20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pajak 2.1.1 Definisi Pajak dan Unsur Pajak Definisi pajak telah banyak dikemukakan oleh pakar perpajakan. Menurut P. J. A. Adriani yang dikutip oleh Mohammad Zain (2007: 10) Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib pajak membayarnya menurut peraturan- peraturan umum (undang- undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan Menurut Soemitro seperti yang dikutip oleh Mohammad Zain (2007 :11) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontrapretasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Djajadiningrat memberikan definisi yang lebih luas, seperti yang dikutip oleh H.S Munawir (2003:1), karena disamping memberikan dari tujuan pemungutan pajak (untuk biya pemeliharaan kesejahteraan umum) juga memberikan sebab-sebab pengenaan pajak (karena keadaan, kejadian, dan perbuatan). Secara lengkap definisi tersebut adalah sebagai berikut: Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan kepada negara disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung untuk memelihara kesejahteraan secara umum. Sedangkan menurut Sommerfeld, Anderson, dan Brock Horace yang dikutip oleh Mohammad Zain (2007: 11) Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hokum, namun wajib dilaksanakan, 21 berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yng langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur: 1. Iuran dari rakyat kepada negara Yang berhak memungut pajak hanyalah Negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2. Berdasarkan undang-undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaanya. 3. Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individu oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat. 2.1.2 Fungsi Pajak Ada dua fungsi pajak yang dikutip oleh Resmi (2003:2). Yaitu: 1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara) Pajak mempunyai fungsi budgetair artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupu intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain-lain. 22 2. Fungsi Regulerend (mengatur) Pajak mempunyai fungsi mengatur artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, dan mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan Jenis Pajak 2.2.1 Menurut Golongannya Menurut golongannya pajak dikelompokan menjadi dua yaitu pajak langsung dan tidak langsung. a) Pajak langsung, adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. Pajak harus menjadi beban sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak penghasilan dibayar atau ditanggung oleh pihak-pihak yang memperoleh penghasil tesebut. b) Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Pertambahan Nilai terjadi karena terdapat pertambahan nilai terhadap barang atau jasa. Pajak ini dibayarkan oleh prosedur atau pihak yang menjual barang tetapi dapat dibebankan kapada konsumen baik secara eksplisit maupun implisit. 2.2.2 Menurut Sifatnya Menurut sifatnya, pajak dikelompokan menjadi dua bagian yaitu: a) Pajak Subjektif, adalah pajak yang pengenaanya memperhatikan pada keadaan pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan keadaan subjeknya. Contoh: Pajak Penghasilan b) Pajak Objektif, adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan pada objeknya baik berupa benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang 23 mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa memperhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak) maupun tempat tinggal Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan. 2.2.3 Menurut Lembaga Pemungutnya Menurut lembaga pemungutnya, pajak dikelompokan menjadi dua, yaitu Pajak Negara (Pajak Pusat) dan Pajak Daerah. a) Pajak Negara (Pajak Pusat), adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada umumnya. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan. b) Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah masing-masing. Contoh Pajak Daerah Tingkat I (propinsi): Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Tanah, Pajak Penangkapan Ikan di Wilayahnya. Contoh Pajak Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kotamadya): Pajak Pembangunan I, Pajak Penerapan Jalan, Pajak atas Reklame. Sistem Pemungutan Pajak Dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan, yaitu: official assessment system, self assessment, dan with holding system. a) Official Assesment System Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif dan kegiatan menghitung serta 24 memungut pajak sepenuhnya berada ditangan para aparatur perpajakan dengan demikian berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada aparatur perpajakan (peran dominan ada pada aparatur perpajakan). b) Self Assesment System Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terhutang setiap tahunnya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif dan kegiatan menghitung serta pelaksanaan pemungutan pajak berada ditangan Wajib Pajak. Wajib Pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami peraturan perpajakan yang sedang berlaku, dan mempunyai kejujuran yagn tinggi, serta menyadari akan arti pentingnya membayar pajak. Oleh karena itu, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk: • Menghitung sendiri pajak yang terutang • Memperhitungkan sendiri pajak yang terutang • Membayar sendiri pajak yang terutang • Melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang, dan • Mempertanggungjawabkan pajak yang terutang Dengan demikian berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada Wajib Pajak sendiri (peranan dominan ada pada Wajib Pajak) c) With Holding System Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. Penunjukkan pihak ketiga ini bisa dilakukan dengan undangundang perpajakan, keputusan Presiden dan peraturan lainnya untuk memotong dan memungut pajak, menyetorkan, dan mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia. 25 Berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada pihak ketiga yang ditunjuk. Pajak Penghasilan Undang-undang No.7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang-undang No 17 tahun 2000. Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pajak atas penghasilan (laba) yang diterima atau diperoleh orang pribadi maupun badan. Undang-undang PPh mengatur subjek pajak , objek pajak, serta cara menghitung dan cara melunasi pajak yang terutang. Undang-undang PPh juga lebih memberikan fasilitas kemudahan dan keriganan bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Undang-undang PPh menganut asas materiil, artinya penentuan mengenai pajak yang terutang tidak tergantung kepada surat ketetapan pajak. 2.4.1 Subjek Pajak Subjek pajak penghasilan mencakup orang pribadi, badan dan warisan belum terbagi. Subjek pajak dapat dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Pasal 2 ayat (1) No.17 Tahun 2000 mengelompokkan Subjek Pajak sebagai berikut. 1. a. Orang Pribadi b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. 2. Badan terdiri dari dari PT, CV, persero lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, dan bentuk badan lainnya. 3. Bentuk Usaha Tetap (BUT) 26 Pasal 2 ayat (2) UU No. 17 tahun 2000 mengelompokkan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri sebagai berikut: 1. Subjek Pajak Dalam Negeri yang terdiri dari: a) Subjek Pajak Orang Pribadi • Orang Pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 (dua belas)bulan, atau • Orang Pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia. b) Subjek Pajak Badan, yaitu Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. c) Subjek Pajak Warisan, yaitu Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. 2. Subjek pajak Luar Negeri yang terdiri dari: a. Subjek Pajak orang pribadi, yaitu: Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan yang: 1. Menjalankan usaha dan melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. 2. Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. b. Subjek pajak badan, yaitu: Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang: 1. Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. 27 2. Dapat menerima atau memperoleh panghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiaan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Yang tidak termasuk Subjek Pajak berdasarkan UU NO. 17 Tahun 2000 paal (3) yaitu: 1. Badan Perwakilan Negara Asing 2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsultan atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. 3. Organisasi- organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat: a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut. b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota. 4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. 2.4.2 Objek Pajak Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan penghasilan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan bentuk apapun. 28 Tarif Pajak Tarif Pajak merupakan persentase tertentu yang ditetapkan atas dasar penghasilan neto untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak yang bersangkutan sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, besarnya Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut: 1. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut: Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Sampai dengan Rp.25.000.0000, 00 5% Diatas Rp.25.000.000,00 s.d Rp.50.000.000,00 10 % Diatas Rp.50.000.000,00 s.d Rp.100.000.000,00 15 % Diatas Rp.100.000.000,00 s.d Rp.200.000.000,00 25% Diatas Rp,200.000.000,00 35% 2. Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah sebagai berikut: Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Sampai dengan RP.50.000.000,00 10% Diatas Rp.50.000.000,00 s.d Rp.100.000.000,00 15% Diatas Rp. 100.000.000,00 30% Manajemen Pajak Upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan melalui manajemen pajak. Secara umum manajemen pajak dapat didefinisikan sebagai sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba yang diharapkan. Tujuan Manajemen pajak dapa dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Menetapkan peraturan perpajakan secara benar. 2. Usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya. 29 Tujuan manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi-fungsi manajemen pajak yang terdiri dari: 1. Perencanaan pajak (tax planning) 2. Pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation) 3. Pengendalian pajak (tax control) Perencanaan Pajak (Tax Planning) Perencanaan adalah salah satu unsur manajemen yang secara tidak langsung menyatakan bahwa manajer harus terlebih dahulu memikirkan segala sesuatunya dengan matang berkenaan dengan tujuan dan tindakannya. Tindakan manajer hendaknya didasarkan atas suatu metode, rencana, atau logika tertentu dan bukan atas dasar suatu firasat. Perencanaan memberikan tujuan dan arah kepada organisasi, menentukan apa yang akan dikerjakan, kapan akan dikerjakan, bagaimana mengerjakannya, dan siapa yang akan mengerjakannya. Empat langkah pokok dalam perencanaan yaitu : 1. Tetapkan sasaran atau perangkat tujuan. 2. Tentukan situasi sekarang. 3. Identifikasi pendukung dan penghambat tujuan. 4. Kembangkan rencana atau perangkat tindakan untuk mencapai tujuan. Keempat langkah pokok tersebut juga berlaku bagi penyusunan perencanaan pajak, baik perencanaan pajak jangka panjang maupun perencanaan pajak jangka pendek. Pengertian perencanaan pajak menurut Mohammad Zain (2007:67) adalah sebagai berikut : Perencanaan pajak adalah merupakan tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada konsekuensi pajaknya. Tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisiensikan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah, melalui apa yang disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan penyelundupan pajak (tax evasion) yang merupakan tindakan pidana fiskal yang tidak akan ditoleransi. 30 Maka tax planning disini sama dengan tax avoidance karena secara hakikat ekonomis kedua-duanya berusaha untuk memaksimalkan penghasilan setelah pajak (after tax return) karena pajak merupakan unsur pengurang laba yang tersedia baik untuk dibagikan kepada pemegang saham maupun untuk diinvestasikan kembali. Perencanaan pajak umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi atau fenomena terkena pajak , kalau fenomena tersebut terkena pajak apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, selanjutnya apakah pembayaran pajak dimaksud dapat ditunda pembayarannya dan lain sebagainya. Oleh karena itu, setiap Wajib Pajak akan membuat rencana pengenaan pajak atas setiap tindakan (taxable events) secara seksama. Cara lain untuk mengefisiensikan beban pajak adalah melalui penghematan pajak (tax saving), yaitu suatu cara yang dilakukan oleh wajib pajak dalam mengelakan utang pajaknya dengan jalan menahan diri untuk tidak membeli produk-produk yang ada pajak pertambahan nilainya, pajak penjualannya atau dengan sengaja mengurangi jam kerja atau pekerjaan yang dapat dilakukannya sehingga penghasilannya menjadi kecil dan terhindar dari pengenaan pajak penghasilan yang besar. Secara sepintas terlihat bahwa ada kesamaan antara penghematan pajak dan penghindaran pajak, tetapi secara teoritis kedua hal tersebut dapat dibedakan, menurut Moh Zain (2007;51) adalah sebagai berikut : Penghematan pajak adalah usaha memperkecil jumlah utang pajak yang tidak termasuk dalam ruang lingkup pemajakan, sedang penghindaran pajak juga merupakan usaha yang sama dengan cara mengeksploitir celahcelah yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, di mana aparat perpajakan tidak dapat melakukan tindakan apa-apa. Dalam penulisan skripsi ini pembahasannya dititikberatkan pada tax avoidance karena sesuai dengan prinsip manajemen pajak bahwa penghematan pajak dilakukan tidak melanggar ketentuan yang berlaku dibidang perpajakan. 31 Penghematan pajak pada dasarnya dilakukan dengan prinsip – prinsip sebagai berikut: a. Memanfaatkan secara optimal ketentuan perpajakan berlaku. b. Mengambil keuntungan dari pemilihan bentuk badan usaha yang tepat c. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sehingga dapat diatur keseluruhan penggunaan tanpa pajak dan potensi penghasilan d. Menyebar penghasilan ke beberapa tahun untuk menghindari pengenaan tanpa pajak tertinggi. Strategi Dasar Perencanaan Pajak Dalam melakukan perencanaan pajak menurut Moh. Zain (2003:67), ada 4 strategi yang harus diperhatikan, yaitu : 1. Memahami masalah perpajakan, pemahaman ini tidak terbatas pada pemahaman Undang- undang perpajakan saja, tetapi juga meliputi Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (kepres), Surat Keputusan Menteri Keuangan (SKMK), Surat Keputusan / Surat Edaran Dirjen Pajak, agar tidak kehilangan jejak mengenai ketentuan peraturan undang- undang perpajakan, lebih- lebih lagi mengingat fungsi Surat Keputusan (SK) dan surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Pajak lebih ditekankan pada interpretasi resmi undangundang perpajakan dan petunjuk pelaksanaannya. Oleh karena itu yang terpenting bagi perencanaan pajak adalah memiliki kemampuan menerapkan undangundang perpajakan dalam situasi nyata (real life situasion) dan bkan hanya memiliki bakat mengungkapkan ketentuan undang-undang perpajakan samapai ke akar-akarnya, serta melihat implikasinya terhadap pengambilan keputusan. 2. Menyadari bahwa masalah perpajakan adalah masalah perundang-undangan sehingga hanya otoritas legal 32 yang berwenang untuk memutuskan apa yang benar sesuai dengan yang dimaksud oleh ketentuan undangundang perpajakan. Apabila terjadi aplikasi yang benar (correct application) menurut ketentuan undangundang perpajakan dan hasilnya menyimpang dari standar/ teori akuntansi, ekonomi, dan sosial, maka yang harus diikuti adalah ketentuan undang-undang perpajakan. Dalam prakteknya, sebagian perselisihan perpajakan terjadi karena ketidaksamaan pendapat mengenai correct application dari suatu ketentuan undang-undang perpajakan dalam situasi yang spesifik. 3. Memahami bahas yang digunakan undang-undang perpajakan. Pengungkapan variabel merupakan hal yang kritis. Suatu pengertian yang sama dalam pembicaraan sehari-hari dapat didefinisikan berbeda dengan ketentuan undang-undang perpajakan. Misalnya, pengertian “penghasilan” menurut undangundang berbeda dengan pengertian penghasilan dalam bahasa sehari- hari. Dalam pegertian penghasilan menurut Undang-undang Pajak Penghasilan No.17 tahun 2000 pasal 4 ayat (1) tersebut yang dimaksud “nama dan dalam bentuk apapun” merupakan pengertian yang luas, termasuk penghasilan yang diperoleh secara legal maupun illegal dan tidak mempersoalkan apakah penghasilan tersebut secara halal atau haram, susila atau tidak susila. 4. Menyadari bahwa perencanaan pajak mempunyai keterbatasan. Strategi penghindaran pajak merupakan kombinasi antara kepentingan bisnis dan strategi menghindari pajak yang menguntungkan kedua belah 33 pihak. Keberhasilan perencanan pajak ini sangat bergantung pada system akuntansi yang ada didalam perusahaan. Perencanaan pajak harus mengetahui dengan pasti jumlah pajak yang akan dihindarkan dan cara penghindarannya. Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan Pajak Perhitungan pajak terutang (final) merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu variabel ketentuan peraturan perundang-undangan pajak (tax law), variabel fakta (fact), dan variabel proses administrasi dan kadang-kadang juga proses pengadilan, dari ketiga variabel tersebut, sedikit sekali perhatian peranan kritis dari suatu fakta dan betapa pentingnya peranana suatu fakta dalam menentukan setiap rupiah hutang pajak, terbukti dari kenyataan bahwa fakta adalah salah satu variabel yang setiap orang dapat bebrbuat sesuatu terhadapnya, berbeda dengan undang- undang pajak yang merupakan variabel yang sudah pasti yang setiap orang atau badan harus mematuhinya sesuai dengan ketentuan yang terdapat didalamnya. Apabila seseorang tidak puas, baik terhadap Undang-undang Pajak maupun terhadap administrasi dan proses pengadilan, maka relatif sedikit sekali yang dapat diperbuat sesorang untuk memenuhi tuntutan ketidakpuasannya tersebut. Dalam rangka mendesain suatu perencanaan pajak, ada beberapa alternatif pendekatan yang sistematis yang dapat dilakukan tetapi kesemuanya itu bertitik tolak kepada formula umum perhitungan pajaknya, seperti misalnya formula umum perhitungan penghasilan sebagai berikut : pajak 34 Oleh karena sasarannya mengefisiensikan beban pajak (pajak terutang) yang berada pada lapisan bawah dari perhitungan tersebut diatas, maka secara aritmatika untuk memperoleh lapisan bawah yang minimal tersebut, pengaturan harus dilakukan dengan melibatkan komponen yang diatasnya secara maksimal, sehingga dengan meminimalkan tarif pajak dan memaksimalkan biaya fiskal yang dpat dikurangkan serta memaksimalkan penghasilan yang ditangguhkan atau dikecualikan dengan pengenaan pajak. Komponen- komponen dari formula umum tersebut kita sebut sebagi “variabel-variabel” perencanaan pajak dan hamper seluruh komponen-komponen yang terdapat pada nomor genap formula tersebut merupakan “variabel kritis (critical variabel)”, yang akan diolah dalam perencanaan pajak Untuk membantu mengolah “variabel krtis” tersebut menurut Moh.Zain, Dalam bukunya “Manajemen Perpajakan” (2003:79), ada beberapa petunjuk yang dapat digunakan, antara lain: 1. Usahakan agar terdapat penghasilan yang stabil untuk menghindarkan pengenaan pajak dari kelas penghasilan yang tarifnya tinggi (top rate brackets). 2. Percepat atau tunda beberapa penghasilan dan biaya- biaya untuk memperoleh keuntungan dari kemungkinan perubahan tariff pajak yang tinggi atau rendah, seperti penangguhan penegnaan PPN. 3. Sebarkan penghasilan menjadi penghasilan dari beberapa wajib pajak, seperti pembentukan group-group perusahaan. 4. Sebarkan penghasilan menjadi penghasilan beberapa tahun untuk mencegah penghasilan tersebut termasuk dalam kelas penghasilan yang tarifnya tinggi dan tunda pembayaran pajaknya, seperti penjualan cicilan, kredit dan seterusnya. 35 5. Transformasikan penghasilan bisa menjadi capital gain jangka panjang. 6. Ambil keputusan sebesar-besarnya dari ketentuan-ketentuan mengenai pengecualian dan potongan-potongan. 7. Pergunakan uang dari hasil pembebasan pajak untuk keperluan perluasan perusahaan yang mendapatan kemudahan- kemudahan. 8. Pilihlah bentuk usaha yang tebaik untuk operasional usahanya. 9. Dirikanlah perusahaan dalam satu jalur usaha sedemikian rupa sehingga dapat diatur secara keseluruhan penggunaan tariff pajak, potensi menghasilkan, kerugia-kerugian, dan asset yang dapat dihapus” Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan ( Tax Implementation) Apabila telah diketahui jenis dan cara pengelakan pajak, tahap selanjutunya adalah pelaksanaan kewajiban perpajakan baik formal maupun material. Harus dipastikan bahwa pelaksanaan kewajiban itu telah memenuhi peraturan perpajakan yang berlaku. Manajeman pajak tidak dimaksudkan untuk melanggar peraturan dan jika dalam pelaksanaannya menyimpang dari peraturan yang berlaku maka praktek tersebut telah menyimpang dari tujuan manajemen pajak. Sebab tujuan utama dari manajemen pajak sebenarnya adalah agar perusahaan tidak menyimpang dari ketentuan, untuk dapat mencapai tujuan manajemen pajak ada dua hal yang perlu dikuasai dan dilaksanakan, yaitu: a. Memahami ketentuan peraturan perpajakan Dengan mempelajari peraturan perpajakan seperti Undang- undang, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri keuangan, keputusan Dirjen Pajak, dan Surat Edaran Dirjen Pajak kita dapat mengetahui peluangpeluang yang dapat dimanfaaatkan untuk menghemat beba pajak. b. Menyelenggarakan pembukuan yang memenuhi syarat 36 Pembukuan merupakan sarana yang sangat penting dalam penyajian informasi keuangan perusahaan yang disajikan dalam bentuk laporan keuangan dan menjadi dasar dalam menghitung besarnya jumlah pajak terutang. Mengingat pentingnya pembukuan, maka dalam pasal 28 ayat 1 Undangundang No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, telah menetapkan bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan Usaha atau Pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan Indonesia wajib melakukan pembukuan Pengendalian Pajak (Tax Control) Pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban pajak telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan telah memenuhi persyaratan formal maupun material. Dalam pengendalian pajak yang penting adalah pengecekan pembayaran pajak. Oleh sebab itu, Pengendalian dan peraturan arus kas sangat penting dalam penghematan pajak, misalnya dalam melakukan pembayaran pajak pada saat terakhir tentu lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan membayar lebih awal. Pengendalian pajak termasuk pemerksaan jika perusahaan telah membayar pajak lebih besar dari jumlah pajak terhutang. Motivasi Dilakukannya Perencanaan Pajak (Tax Planning) motivasi yang mendasari dilakukannya suatu perencanaan pajak (tax planning) umumya bersumber dari tiga unsur perpajakan yaitu: 1. Kebijakan perpajakan (tax policy) 2. Undang-undang perpajakan (tax law) 3. Administrasi perpajakan (tax administration) Kebijakan Perpajakan Kebijakan perpajakan (tax policy) merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang hendak dituju dalam sistem perpajakan. 37 Berikut ini akan diuraikan faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak (tax planning), yaitu: • Pajak yang dipungut Dalam sistem perpajakan modern ada berbagai tipe pajak yang harus menjadi pertimbangan utama baik berupa pajak langsung maupun tidak langsung dan cukai seperti: 1. Pajak Penghasilan Badan dan Perseorangan 2. Pajak atas capital gains 3. Withholding tax atas gaji, dividen, sewa, bunga, royalty, dan lain- lain. 4. Pajak atas Impor, Ekspor serta Bea Masuk 5. Pajak atas undian atau hadiah 6. Bea Materai 7. Capital Transfer taxes atau transfer duties 8. Bussines licence dan trade tax lainnya. Terdapat berbagai kewajiban pajak yang harus dibayar di mana masingmasing jenis pajak tersebut mempunyai sifat perlakuan pajak sendirisendiri.Maka agar tidak menggangu atau tidak memberatkan arus kas perusahaan, diperlukan perencanaan pajak yang baik untuk bisa menganalisis atas transaksi apa akan terkena pajak yang mana dan berapa dana yang diperlukan, sehingga dapat diketahui berapa penghasilan bersih setelah pajak. • Subjek Pajak Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut “the classical system” di mana ada pemisahan (separate entity) antara badan usaha dengan pribadi pemiliknya (pemegang saham) yang akan menimbulkan pajak ganda. Adanya perbedaan perlakuan perpajakan atas pembayaran dividen badan usaha kepada pemegang saham perorangan dan kepada pemegang saham berbentuk badan usaha (intercorporate dividend) menyebabkan timbulnya usaha untuk merencanakan pajak dengan baik agar beban pajak rendah sehingga sumber daya perusahaan bisa dimanfaatkan untuk tujuan yang 38 lain. Di samping itu, ada pertimbangan untuk menunda pembayaran dividen dengan cara meningkatkan jumlah saldo laba ditahan (retained earnings) bagi perusahaan yang juga akan menimbulkan penundaan pembayaran pajak. • Objek Pajak Adanya perlakuan pajak yang berbeda atas objek pajak yang secara ekonomis hakikatnya sama akan menimbulkan usaha perencanaan pajak agar beban pajaknya rendah. Karena Objek Pajak merupakan basis perhitungan (tax bases) besarnya pajak, maka untuk optimalisasi alokasi sumber dana, manajemen akan merencanakan pajak yang tidak lebih (karena akan mengurangi optimalisasi alokasi sumber daya) dan tidak kurang (agar tidak harus membayar sanksi yang berarti pemborosan dana) • Tarif Pajak Adanya penerapan schedular taxation tarif yang diterapkan di Indonesia mengakibatkan seorang perencana pajak akan berusaha sedapat mungkin agar dikenakan tarif terendah (low bracket). • Prosedur pajak Self assessment dan payment system mengharuskan seorang perencana pajak untuk merencanakan pajaknya dengan baik. Saat ini sistem pemungutan pajak withholding tax di Indonesia makin ditingkatkan penerapannya. Hal ini di samping mengganggu arus kas perusahaan juga bisa mengakibatkan kelebihan pembayaran atas pemungutan pendahuluan tersebut padahal untuk memperoleh restitusi atas kelebihan tersebut diperlukan waktu dan biaya Undang-Undang Perpajakan (Tax Law) Kita menyadari bahwa kenyataan dimana pun tidak ada tidak ada undangundang yang mengatur setiap permasalahan secara sempurna. Maka dalam 39 pelaksanaanya selalu diikuti ketentuan-ketentuan lain (Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, dan Direktur Jenderal Pajak), maka tidak jarang ketentuan pelaksanaan tersebut bertentangan dengan undangundang itu sendiri karena disesuaikan dengan kepentingan pembuat kebijaksanaan dalam mencapai tujuan lain yang ingin dicapainya. Keadaan ini menyebabkan munculnya celah (loopholes) bagi Wajib Pajak untuk menganalisis dengan cermat atas kesempatan tersebut untuk digunakan perencanaan yang baik. Administrasi Perpajakan (Tax Administration) Indonesia merupakan negara yang begitu luas wilayahnya dan begitu banyak penduduknya, dan sebagai negara yang sedang membangun (developing country) masih mengalami kesulitan dalam melaksanakan administrasi perpajakan secara memadai (properly). Hal ini mendorong perusahaan untuk melaksanakan perencanaan pajak (tax planning) dengan baik agar terhindar dari sanksi administrasi maupun sanksi pidana karena adanya perbedaan penafsiran antara aparat fiskus dan Wajib Pajak akibat dari begitu luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan sistem informasi yang masih belum efektif. Cara- cara Pengelakan Pajak Menurut Sophar Lumbantoruan (1996:489) ada enam cara pengelakan pajak yang bisa dipraktekkan dimana- mana, yaitu: 1. Penggeseran 2. Kapitalisasi 3. Transformasi 4. Penyelundupan (evasion) 5. Penghindaran (avoidance) 6. Pengecualian Penggeseran 40 Penggeseran Pajak adalah pemindahan atau mentransfer beban pajak dari subjek pajak kepada pihak lain. Dengan demikian orang atau badan yang dikenakan pajak mungkin sekali tidak menaggungnya. Jenis pajak yang dapat dialihkan kepÿÿÿÿpihak a.in a ilah pajak tidak langsung yaitu Pajak Pertambahan Nilÿÿ. Perlu dicatat, bahwa pergeseran tidak berarti pembayarannya kepada negara dialihkan kepada pihak lain, tetapi bebannya yang ditransfer. Dalam hal ini ada dua jenis penggeseran pajak yang sering dilakukan dalam pengelakan pajak, yaitu: a. Penggeseran Pajak Ke Depan Penggeseran ini terjadi apabila pabrik mentransfer beban pajaknya kepada penyalur utama, pedagang besar dan akhirnya kepada konsumen. Penggeseran ini mengakibatkan kenaikan harga sebanyak pajak yang dikenakan. b. Penggeseran Pajak Ke Belakang Penggeseran ini terjadi apabila beban pajak ditransfer dari konsumen atau pembeli melalui faktor distribusi kepada pabrikan. Jadi, pajak pertama kali dikenakan kepada konsumen atau pembeli, kemudian menggeser pajak tersebut kepada penyalur dengan cara pembelian setelah harga dipotong sebesar pajak yang dikenakan kepadanya. 2.8.2 Kapitalisasi Kapitalisasi pajak adalah pengurangan harga objek pajak sama dengan jumlah yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli. Kapitalisasi ini sering terjadi jika pembeli hartatetap seperti tanah ata gedung dibebani pajak balik nama. Agar beban ini tidak menjadi tanggungan pembeli, beban pajak dialihkan kepada penjual. Dengan demikian, harga beli harta menjadi berkurang. Kapitalisasi pajak dapat dikatakan salah sati bentuk pengalihan pajak belakang. 2.8.3 Transformasi Transformasi pajak adalah cara pengelakan pajak yang dilakukan oleh pabrikan dengan cara menanggung beban pajak yang dikenakan terhadapnya Cara 41 ini biasanya dilakukan oleh produsen sehingga kenaikan harga jual tidak menurunkan pangsa pasar. Supaya keuntungan perusahaan tidak berkurang, beban pajak yang seharusnya ditransfer kepada konsumen dapat dikompensasikan dengan meningkatkan efisiensi perusahaan. Di sini pengelakan pajak bukan dengan cara menggeser beban pajak, tetapi dengan mengubah pajak (transformasi) ke dalam keuntungan yang diperoleh melalui efisiensi produksi. Dengan perkataan lain, meskipun pajak masih ditambahkan ke harga jual, tetapi pengaruhnya tetap sama saja meskipun pengalihan beban pajak tidak dilakukan. 2.8.4 Tax Evasion Vs Tax Avoidance Penulis sengaja menggunakan istilah asing untuk lebih memudahkan menjelaskan perbedaannya. Tax evasion merupakan penghindaran pajak dengan melanggar ketentuan perpajakan. Cara ini sering disebut penyelundupan atau penggelapan pajak. Dalam manajeman pajak, cara penyelundupan pajak tidak sejalan dengan prinsip manajemen pajak. Tujuan manajemen jauh dari penggelapan pajak karena itu tidak dianjurkan. Tax avoidance adalah penghindaran pajak dengan mengikuti peraturan yang ada. Sebab itu, pengelakan pajak dengan cara ini legal dan tidak perlu merasa berdosa. Beberapa definisi Penyelundupan Pajak (tax evasion) dan Penghindaran Pajak (tax avoidance), yaitu : 1. Menurut Harry Graham Balter, seperti yang dikutip oleh Moh Zain (2007: 49) : Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai usaha yang dilakukan oleh wajib pajak, apakah berhasil atau tidak, untuk mengurangi atau sama sekali menghapus utang pajak yang berdasarkan ketentuan yang berlaku sebagai pelanggaran terhadap perundang-undangan perpajakan. Penghindaran pajak merupakan usaha yang sama, yang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 2. Menurut Ernest R. Mortenson, seperti yang dikuti oleh Moh Zain (2007:49) : 42 Penyelundupan pajak adalah usaha yang tidak dapat dibenarkan berkenaan dengan kegiatan wajib pajak untuk lari atau menghindarkan diri dari pengenaan pajak. Penghindaran pajak berkenaan dengan pengaturan sesuatu peristiwa sedemikian rupa untuk meminimkan atau menghilangkan beban pajak dengan memerhatikan ada atau tidaknya akibat-akibat pajak yang ditimbulkannya.Oleh karena itu, penghindaran pajak tidak merupakan pelanggaran atas perundang-undangan perpajakan atau secara etik tidak dianggap salah dalam rangka usaha wajib pajak untuk mengurangi, menghindari, meminimkan atau meringankan beban pajak dengan caracara yang dimungkinkan oleh undang-undang pajak. 3.Menurut N.A. Barr, seperti yang dikutip oleh Moh Zain (2007:50) : Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai manipulasi secara ilegal atas penghasilannya untuk memeperkecil jumlah pajak terutang. Penghindaran pajak diartikan sebagai manipulasi penghasilannya secara legal, yang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakann untuk memperkecil jumlah pajak terutang. 4. Menurut Robert H. Anderson, seperti yang dikutip oleh Moh Zain (2007:50) : Penyelundupan pajak adalah penyelundupan pajak yang melanggar undang-undang pajak. Penghindaran pajak adalah cara mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dapat dibenarkan, terutama melalui perencanaan pajak. 2.8.5 Pengecualian Pengecualian pajak (tax exemption) adalah pengecualian pajak yang diberikan kepada perseorangan atau badan. Pengecualian pengenaan pajak di Indonesia diberikan berdasarka Undang-undang. Contoh- contoh penghasilan atau objek yang tidak dikenakan pajak sesuai dengan Undang- undang misalnya mesjid dan tempat ibadah lainnya tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. Penghasilan yang diterima oleh yayasan semata-mata untuk keperluan sosial tidak dikenakan Pajak Penghasilan. Hal- hal yang Harus Dihindari dalam Stategi Tax Planning Menghindari Sanksi- Sanksi Pajak 43 Jenis- jenis sanksi berdasarkan Undang-undang No.16 tahun 2000 Tantang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan: 1. Pasal 7 dan pasal 9 (Keterlambatan SPT) Apabila Wajib Pajak terlambat melakukan pembayaran atau penyetoran pajak maka dapat dikenakan sanksi administrasi sebesar 2% per bulan dari pajak yang harus dibayar. Untuk keterlambatan penyampaian SPT Masa dikenakan sanksi administrasi sebesar Rp. 50.000, 00 sedangkan untuk SPT Tahunan dikenakan Rp.100.000, 00 2. Pasal 8 (pembetulan SPT) Dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan, bila sebelum dua tahun. Pembetulan lebih dari dua tahun dikenakan sanksi administrasi sebesar 50%. 3. Pasal 9 Apabila Wajib Pajak ingin menyampaikan SPT pembetulan, baik SPT Masa maupun SPT Tahunan, dengan syarat kantor Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan, yang dapat mengakibatkan hutang pajak menjadi lebih besar, maka dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan dari jumlah pajak yang harus dibayar. Apabila dalam jangka waktu dua tahun sesudah berakhir masa pajak, maka Wajib Pajak dapat menyampaikan laporan tersendiri tantang ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan ke kantor pajak, dengan syarat kantor pajak belum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya sanksi administrasi berupa kenaikan pajak yang terutang sebesar 50%. 4. Pasal 13 Dalam masa 10 tahun, Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), karena: a. Pemeriksaan ada kekurangan b. Tidak memasukkan SPT 44 c. Pajak Perambahan Nilai Masukan tidak seharusnya dikompensasikan atau dikenakan tarif 0% d. Tidak melakukan pembukuan 5. Pasal 14 Apabila Wajib Pajak dikenakan Surat Tagihan Pajak (SPT), karena ada kekurangan salah hiing dan lain-lain. Wajib Pajak dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda atau bunga sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan, dihitung sejak terutangnya pajak. 6. Pasal 15 Apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang, maka dapat dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak terutang sebesar 100% dari kekurangan pajak yang terutang. 7. Pasal 38 (karena alpa) Kurungan 1 tahun atau denda dua kali, untuk: a. Tidak menyampaikan SPT. b. Menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar, tidak lengkap, lampiran tidak benar c. 8. Pasal 39 (dengan sengaja) Dikenakan sanksi pidana enam tahun dan denda empat kali. Menghindari Pemeriksaan Pajak Sebab-sebab diperiksa: Pemeriksaan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak menurut Erly Suandy (2003:121) dilakukan terhadap Wajib Pajak yang: 1. SPT lebih bayar 45 2. SPT rugi 3. Tidak melakukan SPT atau terlambat memasukkan SPT 4. Terdapat informasi pelanggaran 5. Memenuhi criteria tertentu yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak Upaya Hukum Bila perusahaan diperiksa dan hasil tidak memuaskan atau koreksi dari pemeriksaan dianggap tidak benar, maka dapat melakukan upaya keberatan (UU No. 16 Tahun 2000 Pasal 25). Bila keberatan ditolak, dapat mengajukan banding ke BPSP (UU No. 16 Tahun 2000 pasal 27) atau mengajukan gugatan atau meminta untuk dilakukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA). (Wirawan B.Ilyas:2004). 1. Banding Seperti halnya upaya hukum keberatan, pengajuan upaya hukum banding juga harus memenuhi syarat yaitu sebagai berikut: a. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima keputusan yang disbanding. b. Menggunakan bahasa Indonesia. c. 1 (satu) surat banding untuk 1 (satu) keputusan yang dibanding. d. Mencantumkan alasan-alasan yang jelas. e. Melampirka salinan keputusan yang disbanding. f. Melunasi 50% (lima puluh persen) dari jumlah yang terutang atas keputusan banding. Apabila pemohon banding akan mencabut bandingnya, maka pemohon banding dapat mengajukan surat pencabutan kepada Pengadilan Pajak. Setelah ada pencabutan banding, maka banding yang bersangkutan dicabut dan dihapus dari daftar sengketa. Terhadap banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan, tidak dapat diajukan kembali. 2. Gugatan Selain upaya banding, yang dapat diajukan ke Pengadilan Pajak adalah gugatan. Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggungan Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak 46 atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Untuk dapat mengajukan gugatan, harus dipenuhi syarat- syaratnya yaitu: a. Diajukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan b. Diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia c. Ada 1 (satu) surat gugatan untuk 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) keputusan. Seperti halnya banding, penggugat dapat pula mengajukan pencabutan gugatan kepada Pengadilan Pajak sebelum dilaksanakan pengadilan atau pada saat menghadiri persidangan. 3. Peninjauan Kembali Pengertian peninjauan kembali hanya dapat diketahui dari ketentuan Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 Pasal 91-nya saja yang menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan 5 (lima) alasan yaitu: a. Apabila keputusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputuskan atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang bila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan keputusan yang berbeda; c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari apa yang dituntut; d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan sebab-sebabnya; atau e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Pengertian Penghasilan dan Biaya 47 Berdasarkan Akuntansi Komersil Penghasilan Penghasilan (income) adalah penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Penghasilan meliputi pendapatan (revenues) dan keuntungan (gains). Pendapatan adalah penghasilan yang timbul dari aktivitas perusahaan yang biasa dan dikenal dengan sebutan yang berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa (fees), bunga, dividen, royalty dan sewa (Erly Suandy:2003) Biaya Biaya adalah semua pengurang terhadap penghasilan. Sehubungan dengan periode pengeluaran dipisahkan antara pengeluaran capital (capital expenditure) yaitu pengeluaran yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan dicatat sebagai aktiva sedangkan pengeluaran penghasilan (revenue expenditure) yaitu pengeluaran yang memberi manfaat untuk satu periode akuntasi yang bersangkutan yang dicatat sebagai beban. Beban adalah penurunan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi dalam bentuk arus kas keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang menyebabkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal. Beban juga mencakup kerugian yang belum diralisasi, misalnya kerugian yang timbul dari pengaruh selisih kurs nama uang asing. Baban diakui dalam laporan laba rugi dasar hubungan langsung antara biaya yang timbul dan penghasilan tertentu yang diperoleh (Erly Suandy:2003) Berdasarkan Peraturan Perpajakan Indonesia Objek pajak penghasilan adalah penghasilan. Pengertian penghasilan yang diatur dalam Pasal 4 Undang-undang NO: 16 Tahun 2000 adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh yang dapat dipakai untuk 48 konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bantuk apapun, termasuk: a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji dan tunjangan, honorium, komisi, bonus, grafikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini: b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. Laba usaha; d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk; Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha; Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh menteri keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dan perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; h. Royalty; i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala 49 k. Keuntungan karena pembebasan utang kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; l. Keuntungan karena kurs mata uang asing; m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n. Premi Asuransi o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak; Pengertian biaya diatur dalam pasal 6 Undang-undang No. 17 Tahun 2000, sebagai berikut: 1. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalty, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administarasi, dan pajak kecuali pajak penghasilan; 2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun; 3. Iuran kepada dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; 4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; 5. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing; 6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahan yang dilakukan di Indonesia; 7. Biaya bea siswa,magang, dan pelatihan; 8. Piuang yang nyata –nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat: Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 50 Telah diserahkan perkara penegihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang atau pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum dan khusus; dan Wajib Pajak harus menyertakan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak. Dengan membandingkan kedua pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian pengasilan menurut akuntansi membedakan antara penghasilan dari kegiatan usaha utama (revenue) dengan penghasilan dari kegiatan yang bukan kegiatan utama (gains). Sedangkan peraturan perpajakan tidak membedakan penghasilan yang diperoleh dari kegiatan usaha. Rekonsiliasi Laporan Keuangan Akuntansi Dengan Laporan Keuangan Fiskal Adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi komersial dan fiskal menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan kepentingan antara akuntansi komersial yang mendasarkan laba pada konsep akuntansi yaitu the proper matcing cost against revenue (penandingan antara pendapatan dengan biaya-biaya terkait). Sedangkan dari segi fiskal tujuan utamanya adalah penerimaan negara. Dalam penyusutan laporan keuangan fiskal Wajib pajak harus mengacu kepada peraturan perpajakan, sehingga laporan keuangan komersial yang dibuat berdasarkan standar akuntansi keuangan harus disesuaikan atau dikoreksi fiskal terlebih dahulu sebelum menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Pengertian Rekonsiliasi menurut Mohammad Zain (2007;221) adalah sebagai berikut: Rekonsiliasi merupakan penyesuain antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal melalui perbedaan permanen dan perbedaan sementara atau koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal negatif . 51 Rekonsiliasi → Laporan keuangan komersial→ Koreksi fiskal → Laporan keuangan fiskal Perbedaan antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu perbedaan waktu (timing differences) dan perbedaan permanen (permanent differences). Perbedaan waktu (timing differences) adalah perbedaan yang bersifat sementara karena adanya ketidaksamaan waktu pengakuan penghasilan dan beban antara peraturan perpajakan dengan standar akuntansi keuangan. Perbedaan waktu dapat dibagi menjadi perbedaan waktu positif dan perbedaan waktu negatif. Perbedaan waktu positif terjadi apabila pengakuan beban untuk akuntansi lebih lambat dan pengakuan beban untuk pajak atau pengakuan penghasilan untuk tujuan pajak dan pengakuan penghasilan untuk tujuan akuntansi lebih lambat. Sedangkan perbedaan waktu negatif terjadi jika ketentuan perpajakan mengakui penghasilan lebih lambat dari pengakuan penghasilan menurut ketentuan perpajakan. Beda tetap permanen (permanent differences) adalah perbedaan yang terjadi karena peraturan perpajakan menghitung laba fiskal berbeda dengan perhitungan laba menurut standar akuntansi keuangan tanpa ada koreksi di kemudian hari. Beda permanen dapat positif karena ada laba akuntansi yang tidak diakui oleh ketentuan perpajakan dan relief pajak, sedangkan perbedaan permanen negatif disebabkan adanya pengeluaran sebagai beban laba akuntansi yang tidak diakui oleh ketentuan fiskal. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang No.17 Tahun 2000, ada penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak, yaitu: a. 1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk aau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak; 52 2. Harta hibahan diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha pekerjaan kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; b. Warisan; c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah; e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asurani kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa; f. Dividen atau bagian laba diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam Negeri, Koperasi, badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat di Indonesia dengan syarat: 1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan 2. Bagi Perseroan Terbatas , Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan saham tersebut; g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriaannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; h. Penghasilan dan modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. 53 i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dan perseroan komanditer yang modalnya tiak terbagi atas saham-saham persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi: j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian atau pemberian izin usaha; k. Penghasilan yang diterima atau yang diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: 1. Merupakan perusahaan kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan dalam kegiatan sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan 2. Sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang No.17 ahun 2000 pasal 9 ada biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak, yaitu: a. Pembagian yang dibayarkan oleh perusahan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. Pembentukan atau pemupukan dan cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkuan. 54 e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengn Keputusan Menteri Keuangan; f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan: g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau, dan warisan, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah: h. Pajak Penghasilan: i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang-orang yang menjadi tanggungannya. j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; k. Sanksi administrasi berupa bunga denda dan kenaikan serta sanksi pidna denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan. Dalam akuntansi komersil tidak ada pengecualian penghasilan maupun biaya yang seperti yang diatur dalam peraturan perpajakan. Penghasilan (laba) Kena Pajak Penghasilan kena pajak (taxable income) merupakan laba yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku, yaitu undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, beserta peraturan pelaksanaannya. Penghasilan kena pajak berdasarkan prinsip taxability deductability, dengan prinsip ini suatu biaya baru dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila pihak yang menerima pengeluaran atas biaya yang bersangkutan melaporkannya sebagai penghasilan dan penghasilan tersebut dikenakan pajak (taxable) Menurut Erly Suandy (2003:123) untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak minimal ada 5(lima) komponen yang perlu diperhatikan, yaitu: 3. Penghasilan yng menjadi objek pajak (pasal 4 ayat (1)) 4. Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak (pasal $ ayat (3)) 5. Penghasilan yang pajaknya dikenakan secara final (pasal 4 ayat (2)) 55 6. Biaya yang boleh dikurangi dari penghasilan bruto (pasal 6 Ayat (1)) 7. Biaya yang tidak boleh dikurangi dari penghasilan bruto (pasal 9 ayat (1)) Penilaian Persediaan Untuk keperluan pajak persediaan dan pemakai persediaan untuk menghitung harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama. Berdasarkan akuntansi komersial penilaian persediaan selain menggunakan metode rata-rata maupun mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama, juga boleh menggunakan metode yang mendahulukan persediaan yang diperoleh terakhir. Penyusutan dan Amortisasi Penyusutan adalah alokasi jumlah suatu aktiva yang dapat disusutkan sepanjang masa manfaat yang diestimasi. Untuk menghitung penyusutan, harta yang dapat disusutkan dibagi menjadi golongan-golongan harta sebagai berikut: Dalam Undang-undang No.17 Tahun 2000 perhitungan penyusutan dan amortisasi yang diatur dalam pasal 11 dan 11A. Pada pasal 11 Undang- undang No.17 tahun 2000 peraturan tantang penyusutan adalah sebagai berikut: 1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, ata perubahan harta berwujud kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut. 56 2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selain bangunan dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas. 3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutan dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut. 4) Dengan persetujuan Direktur jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan, 5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut. 6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut: Tabel 2.1 Kelompok Harta Berwujud dan Tarif Penyusutan Masa Manfaat Kelompok Harta Berwujud I. Bukan Bangunan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Tarif penyusutan Metode Garis Lurus Metode Saldo Menurun 4 Tahun 8 Tahun 16 Tahun 20 Tahun 25% 12,50% 6,25% 5% 50% 25% 12,5% 10% 20 Tahun 10 Tahun 5% 10% - II. Bangunan Permanen Tidak Permanen Permanen 57 7) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1), ketentuan tentang penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan alam usaha tertentu, ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. 8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan 9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapa diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jemderal Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) dibubuhkan sebagai beban masa kemudian tersebut. 10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nlai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. 11) Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Pada pasal 11A Undang-undang No.17 tahun 2000 perubahan yang terjadi aalah sebagai berikut : 1. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termaksud biaya perpanjangan hak guna bangunan. Hak guna usaha dan hak pakai yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat secara taat asas 2. Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi diteakan sebagai berikut: 58 Tabel 2.2 Kelompok Harta Tak Berwujud dan Tarif Amortisasi Kelompok Harta tak Berwujud Masa Manfaat Tarif Penyusutan Kelompok 1 4 Tahun Metode Garis Lurus 25% Metode saldo Menurun 50% Kelompok 2 8 Tahun 12,50% 25% Kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5% Kelompok 4 20 Tahun 5% 10% 3. Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau amortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). 4. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dibidang penabangan minyak dan gas buni dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi. 5. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain yang dimaksud dalam ayat (4), hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang empunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun. 59 6. pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 2 (dua). 7. Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (4) , dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut. 8. Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. Metode Penyusutan Berdasarkan Akuntansi Komersial Pengertian penyusutan menurut Sophar Lumbanturuan (1996:248) sebagai berikut : “Penyusutan adalah proses alokasi sebagian harta perolehan aktiva menjadi biaya (cost allocation), sehingga biaya tersebut mengurangi laba usaha” Penyusutan dapat dilakukan dengan berbagai metode yang dapat dikelompokkan menurut kriteria sebagai berikut: 1) Berdasarkan kriteria waktu a. Metode garis lurus (straight line method) b. Metode pembebanan yang menurun c. Metode jumlah angka tahun (sum of the years digit method) d. Metode saldo menurun atau saldo menurun ganda (declining atau double declining balance method) 2) Berdasarkan kriteria penggunaan a. Metode jam jasa (service hours method) b. Metode anuitas ( annuity method) 60 c. Metode persediaan (inventory method) 3) Berdasarkan kriteria lainnya a. Metode berdasarkan jenis an kelompok (group and composite method) b. Metode anuitas (annuity method) c. Sistem persediaan (inventory system) Perhitungan Tarif Penyusutan Secara Akuntansi Pajak Didalam akuntansi pajak, metode penyusutan yang digunakan hanya dua yaitu: metode garis lurus (straight line method) dan metode saldo menurun (declining atau double declining balance method) yang dinilai berdasarkan masa manfaat dan persentase yang sudah ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan. Perhitungan Tarif Penyusutan Secara Akuntansi Komersial Tetapi didalam akuntansi komersial, metode penyusutan garis lurus (straight line method) dan saldo menurun (declining atau double declining balance method) dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut (Wegandy et.al, 1996:412) Straight Line Method Cost – Salvage value = Depreciable Cost Depreciable Cost + Useful Life (in years) = Depreciation Expense, atau 1/ Useful Life (in years) x Depreciable Cost = Depreciation Expense Contoh : Sebuah perusahaan memiliki mesin dengan masa manfaat 4 tahun. Di dalam akuntansi pajak penyusutannya digolongkan dalam kelompok bukan bangunan yaitu pada kelompok I dengan tarif penyusutan sebesar 25%. Tetapi didalam penyusutan dihitung sebagai berikut: ¼ x Depreciable Cost = Depreciation Expense 25% x Depreciable Cost = Depreciation Expense Umur Aktiva akuntansi komersial 61 Umur Aktiva dihitung berdasarkan masa manfaat yang dapat ditentukan baik berdasarkan perkiran histories maupun perkiraan ekonomis disamping umur teknis dari aktiva yang bersangkutan, Jika diperlukan besarnya nilai residu dapat ditentukan sebelum melakukan penyusutan. Percepatan Penyusutan dan Amortisasi sebagai Fasilitas Perpajakan Penyusutan dapat dipercepat untuk meningkatkan cashflow, karena kalau penyusutannya besar, maka pajak yang dibayar lebih kecil dan return on investment (ROI) menjadi tinggi. Metode yang dapat digunakan menurut Alan P. Murray yang dikutip oleh Erly Suandy (2003:32) adalah: a. Dipercepat (accelerated), misalnya dengan metode penyusutan saldo menurun/ menurun ganda (declining/ Double declining balance) b. Memperpendek umur (shorted life) c. Bebas (arbitrary deducation) Tabel berikut menggambarkan percepatan penyusutan dan amortisasi yang diberikan: Tabel 2.3 Kelompok Harta dan Tarif Depresiasi dan Amortisasi Kelompok Harta Masa Manfaat I. Bukan Bangunan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 4 tahun 8 tahun 16 tahun 20 tahun 25% 12,5% 6,25% 5% 20 tahun 10 tahun 5% 10% II. Bangunan Permanen Tidak Permanen Tarif Penyusutan Metode Garis Metode saldo Lurus Menurun 50% 25% 12,5% 10%