1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Panjang

advertisement
1
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Panjang
Kacang
panjang
termasuk
dalam
divisi
Spermatophyta,
kelas
Angiospermae, subkelas Dicotyledonae, ordo Rosales, familia Leguminoceae,
genus Vigna, spesies Vigna sinensis L. (Haryanto dkk.,2007).
Tanaman kacang panjang merupakan tanaman perdu semusim. Tanaman
ini berbentuk perdu yang tumbuhnya menjalar atau merambat. Daunnya berupa
daun majemuk, terdiri dari tiga helai, Batangnya sedikit berbulu, Akarnya
mempunyai bintil yang dapat mengikat nitrogen (N) bebas dari udara. Hal ini
dapat menyuburkan tanah. Bunga kacang panjang berbentuk kupu-kupu. Ibu
tangkai bunga keluar dari ketiak daun. Setiap ibu tangkai bunga mempunyai 3-5
bunga. Warna bunganya ada yang putih, biru, atau ungu. Bunga kacang panjang
menyerbuk sendiri. Penyerbukan silang dengan bantuan serangga dapat juga
terjadi dengan kemungkinan 10%. Tidak setiap bunga dapat menjadi buah, hanya
1-4 bunga yang dapat menjadi buah. Buah kacang panjang berbentuk polong bulat
panjang dan ramping. Panjang polong sekitar 10-80 cm. Warna polong hijau
muda sampai hijau keputihan. Setelah tua warna polong putih kekuningan.
(Haryanto dkk., 2007). Tanaman kacang panjang mulai berbunga pada umur 30
hari setelah tanam dan pemanenan polong kacang panjang dapat dilakukan setelah
tanaman berumur 45 hari dan dapat berlangsung selama 3,5-4 bulan
(Susila, 2005).
Tanaman kacang panjang tumbuh baik pada dataran rendah sampai
menengah hingga ketinggian 700 m dpl. Tanaman kacang panjang tumbuh baik
pada tanah latosol (lempung berpasir), subur, gembur, banyak mengandung bahan
organik, drainasenya baik dengan pH berkisar 5,5-6,5. Suhu yang sesuai untuk
pertumbuhan kacang panjang adalah 25-35 0C pada siang hari dan pada malam
hari sekitar 15 0C. Tanaman ini membutuhkan banyak sinar matahari dan curah
hujan berkisar antara 600-2.000 mm/tahun (PROSEA, 1996).
2.2 Hama dan Penyakit pada Tanaman Kacang Panjang
Kendala utama pada budidaya tanaman kacang panjang adalah adanya
gangguan dari hama dan penyakit. Hama penting yang dilaporkan menyerang
kacang panjang antara lain, tungau merah Tetranychus bimaculatus, kutu kebul
Bemisia tabaci, penggerek polong Riptortus linearis, dan kutu daun Aphis
craccivora. (Anwar dkk., 2005). Menurut Fachruddin (2000), hama yang juga
menyerang tanaman kacang panjang yaitu ulat grayak (Spodoptera litura F.), lalat
kacang (Ophiomya phaseoli Tryon), ulat penggerek polong (Maruca testulalis),
penggerek biji (Callosobruchus maculates L.), dan ulat bunga (Maruca testualis).
Penyakit pada tanaman kacang panjang diantaranya layu cendawan
(Fusarium
sp.),
antraknosa
(Colletotricum
lindemuthianum),
puru
akar
(Meloidogyne sp.), penyakit sapu (Cowpea Witches-broom Virus/Cowpea Stunt
Virus), layu bakteri (Rolstomia solanacearum) dan penyakit mosaik yang
disebabkan oleh Bean common mosaic potyvirus (BCMV), Bean yellow mosaic
potyvirus (BYMV) dan Cowpea aphid borne mosaic potyvirus (CABMV) (Anwar
dkk.,2005). Menurut Semangun (1989) penyakit yang lain pada kacang panjang
yaitu bercak daun (Cercospora vignae Rac.), penyakit tepung (Oidium sp.), karat
(Uromyces vignae Barcl), layu sclerotium (Sclerotium rolfsii Sacc), dan hawar
daun bakteri (Pseudomonas phaseolicola).
Salah satu penyakit penting pada tanaman kacang panjang yaitu penyakit
mosaik yang disebabkan oleh beberapa virus yaitu Bean common mosaic
potyvirus (BCMV), Bean yellow mosaic potyvirus (BYMV) dan Cowpea aphid
borne mosaic potyvirus (CABMV). Gejala penyakit mosaik yang disebabkan oleh
Bean common mosaic potyvirus yaitu berupa pola warna kuning dan hijau pada
daun, vein banding, dan malformasi (Setyastuti, 2008). Gejala penyakit mosaik
yang disebabkan oleh Bean yellow mosaic potyvirus yaitu munculnya bercak
kuning pada sekitar tulang daun muda yang kemudian menyebar keseluruh bagian
daun. Tanaman yang terinfeksi sangat keras bercak kuning tersebut dapat
menyebar keseluruh bagian tanaman hingga bagian buah, sehingga buah
menguning dan mengalami malformasi yang pada akhirnya ukuran buah lebih
kecil dari tanaman sehat (Damayant dkk., 2009). Gejala penyakit mosaik yang
disebabkan oleh Cowpea aphid borne mosaic potyvirus (CABMV) yaitu terdapat
warna hijau gelap di antara tulang daun (dark green vein-banding) atau klorosis
interveinal (urat daun), distorsi daun, melepuh dan tanaman menjadi kerdil.
Polong dan daun menjadi tidak berkembang, ukuran biji berkurang sehingga
produksi secara keseluruhan menurun (Bock and Conti, 1974).
2.3 Virus BCMV
BCMV termasuk ke dalam familia Potyviridae dan genus Potyvirus.
Potyvirus merupakan kelompok virus tumbuhan terbesar yang diketahui saat ini
(Agrios, 2005). Partikel BCMV mempunyai panjang 720 – 770 nm dan lebar 12 –
15 nm. Partikel virusnya terdiri dari 95% protein dan 5% RNA utas tunggal.
Kestabilan virus dalam sap tanaman tergantung dari strain virus dan waktu
infeksinya. Virus ini mempunyai titik panas inaktivasi 50 – 60oC (CABI, 2007).
Potyvirus mempunyai partikel berbentuk batang lentur dan mengandung genom
monopartit berupa RNA (ribonucleic acid) untai tunggal yang terdiri dari 9830
nukleotida (Nicolas and Laliberte, 1992).
Genom Potyvirus mempunyai satu open reading frame (ORF) yang
mengkode 340-350 KDa prekursor poliprotein. Translasi RNA Potyvirus dimulai
dari kodon awal AUG pada posisi nukleotida 145-147 dari ujung 5’ genom
Potyvirus, stop kodon terletak pada nukleotida ke 9525- 9589 dari ujung 3’ genom
Potyvirus dan diikuti oleh sikuen poliadenilasi (poly A) (Gambar 2.1).
Genom Potyvirus diekspresikan melalui translasi poliprotein dari genom
virus. Poliprotein mengalami pemotongan menjadi protein fungsional dan
struktural sesuai dengan gen yang disandikannya yang terjadi di dalam sitoplasma.
Selama dan sesudah translasi terjadi pemotongan poliprotein oleh protease yang
berasal dari ekspresi dari genom Potyvirus. Poliprotein yang diekspresikan oleh
genom virus diproses menjadi 10 protein fungsional oleh tiga jenis enzim
proteinase yang dihasilkan oleh virus itu sendiri (Hull, 2002).
Gambar 2. 1
Organisasi genom potyvirus (Shukla et al., 1994)
Cylindrical inclusion (CI) dan coat protein (CP) berguna untuk pergerakan
dari satu sel inang ke sel inang lainnya melalui plasmodesmata. CP juga
digunakan untuk pergerakan virion protein dalam jaringan vaskuler melalui
interaksi dengan helper component (Hc) pada domain C- dan N- terminalnya. Hc
dengan menggunakan antiviral yang disebut RNA silencing (pembungkaman
RNA), berfungsi menekan mekanisme pertahanan tanaman. Viral genome-linked
protein (VPg) merupakan protein multifungsi yang berperan pada saat amplifikasi
dan pergerakan virus yang berada pada ujung 5’ genom virus. Protein ini
merupakan bagian N-proximal dari nuclear inclusion protein (NIa) dan terpisah
secara autokatalik dari domain C-proximal proteinase (NIa-Pro). VPg berikatan
secara kovalen dengan ujung 5’ RNA virus melalui ikatan fosfodiester pada residu
asam amino tirosin yang terletak di bagian N-proximal. VPg mempunyai peranan
penting untuk proses infeksi virus. VPg juga berinteraksi dengan faktor inisiasi
translasi (eIF(iso)4E), dan diperlukan untuk infeksi secara sistemik. Genom
Potyvirus mempunyai bagian yang tidak berubah (conserved) dan daerah yang
bervariasi. Hc-Pro dan Nib merupakan bagian yang tidak berubah. Daerah yang
bervariasi adalah P1, P3, dan CP (Eleman et al., 1997).
BCMV dapat ditularkan secara mekanis melalui beberapa spesies kutu
daun secara non persisten dan melalui benih. Adapun beberapa spesies kutu daun
yang dapat menjadi vektor BCMV antara lain Aphis gossypii, A. craccivora, A.
medicanigis, A. rumicis, Hyalopterus atriplicis, Macrosiphum ambrosiae, M. pisi
dan M. solanifolii (Morales & Bos, 1988). Kutu daun menularkan virus ini secara
non persisten, dimana kutu daun mendapat virus dengan mengisap tanaman yang
terinfeksi hanya dengan waktu beberapa detik, kemudian kutu daun akan
menularkan virus dengan cepat, setelah itu dia akan kehilangan virus dan tidak
mampu lagi menularkan virus. virus ini juga ditularkan melalui penggunaan alat
budidaya yang tidak steril sehingga ketika melukai tanaman lain dapat terinfeksi
virus (Millah, 2007).
Tanaman yang terinfeksi secara sistemik menunjukkan gejala daun dengan
pola mosaik, daun menggulung dan malformasi daun pada daun-daun muda.
Secara umum tanaman yang diinokulasi dengan virus biasanya gejala akan
muncul pada 7-10 hari setelah inokulasi (Djikstra & De Jager, 1998). Kisaran
inang dari BCMV yaitu kalopogonium/kacang asu (Jawa) (Calopogonium
mucuniodes), kacang ercis (Pisum sativum), buncis (Phaseolus vulgaris L.) dan
kacang tolo (Vigna unguiculata) (CABI, 2007). Pengendalian BCMV dapat
dilakukan dengan menggunakan beberapa ekstrak tanaman. BCMV dilaporkan
dapat ditekan dengan menggunakan ekstrak bunga Clerodendrum japonicum
(bunga pagoda), Mirabilis jalapa (bunga pukul empat), dan Andrographis
paniculata (sambiloto). Ekstrak bunga pagoda dan ekstrak bunga pukul empat
mampu menghambat infeksi virus hingga 90% (Kurnianingsih, 2010).
Penyemprotan kitosan pada daun mampu menghambat BCMV dan menekan
persentase penyakit masing-masing sebesar 84.8% dan 62.1% (Haryanto, 2010).
Pengendalian yang lain yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan benih
sehat, menghilangkan tanaman terinfeksi, menggunakan varietas tahan, dan
penyemprotan insektisida untuk mengendalikan serangga vektor (Saleh, 1997).
2.4 Deteksi BCMV
Deteksi BCMV dapat dilakukan berdasarkan karakter biologi dan
molekuler. Deteksi berdasarkan karakter biologi dapat dilakukan melalui
pengujian kisaran inang dan tanaman indikator. Sedangkan deteksi menggunakan
karakter molekuler umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu berdasarkan sifat
asam nukleat dengan PCR (Polymerase chain reaction)/RT-PCR (Reverse
Transcription Polymerase chain reaction) dan berdasarkan sifat protein dengan
uji serologi yaitu DIBA (Dot Immunobinding assay) dan ELISA (Enzyme-linked
immunosorbent assay) (Foster and Taylor, 1998).
Deteksi berdasarkan karakter biologi yaitu dengan pengujian kisaran inang
dan tanaman indikator yaitu dilakukan dengan mengamati gejala penyakit yang
muncul. Namun pengamatan terhadap gejala saja tidak cukup untuk menditeksi
virus pada tanaman, karena beberapa virus dapat menimbulkan gejala yang sama
pada tanaman yang sama, satu virus dapat menghasilkan variasi gejala tergantung
strain virusnya. Selain itu suatu virus dapat menimbulkan gejala yang berbeda
pada tanaman yang berbeda. Kondisi lingkungan dan iklim dapat berpengaruh
terhadap tipe gejala yang muncul (Hull, 2002). Oleh karena itu perlu dilakukan
cara mendeteksi virus secara akurat. Deteksi yang umum digunakan yaitu deteksi
secara serologi yaitu dengan uji ELISA.
ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay) merupakan uji serologi
yang umum digunakan di berbagai laboratorium imunologi. Uji ini memiliki
beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis,
dan memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. ELISA diperkenalkan pada tahun
1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisis adanya interaksi
antigen dengan antibodi di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim
sebagai pelapor. Prinsip serologi adalah mereaksikan antara antigen dan antiserum
pada lubang plat mikrotiter yang terbuat dari bahan polystyrene. Zat-zat yang
dapat mengindikasi terbentuknya antibodi di dalam serum disebut antigen.
Antigen umumnya adalah protein. Serum yang mengandung antibodi disebut
antiserum. Interaksi antara antigen dan antiserum bersifat spesifik, artinya
antiserum hanya mengenali satu jenis epitop pada antigen. Epitop merupakan
bagian dari antigen yang dapat dikenali oleh antibodi atau bagian dari antigen
yang dapat berinteraksi dengan antibody (Crowther, 1996).
ELISA memiliki 2 metode, yaitu direct ELISA (ELISA langsung) salah
satunya adalah DAS-ELISA (direct double antibody sandwich), dan indirect
ELISA (ELISA tidak langsung). Perbedaan metode ELISA tersebut yaitu pada
direct ELISA enzim konjugat terdapat pada molekul immunoglobulin pertama
yang langsung bereaksi dengan antigen. Sedangkan pada metode indirect ELISA
enzim konjugat terdapat pada molekul immunoglobulin kedua yang bereaksi
dengan antivirus. Untuk metode DAS-ELISA dalam satu sumuran plat terdapat
dua antibody yang mengapit antigen yang berada ditengah (Crowther, 1996)
Beberapa kelebihan ELISA dibandingkan dengan uji serologi yang lain
yaitu konsentrasi virus yang diperlukan untuk pendeteksian sangat rendah,
antiserum yang diperlukan sedikit, sehingga sesuai untuk pengujian sampel skala
besar dan hasil pengujiannya bersifat kuantitatif (Dijkstra and De jagger, 1998).
Download