Al Umm Kitab Thoharoh Bab 3 Air Diam

advertisement
Bab 3 Air Diam
.# +- +, $ )* $ ( '%
%& $ # !" (
)
* $ *1 ; !" 1 .# %: () 9 $ 8 7 6 45 23 0%1% ( !" /
A @ ( >? 8- = ( 0%1% & < # !" / 8& ()
M LJ M LJ J 41 0LJ +K J B9 (
%
J >I9
'H$ >G
:8( +E 2 BCD < S1 J P7G 'H$ " 9L $ GR 8+) < AD7 .# " : P7: (7J M O75 N
$ ($ J +J XI :W? ; " GR 8+) < AD7 .# " P7: (7J M O75 M %:* $ V. TU) 0:=
a# _Z` P7G :M ^* (
) ](/ AD $ AD \G6 >7I
Z X [$* :S1 YZ
e 8$ D7I
%&6 AD7 \G 9$ %Z f e %I( >I
cd' $ >I
cd' 8$ b
. $
AD7I
0 $ O7J >
0 " GR 8+) < AD7 .# " P7: (7J a6 M O75 M %:* % ; Yf
$ 1 ; GR 8+) < f e .= 4d' AD >7I
%&6 $ g(D2 (
) 8+) D
k f e 8$ .# *L fI # >:
8+) j`
%& X *L i? f YVBh
>:R D
k f e 8$ .# 8GC 3 # J%
E < lZ3 ( J 8 R R >D(
O7J %Z _5 %
b
` E, 93 f e (7J _5 n`
%Z Bd m2 (7J _5 = DGR ( >+-I [G(
o E f e *5 .# L25 +E 2 < f e 9$ Bd m2 9$ 8$ l*$ [2, VBh $ %
0 ; [13 ZBh $ ] ; >D( [ .# +E( pq >: # E, G < VE, B9&
; 0* 8GC < = %
8Gh %
a# _2$ VBh 04 f e 8$ ' j`
; [( r%2 \ %
GR f e 8$ ; \ .# %: 7 !" () B9&
%Z < B9&
w( v ; w( v u* r. 8 b
` ADD( X2 +t < >D( s01 $ 8(7 >7-: 4' v 3 >7-: 4' v .# GR D( j`
; \ .# u* r. ;
`Z G < B9 $ 8(7 ; `Z r $ y2$ % (4 +EEL/$ x f`
89
O7J >
0 8E = | 4' { BC6 8( z6 t$ [+Ji c(& >D( V`Z 8- =
!
; $ b
` ( +C $ ; \I f`
$ P7: (7J M O75 M %:* # P' :8( [45
.# '$ T9
%I
y0G# +J b
. ( r %
G %Z !
; G+C 3 %Z +C
r%}
$ 2 8 $ a# _2 r%} '$ _7h ( j`
7
G+C 3 !K ' R +( r
p%hH
f`
8€ G4x 89 b
. GR ( r # G < $ m2 [} P7 ; \% 8~
 `Z ; >7+I
Terjemahan :
Al Imam berkata, Air yang diam ada dua jenis yaitu, air yang tidak menajisinya
sesuatu apapun yang najis bercampur dengannya, kecuali jika warnanya atau baunya atau
rasanya ketika najis bercampur dengannya kemudian didapati merubah salah satu sifatnya,
maka ia najis baik air yang sedikit maupun yang banyak. Hal ini sama hukumnya jika najis
merubah salah satu sifat air baik itu air yang banyak maupun air yang sedikit.
Al Imam berkata, jenis yang kedua adalah air yang najis karena najis yang bercampur
dengannya (secara mutlak), sekalipun najis tersebut tidak merubah salah satu sifat air. Jika
ada yang berkata, ‘apa hujjah anda didalam membedakan air yang mutlak najis dan air yang
tidak mutlak najis ketika tidak berubah salah satu sifatnya?’ maka dijawab : ‘dalilnya adalah
As-Sunnah (Hadits) yaitu, akhbaronaa Tsiqoh dari Al Waliid bin Katsir dari Muhammad bin
‘Ibaad bin Ja’far dari Abdullah bin Abdullah bin Umar dari Bapaknya bahwa Nabi bersabda : “jika air telah mencapai 2 kulah tidak mengandung najis atau kotoran”.
Akhbaronaa Muslim dari Ibnu Juraij dengan sanad yang tidak bermasalah bagiku disebutkan
bahwa Rasulullah bersabda : “jika air telah mencapai 2 kulah tidak mengandung najis”.
Dan dalam Al Hadits : “dengan Kulah Hajar”. Ibnu Juraij berkata : ‘aku melihat kulah hajar
adalah 2.9 geriba atau 2 geriba lebih.
Al Imam berkata, Muslim berpendapat bahwa kulah tersebut ukurannya adalah
kurang lebih 2.5 qirbah, sehingga totalnya (2 kulah) sama dengan 5 qirbah, jadi dua kulah
batas minimalnya adalah 5 qirbah. Dalam sabda Rasulullah : “jika air telah mencapai 2
kulah tidak mengandung najis”. Terdapat dalil bahwa air yang kurang dari 2 kulah adalah air
yang mengandung kemungkinan najis.
Al Imam berkata, untuk kehati-hatian 1 kulah setara dengan 2.5 qirbah, sehingga jika
air telah mencapai 5 qirbah (2 kulah) tidak mengandung najis baik air yang mengalir atau
selainnya. Qirbahnya Hajar itu ukurannya besar, sehingga air yang tidak mengandung najis itu
ukurannya besar. Jika air yang kurang dari 5 qirbah bercampur dengan bangkai, maka air
tersebut berubah menjadi najis yang ada didalam wadah air tersebut, sehingga air tersebut
harus dibuang dan wadah airnya tercemar najis, tidak suci kecuali setelah dicuci terlebih
dahulu. Jika ada air yang kurang dari 5 qirbah lalu bercampur najis, namun najis tersebut
tidak jatuh ke wadah air, tapi jika disiramkan air ke najis tersebut hingga najis dan air yang
disiramkannya menjadi ukurannya 5 qirbah atau lebih maka airnya suci, demikian juga ketika
yang disiramkan kepada najis tersebut air sedikit kemudian air banyak, hingga akhirnya kedua
bagian air tesebut bercampur sampai jumlahnya lebih dari 5 qirbah, maka tidak menajiskanya
satu sama lain (dengan catatan) jumlah totalnya telah mencapai 5 qirbah. Kemudian jika
dipisahkan air tesebut, maka masing-masingnya tidak menjadi najis setelah sebelumnya suci,
kecuali jika ada najis lagi yang jatuh kepada masing-masing air yang sudah terpisah tersebut.
Jika ada najis yang jatuh kedalam sumur atau semisalnya, lalu bangkai tersebut diambil untuk
dikeluarkan dari dalam sumur atau semisalnya tadi menggunakan timba atau semisalnya,
maka bangkai dan airnya dibuang karena air yang didalam timba adalah air yang kurang dari
5 qirbah yang terpisah dari air sumur tersebut dan aku menyukai sekiranya timbanya juga
dicuci, namun jika tidak dicuci kemudian ia digunakan lagi untuk mengambil air disumur
tersebut, maka akan disucikan oleh air yang banyak yang ada didalam sumur dan timba
tersebut tidak bisa menajiskan air banyak didalam sumur.
Al Imam berkata, Najis semuanya sama, jika jatuh kedalam air yang kurang dari 5
qirbah maka air tersebut berubah menjadi najis. Jika ada bangkai ikan atau bangkai belalang
yang jatuh kedalam air yang sedikit tidak menyebabkan air menjadi najis, karena kedua
bangkai tersebut suci. Demikian juga binatang yang memiliki ruh baik yang hidup di air atau
yang tidak hidup di air, jika jatuh kedalam air yang menyebabkannya (mati) sehingga berubah
menjadi bangkai yang najis, maka air (yang kurang dari 5 qirbah) tadi menjadi najis, dengan
catatan binatang tersebut adalah hewan yang memiliki peredaran darah. Adapun jika ia
termasuk binatang yang tidak memiliki peredaran darah seperti lalat, kumbang atau
semisalnya, maka ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan, bahwa hewan tersebut
yang mati didalam air baik sedikit maupun banyak tidak menyebabkan air tersebut menjadi
najis. Jika ada yang bertanya, bukankah hewan tadi bangkai, maka bagaimana bisa engkau
mengatakan bahwa ia tidak menyebabkannya menjadi najis? Jawabannya : ‘air tidak berubah
keadaanya dengan kejatuhan binatang yang tidak memiliki peredaran darah tersebut. Jika ada
yang bertanya lagi, apa dalilmu? Jawab : ‘ada, sesungguhnya Rasulullah memerintahkan
ketika lalat jatuh kedalam air untuk membenamkannya demikian juga ketika jatuh kedalam
makanan dan lalat tersebut tentu akan mati karena dibenamkan, kemudian tidaklah
Rasulullah memerintahkan untuk membenamkanya kedalam air atau makanan itu
menjadikannya najis sekiranya ia mati didalamnya, karena perintah Beliau adalah sesuatu
yang disengaja untuk membunuhnya. Pendapat yang kedua adalah jika ia mati didalamnya
yang menajiskannya maka air atau makanan tersebut menjadi najis, karena ia bangkai.
Perintah Rasulullah untuk membenamkannya adalah dalam rangka mengambil penawar
racun yang ada padanya dan umumnya binatang tersebut tidak mati. Aku lebih menyukai
untuk berpendapat bahwa semua binatang yang haram dimakan yang jatuh kedalam air yang
belum sampai mati, sehingga bisa dibuang dari air, maka tidak menajiskannya, namun jika
mati didalam air, maka menajiskannya, seperti kumbang, kepik, lalat, kutu atau yang
semisalnya.
Ta’liqiy :
Sebagaimana yang telah berlalu bahwa madzhab Imam Syafi’I adalah
membedakan air menjadi dua jenis yaitu, air banyak dan air sedikit. Air sedikit jika
kejatuhan najis, maka ia menjadi najis secara mutlak dan air yang banyak jika
kejatuhan najis, maka dilihat jika najis tadi tidak merubah salah satu sifatnya, maka air
tidak najis, namun jika merubahnya maka air berubah menjadi najis. Dalil Imam Syafi’I
adalah sebuah hadits yang beliau riwayatkan dengan sanad dari seorang yang tsiqoh
dari Al Waliid bin Katsir dari Muhammad bin ‘Ibaad dari Abdullah bin Abdullah bin Umar
dari Bapaknya dari Nabi dengan lafadznya.
Kedudukan sanad : Imam Syafi’I adalah salah seorang ulama yang sering
menggunakan istilah meriwayatkan dari guru yang tidak disebut namanya
(dimubhamkan) namun disebut sebagai orang yang tsiqoh. Para ulama jarh wa ta’dil
berbeda pendapat dalam memberikan status untuk sanad seperti ini, barangkali
pendapat yang rojih adalah apa yang disampaikan oleh Al Hafidz ‘Iroqiy dalam kitab
Mustholahnya “Syaroh At Tabshiroh” (h. 112) dengan perkataanya :
ƒ I‚ % Ž † l2 ; b
† . $ŠŒ1$ ‹J b
`
8‚ -I
Š ‰ # ƒ ˆ'$ A
† I‡I" …
„ *„ (D J u
„ Xd
ƒ Vƒ &2 %Z : T9
‚ %I
. \† ‘% ; ‹U$ b
† . 
„ %I Y >‚ I9
TH$ : b
 „ %I  L„Z` ;
“Pendapat yang kedua adalah yang dinukil oleh Imam Ibnu Sholah dari pilihan sebagian
Muhaqiqin bahwa jika yang berkata tersebut adalah seorang yang alim, maka mencukupi
(untuk diterima rowi tersebut sebagai tsiqoh) karena kedudukannya dan orang-orang
yang setara dengan mereka dalam madzhabnya seperti ucapan Imam Malik, akhbaronii
Tsiqoh dan ucapan Imam Syafi’I pada tempatnya”.
Para ulama juga telah meneliti siapa perowi yang tidak disebutkan namanya tapi
diungkapkan oleh Imam Syafi’I sebagai rowi tsiqoh dan hasil dari penelitian ulama
seperti Imam Suyuthi dalam kitabnya “Tadribur Rowi” (1/244) : bahwa jika Imam
Syafi’I berkata akhbaronaa tsiqoh dari Al Waliid bin Katsir, maka yang dimaksud adalah
Abu Usamah Hamaad bin Usamah (w. 201 H) yang dinilai oleh Al Hafidz dalam “At
Taqriib” tsiqoh, tsabat terkadang melakukan tadlis. Apa yang dikatakan Imam Suyuthi
juga dikuatkan oleh Imam Nasa’i yang menulis hadits ini dalam “Sunan” (no. 52) juga
Imam Baihaqi dalam “Sunan” (no. 1276) dari jalan Abu Usamah dari Al Waliid dan
seterusnya. Al Waliid bin Katsir (w. 151 H) dikomentari oleh Al Hafidz dalam “At Taqriib”
:
*%x n$ O* Y niC “*J Y @5
“Jujur, pakar dalam sejarah peperangan, tertuduh dengan pemikiran Khowarij”.
Muhammad bin Ja’far (w. >113 H) Tabi’I kecil dinilai tsiqoh oleh Al Hafidz dalam “At
Taqriib”. Abdullah bin Abdullah bin Umar (w. 105 H) Tabi’I pertengahan yang tsiqoh
sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz dalam “At Taqriib”, sedangkan Bapaknya adalah
sahabat Mulia Abdullah bin Umar .
Kalau kita melihat sanadnya maka riwayat ini hasan, namun terdapat penguat untuk
hadits ini, diantaranya yang Imam Syafi’I sebutkan juga disini yaitu dari jalan
Akhbaronaa Muslim dari Ibnu Juraij. DR. Rifat Fauziy pentahqiq kitab Al Umm (2/11 cet.
Darul Wafa) berkata :
“Imam Ar Roofi’I dalam Syaroh Musnad berkata : ‘sanad yang Imam Syafi’I tidak masalah
untuk menyebutkannya adalah sebagaimana disebutkan ulama hadits yaitu, bahwa Ibnu
Juraij berkata, akhbaronii Muhammad bahwa Yahya bin Uqoil mengabarkannya bahwa
Yahya bin Ya’mar mengabarkan bahwa Nabi bersabda : “Al Hadits”. Muhammad
berkata, aku bertanya kepada Yahya bin ‘Uqoil, Apakah kulah Hajar? Jawabnya : ‘Kulah
Hajar’’. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnul Atsiir dalam Syaroh Musnad juga :
‘hadist ini mursal, karena Yahya bin Ya’mar adalah Tabi’I yang masyhur mengambil
riwayat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar , maka dimungkinkan bahwa hadits ini
adalah yang ia riwayatkan dari hadits yang masyhur yang ia mengambilnya dari Ibnu
Umar atau mungkin dari selainya, karena telah diriwayatkan hadits ini dari selain Ibnu
Umar”. [selesai nukilan]
Sanad yang disinggung Imam Rofi’I ditulis oleh Imam Baihaqi dalam “Sunan” (no.
1296) dan juga selainnya.
Dalam riwayat Imam Abu Dawud dalam “Sunan” (no. 63), Imam Tirmidzi dalam
“Sunan” (no. 67), Imam Nasa’I dalam “Sunan” (no. 64) dan selainnya bahwa hadist ini
adalah jawaban Nabi terhadap orang yang bertanya :
(7J M O75• Š ŠIŠ ˜
„ †LG
† f†—
†  ƒ ƒ%ƒ† †† – †+
‰ „ J† •P7: (7J M O75•  ”7
‚ %ƒ:*† 8Š ]:ƒ
«W
Š L†k
† ‰ 8„ + ›
Ž † PŽ Š „ (Ž D†”7‚ š †+
‰ Š Š Š.#„ » •P7:
“Rasulullah ditanya tentang air yang dijadikan tempat minum binatang ternak dan
binatang buas, lalu Nabi menjawab : “jika air telah mencapai 2 kulah tidak mengandung
kotoran”.
Hadits ini kesimpulannya shahih dengan tambahan penjelasan dari Imam Al Albani
dalam “Irwaul Gholiil” (hadits no. 23) sebagai berikut :
j›
››5 J ž(›5 0:= G
(
IE(L
P? *
j›
*
>G+x \ V*
ž(›5 " ; D( + 00 f‘ V# PEU XJ# TXIG
j%
NZ`
P? L2 >}Œ " W? ¥4
$ … ; V0*%
" : cd 8 + Z XI AD7I
£(d¤ $ . ( 58 • 56 ) " 00 Ÿ$
< Z X AD7 §7 .# " : +J J VG fXI: sBC l, J% 0 < ' (¦ (7
%Z " : " £(k7D
; ©? . 92 >J O7J \D : `Z sBC >¨6 ; jJ 1$ . " / G
s0Œ
V`ª  . ž(›5 Bh W? $ . o " W? &
“Diriwayatkan selain oleh 5 ahli hadits (yaitu, Imam Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I
dan Ibnu Majah) juga oleh Imam Darimi, Thohawi, Daruquthni, Al Hakim, Al Baihaqi, At
Thoyalisiy dengan sanad shahih dan telah dishahihkan oleh Imam Thohawi, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, An Nawawi dan Al Asqolaniy. Penilaian sebagian
ulama bahwa hadits ini cacat karena adanya Idhthirob (kegoncangan matan dan sanad)
adalah tertolak sebagaimana telah aku jelaskan dalam Shohih Abu Dawud (h. 56-58).
Adapun pengkhususan dua kulah dengan kulahnya Hajar sebagaimana yang dilakukan
oleh Mushonif (Manarus Sabil) : ‘karena datang dalam sebagian lafadz hadits’, maka aku
tidak menemukannya karena ia tidak terdapat dalam riwayat yang marfu’ kecuali dari
jalan Al Mughiroh bin Saqlab dengan sanad dari Ibnu Umar : “Jika air telah mencapai 2
kulah dari kulah Hajar tidak menajiskannya sesuatu apapun”. Dikeluarkan oleh Imam Ibnu
‘Adiy dalam biografi Al Mughiroh ini dan dikomentari : ‘tidak apa penguat untuk
haditsnya secara umumnya’. Al Hafidz dalam ‘At Talkhis’ berata : ‘ia Mungkarul Hadits’,
lalu menyebutkan bahwa hadits ini tidak shohih yakni maksudnya tambahan ini”.
Ukuran 2 kulah menurut ukuran modern adalah air sebanyak :
8,
˜L:$ >«X« X,* %*$ >D: >-+*$ nd 8,
D7I
“2 kulah menurut liter Mesir adalah 464 3/7 liter” (Syaikh ‘Athiyah Shoqor dalam fatwaq
Al Azhar).
Al Imam mengambil istidlal dari Mafhum hadits ini sebagaimana dalam redaksi hadits
yang lengkap ketika Rasulullah ditanya tentang binatang buas yang minum dalam
suatu telaga air, lalu Beliau menjawab bahwa bila air jika telah lebih dari 2 kulah
tidak mengandung najis, maka maka mafhumnya jika air kurang dari 2 kulah itu
mengandung najis, jika ada najis yang mencampurinya. Para pengikut beliau
rohimahulloh juga menguatkan lagi dengan hadits tentang jilatan anjing dimana
Rasulullah bersabda :
*¬ † \† LŽ :† ƒ 7‰ G
– CŽ (†
‰ —P«‚ ƒ ‰ „ (ƒ7‰ Š PŽ ‚  2† $Š – †'#„ O _
ƒ 7‰ &Š ‰ §Š Š† Š.#„
“Jika anjing menjilati bejana kalian, maka buang airnya, lalu dicuci sebanyak 7 kali”. (HR.
Muslim)
Hadits ini menunjukan bahwa air sedikit ketika ada najis yang mencampurinya menjadi
najis secara mutlak, karena Nabi langsung memerintahkan membuang air yang ada
didalam bejana yang dijilat Anjing tanpa melihat apakah najis merubah sifat airnya dan
tidak mungkin Rasulullah memerintahkan membuang airnya kecuali karena air
tersebut berubah najis, karena kalau tidak tentu ini adalah perbuatan Mubazir dan
Rasulullah jauh dari orang yang melakukan pemubaziran.
Kemudian termasuk kecerdasan Imam Syafi’I adalah beliau menjelaskan kepada
kita beberapa simulasi kejadian kaitannya antara air banyak dan air sedikit yang
bercampur dengan najis dengan beberapa kemungkinan kejadiannya sebagai berikut :
1. Ada suatu wadah yang berisi air kurang dari 2 kulah (air sedikit) maka jika najis
jatuh kepadanya menyebabkan air dan wadah tersebut menjadi najis, sehingga
airnya dibuang dan wadahnya dicuci.
2. Ada najis dalam suatu wadah air, kemudian dimasukan air kedalam wadah tersebut,
jika airnya banyak (> 2kulah) maka airnya tetap suci selama najis tidak merubah
sifatnya.
3. Ada najis dalam suatu wadah air, lalu dimasukan air sedikit kemudian dimasukan
lagi air, maka jika jumlah totalnya lebih dari 2 kulah, airnya tetap suci sebagaimana
point no. 2.
4. Air yang ada point 2 atau 3 kemudian diambil dengan ukuran air sedikit yang
dimasukan dalam wadah air lainnya misalnya, maka air tersebut suci, karena
sebelumnya telah menjadi suci dengan pencampuran air yang banyak.
5. Ada najis yang jatuh kedalam sumur (yang ukuran airnya > 2 kulah), maka ketika
diambil benda najis tersebut dengan timba misalnya, maka air yang ada didalam
timba yang untuk mengambil benda najis, menjadi terkontaminasi najis, begitu juga
timbanya. Maka airnya dibuang dan sebaiknya timbanya dicuci terlebih dahulu
sebelum digunakan. Namun seandainya tidak dicuci dulu, lalu dimasukan kedalam
sumur, maka air sumur yang banyak tidak terpengaruh dan timbanya menjadi suci
ketika dimasukan kedalam air sumur.
6. Jika ada bangkai ikan atau belalang yang masuk kedalam air sedikit, maka tidak
menyebabkan air menjadi najis, karena kedua bangkai tersebut adalah halal. Dalil
dalam masalah ini adalah hadist :
ƒ L„&Š ‰† ‚ †›­
Š :  †—
—$Š† Y r
ƒ %ƒ›
‰† 0ƒ †
† ‰Š :  †DD†(Ž +† ‰ —3ŠŠ .  †0† †  †DD†(Ž † †
Š [
Ž ”72 $‚
“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah, adapun dua bangkai adalah belalang
dan ikan, sedangkan dua darah adalah limpa dan jantung” ( HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Imam Nawawi dalam “Al Majmu” (2/560) berkata :
>›(›d
Z ® >
&
P7: (7J M O75 N
J J n* +J J `&Z n* OIE(L
`Z ` J (t `& '$ Ÿ›d
%I t U$ >J% t ª D: 8d) [7 ˜%  ; Z
)5 P7: (7J M O75 M %:* ® ˜% P&2 ; EI4
A(
%5 *%E¨ A«" ›5$ J
“Imam Baihaqi berkata : ‘diriwayatkan dari Ibnu Umar (secara Mauquf) dan
diriwayatkan darinya juga secara marfu’ dari Nabi , namun riwayat yang pertama
(yang mauquf) yang shahih dan ia memiliki hukum Marfu’’. aku (Imam Nawawi)
berkata : ‘kesimpulan yang dihasilkan adalah boleh beristidlal dengannya karena ia
marfu’ sebagaimana ucapan sahabat, “kami diperintahkan, kami dilarang dan
seterusnya”, menurut madzhab kami (syafi’iyah), ahli hadits dan mayoritas ulama
ushul dan fikih kalimat seperti ini memiliki hukum marfu’ kepada Rasulullah secara
jelas”.
7. Jika ada hewan yang hidup selain ikan dan belalang baik yang habitatnya di air
maupun yang di darat jika masuk air kemudian mati, sehingga menjadi bangkai,
maka jika air yang kemasukan bangkai tadi sedikit menjadikan airnya menjadi najis.
8. Namun jika hewan pada point 7 tadi adalah hewan yang tidak memiliki peredaran
darah, seperti lalat, nyamuk dan selainnya yang jatuh kedalam air dan menjadi
bangkai, maka ada dua pendapat : pendapat pertama mengatakan, tidak
menyebabkan najis sekalipun masuk kedalam air yang sedikit dalilnya adalah sabda
Beliau :
° †0 „ † ± O† ° Š4/  (Ž 2† †1†  2† $Š O ”=„Š Y ƒ 2Ž † ‰ (†
‰ —P«‚ Y ƒ ”7‚ ƒ G
Ž + CŽ (†7‰ Š Y PŽ ‚  2† $Š – †'#„ O f
ƒ †`¯ \† Š † Š.#„
“Jika jatuh lalat dalam salah satu bejana kalian, maka benamkanlah seluruhnya, lalu
buanglah, karena salah satu sayapnya ada obat dan satu sayapnya lagi mengandung
penyakit”. (HR. Bukhori)
Sisi pendalilannya adalah seandainya binatang tersebut menyebabkan air menjadi
najis tentu Rasulullah tidak akan memerintahkan untuk membenamkannya.
Pendapat yang kedua adalah mengatakan najis, karena hadits ini hanya
menunjukan untuk mengambil obat dari binatang tersebut dengan
ditenggelamkankannya, kemudian binatang tadi dibuang dan umumnya binatang
tadi belum sampai mati sehingga tidak disebut bangkai. Kemudian setelah
menyebutkan dua pendapat ini, Imam Syafi’I condong kepada pendapat yang
kedua, yakni jika ada binatang yang haram dimakan jatuh kedalam air dan belum
sempat menjadi bangkai kemudian dibuang binatang tadi maka airnya tetap suci,
namun jika binatang tadi sampai mati sehingga menjadi bangkai, maka airnya
menjadi najis.
Barangkali pendapat yang rojih adalah pendapat yang pertama dan ini merupakan
pendapat mayoritas pengikut Imam Syafi’I sebagaimana dinukil Imam Nawawi
dalam “Al Majmu” (1/129) :
>4&
D ; ji
f%$ P(7: žD4
%$ \ *%E+€ ››5 `&Z ' +E ž(›d
`Z >:
›1* ›L
; T
\I ; O7" `/ yBh ;&
D ; :I d' žD4
%$ L25
>:
± % ; ˜¨ @ a# >J¨ _G' 8 +7
*%E¨ % %Z s*E
f%d
(
# X ( P7J$ y%³ G4x f`
r%² G4 P7
8Z$ !%J “/ ; *` a% 2$ # b
` $ %¨ ˜¨ fD ; U$ *` ` a% 2$
“Yang rojih bahwa hal tersebut tidak menajiskan air, demikian yang shohih memurut
mayoritas ulama, hal ini dipastikan juga oleh Imam Abul Fatah Saliim bin Ayyub Ar
Rooziy dalam kitabnya “Al Kifaayah” dan temannya Imam Abul Fath Nashr Al
Maqdisy dalam kitabnya “Al Kaafiy” dan selain keduanya. Al Muhaamiliy dalam “Al
Muqni’” dan Ar Ruyaani dalam “Al Bahr” berpendapat syadz dengan merojihkan
bahwa hal tersebut najis, namun (kata Imam Nawawi) pendapatnya tidak ada apaapanya dan yang benar adalah suci, sebagian ulama menisbahkan bahwa Imam Syafi’I
mematahkan adanya ijma dalam pendapatnya yang lain tentang najisnya. Imam Ibnul
Mundzir berkata dalam kitabnya “Al Asyrof” : ‘berpendapat umumnya kebanyakan
ulama bahwa tidak merusak air dengan matinya lalat, kutu dan semisalnya (yang
jatuh kedalam air) dan aku tidak mengetahui adanya perselisihan ulama dalam hal ini
kecuali dari salah satu pendapat Imam Syafi’I’. demikian juga dalam kitabnya yang
lain “Al Ijma” Imam Ibnu Mundzir berkata : ‘para ulama sepakat bahwa air tidak
menjadi najis karena hal tersebut, kecuali yang dinukil dari salah satu pendapat Imam
Syafi’I’”.
Namun kemudian Imam Nawawi dalam kalimat berikutnya membela bahwa Imam
Syafi’I tidak bersendirian dalam mematahkan adanya ijma, Imam Nawawi berkata :
+K J ›5 … 7I' ( fI
r%² ' B9 Ÿ$ ´) J VBh Ÿx 8I' ˜¨ @µ < AD
# `Z *&
“Imam Al Khothobi dan selainnya telah menukil dari Yahya bin Abi Katsir bahwa
beliau berpendapat najisnya air dengan matinya Kalajengking yang jatuh ke air dan
juga sebagian ulama madzab kami menukil dari Muhammad ibnul Munkadir (yang
serupa dengannya), dua imam ini adalah Imamnya Tabi’in (sehingga) Imam Syafi’I
(tidak sendirian) dalam mematahkan ijma yang dinukil ini”.
Pentahqiq kitab Al Majmu karya Imam Nawawi menambahkan :
¶*L J D4&
2/ ; Bd
P:I
%$ 7I' VBh B: J D
D ; S ‘I
7I'
J*. >kG' V
“Al Qodhi Ibnu Kaji menukil dalam kitabnya “At Tajriid” dari Imam Ibnu Siriin dan
selainnya, begitu juga Imam Abul Qosim Ash Shobromi dalam “Syarah kifayah”
menukil dari Imam Ibnul Mubarok dalam naskah Al Adroi’iy”.
Pembelaan yang dilakukan oleh Imam Nawawi terhadap Imam Syafi’I cukup
beralasan karena agar hal ini tidak dijadikan peluang oleh orang-orang yang
memiliki penyakit di hatinya dalam menyerang para Imamnya kaum Muslimin,
dimana seperti yang kita lihat dari perkataannya Imam Ibnul Mundzir bahwa yang
menyelisihi ijma ini adalah salah satu pendapatnya Imam Syafi’I sehingga
memberikan kesan bahwa Imam Syafi’I syadz (melakukan hal yang ganjil) padahal
tidak hanya Beliau saja yang dianggap tidak sesuai dengan ijma ini, namun ulama
yang lebih senior dari Imam Syafi’I juga berpendapat yang sama seperti Imam
Yahya bin Abi Katsiir, Imam Ibnul Munkadir, Imam Ibnu Siriin dan Imam Ibnul
Mubarok sebagaimana nukilan diatas. Sehingga adanya ijma seperti yang diklaim
oleh Imam Ibnul Mundzir tidak mutlak seperti itu dan juga untuk menjelaskan
bahwa Imam Syafi’I tidak sengaja dalam menyelisihi klaim ijma ini, karena terdapat
hukuman yang berat menurut ulama bagi orang yang menyelisihi ijma kaum
Muslimin. Allah berfirman :
P† —E† 1†  7 d
Ž 'ƒ† O”
%† 6† †  ­
%† 'ƒ A
† „ ~Ž +ƒ ‰ 8„ („L:† † (Ž hŠ \Ž L„—D†† n†Eƒ ‰ ƒ Š † —(L†6† †  Ž † Ž  Š %ƒ:—
l„  †ƒ Ž † †
¸Bd
 † r
Ž · †:†
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An Nisaa’ (4) : 115).
Imam Ibnu Hazm dalam “Al Ahkaam” (4/495-496) berkata :
Y(7J %¨$ 1 j$ Y(7J %¨$ +( PEJL6 º žd Y(J%
/$ A~ 8(L: >4
¹ O7J J%D :%
.JL6 ¶6 i%» j`
PE7(L: '
“Para ulama berkata : ‘diancam kepada mereka yang menyelisihi jalannya kaum
Mukminin dengan ancaman yang sangat keras, maka benarlah kewajiban untuk
mengikuti sesuatu yang kaum Mukminin telah sepakat diatasnya dari apapun ijma
yang terjadi, karena ini adalah jalannya mereka yang tidak boleh untuk meninggalkan
mengikutinya”.
Imam Ibnu Katsir dalam “Tafsirnya” ketika mengomentari penafsiran Imam Syafi’I
tentang ayat ini berkata :
jD
Y>}&
>± V`Z D4
¹ !ƒ›
Ž 6† >2 ˜¨¼ % O7J D2 ; YM ^* Y
(7J %J j`
Z%$ r,LD: G2$ %Z .8%
&4
“apa yang ditafsirkan oleh Imam Syafi’I rohimahulloh berhujjah dengan ayat yang
mulia ini, bahwa Ijma adalah dalil yang diharamkan untuk menyelisihinya. Setelah
(Imam Ibnu Katsir) meriwayatkanya dan berpikir lama (berkata), bahwa hal ini adalah
menunjukan bagusnya dan cerdasnya Imam Syafi’I dalam mengambil istimbat dalam
ayat ini”.
Kesimpulannya : yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama bahwa air tesebut
tidak menjadi najis karena bangkai bintang yang tidak memiliki peredaran darah
yang bercampur dengannya.
@J (\(
) >%, _, ' GR ½
.# +? 8~ +? 8~ 7 B
@*. ()
_7&
# Z, E7 ˜LG
f
*~: Z, >0 8 @J :%¾ b
` Z, …-? _€ >('d
b
` 3‘%6 1$ o ; ¶%G
+h ¶%G À: \‘ .# % %Z (\(
) ¿x
½7Dµ ; f6 EG4' >
G < ; ½kD $ Pk6 $ ld %
%Z I* ¶%G
; 9$ G' @J < ; J I @J %
b
` () ¿ $ L7 %& $ # G X ª
9 # ; 0%1% !? .# VBh $ L& [q @
\‘% j$ %: (
>
E, J ( !? *5 .= P- / ( 1% J !? Bd m2 9 # u¿ $ E <
u¿ < # E, `&Z .= ( !" 1% 9&( ( A
\LD ( %& $ VBh (7J _d $ b
.
/
Terjemahan :
Al Imam berkata, tahi burung baik yang boleh dimakan dagingnya maupun yang tidak
boleh dimakan, jika bercampur dengan air (yang sedikit) akan menajiskannya karena ia
mengkontaminasi air.
Imam Ar Robii’ berkata, keringatnya orang Nashroni, orang junub dan wanita haidh
itu suci, demikian juga orang Majusi. Sedangkan keringatnya binatang itu suci, demikian juga
air liur binatang tunggangan dan bintang buas semuanya suci kecuali anjing dan Babi, Imam
Robii’ berkata ini adalah ucapannya Imam Syafi’I dan jika seseorang yang sedang menggosok
giginya dengan siwak lalu membenamkan siwaknya kedalam air kemudian mengeluarkannya
dan airnya digunakan untuk berwudhu (tidak masalah) , karena apa yang ada di siwaknya
adalah air liurnya dan seandainya ia meludah, berdahak atau beringus didalam air maka tidak
menajiskannya. Begitu juga hewan yang minum di air maka air liurnya bercampur dengannya,
maka tidak menajiskannya kecuali kalau hewan tersebut adalah Anjing atau Babi.
Al Imam berkata, demikian juga keringat seandainya menetes ke air maka tidak
menajiskannya, karena keringat manusia dan hewan tidak najis sama saja keluar dari
manapun baik dari bawah ketiaknya atau selainnya. Jika najis terdapat dalam air, sekalipun
airnya banyak tidak dapat mensucikannya selamanya dengan sesuatu yang dapat membuatnya
bersih sekalipun airnya banyak sampai najis tersebut larut tidak lagi ada bekasnya, maka jika
najis tadi telah larut hilang, suci airnya. Demikian juga air yang disiramkan kepadanya atau
air yang dialirkan kepadanya yang mengikutinya lalu airnya menjadi banyak dan tidak
didapati lagi najis, jika demikian airnya menjadi suci sekalipun tidak ada yang mensucikannya.
Ta’liqiy :
Imam Syafi’I berpendapat bahwa tahi burung adalah najis seperti najisnya
kotoran manusia sehingga, ketika tahi burung tadi bercampur dengan air sedikit yang
kurang dari 2 kulah menyebabkannya menjadi najis. Namun telah datang sebuah hadits
dari Anas bin Malik beliau berkata :
‰ $Š† Y u
¬ ŠI7 „ • P7: (7J M O75 • ÃOL„—
Pƒ Zƒ † † 3ŠŠ Y >Š †+† ‰ ƒ%† D†1Ž Š Y >Š †Ž† Jƒ Ž $Š 8¬ &‰ Jƒ Ž  Â
Á †'$‚ !†  Š
†E'„†L
‰$Š† †E
†%Ž$Š Ž  %ƒ† Ž †
“Sekelompok orang dari ‘Uklin atau ‘Urainah datang ke Madinah untuk berobat, maka Nabi
memerintahkan mereka untuk minum air kencing dan susu unta” (Muttafaqun ‘Alaih).
Syaikh Sayyid Sabiq dalam “Fiqhus Sunnah” (1/28) berkata :
.(7J ÂI P›7
%3 ZBh .8 % s*E, O7J W? `Z 0
P7
8Z$ ¶6 ; : 8(
# [L96 £-dx .# Y_d < !% b]
3 Ä `Z $ PJi :*` .Å*E, O7J 8(
0 YB&' Bh 92 } PED0$ ; 8 %$ +D: YPE%:$ ; PC
* \(
sH7
›dD: Y85 &GÇ Y+? 8~ %(2 8 i % s*E, ZÆ
:T%
8I7
ž7d 8(
# E(J % 8LI X YsH
85 (UDI j`
P&? J 8' J/ P&2 >:
Y>(75
.b
`
X(
0 >:
A7-I7
R < Y+EJ
“Hadits ini menunjukan sucinya kencing unta dan selainnya dari binatang yang boleh
dimakan dagingnya dikiaskan dengan hal ini. Imam Ibnul Mundzir berkata : ‘orang yang
mengatakan bahwa hadits ini khusus kepada mereka maka tidak benar, yang mana untuk
menentukan suatu perbuatan itu kekhususan perlu kepada dalil’. Lalu katanya lagi :
‘tentang diamnya ulama terhadap jual beli tahi kambing di pasar dan digunakannya
kencing unta untuk pengobatan baik pada zaman dahulu sampai sekarang tanpa adanya
pengingkaran, menunjukan sucinya hal tersebut’. Imam Syaukani berkata : ‘yang nampak
sucinya kencing dan kotoran hewan yang boleh dimakan dagingnya, berpegang dengan
hukum asal dan Baroah ashliyah (hukum semula). Najis adalah hukum syar’I yang
memindahkan suatu hukum dari asalnya, maka tidak diterima perkataan orang yang
menajiskan sesuatu kecuali dengan dalil yang dapat memindahkan hukum asal tersebut
dan kami tidak mendapati orang-orang yang mengatakan najisnya (kencing dan kotoran
hewan yang boleh dimakan) dalil dalam menajiskannya’”.
Imam Nawawi dalam “Roudhotut Thoolibin” (1/5) berkata :
%Z T
V*D ›5$ jk5È (: Ÿ$ ®% 2$ %Z Z, «* +? 8~ % $ 1 ^$ b
_Z`
“kami memiliki pendapat lain bahwa kencing dan kotoran binatang yang boleh dimakan
itu keduanya suci, ini adalah salah satu pendapat Imam Abu Sa’id Al Ishtikhoriy dari
madzhab kami (Syafi’iyah) dan ini juga pilihan Imam Ar Ruuyaani, begitu juga ini adalah
madzhabnya Malik dan Ahmad”.
Imam Ar Robii’ bin Sulaiman salah satu murid terbaiknya Imam Syafi’I juga salah
satu perowi kitab Al Umm ini menukil pendapat gurunya bahwa keringat orang Nashroni
(orang Kafir) itu suci, begitu juga orang Majusi (orang Musyrik). Sebagian ulama
mengatakan bahwa keringatnya orang Kafir dan Musyrik itu najis. Imam Ibnu Hazm
dalam “Al Muhalla” (masalah no. 134) berkata :
\ƒ Ž —
† PŽ Eƒ Ž  @
ƒ † † ‰ b
† `Š Š † Yƒ7̄‚ Á „ '† • PŽ Z „ (Ž hŠ † A
† („†D& ‰ • – †G
† „ †1
Ž  *„ ”4&‚ ‰ f
ƒ †
‚†
“Air liurnya orang Kafir baik dari kalangan laki-laki dan wanita –baik ahlu kitab atau
selainnya- adalah najis semuanya, demikian juga keringat dan air matanya”.
Imam Syaukani dalam “Nailul Author” menambahkan daftar ulama yang sependapat
dengan hal ini dan dalil mereka, kata beliau :
 %Ž IŠ „ b
† .Š Ž—%Š † ¬ (Ž J† ƒ „ '† †  Š&
‰ ”# : %‚
ŠIŠ b
 †† „ 5
 —
† P„ : ŠI
‰† j0†E
‰ Ž J† „ ›
Ž L†
‰  Vƒ Š&2† † „ Z ”Æ
8„ ZŽ $Š …
ƒ Ž †
{
Á † '† Š %‚„ Ž +ƒ ‰ †+—'# } : OŠ
†6†
“sebagian ahlu dhohir dan dihikayatkan dalam “Al Bahr”juga dari Al Haadiy, Al Qoosim,
An Naashir dan Imam Malik mereka berpendapat, bahwa orang Kafir najis badannya,
berdalil dengan firman Allah : “Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis”. (QS.
At Taubah (9) : 28)”.
Imam Mawardiy berkata dalam “Al Hawi Kabir” (1/120-121) :
”$Š !Á %‚7Ž † † . [ : s † -†+
‰ ] PŽ &
‚ Š 8Ë 2 f
† †D& ‰ %ƒ6‚$ † `”
!ƒ †,Š † r
ƒ †L(”
Pƒ &‚ Š ”82 $‚ !† %Ž (†
‰ : OŠ
†6† ƒ ‚%Ž Š †7‚ (
0† †
f
† „ /† {P† ”7:† †  (Ž 7Š J† ƒ ”7
O”75
† } —L„—
”$Š j
† „ *ƒ † .  ­7‚ b
† .Š s *† †E,Š OŠ7J† ”† Š PŽ E„ („'†$Š † PŽ E„ Z †( † PŽ E„ Ž3Š„ ˜
Á %ƒd
Ž † PŽ Eƒ † †,Š
Š Š Ž Š {P† ”7:† †  (Ž 7Š J† ƒ ”7
O”75
† }  ”7
Š %ƒ:*† ”3Š
† > —('„†d
Ž '† 1† Ž  3Š—‘%† 6† ƒ Ž J† ƒ ”7
† ‘
 *† † +Ž Jƒ ”$Š j
† „ *ƒ † > —(„«Š† s 0† †Œ† Ž  ° †
OŠ
Ž $Š Š Š&
Š ¸G
„ '† Š Š %Ž Š† Y  „G
Ž +† ‰  > †*„ †: OŠ7J† Vƒ † :† $Š A
† 2 ¬ Š«$Š † Ž >Š † †+«‚ ½
Š †*† † V  „G
Ž † „ %ƒ0ƒ  A
†  „ Ž +ƒ 7‰  ‚ .Š 3‰ †
Š Š&
Š ¸Z Š, Š Š † ƒ †ƒ V  IŠ D†Ž ƒ – %ƒG„ Š Š %Ž Š† Y  †(JŽ 3Š
‰ „ („Ž 6†  ƒ ­«~† ƒ Š
0† ŠIDJŽ 
”3Š
† Y ƒ Ž  V  „G
Ž † B
ƒ E„ ‰ 6†  „ *„ %ƒ3‚
‰
. ¸G
„ '† Š Š † ƒ EŠ ƒ †' IŠ D†Ž ƒ ƒ G
Ž 2ƒ
“Dalil pendapat kami adalah Firman Allah : “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu” (QS.
Al Maidah (5) : 5)”. Diketahui bahwa makanan mereka (orang Kafir) dibuat oleh tangantangan dan air mereka yang diletakkan dalam bejana mereka, maka hal ini menunjukan
atas kesucian semua hal tersebut. Telah diriwayatkan bahwa Nabi minum dari tempat
airnya penyembah berhala. Diriwayatkan bahwa Umar berwudhu dari bejananya orang
Nashroni. Nabi juga pernah mengijinkan kaum Musyrikin untuk masuk masjid dan
mengikat Tsumaamah bin Atsaan ketika ditawan dalam sebuah peperangan di masjid,
sekiranya orang Kafir najis tentu lebih utama untuk mensucikan masjid dari badan orang
kafir dan keyakinan (mereka yang najis/kotor) tidak otomatis badannya menjadi najis,
seandainya jeleknya keyakinan konsekuensinya menajiskan sesuatu yang suci maka tentu
bagusnya keyakinan akan mensucikan sesuatu yang najis”. [selesai nukilan]
Maksud kalimat terakhir dalam nukilan Imam Mawardi ini adalah sekiranya keyakinan
berkonsekuensi badan atau apapun yang berasal dari orang kafir menjadi najis,
tentunya berarti kebalikannya kaum Mukminin yang keyakinannya bagus, badan atau
sesuatu yang keluar dari mereka suci semuanya dan pada kenyataannya tidak
demikian, buktinya air kencing dan kotorannya kaum Mukminin tetap najis. Sehingga
pendapat yang mengatakan orang Kafir badannya najis tidak tepat.
Demikian juga keringat dan air liurnya orang yang junub dan wanita haidh.
Tentang sucinya orang yang junub ditegaskan oleh riwayat kisah Abu Huroiroh :
8Š G
† D†h‰ Š _
† Z† `Š Š Y ƒ Ž  [
ƒ G
Ž †k
† 'ŽŠ Y _
Á ƒ1ƒ %† ZŽ † > †+† ‰ l„ „,Š …
„ Ž † O ƒ (†I Š • P7: (7J M O75 • —OL„—
”$Š
. s *† †E,Š „ (Ž hŠ OŠ7J† †'$Š† b
† G
† †1$‚ ‰ $Š [
ƒ ZŽ „ &Š Š Y Ļƒ1ƒ [
ƒ Ž ‚ Š Š . « sŠ † Ž† Zƒ †$Š † [
† Ž ‚ † Ž$Š » Š ŠIŠ · †1 —P«‚ Y
«
ƒ ƒ Ž † Š †  ~Ž +ƒ ‰ ”#„ Y  ”7
Š †›LŽ :ƒ » Š ŠIŠ
“Bahwa Nabi bertemu dengannya di jalan Madinah dalam keadaan Abu Huroiroh junub,
lalu aku berpaling darinya dan pulang ke rumah untuk mandi, lalu ketika aku mendatanginya,
Beliau bersabda : “dimana saja engkau wahai Abu Huroiroh?” aku menjawab, aku sedang
junub dan aku enggan duduk-duduk bersama engkau dalam keadaan tidak suci. Maka Nabi bersabda : “Maha Suci Allah! Sesungguhnya seorang Mukmin tidak najis” (Muttafaqun
‘Alaihi).
Kisah senada juga dialami Khudzaifah Ibnul Yaman sebagaimana dalam riwayat
jamaah kecuali Imam Bukhori. Adapun yang menguatkan bahwa wanita haidh
badannya suci adalah hadits riwayat Imam Muslim dari Anas ia berkata :
”
# Î Ž /† ”8‚ %ƒ†5
Ž P† ”7:† †  (Ž 7Š J† ƒ ”7
O”75
† ÃL„—
Š ŠIŠ Y †Z%‚7 †~ƒ PŽ Š PŽ E„ ( s‚ $ŠŽ +† ‰ [
Ž ‘
† †2 Š.# [
Ž '†Š 0† %ƒE(†
‰ ”$Š
u
† Š&
“Bahwa orang Yahudi jika wanitanya haidh tidak makan bersama mereka, maka Nabi bersabda : “lakukanlah apapun bersama mereka (para wanita haidh) kecuali nikah
(berhubungan badan)”.
Bahkan dalam hadist Aisyah lebih tegas lagi menunjukan bahwa badan mereka suci,
karena Nabi pernah bersentuhan dengan Aisyah pada saat Ibu kita ini sedang
haidh, kata beliau :
…
Á -†2 †'$Š† „'ƒ / †L(ƒŠ Y *ƒ Œ„ —63ŠŠ „'ƒ ƒ 3‰ † P† ”7:† †  (Ž 7Š J† ƒ ”7
O”75
†  ”7
‚ %ƒ:*† Š Š
“adalah Rasulullah memerintahkanku untuk memakai sarung lalu menyentuhku dalam
keadaan aku sedang haidh” (Muttafaqun ‘Alaih).
Dalam riwayat Imam Muslim, Ibu kita Aisyah juga menceritakan :
—O \„ ‘
 %Ž † OŠ7J† Vƒ Š \ƒ U
† (†Š •P7: (7J M O75• —OL„—
ƒ ‚„ †'$‚ —P«‚ …
Á -†2 †'$Š† f
ƒ † /Ž $Š [
ƒ Ž ‚
“aku sedang minum dan pada waktu itu aku haidh, lalu aku memberikan gelasku kepada Nabi
Beliau meletakan mulutnya untuk minum dari bagian gelas yang aku minum dengan
mulutku”.
Adapun sucinya keringat dan air liur binatang tunggangan telah datang dari
hadits ‘Amr bin Khorijah , beliau berkata :
4DŠ OŠ7J† 8‚ (–G† †Eƒ†
‚† Y  D7Š 2 †* OŠ7J† %† Zƒ † Y O¸+ „ P† ”7:† †  (Ž 7Š J† ƒ ”7
O”75
† ÃL„—
†L†Š †
“Nabi pernah berkutbah dihadapan kami waktu di Mina dalam keadaan Beliau naik
diatas tunggangannya, kemudian air liur (untanya) menetes diatas pundakku” (HR. Ahmad
dan Tirmidizi dishahihkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam Al Albani).
Imam Shon’ani dalam “Subulus Salam” ketika mensyarah hadits ini berkata :
8„ 5
Ž 3Š7‰  Ï †(† W
 ›
† ‰ ƒ ‰ ` Š Y 8‚ 5
Ž 3Š
‰ ¸UŽ$Š %† Zƒ † Y ˜
Á †+1Ž # %† Zƒ † : 8Š ( Y Á Z Š, ƒ +ƒ ›
Ž Š 8‚ Š ~Ž ƒ † f
† †
‚ ”$Š OŠ7J† 8Ï (
0† W
‚ ›
† ‰†
“Hadits ini dalil bahwa air liur binatang yang boleh dimakan dagingnya itu suci,
dikatakan bahwa hal ini adalah ijma dan ini juga hukum asal, maka disebutkan hadits ini
menunjukan hukum asal”.
Namun perkataan Imam Ar Robii’ dan Imam Syafi’I yang memutlakan sucinya
keringat dan air liur hewan tunggangan dan binatang buas para ulama masih berbeda
pendapat, karena disana ada hadits yang menunjukan najisnya air liur binatang buas,
yaitu hadits 2 kulah yang terdahulu dimana lafadznya adalah :
“Rasulullah ditanya tentang air yang dijadikan tempat minum binatang ternak dan
binatang buas, lalu Nabi menjawab : “jika air telah mencapai 2 kulah tidak mengandung
kotoran”.
Maka mafhum hadits ini menunjukan jika air kurang dari 2 kulah, lalu datang binatang
buas yang minum dari air tersebut itu mengandung kotoran dan yang dimaksud tentu
karena air liurnya najis, jika tidak tentu Nabi tidak perlu memberikan syarat 2 kulah.
Imam Ibnu Turkamaaniy dalam “Jauharul Naqiy” (1/250) :
g
`| & < b
. %
.# ˜LG
*~: >:R O7J `Z ZÐ
“yang nampak hadits ini menunjukan najisnya air liur binatang buas, yang mana jika
tidak seperti itu tentu tidak perlu adanya syarat (2 kulah) ini” (dinukil dari Tamamul
minnah karya Imam Al Albani).
Barangkali Imam Syafi’I dan yang sepakat dengan beliau berdalil dengan :
1. Hadits Jabir , beliau berkata :
[
 7Š U
† ‰ $Š †+„† PŽ † '† »: Š Š zƒ+ƒ ›
ƒ ‰ [
 7Š U
† ‰ $Š †+„ 3‚—‘%† D†'†$Š 8Š ]:ƒ •P7: (7J M O75•  ”7
Š %ƒ:*† ”$Š
«˜
ƒ †LG
“Bahwa Rasulullah ditanya, apakah kami boleh berwudhu dengan sisa (minumnya)
Keledai? Nabi menjawab : “ya dan begitu juga sisa bintang buas (lainnya)”.
Kedudukan sanad : hadits ini diriwayatkan oleh Imam Syafi’I dalam “Al Musnad”
(no. 8), Imam Baihaqi dalam “Sunan” (no. 1225) dan Imam Daruquthni dalam
“Sunan” (no. 181) dari jalan Ibrohim Ibnu Abi Habiibah, kemudian Imam Baihaqi
dalam “Sunan” (no. 1222 & 1223) dari jalan Ibrohim bin Abi Yahya, semuanya dari
jalan Dawud bin Hushoin dari Bapaknya dari Jabir : Al Hadits.
Imam Ibnu ‘Abdil Hadi dalam “Taftihut Tahqiq” (no. 56) berkata :
W? `Z n* D* >L'Ò _Ñ YrL«È W2 Lƒ ² rI9
J p†2 A
Ž d
† ?
‚ 00 :—L2 :X1* J
. · (
:´) . c
Á (‘ :Ã-G—
B VJ :—j*kL
Y>L(L2 Ÿ$ 8(JÓ# P(Z#
¶Á D [%Z] :
ƒ ‰ ‚ *† †
Y A ´) b
”` Y´) Ÿ$ P(Z# :T”9
“Imam Ibnu Hibban berkata : ‘Dawud ibnul Hushoin meriwayatkan dari rowi tsiqot
sesuatu yang tidak menyerupai hadits yang kokoh yang wajib untuk menjauhi
riwayatnya’. Telah diriwayatkan hadits ini dari dua orang perowi : yang pertama
Ibrohim bin Ismail bin Abi Habiibah, Imam Bukhori menilainya, ia memiliki haditshadits mungkar. Imam Nasa’I menilainya, ‘dhoif’. Imam Yahya mengatakan, ‘tidak ada
apa-apanya’. Yang kedua adalah Ibrohim bin Abi Yahya, telah dikatakan sebagai
pendusta oleh Imam Malik dan Imam Yahya bin Ma’in. Imam Daruquthni
mengomentarinya, ‘Matruk’.
Sedangkan dalam kitab “Taftihut Tahqiq” (masalah no. 10) karya Imam Adz-Dzahabi
berkata :
. %EÒ V%$ Y B 00 . (c(‘) %Z Y ´) Ÿ$ P(Z# 6 • V Y P(Z# %Z • >L(L2 Ÿ$ “Ibnu Abi Habiibah –yaitu Ibrohim- rowi yang lemah dikuatkan oleh Ibrohim bin Abi
Yahya ia perowi dhoif. Dawud memiliki hadits yang mungkar, sedangkan Bapaknya
Majhul”.
Kesimpulannya : sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dalam “Al Majmu”
(1/173) :
W? `Z r. Ô +ª SD) W? 8Z$ J 1 4(‘ A+(Z c(‘ W? `Z
›5$ %II" V` < (7J [EL PEU V+DJ ²* f›5 _D ; *%E '%&
4(‘
s0D Ÿ$ W2 +DJ 0UDJ >%I6 8 (7J +D
“ini adalah hadits dhoif karena dua orang Ibrohim (perowi) hadits ini adalah sangat
lemah sekali menurut ulama ahli hadits tidak dapat dijadikan hujjah, hanyalah
disebutkan disini, sekalipun ia dhoif karena masyhurnya dalam kitab Madzhab dan
kemungkinan mereka berpegang dengan hadits ini, maka aku menjelaskanya. Imam
Syafi’I dan Muhaqiqin madzhab kami tidak berpegang dengan hadits ini, namun
sekedar penguat saja, mereka berpegang dengan hadits Abu Qotadah”. [selesai
nukilan].
Yang dimaksud dengan hadits Abu Qotadah adalah hadits tentang air liurnya kucing
yang akan datang Insya Allah.
2. Hadits Ibnu Umar secara mauquf, bahwa beliau :
s †I‰ † † Ž J ¬ †1 8¬ 1ƒ *† OŠ7J† Ã+† Š X
‹ (Ž Š *† †GŠ V *„ Š4:Ž $Š …
„ Ž † O •P7: (7J M O75•  ”7
‚ %ƒ:*† 
† † †
•P7: (7J M O75• ÃOL„—
ƒ Š Š ŠIŠ b
† 6†I‰ † O >Š 7Š (Ž ”7
˜
ƒ †LG
[
 C† Š† $Š s †I‰ +† ‰ _
† 2 †5 † ƒ +† Jƒ Š ŠIŠ ƒ Š
« *Á %ƒE,Š † f
Á †/† O† I † † †
Š† †E'„%‚ƒ O [
Ž 7Š +† 2† † †E
Š c
Á ”7&Š ƒ Š`Z† Vƒ Ž L„k
Ž 6ƒ Š s †I‰ +† ‰ _
† 2 †5 † »
“Rasulullah pernah keluar pada sebagian perjalanan, maka pada saat perjalanan malam
melewati seorang laki-laki yang duduk di pinggir telaga. Umar berkata : ‘wahai pemilik
telaga, apakah tadi malam ada binatang buas yang menjilat (minum) air di telagamu?
Maka Nabi bersabda : “wahai pemilik telaga, jangan beritahu! Ini adalah sesuatu yang
memberat-beratkan diri, baginya apa yang ada diperutnya dan bagi kita apa yang tersisa
yang dimimum dan suci” (HR. Daruquthni no. 37).
Kedudukan sanad : Imam Daruquthni meriwayatkan dengan sanad :
ÃO'„—›
† ‰ „ G
†›
† ‰ ƒ Ž 8‚ (J†+:Ž #„ †«Š—2† Ãn 7Š L†
‰ Š ƒ*†Z „ Ž „ G
†›
† ‰ ƒ Ž ÃO7 J† †«Š—2† ÃO %‚&
‰ ž
¬ †5 „ Ž † +† 2Ž $Š ƒ Ž ƒ G
†›
† ‰ †«Š—2†
† +† Jƒ „ Ž „ J† \¬  †' Ž J† Š †%7‰ Jƒ ƒ Ž ƒ —+›
† ƒ †«Š—2† ÃO'„—›
† ‰  † ƒ Ž f
ƒ %Ã$Š †«Š—2†
“Haddatsanaa Al Hasan bin Ahmad bin Sholih Al Kuufiy, haddatsanaa Ali Ibnul Hasan
bin Haaruun Al Baladiy, haddatsanaa Ismail ibnul Hasan Al Harooniy, haddatsanaa
Ayyuub bin Khoolid Al Harooniy, haddatsanaa Muhammad bin ‘Ulwaan dari Naafi’
dari Ibnu Umar”.
Komentar ulama : Imam Ibnu Abdil Hadi dalam “Taftiihut Tahqiiq” (hadits no. 54)
berkata :
f%$ .c
Á (‘ :%‰7Jƒ —+K YÁ& W
Ï 2 `Z :i .B J†iŽ È· J p†2 f%ƒ$ :j†J 92 9$ ; \D :^$ %$ P? :
“Imam Ibnu ‘Adiy berkata : ‘Ayyub bin Khoolid mengabarkan dari Al Auzaa’iiy haditshadits Mungkar. Ini adalah hadits Mungkar, Muhammad bin ‘Ulwaan, dhoif,
sedangkan Ayyub bin Khoolid , sebagaimana dikatakan Al Hakim Abu Ahmad : ‘Tidak
dikuatkan pada kebanyakan haditsnya”.
Imam Adz-Dzahabi berkata dalam “Taftiihut Tahqiiq” (Masalah no. 10) : “žd < `Z”
(hadits ini tidak shahih).
3. Hadits dari Umar , Imam Yahya bin Abdur Rokhman bin Haatib berkata :
Ä
„ †
‰ ƒ Ž ƒ+Ž J† Š ŠIŠ ¸‘%Ž 2† ƒ0*† † O—D2† Ä
„ †
‰ ƒ Ž ƒ+Ž J† PŽ E„ ( _
¬ ‰ *† O 
† † † f
„ ”k
† ‰ † Ž † +† Jƒ ”$Š
º
„ %Ž ›
† ‰ _
† 2 †5 † f
„ ”k
† ‰ ƒ Ž ƒ +† Jƒ Š ŠIŠ ˜
ƒ †LG
b
† ‘
† %Ž 2† 0ƒ „ 6† 8‰ Z† º
„ %Ž ›
† ‰ _
† 2 †5 † º
„ %Ž ›
† ‰ _
„ 2 †d

†(Ž 7Š J† 0ƒ „ 6†† ˜
„ †LG
OŠ7J† 0ƒ „ '† —'=„Š †'Ž L„k
Ž 6ƒ Š
“Bahwa Umar ibnul Khothob keluar dalam suatu perjalanan diantara yang ikut adalah
‘Amr ibnul Ash, hingga ketika mereka sampai ke sebuah telaga, ‘Amr ibnul ‘Ash berkata
kepada pemilik telaga : ‘wahai pemilik telaga, apakah telagamu telah didatangi binatang
buas? Umar berkata kepada pemilik telaga : ‘wahai pemilik telaga, jangan engkau
beritahukan kami, karena kami minum sebagaimana binatang buas minum” (HR. Malik no.
44 dan selainnya).
Kedudukan sanad : riwayat ini diriwayatkan dari jalan :
_
¬ , †2 „ Ž „ +† 2Ž —
 LŽ J† „ Ž O†(›
Ž † Ž J† O+ (Ž —D
p
 *„ †›
‰ „ Ž P† (Z†Ž#„ „ Ž  —+›
† ƒ Ž J†  ( :† „ Ž O†(›
Ž †
“Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Ibrohiim ibnul Harits At Taimiy dari Yahya bin
‘Abdur Rokhman bin Haatib”.
Komentar ulama : Imam Al Albani dalam “Tamamul Minnah” (1/49) berkata :
M ‘* +9J >X ; '= +J ¶* < `Z _,2 È +J J [L9 U$ c(‘ «È `Z # o
`Z $ # " : I ¶*D: &
\I 8: '3 ( 174 / 1 ) " ˜%+¾ " ; j%
!Œ1 b
`
+EJ
G
; cU
+E( [+7J AID +J 1 W2 a# B : [7 " %I6 Z%/ 8:
`D AD7I
W? +ED4
k À ; s*&
“kemudian atsar ini adalah dhoif tidak shahih dari Umar , karena Ibnu Haatib tidak
bertemu umar (lahir 32 H wafat 104 H, sedangkan Umar wafat 23 H-pent.), yakni
Ibnu Hatib lahir pada masa kekhilafan Utsman . Oleh karena itu Imam Nawawi
dalam “Al Majmu” (1/174) berkata : ‘bahwa atsar ini mursal dan terputus sanadnya,
akan tetapi Imam Nawawi menambahkan, kecuali atsar ini mursal dan memiliki
syahid yang menguatkannya. Aku (Al Albani) berkata : ‘beliau Imam Nawawi
mengisyaratkan hadits Jabir dan Ibnu Umar sebelumnya, dan pembaca telah
mengetahui dhoifnya sanad dan kemungkaran matannya, karena menyelisihi hadits 2
kulah”.
4. Hadits Abu Qotadah , bahwa Nabi bersabda tentang air liur kucing :
r
 Š—%”
† PŽ &‚ (Ž 7Š J† A
†  —%”
†  †E—'#„ ¬ † †„ [
Ž G
† (Ž Š †E—'#„
“Ia tidak najis, sesungguhnya ia adalah binatang yang mengelilingi kalian” (HR. Abu
Dawud, Tirmidiz, Nasa’I dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Imam Bukhori, Imam
Tirmidzi, Imam Uqoiliy, Imam Daruquthni, Imam Al Albani dan Syaikh Syu’aib
Arnauth).
Madzhab Syafi’iyyah berdalil dengan 3 hadits pertama sucinya air liur bintang
buas dan mencakup didalamnya binatang yang boleh dimakan, namun sebagaimana
kita lihat 3 hadits pertama diatas, tidak dapat dijadikan hujjah karena lemah sanadnya
disamping itu juga bertentangan dengan hadits 2 kullah yang kalangan ulama Syafi’iyah
sendiri telah menshahihkannya dimana mafhumnya menunjukan najisnya air liur
binatang buas. Hadits yang keempat secara jelas menunjukan sucinya air liur kucing,
namun apakah hal ini bisa dikiyaskan kepada binatang lain yang tidak boleh dimakan
dagingnya bahwa air liurnya suci? Disana ada sebagian ulama yang berpendapat
sebaliknya karena mereka berpegang dengan hadits tentang keledai berikut :
Á „ '† Ž $Š Á 1Ž *„ †E—'=„Š „ +ƒ ›
ƒ ‰ !„ %ƒ›
‚ Ž J† PŽ &‚ '„†(E† Ž † ƒ Š%ƒ:*† † † ”7
”#
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian dari daging keledai (negeri), karena ia
kotor atau najis” (Muttafaqun ‘Alaih).
Barangkali ide yang diberikan oleh Imam Ibnu Utsaimin dalam “Syaroh Mumti’” berikut
dalam menggabungkan dalil-dalil yang ada lebih baik :
I Y'# f/ Ú(7Z$ ‹*^ $ %7 .>Ï GR Ù E„/ E, >‚ (I :j$ Ù Z†*: = Y>GR (/È V`Z [' .#
[' .# sÏ Z, P-EL
V`Z *: $ a# P7
8Z$ B
Á 9 _Z. .c­
~ !X O7J R '= Y / / V`Z Û3D Y‹>% s‹ ZÐ PE('$ %&6 >0L
; —
”= Y‹L
h iۗD
Ãl `Z 3 :%7”7J .(7J “%”
sŠ B9
.>”I b
. ; &
Z '¼ 8Gh f%1 Y >*# f%1% —
Œ
$ %7 .f6 YE(7J 0ƒ D ˜
ƒ LG
O7J ¯ 0† *† † —++ .s*E”
O7J ¯ EU Y>:—
O7J ¯ EUL .º*—D
/ E( b
. ; W
‚ 02È
ƒ% Y J 8Š ]:ƒ P† ”7:†  (Ž 7Š J† M
š O”75
† —N
$ +EJ M ‘* +J V* j`
AD”7I‚ W2 Ys*E”
< AD”7‚ §7 .# '$ Y ‹,% P&? 81 8 YsZ, V`Z 3 8I < "W†Lx
Š 8+) < AD”7‚ §7 .#" :I z˜LG
# Yn$ W02$ ( .AD7 §7 $ %
‹9(L 7» O7J ˜LG
V`Z 0* $ O7J b
. ” YWLx 8+)
:I b
. J P† ”7:†  (Ž 7Š J† M
š O”75
† ÃN
8Š ]:ƒ W(2 YsZ, P-EL
*: $ O7J ¯ 6 @, s—J | &
Yc‘ E( ‹B9 # :‚ Iƒ( YA9? A \+€ &} .s*E
O7J ¯ `Z "*%EŠ, † L†hŠ Yt% ; [7^ |"
M ^* Ù > .R '= Ü ª/ _LG —(C6 Y ‹BG # .‹*%EŠ, %& Y Â3 X fÃ
—(CD
$ Y>L,* f(9
%&6 Y¿ Y¬@† J† +ª%* %7µ Y+EL6 >È ”È ÜZ, 8CL
*+? ”# : Ù
Y+EJ Yy*~G `Z O7J .ž(›—d
%Z `Z .b
. iÛD
D—$ P† ”7:†  (Ž 7Š J† M
š O”75
† ÃN
3 < Y‹L,* L
Ýb/ X *+? = Y s—| ; s0D Ÿ$ W2 ; V'. ‰ $ lL: ~ `Z YZ, +E4'$ µ Y+EI*
.‹ˆ1 Þ@/ E iÛD
Yª%* 0DJ `
ƒ+?
‚ 8Z$ +—(: Y(7J A—%”
“Jika hal (daging keledai) najis, maka air liurnya yakni, sisa makanan dan minumannya
juga najis, kalau ada Keledai negeri minum dari bejana dan sisa air setelah diminumnya,
karena hal ini adalah najis menurut pendapat penulis (Zaadul Mustaqni’). Sebagian besar
ulama berpendapat bahwa air liur binatang itu suci, jika ia banyak menemaninya. Mereka
beralasan bahwa (kalau najis) akan memberatkan untuk menjauhinya secara umum.
Karena manusia yang tinggal di pegunungan biasanya memiliki bejana yang suci seperti
Syuufah, lalu mendatanginya binatang buas yang minum darinya, seandainya kita
wajibkan manusia untuk membuang air sisa tersebut dan juga mencuci bejana setelah
airnya dibuang, tentu hal ini akan memberatkan. Hadits-hadits yang berkaitan terdapat
kontradiksi, sebagian dalil mengatakan najis dan sebagiannya mengatakan suci. Yang
menunjukan akan kesuciannya adalah hadits 2 kulah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar
bahwa manusia bertanya kepada Nabi ditanya tentang air yang digunakan oleh
binatang buas? Nabi menjawab : “Jika air telah mencapai 2 kulah tidak mengandung
kotoran”. Beliau tidak mengatakan ia suci, namun mengkaitkannya dengan air, bahwa
jika telah mencapai 2 kulah tidak mengandung kotoran, hal ini menunjukan bahwa
binatang buas yang menggunakan air akan menjadikannya kotor jika airnya belum
mencapai 2 kulah. Dalam masalah ini ada hadits yang lain namun dhoif, akan tetapi ia
memiliki beberapa jalan yang menunjukan bahwa air liur binatang itu suci. Mungkin
untuk mengkompromikan antara hadits-hadits ini, maka dikatakan : ‘jika airnya banyak
tidak berubah dengan minumnya mereka dan airnya suci, namun jika airnya sedikit
berubah airnya dengan minumnya mereka dan airnya menjadi najis. Imam Ibnu
Qudamah berkata : ‘Keledai dan Bighol suci, karena manusia menungganginya, tidak
mungkin dapat terlepas dari keringatnya ketika menungganginya, pada saat hujan turun
maka pakain atau badan kita tidak luput dari basah kulit mereka. Nabi tidak
memerintahkan umatnya untuk tidak berinteraksi dengan binatang ini maka ini sesuatu
yang benar. Oleh karena itu, air liurnya, keringatnya, ludahnya dan sesuatu yang keluar
dari hidungnya adalah suci. Ini menguatkan apa yang telah kami sebutkan terdahulu
tentang hadits Abu Qotadah berkaitan dengan kucing, maka keledai tidak ragu lagi
adalah hewan yang mengelilingi kita, terlebih lagi para penunggang Keledai yang
kebiasan mereka sehari-hari mengendarainya, maka melepaskan diri dari mereka adalah
suatu yang sangat berat sekali”.
Kemudian masalah air liur anjing dan Babi akan disebutkan dalilnya oleh Imam
Syafi’i. kemudian kalau seandainya ada seseorang yang bersiwak (menggosok gigi)
kemudian siwaknya jatuh kedalam air, maka air tidak menjadi najis, karena air liur bani
Adam suci, begitu juga keringat baik manusia maupun keringat yang dihukumi suci dari
binatang. Jika ada najis yang jatuh, sekalipun dalam air yang banyak tidak serta merta
najis tersebut menjadi suci, seandainya kita dapat mengambil najis tersebut, katakanlah
ada bagkai tikus yang jatuh kedalam telaga, maka karena banyaknya air telaga, air
disitu tidak berubah sifatnya karena najisnya bangkai tikus tadi, namun jika tikus
tersebut diambil misalnya, maka bangkai tersebut tetap najis. Namun untuk najis-najis
tertentu yang larut jika najisnya telah hilang bekasnya, maka airnya suci.
(7J _5 o ( 0%1% & µ !{ B9&
E( L
r. ]L
$ º* $ 8(7I
( ' R .#
& < 79 *5 m2 VBh (7J _d X(7 ( 0%1% Bh !? Bd m2 VBh %& $ a# P&2 *5 .= >: GR Ô# +t Z, +E( ß
º* ' Z, !2 (
6*E E +7
\L6 %Z Ô# +&2 %) P&2 %) $ Œ» < G P&2 b
` Z,
(7J Û36 s2 8Gh = «X« 8Gh %
®# _2$ ' 8Gh l*$ >:R D
k '# ; X(7 .# .D:
81 L: E7Gh .# r \L: 8GC 3 # E X ¿ $ _7 ( f $ # / 8 `Z E,
/$ c(ÆD
; f6 !I !%I ² 7GC 6 ( » { ; = b
` # E f6 Z$ $ Z$
v cÆ'$ fD
47 %& ² E ± fD
:} 3 # E y2$ % (4 EL/$ $ >
à $
+E(7J & < # +t$ : GR +ª ¿x $ _7&
R .# D: ; %I6 + [45
( *` (7J %& Y3 # G < ' ](/ $ X1* $ ; 80$ .= < 8 >:R
.# >D( [71 r \L: # VE < '# ; / .# ¿x _7&
[71 c(& :8- = VG1 *`I
) P7: (7J M O75 M %:
JL6 8( z' ; «$ ~Z 2%
& < .# s 6E, !
$ ( [
(7J M O75 M %:* J M ‘* sZ Ÿ$ J J J 0'Œ
Ÿ$ J >((J 'H$ :M ^* (
sZ á$ J J J 0'Œ
Ÿ$ J b
'H$ " r \L: 7GC(7 P2$ '# ; _7&
§
.# " : P7:
J >((J 'H$ " r \L: 7GC(7 P2$ '# ; _7&
f/ .# " :P7: (7J M O75 M %:* :
P2$ '# ; _7&
§
.# " P7: (7J M O75 M %:* $ sZ á$ J B: +K J >+(Ç á$ f%$
(7J a6 M O75 M %:* $ ² _7&
; 7I (
) " fD Z$ $ Z$ r \L: 7GC(7 "
² y%: >:
; 7 (7J :( 7I B ; & < 2 / ; & < # ¿x P7:
' _7&
O7J GI' < %I fD&
; %‘%
8GC
T DI% >U(? !0 O7J :( E7 ÂR ['&
; \LG
%& \LG
0 ² s2% I ' $ \L: 9$ s2 O7J \I 8GC
P: $ n6 $ L6
](/ ( [70$ $ [/ 3 X(7 [: (2 / ; >:R () \LG
8L 89 >:v
zG 8) (7J %Z *+? @ *+? _ 81
$ n6 $ O6% ; >:
Ô# ¿x _7&
# E-UJ$
%:* $ M LJ 1 J ($ J Ad? 00 J +K P(Z# 'H$ 8( zb
. O7J 8(
:8- =
(: 'H$ (
) E7 ˜LG
[7U$ ² P' I z+? [7U$ ² 3‘%D$ :8]: P7: (7J M O75 M
79² P7: (7J M O75 N
J M LJ 1 J Ad? 00 J " \(
b/ " >L(L2 Ÿ$ $ >L(L2 Ÿ$ J <:
s0D Ÿ$ [q [' b
_ [ >L J >J* (LJ [ s(^ J M LJ @›:# J b
'H$
M %:* $ $ > AL6$ I (
# Æ' T$ :[
[ sZ r %‘ [L&G 80 s0D $ $
>I9
'H$ a6 M ^* (
) .r%
$ P&(7J A%
t$ [G(
t# P7: (7J M O75
GI (
) V 89 $ 79 P7: (7J M O75 N
J ($ J s0D Ÿ$ M LJ J B9 Ÿ$ ´) J
`kD $ !2 / E (
'$ +? 8~ v y%: A ¿x _7&
A @4
45 v 7IJ O7J
@4D \ ,B $ gB !% 8  Bh V`¤ 8+J £I 81  `kD $ !2 _7&
 #
_7&
# X2 8~ $ +? 8~ f
/ 8 8U4 b
. Bh ( %Z D( 86 >&-X $ %
b
` s*E
O7J %E !2 X '%
BC6 $ À'3 B9&
$ 8(7I
BC6 .= (
) ¿x
¶D ' D:R P76 m2 s*E
O7J %E P
$ %7
$ ž
BCD %Z !$ >:R $ * P7 G'# (
& < +, $ )* BC X2 / ; \ .# () VBC( _7›
µ BCD( OIDG
$ â
_( `$ # EL/$ $ )* EÆ( I
$ L
( \I $ b
. 3‘%D $ Â3 X ( &7EDG
# f% 8GJ â
l%: `| I Ô# ( b7EDG 3‘%D < ( &7EDG *d 8GJ $ l%:
`Z P, ZÆ
%
%& ( &7EDG 8GJ â
l%: ( u, %& 8(7 / ( u,
; * .= ( * # VBh f/ !, ½
8 `&Z { `Z 3‘%6 (
0* O7J _5 %
( & < v ½7 + `Z (
0 P: ' 3‘%6 BC6 $ À'3 º*
(7J _5 %
b
` () 0*%
ZÆ
( b7EDG 3‘%D < (7J 0*%
ž* EÆ
_5 %
Œ(+D X 7Dµ 0*%
I
3‘%6 EÆ < # 3‘%D < ; I
ž* EÆ
/ ; (
' 3‘%6 ; )* EÆ ½7Dµ ž* . / $ 0%J $ HJ ( OI
$ $ _(, Z0 (
< ž* ( EÆ Œ(+D Bh Bd m2 ; ˜+ / $ s*. $ bG ( _5 %
‘%¹ O+G
%3 ( OI
$ 8 `&Z >‘%¹ s*. º%¹ bG I Ô# º%¹ `](2 ' 3‘%D
a# f%G `](2 3‘%D < ( ½7Dµ v ž
P
( EÐ .# VBh @ l(0 $ l%:
Terjemahan :
Al Imam berkata, jika bejana yang terdapat air sedikit atau tanah atau sumur yang
bangunannya dapat menampung air yang banyak lalu bercampur dengan benda najis yang
disiramkan air lain lagi, hingga akhirnya benda najisnya tidak ada lagi (terlarut) maka Air
sedikit menajiskannya, lalu disiramnya air yang lain hingga air tidak menajiskannya
semisalnya dan sudah tidak ada lagi benda najisnya, maka airnya suci, bejana dan tanah yang
terdapat air didalamnya suci, karena najisnya bejana dan tanah itu karena najisnya air, jika
hukum airnya berubah menjadi suci demikian juga hukum sesuatu yang bersentuhan dengan air
tersebut. jika tidak berubah hukum airnya, maka tidak berubah hukum yang bersentuhan
dengannya, ia mengikuti hukum air, menjadi suci dengan sucinya air dan menjadi najis dengan
najisnya air.
Jika airnya sedikit yang terdapat didalam bejana, lalu bercampur dengan najis, maka
dibuang airnya dan dicuci bejananya. Aku (Imam Syafi’i) menyukai untuk dicuci sebanyak 3
kali, karena mencucinya 1 kali masih (diragukan) kesuciannya, ini adalah untuk sesuatu yang
bercampur dengan najis, kecuali kalau bejana tersebut diminum oleh anjing atau Babi, maka
tidak bisa menjadi suci kecuali kalau dicuci dengan 7 kali. Jika dicuci sebanyak 7 kali maka
pada cucian yang pertama atau yang terakhir dengan tanah, tidak bisa mensucikannya selain
dengan cara ini. Jika ia berada di lautan sehingga tidak mendapatkan tanah, maka ia
mencucinya dengan sesuatu yang dapat menggantikan tanah dalam membersihkan, seperti
Asynaan atau tepung dan semisalnya maka ada dua pendapat, yang pertama tidak disucikan
kecuali dengan menggunakan tanah, sedangkan pendapat yang kedua mensucikannya dengan
sesuatu yang menggantikan tanah yang dapat mensucikan sebagaimana yang aku sifatkan dan
juga sebagaimana kami katakan tentang istinja.
Jika najisnya anjing atau Babi terhadap air yang diminumnya menjadi najis, maka air
yang menyentuh badan anjing dan babi tidak najis. Semuanya tidak menajiskannya kecuali
karena meminumnya. Maka jika Anjing atau Babi masuk kedalam air, tangannya atau
kakinya atau sesuatu dari anggota tubuhnya tidak menajiskannya kecuali jika ada kotoran
yang menempel di badanya, maka ia menajiskan air kerena kotoran tersebut bukan karena
badannya. Jika ada yang bertanya, bagaimana engkau menjadikan anjing dan babi jika minum
air dalam bejananya tidak mensucikannya kecuali dengan 7 kali basuhan, namun jika bangkai
atau darah yang masuk kedalam air mensucikannya cukup sekali basuhan jika dengan sekali
cucian tersebut sudah dapat menghilangkan bekasnya? Jawab karena kita mengikuti
Rasulullah . Imam Syafi’I berkata : ‘akhbaronaa Ibnu Uyyainah dari Abuz Zinaad dari Al
A’roj dari Abu Huroiroh bahwa Rasulullah bersabda : “jika anjing menjilati bejana
kalian, maka cucilah sebanyak 7 kali”. ‘akhbaronaa Malik dari Abuz Zinaad dari Al A’roj dari
Abu Huroiroh ia berkata, Rasulullah bersabda : “jika anjing minum dalam bejana kalian,
maka cucilah sebanyak 7 kali”. Akhbaronaa Ibnu Uyyainah dari Ayyub bin Abi Tamiimah dari
Muhammad bin Siriin dari Abu Huroiroh bahwa Rasulullah bersabda : “Jika anjing
menjilati bejana kalian, maka cucilah sebanyak 7 kali, yang pertama atau yang terakhir
dengan tanah”.
Al Imam berkata, kami katakan tentang Anjing sesuai dengan yang diperintahkan
Rasulullah , adapun Babi keadaanya tidak lebih jelek dari Anjing, tapi juga tidak lebih baik
dari Anjing, sehingga kami berpendapat untuk mengkiyaskan Babi dengan Anjing tentang
najisnya sama (harus dicuci 7 kali). Akhbaronaa Ibnu Uyyainah dari Hisyaam bin Urwah
bahwa ia mendengar istrinya Fatimah bintil Mundzir berkata, aku mendengar nenekku Asma
bin Abi Bakr berkata, ‘aku bertanya kepada Rasulullah tentang darah haidh yang mengenai
pakaian, maka Beliau menjawab : “keriklah lalu dibasuh dengan air kemudian dicuci,
setelah itu dapat digunakan untuk sholat”. Akhbaronaa Malik dari Hisyaam bin Urwah dari
Fatimah bintil Mundzir dari Asma ia berkata : ‘salah seorang istri Rasulullah bertanya,
Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau jika salah satu dari kami pakaiannya
terkenda darah Haidh, apa yang kami lakukan? Nabi menjawab : “jika pakaian kalian
terkena darah haih, maka keriklah dengan air, lalu dicuci kemudian dapat sholat dengan
pakaian tersebut”.
Al Imam berkata, Rasulullah memerintahkan untuk mencuci darah haid dan tidak
memberikan batas waktu, maka penamaan mencuci masuk didalamnya satu kali dan lebih,
sebagaimana firman Allah : “basuhlah wajah dan tangan kalian sampai siku” (Al Maidah
(5) : 6). Maka mencukupi mencuci 1 kali, karena semua ini tercakup didalamnya penamaan
mencuci.
Maka najis-najis ini semuanya dikiaskan dengan darah Haidh karena sesuai dengan
makna mencuci dan wudhu dalam kitab dan logika. Kami tidak menkiaskan Anjing karena hal
ini adalah ibadah, bukankah engkau tahu bahwa penamaan mencuci terjadi satu kali atau
lebih dari 7 dan bahwa bejana cukup dibersihkan dengan sekali cuci, dengan kurang dari 7 dan
lebih dari 7 seperti bersentuhannya air sebelum 7 kali.
Tidaklah menajiskan sesuatu karena sentuhan makhluk hidup kepada air sedikit ketika
ia minum atau memasukan sesuatu dari anggota tubuhnya kecuali Anjing dan Babi. Hanyalah
najis pada hewan hidup, bukankah engkau tahu bahwa seseorang yang menunggangi Keledai
kemungkinan besar akan bersentuhan dengan keringat Keledainya? Jika ada yang
mengatakan, apa dalilnya? Jawab, akhbaronaa Ibrohim bin Muhammad dari Dawud ibnul
Hushoin dari Bapaknya dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah ditanya, apakah
kami boleh berwudhu dengan sisa air keledai? Nabi menjawab : “iya dan juga dengan sisa
bintang buas semuanya”. Al Imam berkata : akhbaronaa Sa’id bin Saalim dari Ibnu Abi
Habiibah atau Abu Habiibah–Ar Rabii’ ragu-ragu- dari Dawud ibnu Hushoin dari Jabir dari Nabi semisalnya. Akhbaronaa Malik dari Ishaq bin Abdullah dari Humaidah bintu
“Ubaid bin Rifaaah dari Kasyab bintu Ka’ab bin Malik istri Ibnu Abi Qotadah berkata :
‘bahwa Abu Qotadah masuk, lalu ia memiringkan tempat air wudhu, datanglah seekor Kucing
yang minum dari tempat air tersebut, Kaysab berkata, Mertuaku (Abu Qotadah) melihat aku
memperhatikan hal ini, sehingga beliau berkata : ‘apakah engkau merasa heran wahai anak
saudarku, sesungguhnya Rasulullah berkata : “Sesungguhnya Kucing tidak najis,
sesungguhnya ia adalah binatang yang mengelilingi kalian”. Al Imam berkata, akhbaronaa
tsiqoh dari Yahya bin Abi Katsir dari Abdullah bin Abi Qotadah dari Bapaknya dari Nabi
semisal hal ini atau sama maknanya.
Maka kami mengkiaskan sesuatu yang masuk logika sesuai yang kami sifatkan dan
perbedaan antara Anjing dan Babi dengan binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya,
adalah tidak semua binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya haram untuk digunakan
sisa minumnya, kecuali untuk Anjing maka haram untuk digunakan sisanya dan orang yang
memelihara Anjing akan dikurangi pahalanya setiap hari 1 atau 2 qiroth dan juga rumahnya
tidak akan dimasuki oleh Malaikat. Hal ini menunjukan makna (perkataan kami) bahwa
semua binatang baik yang boleh dimakan dagingnya maupun yang haram semuanya halal (air
liur dan keringatnya) kecuali Anjing dan Babi.
Al Imam berkata, jika berubah air sedikit dan air banyak , berubah warnanya misalnya
dengan sesuatu benda yang tidak najis, maka ia tetap dalam kesucian demikian juga sekiranya
seorang manusia kencing lalu tidak jelas apakah najis mencampurinya atau tidak, yaitu
indikasinya berubah bau, warna atau rasanya maka ia tetap suci hingga diketahui najisnya,
karena meninggalkan sesuatu yang tidak bersih dan berubah serta bercampur dengan pohon
atau lumut lalu merubahnya. Jika jatuh sesuatu yang halal kedalam air lalu merubah bau, rasa
atau warnanya jika airnya tidak rusak, tidak mengapa untuk berwudhu dengannya, demikian
juga jika jatuh kedalam air susu atau ter, lalu nampak bau atau yang semisalnya, maka jika air
yang tercampur dengan susu atau tepung atau madu menjadikan airnya rusak, tidak boleh
digunakan untuk berwudhu. Karena air yang rusak akan dikatakan sebagai air tepung, air
susu, air madu yang tercampur dengannya, maka jika dibuang darinya sesuatu yang sedaikit
yaitu yang dibuang adalah tepungnya, susunya atau madunya yang merusak air tersebut
sehingga airnya menjadi berubah warna dan tidak untuk rasanya maka boleh digunakan untuk
berwudhu. Ini adalah air dengan beberapa kondisinya. Demikian juga semua yang bercampur
dengan air berupa makanan atau minuman dan selainnya kecuali air yang diam, jika ada air
yang mengendap di tanah lalu berubah (rasa atau baunya) maka boleh digunakan untuk
berwudhu, karena tidak ada nama untuknya selain nama air. Hal ini tidak sebagaimana
bercampurnya sesuatu, seperti air bunga lalu nampak bau air bunga tersebut, maka tidak boleh
berwudhu dengannya, karena air telah rusak dan air nampak bukan air bunga. Demikian juga
sekiranya bercampur dengan Ter lalu nampak sekali bau Ternya maka tidak bisa digunakan
untuk berwudhu, tapi kalau baunya tidak menyengat, boleh digunakan untuk berwudhu,
karena Ter dan air bunga bercampur dengan air yang tidak bisa dibedakan darinya. Jika ada
minyak wangi, atau phon gaharu yang bercampur dengan air, lalu nampak baunya, tetap boleh
digunakan untuk berwudhu karena air tersebut tidak dinamakan dengan air yang tercampur.
Namun jika bercampur dengan minyak misk atau parfume yang membuat terlarut dalam air
sehingga tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, lalu nampak baunya. Maka tidak boleh
digunakan untuk berwudhu, karena sekarang ia adalah air campuran, ia disebut dengan air
misk dan air parfume, demikian juga untuk setiap air yang dicampuri dengan bahan makanan
seperti tepung, terigu dan selainnya, jika nampak rasa dan baunya, maka tidak boleh
digunakan untuk berwudhu, karena ketika ini air telah disandarkan kepada yang
mencampurinya tersebut”.
Ta’liqiy :
Imam Syafi’I memberikan gambaran kepada kita, bahwa jika ada air baik yang
sedikit maupun yang banyak ketika tercampuri dengan najis, maka untuk air yang
sedikit (menurut madzhab beliau) langsung menjadi najis, namun jika ditambahkan
atau disiramkan air lain lagi kedalam wadah tersebut, sehingga menyebabkan najisnya
menjadi hilang, maka wadah dan airnya kembali menjadi suci, karena hukum najisnya
air dan wadahnya jika najis mengkontaminasinya, namun jika najis tidak lagi
mengkontaminasinya, maka kembali menjadi suci. Kemudian Imam Syafi’I memberikan
kaedah bahwa “hukum sesuatu yang bersentuhan langsung dengan air (seperti bejana
dan semisalnya) mengikuti hukum airnya”. Artinya jika ada sesuatu yang
mengkontaminasi air sehingga airnya berubah statusnya menjadi najis misalnya, maka
bejananya ikut menjadi najis, namun jika airnya kembali menjadi suci, maka bejananya
pun akan berubah menjadi suci.
Al Imam menjelaskan bahwa beliau lebih menyukai untuk mencuci wadah air
yang terkontaminasi dengan najis sebanyak 3 kali, sekalipun sebenarnya mencuci 1 kali
cukup, selama najis tersebut sudah hilang, sebagaimana yang beliau jelaskan pada
pembahasan selanjutnya. Barangkali penjelasan alasan Imam Syafi’I yang
menganjurkan pencucian bejana karena terkontaminasi najis selain Anjing dan Babi
sebanyak 3 kali adalah penjelasan dari Imam Al Mawardi dalam “Al Hawi Kabir” (1/608609) sebagai berikut :
¬ «Š$Š Š. Š %‚&† ‰ $Š ”
#„ s‹ † 2 † s‹ —† ƒ 7‚ G
Ž hŠ _
ƒ 1„ †%
‰Š Y r
 †:†—
„ -†: Ž  _
„ 7‰ &Š ‰ ã
„ %‚
ƒ n†%: † Š Š †+Š Š`Z† † : Ãj0 *Ž † †+
‰ Š Š
”$Š OŠ7J† Ļ„1† —#„† Y ¸†L›
Ž D:Ž —#„ ‹«Š7«Š 8‚ G
– CŽ † ã
„ %‚
%ƒ ‰ P„ &‰ 2ƒ  r
 †:†—
ƒ -†: : >Š 4Š („2† %ƒ$Š Š Š† ƒ «Š3Š
‰ Š ƒŒ† O—D2† 8‚ G
– CŽ (†Š
 ã
„ %‚
%ƒ ‰Š r
 †:†—
ƒ -†: : 8¬ L†Ž 2† ƒ Ž ƒ +† 2Ž $Š Š Š† >Ï —L›
† D†G
Ž ƒ Ž $Š ã
„ %‚
%ƒ ‰  >Ï L†1„ † † Z 8‰ Z† p
 Š7”9
  „†›5
Ž $Š “
† Š7DŽ .r
 —†  †+«Š †E7 G
Ž hŠ f
„ %ƒ1ƒ
ƒ DŽ Š3Š:† Ž Š † ‰&† „$Š [
 Ž „ · †+:Ž 3Š
 • {P† ”7:† †  (Ž 7Š J† ƒ ”7
O”75
† } • ƒ ‚%Ž Š s † 2 † s —† OŠ7J† †E7 G
Ž hŠ  *„ †dD‰ 
i„ †%1† OŠ7J† †7‚ (
0† †
" : „†JŽ 3Š
‰ „ %Ž †  Š Š† Y ¸LŽ :† Š
† ‹«Š7«Š b
† .Š  †E
Š [
Ž ­%† ƒ PŽ Š† " – †+
‰„  (5ƒ ‰ —P«‚  (D2ƒ " f
† %Ž ”9
_
ƒ (dƒ …
„ (Ž ›
† ‰ !„ 0† Ž J†
Š7Š   %Ž '† Ž  PŽ ‚ ƒ 2† $Š ©
Š IŠ (Ž D†:Ž Š.#„ " : {P† ”7:† †  (Ž 7Š J† ƒ ”7
O”75
† }  %Ž IŠ  ‹«Š7«Š ƒ 7‚ G
Ž hŠ Ã_›
† D†G
Ž +ƒ ‰Š ••• " Î † Ž  ¸%ƒ'.Š  (Ž 7Š J† %ÃL5
ƒ
. OŠ
Ž $Š > :† †—
„ 4‰ '† \† † †E„ ƒ Ž 3Š
‰ Š Š Y > :† †—
 b—
\† † p
 Š7”9
„ † † $Š —+7Š Š " ‹«Š7«Š †+Eƒ 7Š G
– CŽ † O—D2† – †'=„
‰  Vƒ † † Ž + CŽ †
“demikian sebagaimana yang beliau (Imam Syafi’i) katakan untuk selain jilatan Anjing
pada semua najis (yaitu mencucinya sebanyak 3 kali). (sebenarnya) yang wajib adalah
adalah mencucinya sebanyak 1 kali, kecuali kalau masih memiliki bekasnya, maka dicuci
sampai bekasnya hilang. Imam Abu Hanifah berkata : ‘semua najis hukumnya seperti
jilatan yakni dicuci sebanyak 3 kali, entah karena disunnahkan atau wajib, sebagaimana
sahabat kami (Hanafiyah) berbeda pendapat apakah mencucinya sebanyak 3 kali wajib
atau sunnah. Imam Ahmad berkata : ‘semua najis seperti jilatan hukumnya wajib dicuci
sebanyak 8 kali. Dalil kami diperbolehkan mencukupkan mencucinya sebanyak 1 kali
adalah sabda Nabi kepada Asmaa’ binti Abi Bakar ketika kepada bertanya kepada
Beliau tentang darah Haidh yang mengenai pakaian : “keriklah lalu dibasuh dengan air
kemudian dicuci, setelah itu dapat digunakan untuk sholat”.
Beliau tidak memberikan batasan mencucinya sebanyak 3 atau 7 kali. (dalil lainnya)
sabda Beliau kepada Arab Badui yang kencing : “siramlah dengan setimba air”.
Sampai perkataan Imam Mawardi, maka menganjurkanya mencuci sebanyak 3 kali
berdasarkan sabda Nabi : “jika salah seorang diantara kalian bangun dari tidurnya,
janganlah memasukan kedalam bejana sebelum dicuci 3 kali terlebih dahulu”.
(Istidlalnya) : ketika syariat memerintahkan mencuci sebanyak 3 kali pada hal yang masih
diragukan (bahwa tangannya ketika baru bangun tidur mengandung) najis, maka untuk
sesuatu yang sudah pasti najis (yaitu bejana yang terkontaminasi najis) lebih utama
(untuk dicuci 3 kali)”.
Kemudian Imam Syafi’I menjelaskan hukum untuk jilatan Anjing dan Babi yaitu
dicuci bekas jilatannya sebanyak 7 kali pada awalnya atau akhirnya dengan
menggunakan tanah, kemudian Imam Syafi’I memberikan faedah yang sangat berharga
kepada kita ketika seseorang mengarungi lautan dimana tidak ada tanah, maka
seandainya ada Anjing yang ikut didalam kapal kemudian menjliat sebuah wadah air
misalnya, maka mencucinya sebanyak 7 kali dan basuhan tanah bisa digantikan dengan
tepung atau yang semisalnya (dizaman kita bisa dengan sabun). Dalil bahwa jilatan
Anjing harus dicuci sebanyak 7 kali adalah sabda Beliau :
“jika anjing minum dalam bejana kalian, maka cucilah sebanyak 7 kali” (HR. Muslim).
Sedangkan riwayat yang menunjukan terdapat tambahan mencuci dengan tanah adalah
sabda Beliau :
“Jika anjing menjilati bejana kalian, maka cucilah sebanyak 7 kali, yang pertama atau yang
terakhir dengan tanah” (HR. Nasa’I dan Tirmidzi).
Dalam riwayat Imam Muslim bahwa basuhan tanah adalah yang kedelapan, sehingga 7
kali dengan air dan sekali dengan tanah, lafadznya sebagai berikut :
f
„ †ÃD
O >Š † ”9
Vƒ ƒ­4J† † r
 —† \† LŽ :† Vƒ %‚7G
– h‰ Š – †'¼– O _
ƒ 7‰ &Š ‰ §Š Š† Š.
“Jika anjing menjilati bejana kalian, cucilah sebanyak 7 kali dan taburkanlah yang
kedelapannya dengan tanah”.
Imam Syafi’I menjelaskan bagaimana tatacara membersihkannya dengan tanah, yakni
beliau menyebutkan 2 cara yang pertama basuhan tanah pada awalnya dan yang kedua
setelah basuhan air sebanyak 7 kali, sebagaimana lafadz yang tertera dalam haditt
kedua yang Al Imam riwayatkan tentang jilatan Anjing yang juga diriwayatkan oleh
Imam Nasa’I dan Imam Tirmidzi.
Apabila diajukan pertanyaan kepada kita bagaimana cara terbaik penggunaan
tanah, apakah pada awalnya, ditengahnya atau diakhirnya, maka jawabannya kami
serahkan kepada Imam Shon’aniy dalam “Subulus Salam” (syaroh hadits no. 8) :
Y >‚ † ”9
Ž $Š Y >‚ † „—G
Ž $Š Y — Zƒ †2Ž # Ž $Š Y — Zƒ †Ž $‚ Ž $Š Y — Zƒ Š
‚$ n†† Š Y >‚ ††
†E( [
Ž †† Š ‘
Ž Ž Š †E—'3Š„ f
„ †ÃD
> ††*„ OŠ7J† 0† *† Ž $Š
† (Ž Š† Y r
 ††
– †%D:Ž \† † ”
# 2̧0Š f
ƒ † ‘
Ž 
‚ %‚&† Š
ƒ —'3Š„ : ƒ Ž J† _
† („1$‚† . †E
Š u
ƒ †,‰ =„
‰ _
ƒ „ (†Š Y u
Á 0 Š f
ƒ † ‘
Ž 
†
Yº
„ *ƒ †—D
† Ž J ž
ƒ („1Ž —D
V %ƒ1ƒ Ž  b
† .Š † †E
Š „ (Ž k
† (Ž —

„ †Ž =„„† Y †E6†*ƒ s † 9‰ &Š  ž
ƒ 1† *Ž $Š — Zƒ Š
‚$ >Š ††*„ ”=„Š Y b
† `Š Š †Zƒ b
† .Š
Ž  Î Ž /†  ƒ 1† %ƒ6 Š
sÏ 0† 4Š D†ƒ [ — Zƒ †Ž $‚ ] >Š ††*„ ”$Š : b
† .Š ‚ †(†† Y †Eƒ „ ŠI6ƒ Š
— Zƒ Š
‚$ †E„ [
Ž ‘
† *„ %ƒJ D”
r
 ††
¥
‚ Š4
‰$Š†
— Zƒ †2Ž # ] >‚ ††*„ † [ f
„ †ÃD
„ — Zƒ Š
‚$ ] >Š ††*„ !ƒ „ ŠI6ƒ Š7Š Y †E( c
† 7 DƒŽ ‚ Y [ f
„ †ÃD
„ >‚ † „—G
] >‚ ††*„ † Y sÏ † †G
Ž ƒ W
 ›
† ‰ _
„ Dƒ‚
Y s † —(IŠ +ƒ ‰ OŠ7J† †E7‚ +Ž 2† _
ƒ „ † >Ï IŠ 7Š ‰ ƒ † E„ Š †ED—›5
 OŠ7† Š Y *ƒ —ŒL†
‰ †Z†*† 8‰ † Y r
 †E—3‚
‰  [
Ž G
† (Ž Š „ (Ž D†7Š +† EŽ +ƒ ‰ „ —
† – †›
‰„ [
] >‚ ††*„ † Y ž
„ („1Ž —D
OŠ
# \ƒ 1† Ž (ƒŠ Y ƒ Ž  Þb/† %† Eƒ Š j„—
Ž  b
† .Š Š Š ‰ # Y B
„ („k
Ž —D
„ [ — Zƒ †Ž $‚ ] Ž $Š [ — Zƒ Š
‚$ ] >‚ ††*„ †
]ž
„ („1Ž 6† OŠ
# \ƒ 1† Ž ƒ† Y P† ”7:† †  (Ž 7Š J† ƒ ”7
O”75
† ƒ Ž  B
Á („k
Ž 6† %† Eƒ Š Y P† ”7:† †  (Ž 7Š J† ƒ ”7
O”75
†   Š7Š Ž  Š Š ‰ #„† Y ž
ƒ 1† *Ž $Š [ — Zƒ Š
‚$
. [‰† J† †+Š „ (Ž k
† (Ž —
† Ž J ½
‰ IŠ Š †E6%ƒL9‚
 Y [ — Zƒ Š
‚$
“mereka mengatakan bahwa riwayat tentang basuhan terjadi kegoncangan, diriwayatkan
dengan lafadz “yang pertama”; “yang terakhir”; “salah satunya”; “yang ketujuh” dan “yang
kedelapan”, sedangkan idhthirob adalah sesuatu yang jelek (yang dapat melemahkan
hadits). Dijawab bahwa : ‘Idhthirob tidak dikatakan jelek kecuali kalau (masing-masing)
riwayat sama-sama kuat dan dalam hal ini tidak seperti itu, karena riwayat “yang
pertama” lebih kuat dilihat dari banyaknya riwayat, begitu juga karena diriwayatkan oleh
Syaikhoni (Imam Bukhori-Muslim) maka hal ini juga sebagai faktor penguat jika terdapat
pertentangan dan lafadz-lafadz yang menentangnya tidak mampu menandinginya
penjelasannya adalah : (yang akhir) riwayatnya menyendiri tidak didapati dalam kitabkitab hadist yang musnad (bersambung sanadnya sampai Rasulullah -pent.) riwayat
(yang ketujuh) terjadi perbedaan sehingga tidak bisa menanding riwayat (yang pertama),
riwayat (salah satunya) tidak ditulis dalam kitab induk, namun dalam riwayat Imam Al
Bazzar, seandainya shohih maka ini mutlak wajib dibawa kepada yang Muqoyyad (sudah
tertentu) sedangkan riwayat (yang pertama) atau (yang terakhir) adalah pilihan, apabila
ini bersumber dari rowi, maka ini adalah keragu-raguan darinya, maka dikembalikan
kepada yang lebih rajih yaitu Riwayat (yang pertama) yang lebih kuat, adapun jika ini
berasal dari sabda Nabi maka ini merupakan pilihan dari Beliau , maka dikembalikan
kepada yang rajih (yang pertama) karena tetapnya riwayat tersebut menurut Imam
Bukhori-Muslim sebagaimana telah engkau ketahui”.
Imam Nawawi dalam “Al Majmu” (2/582-583) menambahkan :
` ® ; fD
81 _›DG '$ >72 ; £' $ _(
%$ O‘I
8I' 'J (7J l4D n`
`Z
>G
Bh O4 84 < ® ; fD
81 _›DG '$ 85? Z m
P7G >
l% %Z ›5$ i1 >G
; 71 a
“Ini yang diucapkannya adalah disepakati menurut kami dan dinukilkan oleh Al Qoodhiy
Abut Thoyyin bahwa Imam Syafi’I dalam “Harmalah” menganjurkan untuk menjadikan
tanah pada basuhan pertama, demikian juga yang dikatakan oleh madzhab kami dan ini
adalah kesepakatan madzhab kami sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim yang
terdahulu. Kesimpulannya bahawa menggunakan tanah adalah pada basuhan yang
pertama, namun jika tidak melakukan seperti itu, bisa pada selain basuhan ketujuh yang
pertama, jika ia menggunakannya pada basuhan yang ketujuh juga boleh”.
Penggunaan tanah pada basuhan pertama selain ini adalah riwayat yang paling kuat
juga secara logika, kalau tanah pada basuhan pePenggunaan tanah pada basuhan
pertama selain ini adalah riwayat yang paling kuat juga secara logika, kalau tanah pada
basuhan pertama akan lebih membersihkan bakteri berbahaya yang diakibatkan karena
jilatan Anjing, karena terkadang seekor Anjing memiliki penyakit rabies dan tanah
mengandung zat-zat yang dapat membunuh bakteri-bakteri tersebut, kemudian juga
setelah bejana dibasuh dengan tanah tentu akan kotor, sehingga basuhan 7 kali air
setelahnya akan membersihkannya daripada menggunakan tanah pada basuhan yang
terakhir.
Wajibnya pencucian 7 kali dikatakan oleh kebanyakan ulama, Imam Nawawi
dalam “Al Majmu” (2/580) menulis :
b
*0 +J Â, BŒ
sJ ÂLJ sZ á J L: 8GC
f%1 *` O&2
*%« Ÿ (LJ á l›: ^ Ji
“dinukil oleh Imam Ibnul Mundzir wajibnya mencuci 7 kali dari sahabat Abu Huroiroh ,
sahabat Ibnu Abbas , Imam Urwah bin Zubair, Imam Thowus, Imam Amr bin Dinar,
Imam Malik, Imam Al Auzaa’I, Imam Ahmad, Imam Ishaq, Imam Abu Ubaid dan Imam
Abu Tsaur”.
Namun sebagian ulama tidak mewajibkannya, menurut mereka boleh mencuci 3 kali, 5
kali atau 7 kali, pendapat dikatakan oleh Imam Az-Zuhri, bahkan Imam Abu Hanifah
mengatakan cukup 1 kali kalau memang bekas najisnya sudah hilang, demikian nukilan
dari Imam Nawawi masih dalam kitab dan halaman yang sama. Dalil mereka adalah :
Ž $Š ¸G+Ž † Ž $Š ‹«X
Š «Š ƒ 7‚ G
– CŽ † ƒ —'$Š : – †'¼– O §‚ 7Š † _
„ 7‰ &Š ‰ O •P7: (7J M O75• OL„—
„ J† sŠ † Ž† Zƒ O„$Š Ž J†
¸LŽ :†
“dari Abu Huroiroh dari Nabi tentang Anjing yang menjilat bejana : “ bahwa ia dicuci
sebanyak 3 kali atau 5 kali atau 7 kali” (HR. Baihaqi, Daruquthni dan selainnya).
Semuanya dari jalan :
sŠ † Ž† Zƒ O„$Š Ž J† 
„ † JŽ È· „ J† 0 †'Œ
O„$Š Ž J† V „ (Ž hŠ † sŠ † Ž Jƒ „ Ž !„ †Z Ž J† ä
¬ —(J† „ Ž 8Š (J†+:Ž #„ Ž J† ¶ —›—U
ƒ Ž f
„ —Z%† ‰ ƒ LŽ J†
Imam Nawai dalam “Al Majmu” (2/) mengomentari hadits ini :
6 4‘ O7J \+Ò fZ%
LJ * ¥4? @46 c(‘ W2 ' %E >4(2 Ÿ SD2 +J f%€ 8D
u€ 8Z ˜¨ 21 (Z%6 r*L
/ Z s*L
`Z W? ¶D %Z *
7(I
! á 4
`Z ! å2 Ÿ ^
LJ r*L
Z U V`Z _-J VJ µ*6 ; j*kL
a +U 81ŒJ M “¤ [7I (
# [1k >J%‘% sB9 W02 p2 f`& fZ%
LJ
* 81
`Z ; !X&
[G Ô s*%E 6. %› ( 4
`Z >+- % b
. ª p› p)
8(JÓ 6G4 G4 u€ 8LI I I * W? uU r0* (7J PELZ` * (7J W?
!Z J W? `Z n* A(
J D* %L ; c7D Ai? J D* æ 4‘ 7J l4D+ ä(J
2 n`
fZ%
LJ ( c( 4U _L: W? ; & < %
SD) X ni2 ' !%7 sJ
V45
“adapun jawaban terhadap hujjah yang dibawakan oleh Imam Abu Hanifah adalah bahwa
hadits ini dhoif dengan kesepakatan para Hufadz, karena ini adalah riwayatnya Abdul
Wahhab yang telah disepakati kedhoifannya dan ke-matruk-kannya. Imam Al Uqoiliy
dan Imam Daruquthni berkata, ia matrukul hadits, ungkapan ini adalah ungkapan yang
keras dalam melemahkan dan menjarh sebagaimana disepakati oleh Ahlu Jarh wa Ta’dil.
Imam Bukhori berkata dalam “Tarikhnya” : ‘Abdul Wahab memiliki keanehan-keanehan’,
ini juga merupakan ungkapan yang yang melemahkan. Imam Abdur Rokhman bin Abi
Hatim –pakarnya ilmu jarh wa ta’dil berkata : ‘Bapakku berkata, Abdul Wahhab berdusta,
ia menghadistkan hadits-hadits yang kebanyakannya adalah hadits palsu, maka aku
pernah keluar menemuinya dan berkata kepadanya, ingatlah takutlah kepada Allah,
berjanjilah kepadaku agar engkau tidak meriwayatkan hadits lagi, namun setelah itu ia
meriwayatkan hadits lagi’. Imam Nawawi berkata, perkataan para Imam dalam ilmu ini
dan yang semisal yang aku sebutkan sangat masyhur, sengaja aku memperpanjang
pembicaraan terhadap rowi ini karena poros dalam hadits ini adalah kembali kepadanya
dan madhzabnya mereka berporos dari hadits ini, sehingga aku ingin menjelaskan hadits
dan perowinya, karena dikatakan tidaklah diterima Jarh kecuali yang dijelaskan alasannya
dan aku telah menjelaskannya. Adapun Ismail bin ‘Iyaasy maka telah disepakati
kedhoifannya jika meriwayatkan dari orang-orang Hijaz dan terjadi perbedaan pendapat
tentang penerimaan riwayatnya dari orang-orang Syam dan disini ia telah meriwayatkan
dari Hisyaam bin Urwah yang sudah diketahui bahwa ia adalah orang Hijaz, sehingga
riwayatnya tidak dapat dijadikan hujjah sekiranya hadits ini tidak ada sebab lainnya,
maka bagaimana jika hadits ini ada perowi Abdul Wahab yang keadaannya telah kami
terangkan”.
Al Imam berpendapat bahwa yang najis adalah jilatan atau minumnya anjing dan
babi, namun anggota badannnya yang lain tidak najis, artinya jika kaki Anjing atau Babi
misalnya masuk kedalam air, maka tidak menyebabkan air menjadi najis. Dalam
permasalahan ini Imam Syafi’I sependapat dengan gurunya Imam Malik yang
mengatakan bahwa badan Anjing tidak najis alias suci, namun kebanyakan pendukung
madzhab Syafi’I mengatakan bahwa Anjing najis badannya juga, diantara mereka yakni
Imam Ar Rofi’I dalam “Syarhul Wajiz” (1/261) berkata :
lL: + VBh cÆ'$ + B4D
0
_1 ª 6 .# f7
6XU -Œ1 -: J Z2$
ã%
%
Bh 8GC b
J :( r:
-G f7
Bh 1 æ a$ VBh O4 ( ©(7CD
0* .=
L6 ã%
%
8GC
VJ Z, _7&
“yang pertama, peluh, seluruh bagian tubuh dan sisa Anjing seperti jilatan Anjing, jika
mengenai sesuatu (sehingga menajiskannya), maka wajib dibasuh beberapa kali (7 kali)
dan dibasuh juga dengan tanah. Karena mulutnya adalah bagian yang paling bersih
dibanding bagian tubuh lainnya, sebagaimana telah berlalu, maka jika mulutnya saja
keadaanya sangat parah (najis), maka tentunya bagian yang lain lebih utama (untuk
dikatakan najis). Kemudian untuk hal lain selain air liurnya dikiaskan seperti najis
lainnya. Adapun menurut Imam Malik tidak perlu untuk dicuci selain jilatannya karena
tubuh Anjing suci menurutnya, adapun mencuci karena jilatannya adalah ibadah”.
Yang lainnya lagi Imam Al Fairuz Abadzi dalam “Al Muhadzab” berkata :
b
. ; 8(I _» P7 *0 a# OJ0 f13 *0 a# J0 P7: (7J M O75 N
$ j* R %E _7&
$
R _7&
$ O7J [ >G [G(
s| ] : I sZ X *0 ; 8(I [ L7 X *0 ; # ] : I
“Adapun Anjing maka ia najis, berdasarkan hadits dari Nabi , bahwa Beliau pernah
diundang ke rumah salah seorang sahabar, maka Beliau memenuhi undangannya. Pada
kesempatan lain Beliau diundang, namun tidak memenuhinya, ketika ditanya
alasannya, Beliau menjawab : “karena rumah Fulan ada Anjingnya”. Maka dikatakan
bahwa rumah fulan yang pernah Nabi kunjungi juga ada kucingnya, maka Beliau menjawab : “Kucing tidak Najis”. Maka hal ini menunjukan bahwa Anjing (badannya)
Najis”.
Kemudian Imam Nawawi dalam “Al Majmu” (2/567-568) mensyarahnya :
(LJ %$ *%« %$ l›: ^ >4(2 %$ Ji BL&
BCd
VBh P7 >GR E7 fX&
LZ`
sJ jdL
G? J `Z O&2 L6 h%
' 8Gh _» Ô Z, %Z 00 b
jZŒ
M ‘* +J W{ EG \‘% 8Gh ` < (PŽ &‚ (Ž 7Š J† † &‰ G
† Ž $Š —+ %‚7&‚ Š ) a6 M %I P| SD2 BŒ
(b
. ](/ %/ %'%& P7 P7: (7J M O75 M %:* i ; G ; 6 8LI6 fX&
[') +EJ
s*L
V`Z 89 k(/ `Z ^$ À 0: a# á$ «2 _(L/ ^ I ›(›5 ; j*kL
V.
n* W? !%7J ; ž‘ b
. 4
`Z 8Z$ J “ %Z + J V* j*kL
d6 7J %+K
SD2 (b
. ](/ %/ %'%& P7 G ; 6 8LI6 fX&
) ( XdD W? `Z VBh IE(L
o B7 P2$ ' ; _7&
§
.#) P7: (7J M O75 M %:* $ J M ‘* sZ á$ W{ ›5
( §
.# P2 ' *%E,) P7: (7J M O75 M %:* U$ sZ Ÿ$ J P7G V* (r \L: 7GC(
\L: 8GC ( _7&
§
.# P2 '$ E,) >* æ P7G V* (fD
Z $ r \L: 7GC $ _7&
>J‘ J (t “X6 `](2 %& ' D* $ GR & < %
' sZÐ W? >
(r
p? s*E, 7J Z 8+? *`6 R $ p2 %&6 s*E
U$ sZÐ T9
W? >
! _7&
5 8Gh _» '$ ; X >± PE1D2 J ›5 f1$ s*E, [(D
\¨ J L(Ò OIE(L
I +J W2 J f%€ ' “Xç 7Gh ; >I >1›7
%4 %E L1%' < 8GC
8L +J W2 & ®$ _7&
èd
% 7J ä
f%1 _7&
% >:R 7J %+7G
P7J$ M 7Gh Œ
I(6 + '& O4 |% $ _7&
ã%
“Madzhab kami adalah Anjing seluruh (badannya) najis baik yang terlatih maupun yang
tidak, baik yang kecil maupun yang besar. Ini juga pendapatnya Imam Al Auza’I, Imam
Abu Hanifah, Imam Ahmad, Imam Ishaq, Imam Abu Tsaur dan Imam Abu ‘Ubaid.
Berkata Imam Az-Zuhriy, Imam Malik dan Imam Dawud (Adh-Dhohiri) bahwa Anjing itu
suci, hanyalah wajib mencuci bejana dari jilatannya dalam rangka ibadah saja, dinukil
juga pendapat ini dari Imam Al Hasan Al Bashri dan Imam Urwah bin Zubair, mereka
berdalil dengan firman Allah : “makanlah (binatang buruan) yang mereka (binatang
pemburu yang terlatih) menangkapnya untuk kalian” (QS. Al Maidah (5) : 4). (sisi
pendalilannya) disini tidak disebutkan mencuci binatang buruan yang mereka tangkap.
(dalil mereka lainnya) adalah hadits Ibnu Umar beliau berkata : ‘Anjing pada zaman
Rasulullah keluar masuk masjid dan tidak ada perintah menyiram air dari bekasnya
sama sekali”. Imam Bukhori menyebutkannya dalam shahihnya. Imam Ahmad bin
Syabiib berkata, haddatsanaa Bapakku sampai akhir sanad dan matannya. Ahmad ini dan
gurunya (Bapaknya) dan yang semisalnya adalah ungkapan bahwa sanadnya bersambung.
Imam Bukhori meriwayatkan darinya sebagaimana sudah ma’ruf bagi yang berkecimpung
dalam ilmu ini dan hal ini sesuatu yang jelas dalam ilmu hadits. Imam Baihaqi dan
selainnya meriwayatkan hadits ini dengan sanad bersambung dari Ibnu Umar , beliau berkata : ‘Anjing keluar masuk masjid dan tidak ada penyiraman dari bekasnya
sedikitpun’. Sahabat kami berdalil (tentang najisnya Anjing-pent.) dengan hadits Abu
Huroiroh bahwa Rasulullah bersabda : “Jika Anjing menjilati bejana kalian, maka
buanglah airnya kemudian dibasuh sebanyak 7 kali”. Dalam riwayat Muslim dari Abu
Huroiroh juga bahwa Rasulullah bersabda : “Sucinya bejana kalian jika dijilati Anjing
adalah dicuci sebanyak 7 kali”. Hadits pertama sisi pendalilannya sangat jelas yakni,
sekiranya hal ini tidak najis, tentu Beliau tidak akan memerintahkan untuk membuang
air (bekas jilatannya) karena ini membuang harta dan kita dilarang dari membuang harta
(secara mubadzir). Sisi pendalilan hadits yang kedua juga sangat jelas, bahwa pensucian
itu karena hadats atau najis, dalam hal ini sangat sulit untuk membawa pensucian ini
karena hadats, maka tidak lain lagi bahwa pensucian ini karena najis. Sahabat kami
membantah hujjah (ulama yang mengatakan Anjing suci) yang berdalil dengan ayat
diatas yakni, bahwa telah ma’ruf perselisihan pendapat wajibnya atau tidaknya mencuci
sesuatu yang terkena Anjing dan tidak dalil mereka dalam hal ini, karena bisa jadi (tidak
adanya perintah mencuci) karena dimaafkan untuk suatu keperluan atau adanya
kesulitan besar dalam mencucinya, namun tidak ada perselisihan terkait bejana (untuk
dicuci). Adapun sanggahan terhadap dalil mereka dengan hadits Ibnu Umar , maka
Imam Baihaqi berkata : ‘disanggah dengan ijma kaum Muslimin tentang najisnya kencing
Anjing dan wajibnya memercikan air karena kencingnya bayi laki-laki, maka kencingnya
Anjing lebih utama untuk dicuci, maka (kemungkinan) hadits Ibnu Umar sebelum
adanya perintah mencuci jilatan Anjing atau karena kencingnya tidak diketahui
tempatnya, seandainya mereka tahu tentu akan mencucinya, Wallahu A’lam’.
Barangkali penjelasan yang lebih jelas lagi tentang najisnya badan Anjing adalah
perkataan Imam Syaukani dalam “Nailul Author” (1/85) :
>Š :† †'† !ƒ Œ„ 7‰ D†G
Ž †† Y Á „ '† ƒ +ƒ 4Š Š Y  + Š @
ƒ † J† %† Zƒ † ¸G
„ '† ƒ ƒ†
‚ Š Š Š.# ƒ —'3Š
 _
„ 7‰ &Š ‰ > :† †'† OŠ7J† ¸UŽ$Š W
 ›
† ‰ Š`E† „ ” Dƒ:Ž †
. *ƒ %ƒE+Ž ƒ ‰ Š`Z† OŠ
# _
† Z† .Š Ž Š † Y OŠ
Ž $Š  '„† † >‚ —(I L†Š  ( † “
ƒ † /Ž $Š ƒ +ƒ Š † Y  + Š Ž  é ŒŽ 1ƒ ƒ ††
‚ ”3Š
 b
† .Š † Y  '„† † „ -†:
“Hadits (tentang jilatan Anjing) dijadikan dalil najisnya (badan) Anjing karena jika air
liurnya adalah najis sedangkan ia adalah kelenjar ludah yang ada dimulutnya, maka
mulutnya najis, hal ini melazimkan juga najisnya seluruh badannya, karena air liurnya
adalah bagian dari mulutnya, sedangkan mulut adalah bagian yang paling mulia, maka
anggota tubuh lainnya lebih utama (untuk najis). Ini adalah pendapatnya jumhur ulama”.
Namun Imam Ibnu Hazm dalam “Al Muhalla” (1/200) membela pendapatnya :
A
¬ I (†„ b
† .Š 8Š LŽ Š Á Z Š, Ï X†2 ƒ —'È· ܆@Ž Z† † b
† ·  8Š G
Ž hŠ XŠ  -†UJŽ $Š …
ƒ Ž †  ( 8Š † 0† Ž $Š  ( \† Š † Ž $Š _
ƒ 7‰ &Š ‰  ( 8Š Š $Š † —$Š†
Ý£†„ # „ („Ž —D
† ê„ „ ›
Ž —D
OŠ
# 8‚ I D†Ž † XŠ • r
 †2†L+ƒ ‰ „ -†:† f
„ *„ †+† ‰† P„ J Š+† ‰ Ž  OŠ
†6† ƒ ”7
ƒ 2† †$Š —+ Š Š ‰ # •
_
ƒ 7‰ &Š ‰† Y„˜†LG
Ž  f
¬ †' j. ”8‚ !† —2† OŠ
†6† † ”7
ӑ
· Š Š Š Î Ž /† j$Š    † J† † _
„ 7‰ &Š ‰ f
„ †
‚ > Š†i# f
ƒ %ƒ1ƒ —$Š† .n†%JŽ † „
ƒ ƒ†D1Ž † ƒ Dƒ
Š†i# º
† „ ‚ !ƒ †›
† ‰† YÁ!†2† †+Eƒ Š ƒ U
ƒ Ž † ƒ ‚ † J† † ƒ ƒ†
‚† YÝb/† X„ !Á †2† !„ †›
† ‰ …
ƒ Ž †† YÁ!†2† %† Eƒ Š Y„˜†LG
Ž  f
¬ †' ‚.
“adapun sesuatu yang dimakan Anjing atau sebagian anggota tubuhnya masuk kedalam
air, maka tidak perlu dicuci dan juga dibuang airnya, karena ia tetap halal dan suci
sebelumnya secara yakin –yakni sesuatu yang telah Allah membolehkannya berupa
makanan, minuman atau hal-hal mubah lainnya- sehingga tidak boleh memindahkan
suatu hukum menjadi haram atau najis kecuali dengan nash (Al Qur’an dan Hadits) tidak
hanya sekedar klaim. Adapun wajibnya mencuci air liur Anjing yang menempel pada
sesuatu karena Allah mengharamkan setiap binatang buas yang bertaring dan Anjing
termasuk didalamnya, maka ia haram (untuk dimakan), maka sebagian yang haram
adalah haram tanpa keraguan, sedangkan air liur dan peluhnya adalah sebagian yang
haram tadi, maka yang haram wajib untuk dibersihkan dan dijauhi’.
Dari pemaparan pendapat para Aimah kita, pentaliq cenderung kepada pendapatnya
Imam Syafi’I dalam masalah ini yang didukung juga oleh Imam Ibnu Hazm bahwa
anggota tubuh Anjing lainnya adalah suci karena hukum asal ini tidak nash yang shorih
(yang jelas) yang merubahnya menjadi najis, hanyalah najis berasal dari air liurnya. Hal
ini berdasarkan dalil ‘Al Ishtishhaab’ yakni sebagaimana yang didefinisikan oleh Syaikh
Prof. Abdul Wahab Kholaf dalam “Ilmu Ushul Fiqih” :
? b76 BC6 O7J 8(
0 !%I m2 Y8L E(7J ß
? O7J P&? %Z
“menghukumi atas sesuatu hal yang telah ada sebelumnya sampai adanya dalil yang
merubah dari status hukum sebelumnya ini”.
sampai pada perkataan beliau rohimahulloh :
O7J (J/ X(
0 » < +JÈ 8+J $ f/ j$ $ !, j$ $ rL' $ 0¨ $ %(2 P&2 J ED¾ 8]: .#
; M È Y>2¼ (/È ; 85È Ô# .VBC6 O7J 8(
0 PI < 85È Z >2¼ È YD2= P&2 Y+&2
[29 :sIL
] { ‹(+1† º
„ *Ž È·  — P‚&
Š l† 7Š † j`”
%† Zƒ } :ê&
D
“jika seorang Mujtahid ditanya tentang hukum hewan atau benda atau tumbuhan atau
makanan atau minuman atau amalan apapun yang tidak didapati dalil syar’I atas
hukumnya, maka dihukumi boleh karena kebolehan adalah asal sebelumnya yang tidak
ada dalil yang merubahnya dan asal segala sesuatu adalah boleh, sebagamana firman
Allah : “Dialah yang menciptakan untuk kalian semua apa yang ada di bumi seluruhnya”
(QS. Al Baqoroh (2) : 29).
Adapun pendapat Imam Syafi’I yang menyamakan Babi dengan Anjing dari sisi
pencucian bekasnya air liurnya dengan 7 kali basuhan seperti dalam kasus jilatan Anjing
adalah berdasarkan kias, yakni bahwa kotornya Babi sama dengan Anjing. Namun
berdasarkan dalil ‘Istishhaab’ maka kami lebih condong kepada pendapat tidak
disamakan Babi dalam hal pencucian seperti Anjing. Imam Nawawi dalam “Al Majmu”
(2/586) berkata :
`Z ¿x >: %
`
+7
9$ f6 X s2 >7Gh O4& '$ 8(
W(2 ž1
$ P7J
LD
O7J >(L >
3G V`Z ; +(: ˜
0 m2 f%1%
!J 85 *Dk %Z
“ketahuilah yang rojih dari sisi dalil bahwa mencukupkan mencuci (jilatan Babi) sebanyak
1 kali tanpa menggunakan tanah, ini adalah pendapatnya kebanyakan ulama yang
mengatakan najisnya Babi dan ini adalah pendapat yang terpilih. Karena hukum asal
adalah tidak wajib sampai datang (dalil) syar’I (yang merubahnya) terlebih lagi dalam
masalah (pencucian 7 kali bagi Anjing-pent.) dibangun berdasarkan ibadah”.
Kemudian Al Imam menyebutkan hukum air yang kejatuhan atau bercampur
dengan benda suci, maka kaedah ringkasnya adalah ‘selama benda suci tadi tidak
merubah nama air mutlak menjadi nama air yang dinisbahkan kepadanya, maka airnya
tetap suci dan mensucikan, namun jika sudah berubah kemutlakkan namanya, maka
airnya suci namun tidak dapat digunakan untuk bercuci’. Misalnya ada kopi sedikit yang
masuk kedalam air, namun air tersebut masih dinamakan air mutlak, maka boleh
digunakan untuk bersuci, namun kalau namanya sudah berubah sehingga disebut
sebagai air kopi maka tidak boleh digunakan berwudhu.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Madzhab Imam Syafi’I dan
yang sependapat dengan beliau rohimahulloh membagi air menjadi 2 yakni, air sedikit
dan air banyak. Air sedikit secara mutlak menjadi najis jika ada najis yang bercampur
dengannya, sedangkan air yang banyak maka dlihat apakah najis tersebut merubah
salah satu sifat air. Yang sependapat dengan beliau rohimahulloh sebagaimana
dikatakan oleh Imam Shon’aniy dalam “Subululus Salam” (syaroh hadist no. 2) adalah :
r
Ž † —(hŠ Š.# ”
# Vƒ ÃU
ƒ 6† Š
B
¬ 9Š † Y ‹I7Š ‰ ƒ >‚ :† †—
Vƒ ÃU
ƒ 6† 8¬ (7Š OŠ
# – †+
‰ > +† G
Ž  OŠ
# Y >‚ —(  —
† Y >‚ —(4 †›
† ‰† Y >‚ —„ 0† †E
‰ _
† Z† .Š †
B
„ 9&Š ‰† 8„ (7IŠ ‰  ›
Ž 6†  b
† .Š † Ž † %‚47Š D†Ž —P«‚ Y   †5Ž $Š …
† Ž †
“Al Hadawiyah, Al Hanafiyah dan Asy-Syafi’iyyah berpendapat untuk membagi airnya
menjadi air sedikit yang akan terkontaminasi dengan najis yang bercampur dengannya
secara mutlak, dan air yang banyak tidak merusaknya kecuali jika berubah salah satu
sifatnya, lalu mereka berbeda pendapat dalam menentukan batasan air sedikit dan
banyak”.
Sebelumnya Imam menyebutkan pendapat yang tidak membedakan air sedikit atau
banyak :
Y  „†›5
Ž $Š Ž  >Ï J† †+1† † Y  (Ž Š%Ž Š  2† $Š  ƒ +† 2Ž $Š† Y >‚ —„ Z ”Æ
† b
Á †† Y „ î‰
Ž  >Ï J† †+1† † Y sŠ Œ† +Ž 2† ƒ Ž O†(›
Ž †† Y Pƒ : ŠI
‰ _
† Z† `Š Š
¸B9Š Ž $Š Š Š ‹7(7Š Y *Á %ƒE,Š ƒ —'$Š OŠ
#
“Al Qosim, Yahya bin Hamzah, jamaah ahlu bait, Malik, Dhohiriyah, Ahmad dalam salah
satu pendapatnya, sekumpulan sahabatnya berpendapat bahwa ia tetap suci (jika najis
bercampur dengan air, namun tidak merubah salah satu sifatnya-pent.) baik air sedikit
maupun air banyak”.
Pentaliq lebih condong kepada pendapat yang tidak membedakan air sedikit maupun
banyak, yang dijadikan patokan adalah apakah najis merubah salah satu sifat air atau
tidak, bukan dari sisi volume airnya. Sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Utsaimin
dalam “fatawanya” :
#" :W2 A ( >‘* X c(‘ '# : + .4(U6 ›(›d6 ; +7
c7D I ADï7Š I‚ W2 $
:%+ .‹%E4 ‹% # :I( ž(›5 '3 %I
O7J .>—2ƒ !%I6 c(—U
È Ü "/ G *%ƒE,Š
$ %E4 .˜¨¼ ‹GR %& '= >:—
BC6 .# 9DGƒ 'È Ü%+J O7J `Z (
Y < AD7‚ §7 .#
`Z O7J !—I "/ ƒG†ƒ *%ƒE,Š #" :W2 @% È Ü>:—
—(C6 .# :I( Y AD‡7I‚ 0 .—(C6 .# +( >05 Z Z Ys2 s*%d @d !%E4 ”# .# Y!%E4
“Adapun hadits 2 kulah, para ulama telah berbeda pendapat tentang keshohihan dan
kedhoifannya, para ulama yang berpendapat haditsnya dhoif, maka tidak bisa menentang
hadits (Air itu suci) karena hadits dhoif tidak bisa dijadikan hujjah. Namun berdasarkan
pendapat yang menshohihkannya maka mereka berkata, dalam hal ini ada ‘Manthuq’ dan
‘maJum’. Manthuqnya adalah jika air telah mencapai 2 kulah tidak najis dan ini bukan
atas keumumannya, karena disini dikecualikan jika najis merubah salah satu sifatnya
maka ia menjadi najis berdasarkan Ijma. MaJumnya adalah bahwa air yang kurang dari 2
kulah akan menajiskannya. Ada yang mengatakan, (air sedikit tersebut) akan menjadi
najis jika najis merubah salah satu sifatnya, karena manthuq hadits : “Air itu suci tidak
ada yang menajiskannya” lebih didahulukan dari mafhum ini, yakni mafhumnya akan
cocok dengan bentuk tunggal seperti ini yaitu ia benar berubah (menjadi najis) jika najis
merubahnya”.
Sebelum kita ringkaskan penjelasan Imam Ibnu Utsaimin, kami akan nukilkan
penjelasan tentang ‘Manthuq’ dan ‘mafhum’ dari bukunya Syaikh Prof. Abdul Wahab
“ilmu Ushul Fiqih” sebagai berikut :
0K $ >C ‹ˆ(C $ g , $ c5% %5% 3 Y(I (I 8K ; P&2 O7J J
£
0 .#
%E4 %E (I
J O4D' j`
8" P&2 $ Y£
@% %Z (I
( lIq j`
8" ; £
P&2 %& Y0
.c
k
“Jika Nash Syar’I menunjukan atas suatu hukum pada kondisi terikat dengan sesuatu
yakni ia disifati dengan suatu sifat atau disyaratkan dengan suatu syarat atau dibatasi
dengan suatu batasan atau jumlah tertentu, maka hukum nash pada kondisi yang
berkaitan dengan sesuatu yang terikat tadi dinamakan Manthuqnya Nash adapun hukum
yang dinafikan dari sesuatu yang terikat tadi dinamakan Mafhum Mukholafah”.
Dalam penjelasan Imam Ibnu Utsaimin manthuqnya adalah air itu tetap suci sedangkan
mafhum dari hadits 2 kulah adalah air sedikit mengandung najis, maka dapat
dikompromikan bahwa mafhum hadits 2 kulah dibawa kepada manthuq hadits air tetap
suci yakni jika najis merubahnya, sehingga hal ini lebih sesuai. Sebagaimana menurut
penelitian ilmiah sekarang bahwa air memiliki unsur-unsur yang apabila unsur tadi
berubah karena ada suatu benda yang mencampurinya maka pada batasan tertentu air
tersebut akan rusak, sehingga yang dijadikan adalah apakah benda yang
mencampurinya merubah unsur air tersebut atau tidak, sehingga hukum dikaitkan
dengan perubahan tersebut bukan ditinjau dari volemenya, sekalipun dapat kita
katakan bahwa ketika ada najis yang jatuh kedalam air sedikit dan kita melihatnya akan
menimbulkan rasa jijik, sehingga pendapat yang mengatakan makruhnya air sedikit
yang kejatuhan najis untuk digunakan tidak terlalu jauh dari kebenaran sebagaimana
perkataan Ibnu Rusydi dalam “Bidayatul Mujtahid” (1/25) :
.>(Z&
O7J V ; sZ Ÿ$ W2 8+) $ %Z Y\+€ ; >I, EG2$ YjJ _Z` a$
“dan pendapat yang lebih utama menurutku dan metode yang terbaik dalam
mengkompromikan hadits-haditsnya adalah bahwa hadits Abu Huroiroh (tentang
kencing di air yang diam-pent.) dan yang semakna dengannya (yang dianggap syafi’iyyah
sebagai air sedikit-pent.) dihukumi makruh”.
Download