Rajin Gerak Cegah VTE 6 Juli 2009 TROMBOEMBOLI vena (Venous Thromboembolism/VTE) dahulu dianggap sebagai penyakit yang langka di Asia. Namun, banyak bukti dari penelitian klinis yang menunjukkan bahwa VTE ternyata juga sering terjadi di Asia. Bahkan, kasusnya sama parahnya seperti di negara-negara Barat sebagai lokasi temuan tersering VTE, dengan prevalensi tahunan dalam komunitas sebesar 1-2 per seribu orang. Sayangnya, menurut Dr RWM Kaligis MD dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta, diagnosis VTE terbilang sulit karena terlalu samar dan tanda serta gejalanya tidak spesifik untuk trombosis vena dalam (Deep Vein Thrombosis/DVT) dan emboli paru (Pulmonary Embolism/PE). "Akibatnya, sekitar 80 persen VTE tidak terdeteksi karena tidak terlaporkan atau bahkan tidak bergejala," sebutnya. Kendati sulit mengidentifikasi gejalanya yang tidak khas, Kaligis mengemukakan beberapa ciri yang kerap ditemui. Untuk DVT, beberapa di antaranya adalah nyeri tungkai, nyeri sentuh (tenderness), kram, kemerahan pada kulit atau terasa hangat (warmth). "Pada orang dengan DVT terjadi tekanan darah yang tinggi pada pembuluh vena sehingga kaki cenderung membengkak dan biasanya tidak simetris antara kedua kaki, serta terjadi luka-luka di kulit," paparnya. Sementara untuk PE,beberapa penandanya adalah batuk darah, nyeri dada, mendadak tidak bisa bernapas, gelisah, keleyengan (lightheaded), bahkan pingsan. "PE dapat dengan cepat menjadi fatal, apalagi kalau yang bersifat masif," imbuh Kaligis. Sedemikian menyeramkannya dampak dari penggumpalan darah atau kerusakan pembuluh darah, maka ada baiknya kita melakukan upaya pencegahan agar jangan sampai terkena. Kaligis mengingatkan, VTE bisa terjadi pada berbagai keadaan asalkan terdapat tiga faktor seperti tersebut di atas, yaitu perlambatan aliran darah, kerusakan dinding pembuluh darah, serta hiperkoagulabilitas. Merokok sebagai penyulut munculnya beragam penyakit juga dapat merusak sel endotel darah. Selain itu, gaya hidup kurang gerak atau cenderung statis juga dapat memicu penggumpalan darah. Sebagai contoh, duduk berjam-jam dalam penerbangan jarak jauh dengan pesawat juga potensial memicu pembekuan darah. Sebabnya, saat duduk kaki cenderung tertekuk di bagian lutut. Kondisi ini akan lebih kaku dan lebih berisiko pada penerbangan kelas ekonomi karena penumpang harus duduk "terpaku" dalam penerbangan yang lama tanpa area kosong untuk sekadar meregangkan tangan dan kaki. Penelitian mengungkapkan, secara umum penumpang pesawat hanya berisiko 1 persen mengalami pembekuan darah selama penerbangan. Namun, risiko ini bisa meningkat menjadi 10 persen jika diperparah oleh kondisi pesawat, termasuk tempat duduk yang tidak ergonomis. Guna mencegah terjadinya pembekuan darah akut, penumpang pesawat disarankan untuk sejenak merelaksasikan kaki dengan menggerakkan kaki atau berjalan ke toilet misalnya. Untuk penerbangan yang lebih dari 10 jam, Anda bisa melakukannya setiap 1-3 jam sekali. Sementara itu, Profesor Richard Beasley dari the Medical Research Institute di Wellington juga pernah mengungkapkan hasil studi yang menyebutkan bahwa sepertiga dari pasien yang masuk rumah sakit dengan DVT adalah pekerja kantor yang menghabiskan waktu seharian di depan komputer. "Para pekerja kantor yang mengalami pembekuan darah umumnya duduk di depan monitor komputer mereka selama 14 jam sehari. Beberapa di antaranya duduk diam selama 3-4 jam tanpa beranjak sama sekali," kata Beasley. "Masalah ini paling umum terjadi di kantor atau perusahaan berbasis teknologi informasi atau di pusat-pusat layanan telepon (call-centres) yang mana pekerjanya lebih sering duduk," imbuhnya. Surat kabar New Zealand Herald juga menuliskan,sebanyak 34 persen dari 62 orang sampel yang mengalami pembekuan darah sering kali duduk di kursi kerjanya dalam waktu cukup lama. Persentase tersebut lebih tinggi 13 persen dibandingkan pasien yang duduk bepergian dalam penerbangan jarak jauh,yang mana risikonya hanya 21 persen. http://rs-triadipa.com - rs-triadipa.com Powered by Mambo Generated:2 November, 2017, 19:05