PDF (BAB I)

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di tahun 2014 warga di Jawa Tengah mengalami musibah meletusnya
gunung Kelud yang ada di wilayah Jawa Timur. Letusan itu menghasilkan abu
vulkanik yang sangat banyak hingga sampai ke beberapa wilayah di Jawa Tengah,
khususnya Surakarta. Abu vulkanik yang sangat tebal menyebabkan saluran
pernapasan terganggu apabila dihirup oleh manusia. Infeksi saluran pernapasan
atas menempati urutan pertama pada tahun 1999 dan menjadi urutan kedua pada
tahun 2000 dari 10 penyakit terbanyak rawat jalan. Infeksi saluran pernapasan
menjadi penyebab kematian umum terbanyak kedua dengan persentase 12,7 %
(Direktorat bina farmasi, 2007). Pada tahun 2013 prevalensi ISPA pada semua
umur di Jawa Tengah sekitar 28% (Riskesdas, 2013).
Infeksi menjadi masalah utama yang dapat menyebabkan mortalitas dan
morbiditas di Indonesia maupun dunia. Infeksi saluran pernapasan berdasarkan
letaknya digolongkan menjadi dua yaitu infeksi saluran pernapasan atas dan
infeksi saluran pernapasan bawah (Somantri, 2008). Namun yang sering terjadi
pada masyarakat Indonesia sehari - hari yaitu infeksi saluran pernapasan atas yang
terdiri dari infeksi pada telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) (Syamsudin dan
Keban, 2013). Infeksi saluran pernapasan atas terdiri dari otitis media, sinusitis,
faringitis, laringitis, rhinitis, dan epiglotitis (DiPiro et al., 2008). Infeksi saluran
pernapasan atas apabila tidak segera diatasi dengan baik maka akan berkembang
menyebabkan infeksi saluran pernapasan bawah.
Pada pasien infeksi saluran pernapasan atas, antibiotik merupakan obat
pilihan utama namun penggunaannya tetap harus sesuai pedoman dan sesuai
indikasi (Patil & Khairnar, 2013). Pemilihan dan penggunaan terapi antibiotika
yang tepat dan rasional akan menentukan keberhasilan pengobatan untuk
menghindari terjadinya resistensi bakteri (Worokarti, et al., 2005). Penggunaan
antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan terjadinya toksisitas, efek samping
1
2
obat lebih tinggi, efektifitas obat tersebut menjadi rendah dan biaya pengobatan
lebih tinggi.
Menurut Ismayati (2010) kasus infeksi saluran pernapasan atas di RSUD
Dr. Moewardi tahun 2008 sebanyak 70 kasus dan seluruhnya menggunakan terapi
antibiotik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa evaluasi antibiotik pada pasien
dewasa rawat jalan yang menderita ISPA di RSUD Dr. Moewardi tahun 2008,
yaitu untuk tepat indikasi sebesar 80%, tepat obat sebesar 21,43%, tepat dosis
sebesar 17,14%, dan tepat pasien sebesar 80%.
Pada penelitian yang sudah dilakukan Ismayati (2010) menunjukkan
tingginya prevalensi penggunaan antibiotik pada pasien infeksi saluran
pernapasan atas yang tidak sesuai dengan standar terapi. Hasil penelitian tersebut
mendorong peneliti untuk melakukan perbandingan ketepatan penggunaan
antibiotik pada pasien infeksi saluran pernapasan atas pada tahun 2008 dengan
2014 dengan judul penelitian “Perbandingan Ketepatan Penggunaan Antibiotik
pada Pasien Dewasa Penderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas di Instalasi Rawat
Jalan RSUD Dr. Moewardi Tahun 2008 dengan 2014”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah penelitian
yaitu:
1.
Apakah penggunaan antibiotik pada pasien dewasa penderita infeksi saluran
pernapasan atas di instalasi rawat jalan RSUD Dr. Moewardi tahun 2014
sesuai dengan standar terapi WHO tahun 2001?
2.
Bagaimana perbandingan ketepatan penggunaan antibiotik pada pasien
dewasa penderita infeksi saluran pernapasan atas di instalasi rawat jalan
RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2008 dengan 2014?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu :
1.
Mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik pada pasien infeksi saluran
pernapasan atas dewasa di instalasi rawat jalan RSUD Dr. Moewardi tahun
3
2014 yang meliputi tepat obat, tepat indikasi, tepat pasien, dan tepat dosis
sesuai dengan standar terapi WHO tahun 2001.
2.
Mengetahui perbandingan ketepatan penggunaan antibiotik pada pasien
dewasa penderita infeksi saluran pernapasan atas di instalasi rawat jalan
RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2008 dengan 2014.
D. Tinjauan Pustaka
1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas
a. Definisi Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Infeksi saluran pernapasan atas merupakan istilah yang digunakan untuk
menyatakan adanya infeksi yang terjadi di tenggorokan (laring), atau jalan utama
udara (trakea), atau jalan udara yang masuk ke paru - paru (bronkus). Infeksi
saluran pernapasan atas ini dapat menyerang semua usia. Tanda – tanda klinis dari
gangguan infeksi saluran pernapasan atas yaitu batuk, demam, sulit bernapas atau
napas pendek, dan adanya dahak atau lendir (Syamsudin dan Keban, 2013).
Faktor – faktor yang mempengaruhi penyebaran dari infeksi saluran pernapasan
yaitu faktor lingkungan, perilaku masyarakat sendiri, dan kurangnya gizi yang
baik (Direktorat bina farmasi, 2007).
b. Penyebab Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Infeksi saluran pernapasan atas disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri.
ISPA atas sangat sering terjadi di bulan – bulan menjelang akhir musim hujan dan
awal musim kemarau. ISPA juga bisa disebabkan oleh debu, hewan, dan jamur di
dalam ruangan.
Bakteri
penyebab
infeksi
saluran
pernapasan
atas
antara
lain:
Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumonia,
Streptococcus (S pyogens). Group A merupakan bakteri utama penyebab
faringitis, Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Arcanobacterium
haemolyticum, Moraxella catarrhalis.
Sedangkan virus penyebab infeksi saluran pernapasan atas antara lain:
Rhinovirus, virus Influenza A, respiratory syncytial virus, virus korona,
parainfluenza, adenovirus, dan virus Epstein-Barr (Syamsudin dan Keban, 2013).
4
c. Klasifikasi Infeksi Saluran Pernapasan Atas
1) Common Cold
Common cold merupakan istilah untuk infeksi saluran pernapasan atas
yang
disebabkan
oleh
virus
misalnya
rhinovirus,
coronavirus,
virus
parainfluenza, RSV (respiratory syncytical virus), dan virus influenza. Masa
inkubasi common cold biasanya 2 – 4 hari, gejala awalnya yaitu terjadinya
rinorea, bersin, obstruksi hidung, dan postnasal drip. Gejala umumnya yaitu sakit
tenggorokan, suara serak, batuk, malaise umum, dan demam ringan.
Komplikasi yang dapat terjadi pada common cold yaitu sinusitis, otitis
media, bronkitis, dan pneumonia (Francis, 2008).
2) Sinusitis
Sinusitis adalah salah satu kondisi kronis yang paling sering terjadi pada
seluruh kelompok usia. Sinusitis mengacu pada peradangan pada rongga sinus,
yang lembab, ruang kosong dalam tulang tengkorak. Secara umum, biasanya
sinusitis dikategorikan sebagai penyakit akut, karena gejalanya bertahan selama 3
atau 4 minggu dan kadang - kadang hingga 12 minggu atau lebih. Bakteri
penyebab sinusitis yaitu Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan
Moraxella catarrhalis (Syamsudin dan Keban, 2013).
Gejala lokal dari sinusitis yaitu hidung tersumbat, sekret hidung yang
kental dan berwarna hijau kekuningan atau jernih, dapat pula disertai bau, nyeri
tekan pada wajah di area pipi, diantara kedua mata dan dahi. Ada juga gejala
umum dari sinusitis yaitu batuk, demam tinggi, sakit kepala/ migrain, serta
menurunnya nafsu makan, dan malaise (Piccirillo, 2004).
Penegakan diagnosis yaitu melalui pemeriksaan klinis THT, aspirasi sinus
yang dilanjutkan dengan kultur, dan dijumpai lebih dari 10 4/ml koloni bakteri,
pemeriksaan x - ray dan CT scan (Direktorat bina farmasi, 2007).
3) Otitis Media
Otitis media dapat didefinisikan sebagai adanya cairan di bagian tengah
telinga, karena tanda - tanda atau gejala - gejala penyakit lokal akut atau penyakit
sistemik (Syamsudin dan Keban, 2013). Peradangan otitis media terjadi pada
5
sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid,
dan sel – sel mastoid (Iskandar dan Soepardi, 1995).
Diagnosis bisa ditetapkan dengan adanya tanda – tanda lokal seperti
otorrea yang berasal dari tengah telinga, selaput timpani yang membengkak dan
mengandung cairan gelap atau kekuningan, atau cairan merah dibelakang, serta
gejala – gejala lokal seperti rasa sakit di telinga (Syamsudin dan Keban, 2013).
4) Faringitis
Faringitis disebabkan oleh virus seperti adenovirus dan coxsackievirus,
dan bakteri. Streptococcus pyogenes merupakan bakteri penyebab yang tersering,
tetapi Neisseria gonorrhoeae dan Candida juga menyebabkan faringitis. Pasien
mengalami demam dan nyeri pada tenggorokan yang terinfeksi, dapat terlihat
adanya pus atau eksudat (Gillespie dan Bamford, 2009). Gejala yang ditimbulkan
dari penyakit faringitis yaitu demam secara tiba - tiba, nyeri tenggorokan, nyeri
pada saat menelan makanan, mual, malaise, tonsil berwarna kemerahan dan
tampak adanya pembengkakan.
Diagnosis dan pengobatan faringitis streptococcus sangat penting karena
terapi antikuman yang diberikan dalam waktu 9 hari setelah munculnya gejala
awal bisa mencegah demam rematik akut secara efektif (Syamsudin dan Keban,
2013). Faringitis dapat didiagnosa dengan cara pemeriksaan tenggorokan dan
kultur swab tenggorokan. Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 90 – 95% dari
diagnosis, sehingga dapat dipercaya untuk mendiagnosa faringitis.
5) Epiglotitis Akut
Infeksi ini menyebabkan pembengkakan pada epiglotitis yang dapat
mengancam saluran pernapasan. Infeksi ini sering disebabkan oleh Haemophilus
influenzae tipe b dan S. Pyogenes yang merupakan penyebab pada beberapa
kasus, biasanya pada orang dewasa (Gillespie dan Bamford, 2009). Epiglotitis
biasanya sering terjadi pada anak – anak, namun karena tingginya proporsi vaksin
Haemophilus influenzae sekarang terjadi pada orang dewasa (Southwick, 2003).
Gejalanya termasuk pireksia, nyeri tenggorok, laringitis, dan disfagia yang
nyeri. Gejala – gejala napas atas dapat berkembang cepat dengan stridor dan
6
gawat napas. Pengobatan biasanya adalah rawat inap di rumah sakit, dimulainya
terapi antibiotik, dan pemeriksaan jalan atas (Francis, 2008).
6) Tonsilitis
Infeksi THT adalah penyakit yang terjadi dengan frekuensi tinggi (Alasil
et al., 2013). Tonsilitis adalah peradangan pada amandel faring. Peradangan ini
melibatkan daerah lain dari belakang tenggorokan termasuk kelenjar gondok dan
amandel lingual. Tonsilitis terdiri dari beberapa variasi yaitu: akut, berulang,
tonsilitis kronis, dan abses peritonsillar. Tonsilitis disebabkan oleh bakteri, virus,
ragi, dan parasit (Campisi dan Tewfik 2003). Tonsilitis biasanya diobati dengan
rejimen antibiotik.
2. Antibiotik
a. Definisi Antibiotik
Antibiotika (anti = lawan, bios = hidup) adalah zat - zat kimia yang
dihasilkan oleh fungi dan bakteri (Tjay & Rahardja, 2007). Antibiotik berfungsi
untuk menghambat pertumbuhan atau membasmi mikroba lain (BPOM, 2008).
Antibiotik digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi akibat kuman atau
juga prevensi infeksi, misalnya pada pembedahan besar (Tjay & Rahardja, 2007).
Mekanisme kerja dari antibiotik adalah perintangan sintesa protein,
sehingga kuman atau bakteri musnah dan tidak berkembang lagi, misalnya
kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida, dan linkomisin. Selain itu,
antibiotika juga bekerja terhadap dinding sel (penisilin dan sefalosporin) atau
membran sel (polimiksin, zat - zat polyen dan imidazol) (Tjay & Rahardja, 2007).
b. Klasifikasi Antibiotik
Pengobatan antibiotik yang tepat dapat meminimalkan morbiditas dan
berpotensi mencegah komplikasi. Infeksi saluran pernapasan atas yang
disebabkan oleh virus tidak perlu mendapatkan terapi antibiotik, hanya dengan
terapi suportif. Namun, infeksi saluran pernapasan atas yang disebakan oleh
bakteri perlu mendapatkan terapi antibiotik.
Beberapa antibiotik yang sering
digunakan untuk terapi infeksi saluran pernapasan atas :
7
1) Penisilin
Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai
macam jenis yang dihasilkan, perbedaannya hanya terletak pada gugusan samping
R saja. Penisilin termasuk antibiotika spektrum luas yang bersifat bakterisid (Tjay
& Rahardja, 2007). Penicilin merupakan derifat β-laktam tertua yang memiliki
aksi bakterisidal dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel
bakteri.
2) Sefalosporin
Sefalosporin merupakan derivat β-laktam yang memiliki spektrum
aktivitas bervariasi tergantung generasinya. Menurut khasiat antimikrobanya dan
resistensinya terhadap beta laktamase sefalosporin lazimnya digolongkan menjadi
4 generasi yaitu :
a) Sefalosporin generasi ke-1
Pada umumnya sefalosporin generasi 1 tidak tahan terhadap laktamase.
Sefalotin dan sefazolin, sefradin, sefaleksin, dan sefadroksil merupakan zat – zat
yang aktif terhadap gram positif, tidak berdaya terhadap gonococci, H. Influenzae,
Bacteroides, dan Pseudomonas. Zat – zat generasi 1 sering digunakan per oral dan
merupakan obat pilihan kedua pada infeksi saluran pernapasan (Tjay & Rahardja,
2007).
b) Sefalosporin generasi ke – 2
Obat golongan ini lebih kuat tahan laktamase, khasiat terhadap kuman
Gram-positif (Staphylococcus dan Streptococcus) kurang lebih sama. Sefaklor,
sefamandol, sefmetazol, dan sefuroksim lebih aktif terhadap kuman Gram negatif,
termasuk H. Influenzae, Proteus, Klebsiella, gonococci, dan kuman – kuman yang
resisten untuk amoksisilin (Tjay & Rahardja, 2007).
c) Sefalosporin generasi ke – 3
Aktivitas antibiotik sefalosporin generasi ke 3 terhadap kuman Gramnegatif lebih kuat dan lebih luas lagi meliputi Pseudomonas dan Bacteroides,
khususnya seftazidim, sefsulodin, dan sefepim. Resistensinya terhadap laktamase
juga lebih kuat, tetapi khasiatnya terhadap Staphylococcus jauh lebih ringan.
8
Tidak aktif terhadap MRSA dan MRSE (Methicillin Resistant Staphylococcus
Epidermis) (Tjay & Rahardja, 2007).
d) Sefalosporin generasi ke – 4
Golongan jenis ini dapat digunakan untuk mengatasi infeksi yang resisten
terhadap sefalosporin golongan ketiga, sefepim juga aktif sekali terhadap
pseudomonas (Tjay & Rahardja, 2007).
3) Golongan Makrolida
Antibiotika yang termasuk dalam golongan makrolida yaitu eritromisin
dengan derivat – derivatnya yaitu kalritomisin, roxitromisin, azitromisin, dan
diritromisin. Rumus bangun makrolida yaitu cincin lakton besar. Eritromisin
bekerja bakteriostatis terhadap bakteri Gram positif. Mekanisme kerjanya melalui
pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga sintesis proteinnya
dirintangi. Bila digunakan terlalu lama atau sering akan menjadi resisten (Tjay &
Rahardja, 2007).
4) Golongan Tetrasiklin
Tetrasiklin mempunyai spektrum aktivitas yang luas dan meliputi banyak
cocci Gram-positif dan Gram-negatif, chlamydia, serta kebanyakan bacilli, kecuali
Pseudomonas dan Proteus. Karena tetrasiklin mempunyai aktivitas antibakteri
yang luas, antibiotik ini dapat digunakan sebagai obat pilihan utama untuk
berbagai infeksi yang salah satunya yaitu sebagai antibiotik pilihan utama infeksi
saluran pernapasan (Tjay & Rahardja, 2007).
5) Golongan Quinolon
Mekanisme kerja golongan quinolon adalah menghambat enzim DNA
girase yang sangat penting untuk replikasi DNA dari bakteri. Ciprofloksasin
merupakan prototipe golongan ini, contoh lainnya yaitu levofloxazin, norfloxazin,
dan ofloksazin (Priyanto, 2008).
6) Golongan Sulfonamida
Sulfonamida merupakan salah satu antimikroba tertua yang masih
digunakan. Preparat sulfonamida yang paling banyak digunakan adalah
Sulfametoksazol yang dikombinasikan dengan trimetoprim yang lebih dikenal
dengan nama Kotrimoksazol. Mekanisme kerja sulfametoksazol adalah dengan
9
menghambat sintesis asam folat, sedangkan trimetoprim menghambat reduksi
asam dihydrofolat menjadi tetrahydrofolat sehingga menghambat enzim pada alur
sintesis asam folat. Kombinasi yang bersifat sinergis ini menyebabkan pemakaian
yang luas pada terapi infeksi community - acquired seperti sinusitis, otitis media
akut, infeksi saluran kencing (Priyanto, 2008).
3. Resistensi Antibiotik
Resistensi bakteri merupakan masalah yang harus mendapat perhatian
khusus karena menyebabkan banyak terjadinya kegagalan terapi pada antibiotika.
Berbagai strategi disusun untuk mengatasi masalah resistensi, diantaranya dengan
mencari antibiotika baru atau menciptakan antibiotika semisintetik. Meskipun
demikian ternyata usaha ini belum dapat memecahkan masalah. Kehadiran
antibiotika baru diikuti jenis resistensi baru dari bakteri sebagai pertahanan hidup.
Penggunaan bermacam - macam antibiotika yang tersedia telah mengakibatkan
munculnya banyak jenis bakteri yang resisten terhadap lebih dari satu jenis
antibiotika (multiple drug resistance) (Craig dan Stitzel, 2005).
Ada dua strategi pencegahan peningkatan bakteri resisten:
a. Untuk selection pressure dapat diatasi melalui penggunaan antibiotik secara
bijak (prudent use of antibiotics).
b. Untuk penyebaran bakteri resisten melalui plasmid dapat diatasi dengan
meningkatkan
ketaatan
terhadap
prinsip-prinsip
kewaspadaan
standar
(universal precaution) (Kemenkes, 2011).
4. Penatalaksanaan Terapi
Perbandingan ketepatan penggunaan antibiotik pada pasien dewasa
penderita infeksi saluran pernapasan atas di instalasi rawat jalan RSUD Dr.
Moewardi tahun 2008 dengan 2014 menggunakan standar WHO Model
Prescribing Informatorium Drug Use In Bacterial Infection tahun 2001.
Penggunaan terapi antibiotik untuk infeksi saluran pernapasan atas ditunjukkan
pada tabel 1.
10
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Tabel 1. Terapi antibiotik pada pasien infeksi saluran pernapasan atas
Jenis Infeksi
Antibiotik Pada Terapi Infeksi
Lama
Dosis
Frekuensi
Saluran
Saluran Pernapasan Atas
Pemberian
Pernapasan Atas
Common Cold
Tanpa Antibiotik
Rhinitis Alergi
Tanpa Antibiotik
Faringitis
Benzhatine benzylpenicillin
1.2 million IU
Phenoxymethylpenicillin
500 mg
4x1
10 hari
Amoksisillin
500 mg
3x1
10 hari
Erytromisin
500 mg
4x1
Sinusitis
Amoksisillin
500 mg
3x1
5 hari
Amoksiklav
500 mg
3x1
5 hari
Sulfamethoxazole +
400 mg + 80
trimethoprim
mg
2x1
5 hari
Laringitis
Amoksisillin
500 mg
3x1
5 hari
Tonsilitis
Benzhatine benzylpenicillin
1.2 million IU
Phenoxymethylpenicillin
500 mg
4x1
10 hari
Amoksisillin
500 mg
3x1
10 hari
Epiglotitis
Chloramphenikol
1g
4x1
5 hari
Ceftriaxone
2g
1x1
5 hari
Otitis Media
Akut
Amoksisillin
500 mg
3x1
5 hari
Amoksiklav
500 mg
3x1
5 hari
Sulfamethoxazole +
400 mg + 80
trimethoprim
mg
2x1
5 hari
Otitis Media
Tanpa Antibiotik
Supuratif Kronis
Tonsilofaringitis Benzhatine benzylpenicillin
1.2 million IU
Phenoxymethylpenicillin
500 mg
4x1
10 hari
Amoksisillin
500 mg
3x1
10 hari
( WHO, 2001)
E. Landasan Teori
Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40 - 62% antibiotik digunakan
secara tidak tepat pada penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik.
Pada penelitian kualitas penggunaan antibiotik di berbagai rumah sakit ditemukan
30% sampai dengan 80% tidak didasarkan pada indikasi (Hadi, 2009).
Hasil penelitian Gonzales menunjukkan bahwa 30% resep antibiotika
diperuntukkan infeksi saluran pernapasan, lebih dari separuhnya mungkin viral
yang tidak memerlukan antibiotika (Sensakovie dan Smith, 2000).
Hasil penelitian yang dilakukan tahun 2010 oleh Ismayati menunjukkan
kasus infeksi saluran pernapasan atas di RSUD Dr. Moewardi tahun 2008
sebanyak 70 kasus, keseluruhan terapi menggunakan antibiotik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien dewasa rawat
jalan yang menderita ISPA di RSUD Dr.Moewardi tahun 2008, yaitu untuk tepat
11
indikasi sebesar 80%, tepat obat sebesar 21,43%, tepat dosis sebesar 17,14%,
sedangkan untuk tepat pasien sebesar 80%. Hasil penelitian tersebut mendorong
peneliti untuk mengetahui perbandingan ketepatan penggunaan antibiotik infeksi
saluran pernapasan atas dewasa di instalasi rawat jalan RSUD Dr. Moewardi
pada tahun 2008 dengan 2014 berdasarkan standar terapi menurut WHO tahun
2001.
F. Hipotesis
Adanya perbedaan ketepatan penggunaan antibiotik pada pasien dewasa
penderita infeksi saluran pernapasan atas di instalasi rawat jalan RSUD Dr.
Moewardi pada tahun 2008 dengan 2014.
Download