Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Pajak
2.1.1 Definisi Pajak dan Unsur Pajak
Definisi pajak telah banyak dikemukakan oleh pakar perpajakan. Menurut
P. J. A. Adriani yang dikutip oleh Mohammad Zain (2007: 10)
Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib pajak membayarnya menurut
peraturan- peraturan umum (undang- undang) dengan tidak mendapat
prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran umum berhubung tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan
Menurut Soemitro seperti yang dikutip oleh Mohammad Zain (2007 :11)
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa
timbal balik (kontrapretasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Djajadiningrat memberikan definisi yang lebih luas, seperti yang dikutip
oleh H.S Munawir (2003:1), karena disamping memberikan dari tujuan
pemungutan pajak (untuk biya pemeliharaan kesejahteraan umum) juga
memberikan sebab-sebab pengenaan pajak (karena keadaan, kejadian, dan
perbuatan). Secara lengkap definisi tersebut adalah sebagai berikut:
Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada
kekayaan kepada negara disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian
dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan
sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan
pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik
dari negara secara langsung untuk memelihara kesejahteraan secara
umum.
Sedangkan menurut Sommerfeld, Anderson, dan Brock Horace yang dikutip oleh
Mohammad Zain (2007: 11)
Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor
pemerintah, bukan akibat pelanggaran hokum, namun wajib dilaksanakan,
21
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat
imbalan yng langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat
melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur:
1. Iuran dari rakyat kepada negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah Negara. Iuran tersebut berupa uang
(bukan barang).
2. Berdasarkan undang-undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaanya.
3. Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung
dapat ditunjuk.
Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi
individu oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat.
2.1.2 Fungsi Pajak
Ada dua fungsi pajak yang dikutip oleh Resmi (2003:2). Yaitu:
1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)
Pajak mempunyai fungsi budgetair artinya pajak merupakan salah satu sumber
penerimaan bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran baik
rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah
berupaya memasukan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya
tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupu intensifikasi pemungutan
pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain-lain.
22
2. Fungsi Regulerend (mengatur)
Pajak mempunyai fungsi mengatur artinya pajak sebagai alat untuk mengatur
atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan
ekonomi, dan mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan
Jenis Pajak
2.2.1 Menurut Golongannya
Menurut golongannya pajak dikelompokan menjadi dua yaitu pajak
langsung dan tidak langsung.
a)
Pajak langsung, adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri
oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada
orang lain atau pihak lain. Pajak harus menjadi beban sendiri oleh Wajib
Pajak yang bersangkutan.
Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak penghasilan dibayar atau ditanggung
oleh pihak-pihak yang memperoleh penghasil tesebut.
b)
Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan
atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Pertambahan Nilai terjadi karena
terdapat pertambahan nilai terhadap barang atau jasa. Pajak ini dibayarkan
oleh prosedur atau pihak yang menjual barang tetapi dapat dibebankan
kapada konsumen baik secara eksplisit maupun implisit.
2.2.2 Menurut Sifatnya
Menurut sifatnya, pajak dikelompokan menjadi dua bagian yaitu:
a)
Pajak Subjektif, adalah pajak yang pengenaanya memperhatikan pada
keadaan pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan
keadaan subjeknya.
Contoh: Pajak Penghasilan
b)
Pajak Objektif, adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan pada
objeknya baik berupa benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang
23
mengakibatkan
timbulnya
kewajiban
membayar
pajak,
tanpa
memperhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak) maupun
tempat tinggal
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan.
2.2.3 Menurut Lembaga Pemungutnya
Menurut lembaga pemungutnya, pajak dikelompokan menjadi dua, yaitu
Pajak Negara (Pajak Pusat) dan Pajak Daerah.
a)
Pajak Negara (Pajak Pusat), adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah
pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada
umumnya.
Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan.
b)
Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik
daerah tingkat I maupun daerah tingkat II dan digunakan untuk membiayai
rumah tangga daerah masing-masing.
Contoh Pajak Daerah Tingkat I (propinsi): Pajak Kendaraan Bermotor,
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Tanah, Pajak
Penangkapan Ikan di Wilayahnya.
Contoh Pajak Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kotamadya): Pajak
Pembangunan I, Pajak Penerapan Jalan, Pajak atas Reklame.
Sistem Pemungutan Pajak
Dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan, yaitu:
official assessment system, self assessment, dan with holding system.
a) Official Assesment System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur
perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap
tahunnya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang
berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif dan kegiatan menghitung serta
24
memungut pajak sepenuhnya berada ditangan para aparatur perpajakan
dengan demikian berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak
banyak tergantung pada aparatur perpajakan (peran dominan ada pada
aparatur perpajakan).
b) Self Assesment System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak
untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terhutang setiap tahunnya
sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. Dalam
sistem ini, inisiatif dan kegiatan menghitung serta pelaksanaan
pemungutan pajak berada ditangan Wajib Pajak. Wajib Pajak dianggap
mampu menghitung pajak, mampu memahami peraturan perpajakan yang
sedang berlaku, dan mempunyai kejujuran yagn tinggi, serta menyadari
akan arti pentingnya membayar pajak. Oleh karena itu, Wajib Pajak diberi
kepercayaan untuk:
•
Menghitung sendiri pajak yang terutang
•
Memperhitungkan sendiri pajak yang terutang
•
Membayar sendiri pajak yang terutang
•
Melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang, dan
•
Mempertanggungjawabkan pajak yang terutang
Dengan demikian berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan
pajak banyak tergantung pada Wajib Pajak sendiri (peranan dominan
ada pada Wajib Pajak)
c) With Holding System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak
ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh
Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang
berlaku. Penunjukkan pihak ketiga ini bisa dilakukan dengan undangundang perpajakan, keputusan Presiden dan peraturan lainnya untuk
memotong
dan
memungut
pajak,
menyetorkan,
dan
mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia.
25
Berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung
pada pihak ketiga yang ditunjuk.
Pajak Penghasilan
Undang-undang No.7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami
perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang-undang No 17 tahun 2000.
Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pajak atas penghasilan
(laba) yang diterima atau diperoleh orang pribadi maupun badan. Undang-undang
PPh mengatur subjek pajak , objek pajak, serta cara menghitung dan cara
melunasi pajak yang terutang. Undang-undang PPh juga lebih memberikan
fasilitas kemudahan dan keriganan bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan
kewajiban perpajakan. Undang-undang PPh menganut asas materiil, artinya
penentuan mengenai pajak yang terutang tidak tergantung kepada surat ketetapan
pajak.
2.4.1 Subjek Pajak
Subjek pajak penghasilan mencakup orang pribadi, badan dan warisan
belum terbagi. Subjek pajak dapat dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri
dan subjek pajak luar negeri. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak
atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Pasal 2 ayat
(1) No.17 Tahun 2000 mengelompokkan Subjek Pajak sebagai berikut.
1. a. Orang Pribadi
b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
2. Badan terdiri dari dari PT, CV, persero lainnya, BUMN/BUMD dengan nama
dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau
organisasi yang sejenis, lembaga, dan bentuk badan lainnya.
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
26
Pasal 2 ayat (2) UU No. 17 tahun 2000 mengelompokkan Subjek Pajak
Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri sebagai berikut:
1. Subjek Pajak Dalam Negeri yang terdiri dari:
a)
Subjek Pajak Orang Pribadi
•
Orang Pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut)
dalam jangka waktu 12 (dua belas)bulan, atau
•
Orang Pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
b)
Subjek Pajak Badan, yaitu
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
c)
Subjek Pajak Warisan, yaitu
Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
2. Subjek pajak Luar Negeri yang terdiri dari:
a. Subjek Pajak orang pribadi, yaitu:
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan yang:
1. Menjalankan usaha dan melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia.
2. Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
b. Subjek pajak badan, yaitu:
Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang:
1. Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia.
27
2. Dapat menerima atau memperoleh panghasilan dari Indonesia
bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiaan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
Yang tidak termasuk Subjek Pajak berdasarkan UU NO. 17 Tahun 2000 paal (3)
yaitu:
1. Badan Perwakilan Negara Asing
2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsultan atau pejabat-pejabat lain
dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka
yang bekerja dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat
bukan warga negara Indonesia dan tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara
yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
3. Organisasi- organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan
Menteri Keuangan, dengan syarat:
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2.4.2 Objek Pajak
Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan
penghasilan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak,
baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat untuk
konsumsi atau menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan bentuk apapun.
28
Tarif Pajak
Tarif Pajak merupakan persentase tertentu yang ditetapkan atas dasar
penghasilan neto untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang harus
dibayar oleh Wajib Pajak yang bersangkutan sesuai dengan UU No. 17 Tahun
2000 tentang Pajak Penghasilan, besarnya Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut:
1. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp.25.000.0000, 00
5%
Diatas Rp.25.000.000,00 s.d Rp.50.000.000,00
10 %
Diatas Rp.50.000.000,00 s.d Rp.100.000.000,00
15 %
Diatas Rp.100.000.000,00 s.d Rp.200.000.000,00
25%
Diatas Rp,200.000.000,00
35%
2. Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah
sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan RP.50.000.000,00
10%
Diatas Rp.50.000.000,00 s.d Rp.100.000.000,00
15%
Diatas Rp. 100.000.000,00
30%
Manajemen Pajak
Upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan
melalui manajemen pajak. Secara umum manajemen pajak dapat didefinisikan
sebagai sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah
pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba yang
diharapkan.
Tujuan Manajemen pajak dapa dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Menetapkan peraturan perpajakan secara benar.
2. Usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya.
29
Tujuan manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi-fungsi manajemen pajak
yang terdiri dari:
1. Perencanaan pajak (tax planning)
2. Pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation)
3. Pengendalian pajak (tax control)
Perencanaan Pajak (Tax Planning)
Perencanaan adalah salah satu unsur manajemen yang secara tidak
langsung menyatakan bahwa manajer harus terlebih dahulu memikirkan segala
sesuatunya dengan matang berkenaan dengan tujuan dan tindakannya. Tindakan
manajer hendaknya didasarkan atas suatu metode, rencana, atau logika tertentu
dan bukan atas dasar suatu firasat. Perencanaan memberikan tujuan dan arah
kepada organisasi, menentukan apa yang akan dikerjakan, kapan akan dikerjakan,
bagaimana mengerjakannya, dan siapa yang akan mengerjakannya. Empat
langkah pokok dalam perencanaan yaitu :
1. Tetapkan sasaran atau perangkat tujuan.
2. Tentukan situasi sekarang.
3. Identifikasi pendukung dan penghambat tujuan.
4. Kembangkan rencana atau perangkat tindakan untuk mencapai tujuan.
Keempat langkah pokok tersebut juga berlaku bagi penyusunan
perencanaan pajak, baik perencanaan pajak jangka panjang maupun perencanaan
pajak jangka pendek.
Pengertian perencanaan pajak menurut Mohammad Zain (2007:67) adalah
sebagai berikut :
Perencanaan pajak adalah merupakan tindakan penstrukturan yang
terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tekanannya kepada
pengendalian setiap transaksi yang ada konsekuensi pajaknya. Tujuannya
adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisiensikan jumlah
pajak yang akan ditransfer ke pemerintah, melalui apa yang disebut sebagai
penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan penyelundupan pajak (tax
evasion) yang merupakan tindakan
pidana fiskal yang tidak akan
ditoleransi.
30
Maka tax planning disini sama dengan tax avoidance karena secara
hakikat ekonomis kedua-duanya berusaha untuk memaksimalkan penghasilan
setelah pajak (after tax return) karena pajak merupakan unsur pengurang laba
yang tersedia baik untuk dibagikan kepada pemegang saham maupun untuk
diinvestasikan kembali.
Perencanaan pajak umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah
suatu transaksi atau fenomena terkena pajak , kalau fenomena tersebut terkena
pajak apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah
pajaknya, selanjutnya apakah pembayaran pajak dimaksud dapat ditunda
pembayarannya dan lain sebagainya. Oleh karena itu, setiap Wajib Pajak akan
membuat rencana pengenaan pajak atas setiap tindakan (taxable events) secara
seksama.
Cara
lain
untuk
mengefisiensikan
beban
pajak
adalah
melalui
penghematan pajak (tax saving), yaitu suatu cara yang dilakukan oleh wajib pajak
dalam mengelakan utang pajaknya dengan jalan menahan diri untuk tidak
membeli
produk-produk
yang
ada
pajak
pertambahan
nilainya,
pajak
penjualannya atau dengan sengaja mengurangi jam kerja atau pekerjaan yang
dapat dilakukannya sehingga penghasilannya menjadi kecil dan terhindar dari
pengenaan pajak penghasilan yang besar.
Secara sepintas terlihat bahwa ada kesamaan antara penghematan pajak
dan penghindaran pajak, tetapi secara teoritis kedua hal tersebut dapat dibedakan,
menurut Moh Zain (2007;51) adalah sebagai berikut :
Penghematan pajak adalah usaha memperkecil jumlah utang pajak
yang tidak termasuk dalam ruang lingkup pemajakan, sedang penghindaran
pajak juga merupakan usaha yang sama dengan cara mengeksploitir celahcelah yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, di mana aparat perpajakan tidak dapat melakukan tindakan
apa-apa.
Dalam penulisan skripsi ini pembahasannya dititikberatkan pada tax
avoidance karena sesuai dengan prinsip manajemen pajak bahwa penghematan
pajak dilakukan tidak melanggar ketentuan yang berlaku dibidang perpajakan.
31
Penghematan pajak pada dasarnya dilakukan dengan prinsip – prinsip sebagai
berikut:
a. Memanfaatkan secara optimal ketentuan perpajakan berlaku.
b. Mengambil keuntungan dari pemilihan bentuk badan usaha yang tepat
c. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sehingga dapat diatur
keseluruhan penggunaan tanpa pajak dan potensi penghasilan
d. Menyebar penghasilan ke beberapa tahun untuk menghindari pengenaan
tanpa pajak tertinggi.
Strategi Dasar Perencanaan Pajak
Dalam melakukan perencanaan pajak menurut Moh. Zain (2003:67), ada 4 strategi
yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Memahami masalah perpajakan, pemahaman ini tidak
terbatas pada pemahaman Undang- undang perpajakan
saja, tetapi juga meliputi Peraturan Pemerintah (PP),
Keputusan Presiden (kepres), Surat Keputusan Menteri
Keuangan (SKMK), Surat Keputusan / Surat Edaran
Dirjen Pajak, agar tidak kehilangan jejak mengenai
ketentuan peraturan undang- undang perpajakan,
lebih- lebih lagi mengingat fungsi Surat Keputusan
(SK) dan surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Pajak
lebih ditekankan pada interpretasi resmi undangundang perpajakan dan petunjuk pelaksanaannya. Oleh
karena itu yang terpenting bagi perencanaan pajak
adalah memiliki kemampuan menerapkan undangundang perpajakan dalam situasi nyata (real life
situasion)
dan
bkan
hanya
memiliki
bakat
mengungkapkan ketentuan undang-undang perpajakan
samapai ke akar-akarnya, serta melihat implikasinya
terhadap pengambilan keputusan.
2. Menyadari bahwa masalah perpajakan adalah masalah
perundang-undangan sehingga hanya otoritas legal
32
yang berwenang untuk memutuskan apa yang benar
sesuai dengan yang dimaksud oleh ketentuan undangundang perpajakan. Apabila terjadi aplikasi yang benar
(correct application) menurut ketentuan undangundang perpajakan dan hasilnya menyimpang dari
standar/ teori akuntansi, ekonomi, dan sosial, maka
yang harus diikuti adalah ketentuan undang-undang
perpajakan. Dalam prakteknya, sebagian perselisihan
perpajakan terjadi karena ketidaksamaan pendapat
mengenai correct application dari suatu ketentuan
undang-undang
perpajakan
dalam
situasi
yang
spesifik.
3. Memahami bahas yang digunakan undang-undang
perpajakan. Pengungkapan variabel merupakan hal
yang kritis. Suatu pengertian yang sama dalam
pembicaraan sehari-hari dapat didefinisikan berbeda
dengan
ketentuan
undang-undang
perpajakan.
Misalnya, pengertian “penghasilan” menurut undangundang berbeda dengan pengertian penghasilan dalam
bahasa sehari- hari. Dalam pegertian penghasilan
menurut Undang-undang Pajak Penghasilan No.17
tahun 2000 pasal 4 ayat (1) tersebut yang dimaksud
“nama
dan
dalam
bentuk
apapun”
merupakan
pengertian yang luas, termasuk penghasilan yang
diperoleh secara legal maupun illegal dan tidak
mempersoalkan apakah penghasilan tersebut secara
halal atau haram, susila atau tidak susila.
4. Menyadari bahwa perencanaan pajak mempunyai
keterbatasan. Strategi penghindaran pajak merupakan
kombinasi antara kepentingan bisnis dan strategi
menghindari pajak yang menguntungkan kedua belah
33
pihak. Keberhasilan perencanan pajak ini sangat
bergantung pada system akuntansi yang ada didalam
perusahaan. Perencanaan pajak harus mengetahui
dengan pasti jumlah pajak yang akan dihindarkan dan
cara penghindarannya.
Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan Pajak
Perhitungan pajak terutang (final) merupakan fungsi dari tiga
variabel, yaitu variabel ketentuan peraturan perundang-undangan
pajak (tax law), variabel fakta (fact), dan variabel proses
administrasi dan kadang-kadang juga proses pengadilan, dari
ketiga variabel tersebut, sedikit sekali perhatian peranan kritis dari
suatu fakta dan betapa pentingnya peranana suatu fakta dalam
menentukan setiap rupiah hutang pajak, terbukti dari kenyataan
bahwa fakta adalah salah satu variabel yang setiap orang dapat
bebrbuat sesuatu terhadapnya, berbeda dengan undang- undang
pajak yang merupakan variabel yang sudah pasti yang setiap orang
atau badan harus mematuhinya sesuai dengan ketentuan yang
terdapat didalamnya. Apabila seseorang tidak puas, baik terhadap
Undang-undang Pajak maupun terhadap administrasi dan proses
pengadilan, maka relatif sedikit sekali yang dapat diperbuat
sesorang untuk memenuhi tuntutan ketidakpuasannya tersebut.
Dalam rangka mendesain suatu perencanaan pajak, ada beberapa
alternatif pendekatan yang sistematis yang dapat dilakukan tetapi
kesemuanya itu bertitik tolak kepada formula umum perhitungan
pajaknya, seperti misalnya formula umum perhitungan
penghasilan sebagai berikut :
pajak
34
Oleh karena sasarannya mengefisiensikan beban pajak (pajak
terutang)
yang berada pada lapisan bawah dari perhitungan
tersebut diatas, maka secara aritmatika untuk memperoleh lapisan
bawah yang minimal tersebut, pengaturan harus dilakukan dengan
melibatkan komponen yang diatasnya secara maksimal, sehingga
dengan meminimalkan tarif pajak dan memaksimalkan biaya fiskal
yang dpat dikurangkan serta memaksimalkan penghasilan yang
ditangguhkan
atau
dikecualikan
dengan
pengenaan
pajak.
Komponen- komponen dari formula umum tersebut kita sebut
sebagi “variabel-variabel” perencanaan pajak dan hamper seluruh
komponen-komponen yang terdapat pada nomor genap formula
tersebut merupakan “variabel kritis (critical variabel)”, yang akan
diolah dalam perencanaan pajak
Untuk membantu mengolah “variabel krtis” tersebut menurut
Moh.Zain, Dalam bukunya “Manajemen Perpajakan” (2003:79),
ada beberapa petunjuk yang dapat digunakan, antara lain:
1. Usahakan agar terdapat penghasilan yang stabil untuk
menghindarkan pengenaan pajak dari kelas penghasilan yang
tarifnya tinggi (top rate brackets).
2. Percepat atau tunda beberapa penghasilan dan biaya- biaya
untuk memperoleh keuntungan dari kemungkinan perubahan
tariff pajak yang tinggi atau rendah, seperti penangguhan
penegnaan PPN.
3. Sebarkan penghasilan menjadi penghasilan dari beberapa wajib
pajak, seperti pembentukan group-group perusahaan.
4. Sebarkan penghasilan menjadi penghasilan beberapa tahun
untuk mencegah penghasilan tersebut termasuk dalam kelas
penghasilan yang tarifnya tinggi dan tunda pembayaran
pajaknya, seperti penjualan cicilan, kredit dan seterusnya.
35
5. Transformasikan penghasilan bisa menjadi capital gain jangka
panjang.
6. Ambil keputusan sebesar-besarnya dari ketentuan-ketentuan
mengenai pengecualian dan potongan-potongan.
7. Pergunakan uang dari hasil pembebasan pajak untuk keperluan
perluasan
perusahaan
yang
mendapatan
kemudahan-
kemudahan.
8. Pilihlah bentuk usaha yang tebaik untuk operasional usahanya.
9. Dirikanlah perusahaan dalam satu jalur usaha sedemikian rupa
sehingga dapat diatur secara keseluruhan penggunaan tariff
pajak, potensi menghasilkan, kerugia-kerugian, dan asset yang
dapat dihapus”
Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan ( Tax Implementation)
Apabila telah diketahui jenis dan cara pengelakan pajak, tahap
selanjutunya adalah pelaksanaan kewajiban perpajakan baik formal maupun
material. Harus dipastikan bahwa pelaksanaan kewajiban itu telah memenuhi
peraturan perpajakan yang berlaku. Manajeman pajak tidak dimaksudkan untuk
melanggar peraturan dan jika dalam pelaksanaannya menyimpang dari peraturan
yang berlaku maka praktek tersebut telah menyimpang dari tujuan manajemen
pajak. Sebab tujuan utama dari manajemen pajak sebenarnya adalah agar
perusahaan tidak menyimpang dari ketentuan, untuk dapat mencapai tujuan
manajemen pajak ada dua hal yang perlu dikuasai dan dilaksanakan, yaitu:
a. Memahami ketentuan peraturan perpajakan
Dengan mempelajari peraturan perpajakan seperti Undang- undang,
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri keuangan, keputusan Dirjen
Pajak, dan Surat Edaran Dirjen Pajak kita dapat mengetahui peluangpeluang yang dapat dimanfaaatkan untuk menghemat beba pajak.
b. Menyelenggarakan pembukuan yang memenuhi syarat
36
Pembukuan merupakan sarana yang sangat penting dalam penyajian
informasi keuangan perusahaan yang disajikan dalam bentuk laporan
keuangan dan menjadi dasar dalam menghitung besarnya jumlah pajak
terutang.
Mengingat pentingnya pembukuan, maka dalam pasal 28 ayat 1 Undangundang
No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, telah menetapkan bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi
yang melakukan kegiatan Usaha atau Pekerjaan bebas dan Wajib
Pajak badan Indonesia wajib melakukan pembukuan
Pengendalian Pajak (Tax Control)
Pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban pajak
telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan telah memenuhi
persyaratan formal maupun material. Dalam pengendalian pajak yang penting
adalah pengecekan pembayaran pajak. Oleh sebab itu, Pengendalian dan peraturan
arus kas sangat penting dalam penghematan pajak, misalnya dalam melakukan
pembayaran pajak pada saat terakhir tentu lebih menguntungkan jika
dibandingkan dengan membayar lebih awal. Pengendalian pajak termasuk
pemerksaan jika perusahaan telah membayar pajak lebih besar dari jumlah pajak
terhutang.
Motivasi Dilakukannya Perencanaan Pajak (Tax Planning)
motivasi yang mendasari dilakukannya suatu perencanaan pajak (tax
planning) umumya bersumber dari tiga unsur perpajakan yaitu:
1. Kebijakan perpajakan (tax policy)
2. Undang-undang perpajakan (tax law)
3. Administrasi perpajakan (tax administration)
Kebijakan Perpajakan
Kebijakan perpajakan (tax policy) merupakan alternatif dari berbagai
sasaran yang hendak dituju dalam sistem perpajakan.
37
Berikut ini akan diuraikan faktor yang mendorong dilakukannya suatu
perencanaan pajak (tax planning), yaitu:
•
Pajak yang dipungut
Dalam sistem perpajakan modern ada berbagai tipe pajak yang harus
menjadi pertimbangan utama baik berupa pajak langsung maupun tidak
langsung dan cukai seperti:
1. Pajak Penghasilan Badan dan Perseorangan
2. Pajak atas capital gains
3. Withholding tax atas gaji, dividen, sewa, bunga, royalty, dan lain- lain.
4. Pajak atas Impor, Ekspor serta Bea Masuk
5. Pajak atas undian atau hadiah
6. Bea Materai
7. Capital Transfer taxes atau transfer duties
8. Bussines licence dan trade tax lainnya.
Terdapat berbagai kewajiban pajak yang harus dibayar di mana masingmasing jenis pajak tersebut mempunyai sifat perlakuan pajak sendirisendiri.Maka agar tidak menggangu atau tidak memberatkan arus kas
perusahaan, diperlukan perencanaan pajak yang baik untuk bisa
menganalisis atas transaksi apa akan terkena pajak yang mana dan berapa
dana yang diperlukan, sehingga dapat diketahui berapa penghasilan bersih
setelah pajak.
•
Subjek Pajak
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut “the classical
system” di mana ada pemisahan (separate entity) antara badan usaha
dengan pribadi pemiliknya (pemegang saham) yang akan menimbulkan
pajak ganda.
Adanya perbedaan perlakuan perpajakan atas pembayaran dividen badan
usaha kepada pemegang saham perorangan dan kepada pemegang saham
berbentuk badan usaha (intercorporate dividend) menyebabkan timbulnya
usaha untuk merencanakan pajak dengan baik agar beban pajak rendah
sehingga sumber daya perusahaan bisa dimanfaatkan untuk tujuan yang
38
lain. Di samping itu, ada pertimbangan untuk menunda pembayaran
dividen dengan cara meningkatkan jumlah saldo laba ditahan (retained
earnings) bagi perusahaan yang juga akan menimbulkan penundaan
pembayaran pajak.
•
Objek Pajak
Adanya perlakuan pajak yang berbeda atas objek pajak yang secara
ekonomis hakikatnya sama akan menimbulkan usaha perencanaan pajak
agar beban pajaknya rendah.
Karena Objek Pajak merupakan basis perhitungan (tax bases) besarnya
pajak, maka untuk optimalisasi alokasi sumber dana, manajemen akan
merencanakan pajak yang tidak lebih (karena akan mengurangi
optimalisasi alokasi sumber daya) dan tidak kurang (agar tidak harus
membayar sanksi yang berarti pemborosan dana)
•
Tarif Pajak
Adanya penerapan schedular taxation tarif yang diterapkan di Indonesia
mengakibatkan seorang perencana pajak akan berusaha sedapat mungkin
agar dikenakan tarif terendah (low bracket).
•
Prosedur pajak
Self assessment dan payment system mengharuskan seorang perencana
pajak untuk merencanakan pajaknya dengan baik. Saat ini sistem
pemungutan pajak withholding tax di Indonesia makin ditingkatkan
penerapannya. Hal ini di samping mengganggu arus kas perusahaan juga
bisa mengakibatkan kelebihan pembayaran atas pemungutan pendahuluan
tersebut padahal untuk memperoleh restitusi atas kelebihan tersebut
diperlukan waktu dan biaya
Undang-Undang Perpajakan (Tax Law)
Kita menyadari bahwa kenyataan dimana pun tidak ada tidak ada undangundang yang mengatur setiap permasalahan secara sempurna. Maka dalam
39
pelaksanaanya selalu diikuti ketentuan-ketentuan lain (Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, dan Direktur Jenderal Pajak),
maka tidak jarang ketentuan pelaksanaan tersebut bertentangan dengan undangundang itu sendiri karena disesuaikan dengan kepentingan pembuat kebijaksanaan
dalam mencapai tujuan lain yang ingin dicapainya. Keadaan ini menyebabkan
munculnya celah (loopholes) bagi Wajib Pajak untuk menganalisis dengan cermat
atas kesempatan tersebut untuk digunakan perencanaan yang baik.
Administrasi Perpajakan (Tax Administration)
Indonesia merupakan negara yang begitu luas wilayahnya dan begitu
banyak penduduknya, dan sebagai negara yang sedang membangun (developing
country) masih mengalami kesulitan dalam melaksanakan administrasi perpajakan
secara memadai (properly). Hal ini mendorong perusahaan untuk melaksanakan
perencanaan pajak (tax planning) dengan baik agar terhindar dari sanksi
administrasi maupun sanksi pidana karena adanya perbedaan penafsiran antara
aparat fiskus dan Wajib Pajak akibat dari begitu luasnya peraturan perpajakan
yang berlaku dan sistem informasi yang masih belum efektif.
Cara- cara Pengelakan Pajak
Menurut Sophar Lumbantoruan (1996:489) ada enam cara pengelakan
pajak yang bisa dipraktekkan dimana- mana, yaitu:
1. Penggeseran
2. Kapitalisasi
3. Transformasi
4. Penyelundupan (evasion)
5. Penghindaran (avoidance)
6. Pengecualian
Penggeseran
40
Penggeseran Pajak adalah pemindahan atau mentransfer beban pajak dari
subjek pajak kepada pihak lain. Dengan demikian orang atau badan yang
dikenakan pajak mungkin sekali tidak menaggungnya. Jenis pajak yang dapat
dialihkan kepÿÿÿÿpihak a.in a ilah pajak tidak langsung yaitu Pajak Pertambahan
Nilÿÿ. Perlu dicatat, bahwa pergeseran tidak berarti pembayarannya kepada
negara dialihkan kepada pihak lain, tetapi bebannya yang ditransfer.
Dalam hal ini ada dua jenis penggeseran pajak yang sering dilakukan dalam
pengelakan pajak, yaitu:
a. Penggeseran Pajak Ke Depan
Penggeseran ini terjadi apabila pabrik mentransfer beban pajaknya kepada
penyalur utama,
pedagang besar dan akhirnya kepada konsumen.
Penggeseran ini mengakibatkan kenaikan harga sebanyak pajak yang
dikenakan.
b. Penggeseran Pajak Ke Belakang
Penggeseran ini terjadi apabila beban pajak ditransfer dari konsumen atau
pembeli melalui faktor distribusi kepada pabrikan. Jadi, pajak pertama kali
dikenakan kepada konsumen atau pembeli, kemudian menggeser pajak
tersebut kepada penyalur dengan cara pembelian setelah harga dipotong
sebesar pajak yang dikenakan kepadanya.
2.8.2 Kapitalisasi
Kapitalisasi pajak adalah pengurangan harga objek pajak sama dengan
jumlah yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli. Kapitalisasi ini sering
terjadi jika pembeli hartatetap seperti tanah ata gedung dibebani pajak balik nama.
Agar beban ini tidak menjadi tanggungan pembeli, beban pajak dialihkan kepada
penjual. Dengan demikian, harga beli harta menjadi berkurang. Kapitalisasi pajak
dapat dikatakan salah sati bentuk pengalihan pajak belakang.
2.8.3 Transformasi
Transformasi pajak adalah cara pengelakan pajak yang dilakukan oleh
pabrikan dengan cara menanggung beban pajak yang dikenakan terhadapnya Cara
41
ini biasanya dilakukan oleh produsen sehingga kenaikan harga jual tidak
menurunkan pangsa pasar. Supaya keuntungan perusahaan tidak berkurang, beban
pajak yang seharusnya ditransfer kepada konsumen dapat dikompensasikan
dengan meningkatkan efisiensi perusahaan.
Di sini pengelakan pajak bukan dengan cara menggeser beban pajak, tetapi
dengan mengubah pajak (transformasi) ke dalam keuntungan yang diperoleh
melalui efisiensi produksi. Dengan perkataan lain, meskipun pajak masih
ditambahkan ke harga jual, tetapi pengaruhnya tetap sama saja meskipun
pengalihan beban pajak tidak dilakukan.
2.8.4 Tax Evasion Vs Tax Avoidance
Penulis sengaja menggunakan istilah asing untuk lebih memudahkan
menjelaskan perbedaannya. Tax evasion merupakan penghindaran pajak dengan
melanggar ketentuan perpajakan. Cara ini sering disebut penyelundupan atau
penggelapan pajak. Dalam manajeman pajak, cara penyelundupan pajak tidak
sejalan dengan prinsip manajemen pajak. Tujuan manajemen jauh dari
penggelapan pajak karena itu tidak dianjurkan.
Tax avoidance adalah penghindaran pajak dengan mengikuti peraturan yang ada.
Sebab itu, pengelakan pajak dengan cara ini legal dan tidak perlu merasa berdosa.
Beberapa definisi Penyelundupan Pajak (tax evasion) dan Penghindaran
Pajak (tax avoidance), yaitu :
1. Menurut Harry Graham Balter, seperti yang dikutip oleh Moh
Zain (2007: 49) :
Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai usaha yang dilakukan
oleh wajib pajak, apakah berhasil atau tidak, untuk mengurangi atau sama
sekali menghapus utang pajak yang berdasarkan ketentuan yang berlaku
sebagai pelanggaran terhadap perundang-undangan perpajakan.
Penghindaran pajak merupakan usaha yang sama, yang tidak melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Menurut Ernest R. Mortenson, seperti yang dikuti oleh Moh
Zain (2007:49) :
42
Penyelundupan pajak adalah usaha yang tidak dapat dibenarkan
berkenaan dengan kegiatan wajib pajak untuk lari atau menghindarkan
diri dari pengenaan pajak.
Penghindaran pajak berkenaan dengan pengaturan sesuatu peristiwa
sedemikian rupa untuk meminimkan atau menghilangkan beban pajak
dengan memerhatikan ada atau tidaknya akibat-akibat pajak yang
ditimbulkannya.Oleh karena itu, penghindaran pajak tidak merupakan
pelanggaran atas perundang-undangan perpajakan atau secara etik tidak
dianggap salah dalam rangka usaha wajib pajak untuk mengurangi,
menghindari, meminimkan atau meringankan beban pajak dengan caracara yang dimungkinkan oleh undang-undang pajak.
3.Menurut N.A. Barr, seperti yang dikutip oleh Moh Zain
(2007:50) :
Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai manipulasi secara ilegal
atas penghasilannya untuk memeperkecil jumlah pajak terutang.
Penghindaran pajak diartikan sebagai manipulasi penghasilannya secara
legal, yang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakann untuk memperkecil jumlah pajak terutang.
4. Menurut Robert H. Anderson, seperti yang dikutip oleh Moh Zain
(2007:50) :
Penyelundupan pajak adalah penyelundupan pajak yang melanggar
undang-undang pajak.
Penghindaran pajak adalah cara mengurangi pajak yang masih dalam batas
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dapat
dibenarkan, terutama melalui perencanaan pajak.
2.8.5 Pengecualian
Pengecualian pajak (tax exemption) adalah pengecualian pajak yang
diberikan kepada perseorangan atau badan. Pengecualian pengenaan pajak di
Indonesia diberikan berdasarka Undang-undang.
Contoh- contoh penghasilan atau objek yang tidak dikenakan pajak sesuai
dengan Undang- undang misalnya mesjid dan tempat ibadah lainnya tidak
dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. Penghasilan yang diterima oleh yayasan
semata-mata untuk keperluan sosial tidak dikenakan Pajak Penghasilan.
Hal- hal yang Harus Dihindari dalam Stategi Tax Planning
Menghindari Sanksi- Sanksi Pajak
43
Jenis- jenis sanksi berdasarkan Undang-undang No.16 tahun 2000 Tantang
Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan:
1. Pasal 7 dan pasal 9 (Keterlambatan SPT)
Apabila Wajib Pajak terlambat melakukan pembayaran atau penyetoran
pajak maka dapat dikenakan sanksi administrasi sebesar 2% per bulan dari
pajak yang harus dibayar. Untuk keterlambatan penyampaian SPT Masa
dikenakan sanksi administrasi sebesar Rp. 50.000, 00 sedangkan untuk
SPT Tahunan dikenakan Rp.100.000, 00
2. Pasal 8 (pembetulan SPT)
Dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan, bila
sebelum dua tahun. Pembetulan lebih dari dua tahun dikenakan sanksi
administrasi sebesar 50%.
3. Pasal 9
Apabila Wajib Pajak ingin menyampaikan SPT pembetulan, baik SPT
Masa maupun SPT Tahunan, dengan syarat kantor Pajak belum melakukan
tindakan pemeriksaan, yang dapat mengakibatkan hutang pajak menjadi
lebih besar, maka dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
per bulan dari jumlah pajak yang harus dibayar. Apabila dalam jangka
waktu dua tahun sesudah berakhir masa pajak, maka Wajib Pajak dapat
menyampaikan laporan tersendiri tantang ketidakbenaran pengisian SPT
yang telah disampaikan ke kantor pajak, dengan syarat kantor pajak belum
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Hal ini dapat mengakibatkan
timbulnya sanksi administrasi berupa kenaikan pajak yang terutang
sebesar 50%.
4. Pasal 13
Dalam masa 10 tahun, Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar (SKPKB), karena:
a. Pemeriksaan ada kekurangan
b. Tidak memasukkan SPT
44
c. Pajak
Perambahan
Nilai
Masukan
tidak
seharusnya
dikompensasikan atau dikenakan tarif 0%
d. Tidak melakukan pembukuan
5. Pasal 14
Apabila Wajib Pajak dikenakan Surat Tagihan Pajak (SPT), karena ada
kekurangan salah hiing dan lain-lain. Wajib Pajak dapat dikenakan sanksi
administrasi berupa denda atau bunga sebesar 2% per bulan untuk paling
lama 24 bulan, dihitung sejak terutangnya pajak.
6. Pasal 15
Apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap
yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang, maka dapat
dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak terutang sebesar
100% dari kekurangan pajak yang terutang.
7. Pasal 38 (karena alpa)
Kurungan 1 tahun atau denda dua kali, untuk:
a. Tidak menyampaikan SPT.
b. Menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar, tidak lengkap,
lampiran tidak benar
c.
8. Pasal 39 (dengan sengaja)
Dikenakan sanksi pidana enam tahun dan denda empat kali.
Menghindari Pemeriksaan Pajak
Sebab-sebab diperiksa:
Pemeriksaan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak menurut Erly Suandy
(2003:121) dilakukan terhadap Wajib Pajak yang:
1. SPT lebih bayar
45
2. SPT rugi
3. Tidak melakukan SPT atau terlambat memasukkan SPT
4. Terdapat informasi pelanggaran
5. Memenuhi criteria tertentu yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak
Upaya Hukum
Bila perusahaan diperiksa dan hasil tidak memuaskan atau koreksi dari
pemeriksaan dianggap tidak benar, maka dapat melakukan upaya keberatan (UU
No. 16 Tahun 2000 Pasal 25). Bila keberatan ditolak, dapat mengajukan banding
ke BPSP (UU No. 16 Tahun 2000 pasal 27) atau mengajukan gugatan atau
meminta untuk dilakukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA).
(Wirawan B.Ilyas:2004).
1. Banding
Seperti halnya upaya hukum keberatan, pengajuan upaya hukum banding
juga harus memenuhi syarat yaitu sebagai berikut:
a. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima
keputusan yang disbanding.
b. Menggunakan bahasa Indonesia.
c. 1 (satu) surat banding untuk 1 (satu) keputusan yang dibanding.
d. Mencantumkan alasan-alasan yang jelas.
e. Melampirka salinan keputusan yang disbanding.
f. Melunasi 50% (lima puluh persen) dari jumlah yang terutang atas
keputusan banding.
Apabila pemohon banding akan mencabut bandingnya, maka pemohon
banding dapat mengajukan surat pencabutan kepada Pengadilan Pajak.
Setelah ada pencabutan banding, maka banding yang bersangkutan dicabut
dan dihapus dari daftar sengketa. Terhadap banding yang telah dicabut
melalui penetapan atau putusan, tidak dapat diajukan kembali.
2. Gugatan
Selain upaya banding, yang dapat diajukan ke Pengadilan Pajak adalah
gugatan. Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib
Pajak atau Penanggungan Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak
46
atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Untuk dapat
mengajukan gugatan, harus dipenuhi syarat- syaratnya yaitu:
a. Diajukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal
pelaksanaan penagihan
b. Diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia
c. Ada 1 (satu) surat gugatan untuk 1 (satu) pelaksanaan penagihan
atau 1 (satu) keputusan.
Seperti halnya banding, penggugat dapat pula mengajukan pencabutan
gugatan kepada Pengadilan Pajak sebelum dilaksanakan pengadilan atau
pada saat menghadiri persidangan.
3. Peninjauan Kembali
Pengertian peninjauan kembali hanya dapat diketahui dari ketentuan
Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 Pasal 91-nya saja yang
menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan
berdasarkan 5 (lima) alasan yaitu:
a. Apabila keputusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu
kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah
perkaranya diputuskan atau didasarkan pada bukti-bukti yang
kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat
menentukan, yang bila diketahui pada tahap persidangan di
Pengadilan Pajak akan menghasilkan keputusan yang berbeda;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih
dari apa yang dituntut;
d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
pertimbangan sebab-sebabnya; atau
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai
dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Pengertian Penghasilan dan Biaya
47
Berdasarkan Akuntansi Komersil
Penghasilan
Penghasilan (income) adalah penambahan aktiva atau penurunan
kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari
kontribusi penanaman modal. Penghasilan meliputi pendapatan (revenues)
dan keuntungan (gains). Pendapatan adalah penghasilan yang timbul dari
aktivitas perusahaan yang biasa dan dikenal dengan sebutan yang berbeda
seperti penjualan, penghasilan jasa (fees), bunga, dividen, royalty dan sewa
(Erly Suandy:2003)
Biaya
Biaya adalah semua pengurang terhadap penghasilan. Sehubungan
dengan periode pengeluaran dipisahkan antara pengeluaran capital (capital
expenditure) yaitu pengeluaran yang memberikan manfaat lebih dari satu
periode akuntansi dan dicatat sebagai aktiva sedangkan pengeluaran
penghasilan (revenue expenditure) yaitu pengeluaran yang memberi
manfaat untuk satu periode akuntasi yang bersangkutan yang dicatat
sebagai beban.
Beban adalah penurunan manfaat ekonomi selama satu periode
akuntansi dalam bentuk arus kas keluar atau berkurangnya aktiva atau
terjadinya kewajiban yang menyebabkan penurunan ekuitas yang tidak
menyangkut pembagian kepada penanam modal. Beban juga mencakup
kerugian yang belum diralisasi, misalnya kerugian yang timbul dari
pengaruh selisih kurs nama uang asing. Baban diakui dalam laporan laba
rugi dasar hubungan langsung antara biaya yang timbul dan penghasilan
tertentu yang diperoleh (Erly Suandy:2003)
Berdasarkan Peraturan Perpajakan Indonesia
Objek pajak penghasilan adalah penghasilan. Pengertian penghasilan yang
diatur dalam Pasal 4 Undang-undang NO: 16 Tahun 2000 adalah setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh yang dapat dipakai untuk
48
konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama
dan dalam bantuk apapun, termasuk:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji dan tunjangan, honorium, komisi, bonus,
grafikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-undang ini:
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. Laba usaha;
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk;
Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota.
Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan atau badan pendidikan
atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan
oleh menteri keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f. Bunga
termasuk
premium,
diskonto,
dan
imbalan
karena
jaminan
pengembalian utang;
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dan
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
h. Royalty;
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
49
k. Keuntungan karena pembebasan utang kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. Keuntungan karena kurs mata uang asing;
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. Premi Asuransi
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
Pengertian biaya diatur dalam pasal 6 Undang-undang No. 17 Tahun 2000,
sebagai berikut:
1. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan,
termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau
jasa termasuk upah, gaji, honorium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang
diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalty, biaya perjalanan,
biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administarasi, dan pajak
kecuali pajak penghasilan;
2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun;
3. Iuran kepada dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan;
5. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing;
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahan yang dilakukan di
Indonesia;
7. Biaya bea siswa,magang, dan pelatihan;
8. Piuang yang nyata –nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:
Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
50
Telah diserahkan perkara penegihannya kepada Pengadilan Negeri atau
Badan Urusan Piutang dan lelang Negara (BUPLN) atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang atau pembebasan
utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum dan khusus; dan
Wajib Pajak harus menyertakan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Dengan membandingkan kedua pengertian di atas maka dapat disimpulkan
bahwa pengertian pengasilan menurut akuntansi membedakan antara penghasilan
dari kegiatan usaha utama (revenue) dengan penghasilan dari kegiatan yang bukan
kegiatan utama (gains). Sedangkan peraturan perpajakan tidak membedakan
penghasilan yang diperoleh dari kegiatan usaha.
Rekonsiliasi
Laporan
Keuangan
Akuntansi
Dengan
Laporan
Keuangan Fiskal
Adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi
komersial dan fiskal menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya
penghasilan kena pajak. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan kepentingan
antara akuntansi komersial yang mendasarkan laba pada konsep akuntansi yaitu
the proper matcing cost against revenue (penandingan antara pendapatan dengan
biaya-biaya terkait). Sedangkan dari segi fiskal tujuan utamanya adalah
penerimaan negara. Dalam penyusutan laporan keuangan fiskal Wajib pajak harus
mengacu kepada peraturan perpajakan, sehingga laporan keuangan komersial
yang dibuat berdasarkan standar akuntansi keuangan harus disesuaikan atau
dikoreksi fiskal terlebih dahulu sebelum menghitung besarnya penghasilan kena
pajak.
Pengertian Rekonsiliasi menurut Mohammad Zain (2007;221) adalah
sebagai berikut:
Rekonsiliasi merupakan penyesuain antara laporan keuangan
komersial dengan laporan keuangan fiskal melalui perbedaan permanen dan
perbedaan sementara atau koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal negatif .
51
Rekonsiliasi → Laporan keuangan komersial→ Koreksi fiskal
→ Laporan keuangan fiskal
Perbedaan antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan
fiskal dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu perbedaan waktu (timing
differences) dan perbedaan permanen (permanent differences).
Perbedaan waktu (timing differences) adalah perbedaan yang bersifat
sementara karena adanya ketidaksamaan waktu pengakuan penghasilan dan beban
antara peraturan perpajakan dengan standar akuntansi keuangan. Perbedaan waktu
dapat dibagi menjadi perbedaan waktu positif dan perbedaan waktu negatif.
Perbedaan waktu positif terjadi apabila pengakuan beban untuk akuntansi
lebih lambat dan pengakuan beban untuk pajak atau pengakuan penghasilan untuk
tujuan pajak dan pengakuan penghasilan untuk tujuan akuntansi lebih lambat.
Sedangkan perbedaan waktu negatif terjadi jika ketentuan perpajakan mengakui
penghasilan lebih lambat dari pengakuan penghasilan menurut ketentuan
perpajakan.
Beda tetap permanen (permanent differences) adalah perbedaan yang
terjadi karena peraturan perpajakan menghitung laba fiskal berbeda dengan
perhitungan laba menurut standar akuntansi keuangan tanpa ada koreksi di
kemudian hari.
Beda permanen dapat positif karena ada laba akuntansi yang tidak diakui
oleh ketentuan perpajakan dan relief
pajak, sedangkan perbedaan permanen
negatif disebabkan adanya pengeluaran sebagai beban laba akuntansi yang tidak
diakui oleh ketentuan fiskal.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang No.17 Tahun 2000, ada
penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak, yaitu:
a. 1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk aau disahkan oleh
pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
52
2. Harta hibahan diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau
badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha pekerjaan
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. Warisan;
c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal;
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah;
e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asurani kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa;
f. Dividen atau bagian laba diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam Negeri, Koperasi, badan Usaha Milik Negara,
atau Badan Usaha Milik Daerah dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat di Indonesia dengan syarat:
1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. Bagi Perseroan Terbatas , Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha
Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan
yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari
jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif diluar
kepemilikan saham tersebut;
g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriaannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai;
h. Penghasilan dan modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
53
i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dan perseroan
komanditer yang modalnya tiak terbagi atas saham-saham persekutuan,
perkumpulan, firma dan kongsi:
j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama
5 (lima) tahun pertama sejak pendirian atau pemberian izin usaha;
k. Penghasilan yang diterima atau yang diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia, dengan syarat badan
pasangan usaha tersebut:
1. Merupakan perusahaan kecil, menengah atau yang menjalankan
kegiatan dalam kegiatan sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, dan
2. Sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia.
Berdasarkan Undang-undang No.17 ahun 2000 pasal 9 ada biaya-biaya
yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya penghasilan kena
pajak, yaitu:
a. Pembagian yang dibayarkan oleh perusahan asuransi kepada pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. Pembentukan atau pemupukan dan cadangan kecuali cadangan piutang tak
tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi cadangan
untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha
pertambangan yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang
pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut
dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkuan.
54
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengn Keputusan
Menteri Keuangan;
f.
Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan:
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau, dan warisan, kecuali zakat atas
penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi
pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang
dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah:
h. Pajak Penghasilan:
i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib
Pajak atau orang-orang yang menjadi tanggungannya.
j.
Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k.
Sanksi administrasi berupa bunga denda dan kenaikan serta sanksi
pidna denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang
perpajakan. Dalam akuntansi komersil tidak ada pengecualian penghasilan
maupun biaya yang seperti yang diatur dalam peraturan perpajakan.
Penghasilan (laba) Kena Pajak
Penghasilan kena pajak (taxable income) merupakan laba yang dihitung
berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku, yaitu undang-undang nomor 17
tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, beserta peraturan pelaksanaannya.
Penghasilan kena pajak berdasarkan prinsip taxability deductability, dengan
prinsip ini suatu biaya baru dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila
pihak yang menerima pengeluaran atas biaya yang bersangkutan melaporkannya
sebagai penghasilan dan penghasilan tersebut dikenakan pajak (taxable)
Menurut Erly Suandy (2003:123) untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak
minimal ada 5(lima) komponen yang perlu diperhatikan, yaitu:
3. Penghasilan yng menjadi objek pajak (pasal 4 ayat (1))
4. Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak
(pasal $ ayat (3))
5. Penghasilan yang pajaknya dikenakan secara final
(pasal 4 ayat (2))
55
6. Biaya yang boleh dikurangi dari penghasilan bruto
(pasal 6 Ayat (1))
7. Biaya yang tidak boleh dikurangi dari penghasilan bruto
(pasal 9 ayat (1))
Penilaian Persediaan
Untuk keperluan pajak persediaan dan pemakai persediaan untuk
menghitung harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan
secara rata-rata atau
dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh
pertama.
Berdasarkan
akuntansi
komersial
penilaian
persediaan
selain
menggunakan metode rata-rata maupun mendahulukan persediaan yang diperoleh
pertama, juga boleh menggunakan metode yang mendahulukan persediaan yang
diperoleh terakhir.
Penyusutan dan Amortisasi
Penyusutan adalah alokasi jumlah suatu aktiva yang dapat disusutkan
sepanjang masa manfaat yang diestimasi. Untuk menghitung penyusutan, harta
yang dapat disusutkan dibagi menjadi golongan-golongan harta sebagai berikut:
Dalam Undang-undang No.17 Tahun 2000 perhitungan penyusutan dan
amortisasi yang diatur dalam pasal 11 dan 11A.
Pada pasal 11 Undang- undang No.17 tahun 2000 peraturan tantang
penyusutan adalah sebagai berikut:
1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan,
perbaikan, ata perubahan harta berwujud kecuali tanah yang berstatus hak
milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang dimiliki
dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang mempunyai masa manfaat lebih dari dari 1 (satu) tahun dilakukan
dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah
ditentukan bagi harta tersebut.
56
2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) selain bangunan dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang
menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai
sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk
harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutan dimulai pada bulan
selesainya pengerjaan harta tersebut.
4) Dengan persetujuan Direktur jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan
melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta
yang bersangkutan mulai menghasilkan,
5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19, maka dasar penyusutan
atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.
6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta
berwujud ditetapkan sebagai berikut:
Tabel 2.1
Kelompok Harta Berwujud dan Tarif Penyusutan
Masa Manfaat
Kelompok Harta
Berwujud
I. Bukan
Bangunan
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
Tarif penyusutan
Metode Garis
Lurus
Metode Saldo
Menurun
4 Tahun
8 Tahun
16 Tahun
20 Tahun
25%
12,50%
6,25%
5%
50%
25%
12,5%
10%
20 Tahun
10 Tahun
5%
10%
-
II. Bangunan
Permanen
Tidak Permanen
Permanen
57
7) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1), ketentuan
tentang penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan alam
usaha tertentu, ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena sebab lainnya,
maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian
dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau
diperoleh dibukukan sebagai penghasilan
9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru
dapa diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan
Direktur Jemderal Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (8) dibubuhkan sebagai beban masa kemudian tersebut.
10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b, yang berupa harta
berwujud, maka jumlah nlai sisa buku harta tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
11) Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (6) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pada pasal 11A Undang-undang No.17 tahun 2000 perubahan yang terjadi aalah
sebagai berikut :
1. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan
pengeluaran lainnya termaksud biaya perpanjangan hak guna bangunan.
Hak guna usaha dan hak pakai yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun
selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif
amortisasi atas pengeluaran tersebut atas nilai sisa buku dan pada akhir
masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat secara taat asas
2. Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi diteakan
sebagai berikut:
58
Tabel 2.2
Kelompok Harta Tak Berwujud dan Tarif Amortisasi
Kelompok Harta
tak Berwujud
Masa Manfaat
Tarif Penyusutan
Kelompok 1
4 Tahun
Metode Garis
Lurus
25%
Metode saldo
Menurun
50%
Kelompok 2
8 Tahun
12,50%
25%
Kelompok 3
16 Tahun
6,25%
12,5%
Kelompok 4
20 Tahun
5%
10%
3. Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu
perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau amortisasi
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
4. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dibidang
penabangan minyak dan gas buni dilakukan dengan menggunakan metode
satuan produksi.
5. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain
yang dimaksud dalam ayat (4), hak pengusahaan sumber alam serta hasil
alam lainnya yang empunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi paling tinggi
20% (dua puluh persen) setahun.
59
6. pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian
diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat 2 (dua).
7. Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (4) , dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta
atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang
diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun
terjadinya pengalihan tersebut.
8. Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta
tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
Metode Penyusutan Berdasarkan Akuntansi Komersial
Pengertian penyusutan menurut Sophar Lumbanturuan (1996:248)
sebagai berikut :
“Penyusutan adalah proses alokasi sebagian harta perolehan aktiva
menjadi biaya (cost allocation), sehingga biaya tersebut mengurangi
laba usaha”
Penyusutan dapat dilakukan dengan berbagai metode yang dapat
dikelompokkan menurut kriteria sebagai berikut:
1) Berdasarkan kriteria waktu
a. Metode garis lurus (straight line method)
b. Metode pembebanan yang menurun
c. Metode jumlah angka tahun (sum of the years digit method)
d. Metode saldo menurun atau saldo menurun ganda (declining atau
double declining balance method)
2) Berdasarkan kriteria penggunaan
a. Metode jam jasa (service hours method)
b. Metode anuitas ( annuity method)
60
c. Metode persediaan (inventory method)
3) Berdasarkan kriteria lainnya
a. Metode berdasarkan jenis an kelompok (group and composite method)
b. Metode anuitas (annuity method)
c. Sistem persediaan (inventory system)
Perhitungan Tarif Penyusutan Secara Akuntansi Pajak
Didalam akuntansi pajak, metode penyusutan yang digunakan hanya dua
yaitu: metode garis lurus (straight line method) dan metode saldo menurun
(declining atau double declining balance method) yang dinilai berdasarkan masa
manfaat dan persentase yang sudah ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan.
Perhitungan Tarif Penyusutan Secara Akuntansi Komersial
Tetapi didalam akuntansi komersial, metode penyusutan garis lurus
(straight line method) dan saldo menurun (declining atau double declining
balance method) dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut
(Wegandy et.al, 1996:412)
Straight Line Method
Cost – Salvage value = Depreciable Cost
Depreciable Cost + Useful Life (in years) = Depreciation Expense, atau
1/ Useful Life (in years) x Depreciable Cost = Depreciation Expense
Contoh : Sebuah perusahaan memiliki mesin dengan masa manfaat 4
tahun. Di dalam akuntansi pajak penyusutannya digolongkan dalam
kelompok bukan bangunan yaitu pada kelompok I dengan tarif
penyusutan sebesar 25%. Tetapi didalam
penyusutan dihitung sebagai berikut:
¼ x Depreciable Cost = Depreciation Expense
25% x Depreciable Cost = Depreciation Expense
Umur Aktiva
akuntansi komersial
61
Umur Aktiva dihitung berdasarkan masa manfaat yang dapat ditentukan
baik berdasarkan perkiran histories maupun perkiraan ekonomis disamping umur
teknis dari aktiva yang bersangkutan, Jika diperlukan besarnya nilai residu dapat
ditentukan sebelum melakukan penyusutan.
Percepatan Penyusutan dan Amortisasi sebagai Fasilitas Perpajakan
Penyusutan dapat dipercepat untuk meningkatkan cashflow, karena kalau
penyusutannya besar, maka pajak yang dibayar lebih kecil dan
return on
investment (ROI) menjadi tinggi. Metode yang dapat digunakan menurut Alan P.
Murray yang dikutip oleh Erly Suandy (2003:32) adalah:
a. Dipercepat (accelerated), misalnya dengan metode penyusutan saldo
menurun/ menurun ganda (declining/ Double declining balance)
b. Memperpendek umur (shorted life)
c. Bebas (arbitrary deducation)
Tabel berikut menggambarkan percepatan penyusutan dan amortisasi yang
diberikan:
Tabel 2.3
Kelompok Harta dan Tarif Depresiasi dan Amortisasi
Kelompok Harta
Masa Manfaat
I.
Bukan
Bangunan
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun
25%
12,5%
6,25%
5%
20 tahun
10 tahun
5%
10%
II. Bangunan
Permanen
Tidak Permanen
Tarif Penyusutan
Metode Garis
Metode saldo
Lurus
Menurun
50%
25%
12,5%
10%
Download