan
menopause cenderung mendorong wanita
melakukan kejahatan. Hal ini secara umum
diakui bahwa ketika wanita hamil, menstruasi,
atau memasuki menopause kerap kali dibarengi
dengan gangguan–gangguan hormonal, yang
menuntut pemenuhan kebutuhan dan pemuasan
tertentu. Proses biologis yang menimbulkan
ketidak seimbangan hormonal cenderung
mendorong wanita melakukan kejahatan.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa
jika dikaitkan dengan kondisi biologis wanita
yang khas, maka wanita sering menjadi tidak
berdaya oleh ketidakstabilan hormonal ketika
meng-hadapi masa kehamilan, menstruasi, atau
menopause. Karena itu dari sisi ini secara teoritis
kondisi hormonal wanita dipandang sebagai
penyebab wanita melakukan kejahatan.
Berkaitan dengan faktor biologis yang
dapat mempengaruhi terjadinya tindak kejahatan
muncul faktor psikologis yang juga merupakan
faktor intern dari dalam diri manusia untuk
melakukan suatu tindak kejahatan. Melihat teori
tersebut menunjukkan bahwa seorang wanita
memiliki sifat alami yang labil sekalipun dalam
kondisi fisik dan psikis yang sehat. Daya tahan
4
I Nyoman Nurjaya. Loc.Cit
menerima ancaman dari lingkungan disekitarnya
sangat lemah sehingga rentan mengalami
gangguan psikologis.
Dengan kondisi kejiwaan wanita yang
tertekan dan labil seperti ini, kiranya tidak adil
jika ibu yang membunuh anaknya tetap
dikenakan sanksi hukum layaknya penjahat
kriminal lainnya. Terlebih jika tindakan
pembunuhan tersebut disebabkan oleh trauma
yang mendalam sehingga menyebabkan kondisi
psikisnya terganggu. Sekalipun seorang ibu telah
membunuh anaknya yang berarti ibu tersebut
telah melakukan perbuatan pidana akan tetapi
sesungguhnya ibu adalah juga seorang wanita
yang menjadi korban. Dia adalah korban dari
hubungan diluar perkawinan, jika ibu tersebut
hamil diluar nikah. Jika pembunuhan anak
seketika setelah dilahirkan dilakukan oleh
seorang ibu dalam suatu ikatan perkawinan, Ibu
juga dapat disebut sebagai korban karena
berusaha memenuhi keinginan suami untuk tidak
punya anak lagi, ibu juga menjadi korban karena
kondisi ekonomi yang dianggapnya tidak akan
cukup untuk menghidupi anaknya.
Mencermati undang-undang yang telah
lama diberlakukan dikaitkan dengan keadaan
sekarang,
khususnya
berkait
dengan
pembunuhan anak oleh ibu kandungnya seketika
setelah dilahirkan pada akhirnya penyelesaian
kasus tersebut sangat tergantung pada para
penegak hukum untuk menegakkan keadilan
terutama bagi perempuan yang jelas-jelas
berkedudukan sebagai korban, alasan psikologis
dan latar belakang dilakukannya tindak pidana
menjadi sangat penting untuk menjatuhkan vonis
pidana yang adil.
3.
Faktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Masalah kekerasan yang dialami oleh
perempuan dalam rumah tangga, bukanlah yang
sepele. Apabila kekerasan tersebut dilakukan
secara terus menerus tentunya akan berdampak
secara fisik dan psikis terhadap perempuan.
Kekerasan yang dimaksudkan disini bukan
hanya kekerasan secara verbal saja (dalam
137
bentuk perbuatan, misal memukul, menampar,
dsb) melainkan juga kekerasan non verbal
(seperti mencaci, marah–marah, mengeluarkan
kata–kata kotor). Efek psikologis penganiayaan
bagi banyak perempuan lebih parah dibanding
efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, serta
gangguan makan dan tidur merupakan reaksi
panjang dari tindak kekerasan.
sampai terlemah yaitu: takut pada kemarahan
orang tua, belum siap secara mental dan ekonomi
untuk menikah dan mempunyai anak, malu pada
lingkungan sosial bila ketahuan mempunyai anak
sebelum menikah, kekerasan dalam rumah
tangga, dan, malu pada status anak nantinya
karena tidak dikenal bapaknya akibat hubungan
sebelum menikah.
Istri yang teraniaya sering mengisolasi
diri dan menarik diri karena berusaha
menyembunyikan bukti penganiayaan mereka.
Keadaan seperti ini dapat berakibat fatal jika
kekerasan tersebut dilakukan pada perempuan
yang sedang hamil, dimana emosinya sangat
tidak stabil sehingga dengan mudah melukai
perasaannya atau menimbulkan tekanan mental
dan batin. Tindak kekerasan juga berakibat
mempengaruhi cara berfikir korban, misalnya
tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu
merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit
mengambil keputusan, tidak bisa percaya kepada
apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban
kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan
mental dua kali lebih besar dibandingkan yang
tidak menjadi korban. Maka tidak heran jika
kemudian perempuan yang semasa hamilnya dan
sebelumnya telah menerima kekerasan dari
pasangannya tidak dapat berpikir jernih dan
membunuh anak yang baru dilahirkannya.
Status anak yang lahir diluar ikatan
perkawinan dalam masyarakat kita masih
dianggap sebagai hal yang tabu. Anak yang lahir
kemudian dicap sebagai anak haram, anak yang
tidak jelas bapaknya, dsb. Tentunya hal ini akan
mengganggu kondisi kejiwaan anak, jika kelak
dia telah mengerti. Adakalanya masyarakat
mengucilkan ibu yang melahirkan maupun anak
yang lahir diluar ikatan perkawinan. Sanksi
moral di tengah masyarakat ini lebih berat
kerena akan melekat seumur hidup pada diri ibu
dan anak.
4. Faktor Lingkungan Sosial
Pembunuhan anak oleh ibu kandungnya
sesaat setelah dilahirkan yang terjadi dewasa ini
lebih banyak didasarkan pada alasan sosiologis
sekalipun alasan-alasan sosiologis ini dilarang
dan termasuk perbuatan pidana. Hal tersebut
dikarenakan tidak seluruhnya kehamilan
perempuan
merupakan
kehamilan
yang
dikehendaki, artinya ada kehamilan yang tidak
dikehendaki dengan alasan anak sudah banyak,
hamil diluar nikah sebagai akibat pergaulan
bebas, perselingkuhan dan sebagainya. Hasil
penelitian tentang kehamilan yang tidak
dikehendaki
sehingga
berujung
pada
pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan
didasarkan pada alasan-alasan yang terkuat
Kondisi lingkungan sosial masyarakat
kita yang demikian itu tentu saja menjadi alasan
terbesar bagi seorang ibu untuk membunuh
anaknya seketika saat dilahirkan. Dengan
membunuh anaknya ibu beranggapan dapat
menyembunyikan status anaknya yang lahir
diluar perkawinan, hal tersebut juga akan
menutup aibnya karena hamil dan melahirkan
tanpa seorang suami. Dan yang paling penting
menurut anggapan sang ibu dia tidak akan
mendaptkan sanksi negatif dari masyarakat.
5.
Faktor Pendidikan
Tingkat pendidikan para pelaku ini
tentunya akan berpengaruh juga terhadap pola
pikir mereka. Kita tahu, pendidikan berkaitan
dengan
perkembangan
kejiwaan
dan
kepribadian, budi pekerti dan etika. Pendidikan
juga berkaitan dengan penguasaan pengetahuan
serta keterampilan. Meskipun bukan berarti
pendidikan rendah akan melatar belakangi setiap
kejahatan, karena nafsu jahat timbul dari tiap–
tiap manusia, dan tergantung bagaimana kita
mengendalikannya.
138
Akan tetapi dalam hal ini pendidikan
mempunyai pengaruh besar dalam membentuk
pola pikir seseorang dalam menyelesaikan
masalah. Seorang yang hanya tamatan Sekolah
Dasar tentunya mempunyai cara pendang dan
pola pikir berbeda dengan tamatan Sekolah
Menengah. Kemapuan berpikir dan nalar akan
terbentuk manakala seseorang belajar mengenai
hal–hal baru, mencoba menjawab latihan–latihan
soal yang umumnya diberikan di sekolah.
Sekolah memegang peranan penting dalam
pendidikan karena pengaruhnya besar sekali
pada jiwa anak. Maka disamping kelurga sebagai
pusat pendidikan, sekolah pun mempunyai
fungsi sebagai pusat pendidikan untuk
pembentukan pribadi anak.
Memang dalam hal ini pendidikan tidak
hanya dari lembaga formal saja, pendidikan
dapat diperoleh seseorang lewat lingkungannya.
Lingkungan ini mengitari manusia sejak manusia
dilahirkan sampai dengan meninggalnya. Antara
lingkungan dan manusia ada pengaruh yang
timbal balik, artinya lingkungan mempengaruhi
manusia, dan sebaliknya, manusia juga
mempengaruhi lingkungan di sekitarnya.
Lingkungan yang paling kecil adalah lingkungan
keluarga. Dalam lingkungan keluarga ini
pendidikan
berawal.
Orang
tua
akan
mengajarkan perbedaan yang baik dan yang
buruk, yang patut dilakukan dan yang tidak
seharusnya dilakukan, yang benar dan yang
salah, dsb. Dari lingkungan terkecil keluarga,
orang tua juga akan mengajarkan nilai dan
norma yang berlaku dalam masyarakat.
Pendidikan yang diberikan oleh keluarga
adalah sederhana akan tetapi akan membentuk
kepribadian seorang anak. Dalam keluarga
seorang anak akan belajar menunaikan
kewajiban–kewajibannya dan menerima haknya.
Jika seorang anak tumbuh dilingkungan keluarga
yang tidak lengkap, maka dia akan merasa
kehilangan hak–haknya. Sehigga akan sulit
baginya menghargai hak–hak orang lain.
begitu
tega
membunuh
anaknya
ada
kemungkinan berawal dari rasa tidak puasnya
terhadap hak kasih sayang yang semestinya
didapat dari kedua orang tuanya tetapi tidak
pernah didapatnya. Sehingga sulit juga baginya
memberikan rasa sayang kepada anak yang baru
dilahirkannya.
Bentuk Perlindungan Hukum Bagi
Pembunuhan
Anak
Seketika
Dilahirkan Oleh Ibu Kandungnya
Kajian Undang–Undang Nomor 13
2006 Tentang Saksi dan Korban
Pelaku
Setelah
dalam
Tahun
Dalam kasus pembunuhan anak seketika
setelah dilahirkan oleh ibu kandungnya perlu
diingat bahwa ibu yang melakukan tindak pidana
ini adalah korban dari tindak pidana yang terjadi
sebe-lumnya. Seperti yang telah dijelaskan di
atas bahwa pembunuhan anak seketika setelah
dilahirkan ini disebabkan oleh berbagai faktor
salah satunya adalah ibu sebagai korban tindak
kekerasan dalam rumah tangga, dan faktor
sosiologis lain yang menempatkan ibu sebagai
pelaku tindak pidana ini adalah korban.
Perlindungan hukum bagi ibu kandung pelaku
pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan
juga dapat diberikan oleh Undang Undang No 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban. Menurut pasal 1 butir 2 UU tersebut
disebutkan yang dimaksud sebagai korban
adalah seseorang yang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Memang manakala ibu sebagai pelaku
tindak pidana ini diperiksa dan menjalani proses
hukum, hak–haknya sebagai pelaku tindak
pidana telah diatur dalam KUHAP. KUHAP
sangat memperhatikan hak-hak seseorang yang
tersangkut tindak pidana, mulai dari proses
penyidikan, pemeriksaan di persidangan,
penjatuhan hukuman sampai pasca persidangan,
yaitu pelaksanaan putusan. Karenanya, tidak
mengherankan jika KUHAP dinilai sangat peduli
terhadap hak asasi manusia (HAM).
Seorang pelaku pembunuhan anak akan
139
Saratnya muatan hak-hak seorang ibu
yang menjadi pelaku dalam tindak pidana
pembunuhan anak seketika setelah dilahirkan,
ternyata tidak diimbangi pengemasan hakhaknya sebagai korban kejahatan. Seperti kita
ketahui, antara pelaku dan korban kejahatan
sama-sama merupakan pencari keadilan. Pelaku
tindak pidana menghendaki perkaranya diperiksa
secara adil dengan mengindahkan hak-haknya
serta aturan main yang ditentukan. Sebaliknya,
korban kejahatan (victim of crime) juga
menghendaki keadilan, yaitu pelaku kejahatan
diadili dan kalau perlu dihukum setimpal dengan
perbuatannya. Yang membuat masalah ini
menjadi sedikit rancu adalah posisi ibu sebagai
pelaku sekaligus juga korban tindak pidana lain.
Posisi ibu sebagai korban tindak pidana lain
inilah yang mendorong dirinya melakukan tindak
pidana pembunuhan anak seketika setelah
dilahirkan.
Sebagai seorang korban semestinya ibu
tidak dipidana bahkan jika memungkinkan,
korban kejahatan menghendaki pemberian ganti
rugi untuk memulihkan keadaan (estitutior
inintegrum). Pada kenyataannya, posisi ibu
sebagai pelaku kejahatan lebih mendapat
perhatian ketimbang posisinya sebagai korban
kejahatan yang patut memperoleh perlindungan.
Betapa tidak, sejak awal pemeriksaan (mulai
tingkat
penyidikan
sampai
pemeriksaan
pengadilan dan pelaksanaan putusan hakim) ibu
lebih banyak ditempatkan dalam posisi pelaku
tindak pidana, meskipun hak-haknya sebagai
pelaku kejahatan dilindungi namun hak–haknya
sebagai korban terabaikan.
Sebenarnya, mengabaikan hak korban
kejahatan merupakan suatu wujud ketidakadilan
tersendiri. Menerlantarkan korban kejahatan
merupakan tindakan dehumanisasi, yang tidak
mengembangkan hak asasi manusia dan
kewajiban asasi manusia. Kedudukan korban
yang terabaikan ini, jelas merupakan suatu
ketidakadilan. Kalaupun korban difungsikan
dalam proses peradilan pidana, tidak lebih hanya
sebagai pendukung penguasa (Jaksa Penuntut
Umum) dalam rangka “penegakan ketertiban,”
sementara itu “nasibnya” sendiri sebagai pihak
yang dirugikan oleh suatu perbuatan pidana,
terisolasi atau paling tidak, kurang mendapat
perhatian, teracuhkan. Korban dalam hal ini
menurut Arif Gosita,5 “difungsikan/dimanfaatkan
sebagai sarana pembuktian saja.” Padahal
menurut Iswanto6, Viktimologi sebagai suatu
disiplin ilmu pengetahuan yang mandiri
mendasarkan
pada
hubungan
antara
pembuat/pelaku kejahatan dan korban kejahatan
menekankan pada pengakuan terhadap peranan
dan tanggung jawab korban bukan hanya sebagai
saksi korban dalam peradilan pidana, tetapi
merupakan bagian utama serta suatu pemecahan
fungsional terhadap masalah kejahatan dalam
peradilan pidana.
Dalam kasus pembunuhan anak oleh ibu
kandungnya seketika setelah dilahirkan, apabila
posisi ibu sebagai korban ditempatkan sebagai
bagian utama dengan melihat alasan yang
mendorong ibu melakukan pembunuhan
terhadap anaknya saat dilahirkan maka hak–hak
ibu sebagai korban dari tindak pidana lain akan
terlindungi, akan tetapi apabila dalam kasus ini
ibu tetap dipandang sebagai seorang penjahat
atau orang yang telah melakukan tindak pidana
maka ia akan kehilangan hak–haknya sebagai
seorang korban kejahatan.
Senada dengan uraian di atas, Mulyana
W. Kusumah7 menulis, “Masalah kejahatan
senantiasa berkisar pada pertanyaan apa yang
dapat dilakukan terhadap penjahat dan tak
seorangpun yang mempertanyakan apa yang
dapat dilakukan terhadap korban. Setiap orang
menganggap bahwa jalan terbaik untuk
menolong korban adalah dengan menangkap si
5
..Arif Gosita, 1987, Relevansi Viktimologi,
Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban
Perkosaan Jakarta, hlm. 29.
6
..Iswanto, Yazid Effendi dan Angkasa, 1998,
Viktimologi. Purwokerto: Penerbit Universitas
Jenderal Soedirman, hlm. 68
7
..Mulyana
W.
Kusumah,
1981,
Aneka
Permasalahan
Dalam Ruang Lingkup
Kriminologi, Bandung, hlm. 2.
140
penjahat, seakan akan penjahat adalah satusatunya sumber kesulitan-kesulitan bagi korban.”
Dengan perkembangan pemikiran tentang tujuan
pemidanaan, yang antara lain didasarkan kepada
perlunya pembinaan si pelaku (terpidana) agar
dapat kembali dalam kehidupan masyarakat,
telah dibarengi dengan kenyataan sangat
berkurangnya perhatian kepada korban. Dan,
kalaupun ada perhatian terhadap korban
kejahatan, hal itu dianggap tidak boleh
menghalangi pembinaan terpidana.
Korban sebagai pihak yang dirugikan
dalam hal terjadinya suatu kejahatan,
seyogyanya juga harus mendapat perhatian dan
pelayanan
dalam
rangka
memberikan
perlindungan
terhadap
kepentingannya.
Pelayanan dalam hal ini bukan diartikan sebagai
suatu kesamaan perlakuan, melainkan adalah
digantungkan pada situasi dan kondisi dengan
mempertimbangkan berbagai faktor, terutama
yang menyangkut faktor keterlibatan korban itu
sendiri (shared responsibility) dalam hal
terjadinya delik. Maka oleh sebab itu, adalah
penting dalam rangka kajian kriminologi,
penologi dan viktimologi untuk memberikan
perhatian dan perlakuan kepada pembuat
kejahatan dan korbannya secara seimbang, baik
mengenai hak maupun kewajiban agar dapat
mencerminkan rasa tanggung jawab atas peran
sertanya masing-masing dalam hal terjadinya
kejahatan.
Hak dan kewajiban pembuat kejahatan
dan korbannya memang berbeda, dan bahkan
dalam beberapa hal bertentangan.8 Dalam kaitan
ini, Andi Mattalatta9 berpendapat, “Hakekat dari
suatu kejahatan seharusnya juga dilihat sebagai
sesuatu yang menimbulkan kerugian pada
korban, maka dengan demikian, pidana yang
dijatuhkan
kepada
pelaku
harus
pula
memperhatikan kepentingan korban.”
Terjadinya suatu kejahatan, menurut
8
9
Iswanto, 1995, Op. Cit, hlm. 3.
Andi Mattalatta, 1987, Op. Cit, hlm. 42
Stephen Schafer,10 dalam teorinya yang terkenal
dengan Criminal Victim Relationship, adalah
karena adanya hubungan korban dengan
pembuat kejahatan, sehingga di dalamnya
terdapat functional responsibility. Berdasarkan
teori Criminal Victim Relationship ini, maka
keterlibatan korban akan berpengaruh pada
tingkat kesalahan pelaku kejahatan. Lebih lanjut,
tingkat kesalahan ini akan berpengaruh pula pada
aspek pertanggungjawaban pidana. Maka
sebaliknya, seharusnya keterlibatan korban itu
sendiri juga mempengaruhi aspek pelayanan
dalam mewujudkan perlindungan terhadap
kepentingannya, baik dalam wujud kompensasi
maupun restitusi, sehingga fungsi dan peranan
korban dalam hal ini tidak semata-semata
berorientasi pada kepentingan peradilan pidana
atau dalam rangka penegakan ketertiban seperti
diuraikan di atas, melainkan seyogyanya juga
berorientasi pada perlindungan terhadap
kepentingannya secara kongkrit.
Apabila dalam kasus pembunuhan anak
seketika setelah dilahirkan oleh ibu kandungnya
diterapkan teori Criminal Victim Relationship,
ibu sebagai pelaku tindak pidana yang juga
merupakan korban tindak pidana lainnya akan
ditempatkan dalam posisi sama / berimbang
sehingga ia akan mendapatkan perlindungan
terhadap kepentingannya sebagai pelaku maupun
korban. Dengan memperhatikan alasan–alasan
yang membuat pelaku melakukan tindak pidana
tentunya hakim tidak akan menjatuhkan pidana
yang merugikan ibu sebagai pelaku sekaligus
korban.
Mengingat kebijakan kriminal yang
ditempuh saat ini lebih berorientasi pada pelaku,
terbukti tidak berhasil memberantas kejahatan,
sehubungan dengan itu tentu saja akibat negatif
terhadap korban, baik korban dalam pengertian
individu maupun kolektif juga tidak dapat
dihindari, sehingga dengan demikian kebijakan
kriminal perlu diubah, yaitu di samping
10
Mardjono Reksodiputro, 1994, Op. Cit, hlm.
103
141
berorientasi pada pelaku kejahatan juga terhadap
korban secara seimbang.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Faktor
Yang
Melatarbelakangi
Terjadinya Tindak Pidana Pembunuhan anak
seketika setelah dilahirkan Yang Dilakukan
Oleh Ibu Kandungnya adalah :
1. Faktor Ekonomi
2. Faktor Kejiwaan/Psikis
3. Faktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga
4. Faktor Lingkungan Sosial
5. Faktor Pendidikan
SARAN
Bagi wanita yang menjadi korban dalam
kejahatan sehingga mendorong dirinya untuk
melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap
anak kandungnya seketika setelah dilahirkan
perlu menyadari bahwa mendapatkan keadilan
dan perlindungan hukum merupakan salah satu
hak asasi manusi. Perlindungan hukum adalah
melindungi hak setiap orang untuk mendapatkan
perlakuan dan perlindungan yang sama oleh
hukum dan undang-undang, maka oleh karena
itu untuk setiap pelanggaran hukum yang
dituduhkan padanya serta dampak yang diderita
olehnya ia berhak pula untuk mendapat hukum
yang diperlukan sesuai dengan asas hukum.
Bagi Hakim yang memutuskan perkara
tindak pidana pembunuhan anak oleh ibu
kandungnya seketika setelah dilahirkan, seperti
yang telah kita ketahui bahwa perbuatan tindak
pidana tersebut merupakan kejahatan yang lebih
dilandasi oleh dorongan emosi, dan kejiwaan
seseorang, bukan karena dorongan nafsu jahat.
Jadi walaupun seberapa berat hukuman yang
diancam, tidak akan dapat mencegah orang
untuk melakukan kejahatan tersebut. Sehingga
dalam menjatuhkan putusan hakim lebih
mempertimbangkan latar belakang pelaku tindak
pidana tersebut serta faktor–faktor atau alasan
yang menyebabkan terjadinya pembunuhan anak
oleh ibu kandungnya saat dilahirkan.
Bagi masyarakat perlunya kesadaran diri
bahwa kejahatan selalu akan ada seperti penyakit
dan kematian yang selalu berulang seperti halnya
dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke
tahun. Segala daya upaya dalam menghadapi
kejahatan hanya dapat menekan atau mengurangi
meningkatnya
jumlah
kejahatan
dan
memperbaiki penjahat agar dapat kembali
sebagai warga masyarakat yang baik. Masalah
pencegahan dan penanggulangan kejahatan,
tidaklah sekedar mengatasi kejahatan yang
sedang terjadi dalam lingkungan masyarakat,
tapi harus diperhatikan pula, atau harus dimulai
dari kondisi yang menguntungkan bagi
kehidupan manusia. Perlu digali, dikembangkan
dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan
partisipasi masyarakat dalam upaya untuk
menanggulangi kejahatan. Hal itu menjadi tugas
dari setiap kita, karena kita adaIah bagian dari
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli 1992, Teori dan Kapita
Selekta Kriminologi. Bandung, Eresco
Gosita, Arif, 2004, Masalah Korban Kejahatan
(Kumpulan
Karangan)
Pemahaman
Perempuan dan Kekerasan, Jakarta, PT.
Bhuwana Ilmu Populer.
Hamzah, Andi, 2008, Terminologi Hukum
Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
Keumalahayati, 2004, Kekerasan Pada Istri
Dalam Rumah Tangga Berdampak
Terhadap Kesehatan Reprodusi.
Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum,
Kencana, Jakarta, 2008.
Monks, F.J. et.al. l994, Psikologi Perkembangan.
Alih Bahasa : Siti Rahayu Haditono.
Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Mudzakkir, Viktimologi, Studi Kasus di
Indonesia. Surabaya 2005.
Muhajir, N. 1997, Ilmu Pendidikan dan
Perubahan Sosial. Suatu Teori Pendidikan.
Yogyakarta: Saresehan.
Muhammad, Abdulkadir, 2004. Hukum dan
Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
142
Bandung.
Nawawi Arief, Barda, 2008, Kebijakan Hukum
Pidana : Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru. Kencana. Jakarta.
Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta:
Ghalia Indonesia
Ninik Widiyanti, Julius Waskita, 1997,
Kejahatan
Dalam
Masyarakat
dan
Pencegahannya, Jakarta: Bina Aksara.
Nyoman Nurjaya, I, 1990.Wanita dan Kejahatan
Antara Teori dan Realitas, Hukum dan
Pembangunan.
Purnianti, Moh. Kemal Darmawan. 1994.
Mazhab dan Penggolongan Teori dalam
Kriminologi. Bandung, Citra Aditya Bakti.
Ruba’I, Masruchin, 1994.Mengenal Pidana dan
Pemidanaan di Indonesia, IKIP, Malang.
Sadhi Astuti, Made, 1997. Pemidanaan Terhadap
Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana.
Penerbit IKIP Malang.
Surya,
M,
l990,
Pengantar
Psikologi
Perkembangan. Publikasi Jurusan PPB FIP
IKIP Bandung.
Sumiyanto, 2008, Sanksi Bagi Ibu yang
Melakukan
Pembunuhan
Terhadap
Anaknya, Ringkasan Disertasi Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya.
Soekanto, Soerjono, 1996, Pengantar Penelitian
Hukum, UI-Press, Jakarta.
Topo santoso, Eva Achjani Zulfa. 2002.
Kriminologi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
-------,1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana.
Citra Adya Bakti. Bandung.
2000
http//www. Suara Merdeka.com. Pembunuhan
anak di Indonesia, 27 Februari 2000
http//www.google.com Gender Kesrepro. Info.
Pembunuhan anak seketika setelah
dilahirkan Di Indonesia. Juni 2002.
http//www.Kompas.com. Pembunuhan anak dan
pelayanan kesehatan.2000
www.hukumonline.com.Hukum
Pidana
Indonesia, Proyeksi Hukum Pidana Materil
lndonesia di Masa Datang, Pidato
Pengukuhan
Jabatan
Guru
Besar,
Semarang, 1990. diakses pada tanggal 21
February 2009.
http//www.google.com.Surya,
M.
(l997).
Bimbingan
untuk
Mempersiapkan
Generasi Muda Memasuki Abad-21
(Pendekatan Psiko-Pedagogis). Pidato
Pengukuhan Guru Besar FIP. Jurusan PPB
IKIP Bandung.
Perarturan Perundang – Undangan
Kitab Undang–Undang Hukum Pidana
Undang–Undang
No
13/2006
tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
Undang–Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
Internet
http//www.Kompas.com.
Ada
2,3
Juta
Pembunuhan Bayi Setiap Tahun, 3 Maret
143
Download