Bab 3 Air Diam .# +- +, $ )* $ ( '% %& $ # !" ( ) * $ *1 ; !" 1 .# %: () 9 $ 8 7 6 45 23 0%1% ( !" / A @ ( >? 8- = ( 0%1% & < # !" / 8& () M LJ M LJ J 41 0LJ +K J B9 ( % J >I9 'H$ >G :8( +E 2 BCD < S1 J P7G 'H$ " 9L $ GR 8+) < AD7 .# " : P7: (7J M O75 N $ ($ J +J XI :W? ; " GR 8+) < AD7 .# " P7: (7J M O75 M %:* $ V. TU) 0:= a# _Z` P7G :M ^* ( ) ](/ AD $ AD \G6 >7I Z X [$* :S1 YZ e 8$ D7I %&6 AD7 \G 9$ %Z f e %I( >I cd' $ >I cd' 8$ b . $ AD7I 0 $ O7J > 0 " GR 8+) < AD7 .# " P7: (7J a6 M O75 M %:* % ; Yf $ 1 ; GR 8+) < f e .= 4d' AD >7I %&6 $ g(D2 ( ) 8+) D k f e 8$ .# *L fI # >: 8+) j` %& X *L i? f YVBh >:R D k f e 8$ .# 8GC 3 # J% E < lZ3 ( J 8 R R >D( O7J %Z _5 % b ` E, 93 f e (7J _5 n` %Z Bd m2 (7J _5 = DGR ( >+-I [G( o E f e *5 .# L25 +E 2 < f e 9$ Bd m2 9$ 8$ l*$ [2, VBh $ % 0 ; [13 ZBh $ ] ; >D( [ .# +E( pq >: # E, G < VE, B9& ; 0* 8GC < = % 8Gh % a# _2$ VBh 04 f e 8$ ' j` ; [( r%2 \ % GR f e 8$ ; \ .# %: 7 !" () B9& %Z < B9& w( v ; w( v u* r. 8 b ` ADD( X2 +t < >D( s01 $ 8(7 >7-: 4' v 3 >7-: 4' v .# GR D( j` ; \ .# u* r. ; `Z G < B9 $ 8(7 ; `Z r $ y2$ % (4 +EEL/$ x f` 89 O7J > 0 8E = | 4' { BC6 8( z6 t$ [+Ji c(& >D( V`Z 8- = ! ; $ b ` ( +C $ ; \I f` $ P7: (7J M O75 M %:* # P' :8( [45 .# '$ T9 %I y0G# +J b . ( r % G %Z ! ; G+C 3 %Z +C r%} $ 2 8 $ a# _2 r%} '$ _7h ( j` 7 G+C 3 !K ' R +( r p%hH f` 8 G4x 89 b . GR ( r # G < $ m2 [} P7 ; \% 8~ `Z ; >7+I Terjemahan : Al Imam berkata, Air yang diam ada dua jenis yaitu, air yang tidak menajisinya sesuatu apapun yang najis bercampur dengannya, kecuali jika warnanya atau baunya atau rasanya ketika najis bercampur dengannya kemudian didapati merubah salah satu sifatnya, maka ia najis baik air yang sedikit maupun yang banyak. Hal ini sama hukumnya jika najis merubah salah satu sifat air baik itu air yang banyak maupun air yang sedikit. Al Imam berkata, jenis yang kedua adalah air yang najis karena najis yang bercampur dengannya (secara mutlak), sekalipun najis tersebut tidak merubah salah satu sifat air. Jika ada yang berkata, ‘apa hujjah anda didalam membedakan air yang mutlak najis dan air yang tidak mutlak najis ketika tidak berubah salah satu sifatnya?’ maka dijawab : ‘dalilnya adalah As-Sunnah (Hadits) yaitu, akhbaronaa Tsiqoh dari Al Waliid bin Katsir dari Muhammad bin ‘Ibaad bin Ja’far dari Abdullah bin Abdullah bin Umar dari Bapaknya bahwa Nabi bersabda : “jika air telah mencapai 2 kulah tidak mengandung najis atau kotoran”. Akhbaronaa Muslim dari Ibnu Juraij dengan sanad yang tidak bermasalah bagiku disebutkan bahwa Rasulullah bersabda : “jika air telah mencapai 2 kulah tidak mengandung najis”. Dan dalam Al Hadits : “dengan Kulah Hajar”. Ibnu Juraij berkata : ‘aku melihat kulah hajar adalah 2.9 geriba atau 2 geriba lebih. Al Imam berkata, Muslim berpendapat bahwa kulah tersebut ukurannya adalah kurang lebih 2.5 qirbah, sehingga totalnya (2 kulah) sama dengan 5 qirbah, jadi dua kulah batas minimalnya adalah 5 qirbah. Dalam sabda Rasulullah : “jika air telah mencapai 2 kulah tidak mengandung najis”. Terdapat dalil bahwa air yang kurang dari 2 kulah adalah air yang mengandung kemungkinan najis. Al Imam berkata, untuk kehati-hatian 1 kulah setara dengan 2.5 qirbah, sehingga jika air telah mencapai 5 qirbah (2 kulah) tidak mengandung najis baik air yang mengalir atau selainnya. Qirbahnya Hajar itu ukurannya besar, sehingga air yang tidak mengandung najis itu ukurannya besar. Jika air yang kurang dari 5 qirbah bercampur dengan bangkai, maka air tersebut berubah menjadi najis yang ada didalam wadah air tersebut, sehingga air tersebut harus dibuang dan wadah airnya tercemar najis, tidak suci kecuali setelah dicuci terlebih dahulu. Jika ada air yang kurang dari 5 qirbah lalu bercampur najis, namun najis tersebut tidak jatuh ke wadah air, tapi jika disiramkan air ke najis tersebut hingga najis dan air yang disiramkannya menjadi ukurannya 5 qirbah atau lebih maka airnya suci, demikian juga ketika yang disiramkan kepada najis tersebut air sedikit kemudian air banyak, hingga akhirnya kedua bagian air tesebut bercampur sampai jumlahnya lebih dari 5 qirbah, maka tidak menajiskanya satu sama lain (dengan catatan) jumlah totalnya telah mencapai 5 qirbah. Kemudian jika dipisahkan air tesebut, maka masing-masingnya tidak menjadi najis setelah sebelumnya suci, kecuali jika ada najis lagi yang jatuh kepada masing-masing air yang sudah terpisah tersebut. Jika ada najis yang jatuh kedalam sumur atau semisalnya, lalu bangkai tersebut diambil untuk dikeluarkan dari dalam sumur atau semisalnya tadi menggunakan timba atau semisalnya, maka bangkai dan airnya dibuang karena air yang didalam timba adalah air yang kurang dari 5 qirbah yang terpisah dari air sumur tersebut dan aku menyukai sekiranya timbanya juga dicuci, namun jika tidak dicuci kemudian ia digunakan lagi untuk mengambil air disumur tersebut, maka akan disucikan oleh air yang banyak yang ada didalam sumur dan timba tersebut tidak bisa menajiskan air banyak didalam sumur. Al Imam berkata, Najis semuanya sama, jika jatuh kedalam air yang kurang dari 5 qirbah maka air tersebut berubah menjadi najis. Jika ada bangkai ikan atau bangkai belalang yang jatuh kedalam air yang sedikit tidak menyebabkan air menjadi najis, karena kedua bangkai tersebut suci. Demikian juga binatang yang memiliki ruh baik yang hidup di air atau yang tidak hidup di air, jika jatuh kedalam air yang menyebabkannya (mati) sehingga berubah menjadi bangkai yang najis, maka air (yang kurang dari 5 qirbah) tadi menjadi najis, dengan catatan binatang tersebut adalah hewan yang memiliki peredaran darah. Adapun jika ia termasuk binatang yang tidak memiliki peredaran darah seperti lalat, kumbang atau semisalnya, maka ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan, bahwa hewan tersebut yang mati didalam air baik sedikit maupun banyak tidak menyebabkan air tersebut menjadi najis. Jika ada yang bertanya, bukankah hewan tadi bangkai, maka bagaimana bisa engkau mengatakan bahwa ia tidak menyebabkannya menjadi najis? Jawabannya : ‘air tidak berubah keadaanya dengan kejatuhan binatang yang tidak memiliki peredaran darah tersebut. Jika ada yang bertanya lagi, apa dalilmu? Jawab : ‘ada, sesungguhnya Rasulullah memerintahkan ketika lalat jatuh kedalam air untuk membenamkannya demikian juga ketika jatuh kedalam makanan dan lalat tersebut tentu akan mati karena dibenamkan, kemudian tidaklah Rasulullah memerintahkan untuk membenamkanya kedalam air atau makanan itu menjadikannya najis sekiranya ia mati didalamnya, karena perintah Beliau adalah sesuatu yang disengaja untuk membunuhnya. Pendapat yang kedua adalah jika ia mati didalamnya yang menajiskannya maka air atau makanan tersebut menjadi najis, karena ia bangkai. Perintah Rasulullah untuk membenamkannya adalah dalam rangka mengambil penawar racun yang ada padanya dan umumnya binatang tersebut tidak mati. Aku lebih menyukai untuk berpendapat bahwa semua binatang yang haram dimakan yang jatuh kedalam air yang belum sampai mati, sehingga bisa dibuang dari air, maka tidak menajiskannya, namun jika mati didalam air, maka menajiskannya, seperti kumbang, kepik, lalat, kutu atau yang semisalnya. Ta’liqiy : Sebagaimana yang telah berlalu bahwa madzhab Imam Syafi’I adalah membedakan air menjadi dua jenis yaitu, air banyak dan air sedikit. Air sedikit jika kejatuhan najis, maka ia menjadi najis secara mutlak dan air yang banyak jika kejatuhan najis, maka dilihat jika najis tadi tidak merubah salah satu sifatnya, maka air tidak najis, namun jika merubahnya maka air berubah menjadi najis. Dalil Imam Syafi’I adalah sebuah hadits yang beliau riwayatkan dengan sanad dari seorang yang tsiqoh dari Al Waliid bin Katsir dari Muhammad bin ‘Ibaad dari Abdullah bin Abdullah bin Umar dari Bapaknya dari Nabi dengan lafadznya. Kedudukan sanad : Imam Syafi’I adalah salah seorang ulama yang sering menggunakan istilah meriwayatkan dari guru yang tidak disebut namanya (dimubhamkan) namun disebut sebagai orang yang tsiqoh. Para ulama jarh wa ta’dil berbeda pendapat dalam memberikan status untuk sanad seperti ini, barangkali pendapat yang rojih adalah apa yang disampaikan oleh Al Hafidz ‘Iroqiy dalam kitab Mustholahnya “Syaroh At Tabshiroh” (h. 112) dengan perkataanya : I % l2 ; b . $1$ J b ` 8 -I # '$ A II" * (D J u Xd V &2 %Z : T9 %I . \ % ; U$ b . %I Y > I9 TH$ : b %I LZ` ; “Pendapat yang kedua adalah yang dinukil oleh Imam Ibnu Sholah dari pilihan sebagian Muhaqiqin bahwa jika yang berkata tersebut adalah seorang yang alim, maka mencukupi (untuk diterima rowi tersebut sebagai tsiqoh) karena kedudukannya dan orang-orang yang setara dengan mereka dalam madzhabnya seperti ucapan Imam Malik, akhbaronii Tsiqoh dan ucapan Imam Syafi’I pada tempatnya”. Para ulama juga telah meneliti siapa perowi yang tidak disebutkan namanya tapi diungkapkan oleh Imam Syafi’I sebagai rowi tsiqoh dan hasil dari penelitian ulama seperti Imam Suyuthi dalam kitabnya “Tadribur Rowi” (1/244) : bahwa jika Imam Syafi’I berkata akhbaronaa tsiqoh dari Al Waliid bin Katsir, maka yang dimaksud adalah Abu Usamah Hamaad bin Usamah (w. 201 H) yang dinilai oleh Al Hafidz dalam “At Taqriib” tsiqoh, tsabat terkadang melakukan tadlis. Apa yang dikatakan Imam Suyuthi juga dikuatkan oleh Imam Nasa’i yang menulis hadits ini dalam “Sunan” (no. 52) juga Imam Baihaqi dalam “Sunan” (no. 1276) dari jalan Abu Usamah dari Al Waliid dan seterusnya. Al Waliid bin Katsir (w. 151 H) dikomentari oleh Al Hafidz dalam “At Taqriib” : *%x n$ O* Y niC *J Y @5 “Jujur, pakar dalam sejarah peperangan, tertuduh dengan pemikiran Khowarij”. Muhammad bin Ja’far (w. >113 H) Tabi’I kecil dinilai tsiqoh oleh Al Hafidz dalam “At Taqriib”. Abdullah bin Abdullah bin Umar (w. 105 H) Tabi’I pertengahan yang tsiqoh sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz dalam “At Taqriib”, sedangkan Bapaknya adalah sahabat Mulia Abdullah bin Umar . Kalau kita melihat sanadnya maka riwayat ini hasan, namun terdapat penguat untuk hadits ini, diantaranya yang Imam Syafi’I sebutkan juga disini yaitu dari jalan Akhbaronaa Muslim dari Ibnu Juraij. DR. Rifat Fauziy pentahqiq kitab Al Umm (2/11 cet. Darul Wafa) berkata : “Imam Ar Roofi’I dalam Syaroh Musnad berkata : ‘sanad yang Imam Syafi’I tidak masalah untuk menyebutkannya adalah sebagaimana disebutkan ulama hadits yaitu, bahwa Ibnu Juraij berkata, akhbaronii Muhammad bahwa Yahya bin Uqoil mengabarkannya bahwa Yahya bin Ya’mar mengabarkan bahwa Nabi bersabda : “Al Hadits”. Muhammad berkata, aku bertanya kepada Yahya bin ‘Uqoil, Apakah kulah Hajar? Jawabnya : ‘Kulah Hajar’’. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnul Atsiir dalam Syaroh Musnad juga : ‘hadist ini mursal, karena Yahya bin Ya’mar adalah Tabi’I yang masyhur mengambil riwayat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar , maka dimungkinkan bahwa hadits ini adalah yang ia riwayatkan dari hadits yang masyhur yang ia mengambilnya dari Ibnu Umar atau mungkin dari selainya, karena telah diriwayatkan hadits ini dari selain Ibnu Umar”. [selesai nukilan] Sanad yang disinggung Imam Rofi’I ditulis oleh Imam Baihaqi dalam “Sunan” (no. 1296) dan juga selainnya. Dalam riwayat Imam Abu Dawud dalam “Sunan” (no. 63), Imam Tirmidzi dalam “Sunan” (no. 67), Imam Nasa’I dalam “Sunan” (no. 64) dan selainnya bahwa hadist ini adalah jawaban Nabi terhadap orang yang bertanya : (7J M O75 I LG f % + J P7: (7J M O75 7 %:* 8 ]: «W Lk 8 + P ( D7 + .# » P7: “Rasulullah ditanya tentang air yang dijadikan tempat minum binatang ternak dan binatang buas, lalu Nabi menjawab : “jika air telah mencapai 2 kulah tidak mengandung kotoran”. Hadits ini kesimpulannya shahih dengan tambahan penjelasan dari Imam Al Albani dalam “Irwaul Gholiil” (hadits no. 23) sebagai berikut : j 5 J (5 0:= G ( IE(L P? * j * >G+x \ V* (5 " ; D( + 00 f V# PEU XJ# TXIG j% NZ` P? L2 >} " W? ¥4 $ ; V0*% " : cd 8 + Z XI AD7I £(d¤ $ . ( 58 56 ) " 00 $ < Z X AD7 §7 .# " : +J J VG fXI: sBC l, J% 0 < ' (¦ (7 %Z " : " £(k7D ; ©? . 92 >J O7J \D : `Z sBC >¨6 ; jJ 1$ . " / G s0 V`ª . (5 Bh W? $ . o " W? & “Diriwayatkan selain oleh 5 ahli hadits (yaitu, Imam Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah) juga oleh Imam Darimi, Thohawi, Daruquthni, Al Hakim, Al Baihaqi, At Thoyalisiy dengan sanad shahih dan telah dishahihkan oleh Imam Thohawi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, An Nawawi dan Al Asqolaniy. Penilaian sebagian ulama bahwa hadits ini cacat karena adanya Idhthirob (kegoncangan matan dan sanad) adalah tertolak sebagaimana telah aku jelaskan dalam Shohih Abu Dawud (h. 56-58). Adapun pengkhususan dua kulah dengan kulahnya Hajar sebagaimana yang dilakukan oleh Mushonif (Manarus Sabil) : ‘karena datang dalam sebagian lafadz hadits’, maka aku tidak menemukannya karena ia tidak terdapat dalam riwayat yang marfu’ kecuali dari jalan Al Mughiroh bin Saqlab dengan sanad dari Ibnu Umar : “Jika air telah mencapai 2 kulah dari kulah Hajar tidak menajiskannya sesuatu apapun”. Dikeluarkan oleh Imam Ibnu ‘Adiy dalam biografi Al Mughiroh ini dan dikomentari : ‘tidak apa penguat untuk haditsnya secara umumnya’. Al Hafidz dalam ‘At Talkhis’ berata : ‘ia Mungkarul Hadits’, lalu menyebutkan bahwa hadits ini tidak shohih yakni maksudnya tambahan ini”. Ukuran 2 kulah menurut ukuran modern adalah air sebanyak : 8, L:$ >«X« X,* %*$ >D: >-+*$ nd 8, D7I “2 kulah menurut liter Mesir adalah 464 3/7 liter” (Syaikh ‘Athiyah Shoqor dalam fatwaq Al Azhar). Al Imam mengambil istidlal dari Mafhum hadits ini sebagaimana dalam redaksi hadits yang lengkap ketika Rasulullah ditanya tentang binatang buas yang minum dalam suatu telaga air, lalu Beliau menjawab bahwa bila air jika telah lebih dari 2 kulah tidak mengandung najis, maka maka mafhumnya jika air kurang dari 2 kulah itu mengandung najis, jika ada najis yang mencampurinya. Para pengikut beliau rohimahulloh juga menguatkan lagi dengan hadits tentang jilatan anjing dimana Rasulullah bersabda : *¬ \ L : 7 G C ( P« (7 P 2 $ '# O _ 7 & § .# “Jika anjing menjilati bejana kalian, maka buang airnya, lalu dicuci sebanyak 7 kali”. (HR. Muslim) Hadits ini menunjukan bahwa air sedikit ketika ada najis yang mencampurinya menjadi najis secara mutlak, karena Nabi langsung memerintahkan membuang air yang ada didalam bejana yang dijilat Anjing tanpa melihat apakah najis merubah sifat airnya dan tidak mungkin Rasulullah memerintahkan membuang airnya kecuali karena air tersebut berubah najis, karena kalau tidak tentu ini adalah perbuatan Mubazir dan Rasulullah jauh dari orang yang melakukan pemubaziran. Kemudian termasuk kecerdasan Imam Syafi’I adalah beliau menjelaskan kepada kita beberapa simulasi kejadian kaitannya antara air banyak dan air sedikit yang bercampur dengan najis dengan beberapa kemungkinan kejadiannya sebagai berikut : 1. Ada suatu wadah yang berisi air kurang dari 2 kulah (air sedikit) maka jika najis jatuh kepadanya menyebabkan air dan wadah tersebut menjadi najis, sehingga airnya dibuang dan wadahnya dicuci. 2. Ada najis dalam suatu wadah air, kemudian dimasukan air kedalam wadah tersebut, jika airnya banyak (> 2kulah) maka airnya tetap suci selama najis tidak merubah sifatnya. 3. Ada najis dalam suatu wadah air, lalu dimasukan air sedikit kemudian dimasukan lagi air, maka jika jumlah totalnya lebih dari 2 kulah, airnya tetap suci sebagaimana point no. 2. 4. Air yang ada point 2 atau 3 kemudian diambil dengan ukuran air sedikit yang dimasukan dalam wadah air lainnya misalnya, maka air tersebut suci, karena sebelumnya telah menjadi suci dengan pencampuran air yang banyak. 5. Ada najis yang jatuh kedalam sumur (yang ukuran airnya > 2 kulah), maka ketika diambil benda najis tersebut dengan timba misalnya, maka air yang ada didalam timba yang untuk mengambil benda najis, menjadi terkontaminasi najis, begitu juga timbanya. Maka airnya dibuang dan sebaiknya timbanya dicuci terlebih dahulu sebelum digunakan. Namun seandainya tidak dicuci dulu, lalu dimasukan kedalam sumur, maka air sumur yang banyak tidak terpengaruh dan timbanya menjadi suci ketika dimasukan kedalam air sumur. 6. Jika ada bangkai ikan atau belalang yang masuk kedalam air sedikit, maka tidak menyebabkan air menjadi najis, karena kedua bangkai tersebut adalah halal. Dalil dalam masalah ini adalah hadist : L& ­ : $ Y r % 0 : DD( + 3 . 0 DD( [ 72 $ “Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah, adapun dua bangkai adalah belalang dan ikan, sedangkan dua darah adalah limpa dan jantung” ( HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Imam Nawawi dalam “Al Majmu” (2/560) berkata : >(d Z ® > & P7: (7J M O75 N J J n* +J J `&Z n* OIE(L `Z ` J (t `& '$ d %I t U$ >J% t ª D: 8d) [7 % ; Z )5 P7: (7J M O75 M %:* ® % P&2 ; EI4 A( %5 *%E¨ A«" 5$ J “Imam Baihaqi berkata : ‘diriwayatkan dari Ibnu Umar (secara Mauquf) dan diriwayatkan darinya juga secara marfu’ dari Nabi , namun riwayat yang pertama (yang mauquf) yang shahih dan ia memiliki hukum Marfu’’. aku (Imam Nawawi) berkata : ‘kesimpulan yang dihasilkan adalah boleh beristidlal dengannya karena ia marfu’ sebagaimana ucapan sahabat, “kami diperintahkan, kami dilarang dan seterusnya”, menurut madzhab kami (syafi’iyah), ahli hadits dan mayoritas ulama ushul dan fikih kalimat seperti ini memiliki hukum marfu’ kepada Rasulullah secara jelas”. 7. Jika ada hewan yang hidup selain ikan dan belalang baik yang habitatnya di air maupun yang di darat jika masuk air kemudian mati, sehingga menjadi bangkai, maka jika air yang kemasukan bangkai tadi sedikit menjadikan airnya menjadi najis. 8. Namun jika hewan pada point 7 tadi adalah hewan yang tidak memiliki peredaran darah, seperti lalat, nyamuk dan selainnya yang jatuh kedalam air dan menjadi bangkai, maka ada dua pendapat : pendapat pertama mengatakan, tidak menyebabkan najis sekalipun masuk kedalam air yang sedikit dalilnya adalah sabda Beliau : ° 0 ± O ° 4/ ( 2 1 2 $ O = Y 2 ( P« Y 7 G + C (7 Y P 2 $ '# O f `¯ \ .# “Jika jatuh lalat dalam salah satu bejana kalian, maka benamkanlah seluruhnya, lalu buanglah, karena salah satu sayapnya ada obat dan satu sayapnya lagi mengandung penyakit”. (HR. Bukhori) Sisi pendalilannya adalah seandainya binatang tersebut menyebabkan air menjadi najis tentu Rasulullah tidak akan memerintahkan untuk membenamkannya. Pendapat yang kedua adalah mengatakan najis, karena hadits ini hanya menunjukan untuk mengambil obat dari binatang tersebut dengan ditenggelamkankannya, kemudian binatang tadi dibuang dan umumnya binatang tadi belum sampai mati sehingga tidak disebut bangkai. Kemudian setelah menyebutkan dua pendapat ini, Imam Syafi’I condong kepada pendapat yang kedua, yakni jika ada binatang yang haram dimakan jatuh kedalam air dan belum sempat menjadi bangkai kemudian dibuang binatang tadi maka airnya tetap suci, namun jika binatang tadi sampai mati sehingga menjadi bangkai, maka airnya menjadi najis. Barangkali pendapat yang rojih adalah pendapat yang pertama dan ini merupakan pendapat mayoritas pengikut Imam Syafi’I sebagaimana dinukil Imam Nawawi dalam “Al Majmu” (1/129) : >4& D ; ji f%$ P(7: D4 %$ \ *%E+ 5 `&Z ' +E (d `Z >: 1* L ; T \I ; O7" `/ yBh ;& D ; :I d' D4 %$ L25 >: ± % ; ¨ @ a# >J¨ _G' 8 +7 *%E¨ % %Z s*E f%d ( # X ( P7J$ y%³ G4x f` r%² G4 P7 8Z$ !%J / ; *` a% 2$ # b ` $ %¨ ¨ fD ; U$ *` ` a% 2$ “Yang rojih bahwa hal tersebut tidak menajiskan air, demikian yang shohih memurut mayoritas ulama, hal ini dipastikan juga oleh Imam Abul Fatah Saliim bin Ayyub Ar Rooziy dalam kitabnya “Al Kifaayah” dan temannya Imam Abul Fath Nashr Al Maqdisy dalam kitabnya “Al Kaafiy” dan selain keduanya. Al Muhaamiliy dalam “Al Muqni’” dan Ar Ruyaani dalam “Al Bahr” berpendapat syadz dengan merojihkan bahwa hal tersebut najis, namun (kata Imam Nawawi) pendapatnya tidak ada apaapanya dan yang benar adalah suci, sebagian ulama menisbahkan bahwa Imam Syafi’I mematahkan adanya ijma dalam pendapatnya yang lain tentang najisnya. Imam Ibnul Mundzir berkata dalam kitabnya “Al Asyrof” : ‘berpendapat umumnya kebanyakan ulama bahwa tidak merusak air dengan matinya lalat, kutu dan semisalnya (yang jatuh kedalam air) dan aku tidak mengetahui adanya perselisihan ulama dalam hal ini kecuali dari salah satu pendapat Imam Syafi’I’. demikian juga dalam kitabnya yang lain “Al Ijma” Imam Ibnu Mundzir berkata : ‘para ulama sepakat bahwa air tidak menjadi najis karena hal tersebut, kecuali yang dinukil dari salah satu pendapat Imam Syafi’I’”. Namun kemudian Imam Nawawi dalam kalimat berikutnya membela bahwa Imam Syafi’I tidak bersendirian dalam mematahkan adanya ijma, Imam Nawawi berkata : +K J 5 7I' ( fI r%² ' B9 $ ´) J VBh x 8I' ¨ @µ < AD # `Z *& “Imam Al Khothobi dan selainnya telah menukil dari Yahya bin Abi Katsir bahwa beliau berpendapat najisnya air dengan matinya Kalajengking yang jatuh ke air dan juga sebagian ulama madzab kami menukil dari Muhammad ibnul Munkadir (yang serupa dengannya), dua imam ini adalah Imamnya Tabi’in (sehingga) Imam Syafi’I (tidak sendirian) dalam mematahkan ijma yang dinukil ini”. Pentahqiq kitab Al Majmu karya Imam Nawawi menambahkan : ¶*L J D4& 2/ ; Bd P:I %$ 7I' VBh B: J D D ; S I 7I' J*. >kG' V “Al Qodhi Ibnu Kaji menukil dalam kitabnya “At Tajriid” dari Imam Ibnu Siriin dan selainnya, begitu juga Imam Abul Qosim Ash Shobromi dalam “Syarah kifayah” menukil dari Imam Ibnul Mubarok dalam naskah Al Adroi’iy”. Pembelaan yang dilakukan oleh Imam Nawawi terhadap Imam Syafi’I cukup beralasan karena agar hal ini tidak dijadikan peluang oleh orang-orang yang memiliki penyakit di hatinya dalam menyerang para Imamnya kaum Muslimin, dimana seperti yang kita lihat dari perkataannya Imam Ibnul Mundzir bahwa yang menyelisihi ijma ini adalah salah satu pendapatnya Imam Syafi’I sehingga memberikan kesan bahwa Imam Syafi’I syadz (melakukan hal yang ganjil) padahal tidak hanya Beliau saja yang dianggap tidak sesuai dengan ijma ini, namun ulama yang lebih senior dari Imam Syafi’I juga berpendapat yang sama seperti Imam Yahya bin Abi Katsiir, Imam Ibnul Munkadir, Imam Ibnu Siriin dan Imam Ibnul Mubarok sebagaimana nukilan diatas. Sehingga adanya ijma seperti yang diklaim oleh Imam Ibnul Mundzir tidak mutlak seperti itu dan juga untuk menjelaskan bahwa Imam Syafi’I tidak sengaja dalam menyelisihi klaim ijma ini, karena terdapat hukuman yang berat menurut ulama bagi orang yang menyelisihi ijma kaum Muslimin. Allah berfirman : P E 1 7 d ' O % 6 ­ % ' A ~ + 8 (L: ( h \ LD nE (L6 %: l ¸Bd r · : “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An Nisaa’ (4) : 115). Imam Ibnu Hazm dalam “Al Ahkaam” (4/495-496) berkata : Y(7J %¨$ 1 j$ Y(7J %¨$ +( PEJL6 º d Y(J% /$ A~ 8(L: >4 ¹ O7J J%D :% .JL6 ¶6 i%» j` PE7(L: ' “Para ulama berkata : ‘diancam kepada mereka yang menyelisihi jalannya kaum Mukminin dengan ancaman yang sangat keras, maka benarlah kewajiban untuk mengikuti sesuatu yang kaum Mukminin telah sepakat diatasnya dari apapun ijma yang terjadi, karena ini adalah jalannya mereka yang tidak boleh untuk meninggalkan mengikutinya”. Imam Ibnu Katsir dalam “Tafsirnya” ketika mengomentari penafsiran Imam Syafi’I tentang ayat ini berkata : jD Y>}& >± V`Z D4 ¹ ! 6 >2 ¨¼ % O7J D2 ; YM ^* Y (7J %J j` Z%$ r,LD: G2$ %Z .8% &4 “apa yang ditafsirkan oleh Imam Syafi’I rohimahulloh berhujjah dengan ayat yang mulia ini, bahwa Ijma adalah dalil yang diharamkan untuk menyelisihinya. Setelah (Imam Ibnu Katsir) meriwayatkanya dan berpikir lama (berkata), bahwa hal ini adalah menunjukan bagusnya dan cerdasnya Imam Syafi’I dalam mengambil istimbat dalam ayat ini”. Kesimpulannya : yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama bahwa air tesebut tidak menjadi najis karena bangkai bintang yang tidak memiliki peredaran darah yang bercampur dengannya. @J (\( ) >%, _, ' GR ½ .# +? 8~ +? 8~ 7 B @*. () _7& # Z, E7 LG f *~: Z, >0 8 @J :%¾ b ` Z, -? _ >('d b ` 3%6 1$ o ; ¶%G +h ¶%G À: \ .# % %Z (\( ) ¿x ½7Dµ ; f6 EG4' > G < ; ½kD $ Pk6 $ ld % %Z I* ¶%G ; 9$ G' @J < ; J I @J % b ` () ¿ $ L7 %& $ # G X ª 9 # ; 0%1% !? .# VBh $ L& [q @ \% j$ %: ( > E, J ( !? *5 .= P- / ( 1% J !? Bd m2 9 # u¿ $ E < u¿ < # E, `&Z .= ( !" 1% 9&( ( A \LD ( %& $ VBh (7J _d $ b . / Terjemahan : Al Imam berkata, tahi burung baik yang boleh dimakan dagingnya maupun yang tidak boleh dimakan, jika bercampur dengan air (yang sedikit) akan menajiskannya karena ia mengkontaminasi air. Imam Ar Robii’ berkata, keringatnya orang Nashroni, orang junub dan wanita haidh itu suci, demikian juga orang Majusi. Sedangkan keringatnya binatang itu suci, demikian juga air liur binatang tunggangan dan bintang buas semuanya suci kecuali anjing dan Babi, Imam Robii’ berkata ini adalah ucapannya Imam Syafi’I dan jika seseorang yang sedang menggosok giginya dengan siwak lalu membenamkan siwaknya kedalam air kemudian mengeluarkannya dan airnya digunakan untuk berwudhu (tidak masalah) , karena apa yang ada di siwaknya adalah air liurnya dan seandainya ia meludah, berdahak atau beringus didalam air maka tidak menajiskannya. Begitu juga hewan yang minum di air maka air liurnya bercampur dengannya, maka tidak menajiskannya kecuali kalau hewan tersebut adalah Anjing atau Babi. Al Imam berkata, demikian juga keringat seandainya menetes ke air maka tidak menajiskannya, karena keringat manusia dan hewan tidak najis sama saja keluar dari manapun baik dari bawah ketiaknya atau selainnya. Jika najis terdapat dalam air, sekalipun airnya banyak tidak dapat mensucikannya selamanya dengan sesuatu yang dapat membuatnya bersih sekalipun airnya banyak sampai najis tersebut larut tidak lagi ada bekasnya, maka jika najis tadi telah larut hilang, suci airnya. Demikian juga air yang disiramkan kepadanya atau air yang dialirkan kepadanya yang mengikutinya lalu airnya menjadi banyak dan tidak didapati lagi najis, jika demikian airnya menjadi suci sekalipun tidak ada yang mensucikannya. Ta’liqiy : Imam Syafi’I berpendapat bahwa tahi burung adalah najis seperti najisnya kotoran manusia sehingga, ketika tahi burung tadi bercampur dengan air sedikit yang kurang dari 2 kulah menyebabkannya menjadi najis. Namun telah datang sebuah hadits dari Anas bin Malik beliau berkata : $ Y u ¬ I7 P7: (7J M O75 ÃOL P Z 3 Y > + % D1 Y > J $ 8¬ & J  Á '$ ! E'L $ E %$ % “Sekelompok orang dari ‘Uklin atau ‘Urainah datang ke Madinah untuk berobat, maka Nabi memerintahkan mereka untuk minum air kencing dan susu unta” (Muttafaqun ‘Alaih). Syaikh Sayyid Sabiq dalam “Fiqhus Sunnah” (1/28) berkata : .(7J ÂI P7 %3 ZBh .8 % s*E, O7J W? `Z 0 P7 8Z$ ¶6 ; : 8( # [L96 £-dx .# Y_d < !% b] 3 Ä `Z $ PJi :*` .Å*E, O7J 8( 0 YB&' Bh 92 } PED0$ ; 8 %$ +D: YPE%:$ ; PC * \( sH7 dD: Y85 &GÇ Y+? 8~ %(2 8 i % s*E, ZÆ :T% 8I7 7d 8( # E(J % 8LI X YsH 85 (UDI j` P&? J 8' J/ P&2 >: Y>(75 .b ` X( 0 >: A7-I7 R < Y+EJ “Hadits ini menunjukan sucinya kencing unta dan selainnya dari binatang yang boleh dimakan dagingnya dikiaskan dengan hal ini. Imam Ibnul Mundzir berkata : ‘orang yang mengatakan bahwa hadits ini khusus kepada mereka maka tidak benar, yang mana untuk menentukan suatu perbuatan itu kekhususan perlu kepada dalil’. Lalu katanya lagi : ‘tentang diamnya ulama terhadap jual beli tahi kambing di pasar dan digunakannya kencing unta untuk pengobatan baik pada zaman dahulu sampai sekarang tanpa adanya pengingkaran, menunjukan sucinya hal tersebut’. Imam Syaukani berkata : ‘yang nampak sucinya kencing dan kotoran hewan yang boleh dimakan dagingnya, berpegang dengan hukum asal dan Baroah ashliyah (hukum semula). Najis adalah hukum syar’I yang memindahkan suatu hukum dari asalnya, maka tidak diterima perkataan orang yang menajiskan sesuatu kecuali dengan dalil yang dapat memindahkan hukum asal tersebut dan kami tidak mendapati orang-orang yang mengatakan najisnya (kencing dan kotoran hewan yang boleh dimakan) dalil dalam menajiskannya’”. Imam Nawawi dalam “Roudhotut Thoolibin” (1/5) berkata : %Z T V*D 5$ jk5È (: $ ®% 2$ %Z Z, «* +? 8~ % $ 1 ^$ b _Z` “kami memiliki pendapat lain bahwa kencing dan kotoran binatang yang boleh dimakan itu keduanya suci, ini adalah salah satu pendapat Imam Abu Sa’id Al Ishtikhoriy dari madzhab kami (Syafi’iyah) dan ini juga pilihan Imam Ar Ruuyaani, begitu juga ini adalah madzhabnya Malik dan Ahmad”. Imam Ar Robii’ bin Sulaiman salah satu murid terbaiknya Imam Syafi’I juga salah satu perowi kitab Al Umm ini menukil pendapat gurunya bahwa keringat orang Nashroni (orang Kafir) itu suci, begitu juga orang Majusi (orang Musyrik). Sebagian ulama mengatakan bahwa keringatnya orang Kafir dan Musyrik itu najis. Imam Ibnu Hazm dalam “Al Muhalla” (masalah no. 134) berkata : \ P E @ b ` Y7̄ Á ' P Z ( h A (D& G 1 * 4& f “Air liurnya orang Kafir baik dari kalangan laki-laki dan wanita –baik ahlu kitab atau selainnya- adalah najis semuanya, demikian juga keringat dan air matanya”. Imam Syaukani dalam “Nailul Author” menambahkan daftar ulama yang sependapat dengan hal ini dan dalil mereka, kata beliau : % I b . % ¬ ( J ' & # : % I b 5 P : I j0E J L V &2 Z Æ 8 Z $ { Á ' % + +'# } : O 6 “sebagian ahlu dhohir dan dihikayatkan dalam “Al Bahr”juga dari Al Haadiy, Al Qoosim, An Naashir dan Imam Malik mereka berpendapat, bahwa orang Kafir najis badannya, berdalil dengan firman Allah : “Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis”. (QS. At Taubah (9) : 28)”. Imam Mawardiy berkata dalam “Al Hawi Kabir” (1/120-121) : $ !Á %7 . [ : s -+ ] P & 8Ë 2 f D& %6$ ` ! , r L( P & 82 $ ! % ( : O 6 % 7 ( 0 f / {P 7: ( 7 J 7 O75 } L $ j * . ­7 b . s * E, O7J P E ('$ P E Z ( P E 3 Á %d P E , {P 7: ( 7 J 7 O75 } 7 %:* 3 > ('d ' 1 3% 6 J 7 * + J $ j * > (« s 0 ° O $ & ¸G ' % Y G + > * : O7J V : $ A 2 ¬ «$ > +« ½ * V G %0 A + 7 . 3 & ¸Z , V I D %G % Y (J 3 ( 6 ­«~ 0 IDJ 3 Y V G B E 6 * %3 . ¸G ' E ' I D G 2 “Dalil pendapat kami adalah Firman Allah : “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu” (QS. Al Maidah (5) : 5)”. Diketahui bahwa makanan mereka (orang Kafir) dibuat oleh tangantangan dan air mereka yang diletakkan dalam bejana mereka, maka hal ini menunjukan atas kesucian semua hal tersebut. Telah diriwayatkan bahwa Nabi minum dari tempat airnya penyembah berhala. Diriwayatkan bahwa Umar berwudhu dari bejananya orang Nashroni. Nabi juga pernah mengijinkan kaum Musyrikin untuk masuk masjid dan mengikat Tsumaamah bin Atsaan ketika ditawan dalam sebuah peperangan di masjid, sekiranya orang Kafir najis tentu lebih utama untuk mensucikan masjid dari badan orang kafir dan keyakinan (mereka yang najis/kotor) tidak otomatis badannya menjadi najis, seandainya jeleknya keyakinan konsekuensinya menajiskan sesuatu yang suci maka tentu bagusnya keyakinan akan mensucikan sesuatu yang najis”. [selesai nukilan] Maksud kalimat terakhir dalam nukilan Imam Mawardi ini adalah sekiranya keyakinan berkonsekuensi badan atau apapun yang berasal dari orang kafir menjadi najis, tentunya berarti kebalikannya kaum Mukminin yang keyakinannya bagus, badan atau sesuatu yang keluar dari mereka suci semuanya dan pada kenyataannya tidak demikian, buktinya air kencing dan kotorannya kaum Mukminin tetap najis. Sehingga pendapat yang mengatakan orang Kafir badannya najis tidak tepat. Demikian juga keringat dan air liurnya orang yang junub dan wanita haidh. Tentang sucinya orang yang junub ditegaskan oleh riwayat kisah Abu Huroiroh : 8 G Dh _ Z ` Y [ G k ' Y _ Á 1 % Z > + l , O (I P7: (7J M O75 OL $ . s * E, ( h O7J '$ b G 1$ $ [ Z & Y Ļ1 [ . « s Z $ [ $ » I · 1 P« Y « ~ + # Y 7 L : » I “Bahwa Nabi bertemu dengannya di jalan Madinah dalam keadaan Abu Huroiroh junub, lalu aku berpaling darinya dan pulang ke rumah untuk mandi, lalu ketika aku mendatanginya, Beliau bersabda : “dimana saja engkau wahai Abu Huroiroh?” aku menjawab, aku sedang junub dan aku enggan duduk-duduk bersama engkau dalam keadaan tidak suci. Maka Nabi bersabda : “Maha Suci Allah! Sesungguhnya seorang Mukmin tidak najis” (Muttafaqun ‘Alaihi). Kisah senada juga dialami Khudzaifah Ibnul Yaman sebagaimana dalam riwayat jamaah kecuali Imam Bukhori. Adapun yang menguatkan bahwa wanita haidh badannya suci adalah hadits riwayat Imam Muslim dari Anas ia berkata : # Î / 8 %5 P 7: ( 7 J 7 O75 ÃL I Y Z%7 ~ P P E ( s $ + [ 2 .# [ ' 0 %E( $ u & “Bahwa orang Yahudi jika wanitanya haidh tidak makan bersama mereka, maka Nabi bersabda : “lakukanlah apapun bersama mereka (para wanita haidh) kecuali nikah (berhubungan badan)”. Bahkan dalam hadist Aisyah lebih tegas lagi menunjukan bahwa badan mereka suci, karena Nabi pernah bersentuhan dengan Aisyah pada saat Ibu kita ini sedang haidh, kata beliau : Á -2 '$ ' / L( Y * 63 ' 3 P 7: ( 7 J 7 O75 7 %:* “adalah Rasulullah memerintahkanku untuk memakai sarung lalu menyentuhku dalam keadaan aku sedang haidh” (Muttafaqun ‘Alaih). Dalam riwayat Imam Muslim, Ibu kita Aisyah juga menceritakan : O \ % O7J V \ U ( P7: (7J M O75 OL '$ P« Á -2 '$ f / $ [ “aku sedang minum dan pada waktu itu aku haidh, lalu aku memberikan gelasku kepada Nabi Beliau meletakan mulutnya untuk minum dari bagian gelas yang aku minum dengan mulutku”. Adapun sucinya keringat dan air liur binatang tunggangan telah datang dari hadits ‘Amr bin Khorijah , beliau berkata : 4D O7J 8 (G E Y D7 2 * O7J % Z Y O¸+ P 7: ( 7 J 7 O75 ÃL L “Nabi pernah berkutbah dihadapan kami waktu di Mina dalam keadaan Beliau naik diatas tunggangannya, kemudian air liur (untanya) menetes diatas pundakku” (HR. Ahmad dan Tirmidizi dishahihkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam Al Albani). Imam Shon’ani dalam “Subulus Salam” ketika mensyarah hadits ini berkata : 8 5 37 Ï ( W ` Y 8 5 3 ¸U$ % Z Y Á +1 # % Z : 8 ( Y Á Z , + 8 ~ f $ O7J 8Ï ( 0 W “Hadits ini dalil bahwa air liur binatang yang boleh dimakan dagingnya itu suci, dikatakan bahwa hal ini adalah ijma dan ini juga hukum asal, maka disebutkan hadits ini menunjukan hukum asal”. Namun perkataan Imam Ar Robii’ dan Imam Syafi’I yang memutlakan sucinya keringat dan air liur hewan tunggangan dan binatang buas para ulama masih berbeda pendapat, karena disana ada hadits yang menunjukan najisnya air liur binatang buas, yaitu hadits 2 kulah yang terdahulu dimana lafadznya adalah : “Rasulullah ditanya tentang air yang dijadikan tempat minum binatang ternak dan binatang buas, lalu Nabi menjawab : “jika air telah mencapai 2 kulah tidak mengandung kotoran”. Maka mafhum hadits ini menunjukan jika air kurang dari 2 kulah, lalu datang binatang buas yang minum dari air tersebut itu mengandung kotoran dan yang dimaksud tentu karena air liurnya najis, jika tidak tentu Nabi tidak perlu memberikan syarat 2 kulah. Imam Ibnu Turkamaaniy dalam “Jauharul Naqiy” (1/250) : g `| & < b . % .# LG *~: >:R O7J `Z ZÐ “yang nampak hadits ini menunjukan najisnya air liur binatang buas, yang mana jika tidak seperti itu tentu tidak perlu adanya syarat (2 kulah) ini” (dinukil dari Tamamul minnah karya Imam Al Albani). Barangkali Imam Syafi’I dan yang sepakat dengan beliau berdalil dengan : 1. Hadits Jabir , beliau berkata : [ 7 U $ + P ' »: z+ [ 7 U $ + 3% D'$ 8 ]: P7: (7J M O75 7 %:* $ « LG “Bahwa Rasulullah ditanya, apakah kami boleh berwudhu dengan sisa (minumnya) Keledai? Nabi menjawab : “ya dan begitu juga sisa bintang buas (lainnya)”. Kedudukan sanad : hadits ini diriwayatkan oleh Imam Syafi’I dalam “Al Musnad” (no. 8), Imam Baihaqi dalam “Sunan” (no. 1225) dan Imam Daruquthni dalam “Sunan” (no. 181) dari jalan Ibrohim Ibnu Abi Habiibah, kemudian Imam Baihaqi dalam “Sunan” (no. 1222 & 1223) dari jalan Ibrohim bin Abi Yahya, semuanya dari jalan Dawud bin Hushoin dari Bapaknya dari Jabir : Al Hadits. Imam Ibnu ‘Abdil Hadi dalam “Taftihut Tahqiq” (no. 56) berkata : W? `Z n* D* >L'Ò _Ñ YrL«È W2 L ² rI9 J p2 A d ? 00 :L2 :X1* J . · ( :´) . c Á ( :Ã-G B VJ :j*kL Y>L(L2 $ 8(JÓ# P(Z# ¶Á D [%Z] : * Y A ´) b ` Y´) $ P(Z# :T9 “Imam Ibnu Hibban berkata : ‘Dawud ibnul Hushoin meriwayatkan dari rowi tsiqot sesuatu yang tidak menyerupai hadits yang kokoh yang wajib untuk menjauhi riwayatnya’. Telah diriwayatkan hadits ini dari dua orang perowi : yang pertama Ibrohim bin Ismail bin Abi Habiibah, Imam Bukhori menilainya, ia memiliki haditshadits mungkar. Imam Nasa’I menilainya, ‘dhoif’. Imam Yahya mengatakan, ‘tidak ada apa-apanya’. Yang kedua adalah Ibrohim bin Abi Yahya, telah dikatakan sebagai pendusta oleh Imam Malik dan Imam Yahya bin Ma’in. Imam Daruquthni mengomentarinya, ‘Matruk’. Sedangkan dalam kitab “Taftihut Tahqiq” (masalah no. 10) karya Imam Adz-Dzahabi berkata : . %EÒ V%$ Y B 00 . (c() %Z Y ´) $ P(Z# 6 V Y P(Z# %Z >L(L2 $ “Ibnu Abi Habiibah –yaitu Ibrohim- rowi yang lemah dikuatkan oleh Ibrohim bin Abi Yahya ia perowi dhoif. Dawud memiliki hadits yang mungkar, sedangkan Bapaknya Majhul”. Kesimpulannya : sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dalam “Al Majmu” (1/173) : W? `Z r. Ô +ª SD) W? 8Z$ J 1 4( A+(Z c( W? `Z 5$ %II" V` < (7J [EL PEU V+DJ ²* f5 _D ; *%E '%& 4( s0D $ W2 +DJ 0UDJ >%I6 8 (7J +D “ini adalah hadits dhoif karena dua orang Ibrohim (perowi) hadits ini adalah sangat lemah sekali menurut ulama ahli hadits tidak dapat dijadikan hujjah, hanyalah disebutkan disini, sekalipun ia dhoif karena masyhurnya dalam kitab Madzhab dan kemungkinan mereka berpegang dengan hadits ini, maka aku menjelaskanya. Imam Syafi’I dan Muhaqiqin madzhab kami tidak berpegang dengan hadits ini, namun sekedar penguat saja, mereka berpegang dengan hadits Abu Qotadah”. [selesai nukilan]. Yang dimaksud dengan hadits Abu Qotadah adalah hadits tentang air liurnya kucing yang akan datang Insya Allah. 2. Hadits Ibnu Umar secara mauquf, bahwa beliau : s I J ¬ 1 8¬ 1 * O7J Ã+ X ( * G V * 4: $ O P7: (7J M O75 7 %:* P7: (7J M O75 ÃOL I b 6I O > 7 ( 7 LG [ C $ s I + _ 2 5 + J I « *Á %E, f Á / O I E'% O [ 7 + 2 E c Á 7& `Z V Lk 6 s I + _ 2 5 » “Rasulullah pernah keluar pada sebagian perjalanan, maka pada saat perjalanan malam melewati seorang laki-laki yang duduk di pinggir telaga. Umar berkata : ‘wahai pemilik telaga, apakah tadi malam ada binatang buas yang menjilat (minum) air di telagamu? Maka Nabi bersabda : “wahai pemilik telaga, jangan beritahu! Ini adalah sesuatu yang memberat-beratkan diri, baginya apa yang ada diperutnya dan bagi kita apa yang tersisa yang dimimum dan suci” (HR. Daruquthni no. 37). Kedudukan sanad : Imam Daruquthni meriwayatkan dengan sanad : ÃO' G 8 (J+: # «2 Ãn 7 L *Z G ÃO7 J «2 ÃO %& ¬ 5 + 2 $ G «2 + J J \¬ ' J %7 J + «2 ÃO' f %Ã$ «2 “Haddatsanaa Al Hasan bin Ahmad bin Sholih Al Kuufiy, haddatsanaa Ali Ibnul Hasan bin Haaruun Al Baladiy, haddatsanaa Ismail ibnul Hasan Al Harooniy, haddatsanaa Ayyuub bin Khoolid Al Harooniy, haddatsanaa Muhammad bin ‘Ulwaan dari Naafi’ dari Ibnu Umar”. Komentar ulama : Imam Ibnu Abdil Hadi dalam “Taftiihut Tahqiiq” (hadits no. 54) berkata : f%$ .c Á ( :%7J +K YÁ& W Ï 2 `Z :i .B Ji È· J p2 f%$ :jJ 92 9$ ; \D :^$ %$ P? : “Imam Ibnu ‘Adiy berkata : ‘Ayyub bin Khoolid mengabarkan dari Al Auzaa’iiy haditshadits Mungkar. Ini adalah hadits Mungkar, Muhammad bin ‘Ulwaan, dhoif, sedangkan Ayyub bin Khoolid , sebagaimana dikatakan Al Hakim Abu Ahmad : ‘Tidak dikuatkan pada kebanyakan haditsnya”. Imam Adz-Dzahabi berkata dalam “Taftiihut Tahqiiq” (Masalah no. 10) : “d < `Z” (hadits ini tidak shahih). 3. Hadits dari Umar , Imam Yahya bin Abdur Rokhman bin Haatib berkata : Ä + J I ¸% 2 0* OD2 Ä + J P E ( _ ¬ * O f k + J $ º % _ 2 5 f k + J I LG b % 2 0 6 8 Z º % _ 2 5 º % _ 2 d ( 7 J 0 6 LG O7J 0 ' '= ' Lk 6 “Bahwa Umar ibnul Khothob keluar dalam suatu perjalanan diantara yang ikut adalah ‘Amr ibnul Ash, hingga ketika mereka sampai ke sebuah telaga, ‘Amr ibnul ‘Ash berkata kepada pemilik telaga : ‘wahai pemilik telaga, apakah telagamu telah didatangi binatang buas? Umar berkata kepada pemilik telaga : ‘wahai pemilik telaga, jangan engkau beritahukan kami, karena kami minum sebagaimana binatang buas minum” (HR. Malik no. 44 dan selainnya). Kedudukan sanad : riwayat ini diriwayatkan dari jalan : _ ¬ , 2 + 2 L J O( J O+ ( D p * P (Z# + J ( : O( “Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Ibrohiim ibnul Harits At Taimiy dari Yahya bin ‘Abdur Rokhman bin Haatib”. Komentar ulama : Imam Al Albani dalam “Tamamul Minnah” (1/49) berkata : M * +9J >X ; '= +J ¶* < `Z _,2 È +J J [L9 U$ c( «È `Z # o `Z $ # " : I ¶*D: & \I 8: '3 ( 174 / 1 ) " %+¾ " ; j% !1 b ` +EJ G ; cU +E( [+7J AID +J 1 W2 a# B : [7 " %I6 Z%/ 8: `D AD7I W? +ED4 k À ; s*& “kemudian atsar ini adalah dhoif tidak shahih dari Umar , karena Ibnu Haatib tidak bertemu umar (lahir 32 H wafat 104 H, sedangkan Umar wafat 23 H-pent.), yakni Ibnu Hatib lahir pada masa kekhilafan Utsman . Oleh karena itu Imam Nawawi dalam “Al Majmu” (1/174) berkata : ‘bahwa atsar ini mursal dan terputus sanadnya, akan tetapi Imam Nawawi menambahkan, kecuali atsar ini mursal dan memiliki syahid yang menguatkannya. Aku (Al Albani) berkata : ‘beliau Imam Nawawi mengisyaratkan hadits Jabir dan Ibnu Umar sebelumnya, dan pembaca telah mengetahui dhoifnya sanad dan kemungkaran matannya, karena menyelisihi hadits 2 kulah”. 4. Hadits Abu Qotadah , bahwa Nabi bersabda tentang air liur kucing : r % P & ( 7 J A % E'# ¬ [ G ( E'# “Ia tidak najis, sesungguhnya ia adalah binatang yang mengelilingi kalian” (HR. Abu Dawud, Tirmidiz, Nasa’I dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Imam Bukhori, Imam Tirmidzi, Imam Uqoiliy, Imam Daruquthni, Imam Al Albani dan Syaikh Syu’aib Arnauth). Madzhab Syafi’iyyah berdalil dengan 3 hadits pertama sucinya air liur bintang buas dan mencakup didalamnya binatang yang boleh dimakan, namun sebagaimana kita lihat 3 hadits pertama diatas, tidak dapat dijadikan hujjah karena lemah sanadnya disamping itu juga bertentangan dengan hadits 2 kullah yang kalangan ulama Syafi’iyah sendiri telah menshahihkannya dimana mafhumnya menunjukan najisnya air liur binatang buas. Hadits yang keempat secara jelas menunjukan sucinya air liur kucing, namun apakah hal ini bisa dikiyaskan kepada binatang lain yang tidak boleh dimakan dagingnya bahwa air liurnya suci? Disana ada sebagian ulama yang berpendapat sebaliknya karena mereka berpegang dengan hadits tentang keledai berikut : Á ' $ Á 1 * E'= + ! % J P & '(E %:* 7 # “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian dari daging keledai (negeri), karena ia kotor atau najis” (Muttafaqun ‘Alaih). Barangkali ide yang diberikan oleh Imam Ibnu Utsaimin dalam “Syaroh Mumti’” berikut dalam menggabungkan dalil-dalil yang ada lebih baik : I Y'# f/ Ú(7Z$ *^ $ %7 .>Ï GR Ù E/ E, > (I :j$ Ù Z*: = Y>GR (/È V`Z [' .# [' .# sÏ Z, P-EL V`Z *: $ a# P7 8Z$ B Á 9 _Z. .c­ ~ !X O7J R '= Y / / V`Z Û3D Y>% s ZÐ PE('$ %&6 >0L ;  = YL h iÃD Ãl `Z 3 :%77J .(7J % s B9 .>I b . ; & Z '¼ 8Gh f%1 Y >*# f%1%  $ %7 .f6 YE(7J 0 D LG O7J ¯ 0 * ++ .s*E O7J ¯ EU Y>: O7J ¯ EUL .º*D / E( b . ; W 02È % Y J 8 ]: P 7: ( 7 J M O75 N $ +EJ M * +J V* j` AD7I W2 Ys*E < AD7 §7 .# '$ Y ,% P&? 81 8 YsZ, V`Z 3 8I < "WLx 8+) < AD7 §7 .#" :I zLG # Yn$ W02$ ( .AD7 §7 $ % 9(L 7» O7J LG V`Z 0* $ O7J b . YWLx 8+) :I b . J P 7: ( 7 J M O75 ÃN 8 ]: W(2 YsZ, P-EL *: $ O7J ¯ 6 @, sJ | & Yc E( B9 # : I( YA9? A \+ &} .s*E O7J ¯ `Z "*%E, Lh Yt% ; [7^ |" M ^* Ù > .R '= Ü ª/ _LG (C6 Y BG # .*%E, %& Y Â3 X fà (CD $ Y>L,* f(9 %&6 Y¿ Y¬@ J +ª%* %7µ Y+EL6 >È È ÜZ, 8CL *+? # : Ù Y+EJ Yy*~G `Z O7J .(d %Z `Z .b . iÃD D$ P 7: ( 7 J M O75 ÃN 3 < YL,* L Ýb/ X *+? = Y s| ; s0D $ W2 ; V'. $ lL: ~ `Z YZ, +E4'$ µ Y+EI* .1 Þ@/ E iÃD Yª%* 0DJ ` +? 8Z$ +(: Y(7J A% “Jika hal (daging keledai) najis, maka air liurnya yakni, sisa makanan dan minumannya juga najis, kalau ada Keledai negeri minum dari bejana dan sisa air setelah diminumnya, karena hal ini adalah najis menurut pendapat penulis (Zaadul Mustaqni’). Sebagian besar ulama berpendapat bahwa air liur binatang itu suci, jika ia banyak menemaninya. Mereka beralasan bahwa (kalau najis) akan memberatkan untuk menjauhinya secara umum. Karena manusia yang tinggal di pegunungan biasanya memiliki bejana yang suci seperti Syuufah, lalu mendatanginya binatang buas yang minum darinya, seandainya kita wajibkan manusia untuk membuang air sisa tersebut dan juga mencuci bejana setelah airnya dibuang, tentu hal ini akan memberatkan. Hadits-hadits yang berkaitan terdapat kontradiksi, sebagian dalil mengatakan najis dan sebagiannya mengatakan suci. Yang menunjukan akan kesuciannya adalah hadits 2 kulah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa manusia bertanya kepada Nabi ditanya tentang air yang digunakan oleh binatang buas? Nabi menjawab : “Jika air telah mencapai 2 kulah tidak mengandung kotoran”. Beliau tidak mengatakan ia suci, namun mengkaitkannya dengan air, bahwa jika telah mencapai 2 kulah tidak mengandung kotoran, hal ini menunjukan bahwa binatang buas yang menggunakan air akan menjadikannya kotor jika airnya belum mencapai 2 kulah. Dalam masalah ini ada hadits yang lain namun dhoif, akan tetapi ia memiliki beberapa jalan yang menunjukan bahwa air liur binatang itu suci. Mungkin untuk mengkompromikan antara hadits-hadits ini, maka dikatakan : ‘jika airnya banyak tidak berubah dengan minumnya mereka dan airnya suci, namun jika airnya sedikit berubah airnya dengan minumnya mereka dan airnya menjadi najis. Imam Ibnu Qudamah berkata : ‘Keledai dan Bighol suci, karena manusia menungganginya, tidak mungkin dapat terlepas dari keringatnya ketika menungganginya, pada saat hujan turun maka pakain atau badan kita tidak luput dari basah kulit mereka. Nabi tidak memerintahkan umatnya untuk tidak berinteraksi dengan binatang ini maka ini sesuatu yang benar. Oleh karena itu, air liurnya, keringatnya, ludahnya dan sesuatu yang keluar dari hidungnya adalah suci. Ini menguatkan apa yang telah kami sebutkan terdahulu tentang hadits Abu Qotadah berkaitan dengan kucing, maka keledai tidak ragu lagi adalah hewan yang mengelilingi kita, terlebih lagi para penunggang Keledai yang kebiasan mereka sehari-hari mengendarainya, maka melepaskan diri dari mereka adalah suatu yang sangat berat sekali”. Kemudian masalah air liur anjing dan Babi akan disebutkan dalilnya oleh Imam Syafi’i. kemudian kalau seandainya ada seseorang yang bersiwak (menggosok gigi) kemudian siwaknya jatuh kedalam air, maka air tidak menjadi najis, karena air liur bani Adam suci, begitu juga keringat baik manusia maupun keringat yang dihukumi suci dari binatang. Jika ada najis yang jatuh, sekalipun dalam air yang banyak tidak serta merta najis tersebut menjadi suci, seandainya kita dapat mengambil najis tersebut, katakanlah ada bagkai tikus yang jatuh kedalam telaga, maka karena banyaknya air telaga, air disitu tidak berubah sifatnya karena najisnya bangkai tikus tadi, namun jika tikus tersebut diambil misalnya, maka bangkai tersebut tetap najis. Namun untuk najis-najis tertentu yang larut jika najisnya telah hilang bekasnya, maka airnya suci. (7J _5 o ( 0%1% & µ !{ B9& E( L r. ]L $ º* $ 8(7I ( ' R .# & < 79 *5 m2 VBh (7J _d X(7 ( 0%1% Bh !? Bd m2 VBh %& $ a# P&2 *5 .= >: GR Ô# +t Z, +E( ß º* ' Z, !2 ( 6*E E +7 \L6 %Z Ô# +&2 %) P&2 %) $ » < G P&2 b ` Z, (7J Û36 s2 8Gh = «X« 8Gh % ®# _2$ ' 8Gh l*$ >:R D k '# ; X(7 .# .D: 81 L: E7Gh .# r \L: 8GC 3 # E X ¿ $ _7 ( f $ # / 8 `Z E, /$ c(ÆD ; f6 !I !%I ² 7GC 6 ( » { ; = b ` # E f6 Z$ $ Z$ v cÆ'$ fD 47 %& ² E ± fD :} 3 # E y2$ % (4 EL/$ $ > à $ +E(7J & < # +t$ : GR +ª ¿x $ _7& R .# D: ; %I6 + [45 ( *` (7J %& Y3 # G < ' ](/ $ X1* $ ; 80$ .= < 8 >:R .# >D( [71 r \L: # VE < '# ; / .# ¿x _7& [71 c(& :8- = VG1 *`I ) P7: (7J M O75 M %: JL6 8( z' ; «$ ~Z 2% & < .# s 6E, ! $ ( [ (7J M O75 M %:* J M * sZ $ J J J 0' $ J >((J 'H$ :M ^* ( sZ á$ J J J 0' $ J b 'H$ " r \L: 7GC(7 P2$ '# ; _7& § .# " : P7: J >((J 'H$ " r \L: 7GC(7 P2$ '# ; _7& f/ .# " :P7: (7J M O75 M %:* : P2$ '# ; _7& § .# " P7: (7J M O75 M %:* $ sZ á$ J B: +K J >+(Ç á$ f%$ (7J a6 M O75 M %:* $ ² _7& ; 7I ( ) " fD Z$ $ Z$ r \L: 7GC(7 " ² y%: >: ; 7 (7J :( 7I B ; & < 2 / ; & < # ¿x P7: ' _7& O7J GI' < %I fD& ; %% 8GC T DI% >U(? !0 O7J :( E7 ÂR ['& ; \LG %& \LG 0 ² s2% I ' $ \L: 9$ s2 O7J \I 8GC P: $ n6 $ L6 ](/ ( [70$ $ [/ 3 X(7 [: (2 / ; >:R () \LG 8L 89 >:v zG 8) (7J %Z *+? @ *+? _ 81 $ n6 $ O6% ; >: Ô# ¿x _7& # E-UJ$ %:* $ M LJ 1 J ($ J Ad? 00 J +K P(Z# 'H$ 8( zb . O7J 8( :8- = (: 'H$ ( ) E7 LG [7U$ ² P' I z+? [7U$ ² 3%D$ :8]: P7: (7J M O75 M 79² P7: (7J M O75 N J M LJ 1 J Ad? 00 J " \( b/ " >L(L2 $ $ >L(L2 $ J <: s0D $ [q [' b _ [ >L J >J* (LJ [ s(^ J M LJ @:# J b 'H$ M %:* $ $ > AL6$ I ( # Æ' T$ :[ [ sZ r % [L&G 80 s0D $ $ >I9 'H$ a6 M ^* ( ) .r% $ P&(7J A% t$ [G( t# P7: (7J M O75 GI ( ) V 89 $ 79 P7: (7J M O75 N J ($ J s0D $ M LJ J B9 $ ´) J `kD $ !2 / E ( '$ +? 8~ v y%: A ¿x _7& A @4 45 v 7IJ O7J @4D \ ,B $ gB !% 8 Bh V`¤ 8+J £I 81 `kD $ !2 _7& # _7& # X2 8~ $ +? 8~ f / 8 8U4 b . Bh ( %Z D( 86 >&-X $ % b ` s*E O7J %E !2 X '% BC6 $ À'3 B9& $ 8(7I BC6 .= ( ) ¿x ¶D ' D:R P76 m2 s*E O7J %E P $ %7 $ BCD %Z !$ >:R $ * P7 G'# ( & < +, $ )* BC X2 / ; \ .# () VBC( _7 µ BCD( OIDG $ â _( `$ # EL/$ $ )* EÆ( I $ L ( \I $ b . 3%D $ Â3 X ( &7EDG # f% 8GJ â l%: `| I Ô# ( b7EDG 3%D < ( &7EDG *d 8GJ $ l%: `Z P, ZÆ % %& ( &7EDG 8GJ â l%: ( u, %& 8(7 / ( u, ; * .= ( * # VBh f/ !, ½ 8 `&Z { `Z 3%6 ( 0* O7J _5 % ( & < v ½7 + `Z ( 0 P: ' 3%6 BC6 $ À'3 º* (7J _5 % b ` () 0*% ZÆ ( b7EDG 3%D < (7J 0*% * EÆ _5 % (+D X 7Dµ 0*% I 3%6 EÆ < # 3%D < ; I * EÆ / ; ( ' 3%6 ; )* EÆ ½7Dµ * . / $ 0%J $ HJ ( OI $ $ _(, Z0 ( < * ( EÆ (+D Bh Bd m2 ; + / $ s*. $ bG ( _5 % %¹ O+G %3 ( OI $ 8 `&Z >%¹ s*. º%¹ bG I Ô# º%¹ `](2 ' 3%D a# f%G `](2 3%D < ( ½7Dµ v P ( EÐ .# VBh @ l(0 $ l%: Terjemahan : Al Imam berkata, jika bejana yang terdapat air sedikit atau tanah atau sumur yang bangunannya dapat menampung air yang banyak lalu bercampur dengan benda najis yang disiramkan air lain lagi, hingga akhirnya benda najisnya tidak ada lagi (terlarut) maka Air sedikit menajiskannya, lalu disiramnya air yang lain hingga air tidak menajiskannya semisalnya dan sudah tidak ada lagi benda najisnya, maka airnya suci, bejana dan tanah yang terdapat air didalamnya suci, karena najisnya bejana dan tanah itu karena najisnya air, jika hukum airnya berubah menjadi suci demikian juga hukum sesuatu yang bersentuhan dengan air tersebut. jika tidak berubah hukum airnya, maka tidak berubah hukum yang bersentuhan dengannya, ia mengikuti hukum air, menjadi suci dengan sucinya air dan menjadi najis dengan najisnya air. Jika airnya sedikit yang terdapat didalam bejana, lalu bercampur dengan najis, maka dibuang airnya dan dicuci bejananya. Aku (Imam Syafi’i) menyukai untuk dicuci sebanyak 3 kali, karena mencucinya 1 kali masih (diragukan) kesuciannya, ini adalah untuk sesuatu yang bercampur dengan najis, kecuali kalau bejana tersebut diminum oleh anjing atau Babi, maka tidak bisa menjadi suci kecuali kalau dicuci dengan 7 kali. Jika dicuci sebanyak 7 kali maka pada cucian yang pertama atau yang terakhir dengan tanah, tidak bisa mensucikannya selain dengan cara ini. Jika ia berada di lautan sehingga tidak mendapatkan tanah, maka ia mencucinya dengan sesuatu yang dapat menggantikan tanah dalam membersihkan, seperti Asynaan atau tepung dan semisalnya maka ada dua pendapat, yang pertama tidak disucikan kecuali dengan menggunakan tanah, sedangkan pendapat yang kedua mensucikannya dengan sesuatu yang menggantikan tanah yang dapat mensucikan sebagaimana yang aku sifatkan dan juga sebagaimana kami katakan tentang istinja. Jika najisnya anjing atau Babi terhadap air yang diminumnya menjadi najis, maka air yang menyentuh badan anjing dan babi tidak najis. Semuanya tidak menajiskannya kecuali karena meminumnya. Maka jika Anjing atau Babi masuk kedalam air, tangannya atau kakinya atau sesuatu dari anggota tubuhnya tidak menajiskannya kecuali jika ada kotoran yang menempel di badanya, maka ia menajiskan air kerena kotoran tersebut bukan karena badannya. Jika ada yang bertanya, bagaimana engkau menjadikan anjing dan babi jika minum air dalam bejananya tidak mensucikannya kecuali dengan 7 kali basuhan, namun jika bangkai atau darah yang masuk kedalam air mensucikannya cukup sekali basuhan jika dengan sekali cucian tersebut sudah dapat menghilangkan bekasnya? Jawab karena kita mengikuti Rasulullah . Imam Syafi’I berkata : ‘akhbaronaa Ibnu Uyyainah dari Abuz Zinaad dari Al A’roj dari Abu Huroiroh bahwa Rasulullah bersabda : “jika anjing menjilati bejana kalian, maka cucilah sebanyak 7 kali”. ‘akhbaronaa Malik dari Abuz Zinaad dari Al A’roj dari Abu Huroiroh ia berkata, Rasulullah bersabda : “jika anjing minum dalam bejana kalian, maka cucilah sebanyak 7 kali”. Akhbaronaa Ibnu Uyyainah dari Ayyub bin Abi Tamiimah dari Muhammad bin Siriin dari Abu Huroiroh bahwa Rasulullah bersabda : “Jika anjing menjilati bejana kalian, maka cucilah sebanyak 7 kali, yang pertama atau yang terakhir dengan tanah”. Al Imam berkata, kami katakan tentang Anjing sesuai dengan yang diperintahkan Rasulullah , adapun Babi keadaanya tidak lebih jelek dari Anjing, tapi juga tidak lebih baik dari Anjing, sehingga kami berpendapat untuk mengkiyaskan Babi dengan Anjing tentang najisnya sama (harus dicuci 7 kali). Akhbaronaa Ibnu Uyyainah dari Hisyaam bin Urwah bahwa ia mendengar istrinya Fatimah bintil Mundzir berkata, aku mendengar nenekku Asma bin Abi Bakr berkata, ‘aku bertanya kepada Rasulullah tentang darah haidh yang mengenai pakaian, maka Beliau menjawab : “keriklah lalu dibasuh dengan air kemudian dicuci, setelah itu dapat digunakan untuk sholat”. Akhbaronaa Malik dari Hisyaam bin Urwah dari Fatimah bintil Mundzir dari Asma ia berkata : ‘salah seorang istri Rasulullah bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau jika salah satu dari kami pakaiannya terkenda darah Haidh, apa yang kami lakukan? Nabi menjawab : “jika pakaian kalian terkena darah haih, maka keriklah dengan air, lalu dicuci kemudian dapat sholat dengan pakaian tersebut”. Al Imam berkata, Rasulullah memerintahkan untuk mencuci darah haid dan tidak memberikan batas waktu, maka penamaan mencuci masuk didalamnya satu kali dan lebih, sebagaimana firman Allah : “basuhlah wajah dan tangan kalian sampai siku” (Al Maidah (5) : 6). Maka mencukupi mencuci 1 kali, karena semua ini tercakup didalamnya penamaan mencuci. Maka najis-najis ini semuanya dikiaskan dengan darah Haidh karena sesuai dengan makna mencuci dan wudhu dalam kitab dan logika. Kami tidak menkiaskan Anjing karena hal ini adalah ibadah, bukankah engkau tahu bahwa penamaan mencuci terjadi satu kali atau lebih dari 7 dan bahwa bejana cukup dibersihkan dengan sekali cuci, dengan kurang dari 7 dan lebih dari 7 seperti bersentuhannya air sebelum 7 kali. Tidaklah menajiskan sesuatu karena sentuhan makhluk hidup kepada air sedikit ketika ia minum atau memasukan sesuatu dari anggota tubuhnya kecuali Anjing dan Babi. Hanyalah najis pada hewan hidup, bukankah engkau tahu bahwa seseorang yang menunggangi Keledai kemungkinan besar akan bersentuhan dengan keringat Keledainya? Jika ada yang mengatakan, apa dalilnya? Jawab, akhbaronaa Ibrohim bin Muhammad dari Dawud ibnul Hushoin dari Bapaknya dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah ditanya, apakah kami boleh berwudhu dengan sisa air keledai? Nabi menjawab : “iya dan juga dengan sisa bintang buas semuanya”. Al Imam berkata : akhbaronaa Sa’id bin Saalim dari Ibnu Abi Habiibah atau Abu Habiibah–Ar Rabii’ ragu-ragu- dari Dawud ibnu Hushoin dari Jabir dari Nabi semisalnya. Akhbaronaa Malik dari Ishaq bin Abdullah dari Humaidah bintu “Ubaid bin Rifaaah dari Kasyab bintu Ka’ab bin Malik istri Ibnu Abi Qotadah berkata : ‘bahwa Abu Qotadah masuk, lalu ia memiringkan tempat air wudhu, datanglah seekor Kucing yang minum dari tempat air tersebut, Kaysab berkata, Mertuaku (Abu Qotadah) melihat aku memperhatikan hal ini, sehingga beliau berkata : ‘apakah engkau merasa heran wahai anak saudarku, sesungguhnya Rasulullah berkata : “Sesungguhnya Kucing tidak najis, sesungguhnya ia adalah binatang yang mengelilingi kalian”. Al Imam berkata, akhbaronaa tsiqoh dari Yahya bin Abi Katsir dari Abdullah bin Abi Qotadah dari Bapaknya dari Nabi semisal hal ini atau sama maknanya. Maka kami mengkiaskan sesuatu yang masuk logika sesuai yang kami sifatkan dan perbedaan antara Anjing dan Babi dengan binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya, adalah tidak semua binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya haram untuk digunakan sisa minumnya, kecuali untuk Anjing maka haram untuk digunakan sisanya dan orang yang memelihara Anjing akan dikurangi pahalanya setiap hari 1 atau 2 qiroth dan juga rumahnya tidak akan dimasuki oleh Malaikat. Hal ini menunjukan makna (perkataan kami) bahwa semua binatang baik yang boleh dimakan dagingnya maupun yang haram semuanya halal (air liur dan keringatnya) kecuali Anjing dan Babi. Al Imam berkata, jika berubah air sedikit dan air banyak , berubah warnanya misalnya dengan sesuatu benda yang tidak najis, maka ia tetap dalam kesucian demikian juga sekiranya seorang manusia kencing lalu tidak jelas apakah najis mencampurinya atau tidak, yaitu indikasinya berubah bau, warna atau rasanya maka ia tetap suci hingga diketahui najisnya, karena meninggalkan sesuatu yang tidak bersih dan berubah serta bercampur dengan pohon atau lumut lalu merubahnya. Jika jatuh sesuatu yang halal kedalam air lalu merubah bau, rasa atau warnanya jika airnya tidak rusak, tidak mengapa untuk berwudhu dengannya, demikian juga jika jatuh kedalam air susu atau ter, lalu nampak bau atau yang semisalnya, maka jika air yang tercampur dengan susu atau tepung atau madu menjadikan airnya rusak, tidak boleh digunakan untuk berwudhu. Karena air yang rusak akan dikatakan sebagai air tepung, air susu, air madu yang tercampur dengannya, maka jika dibuang darinya sesuatu yang sedaikit yaitu yang dibuang adalah tepungnya, susunya atau madunya yang merusak air tersebut sehingga airnya menjadi berubah warna dan tidak untuk rasanya maka boleh digunakan untuk berwudhu. Ini adalah air dengan beberapa kondisinya. Demikian juga semua yang bercampur dengan air berupa makanan atau minuman dan selainnya kecuali air yang diam, jika ada air yang mengendap di tanah lalu berubah (rasa atau baunya) maka boleh digunakan untuk berwudhu, karena tidak ada nama untuknya selain nama air. Hal ini tidak sebagaimana bercampurnya sesuatu, seperti air bunga lalu nampak bau air bunga tersebut, maka tidak boleh berwudhu dengannya, karena air telah rusak dan air nampak bukan air bunga. Demikian juga sekiranya bercampur dengan Ter lalu nampak sekali bau Ternya maka tidak bisa digunakan untuk berwudhu, tapi kalau baunya tidak menyengat, boleh digunakan untuk berwudhu, karena Ter dan air bunga bercampur dengan air yang tidak bisa dibedakan darinya. Jika ada minyak wangi, atau phon gaharu yang bercampur dengan air, lalu nampak baunya, tetap boleh digunakan untuk berwudhu karena air tersebut tidak dinamakan dengan air yang tercampur. Namun jika bercampur dengan minyak misk atau parfume yang membuat terlarut dalam air sehingga tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, lalu nampak baunya. Maka tidak boleh digunakan untuk berwudhu, karena sekarang ia adalah air campuran, ia disebut dengan air misk dan air parfume, demikian juga untuk setiap air yang dicampuri dengan bahan makanan seperti tepung, terigu dan selainnya, jika nampak rasa dan baunya, maka tidak boleh digunakan untuk berwudhu, karena ketika ini air telah disandarkan kepada yang mencampurinya tersebut”. Ta’liqiy : Imam Syafi’I memberikan gambaran kepada kita, bahwa jika ada air baik yang sedikit maupun yang banyak ketika tercampuri dengan najis, maka untuk air yang sedikit (menurut madzhab beliau) langsung menjadi najis, namun jika ditambahkan atau disiramkan air lain lagi kedalam wadah tersebut, sehingga menyebabkan najisnya menjadi hilang, maka wadah dan airnya kembali menjadi suci, karena hukum najisnya air dan wadahnya jika najis mengkontaminasinya, namun jika najis tidak lagi mengkontaminasinya, maka kembali menjadi suci. Kemudian Imam Syafi’I memberikan kaedah bahwa “hukum sesuatu yang bersentuhan langsung dengan air (seperti bejana dan semisalnya) mengikuti hukum airnya”. Artinya jika ada sesuatu yang mengkontaminasi air sehingga airnya berubah statusnya menjadi najis misalnya, maka bejananya ikut menjadi najis, namun jika airnya kembali menjadi suci, maka bejananya pun akan berubah menjadi suci. Al Imam menjelaskan bahwa beliau lebih menyukai untuk mencuci wadah air yang terkontaminasi dengan najis sebanyak 3 kali, sekalipun sebenarnya mencuci 1 kali cukup, selama najis tersebut sudah hilang, sebagaimana yang beliau jelaskan pada pembahasan selanjutnya. Barangkali penjelasan alasan Imam Syafi’I yang menganjurkan pencucian bejana karena terkontaminasi najis selain Anjing dan Babi sebanyak 3 kali adalah penjelasan dari Imam Al Mawardi dalam “Al Hawi Kabir” (1/608609) sebagai berikut : ¬ «$ . %& $ # s 2 s 7 G h _ 1 % Y r : -: _ 7 & ã % n%: + `Z : Ãj0 * + $ O7J Ļ1 # Y ¸L D: # «7« 8 G C ã % % P & 2 r : -: : > 4 (2 %$ «3 OD2 8 G C ( ã % % r : -: : 8¬ L 2 + 2 $ >Ï L DG $ ã % % >Ï L1 Z 8 Z p 79 5 $ 7D .r +« E7 G h f %1 D 3: & $ [ · +: 3 {P 7: ( 7 J 7 O75 } % s 2 s O7J E7 G h * dD i %1 O7J 7 ( 0 " : J 3 % Y ¸L : «7« b . E [ ­% P " + (5 P« (D2 " f % 9 _ (d ( ! 0 J 7 % ' P 2 $ © I ( D: .# " : {P 7: ( 7 J 7 O75 } % I «7« 7 G h Ã_ DG + " Î ¸%'. ( 7 J %ÃL5 . O $ > : 4 ' \ E 3 Y > : b \ p 79 $ +7 " «7« +E 7 G C OD2 '= V + C “demikian sebagaimana yang beliau (Imam Syafi’i) katakan untuk selain jilatan Anjing pada semua najis (yaitu mencucinya sebanyak 3 kali). (sebenarnya) yang wajib adalah adalah mencucinya sebanyak 1 kali, kecuali kalau masih memiliki bekasnya, maka dicuci sampai bekasnya hilang. Imam Abu Hanifah berkata : ‘semua najis hukumnya seperti jilatan yakni dicuci sebanyak 3 kali, entah karena disunnahkan atau wajib, sebagaimana sahabat kami (Hanafiyah) berbeda pendapat apakah mencucinya sebanyak 3 kali wajib atau sunnah. Imam Ahmad berkata : ‘semua najis seperti jilatan hukumnya wajib dicuci sebanyak 8 kali. Dalil kami diperbolehkan mencukupkan mencucinya sebanyak 1 kali adalah sabda Nabi kepada Asmaa’ binti Abi Bakar ketika kepada bertanya kepada Beliau tentang darah Haidh yang mengenai pakaian : “keriklah lalu dibasuh dengan air kemudian dicuci, setelah itu dapat digunakan untuk sholat”. Beliau tidak memberikan batasan mencucinya sebanyak 3 atau 7 kali. (dalil lainnya) sabda Beliau kepada Arab Badui yang kencing : “siramlah dengan setimba air”. Sampai perkataan Imam Mawardi, maka menganjurkanya mencuci sebanyak 3 kali berdasarkan sabda Nabi : “jika salah seorang diantara kalian bangun dari tidurnya, janganlah memasukan kedalam bejana sebelum dicuci 3 kali terlebih dahulu”. (Istidlalnya) : ketika syariat memerintahkan mencuci sebanyak 3 kali pada hal yang masih diragukan (bahwa tangannya ketika baru bangun tidur mengandung) najis, maka untuk sesuatu yang sudah pasti najis (yaitu bejana yang terkontaminasi najis) lebih utama (untuk dicuci 3 kali)”. Kemudian Imam Syafi’I menjelaskan hukum untuk jilatan Anjing dan Babi yaitu dicuci bekas jilatannya sebanyak 7 kali pada awalnya atau akhirnya dengan menggunakan tanah, kemudian Imam Syafi’I memberikan faedah yang sangat berharga kepada kita ketika seseorang mengarungi lautan dimana tidak ada tanah, maka seandainya ada Anjing yang ikut didalam kapal kemudian menjliat sebuah wadah air misalnya, maka mencucinya sebanyak 7 kali dan basuhan tanah bisa digantikan dengan tepung atau yang semisalnya (dizaman kita bisa dengan sabun). Dalil bahwa jilatan Anjing harus dicuci sebanyak 7 kali adalah sabda Beliau : “jika anjing minum dalam bejana kalian, maka cucilah sebanyak 7 kali” (HR. Muslim). Sedangkan riwayat yang menunjukan terdapat tambahan mencuci dengan tanah adalah sabda Beliau : “Jika anjing menjilati bejana kalian, maka cucilah sebanyak 7 kali, yang pertama atau yang terakhir dengan tanah” (HR. Nasa’I dan Tirmidzi). Dalam riwayat Imam Muslim bahwa basuhan tanah adalah yang kedelapan, sehingga 7 kali dengan air dan sekali dengan tanah, lafadznya sebagai berikut : f ÃD O > 9 V ­4J r \ L : V %7G h '¼ O _ 7 & § . “Jika anjing menjilati bejana kalian, cucilah sebanyak 7 kali dan taburkanlah yang kedelapannya dengan tanah”. Imam Syafi’I menjelaskan bagaimana tatacara membersihkannya dengan tanah, yakni beliau menyebutkan 2 cara yang pertama basuhan tanah pada awalnya dan yang kedua setelah basuhan air sebanyak 7 kali, sebagaimana lafadz yang tertera dalam haditt kedua yang Al Imam riwayatkan tentang jilatan Anjing yang juga diriwayatkan oleh Imam Nasa’I dan Imam Tirmidzi. Apabila diajukan pertanyaan kepada kita bagaimana cara terbaik penggunaan tanah, apakah pada awalnya, ditengahnya atau diakhirnya, maka jawabannya kami serahkan kepada Imam Shon’aniy dalam “Subulus Salam” (syaroh hadits no. 8) : Y > 9 $ Y > G $ Y Z 2 # $ Y Z $ $ Y Z $ n Y > E( [ E'3 f ÃD > * O7J 0 * $ ( Y r %D: \ # 2̧0 f %& '3 : J _ (1$ . E u , = _ ( Y u Á 0 f Yº * D J (1 D V %1 b . E ( k ( = Y E6* s 9 & 1 * $ Z $ > * = Y b ` Z b . Î / 1 %6 sÏ 0 4 D [ Z $ ] > * $ : b . ( Y E I6 Z $ E [ * %J D r ¥ 4 $ Z 2 # ] > * [ f ÃD Z $ ] > * ! I6 7 Y E( c 7 D Y [ f ÃD > G ] > * Y sÏ G W _ D Y s (I + O7J E7 + 2 _ >Ï I 7 E ED5 O7 Y * L Z* 8 Y r E3 [ G ( ( D7 + E + [ ] > * Y (1 D O # \ 1 ( Y Þb/ % E j b . # Y B (k D [ Z $ ] $ [ Z $ ] > * ] (1 6 O # \ 1 Y P 7: ( 7 J 7 O75 B Á (k 6 % E Y P 7: ( 7 J 7 O75 7 # Y 1 * $ [ Z $ . [ J + ( k ( J ½ I E6%L9 Y [ Z $ “mereka mengatakan bahwa riwayat tentang basuhan terjadi kegoncangan, diriwayatkan dengan lafadz “yang pertama”; “yang terakhir”; “salah satunya”; “yang ketujuh” dan “yang kedelapan”, sedangkan idhthirob adalah sesuatu yang jelek (yang dapat melemahkan hadits). Dijawab bahwa : ‘Idhthirob tidak dikatakan jelek kecuali kalau (masing-masing) riwayat sama-sama kuat dan dalam hal ini tidak seperti itu, karena riwayat “yang pertama” lebih kuat dilihat dari banyaknya riwayat, begitu juga karena diriwayatkan oleh Syaikhoni (Imam Bukhori-Muslim) maka hal ini juga sebagai faktor penguat jika terdapat pertentangan dan lafadz-lafadz yang menentangnya tidak mampu menandinginya penjelasannya adalah : (yang akhir) riwayatnya menyendiri tidak didapati dalam kitabkitab hadist yang musnad (bersambung sanadnya sampai Rasulullah -pent.) riwayat (yang ketujuh) terjadi perbedaan sehingga tidak bisa menanding riwayat (yang pertama), riwayat (salah satunya) tidak ditulis dalam kitab induk, namun dalam riwayat Imam Al Bazzar, seandainya shohih maka ini mutlak wajib dibawa kepada yang Muqoyyad (sudah tertentu) sedangkan riwayat (yang pertama) atau (yang terakhir) adalah pilihan, apabila ini bersumber dari rowi, maka ini adalah keragu-raguan darinya, maka dikembalikan kepada yang lebih rajih yaitu Riwayat (yang pertama) yang lebih kuat, adapun jika ini berasal dari sabda Nabi maka ini merupakan pilihan dari Beliau , maka dikembalikan kepada yang rajih (yang pertama) karena tetapnya riwayat tersebut menurut Imam Bukhori-Muslim sebagaimana telah engkau ketahui”. Imam Nawawi dalam “Al Majmu” (2/582-583) menambahkan : ` ® ; fD 81 _DG '$ >72 ; £' $ _( %$ OI 8I' 'J (7J l4D n` `Z >G Bh O4 84 < ® ; fD 81 _DG '$ 85? Z m P7G > l% %Z 5$ i1 >G ; 71 a “Ini yang diucapkannya adalah disepakati menurut kami dan dinukilkan oleh Al Qoodhiy Abut Thoyyin bahwa Imam Syafi’I dalam “Harmalah” menganjurkan untuk menjadikan tanah pada basuhan pertama, demikian juga yang dikatakan oleh madzhab kami dan ini adalah kesepakatan madzhab kami sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim yang terdahulu. Kesimpulannya bahawa menggunakan tanah adalah pada basuhan yang pertama, namun jika tidak melakukan seperti itu, bisa pada selain basuhan ketujuh yang pertama, jika ia menggunakannya pada basuhan yang ketujuh juga boleh”. Penggunaan tanah pada basuhan pertama selain ini adalah riwayat yang paling kuat juga secara logika, kalau tanah pada basuhan pePenggunaan tanah pada basuhan pertama selain ini adalah riwayat yang paling kuat juga secara logika, kalau tanah pada basuhan pertama akan lebih membersihkan bakteri berbahaya yang diakibatkan karena jilatan Anjing, karena terkadang seekor Anjing memiliki penyakit rabies dan tanah mengandung zat-zat yang dapat membunuh bakteri-bakteri tersebut, kemudian juga setelah bejana dibasuh dengan tanah tentu akan kotor, sehingga basuhan 7 kali air setelahnya akan membersihkannya daripada menggunakan tanah pada basuhan yang terakhir. Wajibnya pencucian 7 kali dikatakan oleh kebanyakan ulama, Imam Nawawi dalam “Al Majmu” (2/580) menulis : b *0 +J Â, B sJ ÂLJ sZ á J L: 8GC f%1 *` O&2 *%« (LJ á l: ^ Ji “dinukil oleh Imam Ibnul Mundzir wajibnya mencuci 7 kali dari sahabat Abu Huroiroh , sahabat Ibnu Abbas , Imam Urwah bin Zubair, Imam Thowus, Imam Amr bin Dinar, Imam Malik, Imam Al Auzaa’I, Imam Ahmad, Imam Ishaq, Imam Abu Ubaid dan Imam Abu Tsaur”. Namun sebagian ulama tidak mewajibkannya, menurut mereka boleh mencuci 3 kali, 5 kali atau 7 kali, pendapat dikatakan oleh Imam Az-Zuhri, bahkan Imam Abu Hanifah mengatakan cukup 1 kali kalau memang bekas najisnya sudah hilang, demikian nukilan dari Imam Nawawi masih dalam kitab dan halaman yang sama. Dalil mereka adalah : $ ¸G+ $ «X « 7 G C '$ : '¼ O § 7 _ 7 & O P7: (7J M O75 OL J s Z O$ J ¸L : “dari Abu Huroiroh dari Nabi tentang Anjing yang menjilat bejana : “ bahwa ia dicuci sebanyak 3 kali atau 5 kali atau 7 kali” (HR. Baihaqi, Daruquthni dan selainnya). Semuanya dari jalan : s Z O$ J J È· J 0 ' O$ J V ( h s J ! Z J ä ¬ (J 8 (J+: # J ¶ U f Z% L J Imam Nawai dalam “Al Majmu” (2/) mengomentari hadits ini : 6 4 O7J \+Ò fZ% LJ * ¥4? @46 c( W2 ' %E >4(2 SD2 +J f% 8D u 8Z ¨ 21 (Z%6 r*L / Z s*L `Z W? ¶D %Z * 7(I ! á 4 `Z ! å2 ^ LJ r*L Z U V`Z _-J VJ µ*6 ; j*kL a +U 81J M ¤ [7I ( # [1k >J%% sB9 W02 p2 f`& fZ% LJ * 81 `Z ; !X& [G Ô s*%E 6. % ( 4 `Z >+- % b . ª p p) 8(JÓ 6G4 G4 u 8LI I I * W? uU r0* (7J PELZ` * (7J W? !Z J W? `Z n* A( J D* %L ; c7D Ai? J D* æ 4 7J l4D+ ä(J 2 n` fZ% LJ ( c( 4U _L: W? ; & < % SD) X ni2 ' !%7 sJ V45 “adapun jawaban terhadap hujjah yang dibawakan oleh Imam Abu Hanifah adalah bahwa hadits ini dhoif dengan kesepakatan para Hufadz, karena ini adalah riwayatnya Abdul Wahhab yang telah disepakati kedhoifannya dan ke-matruk-kannya. Imam Al Uqoiliy dan Imam Daruquthni berkata, ia matrukul hadits, ungkapan ini adalah ungkapan yang keras dalam melemahkan dan menjarh sebagaimana disepakati oleh Ahlu Jarh wa Ta’dil. Imam Bukhori berkata dalam “Tarikhnya” : ‘Abdul Wahab memiliki keanehan-keanehan’, ini juga merupakan ungkapan yang yang melemahkan. Imam Abdur Rokhman bin Abi Hatim –pakarnya ilmu jarh wa ta’dil berkata : ‘Bapakku berkata, Abdul Wahhab berdusta, ia menghadistkan hadits-hadits yang kebanyakannya adalah hadits palsu, maka aku pernah keluar menemuinya dan berkata kepadanya, ingatlah takutlah kepada Allah, berjanjilah kepadaku agar engkau tidak meriwayatkan hadits lagi, namun setelah itu ia meriwayatkan hadits lagi’. Imam Nawawi berkata, perkataan para Imam dalam ilmu ini dan yang semisal yang aku sebutkan sangat masyhur, sengaja aku memperpanjang pembicaraan terhadap rowi ini karena poros dalam hadits ini adalah kembali kepadanya dan madhzabnya mereka berporos dari hadits ini, sehingga aku ingin menjelaskan hadits dan perowinya, karena dikatakan tidaklah diterima Jarh kecuali yang dijelaskan alasannya dan aku telah menjelaskannya. Adapun Ismail bin ‘Iyaasy maka telah disepakati kedhoifannya jika meriwayatkan dari orang-orang Hijaz dan terjadi perbedaan pendapat tentang penerimaan riwayatnya dari orang-orang Syam dan disini ia telah meriwayatkan dari Hisyaam bin Urwah yang sudah diketahui bahwa ia adalah orang Hijaz, sehingga riwayatnya tidak dapat dijadikan hujjah sekiranya hadits ini tidak ada sebab lainnya, maka bagaimana jika hadits ini ada perowi Abdul Wahab yang keadaannya telah kami terangkan”. Al Imam berpendapat bahwa yang najis adalah jilatan atau minumnya anjing dan babi, namun anggota badannnya yang lain tidak najis, artinya jika kaki Anjing atau Babi misalnya masuk kedalam air, maka tidak menyebabkan air menjadi najis. Dalam permasalahan ini Imam Syafi’I sependapat dengan gurunya Imam Malik yang mengatakan bahwa badan Anjing tidak najis alias suci, namun kebanyakan pendukung madzhab Syafi’I mengatakan bahwa Anjing najis badannya juga, diantara mereka yakni Imam Ar Rofi’I dalam “Syarhul Wajiz” (1/261) berkata : lL: + VBh cÆ'$ + B4D 0 _1 ª 6 .# f7 6XU -1 -: J Z2$ ã% % Bh 8GC b J :( r: -G f7 Bh 1 æ a$ VBh O4 ( ©(7CD 0* .= L6 ã% % 8GC VJ Z, _7& “yang pertama, peluh, seluruh bagian tubuh dan sisa Anjing seperti jilatan Anjing, jika mengenai sesuatu (sehingga menajiskannya), maka wajib dibasuh beberapa kali (7 kali) dan dibasuh juga dengan tanah. Karena mulutnya adalah bagian yang paling bersih dibanding bagian tubuh lainnya, sebagaimana telah berlalu, maka jika mulutnya saja keadaanya sangat parah (najis), maka tentunya bagian yang lain lebih utama (untuk dikatakan najis). Kemudian untuk hal lain selain air liurnya dikiaskan seperti najis lainnya. Adapun menurut Imam Malik tidak perlu untuk dicuci selain jilatannya karena tubuh Anjing suci menurutnya, adapun mencuci karena jilatannya adalah ibadah”. Yang lainnya lagi Imam Al Fairuz Abadzi dalam “Al Muhadzab” berkata : b . ; 8(I _» P7 *0 a# OJ0 f13 *0 a# J0 P7: (7J M O75 N $ j* R %E _7& $ R _7& $ O7J [ >G [G( s| ] : I sZ X *0 ; 8(I [ L7 X *0 ; # ] : I “Adapun Anjing maka ia najis, berdasarkan hadits dari Nabi , bahwa Beliau pernah diundang ke rumah salah seorang sahabar, maka Beliau memenuhi undangannya. Pada kesempatan lain Beliau diundang, namun tidak memenuhinya, ketika ditanya alasannya, Beliau menjawab : “karena rumah Fulan ada Anjingnya”. Maka dikatakan bahwa rumah fulan yang pernah Nabi kunjungi juga ada kucingnya, maka Beliau menjawab : “Kucing tidak Najis”. Maka hal ini menunjukan bahwa Anjing (badannya) Najis”. Kemudian Imam Nawawi dalam “Al Majmu” (2/567-568) mensyarahnya : (LJ %$ *%« %$ l: ^ >4(2 %$ Ji BL& BCd VBh P7 >GR E7 fX& LZ` sJ jdL G? J `Z O&2 L6 h% ' 8Gh _» Ô Z, %Z 00 b jZ M * +J W{ EG \% 8Gh ` < (P & ( 7 J & G $ + %7& ) a6 M %I P| SD2 B (b . ](/ %/ %'%& P7 P7: (7J M O75 M %:* i ; G ; 6 8LI6 fX& [') +EJ s*L V`Z 89 k(/ `Z ^$ À 0: a# á$ «2 _(L/ ^ I (5 ; j*kL V. n* W? !%7J ; b . 4 `Z 8Z$ J %Z + J V* j*kL d6 7J %+K SD2 (b . ](/ %/ %'%& P7 G ; 6 8LI6 fX& ) ( XdD W? `Z VBh IE(L o B7 P2$ ' ; _7& § .#) P7: (7J M O75 M %:* $ J M * sZ á$ W{ 5 ( § .# P2 ' *%E,) P7: (7J M O75 M %:* U$ sZ $ J P7G V* (r \L: 7GC( \L: 8GC ( _7& § .# P2 '$ E,) >* æ P7G V* (fD Z $ r \L: 7GC $ _7& >J J (t X6 `](2 %& ' D* $ GR & < % ' sZÐ W? > (r p? s*E, 7J Z 8+? *`6 R $ p2 %&6 s*E U$ sZÐ T9 W? > ! _7& 5 8Gh _» '$ ; X >± PE1D2 J 5 f1$ s*E, [(D \¨ J L(Ò OIE(L I +J W2 J f% ' Xç 7Gh ; >I >17 %4 %E L1%' < 8GC 8L +J W2 & ®$ _7& èd % 7J ä f%1 _7& % >:R 7J %+7G P7J$ M 7Gh I(6 + '& O4 |% $ _7& ã% “Madzhab kami adalah Anjing seluruh (badannya) najis baik yang terlatih maupun yang tidak, baik yang kecil maupun yang besar. Ini juga pendapatnya Imam Al Auza’I, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Imam Ishaq, Imam Abu Tsaur dan Imam Abu ‘Ubaid. Berkata Imam Az-Zuhriy, Imam Malik dan Imam Dawud (Adh-Dhohiri) bahwa Anjing itu suci, hanyalah wajib mencuci bejana dari jilatannya dalam rangka ibadah saja, dinukil juga pendapat ini dari Imam Al Hasan Al Bashri dan Imam Urwah bin Zubair, mereka berdalil dengan firman Allah : “makanlah (binatang buruan) yang mereka (binatang pemburu yang terlatih) menangkapnya untuk kalian” (QS. Al Maidah (5) : 4). (sisi pendalilannya) disini tidak disebutkan mencuci binatang buruan yang mereka tangkap. (dalil mereka lainnya) adalah hadits Ibnu Umar beliau berkata : ‘Anjing pada zaman Rasulullah keluar masuk masjid dan tidak ada perintah menyiram air dari bekasnya sama sekali”. Imam Bukhori menyebutkannya dalam shahihnya. Imam Ahmad bin Syabiib berkata, haddatsanaa Bapakku sampai akhir sanad dan matannya. Ahmad ini dan gurunya (Bapaknya) dan yang semisalnya adalah ungkapan bahwa sanadnya bersambung. Imam Bukhori meriwayatkan darinya sebagaimana sudah ma’ruf bagi yang berkecimpung dalam ilmu ini dan hal ini sesuatu yang jelas dalam ilmu hadits. Imam Baihaqi dan selainnya meriwayatkan hadits ini dengan sanad bersambung dari Ibnu Umar , beliau berkata : ‘Anjing keluar masuk masjid dan tidak ada penyiraman dari bekasnya sedikitpun’. Sahabat kami berdalil (tentang najisnya Anjing-pent.) dengan hadits Abu Huroiroh bahwa Rasulullah bersabda : “Jika Anjing menjilati bejana kalian, maka buanglah airnya kemudian dibasuh sebanyak 7 kali”. Dalam riwayat Muslim dari Abu Huroiroh juga bahwa Rasulullah bersabda : “Sucinya bejana kalian jika dijilati Anjing adalah dicuci sebanyak 7 kali”. Hadits pertama sisi pendalilannya sangat jelas yakni, sekiranya hal ini tidak najis, tentu Beliau tidak akan memerintahkan untuk membuang air (bekas jilatannya) karena ini membuang harta dan kita dilarang dari membuang harta (secara mubadzir). Sisi pendalilan hadits yang kedua juga sangat jelas, bahwa pensucian itu karena hadats atau najis, dalam hal ini sangat sulit untuk membawa pensucian ini karena hadats, maka tidak lain lagi bahwa pensucian ini karena najis. Sahabat kami membantah hujjah (ulama yang mengatakan Anjing suci) yang berdalil dengan ayat diatas yakni, bahwa telah ma’ruf perselisihan pendapat wajibnya atau tidaknya mencuci sesuatu yang terkena Anjing dan tidak dalil mereka dalam hal ini, karena bisa jadi (tidak adanya perintah mencuci) karena dimaafkan untuk suatu keperluan atau adanya kesulitan besar dalam mencucinya, namun tidak ada perselisihan terkait bejana (untuk dicuci). Adapun sanggahan terhadap dalil mereka dengan hadits Ibnu Umar , maka Imam Baihaqi berkata : ‘disanggah dengan ijma kaum Muslimin tentang najisnya kencing Anjing dan wajibnya memercikan air karena kencingnya bayi laki-laki, maka kencingnya Anjing lebih utama untuk dicuci, maka (kemungkinan) hadits Ibnu Umar sebelum adanya perintah mencuci jilatan Anjing atau karena kencingnya tidak diketahui tempatnya, seandainya mereka tahu tentu akan mencucinya, Wallahu A’lam’. Barangkali penjelasan yang lebih jelas lagi tentang najisnya badan Anjing adalah perkataan Imam Syaukani dalam “Nailul Author” (1/85) : > : ' ! 7 DG Y Á ' + 4 Y + @ J % Z ¸G ' .# '3 _ 7 & > : ' O7J ¸U$ W `E D: . * %E+ `Z O # _ Z . Y O $ ' > (I L ( / $ + Y + é 1 3 b . Y ' -: “Hadits (tentang jilatan Anjing) dijadikan dalil najisnya (badan) Anjing karena jika air liurnya adalah najis sedangkan ia adalah kelenjar ludah yang ada dimulutnya, maka mulutnya najis, hal ini melazimkan juga najisnya seluruh badannya, karena air liurnya adalah bagian dari mulutnya, sedangkan mulut adalah bagian yang paling mulia, maka anggota tubuh lainnya lebih utama (untuk najis). Ini adalah pendapatnya jumhur ulama”. Namun Imam Ibnu Hazm dalam “Al Muhalla” (1/200) membela pendapatnya : A ¬ I ( b . 8 L Á Z , Ï X2 'È· Ü@ Z b · 8 G h X -UJ $ ( 8 0 $ ( \ $ _ 7 & ( 8 $ $ Ý£ # ( D ê D O # 8 I D X r 2L+ -: f * + P J + O 6 7 2 $ + # _ 7 & YLG f ¬ ' j. 8 ! 2 O 6 7 ë · Î / j$ J _ 7 & f > i# f %1 $ .n%J D1 D i# º ! YÁ!2 +E U J YÝb/ X !Á 2 ! YÁ!2 % E YLG f ¬ ' . “adapun sesuatu yang dimakan Anjing atau sebagian anggota tubuhnya masuk kedalam air, maka tidak perlu dicuci dan juga dibuang airnya, karena ia tetap halal dan suci sebelumnya secara yakin –yakni sesuatu yang telah Allah membolehkannya berupa makanan, minuman atau hal-hal mubah lainnya- sehingga tidak boleh memindahkan suatu hukum menjadi haram atau najis kecuali dengan nash (Al Qur’an dan Hadits) tidak hanya sekedar klaim. Adapun wajibnya mencuci air liur Anjing yang menempel pada sesuatu karena Allah mengharamkan setiap binatang buas yang bertaring dan Anjing termasuk didalamnya, maka ia haram (untuk dimakan), maka sebagian yang haram adalah haram tanpa keraguan, sedangkan air liur dan peluhnya adalah sebagian yang haram tadi, maka yang haram wajib untuk dibersihkan dan dijauhi’. Dari pemaparan pendapat para Aimah kita, pentaliq cenderung kepada pendapatnya Imam Syafi’I dalam masalah ini yang didukung juga oleh Imam Ibnu Hazm bahwa anggota tubuh Anjing lainnya adalah suci karena hukum asal ini tidak nash yang shorih (yang jelas) yang merubahnya menjadi najis, hanyalah najis berasal dari air liurnya. Hal ini berdasarkan dalil ‘Al Ishtishhaab’ yakni sebagaimana yang didefinisikan oleh Syaikh Prof. Abdul Wahab Kholaf dalam “Ilmu Ushul Fiqih” : ? b76 BC6 O7J 8( 0 !%I m2 Y8L E(7J ß ? O7J P&? %Z “menghukumi atas sesuatu hal yang telah ada sebelumnya sampai adanya dalil yang merubah dari status hukum sebelumnya ini”. sampai pada perkataan beliau rohimahulloh : O7J (J/ X( 0 » < +JÈ 8+J $ f/ j$ $ !, j$ $ rL' $ 0¨ $ %(2 P&2 J ED¾ 8]: .# ; M È Y>2¼ (/È ; 85È Ô# .VBC6 O7J 8( 0 PI < 85È Z >2¼ È YD2= P&2 Y+&2 [29 :sIL ] { (+1 º * È· P& l 7 j` % Z } :ê& D “jika seorang Mujtahid ditanya tentang hukum hewan atau benda atau tumbuhan atau makanan atau minuman atau amalan apapun yang tidak didapati dalil syar’I atas hukumnya, maka dihukumi boleh karena kebolehan adalah asal sebelumnya yang tidak ada dalil yang merubahnya dan asal segala sesuatu adalah boleh, sebagamana firman Allah : “Dialah yang menciptakan untuk kalian semua apa yang ada di bumi seluruhnya” (QS. Al Baqoroh (2) : 29). Adapun pendapat Imam Syafi’I yang menyamakan Babi dengan Anjing dari sisi pencucian bekasnya air liurnya dengan 7 kali basuhan seperti dalam kasus jilatan Anjing adalah berdasarkan kias, yakni bahwa kotornya Babi sama dengan Anjing. Namun berdasarkan dalil ‘Istishhaab’ maka kami lebih condong kepada pendapat tidak disamakan Babi dalam hal pencucian seperti Anjing. Imam Nawawi dalam “Al Majmu” (2/586) berkata : `Z ¿x >: % ` +7 9$ f6 X s2 >7Gh O4& '$ 8( W(2 1 $ P7J LD O7J >(L > 3G V`Z ; +(: 0 m2 f%1% !J 85 *Dk %Z “ketahuilah yang rojih dari sisi dalil bahwa mencukupkan mencuci (jilatan Babi) sebanyak 1 kali tanpa menggunakan tanah, ini adalah pendapatnya kebanyakan ulama yang mengatakan najisnya Babi dan ini adalah pendapat yang terpilih. Karena hukum asal adalah tidak wajib sampai datang (dalil) syar’I (yang merubahnya) terlebih lagi dalam masalah (pencucian 7 kali bagi Anjing-pent.) dibangun berdasarkan ibadah”. Kemudian Al Imam menyebutkan hukum air yang kejatuhan atau bercampur dengan benda suci, maka kaedah ringkasnya adalah ‘selama benda suci tadi tidak merubah nama air mutlak menjadi nama air yang dinisbahkan kepadanya, maka airnya tetap suci dan mensucikan, namun jika sudah berubah kemutlakkan namanya, maka airnya suci namun tidak dapat digunakan untuk bercuci’. Misalnya ada kopi sedikit yang masuk kedalam air, namun air tersebut masih dinamakan air mutlak, maka boleh digunakan untuk bersuci, namun kalau namanya sudah berubah sehingga disebut sebagai air kopi maka tidak boleh digunakan berwudhu. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Madzhab Imam Syafi’I dan yang sependapat dengan beliau rohimahulloh membagi air menjadi 2 yakni, air sedikit dan air banyak. Air sedikit secara mutlak menjadi najis jika ada najis yang bercampur dengannya, sedangkan air yang banyak maka dlihat apakah najis tersebut merubah salah satu sifat air. Yang sependapat dengan beliau rohimahulloh sebagaimana dikatakan oleh Imam Shon’aniy dalam “Subululus Salam” (syaroh hadist no. 2) adalah : r (h .# # V ÃU 6 B ¬ 9 Y I7 > : V ÃU 6 8¬ (7 O # + > + G O # Y > ( Y > (4 Y > 0 E _ Z . B 9& 8 (7I 6 b . %47 D P« Y 5 $ “Al Hadawiyah, Al Hanafiyah dan Asy-Syafi’iyyah berpendapat untuk membagi airnya menjadi air sedikit yang akan terkontaminasi dengan najis yang bercampur dengannya secara mutlak, dan air yang banyak tidak merusaknya kecuali jika berubah salah satu sifatnya, lalu mereka berbeda pendapat dalam menentukan batasan air sedikit dan banyak”. Sebelumnya Imam menyebutkan pendapat yang tidak membedakan air sedikit atau banyak : Y 5 $ >Ï J +1 Y ( % 2 $ + 2 $ Y > Z Æ b Á Y î >Ï J +1 Y s + 2 O( Y P : I _ Z ` ¸B9 $ 7(7 Y *Á %E, '$ O # “Al Qosim, Yahya bin Hamzah, jamaah ahlu bait, Malik, Dhohiriyah, Ahmad dalam salah satu pendapatnya, sekumpulan sahabatnya berpendapat bahwa ia tetap suci (jika najis bercampur dengan air, namun tidak merubah salah satu sifatnya-pent.) baik air sedikit maupun air banyak”. Pentaliq lebih condong kepada pendapat yang tidak membedakan air sedikit maupun banyak, yang dijadikan patokan adalah apakah najis merubah salah satu sifat air atau tidak, bukan dari sisi volume airnya. Sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Utsaimin dalam “fatawanya” : #" :W2 A ( >* X c( '# : + .4(U6 (d6 ; +7 c7D I ADï7 I W2 $ :%+ .%E4 % # :I( (5 '3 %I O7J .>2 !%I6 c(U È Ü "/ G *%E, $ %E4 .¨¼ GR %& '= >: BC6 .# 9DG 'È Ü%+J O7J `Z ( Y < AD7 §7 .# `Z O7J !I "/ G *%E, #" :W2 @% È Ü>: (C6 .# :I( Y AD7I 0 .(C6 .# +( >05 Z Z Ys2 s*%d @d !%E4 # .# Y!%E4 “Adapun hadits 2 kulah, para ulama telah berbeda pendapat tentang keshohihan dan kedhoifannya, para ulama yang berpendapat haditsnya dhoif, maka tidak bisa menentang hadits (Air itu suci) karena hadits dhoif tidak bisa dijadikan hujjah. Namun berdasarkan pendapat yang menshohihkannya maka mereka berkata, dalam hal ini ada ‘Manthuq’ dan ‘maJum’. Manthuqnya adalah jika air telah mencapai 2 kulah tidak najis dan ini bukan atas keumumannya, karena disini dikecualikan jika najis merubah salah satu sifatnya maka ia menjadi najis berdasarkan Ijma. MaJumnya adalah bahwa air yang kurang dari 2 kulah akan menajiskannya. Ada yang mengatakan, (air sedikit tersebut) akan menjadi najis jika najis merubah salah satu sifatnya, karena manthuq hadits : “Air itu suci tidak ada yang menajiskannya” lebih didahulukan dari mafhum ini, yakni mafhumnya akan cocok dengan bentuk tunggal seperti ini yaitu ia benar berubah (menjadi najis) jika najis merubahnya”. Sebelum kita ringkaskan penjelasan Imam Ibnu Utsaimin, kami akan nukilkan penjelasan tentang ‘Manthuq’ dan ‘mafhum’ dari bukunya Syaikh Prof. Abdul Wahab “ilmu Ushul Fiqih” sebagai berikut : 0K $ >C (C $ g , $ c5% %5% 3 Y(I (I 8K ; P&2 O7J J £ 0 .# %E4 %E (I J O4D' j` 8" P&2 $ Y£ @% %Z (I ( lIq j` 8" ; £ P&2 %& Y0 .c k “Jika Nash Syar’I menunjukan atas suatu hukum pada kondisi terikat dengan sesuatu yakni ia disifati dengan suatu sifat atau disyaratkan dengan suatu syarat atau dibatasi dengan suatu batasan atau jumlah tertentu, maka hukum nash pada kondisi yang berkaitan dengan sesuatu yang terikat tadi dinamakan Manthuqnya Nash adapun hukum yang dinafikan dari sesuatu yang terikat tadi dinamakan Mafhum Mukholafah”. Dalam penjelasan Imam Ibnu Utsaimin manthuqnya adalah air itu tetap suci sedangkan mafhum dari hadits 2 kulah adalah air sedikit mengandung najis, maka dapat dikompromikan bahwa mafhum hadits 2 kulah dibawa kepada manthuq hadits air tetap suci yakni jika najis merubahnya, sehingga hal ini lebih sesuai. Sebagaimana menurut penelitian ilmiah sekarang bahwa air memiliki unsur-unsur yang apabila unsur tadi berubah karena ada suatu benda yang mencampurinya maka pada batasan tertentu air tersebut akan rusak, sehingga yang dijadikan adalah apakah benda yang mencampurinya merubah unsur air tersebut atau tidak, sehingga hukum dikaitkan dengan perubahan tersebut bukan ditinjau dari volemenya, sekalipun dapat kita katakan bahwa ketika ada najis yang jatuh kedalam air sedikit dan kita melihatnya akan menimbulkan rasa jijik, sehingga pendapat yang mengatakan makruhnya air sedikit yang kejatuhan najis untuk digunakan tidak terlalu jauh dari kebenaran sebagaimana perkataan Ibnu Rusydi dalam “Bidayatul Mujtahid” (1/25) : .>(Z& O7J V ; sZ $ W2 8+) $ %Z Y\+ ; >I, EG2$ YjJ _Z` a$ “dan pendapat yang lebih utama menurutku dan metode yang terbaik dalam mengkompromikan hadits-haditsnya adalah bahwa hadits Abu Huroiroh (tentang kencing di air yang diam-pent.) dan yang semakna dengannya (yang dianggap syafi’iyyah sebagai air sedikit-pent.) dihukumi makruh”.