24 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lahan Pertanaman Jambu Biji Desa Bantarsari dan Bantarjaya merupakan dua dari tujuh desa yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Rancabungur, Bogor, Jawa Barat. Kedua desa tersebut berbatasan langsung sehingga beberapa petani responden dari Desa Bantarsari berusaha tani jambu biji di Desa Bantarsari sendiri dan sebagian besar di lahan pertanian Desa Bantarjaya. Kecamatan Rancabungur secara umum berada pada ketinggian 165 m dpl, dengan curah hujan rata-rata 257,57 mm/tahun dan suhu udara rata-rata yaitu 30 sampai 34 °C. Data curah hujan harian selama penelitian diperoleh dari Badan Metereologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor (Lampiran 1). Bentuk wilayah Desa Bantarsari dan Bantarjaya rata-rata datar. Jambu biji merupakan salah satu tanaman tahunan yang banyak ditanam petani selain komoditas lainnya yaitu padi, terong, pepaya, kangkung, bayam, mentimun, pare, oyong, jagung, ubi jalar, ubi kayu, katuk, bengkuang, kacang tanah, kacang panjang, talas dan jati. Ketiga lahan pertanaman jambu biji yang diamati setiap minggu terletak di Desa Bantarjaya dengan jarak yang agak berjauhan antara lahan satu dengan yang lainnya. Luas lahan pertanaman jambu biji dengan umur tanaman 4,5 bulan (lahan 1), 1,5 tahun (lahan 2), dan 4,5 tahun (lahan 3) berturut-turut sekitar 3000, 3000, dan 1800 m2 dengan populasi tanaman jambu biji berturut-turut 82, 70 dan 55 tanaman serta jarak tanam berturut-turut 6 x 5 m, 6 x 6 m, dan 6 x 5 m. Pada ketiga lahan tersebut jambu biji yang dibudidayakan adalah jambu biji merah. Pada lahan dengan umur tanaman 4,5 bulan (Gambar 1A), tanaman jambu biji ditanam dengan pola tumpang sari dengan tanaman bengkuang, setelah bengkuang dipanen diganti dengan kacang tanah. Lahan tersebut cukup terawat karena dengan pergantian tanaman yang berlanjut, tanah beberapa kali diolah dan gulma selalu dibersihkan kecuali tanaman tumpang sari sudah mendekati masa panen. Di sekitar lahan jambu biji muda terdapat lahan lain yang ditanami jagung, ketela pohon, terong, katuk, dan jambu biji. 25 A B C Gambar 1 Pertanaman jambu biji di Desa Bantarjaya Kecamatan Rancabungur: (A) lahan pertanaman jambu biji 1 tahun (lahan 1), (B) lahan pertanaman jambu biji 2 tahun (lahan 1), dan (C) lahan pertanaman jambu biji 5 tahun (lahan 3). 26 Pada lahan dengan umur tanaman 1,5 tahun (Gambar 1B) jambu biji ditanam dengan pola tumpang sari dengan tanaman ubi jalar, setelah ubi jalar panen tanaman jambu biji ditanam secara monokultur. Lahan tidak diberi pagar sampai akhir pengamatan, gulma yang sering dibersihkan hanya pada sekeliling tanaman jambu biji sedangkan gulma lain dibiarkan tumbuh dan dibersihkan jika gulma sudah cukup tinggi. Di dekat lahan tersebut terdapat lahan lain yang ditanami ubi jalar dan ketela pohon. Tanaman jambu biji yang berumur 4,5 tahun (Gambar 1C) ditanam secara monokultur karena tajuk tanaman sudah menutupi lahan. Pada kedua lahan muda dan tua bagian pinggir lahan diberi pagar yang terbuat dari bambu sekaligus ditanami tanaman pagar antara lain pisang, puring, bunga sepatu, ketela pohon, jarak pagar, dan ki hujan. Pisang ditanam bertujuan untuk diambil daunnya yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pengisi dalam pengepakan buah jambu biji. Di sekitar lahan jambu biji tua terdapat lahan lain yang ditanami jagung, jambu biji merah milik petani lain, kangkung, kacang tanah, dan katuk. Organisme Pengganggu Tanaman yang Ditemukan pada Tanaman Jambu Biji Pada beberapa lahan jambu biji di Kecamatan Rancabungur dan kampus IPB Darmaga dijumpai berbagai organisme pengganggu tanaman (OPT) yang (sebagian atau seluruh) aktivitas hidupnya berasosiasi dengan tanaman jambu biji. Lalat buah merupakan OPT yang telah dilaporkan di berbagai tempat merupakan salah satu hama tanaman jambu biji yang merugikan. OPT lainnya yaitu Helopeltis sp., A. dispersus, beberapa spesies kutu putih, Icerya seychellarum, kutu perisai, Coccus viridis, kututempurung, kutudaun, Carpophilus dimidiatus, A. atlas, Trabala spp., Valanga nigricornis, dan tungau merupakan hama sekunder atau hama minor pada tanaman jambu biji (Gould & Raga 2002). OPT tersebut dapat berpotensi menjadi hama penting jika populasinya meledak di pertanaman. 27 Tabel 3 Organisme pengganggu tanaman pada tanaman jambu biji di Rancabungur dan kampus IPB Darmaga, Bogor Ordo Famili OPT Bagian tanaman yang diserang Rancabungur Lahan 1 Lahan 2 Lahan 3 IPB Darmaga Acarina Tetranychidae Tungau laba-laba meraha daun muda dan tua - - - √ Acarina Mycobatidae Tungau kumbang pucuk, daun, buah √ √ √ √ Orthoptera Acrididae Valanga spp. daun √ √ √ √ Hemiptera Coreidae pangkal daun muda dekat pucuk, daun tua, bunga - - - √ Hemiptera Coreidae Mictis longicornis Westw. pangkal daun muda dekat pucuk - - - √ Hemiptera Coreidae Physomeris grossipes (Fabr.) ranting muda - - - √ Hemiptera Miridae Helopeltis sp. ranting pucuk, buah - √ √ √ Hemiptera Tessaratomidae Pycanum alternatum (Lep. & Serv.) daun muda - - - √ Hemiptera Tessaratomidae Tessaratoma javanica (Thnb.) daun muda - - - √ Hemiptera Flatidaea daun, ranting, buah - - - √ √ √ Anoplocnemis phasiana (Fabr.) Lawana candida (Fabr.) 2 Hemiptera Aleyrodidae Aleurodicus dispersus Russel daun tua √ √ Hemiptera Aleyrodidae Aleuroclava sp. 1 daun tua - - - √ Hemiptera Aleyrodidae daun tua √ - - √ Aleuroclava sp. 2 27 28 Tabel 3 Lanjutan. Rancabungur IPB Lahan 1 Lahan 2 Lahan 3 Darmaga daun pucuk √ √ √ √ daun, tangkai buah √ √ √ √ Coccus viridis (Green) daun tua, ranting, buah √ √ √ √ Coccidae Kututempurung hitam daun, ranting √ √ √ √ Hemiptera Diaspididae Aspidiotus destructor Sign. daun tua, buah √ √ √ √ Hemiptera Diaspididae Kutu perisai spesies 1 daun tua - - - √ Hemiptera Pseudococcidae Ferrisia virgata Ckll. daun muda dan tua, buah, ranting muda √ √ √ √ Hemiptera Pseudococcidae Maconellicoccus hirsutus (Green) ranting, daun muda dan tua, buah √ √ √ √ Hemiptera Pseudococcidae Paracoccus marginatus Will. & Granara de Willink pucuk, daun, ranting - - - √ Hemiptera Pseudococcidae Planococcus minor Mask. daun muda dan tua, bunga, buah, ranting muda, tangkai bunga dan buah √ √ √ √ Hemiptera Pseudococcidae Rastrococcus jabadiu Will. batang, ranting, daun, bunga - - - √ Famili OPT Hemiptera Aphididae Aphis gossypii Glov. Hemiptera Margarodidae Hemiptera Coccidae Hemiptera Icerya seychellarum (Westw.) 28 Bagian tanaman yang diserang Ordo 29 Tabel 3 Lanjutan. Ordo Famili OPT Hemiptera Pseudococcidae Rastrococcus invadens Will. Hemiptera Pseudococcidae Rastrococcus spinosus (Rob.) Coleoptera Curculionidae Coleoptera Bagian tanaman yang diserang Rancabungur Lahan 1 Lahan 2 IPB Lahan 3 Darmaga daun tua - - - √ daun tua, daun muda √ √ √ √ Kumbang moncong daun √ √ - √ Nitidulidae Carpophilus dimidiatus (Fabr.) buah - - - √ Coleoptera Nitidulidae Carpophilus sp. 1 buah - √ - √ Coleoptera Nitidulidae Brachypeplus sp. buah - - - √ Diptera Tephritidae Bactrocera carambolae (Drew & Hancock) buah - √ √ √ pucuk, daun muda, ranting, buah √1 √2 √ √ daun tua √ √ √ √ daun √ √ √ - Lepidoptera Ulat pucuk Lepidoptera Ulat penggulung daun Lasiocampidae Trabala spp. Lepidoptera Limacodidae Ulat api spesies 1 daun tua - - - √ Lepidoptera Limacodidae Ulat api spesies 2 daun, ranting muda - - - √ Lepidoptera Metarbelidae Ulat penggerek batang batang, ranting berkayu √ √ √ √ 29 Lepidoptera 30 Tabel 3 Lanjutan. Ordo Famili OPT IPB Lahan 1 Lahan 2 Lahan 3 Darmaga daun - - √ √ Lepidoptera Psychidae Lepidoptera Psychidae Pteroma pendula Joann. daun √ √ √ √ Lepidoptera Psychidae Ulat kantung spesies 1 daun √ √ √ √ Lepidoptera Psychidae Ulat kantung spesies 2 daun - √ √ - Lepidoptera Psychidae Ulat kantung spesies 3 daun √ √ √ √ Lepidoptera Psychidae Ulat kantung spesies 4 daun √ √ √ √ Lepidoptera Psychidae Ulat kantung spesies 5 daun √ √ √ √ Lepidoptera Psychidae Ulat kantung spesies 6 daun √ √ √ √ Lepidoptera Pyralidae ulat penggerek buah buah √ √ √ - Lepidoptera Saturniidae Attacus atlas Linn. daun - √ √ - Keterangan: (√) dijumpai (-) tidak dijumpai Pagodiella hekmeyeri (Heyl.) Rancabungur Bagian tanaman yang diserang (1) hama dominan pada lahan 1 (2) hama dominan pada lahan 2 (a) dijumpai di Rancabungur pada lahan lain Keanekaragaman OPT tertinggi yaitu pada lahan kampus IPB Darmaga. OPT yang ditemukan di lahan kampus IPB tidak ditemukan di Rancabungur yaitu tiga spesies kutu putih R. jabadiu, R. invadens, P. marginatus; kepik penghisap pucuk dan daun muda A. phasiana, 30 M. longicornis, P. grossipes, P. alternatum, T. javanica, dan kumbang penggerek buah Brachypeplus sp. (Tabel 3). 31 Pada lahan kampus IPB Darmaga, pengelolaan terhadap hama dan penyakit tidak dilakukan secara intensif. Pembungkusan buah jambu biji terlambat dilakukan dan aplikasi pestisida dilakukan jika ada biaya atau setelah hama mulai banyak. Pada ketiga lahan di Rancabungur, pada lahan 1 dan 2 tingkat kenaekaragamannya sama namun terdapat perbedaan jenis yang terdapat pada masing-masing lahan. Pada pertanaman jambu biji 4,5 bulan (lahan 1), kenaekaragamannya paling rendah. Pada lahan ini tanaman belum memasuki masa generatif, hanya pada pengamatan terakhir buah jambu biji mulai muncul pada dua tanaman contoh sehingga OPT yang hanya menyerang buah jambu biji pada lahan ini tidak ditemukan. Hama yang dominan pada ketiga lahan di Rancabungur juga berbeda-beda. Pada lahan 1 hama dominan yang diamati adalah ulat pucuk, belalang, dan ulat penggulung daun. Ketiga hama tersebut merupakan hama menggigit-mengunyah yang menyerang daun sehingga diamati tingkat kerusakan tanamannya. Pada lahan 2, hama yang dominan yaitu ulat pucuk, kutu putih, dan kutukebul. Pada lahan 3 tingkat kerusakan yang diamati adalah akibat aktivitas makan hama menggigit-mengunyah. Hama Menggigit-Mengunyah yang Menyerang Daun Hama menggigit-mengunyah selalu ditemukan pada saat pengamatan di setiap lahan pertanaman jambu biji. Tingkat kerusakan tanaman pada ketiga lahan pengamatan akibat hama menggigit-mengunyah berfluktuasi setiap minggunya (Gambar 2). Pada lahan 1, tingkat kerusakan tertinggi yaitu pada minggu ke-3 Mei. Tingkat kerusakan tanaman pada setiap pengamatan cenderung mengalami penurunan setelah sebelumnya meningkat karena petani melakukan aplikasi insektisida jika populasi hama pada tanaman jambu biji di lahan tersebut terlihat banyak. Pada lahan 2, tingkat kerusakan tertinggi yaitu pada mingu ke-1 dan ke-2 Mei (Gambar 2). Pada lahan ini tingkat kerusakan tanaman akibat hama menggigit-mengunyah berkaitan dengan tingkat populasi ulat pucuk sebagai hama menggigit-mengunyah yang utama. Pada lahan 3 tingkat kerusakan tanaman mengalami kenaikan tajam sejak minggu pertama April dan puncaknya pada minggu ke-3 April. Pada lahan ini pada ranting yang diamati cenderung lebih 32 banyak daun-daun yang tua yang terdapat bekas gerigitan hama menggigitmengunyah yang tetap ada. Pada saat daun tanaman berguguran dan serangan hama tinggi, tingkat kerusakannya meningkat. Tanaman jambu biji memiliki daya regenerasi yang tinggi (Rismunandar 1989). Pada kondisi lingkungan yang mendukung, tanaman akan segera menghasilkan pucuk-pucuk baru lagi setelah mengalami kerusakan sehingga tingkat kerusakan tanaman akan cenderung Tingkat kerusakantanaman (%) menurun jika pada bagian tanaman tersebut tidak diserang hama lagi. 24 20 16 12 8 lahan 1 lahan 2 lahan 3 4 0 2 3 Maret 4 1 2 3 4 April 1 2 3 Mei Minggu pengamatan Gambar 2 Tingkat kerusakan tanaman jambu biji oleh serangan hama menggigit-mengunyah pada ketiga lahan. Ulat Pucuk (Lepidoptera). Tingkat kerusakan tanaman akibat hama menggigit-mengunyah berkorelasi dengan populasi hama penyebabnya. Pada lahan 1 dan 2, ulat pucuk merupakan hama menggigit-mengunyah yang paling dominan menyebabkan kerusakan pada daun. Pada lahan 1 tingkat kerusakan tanaman terus meningkat sampai minggu ke-3 April, kemudian minggu-minggu berikutnya mengalami penurunan lagi sampai pengamatan terakhir minggu ke-3 Mei (Gambar 3). Pada lahan 2, tingkat kerusakan tanaman sejak awal pengamatan sudah cukup tinggi. Sejak minggu ke-2 April tingkat kerusakan tanaman mengalami penigkatan tajam dan mencapai puncaknya pada minggu ke-4 April (Gambar 3). Tingkat kerusakan rata-rata pada lahan jambu biji muda rata-rata lebih rendah daripada lahan jambu biji sedang, karena jumlah pucuk yang terbentuk belum banyak pada lahan jambu biji muda. Pada lahan 2, percabangan sudah terbentuk dan banyak pucuk yang berkembang. 33 Tingkat kerusakan tanaman (%) 80 70 60 50 40 lahan 1 30 20 lahan 2 10 0 2 3 Maret 4 1 2 3 4 April 1 2 3 Mei Minggu pengamatan Gambar 3 Tingkat kerusakan tanaman jambu biji akibat serangan ulat pucuk di lahan 1 dan 2. Larva instar awal berukuran kecil panjang tubuh sekitar 2 mm menggerek pucuk daun dan merekatkan daun pucuk di dekatnya dengan menggunakan sutera yang dihasilkannya. Larva berwarna kehijauan transparan dengan kepala coklat muda, ketika menjelang berpupa warna tubuh larva berwarna merah terang panjang tubuh sekitar 12,5 mm (Gambar 4B). Larva hidup di dalam lipatan daun sampai stadia pupa. Pupa dalam lipatan daun dilindungi kokon tipis berwarna putih, pupa tipe obtekta berwarna coklat tua (Gambar 4C). Gejala yang ditimbulkan hama ini selain pucuk mati karena digerek, larva juga memakan daun muda dan ranting muda dari dalam lipatan hingga daun berlubang-lubang (Gambar 4D-E). Jika tanaman jambu biji diserang pada fase generatif selain menggerek pucuk dan daun muda, larva juga menggerek bunga yang belum mekar (Gambar 4A). Larva juga dapat menyerang buah muda, buah direkatkan dengan buah lain yang berdekatan atau dengan daun menggunakan sutera (Gambar 4G). Larva memakan buah pada bagian permukaan saja. Bekas gerigitan hama ini akan mengering, dan akan tetap membekas sampai buah matang (Gambar 4H).. Bagian dalam buah masih bisa dimakan tapi untuk pasar tertentu jambu ini tidak disukai konsumen sehingga menurunkan nilai jual. 34 A B C D E F G H Gambar 4 Ulat pucuk dan gejala kerusakannya pada tanaman jambu biji: (A) larva menggerek bunga, (B) larva menjelang berpupa, (C) pupa, (D) pucuk dan daun muda dijalin, (E) daun dan ranting dijalin, (F) daun muda dilipat dan berlubang-lubang, terdapat fras yang melekat pada sutera, (G & H) permukaan buah terdapat bekas gerigitan larva yang mengering. 35 (Orthoptera: Acrididae). Belalang Belalang Kayu Valanga spp. merupakan hama lain yang dominan pada lahan 1. Populasi belalang Valanga spp. pada setiap minggunya berfluktuasi. Populasi belalang tertinggi yaitu pada minggu ke-4 April (Gambar 5) sebanyak 15 belalang. Jumlah tersebut relatif masih sedikit dibanding tanaman jambu biji yang banyak karena yang dihitung hanya yang terdapat pada tanaman contoh sedangkan belalang pergerakannya aktif dan di lahan sekitarnya terdapat komoditas lain yang merupakan inang dari Jumlah individu pada semua tanaman contoh belalang yaitu jambu biji petani lain dan jagung. 20 16 12 8 4 0 2 3 Maret 4 1 2 3 4 April 1 2 3 Mei Minggu pengamatan Gambar 5 Populasi belalang Valanga spp. pada lahan 1. Keberadaan belalang pada lahan ini dipengaruhi oleh umur tanaman jambu biji yang saat itu berada pada fase vegetatif; pembentukan daun sedang berlangsung. Belalang yang banyak ditemukan berupa nimfa brakhiptera. Tanaman jambu biji yang belum terlalu tinggi pada lahan tersebut oleh belalang digunakan sebagai tempat berlindung sekaligus sumber makanan. Belalang imago (Gambar 6A) juga sering ditemukan namun aktivitas terbangnya lebih jauh daripada nimfa. Belalang menyebabkan daun jambu biji sobek karena digerigiti dari bagian pinggirnya (Gambar 6B). Populasi belalang pada lahan ini juga dipengaruhi oleh keberadaan tanaman bengkuang sebagai tanaman tumpang sari. Pada saat tanaman bengkuang pada masa vegetatif, populasi belalang meningkat. Ulat Penggulung Daun. Larva hama ulat penggulung daun berukuran kecil sekitar 2 mm, berwarna kekuningan (Gambar 7A). Pupa berwarna kuning terang (Gambar 7B). Satu individu larva menggulung satu daun jambu biji (Gambar 7C). 36 A B Gambar 6 Belalang kayu Valanga nigricornis: (A) imago, (B) gejala gerigitan pada daun. A B C Gambar 7 Ulat penggulung daun: (A) larva, (B) pupa, (C) daun digulung, larva dan pupa hidup di dalam gulungan daun. Larva makan dan berkembang di dalam gulungan daun, lama-kelamaan daun mengering dimulai dari bagian dalam, menjadi rapuh dan seperti pasir pada bagian dalamnya. Ulat penggulung daun jarang ditemukan pada lahan tanaman jambu biji tua. Ulat penggulung daun pada lahan 1 populasinya sedikit pada awal pengamatan dan populasi tertinggi pada pengamatan terakhir (Gambar 8). Hama ulat penggulung daun jika terdapat pada suatu tanaman untuk beberapa lama akan tetap berada pada tanaman tersebut karena sejak larva sampai pupa hama terdapat di dalam gulungan daun. 37 Jumlah individu pada semua tanaman contoh 20 15 10 5 0 2 3 Maret 4 1 2 3 4 1 April Minggu pengamatan 2 3 Mei Gambar 8 Populasi ulat penggulung daun pada lahan 1. Hama menggigit-mengunyah lain juga terdapat di pertanaman jambu biji. Keberadaan hama ini menambah tingkat kerusakan pada tanaman jambu biji. Sebagian besar hama menggigit-mengunyah pada jambu biji adalah dari ordo Lepidoptera (Tabel 3), dan semuanya melakukan aktivitas makan daun tanaman jambu biji pada fase larva. Ulat Kantung (Lepidoptera: Psychidae). Ulat kantung dari famili ini memiliki sekitar 1000 spesies, dimana seluruh perkembangan stadia larva terjadi dalam kantung (Rhainds et al. 2009). Kantung-kantung yang dibuat berbeda dalam ukuran dan bentuk sehingga bentuk ulat kantung ini dapat dibedakan dari spesies satu dengan spesies lainnya. Ulat kantung membuat kantung dari partikel daun, pasir, ranting dan partikel lain di sekitar ulat kantung tersebut yang direkatkan oleh sutera yang dikeluarkan larva ulat kantung. Terdapat 8 jenis ulat kantung yang berbeda yang ditemukan pada pertanaman jambu biji di beberapa lahan di Rancabungur (Gambar 9). Perbedaan spesies tersebut diidentifikasi berdasarkan pengamatan terhadap bentuk kantungnya. Tujuh spesies di antaranya (P. hekmeyeri, P. pendula, 1-5, 7, dan 8) telah dilaporkan terdapat pada pertanaman jambu biji di Kecamatan Leuwisadeng, Dramaga, dan Sukaraja oleh Pravitasari (2009). Ulat kantung P. hekmeyeri kantungnya berbentuk khas yaitu berbentuk pagoda (Gambar 9A). Gejala yang disebabkan ulat kantung ini adalah window panning, permukaan bawah daun dimakan dan disisakan epidermis atasnya. 38 A D G Gambar 9 B C E F H Berbagai spesies ulat kantung pada tanaman jambu biji: (A) P. hekmeyeri, (B) P. pendula, (C) ulat kantung spesies 1, (D) ulat kantung spesies 2, (E) ulat kantung spesies 3, (F) ulat kantung spesies 4 (G) ulat kantung spesies 5, (H) ulat kantung spesies 6. 39 Sisa epidermis atas tersebut mengering dan akhirnya berlubang-lubang berbentuk bundar. Menurut Kalshoven (1981) ulat kantung ini polifag, memakan berbagai tanaman semak dan pohon antara lain daun teh. Ulat kantung P. pendula, kantung terbuat dari potongan-potongan daun jambu yang sangat kecil yang ditempelkan dengan rapi menggunakan sutera yang dihasilkan larva, berwarna coklat (Gambar 9B). Setiap larva berganti instar, eksuviumnya ditempelkan di bagian posterior kantung sehingga pada bagian posterior kantung terdapat eksuvium kepala larva yang menempel (Pravitasari 2009; Suparno 2004). Lama hidup ulat kantung dari telur sampai imago (jantan) sekitar 53 hari (Suparno 2004). Lama stadia larva dalam penelitian di laboratorium selama 38,8 ± 9,5 hari. Stadia larva ini merupakan stadia terlama. Larva makan dari permukaan atas daun dan disisakan bagian epidermisnya, sehingga bagian yang tersisa akan mengering dan akhirnya berlubang. Pada populasi tinggi larva akan memakan daun pada bagian bawah dan atas dengan rakus sehingga tersisa tulang daunnya saja. P. pendula mempunyai kisaran inang yang luas dengan 16 famili tanaman yang berbeda antara lain Fabaceae, Malvaceae, Oxalidaceae, Palmae, Solanaceae, Sapindaceae, Rubiaceae, Anacardiaceae, dan Theaceae (Kamarudin et al. 1994 dalam Suparno 2004). Dalam percobaan preferensi inang P. pendula terhadap enam daun tanaman yaitu jambu biji, jambu air, jeruk, mangga, belimbing, dan palem botol, tanaman inang yang lebih disukai adalah jambu biji dan palem botol (Suparno 2004). Ulat kantung spesies 1, kantung terbuat dari potongan-potongan daun kecil dengan ukuran berbeda dan ditempelkan tidak teratur (seperti bertumpuk-tumpuk) pada sutera yang dihasilkan larva. Warna kantung coklat dan agak sedikit kehitaman terutama jika terkena air (Gambar 9C). Larva makan daun dari bagian pinggir atau tengah daun, dan hanya menyisakan tulang daunnya saja. Ulat kantung spesies 2, kantungnya terbuat dari potongan daun jambu biji yang ditempel kemudian dibungkus dengan daun yang masih utuh (Gambar 9D). Larva makan dari bagian pinggir atau tengah daun, ada korelasi pertumbuhan larva dengan banyaknya daun yang dimakan. Larva ini makan daun termasuk 40 tulang daunnya dan hanya disisakan rantingnya saja. Pada saat mau berpupa ulat kantung menempelkan kantungnya dengan erat pada menggunakan sutera yang dikeluarkan oleh larva pada ranting atau cabang (Pravitasari 2009). Ulat kantung spesies 3, kantung terbuat dari kulit kayu tipis, ditemukan juga plastik transparan tipis (Gambar 9E). Larva memakan daun dari bagian tengah atau pinggir daun sehingga daun berlubang-lubang. Pada populasi tinggi daun akan dimakan seluruhnya sampai tersisa tulang daunnya saja. Pada saat akan berpupa, larva menutup lubang posterior dan anteriornya kemudian menggantungkan kantungnya pada permukaan bawah daun pada tulang daunnya atau pada ranting. Ulat kantung spesies 4, kantung terbuat dari sutera yang dihasilkan oleh larva, yang dibentuk sedemikian rupa sehingga membentuk kerucut panjang. Kantung berwarna putih kecoklatan (Gambar 9F). Cara makan dari bagian tengah atau pinggir daun sehingga daun berlubang-lubang. Ulat kantung spesies 5, kantung terbuat dari daun gulma yang kering yang dilipat-lipat membentuk ketupat atau bulat dengan bagian tengah, kantung berwarna kecoklatan (Gambar 9G). Kantung selalu menggantung pada bagian permukaan bawah daun. Ulat kantung spesies 6, kantung terbuat dari ranting pohon, satu atau lebih ranting ditempel oleh larva dengan panjang yang berbeda, ada ranting yang lebih panjang dari yang lainnya (Gambar 9H). Larva makan daun dari permukaan bawah dan disisakan permukaan atasnya, sehingga bekasnya menjadi kering dan akhirnya berlubang. Pada populasi tinggi daun disisakan tulang daunnya saja. Pemencaran yang dilakukan ulat kantung yaitu dengan menggunakan sayap, berjalan dengan tungkai atau bergelantungan dengan sutera. Pemencaran dengan benang sutera dapat terjadi dengan bantuan angin. Menurut Pravitasari (2009) musuh alami ulat kantung yaitu dari famili Ichneumonidae, Braconidae, dan Eulophidae yang merupakan parasitoid larva. Pengendalian ulat kantung di antaranya dengan menggunakan daun suren. Perlakuan larutan daun suren terhadap ulat kantung pada uji di laboratorium setelah hari ketujuh menunjukkan tingkat kematian 100%. Daun suren memiliki 41 bahan aktif yang bersifat menghambat daya makan larva ulat kantung sehingga kematian tidak bersifat langsung (Suhaendah et al. 2008). Pengendalian lain bisa dengan menggunakan pestisida berbahan aktif organofosfat. Pada pengujian terhadap ulat kantung oleh Suhaendah et al. (2008) kematian oleh organofosfat mencapai 50% pada hari pertama. Pestisida ini bekerja cepat langsung membunuh hama ulat kantung. Namun penggunaan pestisida kontak harus diperhatikan waktu dan cara aplikasi yang efektif karena pelindung yang dimiliki ulat kantung ini mampu melindungi ulat yang berada di dalamnya. Trabala spp. (Lepidoptera: Lasiocampidae). Trabala spp. adalah ulat bulu yang umum terdapat tanaman jambu biji dan tanaman berkayu lain (Kalshoven 1981). Ulat T. pallida pernah dilaporkan meledak populasinya pada pertanaman jambu biji di Pasar Minggu Jakarta (Rismunandar 1989). Telur berwarna abu-abu dan dilindungi oleh rambut-rambut untuk melindungi dari serangan predator dan parasitoid (Gambar10A). Larva muda berwarna kuning bergaris hitam dengan garis dorsal yang lebih terang dan titik berwarna biru pada bagian lateral pada bagian ujung tubuhnya. Larva mu0da seringkali ditemukan berkelompok pada permukaan atas daun jambu biji. Larva dewasa memiliki garis memanjang berwarna kuning (Gambar 10C). Pupa dibungkus kokon yang memiliki dua tonjolan (Gambar 10B). Larva makan daun muda dari bagian pinggir daun hingga habis (Gambar 10D). Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae). Larva A. atlas berwarna hijau yang ditutupi tepung putih. A. atlas merupakan serangga polifag, sekitar 40 tanaman inang yang diketahui di Jawa antara lain teh, kina, dadap, mangga, jeruk, alpukat, lada (Kalshoven 1981), kaliki, jarak, dan sirsak (Mulyani 2008). Larva memakan daun muda dan tua, dari bagian pinggir atau tengah daun. Serangga ini sering ditemukan pada pertanaman jambu biji namun populasinya sangat rendah. Tanaman jambu biji yang telah mencapai ketinggian sekitar 2 m, maka larva akan lebih menyukai pada tajuk tanaman yang tinggi. Larva merupakan stadia terlama serangga ini. Kecepatan tumbuh larva bergantung pada temperatur dan kelembaban. Pertumbuhan lebih cepat pada temperatur yang lebih tinggi (Mulyani 2008). Pupa dibungkus oleh kokon berwarna coklat keemasan, biasanya kokon 42 berada pada permukaan daun. Keberadaan serangga ini mudah dikenali karena seringkali ditemukan imago yang berukuran besar di pertanaman (Gambar 11). A B C D Gambar 10 Trabala sp.: (A) kelompok telur, (B) pupa, (C) larva, dan (D) gejala gerigitan pada daun jambu biji; (E) imago Attacus atlas di pertanaman jambu biji. Gambar 11 Imago Attacus atlas di pertanaman jambu biji. 43 Ulat Api (Lepidoptera: Limacodidae). Ulat api spesies 1 memakan daun jambu biji dari permukaan bawah daun disisakan epidermis atasnya sehingga menghasilkan gejala window panning (Gambar 12A). Ulat api spesies 2 (Gambar 12B), makan daun jambu biji juga rantingnya menyebabkan sisa-sisa gerigitan berwarna hitam. Kedua serangga ini terdapat pada lahan jambu biji kampus IPB Darmaga dengan populasi yang sangat rendah. A B Gambar 12 Ulat api: (A) spesies 1 dengan gejala window panning pada daun tua jambu biji, (B) larva ulat api spesies 2. Kumbang Moncong (Coleoptera: Curculionidae). Kumbang berwarna merah dengan corak hitam, panjang tubuh sekitar 7,6 mm (Gambar 13). Kumbang ini menyebabkan gejala gerigitan yang khas pada daun jambu biji yaitu daun jambu dimakan dari bagian tengah disisakan tulang-tulang daunnya (Gambar 13). Kumbang menyukai daun muda, sehingga ketika daun berkembang menjadi tua bekas gerigitan masih tetap ada. Perilaku kumbang moncong ini jika diganggu akan berpura-pura mati dan menjatuhkan dirinya ke tanah. C D Gambar 13 Kumbang moncong: (A) imago, (B) daun berlubang-lubang disisakan tulang daunnya. 44 Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) Aleurodicus dispersus. Kutukebul A. dispersus (Gambar 14) selalu ditemukan pada setiap pertanaman jambu biji di Rancabungur. Kutukebul ini merupakan hama polifag yang memiliki kisaran inang yang luas. Murgianto (2010) melaporkan kutukebul ini menyerang 111 spesies tanaman dari 53 famili meliputi tanaman hortikultura, perkebunan, gulma, dan kehutanan. Jambu biji merupakan salah satu inang utamanya (Gungah et al. 2005). Kutukebul A. dispersus menyerang daun-daun tua mengkolonisasi pada bagian permukaan bawah daun (Gambar 14C). Kutukebul ini merupakan penghasil embun madu yang baik, sehingga pada daun yang dikolonisasi kutukebul ini pada permukaan atasnya akan terbentuk embun jelaga (Gambar 14D). A C B D Gambar 14 Kutukebul A. dispersus: (A) pupa dan imago, (B) preparat pupa, (C) koloni pada permukaan bawah daun tua jambu biji, menyebabkan (D) embun jelaga pada permukaan atas daun. 45 Kutukebul A. dispersus merupakan salah satu hama dominan pada pertanaman jambu biji 1,5 tahun (lahan 2). Intensitas serangannya berfluktuasi pada setiap minggunya, pada awal pengamatan populasinya relatif rendah dan mengalami penurunan sampai minggu ke-4 Maret (Gambar 15). Pada mingguminggu tersebut hujan hampir terjadi setiap hari. Populasi kutukebul ini dipengaruhi (salah satunya) oleh hujan, karena ukuran tubuhnya yang kecil sehingga dapat tersapu oleh air hujan. Namun kutukebul dapat tetap berada di pertanaman karena hama tersebut terutama banyak terdapat pada permukaan bawah daun yang terlindung dari hujan. Sehingga pada minggu-minggu berikutnya ketika hujan sudah jarang terjadi populasinya meningkat kembali dengan populasi tertinggi pada minggu ke-3 April (Gambar 15). Peningkatan populasi ini juga dipengaruhi oleh keberadaan daun-daun tua yang semakin rimbun karena petani tidak melakukan perempelan daun. Intensitas serangan (%) 12 10 8 6 4 2 0 2 3 Maret 4 1 2 3 4 April Minggu pengamatan 1 2 3 Mei Gambar 15 Intensitas serangan kutukebul pada tanaman jambu biji di lahan 2. Kutukebul Aleuroclava sp. 1 dan Aleuroclava sp. 2. Kedua spesies kutukebul ini terdapat pada permukaan bawah daun tua jambu biji, soliter dan menyebar. Pada satu daun jambu biji kedua spesies ini kadang-kadang ditemukan secara bersamaan. Aleuroclava sp. 2 menyebabkan daun klorotik dan permukaan bawahnya tampak sebagai titik-titik kecil berwarna hitam (Gambar 16). 46 A B C E Gambar 16 D F Kutukebul Aleuroclava: (A) kutukebul menyebar pada permukaan bawah daun tua jambu biji, (B) pupa dan kantung pupa, (C) kantung pupa Aleuroclava sp. 1, (D) preparat kantung pupa Aleuroclava sp. 1, (E) pupa Aleuroclava sp. 2, (F) preparat pupa Aleuroclava sp. 2. 47 Kutu Putih (Hemiptera: Pseudococcidae) dan Kutukapuk (Hemiptera: Margarodidae) Kutu putih selalu dijumpai pada lahan pengamatan jambu biji di Rancabungur dan kampus IPB Darmaga dengan keanekaragaman spesies paling tinggi yaitu di lahan kampus IPB. Pada lahan pertanaman jambu biji 1,5 tahun (lahan 2), kutu putih merupakan salah satu OPT yang dominan namun tingkat kolonisasinya rata-rata masih rendah. Intensitas serangan kutu putih paling tinggi yaitu minggu pertama Mei (Gambar 17). Perkembangan kolonisasi kutu putih setiap minggunya cenderung tidak mengalami peningkatan yang tinggi, karena kondisi hujan yang terus-menerus dapat menyebabkan populasi kutu putih menurun. Meskipun luas kolonisasinya rendah, kutu putih ini berpotensi menjadi hama penting karena kutu putih mampu mempertahankan keberadaaannya pada Intensitas serangan (%) pertanaman jambu biji meskipun dalam jumlah sedikit. 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 2 3 Maret 4 1 2 3 4 April 1 2 3 Mei Minggu pengamatan Gambar 17 Intensitas serangan kutu putih pada tanaman jambu biji di lahan 2. Terdapat tujuh spesies kutu putih yang terdapat pada tanaman jambu biji di Rancabungur dan Kampus IPB Darmaga yaitu Ferrisia virgata, Planococcus minor (Gambar 18), Rastrococcus spinosus, Rastrococcus invadens (Gambar 19), Rastrococcus jabadiu, Maconellicoccus hirsutus (pink mealybug) (Gambar 20), dan Paracoccuss marginatus serta satu spesies kutukapuk Icerya seychellarum (Gambar 21). Spesies kutu putih tersebut terdapat pada pertanaman jambu biji di Rancabungur dan kampus IPB Darmaga, kecuali spesies R. invadens, R. jabadiu, dan P. marginatus hanya ditemukan di lahan kampus IPB Darmaga. 48 Gambar 18 A.1 A.2 B.1 B.2 Kutu putih (1. spesimen hidup dan 2. preparat): (A) F. virgata dan (B) P. minor. 49 A.1 B.1 A.2 B.2 Gambar 19 Kutu putih (1. spesimen hidup dan 2. preparat): (A) R. spinosus dan (B) R. invadens. 1 50 A.1 A.2 B.1 B.2 Gambar 20 Kutu putih (1. spesimen hidup dan 2. preparat): (A) R. jabadiu dan (B) M. hirsutus. 51 A.1 B.1 A.2 B.2 Gambar 21 Spesimen hidup (1) dan preparat (2): (A) kutu putih P. marginatus dan (B) kutukapuk I. seychellarum. 52 Kutu putih dapat terdapat pada daun muda dan tua, ranting muda, bunga, tangkai bunga atau tangkai buah, buah (sejak pentil sampai buah yang sudah matang), berkelompok maupun soliter. Semua spesies kutu putih yang ditemukan dapat menyerang daun tua, terutama pada bagian yang dekat tulang daun. Persebaran kutu putih umumnya tidak merata pada setiap tanaman jambu biji, terutama pada masing-masing spesies. Kutu putih yang seringkali berkelompok seperti F. virgata, R. jabadiu, dan P. marginatus (Gambar 22A-C) seringkali dominan pada satu tanaman atau ranting tertentu dan sedikit pada tanaman contoh lainnya. Pada populasi tinggi dalam satu tanaman, kutu putih mengkolonisasi dari cabang, ranting, hingga bagian dekat pucuk dan bunga. Kutu putih menghisap cairan bagian bahan tanaman jambu biji, menutupi permukaan bagian tanaman dengan lilinnya dan sebagian menghasilkan embun madu. Kutu putih yang menghasilkan embun madu yang baik seperti P. minor, M. hirsutus, dan P. marginatus biasanya berasosiasi dengan semut dan embun jelaga (Gambar 22D-E). Kutu putih F. virgata dan R. spinosus tidak dikunjungi semut. Semut memanfaatkan embun madu untuk makanannya, sehingga semut tersebut membantu melindungi kutu putih dari serangan predator juga membantu penyebarannya. Keberadaan semut bagi petani merupakan pengganggu ketika buah akan dipanen. Embun jelaga menyebabkan permukaan daun menjadi hitam dan permukaan daun tersebut terhalang dari sinar matahari langsung yang menyebabkan proses fotosintesis terganggu. Kutu putih dapat menyerang buah jambu biji. Jika buah jambu biji masih kecil, bisa menyebabkan buah mati dan gugur (Gambar 22F). Serangan kutu putih pada buah muda menyebabkan permukaan buah cekung dan mengering berwarna coklat (Gambar 22G). Bercak tersebut akan tetap membekas sampai buah tersebut matang. Kutu putih juga dapat tetap berada pada permukaan buah sejak buah masih muda sampai buah tersebut matang. Kutu putih mengkolonisasi di sekeliling permukaan buah menyebabkan cekungan berwarna hijau lebih tua daripada bagian yang tidak terserang sehingga bentuk buah jambu biji tidak sempurna (Gambar 22H). Kutu putih dan lilinnya tetap tertinggal pada permukaan buah, dan jika ditumbuhi embun jelaga permukaan buah menjadi hitam (Gambar 22I). Pada satu bagian tanaman yang diserang bisa terdapat lebih dari satu spesies 53 kutu putih dan seringkali bersama dengan serangga lain seperti kutukebul A. dispersus dan ulat pucuk. Kutu putih berlindung pada bagian lipatan daun atau di antara buah yang direkatkan oleh larva sehingga pada buah tersebut menimbulkan gejala kombinasi. Pada koloni kutu putih juga sering ditemukan musuh alaminya seperti predator dan parasitoid (Gambar 23). Musuh alami kutu putih yang telah diketahui adalah predator dari famili Cecidomyidae (Diptera), famili Coccinellidae (Coleoptera), dan famili Chrysopidae (Neuroptera); endoparasitoid dari ordo Hymenoptera (Sartiami et al. 1999); dan cendawan Entomophthorales parasit kutu putih pepaya P. marginatus (Shylena 2010). Predator dari familli Coccinellidae antara lain Scymnus sp., Curinus sp. dan Cryptolaemus montrouzieri (Kalshoven 1981). Kutu putih F. virgata dan P. minor sebelumnya telah dilaporkan oleh Sartiami et al. (1999) ditemukan pada tanaman jambu biji di Bogor. Kutu putih R. invadens, R. jabadiu, dan R. spinosus juga ditemukan pada tanaman buah-buahan namun tidak dilaporkan terdapat pada jambu biji. P. marginatus yang dikenal dengan sebutan kutu putih pepaya, di Indonesia belum pernah dilaporkan menyerang tanaman jambu biji. Lalat Buah Bactrocera carambolae (Diptera: Teprithidae) Lalat buah B. carambolae ditemukan di lahan pengamatan di Desa Bantarjaya, Desa Bantarsari, dan Kampus IPB Darmaga. Pada lahan lain di sekitar lahan pengamatan, lalat buah merupakan hama dominan. Lalat buah merupakan salah satu hama penting bagi petani. Imago lalat buah betina meletakkan telur pada jaringan buah dengan menusukkan ovipositornya (Gambar 24A-B). Pada bagian bekas tusukan kadang diikuti oleh infeksi cendawan atau bakteri sehingga tampak bagian nekrotik dan berair pada bagian luar buah yang menunjukkan buah tersebut busuk (Gambar 24C). Larva menetas dan berkembang di dalam buah, memakan bagian dalam buah hingga pulpnya (Gambar 24D), menyebabkan buah cepat membusuk, berair, dan berbau. Jika buah dibelah, di bagian dalamnya terdapat larva lalat buah yang biasanya lebih dari satu larva. 54 G A B D E H C F I Gambar 22 Kolonisasi dan gejala kutu putih pada tanaman jambu biji: (A) F. virgata, (B) R. jabadiu, (C) P.marginatus, (D) P. minor pada bunga berasosiasi dengan semut, (B) M. hirsutus pada ranting dan permukaan bawah daun menyebabkan embun jelaga, (C) gugur buah, (D) nekrotik pada permukaan buah muda, (E) permukaan dan warna buah tidak merata pada buah matang, (F) buah pecah dan terdapat embun jelaga pada kolonisasi kutu putih. 55 A C E B D F Gambar 23 Musuh alami kutu putih yang ditemukan di lapang: (A) imago R. invadens yang terparasit, (B) predator R. invadens, (C) laba-laba predator F. virgata, (D) predator P. marginatus, (E) Cryptolaemus sp., (F) predator kutu putih. 56 A B C D E Gambar 24 Lalat buah B. carambolae: (A) imago betina, (B) imago menusukkan ovipositornya pada buah muda, (C) gejala tusukan disertai nekrosis dan busuk pada jambu biji kristal, (D) bagian dalam membusuk berwarna coklat, berbau busuk, (E) buah jambu biji dibungkus menggunakan plastik dan kertas koran. 57 Larva lalat buah terdiri dari tiga instar dan butuh 1-2 minggu berada di dalam buah sejak oviposisi. Larva akan manjatuhkan diri untuk berpupa di tanah. Lamanya masa pupa sekitar 7-10 hari sampai menjadi lalat buah dewasa. Imago lalat buah betina butuh beberapa hari sampai beberapa minggu untuk menjadi dewasa dan bisa meletakkan telur (Gould & Raga 2002). B. carambolae merupakan salah satu spesies kompleks lalat buah oriental di Indonesia, Malaysia, dan Thailand bagian tenggara (Sauers-Muller 2005). Dalam laporan Ginting (2009), Bactrocera carambolae merupakan spesies lalat buah yang paling melimpah di Bogor, Depok dan Jakarta selain B . papayae. Lalat buah ini selalu ada dan melimpah karena keberadaan tanaman inang yang selalu ada di lokasi penelitian. Selain menyerang jambu biji, lalat buah ini menyerang berbagai macam buah-buahan antara lain belimbing, kluwih, cabai, nangka, jambu bol, tomat, mangga, badam dan pepaya (Siwi et al. 2006). Kelimpahan dan keragaman inang lalat buah ini menjadikan lalat buah sulit dikendalikan. Pengelolaan terhadap lalat buah pertama harus dilakukan monitoring terhadap keberadaan dan tingkat populasi lalat buah. Untuk identifikasi dan deteksi lalat buah bisa menggunakan perangkap yang dikombinasikan dengan atraktan atau dengan menangkap langsung imago lalat buah di pertanaman. Identifikasi dan deteksi lalat buah ini penting untuk mengetahui keberadaan jenis dan perkiraan tingkat populasi lalat buah yang ada di lapangan. Kemungkinan spesies lain terdapat pada lahan di sekitarnya tidak teridentifikasi. Atraktan yang dapat digunakan antara lain metil eugenol, yang dapat menarik lalat buah jantan spesies Bactrocera spp. tetapi tidak untuk subgenus Bactrocera (Zeugodacus) spp. dan menarik beberapa spesies dari subgenus Ceratitis (Pardalapsus) serta tiga spesies spesies Dacus spp. Atraktan lain yaitu cue lure, dapat menarik Bactrocera spp. dan Dacus spp. (Siwi et al. 2006). Pengendalian terhadap populasi lalat buah perlu dipertimbangkan skala pengusahaan tanaman jambu biji. Untuk usahatani jambu biji skala kecil seperti rata-rata petani di Rancabungur, pengelolaan lalat buah secara fisik dengan melakukan pembungkusan terhadap buah jambu biji menggunakan plastik dan koran (Gambar 24F) merupakan pengendalian yang cukup efisien. 58 Pengendalian yang ramah lingkungan adalah dengan menggunakan pestisida dari bahan tanaman. Tanaman yang berpotensi dan telah diuji untuk dijadikan bahan pestisida pengendali lalat buah adalah selasih (Cinamomum spp.) dan daun wangi (Melaleuca bactreata). Produk atraktan yang dibuat dari kedua tanaman tersebut telah dibuat (Kardinan 2003). Beberapa spesies selasih yang berpotensi yaitu Ocimum sanctum, O. tenuiflorum, dan O. minimum. Selain dijadikan penghasil atraktan dalam bentuk produk, tanaman tersebut dapat digunakan sebagai tanaman perangkap. Musuh alami lalat buah B. carambolae antara lain Biosteres vandenboschi (Hymenoptera: Braconidae) (Soesilohadi 2003). Kumbang Penggerek Buah (Coleoptera: Nitidulidae) Kumbang penggerek merupakan hama dominan pada lahan jambu biji kampus IPB Damaga. Pada setiap tanaman jambu biji yang telah berbuah selalu ditemukan buah yang terserang. Kumbang penggerek buah jambu biji yang ditemukan yaitu C. dimidiatus, Carpophilus sp. 1, dan Brachypeplus sp. Kumbang tersebut berukuran kecil, panjang tubuh imago C. dimidiatus, Carpophilus sp. 1, dan Brachypeplus sp. berturut-turut sekitar 2,5 mm, 2,9 mm dan 3,8-4 mm (Gambar 25A-C). Ketiga spesies serangga tersebut seringkali terdapat dalam satu buah jambu biji secara bersamaan, juga kadang-kadang berasosiasi dengan lalat buah sehingga mempercepat pembusukan buah jambu biji yang dimulai dari bagian dalam buah. Di dalam jambu biji tidak hanya terdapat imago tetapi juga larvanya. Buah yang diserang pecah pada bagian ujungnya (Gambar 25D), terutama jika bagian luar buah diseranga hama lain yang menyebabkan permukaan buah mengering seperti kutu putih dan Helopeltis. Buah lama-kelamaan berubah warna menjadi coklat, bagian dalam maupun luarnya, dan akhirnya menjadi kering, kisut, keras dan berwarna hitam (Gambar 25E). Kumbang tersebut masih tetap berada pada bagian dalam buah jambu biji sampai buah mengering. Dalam satu buah jambu biji biasanya terdapat banyak kumbang bisa mencapai puluhan ekor. Kerusakan pada tanaman jambu biji tidak hanya bersifat langsung. Lama hidup C. dimidiatus dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Kumbang dapat hidup pada suhi 20 sampai 32,5 oC. Perkembangan tercepat yaitu 59 pada suhu 30 °C, dengan kelembaban 90, 80 atau 70% (23,6–24,7 hari); perkembangan optimal pada suhu 32,5 oC (Porter 1986). Kumbang penggerek ini hanya ditemukan pada tanaman jambu biji di kampus IPB Darmaga pada jambu biji Kristal. Pada lahan pengamatan, kumbang tersebut terdapat pada setiap tanaman terutama pada buah yang tidak dibungkus. Menurut Gould & Raga (2002), distribusi C. dimidiatus terbatas, sehingga jika sudah terdapat di pertanaman akan menimbulkan masalah yang serius bagi petani. Pengendalian kumbang ini adalah dengan melakukan penyemprotan insektisida secara berjadwal. Imago betina C. dimidiatus menghasilkan feromon alami yaitu (3E, 5E, 7E, 9E)-6,8-diethyl-4-methyl-3,5,7,9-dodecatetraene. Penggunaan feromon (tetraene) yang dikombinasikan dengan fermentasi adonan roti dapat menarik C. dimidiatus 48,3 individu; relatif lebih banyak dibandingkan penggunaan feromon secara tunggal, adonan secara tunggal, dan kontrol berturutturut 24,5, 0,02, and 0 (Bartelt et al. 1995). A B D Gambar 25 C E Kumbang penggerek buah pada tanaman jambu biji: (A) imago C. dimidiatus, (B) imago Carpophilus sp. 1, (C) imago Brachypeplus sp., (D) buah pecah, (E) buah keras, kisut, dan berwarna hitam (bagian permukaan luar terinfeksi cendawan parasit lemah). 60 Hama Lainnya Hama lain juga ditemukan pada ketiga lahan pengamatan namun populasinya rendah sehingga tidak diamati perkembangan luas serangan dan tingkat kerusakan tanaman/intensitas serangannya. Ulat Penggerek Buah (Lepidoptera: Pyralidae). Ulat penggerek buah menyebabkan buah muda gugur, pada buah matang terdapat lubang gerek dan di seberang liang gerek terdapat fras (Gambar 26A-C). Sebagian besar bagian dalam buah jambu biji dimakan, jika buah dibuka tampak bekas gerekan yang menghitam karena mengering (Gambar 26D). Larva berwarna putih kecoklatan, panjang tubuh 2,18 cm (Gambar 26E). Pada satu buah jambu biji bisa terdapat larva lebih dari satu. Pengelolaan serangga bisa dilakukan dengan menyemprot insektisida sebelum pembungkusan karena dikhawatirkan imago telah meletakkan telur pada buah. Helopeltis sp. (Hemiptera: Miridae). Helopeltis sp. menyerang berbagai bagian tanaman jambu biji antara lain pucuk (Gambar 27A) dan buah. Bekas tusukan pada buah menyebabkan bercak nekrotik hitam (Lampiran 27B) yang akan membekas sampai buah tersebut berkembang menjadi matang yang menurunkan nilai jual buah untuk pasar tertentu. Pada serangan berat pada buah yang masih kecil dapat menyebabkan buah menghitam dan kering (Gambar 27C). Kerusakan akibat kepik ini secara langsung tidak terlalu merugikan, namun karena aktivitas makan dan pergerakannya yang baik serangga ini dapat berperan memencarkan inokulum cendawan yang telah ada di pertanaman atau dari pertanaman satu ke pertanaman lain. Kepik ini sering diasosiasikan dengan penyakit kanker buah. Bekas tusukan kepik dapat menjadikan cendawan parasit luka mudah menginfeksi buah, dan penyebarannya dibantu karena aktivitas pergerakannya. Ulat Penggerek Batang (Lepidoptera: Metarbelidae). Ulat penggerek batang hidup dan membuat terowongan pada batang (Gambar 28A). Larva berwarna ungu-kecoklatan gelap dan panjangnya sekitar 1,1-1,9 cm (Gambar 28A). Larva makan pada batang dan bagian pembuluh angkutnya sehingga gejala yang tampak dari luar yaitu ujung ranting dan daun-daun layu (Gambar 28C) 61 A B C D E Gambar 26 Gejala ulat penggerek buah: (A) buah muda gugur, (B) gejala lubang gerekan pada buah, (C) kotoran larva ulat penggerek yang menutupi lubang gerekan, (D) bekas gerekan yang mengering pada bagian dalam buah, (E) larva hidup di dalam buah. A Gambar 27 B C Gejala serangan Helopeltis sp.: (A) pucuk keriting dan mengering, (B) bercak bekas tusukan pada buah, (C) buah kecil mengering pada serangan berat. 62 Pada batang dekat peracabangan terdapat lubang gerek, cabang akan mudah dipatahkan karena isinya sudah kosong, cabang lama-kelamaan mengering dan mati. Penggerek batang ini hidup pada batang sampai stadia pupa. Pengelolaan hama ini yaitu dengan membuang cabang yang terdapat ulat penggerek di dalamnya, atau bisa menggunakan air panas pada lubang gerek. A B Gambar 28 Ulat penggerek batang: (A) larva membuat terowongan dalam cabang dan hidup di dalamnya, (B) pucuk mati, daun layu. Kepik Penghisap Pucuk (Hemiptera: Coreidae dan Tessaratomidae). Kepik penghisap pucuk ditemukan pada lahan IPB Dramaga Bogor. Terdapat tiga spesies dari famili Coreidae yang ditemukan yaitu A. phasiana (Gambar 29), M. longicornis (Gambar 30), dan P. grossipes (Gambar 31). Serangga ini menyerang sejak fase nimfa hingga dewasa. Serangga menusukkan alat mulutnya ke dalam jaringan ranting tanaman atau tulang daun, kemudian menghisap cairan bahan tanaman jambu biji tersebut (Gambar 29B). Daun muda menjadi berwarna coklat kemudian nekrotik dan mati. Selain menyerang daun pucuk, A. phasiana juga menyerang bunga (Gambar 29C) dan daun agak tua. Bekas tusukan pada bunga berupa bercak nekrotik. Kepik P. grossipes menyerang ranting pucuk tanaman. 63 A B C Gambar 29 Anoplocnemis phasiana: (A) nimfa, (B) imago menghisap cairan ranting pucuk dekat pangkal daun, (C) bercak hitam bekas tusukan pada bunga. A Gambar 30 B Mictis longicornis: (A) imago, (B) imago menghisap cairan ranting pucuk menyebabkan daun nekrotik. Gambar 31 Imago Physomeris grossipes. 64 Selain ketiga spesies tersebut, P. alternatum (Gambar 32A) dan T. javanica (Gambar 33A) juga terdapat pada jambu biji. Imago P. alternatum berwarna coklat, dengan corak hijau dengan panjang 2,65 cm. Kepik ini menghisap ranting pucuk menyebabkan pucuk melengkung, kemudian menjadi nekrotik dan mati (Gambar 32B). T. javanica menghisap tulang daun muda dekat pucuk pada permukaan bawah daun dengan posisi kepala terbalik. Daun menjadi coklat pada bagian ujungnya (Gambar 33B) dan kemudian berubah menjadi nekrotik pada sebagian atau seluruh daun tersebut. A B Gambar 32 Pycanum alternatum (Hemiptera: Tessaratomidae): (A) imago menghisap cairan ranting pucuk tanaman, (B) gejala mati pucuk pada jambu biji. A B Gambar 33 Tessaratoma javanica: (A) nimfa, (B) ujung daun tanaman mengering. 65 Kelima serangga tersebut dalam Kalshoven (1981) tidak dilaporkan secara spesifik menyerang tanaman jambu biji. Inang A. phasiana antara lain, kacangkacangan, pohon dadap, dan Desmodium. Kepik ini lebih sering ditemukan di pinggir hutan daripada di area terbuka. Inang M. longicornis antara lain bungur, soka, kakao, dan gambir. P. grossipes banyak ditemukan di pertanaman dan juga ditemukan pada tanaman hias. P. alternatum di Sumatera ditemukan pada gambir, T. javanica pada pucuk tanaman kesambi dan lerek (Kalshoven 1981). Tungau (Acarina: Tetranychidae dan Mycobatidae). Terdapat dua jenis tungau yang ditemukan yaitu tungau laba-laba merah famili Tetranichydae (Gambar 34A-B) dan tungau kumbang famili Mycobatidae. Tungau laba-laba merah ditemukan pada jambu biji merah dan jambu biji kristal. Pada ketiga lahan pengamatan tanaman jambu biji merah, tungau tidak ditemukan pada saat pengamatan. Tungau laba-laba merah menyebabkan daun memutih pada bagian permukaan bawahnya, lama-kelamaan daun menguning dan gugur (Gambar 34C). Tungau laba-laba merah dominan menyerang daun jambu biji tua, namun pada populasi tinggi pada tanaman jambu biji kristal tungau ditemukan pada daun tua sampai daun muda. Tungau kumbang berwarna kehitaman dan mengkilat (Gambar 34D). Pada permukaan bawah daun tungau ini ditemukan soliter maupun bergerombol, terutama dekat tulang daun. Gejala pada daun tidak begitu jelas karena populasi tungau ini cukup rendah. Tungau juga menyerang buah jambu biji, biasanya pada bagian pangkal buah atau pada bagian bekas aktivitas makan serangga menusuk menghisap lain. Permukaan buah yang diserang akan cekung, mengering pada permukaannya yang akan terus membekas sampai buah matang (Gambar 34E). Kutu Perisai (Hemiptera: Diaspididae). Kutu perisai yang terdapat pada tanaman jambu biji yaitu A. destructor dan kutu perisai spesies 1 (Gambar 35). Kutu perisai ini merupakan serangga polifagus, tanaman inangnya antara lain kelapa sawit yang merupakan tanaman inang utama selain itu ditemukan pada Bixa, kakao, gambir, mangga, dan karet (Kalshoven 1981). Hama ini terdapat pada permukaan bawah daun jambu biji, menutupi sampai seluruh 66 A B C D E Gambar 34 Tungau laba-laba merah dan tungau kumbang: (A & B) imago tungau laba-laba merah, (C) daun tampak pucat dan menguning, (D) tungau kumbang, (E) lekukan pada buah bekas aktivitas makan tungau. 67 permukaan daun (Gambar 35C). Pada permukaan atas daun tampak gejala klorotik yang khas (Gambar 35D). Kutu perisai A. destructor dapat menyerang buah sehingga permukaan buah menjadi tidak merata; cekung pada bagian yang terdapat kutu perisainya. Kutu hanya menyerang bagian permukaan buah saja, bagian dalamnya masih bagus tetapi penmpilan buah menjadi tidak menarik. Hama ini tidak dapat dicuci dengan air, jika terbawa sampai ke tempat distribusi akan tetap hidup menempel pada permukaan buah. Kutu perisai spesies 1, sama seperti A. destructor terdapat pada permukaan bawah daun tua namun lebih terkumpul pada bagian yang dekat tulang daun (Gambar 35). Gejala pada permukaan atas daun juga hampir sama yaitu gejala klorotik khas kutu perisai. Kutu perisai ini tidak terdapat pada buah jambu biji. Kututempurung (Hemiptera: Coccidae). Kututempurung yang terdapat pada jambu biji yaitu Coccus viridis dan kututempurung hitam yang belum teridentifikasi sampai spesies (Gambar 36). Kututempurung hijau menyerang daun tua terutama pada bagian yang dekat tulang daun. Kutu ini menghasilkan embun madu sehingga berasosiasi dengan semut dan embun jelaga. C. viridis merupakan serangga polifagus, penyebarannya di seluruh wilayah tropis dan subtropis (Kalshoven 1981). Kututempurung hitam terutama pada tulang daun, bersosiasi dengan semut. Serangga ini melindungi telurnya dengan menggunakan tempurung sehingga sulit dikendalikan dengan pestisida kontak. Kutudaun (Hemiptera: Aphididae). Kutudaun yang ditemukan pada tanaman jambu biji yaitu Aphis gossypii (Gambar 37). Kutudaun ini merupakan serangga yang sangat polifag (Kalshoven 1981; Blackman & Eastop 2000). Inangnya antara lain kapas, kapuk, wijen, kopi, jeruk, cabai, mentimun, dan tanaman hias. Kutudaun terutama menyerang bagian pucuk tanaman (Gambar 37C). Pada populasi tinggi akan menyebabkan pucuk keriting. Kutudaun seringkali ditemukan namun dalam jumlah populasi yang sedikit. Hal ini disebabkan oleh adanya predator yang selalu ada di setiap pertanaman jambu biji yaitu kumbang Coccinellidae (Gambar 37D-E). Kutudaun juga dapat menyerang ranting dan buah (Gould & Raga 2002). 68 A C E B D F Gambar 35 Kutu perisai A. destructor: (A) imago betina, (B) preparat, (C) koloni pada permukaan bawah daun tua, (D) gejala klorotik tampak dari permukaan atas daun; Kutu perisai spesies 1: (E & F) koloni pada permukaan bawah daun tua dekat tulang daun. 69 A B C Gambar 36 Kututempurung: (A) spesimen hidup imago C. viridis, (B) preparat C. viridis, (C) kututempurung hitam pada tulang daun permukaan bawah daun tua. A B D C E Gambar 37 Kutudaun Aphis gossypii dan predatornya: (A) imago betina, (B) preparat, (C) koloni kutudaun pada daun muda jambu biji, (D) larva Coccinellidae memangsa nimfa kutudaun, (E) imago kumbang Coccinellidae. 70 Semut dan Hama Mamalia. Semut menyebabkan kerugian secara langsung dan tidak langsung pada tanaman jambu biji. Beberapa spesies semut berasosiasi dengan kutu putih (Gambar 38A), kutukebul, kututempurung dan kutudaun. Semut memanfaatkan embun madu dari serangga-serangga tersebut, sehingga semut merugikan karena membantu melindungi serangga tersebut dari serangan parasitoid dan predator juga membantu pemencarannya. Banyaknya semut pada buah bagi petani sangat mengganggu pada saat panen. Selain berasosiasi dengan serangga penghasil embun madu, beberapa spesies menyebabkan kerugian secara langsung yaitu semut membuat sarang pada buah (Gambar 38B) menyebabkan buah berlubang. Semut bersembunyi pada bagian bekas kelopak bunga sehingga pada saat panen bisa terbawa ke tempat penjualan. Hama mamalia antara lain burung, memakan buah jambu biji yang telah matang di pertanaman. Buah tidak seluruhnya dimakan, dan sisanya menyebabkan datangnya serangga-serangga lain yang mengerubuti buah (Gambar 38C). A Gambar 38 B C Gejala oleh semut (Hymenoptera: Formicidae) dan mamalia: (A) semut yang berasosiasi dengan kutu putih, (B) semut membuat sarang pada buah jambu biji matang, (C) bekas gerigitan hama mamalia. Penyakit yang Ditemukan pada Tanaman Jambu Biji Penyakit yang ditemukan pada beberapa lahan di Rancabungur dan kampus IPB Darmaga meliputi penyakit yang disebabkan oleh cendawan, alga, dan kerusakan fisik mekanis. Penyakit antraknosa merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman jambu biji yang telah tersebar luas (Misra 2004). 31 Tabel 4 Penyakit yang terdapat pada pertanaman jambu biji di Rancabungur dan lahan kampus IPB Darmaga, Bogor Penyakit Patogen Rancabungur Bagian tanaman yang Lahan 1 Lahan 2 Lahan 3 bergejala pucuk, daun muda, ranting, buah muda, buah matang di √ √ √ pertanaman, buah di penyimpanan IPB Darmaga Antraknosa Gloeosporium sp. dan Colletotrichum sp. Kanker buah Pestalotia Pestalotia sp. buah muda √ √ √ √ Bercak daun kelabu Pestalotia sp. daun tua √ √ √ √ Karat merah Cephaleuros spp. daun muda, daun tua, ranting, bunga, buah √ √ √ √ Penyakit layua Fusarium sp. cabang terminal, daun, buah - - - √ Busuk buah kering Botryodiplodia Botryodiplodia sp. buah - √ - √ daun, ranting, buah √ √ √ √ buah, batang √ - √ √ daun muda √ √ - √ Buah hitam terbakar sinar matahari langsung buah √ √ √ - Buah memar buah - √ √ - Embun jelaga Kanker buah oleh fungi askomiset Bercak merah muda* Keterangan: (√) dijumpai (-) tidak dijumpai (a) dijumpai di Rancabungur pada lahan lain √ (*) belum teridentifikasi 71 72 Pada lahan pengamatan tingkat keanekaragaman penyakit hampir sama. Beberapa penyakit yaitu antraknosa, bercak daun kelabu, kanker buah Pestalotia, embun jelaga, dan karat merah ditemukan pada setiap lahan pengamatan. Pada ketiga lahan di Rancabungur tidak ditemukan gejala penyakit layu, penyakit ini ditemukan pada lahan jambu biji lain di Rancabungur yaitu pada varietas kristal. Pada lahan kampus IPB Darmaga kerusakan fisik mekanis berupa buah hitam terbakar sinar matahari langsung dan buah memar tidak ditemukan. Jambu biji kristal pada lahan ini memiliki daging buah yang tebal dan tidak lunak ketika matang. Pada lahan pertanaman jambu biji 4,5 bulan penyakit yang diamati adalah antraknosa dan bercak kelabu. Pada lahan pertanaman jambu biji 1,5 tahun, penyakit yang diamati adalah antraknosa, bercak merah pucuk, dan bercak kelabu. Pada lahan 3 penyakit yang diamati adalah karat merah Cephaleuros sp. Antraknosa Penyakit antraknosa terdapat pada ketiga lahan pertanaman jambu biji di Rancabungur dan kampus IPB Darmaga. Kejadian penyakit dan intensitas penyakit paling tinggi yaitu pada lahan jambu biji 1,5 tahun. Pada lahan jambu biji 4,5 tahun gejala penyakit ini ditemui terutama pada buah yang telah matang namun intensitasnya sangat rendah sehingga tidak diamati perkembangannya. Pada lahan 1, perkembangan intensitas penyakit setiap minggunya tidak berbeda jauh. Intensitas tertinggi yaitu pada minggu pertama Mei (Gambar 39). Penyakit antraknosa pada lahan pertanaman jambu biji berumur 1,5 tahun, gejala yang diamati terutama gejala nekrotik pada pucuk. Gejala gugur buah baru muncul pada minggu ke-6 pengamatan. Pada lahan 2 intensitas di awal pengamatan merupakan intensitas tertinggi (Gambar 39). Pada bulan Maret dan awal April hujan terus-menerus menyebabkan intensitas penyakit ini tinggi karena salah salah satu penyebaran patogen penyebabnya yaitu oleh percikan air (Semangun 1994) dan berkembang baik pada kondisi basah (Lim & Manicom 2006). Penurunan intensitas pada minggu ke-4 Maret dikarenakan pucuk yang mengalami nekrotik banyak yang gugur sehingga gejala pada ranting tidak begitu jelas. 73 Sejak awal bulan April sampai terakhir pengamatan intensitasnya terusmenerus mengalami penurunan (Gambar 39). Pada pengamatan terakhir hanya kejadian penyakitnya hanya 15%. Hal ini diduga karena hujan yang semakin jarang terjadi terutama pada bulan April, namun ketika hujan kembali turun sejak minggu ke-2 Mei intensitas penyakitnya tetap menurun. Intensitas penyakit (%) 25 20 lahan 1 lahan 2 15 10 5 0 2 3 4 1 2 Maret 3 4 April 1 2 3 Mei Minggu pengamatan Gambar 39 Intensitas penyakit antraknosa pada tanaman jambu biji di lahan 1 dan 2. Gejala yang terutama terlihat pada saat pengamatan adalah nekrotik pada pucuk (Gambar 40A), gejala ini bisa berkembang ke bagian pangkal dan menyebabkan mati ujung. Daun muda keriting dan nekrotik pada bagian ujungnya (Gambar 40B). Buah jambu biji yang terinfeksi ketika masih muda muncul bercak nekrotik yang kemudian menyatu. Bercak terus berkembang hingga seluruh permukaan buah tampak hitam (Gambar 40C). Buah selanjutnya akan mengering dengan cepat dan menjadi keras (mumifikasi), dan seringkali retak. Cendawan menginfeksi buah sampai ke bagian dalam. Bagian dalam buah tersebut mengandung patogen (Gambar 40D). Buah jambu biji muda yang terinfeksi tidak selalu menimbulkan gejala. Cendawan penyebab antraknosa ini dapat dorman selam 3 bulan (Semangun 1994) dan menyebabkan pembusukan pada buah ketika buah matang (Gambar 40E-F). Buah yang terinfeksi dapat menularkan cendawan ke buah lainnya jika terbawa ke penyimpanan. Buah yang sebelumnya terlihat sehat dapat 74 menunjukkan gejala busuk setelah penyimpanan beberapa hari. Gejala yang pada buah matang yaitu pada buah terbentuk bercak coklat berbatas jelas dan mengendap (Gambar 39G). Buah jambu biji terkena antraknosa secara berangsur menurun kandungan gizinya (Amusa et al. 2006). Penyebab penyakit antraknosa yaitu cendawan Gloeosporium sp. (Gambar 40H) dan Colletotrichum sp. (Gambar 40I). Pada kondisi lembab, pada buah yang terinfeksi cendawan membentuk spora (konidia) dalam jumlah banyak yang terikat dalam masa miselia berwarna merah jambu terang yang memenuhi permukaan buah. Cendawan ini Colletotrichum sp. terutama dipencarkan oleh percikan air (Lim & Manicom 2006; Semangun 1994) dan serangga (Semangun 1994). Menurut Amusa et al. (2006) cendawan Colletotrichum spp. dapat dipencarkan antara lain oleh lalat buah. Penyebaran penyakit paling tinggi dalam kondisi basah. Pada buah, bercak berkembang pada berbagai stadia perkembangan buah dan perkembangan sangat cepat terjadi pada suhu 30 °C. Penyakit antraknosa merupakan penyakit umum di pertanaman jambu biji. Penyakit ini telah menyebar ke berbagai negara, terutama yang membudidayakan jambu biji secara intensif seperti India. Di India, antraknosa merupakan salah satu penyakit penting sehingga penelitian dan perancangan terhadap varietas tahan terhadap penyakit ini telah banyak dilakukan (Misra 2004). Pengelolaan penyakit ini antara lain dengan melakukan sanitasi yaitu membuang ranting dan buah dan bagian tanaman sakit lain, karena pada kondisi lembab pada bagian tanaman yang sakit cendawan akan mudah berkembang dan bisa menjadi inokulum sumber infeksi. Selain itu dengan cara mengurangi kelembaban mikro tanaman jambu biji dengan mengatur jarak tanam yang tidak terlalu rapat, melakukan pemangkasan agar tanaman jambu biji tidak terlalu rimbun, membiarkan sebagian gulma pada lahan sekeliling tanaman untuk menahan percikan air hujan. Pengendalian menggunakan pestisida dapat dilakukan dengan aplikasi pestisida berbahan aktif benomil dan karbendazim pada pertanaman maupun pada buah yang telah dipanen dengan dicampur air panas (Lim & Manicom 2003). 75 A B E D F H.1 I.1 Gambar 40 C G H.2 I.2 Gejala dan penyebab penyakit antraknosa pada tanaman jambu biji: (A) mati pucuk, (B) bercak nekrotik pada daun muda, (C) bercak nekrotik yang meluas pada buah muda, (D) kanker buah (mumifikasi) pada buah muda, cendawan menginfeksi buah muda sampai ke bagian dalam buah, (E & F) gejala busuk buah pada buah matang di pertanaman, (G) bercak nekrotik cekung pada buah di penyimpanan, (H) Cendawan Gloeosporium sp. (1. konidiofor dan konidia; 2. konidia), (I) Cendawan Colletotrichum sp. dari buah matang (1. Bagian dari aservulus; 2. konidia). 76 Kanker Buah Pestalotia dan Bercak Daun Kelabu Kanker buah umum ditemukan di pertanaman jambu biji di Kecamatan Rancabungur dan Kampus IPB Darmaga, terutama pada pertanaman jambu biji yang sedang memasuki masa generatif. Pada ketiga lahan pengamatan gejala yang diamati yaitu bercak daun kelabu. Penyakit ini juga dikenal dengan sebutan nekrosis buah, kanker buah Pestalotia, dan kanker buah berkudis (Lim & Manicom 2003). Pada lahan 1 dan 2 penyakit ini sering ditemui sehingga diamati perkembangan intensitasnya. Pada lahan 3 bercak jarang ditemui. Intensitas penyakit pada kedua lahan relatif rendah karena umumnya hanya terdapat satu atau dua bercak pada daun-daun tua. Namun keberadaan patogen ini dapat menjadi sumber inokulum yang dapat menyebabkan kanker buah pada saat jambu biji memasuki masa generatif. Pada lahan 1 intensitas penyakit pada awalnya mengalami peningkatan dan paling tinggi pada minggu pertama April (Gambar 41). Intensitas penyakit menurun kembali setelahnya. Pada lahan 2 intensitas penyakit di awal pengamatan yaitu pada minggu kedua Maret paling tinggi. Pada minggu berikutnya cenderung menurun kemudian meningkat lagi Intensitas penyakit (%) pada minggu pertama Mei (Gambar 41). 2 lahan 1 lahan 2 1.5 1 0.5 0 2 3 Maret 4 1 2 3 4 April Minggu pengamatan 1 2 Mei 3 Gambar 41 Intensitas penyakit bercak daun kelabu pada tanaman jambu biji di lahan 1 dan 2. Pada daun gejalanya berupa bercak kelabu berbatas jelas (Gambar 42A). Pada infeksi awal, mula-mula pada buah yang masih hijau terdapat bercak gelap, kecil, yang membesar, berwarna coklat tua, yang terdiri dari jaringan mati. Lama kelamaan bercak meluas ke seluruh permukaan buah, buah mengering dan terjadi 77 mumifikasi (Gambar 42B), pada bercak kadang-kadang terbentuk retakan. Pada kondisi lembab pada buah yang sakit, cendawan membentuk miselium putih kelabu. Buah yang telah mengeras pada tanaman seringkali sulit dibedakan penyebabnya dengan antraknosa. Cendawan juga menginfeksi ujung ranting tanaman yang sebelumnya telah diserang oleh serangga. A Gambar 42 B C Gejala dan penyebab penyakit bercak kelabu dan kanker buah Pestalotia: (A) bercak kelabu pada daun tua, (B) mati ujung, (C) kanker buah pada buah kecil yang terkena gerekan serangga, (D) konidia Pestalotia sp. Penyebab penyakit ini adalah Pestalotia sp. (Gambar 42C). Cendawan ini merupakan parasit luka, sehingga penyakit ini berasosiasi dengan aktivitas makan serangga antara lain Helopeltis sp. dan infeksi cendawan lain. Cendawan ini sering ditemukan berasosiasi dengan cendawan lain yaitu dengan Gloeosporium penyebab antraknosa atau cendawan parasit luka lainnya yaitu Botryodiplodia. Perkembang penyakit maksimum pada suhu 25-30 °C dengan kelembaban tinggi (Kaushik et al., 1972 dalam Misra 2004). Cendawan dapat berkembang baik pada suhu 15-30 °C. Pertumbuhan terbaik dan sporulasi terjadi pada suhu 26 °C. Pada penelitian di laboratorium perkecambahan spora maksimum pada suhu 30 °C dan pada suhu di bawah 15 °C atau di atas 40 °C, cendawan tidak berkecambah (Ramaswamy et al. 1984 dalam Misra 2004). Medium terbaik unutk perkecambahan adalah ekstrak buah jambu biji, optimum pH optimum untuk pertumbuhan cendawan adalah 3,9-4,9 dan pertumbuhan maksimum pada pH 4,9 (Misra 2004). Pengelolaan penyakit ini bisa dilakukan dengan mengendalikan serangga yang dapat menyebabkan penyebaran cendawan, membuang buah dan daun yang sakit kemudian dipendam atau dibakar untuk mengurangi sumber infeksi (Lim et 78 al. 1986 dalam Semangun 1994). Penggunaan ekstrak daun Occimum sanctum dapat menghambat perkecambahan spora cendawan (Misra 2004). Pengelolaan secara kultur teknis dapat dilakukan dengan menaikkan pH tanah jika tanah dalam kondisi asam. Karat Merah Karat merah merupakan penyakit yang disebabkan oleh alga Cephaleuros spp. Alga menyebabkan bercak pada daun, bunga, dan buah. Bercak daun yang disebabkan oleh alga hampir selalu ditemukan pada setiap lahan pertanaman jambu biji di Kecamatan Rancabungur dan kampus IPB Darmaga. Pada lahan 3 (umur tanaman tua), bercak ini tampak dominan karena bercak telah menginfeksi lama sebelum pengamatan dan pada tanaman jambu biji tersebut sudah banyak daun-daun tua. Intensitas penyakit karat merah tinggi pada awal pengamatan dan pada minggu ke-3 April sampai Mei. Intensitas penyakit tertinggi yaitu pada minggu pertama Mei (Gambar 43). Intensitas penyakit yang tinggi pada bulan April karena minggu-minggu sebelumnya hujan terjadi terus-menerus. Menurut Marlatt & Campbell (1980), patogen Cephaleuros sp. bersporulasi selama periode curah hujan tinggi. Selama hujan patogen mengalami sporulasi dan memperluas serangan pada tanaman jambu biji. Bagian tanaman jambu biji terutama daun yang terinfeksi, akan tetap bergejala pada minggu pengamatan berikutnya. Pada lahan tanaman jambu biji muda (lahan 1), gejala oleh infeksi alga ini telah muncul namun hanya beberapa daun, sedangkan pada lahan jambu biji dengan umur tanaman 1,5 tahun (lahan 2) karat merah hanya terdapat pada daundaun tua pada cabang bawah sehingga tidak diamati intensitasnya. Berdasarkan pengamatan, gejala awal alga pada daun ada dua macam. Pertama gejala awal ditunjukan dengan adanya bercak berwarna coklat tua pada daun, terutama daun tua. Pada sekeliling bercak daun menjadi klorotik. Bercak bisa menyatu menjadi bercak yang besar dengan bentuk tidak teratur. Bercak pada daun ukurannya bervariasi mulai dari yang hanya berupa bintik-bintik kecil sampai bercak besar (Gambar 44A). 79 Intensitas Penyakit 28.0 24.0 20.0 16.0 12.0 8.0 4.0 0.0 2 3 Maret 4 1 2 3 4 April 1 2 3 Mei Minggu pengamatan Gambar 43 Intensitas penyakit karat merah pada tanaman jambu biji 4,5 tahun (lahan 3). Gejala awal yang kedua, bercak muncul pada daun muda maupun tua. Bercak berwarna kehitaman (pada daun muda) (Gambar 44B) atau merah kecoklatan (pada daun tua) dengan batas jelas. Bercak ini jika mengering berwarna abu-abu pada bagian tengahnya dan bagian tepi tetap berwarna merah kecoklatan. Pada sekeliling bercak, terbentuk klorotik namun tidak begitu jelas. Beberapa daun yang bergejala diikuti gejala keriting. Bercak tipe kedua ini ditemukan pada jambu biji varietas Kristal. Bercak tersebut tersebar atau penuh, pada ujung daun, tepi daun, atau lebih sering terdapat pada bagian yang dekat dengan tulang daun. Pada kondisi lembab, pada bercak tersebut tumbuh talus yang muncul pada permukaan atas, permukaan bawah daun, atau talus menembus tumbuh sekaligus pada permukaan bawah dan permukaan atas daun. Bunga yang terbentuk pada cabang yang terinfeksi, menunjukkan gejala bercak kehitaman. Pada buah muda yang terinfeksi, gejala bercak kehitaman cenderung cekung. Kadang-kadang timbul retakan pada bercak yang sudah lama seiring dengan pembesaran buah. Penetrasi patogen pada buah terbatas pada lapisan sel di bawah epidermis. Patogen dapat menginfeksi jaringan angkut pada ranting muda sehingga ranting sulit tumbuh memanjang dan tidak terbentuk buah, jika buah sudah terbentuk buah menjadi kering dan mati (Gambar 44C). Keberadaan bercak pada daun tersebut mengurangi luas permukaan proses fotosintesis tanaman. Selain itu, infeksi alga ini dapat menyebabkan perubahan 80 A B D Gambar 44 E Gejala dan penyebab penyakit karat merah (Cephaleuros spp.): (A) gejala awal 1 berupa bercak coklat kecil atau menyatu, (B) gejala awal 2 berupa bercak kehitaman pada daun muda, (C) buah mati karena jaringan pengangkut mati, (D) talus terbentuk pada bercak, seperti beludru berwarna oranye, (D) sporangium Cephaleuros sp. A Gambar 45 C B Alga yang berasosiasi dengan Cephaleuros sp.: (A) bercak kelabu seperti kerak pada permukaan atas daun jambu biji tua, (B) struktur mikroskopik. 81 fisiologi tanaman dengan berkurangnya kandungan yang terdapat dalam daun jambu biji (Misra 2004). Alga Cephaleuros spp. menyebar antara kutikula dan epidermis dan mempenetrasi sel epidermis. Sel yang terinfeksi akhirnya mati (Misra 2004). Penyakit ini sering disebut dengan karat merah karena pada permukaan atas daun ditumbuhi talus yang tegak, dengan filamen berwarna kuning hingga merah dengan badan buah (Misra 2004). Kumpulan filamen dari alga nampak seperti beludru berwarna orange (Gambar 44D). Talus tersebut rata, pendek, rapat dan penuh dengan filamen yang bercabang. Di bawahnya terdapat rizoid bercabang yang tidak teratur. Filamen tumbuh mulai dari tepi bercak kemudian memenuhi seluruh permukaan bercak. Sebagian besar badan buah (terlihat) jelas yang terdiri dari 1-8 filamen multiseluler yang tegak lurus (Misra 2004). Setiap pedisel menghasilkan sporangium berbentuk buah pir atau hampir bulat (Gambar 44E) yang akhirnya akan memencarkan 8-32 spora motil biflagelat. Bercak menyebar melalui seluruh lamina segera setelah talus muncul dan sporulasi terjadi pada permukaan bercak pada permukaan bawah, atas atau pada keduanya sekaligus. Berbeda dengan laporan Marlatt dan Campbell (1980) yang menyatakan pada jambu biji sporulasi hanya terjadi di permukaan bawah daun. Pada permukaan daun tanaman tua seringkali terdapat bercak keperti kerak berwarna abu-abu kusam (Gambar 45). Bercak berupa bercak-bercak kecil yang tidak menyatu, dalam jumlah banyak bercak akan menutupi hampir seluruh permukaan atas daun. Bercak ini seringkali berada pada permukaan daun bersama dengan alga hijau Cephaleuros spp. Busuk Buah Botryodiplodia Buah jambu biji yang terinfeksi menunjukkan gejala seperti kanker, namun buah jambu biji ini tidak terlalu keras seperti kanker buah (Gambar 46A). Penyebab penyakit ini adalah cendawan Botryodiplodia sp. (Gambar 46B). Konidia cendawan teridentifikasi dari permukaan buah muda yang kering. Cendawan Botriodiplodia merupakan cendawan parasit lemah atau parasit luka, menginfeksi bagian tanaman yang terdapat bekas aktivitas serangga atau pada bagian tanaman yang telah terinfeksi patogen lain. Pada tanaman pathogen 82 ini ditemukan berasossiasi dengan Gloeosporium sp. dan Pestalotia sp. penyebab kanker buah . Menurut Semangun (1994), cendawan ini dapat menginfeksi buah jambu biji sejak di pertanaman maupun di penyimpanan. Cendawan menyebabkan busuk basah pada jambu biji yang sudah matang. Penyakit Layu Penyakit layu ditemukan pada tanaman jambu biji varietas kristal di Rancabungur dan Kampus IPB Darmaga. Penyakit ini selama pengamatan pada ketiga lahan (jambu biji merah) tidak ditemukan. Semangun (1994) menyatakan penyakit layu merupakan penyakit penting di India, dan berbagai laporan dalam Gupta et al. (2010) penyakit layu juga terdapat di negara-negara lain yaitu Florida, Taiwan, Kuba, Afrika Selatan, Brazil, Pakistan, Banglades, dan Australia. Di India sampai saat ini penyebaran penyakit layu semakin meluas dan laporan dari berbagai varietas jambu biji pun semakin bertambah. Varietas jambu biji di India tidak ada yang tidak terinfeksi penyakit ini (Gupta et al. 2010). Bagian tanaman yang terinfeksi menunjukkan gejala perubahan warna menjadi kuning, daun sedikit mengeriting pada pangkal cabang, menjadi kemerahan, kemudian diikuti dengan rontoknya daun-daun pada cabang tersebut. Ranting cabang menjadi gundul, dan sulit untuk menghasilkan daun baru atau bunga dan akhirnya mengering (Gambar 47A). Buah yang telah terbentuk pada ranting yang terinfeksi tidak berkembang, berwarna hitam, dan menjadi keras. Setelah mengering buah ini kemudian rontok. Gejala penyakit layu yang diamati menunjukan gejala layu parsial. Di berbagai negara, penyakit layu menyebabkan kematian seluruh tanaman sehingga dapat memusnahkan pertanaman jambu biji. Penyebab penyakit layu yang teridentifikasi yaitu cendawan Fusarium sp. (Gambar 47B). Cendawan Fusarium merupakan patogen penyebarannya ke seluruh dunia. Cendawan ini paling banyak menyebabkan penyakit layu pada berbagai tanaman (Naik et al. 2008). Dari berbagai laporan, spesies Fusarium yang pernah dilaporkan berasosiasi dengan penyakit layu antara lain Fusarium oxysporum, Fusarium oxysporum f. sp. psidii, dan F. solani, (Gupta et al. 2010). 83 Sebagai cendawan tular tanah, Fusarium cukup sulit untuk dikendalikan. Terutama jika pengelolaan ini menggunakan pestisida yang diaplikasikan pada tanaman yang berada di atas permukaan saja. Pengelolaan terhadap penyakit layu harus dilakukan sejak persiapan untuk penanaman. Lubang tanam diberi fungisida dan ditutup selama 3 hari, kemudian dibuka dan dibiarkan. Bibit jambu biji ditanam minimal 2 minggu setelahnya. Bagian yang berpenyakit dibuang dan dibakar dijauhkan dari pertanaman. Pemberian bahan organik dapat mengurangi perkembangan penyakit layu karena penyakit berkembang pada tanaman yang kekurangan nitrogen (Gupta et al. 2010). Pengedalian menggunakan pestisida dari bahan tanaman merupakan pengendalian yang ramah lingkungan. Tanaman yang berpotensi untuk mengendalikan Fusarium antara lain Azadirachta indica, Ocimum sanctum, dan Curucuma longa (Gupta et al. 2010). Embun Jelaga Embun jelaga merupakan cendawan saprofit yang menyebabkan kerugian tidak langsung. Cendawan hidup pada daun, batang, sampai buah jambu biji membentuk tenunan padat sehingga menutupi permukaan bagian tanaman jambu biji. Cendawan ini berasosiasi dengan serangga penghasil embun madu seperti beberapa spesies kutu putih, kutukebul, kututempurung dan kutudaun. Keberadaan cendawan ini seringkali sebagai penanda keberadaan serangga tersebut. Gejala kolonisasi embun jelaga yaitu pada permukaan atas daun tertutupi oleh koloni berwarna hitam. Penutupan pada daun ini menyebabkan berkurangnya luasan daun untuk proses fotosintesis dan permukaan daun menjadi kotor. Cendawan tidak hanya terdapat pada daun, tetapi juga pada ranting dan buah. Buah yang tertutup oleh embun jelaga menjadi tidak menarik (Gambar 48A ). Penyebab embun jelaga yang teridentifikasi yaitu cendawan Triposporium sp. (Gambar 48B). Cendawan ini berasosiasi dengan kutukebul A. dispersus dan kutu putih M. hirsutus. 84 A Gambar 46 B Gejala dan patogen penyebab busuk buah kering Botryodiplodia: (A) buah muda kering seperti gejala kanker, (B) konidia Botryodiplodia sp. A B Gambar 47 Gejala dan penyebab penyakit layu pada tanaman jambu biji: (A) tunas pinggir tanaman layu dan mengering, (B) konidia Fusarium sp. A B Gambar 48 Gejala dan penyebab penyakit embun jelaga: (A) embun jelaga hitam menutupi permukaan daun dan buah, (B) konidia Triposporium sp. 85 Kanker Buah oleh Fungi Askomiset Kanker buah oleh fungi askomiset ini mudah dikenali karena pada permukaan buah yang terinfeksi terlihat struktur berwarna oranye menutupi permukaan buah (Gambar 49). Buah yang terinfeksi yaitu buah-buah yang masih kecil. Buah berwarna coklat gelap dan menjadi keras. Selain pada buah, pathogen juga ditemukan pada batang jambu biji kering. Bercak Merah Pada daun muda tanaman jambu biji pada lahan 1 dan 2 seringkali ditemukan gejala bercak merah (Gambar 50). Bercak hanya pada daun muda, tidak pada pucuk yang belum membuka. Bercak ini akan berubah menjadi pudar atau cenderung tidak terlihat jika daun tanaman yang bergejala menua. Penyakit ini selalu ada pada lahan jambu biji sedang, dengan intensitas berkisar antara 4,3 sampai 21,3% (Lampiran 4). Selain berpengaruh pada pengurangan luas permukaan fotosisentesis tanaman, penyakit bercak merah ini asosiasi dan kerugian lanjutnya belum diketahui. Kerusakan Fisik dan Mekanis Buah jambu biji yang dibungkus jika menggunakan plastik yang tipis akan menyebabkan plastik menempel pada buah jambu biji. Pada saat terkena sinar matahari langsung, buah akan terbakar. Pada bagian luar buah berwarna hitam dan rasa buah jambu biji berubah. Pada gejala yang berat buah tidak dapat berkembang sempurna, hitam dan mengering sampai ke bagian dalamnya (Gambar 51A). Penggunaan koran pada pembungkusan dapat mencegah buah terbakar langsung. Panen buah jambu biji di Rancabungur dilakukan secara berjadwal karena ditangani oleh tengkulak. Seringkali ada beberapa buah yang terlambat panen sehingga terlalu matang. Selama distribusi buah ini akan memar (Gambar 51B) dan semakin mempercepat pembusukan sehingga buah tidak dapat dipasarkan. 86 A Gambar 49 B Gejala dan penyebab kanker buah oleh fungi askomiset: (A) buah kecil mengering dan ditumbuhi fungi askomiset pada permukaannya, (B) struktur mikroskopik. Gambar 50 Gejala bercak merah pada daun muda jambu biji. A B Gambar 51 Gejala kerusakan fisik mekanis pada buah jambu biji: (A) buah jambu biji hitam terbakar matahari, (B) buah memar. 87 Karakteristik Petani Tanaman Jambu Biji di Rancabungur Terdapat variasi umur dari petani jambu biji responden. Sebagian besar petani responden adalah berusia pertengahan (31-50), yaitu 45%, generasi muda sebanyak 5%, tidak ada petani yang berusia di bawah 20 tahun, dan 25% berusia lebih dari 60 tahun (Tabel 5). Petani merupakan mata pencaharian paling banyak di Desa Bantarsari (41,4%) dan Bantarjaya (53%), 75% petani responden mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian utama, dan 25% menjadikan pertanian sebagai sampingan selain bekerja sebagai guru, pedagang, wiraswasta, pengelola ojeg, ibu rumah tangga maupun mahasiswa. Sebagian besar petani responden merupakan lulusan dari Sekolah Dasar (35%). Petani yang mendapat pendidikan dasar sembilan tahun yaitu lulus SLTP 20%, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas 30%, dan 15% merupakan lulusan Perguruan Tinggi. Namun, tidak ada yang mendapat pendidikan formal dari bidang pertanian sehingga dalam usaha tani yang paling utama adalah berdasarkan pengalaman yang turun temurun, atau pengalaman mereka sendiri dan petani lain di lapangan dan kadang-kadang mendapat pelatihan dari lembaga pemerintah maupun lembaga pendidikan pertanian. Jambu biji bukan merupakan tanaman baru di Kecamatan Rancabungur ini, namun usaha tani jambu biji dalam skala komersial belum lama dikembangkan. Rata-rata petani memiliki pengalaman pertama dalam usaha tani jambu sehingga umur tanaman jambu biji sekarang adalah lama pengalaman usaha tani jambu mereka. Petani responden memiliki pengalaman usaha tani jambu biji paling lama selama 7 tahun, 80% memiliki pengalaman 1-6 tahun, dan beberapa petani baru memulai menanam jambu biji (kurang dari 1 tahun) (Tabel 5). Status Kepemilikan dan Luas Pengusahaan Lahan Jambu Biji Petani di Rancabungur Petani responden di desa Bantarsari dan Bantarjaya menanam jambu dalam petak-petak lahan yang tidak begitu luas, sebagian besar menanam pada lahan seluas 0,1 sampai 0,5 ha (60%), 25% pada lahan antara 0,5 sampai 1 ha, dan hanya 5% yang menanam jambu biji mencapai luas lebih dari 1 hektar (Tabel 6). 88 Tabel 5 Karakteristik petani jambu biji yang diwawancara di Kecamatan Rancabungur, 2010 Karakteristik Jumlah petani (orang) Persentase ≤ 20 0 0 21-30 1 5 31-40 3 15 41-50 6 30 51-60 5 25 > 60 5 25 Tidak sekolah 0 0 SD 7 35 SLTA 6 30 PT 3 15 Utama 15 75 Sampingan 5 25 ≤1 2 10 1< x ≤ 3 10 50 3<x≤6 6 30 >6 2 10 Kelas umur (tahun) Pendidikan Pekerjaan petani sebagai pekerjaan Pengalaman bertani jambu biji (tahun) Petani umumnya menanam jambu biji tidak dalam satu luasan lahan yang menyatu melainkan pada beberapa petak lahan yang tempatnya terpisah-pisah. Hal ini berhubungan dengan kepemilikan lahan dimana dalam satu luasan areal pertanian di Desa Bantarjaya adalah merupakan milik beberapa petani. Meskipun sebanyak 80% petani responden membudidayakan jambu biji pada lahan sendiri, namun hanya dalam lahan yang sempit sehingga 25% petani responden yang menanam jambu pada lahan sendiri sekaligus menyewa dari pemilik lahan lain, 89 5% menanam pada lahan sendiri sekaligus sebagai penggarap pada lahan petani, 15% petani responden hanya sebagai penggarap pada lahan pertanaman jambu biji orang lain (Tabel 6). Tabel 6 Kepemilikan lahan dan luas pengusahaan lahan jambu biji oleh petani responden Lahan Jumlah petani Persentase Milik sendiri 9 45 Milik sendiri dan sewa 5 25 Milik sendiri dan penggarap 1 5 Sewa 2 10 Penggarap 3 15 ≤ 0,1 ha 2 10 0,1 ha < x ≤ 0,5 ha 12 60 0,5 ha < x ≤ 1 ha 5 25 >1 ha 1 5 Status kepemilikan Luas pengusahaan Petani di desa Bantarjaya dan Bantarsari umumnya menanam sayuran, palawija, dan tanaman pepaya. Penanaman sayuran dilakukan secara terus menerus dengan teknik budidaya yang intensif menggunakan pestisida kimiawi, akibatnya permasalahan hama dan penyakit pada beberapa komoditas semakin sulit diatasi atau bahkan sampai gagal panen, sedangkan biaya operasional untuk pembelian pestisida semakin meningkat karena aplikasinya yang terus-menerus. Tanaman pepaya varietas kalifornia pada awalnya banyak dibudidayakan. Meskipun membutuhkan biaya operasional yang tinggi untuk pemupukan dan pestisida, tetapi karena pemasaran buah pepaya lebih terjamin (ke supermarket) dengan harga tetap dan relatif tinggi daripada harga jual ke pasar lokal. Pada tahun 2009 terjadi ledakan populasi kutu putih Paracoccus marginatus yang sulit diatasi dan menyebabkan kehilangan hasil. Selain itu, penyakit antraknosa dan busuk batang yang disebabkan oleh bakteri juga menyebabkan pertanaman pepaya 90 habis. Beberapa petani menjadikan tanaman jambu biji sebagai alternatif pengganti pepaya atau komoditas sayuran lainnya. Tanaman jambu biji dipilih sebagai alternatif karena beberapa keunggulannya antara lain pemeliharan jambu biji relatif lebih mudah, harga jual relatif tinggi pada saat awal-awal penanaman dengan modal yang relatif lebih sedikit dibandingkan modal untuk budidaya tanaman pepaya. Modal yang relatif sedikit ini dikarenakan sebagai tanaman tahunan jambu biji membutuhkan modal yang paling banyak hanya pada saat awal penanaman saja antara lain untuk pembelian bibit, lahan, pupuk, dan biaya tenaga kerja untuk pengolahan lahan. Sedangkan untuk perawatan selanjutnya biasanya dikerjakan sendiri oleh petaninya sehingga mengurangi biaya untuk tenaga kerja. Pemupukan hanya dilakukan setahun dua kali bahkan sebagian petani tidak mengaplikasikan pemupukan setelah tanaman tumbuh, dan biaya untuk pestisida lebih murah karena permasalahan hama dan penyakit tanaman jambu biji masih dianggap ringan dan tidak terlalu merugikan secara ekonomi. Keunggulan lain dari jambu biji yaitu buah jambu biji dipanen kurang lebih 2 kali dalam seminggu dan dapat berbuah sepanjang tahun jika kondisi lingkungan mendukung. Bibit yang digunakan berasal dari cangkok sehingga tanaman jambu biji sudah dapat mengahasilkan buah ketika umur tanaman baru mencapai 6 bulan-1 tahun. Keberhasilan petani lain dalam usaha tani jambu biji, juga menjadi salah satu pendorong ketertarikan petani responden (35%). Petani yang dijadikan contoh tersebut yaitu petani yang berada di sekitarnya dan petani di tempat-tempat lain yang lebih dulu mengembangkan jambu biji secara komersial dan luas seperti di Desa Cilebut, Tajur Halang, dan Bojong Gede. Alasan lainnya yaitu karena faktor dari petaninya sendiri seperti faktor usia dan pekerjaan, dengan budidaya yang relatif mudah beberapa petani responden yang telah berumur lebih dari 60 tahun atau memiliki pekerjaan utama lain mengisi waktu luang dengan menanam jambu biji, atau untuk petani yang hanya sebagai penggarap mengikuti saran pemilik yang lahannya dipercayakan pada petani tersebut. 91 Budidaya Tanaman Jambu Biji oleh Petani Bibit Untuk bibit cangkokan jambu biji merah semua petani responden memperoleh bibit dengan membeli dari petani lain (100%). Petani yang berpengalaman setelah umur tanaman mencapai tahunan, menambah lahan penanaman jambu biji berikutnya dengan membibitkan sendiri (5%). Sebagian petani membeli bibit dari petani lain sekaligus membeli dari proyek ICDF-IPB (35%) (Tabel 7). Tabel 7 Asal bibit jambu biji petani responden Asal bibit Membeli dari petani lain Jumlah petani 12 Persentase 60 7 35 1 5 Membeli dari petani lain dan membeli dari proyek Membeli dari petani lain dan membibitkan sendiri Bibit yang diperoleh dari petani lain ada yang berasal dari dalam satu desa atau tetangga dan ada juga yang berasal dari beberapa desa yang merupakan sentra pertanaman jambu biji seperti Cilebut, Tajur Halang, Bojong Gede, Citayem, Cendali, dan Kayu Manis. Desa asal bibit tersebut misalnya Cilebut para petaninya sudah lebih dulu mengembangkan jambu biji sebagai komoditas pertanian. Hampir semua tanaman jambu biji yang ditanam petani responden diperbanyak dengan cara mencangkok, kecuali untuk varietas Kristal yang berasal dari proyek diperbanyak dengan cara okulasi. Perbanyakan jambu biji dengan cara cangkok atau okulasi merupakan perbanyakan secara vegetatif, keturunannya akan memiliki sifat yang sama dengan induknya (Sujiprihati 1985), dan sudah dapat menghasilkan buah pertama relatif lebih cepat (6 bulan - 1 tahun setelah tanam) daripada tanaman jambu biji yang diperbanyak dengan cara generatif melalui biji (sekitar setelah umur tanaman jambu biji mencapai 2 tahun). Varietas jambu biji yang banyak dibudidayakan oleh petani di Rancabungur adalah jambu biji merah, yaitu sebanyak 90% petani responden. Umumnya petani 92 menggunakan lebih dari satu macam varietas jambu biji. Petani yang menanam jambu biji juga membudidayakan varietas lain yaitu jambu biji Kristal (35%), jambu biji Merah Getas (10%), jambu biji Bangkok (15%), dan jambu biji apel (10%) (Tabel 8). Tabel 8 Penggunaan varietas jambu biji oleh petani responden Varietas jambu biji Jumlah petani Persentase Jambu biji merah 18 90 Jambu biji merah getas 2 10 Jambu biji Bangkok 3 15 Jambu biji apel 1 5 Jambu biji Kristal 7 35 Jambu biji merah menjadi pilihan petani untuk dibudidayakan karena permintaan pasar dianggap cukup baik pada saat itu, selain itu jambu biji merah memiliki interval panen yang lebih cepat dibandingkan jambu biji Bangkok maupun jambu biji susu. Jambu biji Bangkok dapat dipanen 5-6 bulan setelah bunga mekar (Sujiprihati 1985). Jambu biji merah yang dibudidayakan oleh petani responden memiliki ciri-ciri buah jambu biji yang ukurannya relatif lebih besar dari jambu biji merah lokal dengan bobot buah mencapai 440 gram. Buah berbentuk bulat, berbentuk buah pir, permukaan buah tidak merata, berwarna hijau muda ketika matang, dan menjadi kuning merata setelah buah masak sempurna. Daun berbentuk oval panjang dengan warna daun pucuk hijau kemerahan dan menjadi hijau tua setelah daun menjadi tua. Jambu biji kristal juga banyak ditanam petani dan merupakan varietas yang baru di Kecamatan Rancabungur. Varietas Kristal merupakan varietas jambu biji unggul yang berbiji sedikit dengan daging buah berwarna putih. Daging buah tanpa biji (mesokarp) sangat tebal dari jambu biji yang berdiameter 10,5 cm, bagian pulpnya hanya sekitar 1 cm. Pola Tanam yang Dilakukan oleh Petani Sebanyak 75% petani melakukan pola tanam rotasi sebelum menanam jambu biji dan sekaligus tumpang sari pada saat menanam jambu biji (Tabel 7). 93 Rotasi bertujuan mengurangi serangan hama dan penyakit akibat pola tanam yang terus-menerus. Tanaman jambu biji yang ditanam dengan pola tumpangsari dengan tanaman bengkuang, kacang panjang, terong, bayam, kangkung, kacang tanah, timun suri, ubi jalar, singkong, jagung, pepaya, dan jati. Tanaman tumpang sari ini ditanam bersamaan dengan jambu biji. Jika telah panen diganti dengan tanaman lain. Petani responden umumnya melakukan tumpang sari hanya sampai umur tanaman jambu biji 1 sampai 2 tahun saja. Karena setelah dua tahun tajuk tanaman jambu biji sudah mulai rimbun sehingga kanopinya menghalangi sinar matahari untuk sampai langsung ke tanah. Pola tanam tumpang sari ini selain menguntungkan karena memberi hasil tambahan juga untuk menjaga agar tanaman jambu biji tetap terawat. Petani yang menanam jambu biji dengan pola terus-menerus hanya sedikit sebanyak 5%. Sebanyak 20% petani responden menanamnya dengan monokultur karena jambu biji ditanam pada lahan sempit (Tabel 9). Tabel 9 Pola tanam yang dilakukan oleh petani jambu biji di Rancabungur Pola tanam Jumlah petani Persentase Terus menerus 1 5 Rotasi sekaligus tumpang sari 15 75 Monokultur 4 20 Pengolahan Tanah dan Penanaman Pengolahan dilakukan dalam beberapa tahapan, tanah digemburkan dan dibersihkan gulma dan sampah. Pada tanaman jambu biji yang ditanam dengan tumpang sari, tanah dibuat guludan terlebih dahulu atau disesuaikan dengan komoditas tanaman yang akan ditanam sebagai tanaman tumpang sari. Jarak tanam jambu biji yang digunakan oleh petani jambu biji cukup beragam yaitu 2,5 x 2,5; 2 x 3; 3 x 3; 3,5 x 3; 4 x 4; 2,5 x 5; 5 x 5; 5 x 6; 6 x 4; 6 x 6 m. Populasi tanaman jambu biji per hektar antara 233,3 sampai 1200 tanaman per hektar. Jarak tanam yang cukup rapat 2,5 x 2,5 m sampai 3 x 3 m umumnya untuk tanaman jambu biji varietas kristal atau petani yang menanam pada lahan yang sempit. 94 Sebagian petani responden (65%) membuat lubang tanam dan 35% petani responden tidak membuat lubang tanam tertentu. Pada tempat yang akan ditanami dicangkul secukupnya kemudian dibumbun dengan tanah di sekelilingnya agar bibit tidak rebah. Ukuran lubang tanam yang dibuat cukup beragam yaitu 20 x 20 cm; 30 x 30 cm; 40 x 30 cm; 40 x 40 cm; 50 x 50 cm; 60 x 60 cm; 60 x 70 cm; dan 100 x 100 cm dengan kedalaman sekitar 20-60 cm. Lubang tanam dibuat sekitar 2 minggu sampai 1 bulan sebelum tanam atau petani membuat lubang tanam dan langsung menanam jambu biji. Tanah hasil galian dibagi menjadi dua, lapisan bawah dibiarkan selama satu minggu sampai 15 hari agar terkena sinar matahari untuk menghilangkan bibit penyakit (Soedarya 2010) sekaligus mengurangi sifat asam pada tanah tersebut. Tanah kemudian dicampur dengan pupuk kandang berupa kotoran kambing dengan dosis 3 sampai 40 kg per lubang tanam, dibiarkan selama satu minggu kemudian tanaman jambu biji segera ditanam. Beberapa petani responden (30%) mengaplikasikan insektisida berbahan aktif karbofuran pada lubang tanam, atau menebarkan garam di sekitar tanaman untuk mencegah serangan rayap dan ulat tanah. Perawatan Tanaman Jambu Biji pada Awal Penanaman Tanaman jambu biji yang telah ditanam disiram setiap 2 kali sehari, pagi dan sore jika tidak ada hujan. Petani yang menanam jambu biji dengan lubang tanam rendah melakukan pembumbunan agar tanaman tidak roboh oleh angin. Sebanyak 75% petani melakukan penyulaman tanaman jambu biji yang mati. Tanaman jambu biji mati disebabkan antara lain oleh rayap, kekeringan, ulat penggerek, busuk akar yang disebabkan cendawan, rebah karena angin, dan pencurian. Pemupukan Pemupukan yang dilakukan petani yaitu menggunakan pupuk organik dan anorganik. Semua petani responden melakukan pemupukan dengan menggunakan pupuk organik menggunakan kotoran kambing atau domba. Selain itu petani ada yang menggunakan kotoran kambing sekaligus kotoran ayam (5%) atau kotoran sapi (5%). 95 Dosis yang digunakan antara 20 sampai 60 kg per tanaman dengan aplikasi sekitar 3 bulan sekali sampai tanaman berumur 1 tahun. Setelah itu aplikasi dilakukan setiap 6 bulan sekali. Pupuk diaplikasikan beberapa sentimeter di sekeliling tanaman jambu biji untuk menghindari rayap. Dosis dan aplikasi pemupukan oleh petani responden bergantung pada umur tanaman dan varietas jambu biji serta pada kondisi ekonomi petani. Sebagian petani juga mengaplikasikan pupuk anorganik antara lain urea, ZA, KCl, TSP, SP 36, NPK, dan Phonska (pupuk majemuk yang mengandung unsur N, P, K, dan S) (Tabel 10). Tabel 10 Penggunaan pupuk anoraganik pada tanaman jambu biji oleh petani di Rancabungur Jenis pupuk Penggunaan oleh petani (%) Frekuensi aplikasi Urea 15 5 bulan sekali ZA 30 3-5 bulan sekali TSP 20 5 bulan -1 tahun sekali KCl 25 5 bulan -1 tahun sekali NPK 25 5 bulan -1 tahun sekali Phonska 20 1 tahun sekali Petani mengaplikasikan pupuk secara tunggal maupun dicampur. Pupuk majemuk seperti NPK dan Phonska diaplikasikan secara tunggal, pupuk Urea, ZA, TSP, dan KCl diaplikasikan secara tunggal maupun dicampur. Dosis yang diaplikasikan beragam, urea 100 sampai 500 gram per tanaman atau 250 sampai 312 kg per ha. Pupuk ZA 7, 403, dan 500 gram per tanaman atau 23,3, 83,3, 125 dan 312 kg per ha; pupuk TSP 7, 312, 403, dan 500 gram per tanaman atau 33,3, 125 dan 138,9 kg per ha; pupuk KCl 5,25, 7, 125, dan 500 gram per tanaman atau 20, 33,3, dan 136,67 kg per ha; pupuk NPK 40, 50, 138,9, dan 312 kg per ha; pupuk Phonska 66,7, 233,3, 312, 613 kg per ha. Petani juga menggunakan pupuk cair antara lain Bayfolan (10%), Gandasil B (50%), Gandasil D (5%), Plant Catalyst (5%), dan Super KCl (5%). Gandasil B banyak digunakan oleh petani karena tujuan penggunaannya adalah untuk merangsang pembentukan buah. 96 Pengendalian Gulma Pada pertanaman jambu biji yang ditanam secara tumpangsari pengendalian gulma dilakukan dengan intensif. Untuk persiapan lahan pada awal penanaman 95% petani menggunakan herbisida berbahan aktif isopropil amina glifosat dan 5% secara manual dilakukan sekaligus pada saat menggemburkan tanah menggunakan garu. Selama masa pertumbuhan 90% petani mengendalikan gulma dengan cara disiangi menggunakan arit atau dicabut jika memungkinkan dan 10% petani mengkombinasikannya dengan tetap menggunakan herbisida (Tabel 11). Penyiangan gulma pada pertanaman jambu biji yang sudah mencapai umur 1 tahunan atau lebih, gulma tidak dibabat sampai habis kecuali pada sekeliling tanaman. Penyiangan gulma biasanya dilakukan oleh pekerja perempuan. Pengendalian gulma tidak dijadwalkan, karena pertumbuhan gulma yang berbeda pada setiap masa pertumbuhan jambu biji. Jika gulma sudah terlihat tinggi dan mengganggu maka pengendalian segera dilakukan. Pengendalian dengan menggunakan hesbisida oleh petani pada masa pertanaman dilakukan dengan interval 2 bulan sekali. Tabel 11 Pengendalian gulma yang dilakukan oleh petani responden Pengendalian gulma Jumlah petani Persentase Sebelum tanam Menggunakan herbisida 19 95 Manual 1 5 18 90 2 10 Masa pertumbuhan tanaman Disiangi secara manual Disiangi secara manual dan kadang-kadang dengan herbisida Penggunaan Mulsa Sebanyak 50% petani responden menggunakan mulsa jerami untuk tanaman jambu biji, hanya 15% petani yang melakukannya secara rutin setiap 3-6 bulan sekali. Penggunaan mulsa berfungsi untuk menjaga kelembaban tanah saat musim kemarau, menghambat pertumbuhan gulma, dan menambah kesuburan tanah dan kegemburan tanah karena jika sudah terurai akan menambah bahan organik pada 97 tanah. Selain jerami, serasah daun dan daun yang dibuang ketika perempelan serta gulma yang telah disiangi digunakan juga sebagai mulsa dan pupuk hijau. Mulsa diaplikasikan di sekeliling tanaman. Pemangkasan Tanaman Petani responden di Rancabungur tidak melakukan pemangkasan yang sistematis dalam pemeliharaan tanaman jambu biji. Beberapa petani melakukan pemangkasan (25%), hanya untuk membuang ranting-ranting kering dan berpenyakit, atau tanaman rebah dan cabang patah karena tajuk terlalu rimbun dan tidak seimbang. Pada budidaya jambu biji untuk produksi buah, pemangkasan memiliki beberapa tujuan dan manfaat antara lain: (1) mengurangi tajuk tanaman agar tidak terlalu rimbun sehingga cahaya matahari tidak menghalangi bagian tanaman jambu biji yang berada di bawahnya. Cahaya matahari dapat merangsang terbentuknya tunas baru, sehingga produksi buah tinggi (Nakasone & Paull 1999; Agromedia 2009); (2) mengatur produksi dan umur produksi tanaman (3) membentuk tajuk seimbang sehingga tanaman kokoh; (4) membentuk tanaman sehingga memudahkan pemanenan (menghemat waktu, biaya, dan tenaga); (5) menjaga ukuran buah (semakin jauh dari batang utama, ukuran buah akan semakin kecil karena aliran hara dari akar akan semakin jauh) (Utami 2008). Pemangkasan dilakukan saat tanaman telah berumur 2 tahun (Agromedia 2009). Pemangkasan berikutnya dilakukan sesuai keadaan tanaman, menurut Rismunandar (1989) dapat dilakukan 2-3 tahun sekali atau 8-9 bulan sekali (Nakasone & Paull 1999). Dalam percobaan Respatie (2007) interaksi tinggi pangkasan dan dosis pemupukan urea berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman pada 6 MST, diameter batang pada 16-18 MST, dan jumlah cabang pada 8 MST hasil terbaik yaitu pemangkasan dengan panjang 50 cm dan pemupukan 90 g/tanaman dibandingkan kombinasi pemangkasan 75 dan 100 cm dan dosis pupuk urea 0 dan 180 g/tanaman. Pemangkasan juga perlu dilakukan setelah masa panen buah berakhir dengan harapan segera muncul tunas-tunas baru, disusul bunga baru pada musim berikutnya. 98 Pemangkasan dalam untuk tanaman jambu biji dapat dilakukan jika pertumbuhan tinggi tanaman sudah tidak ekonomis lagi, sehingga menyulitkan dalam perawatan dan pemanenan buah, produksi buah sudah menurun baik jumlah maupun ukurannya, tanaman sudah tampak merana (banyak buah yang tumbuh dari ranting yang pendek-pendek), dan setelah mengalami kerusakan hebat, misalnya akibat kerusakan hama ulat (Rismunandar 1989). Perempelan Daun dan Pengurutan Ranting Perempelan daun terhadap daun-daun tua dilakukan secara manual menggunakan tangan, setiap selesai panen buah jambu biji. Menurut Nakasone & Paull (1999), perempelan daun bisa digunakan cara kimiawi yaitu dengan menggunakan larutan urea. Larutan urea 15-25% dapat menyebabkan 90% daun gugur. Setelah perempelan daun dilakukan pengurutan ranting, untuk mengarahkan pertumbuhan ranting tersebut. Perempelan daun dan pengurutan ranting berfungsi untuk merangsang pembungaan. Setelah perempelan akan muncul daun baru pada tunas baru sekitar 3-4 minggu kemudian. Puncak pembungaan akan terjadi 9-12 minggu setelah perempelan (Nakasone & Paull 1999). Penjarangan dan Pembungkusan Buah Setelah tanaman jambu biji berumur sekitar 6 bulan setelah tanam, jambu biji akan segera berbuah. Untuk mencegah dari serangan hama dan penyakit terutama lalat buah, petani melakukan pembungkusan pada buah ketika buah itu masih kecil (100%), diameter buah sekitar 2 sampai 3,5 cm atau sekitar 1,5 bulan setelah bunga mekar. Semua petani menggunakan kombinasi plastik dan koran untuk pembungkusan buah (100%), dan 10% petani responden selain menggunakan plastik dan koran juga menggunakan jaring sterofom khusus untuk pembungkusan buah jambu biji kristal. Plastik dan koran merupakan bahan yang murah dan mudah didapat. Plastik yang digunakan antara lain berukuran 16 x 20 cm, 17 x 35 cm, dan 20 x 35 cm (jambu putih). Di dalamnya diberi koran untuk menghindari terpaan panas matahari langsung pada buah. Sebelum pembungkusan buah beberapa petani melakukan penyemprotan buah dengan pestisida. Petani 99 tidak melakukan penjarangan buah terhadap buah-buah yang muncul lebih dari satu, semua buah dibiarkan berkembang sampai panen sehingga ukuran buah tidak maksimal. Penjarangan buah menurut petani dapat mengurangi jumlah panen. Permasalahan dalam Usahatani Tanaman Jambu Biji Tanaman jambu biji pada awal petani membudidayakan jambu biji harga buah relatif tinggi sekitar Rp 6000,00/kg. Dengan semakin meningkatnya produksi jambu biji karena semakin banyak petani yang membudidayakan jambu biji harganya menjadi tidak stabil. Pada musim panen raya jambu biji harga buah jambu biji hanya sekitar Rp 500,00/kg. Dengan harga yang tidak stabil tersebut 55% petani responden menganggap harga yang rendah merupakan permasalahan utama dalam usahatani jambu biji (Tabel 12). Tabel 12 Permasalahan usahatani jambu biji Permasalahan usahatani Jumlah petani Persentase Hama dan penyakit 3 15 Modal 1 5 Air/irigasi 1 5 Cuaca 3 15 Pemasaran (harga) 11 55 Gangguan manusia 1 5 Harga yang relatif rendah dan permasalahan hama dan penyakit yang dianggap tidak terlalu merugikan menyebabkan pengelolaan petani terhadap jambu biji tidak dilakukan secara maksimal. Panen dan Pemasaran Tanaman jambu biji telah berbuah sejak 7 bulan sampai 1 tahun setelah penanaman. Pada awal tanaman berbuah, hasilnya masih sedikit karena tanaman baru belajar berbuah dan beberapa petani membuang buah-buah pertama tersebut. Pada umur tanaman 1 tahun setelah tanam, hasil panen buah jambu biji mulai banyak. Panen dilakukan dua kali dalam satu minggu, dan basanya ditangani oleh tengkulak. Produksi buah jambu biji juga dipengaruhi oleh curah hujan. Data 100 produksi jambu biji petani responden pada tabel 13. Data panen tersebut hanya pada tanaman jambu biji petani yang berumur di atas 1 tahun. Tabel 13 Produksi jambu biji petani responden di Rancabungur Populasi tanaman per ha kurang dari 250 Produksi per 1 kali panen (kg) Petani (%) per tanaman per ha rata-rata maksimum rata-rata maksimum 2-3 5 400-1200 2000 5 250-500 1,25-4,41 5-15 333,33-1363,64 1200-3500 60 500-750 1,28 4,49 800 2800 5 750-1000 1-1,2 3,2 833,33-2000 3000 10 Data produksi petani per tahun tidak diketahui karena panen rata-rata ditangani oleh tengkulak sehingga petani responden tidak mengingat secara keseluruhan berapa banyak produksi jambu biji pada setiap kali panen. Petani menjual jambu bijinya ke pada tengkulak (90%), hanya 10% yang memasarkan buah jambu bijinya sendiri. Jambu biji oleh tengkulak dipasarkan ke pasar induk yang ada di Jakarta dan Tangerang. Pengelolaan Hama dan Penyakit oleh Petani Pengamatan Hama dan Penyakit Sebagian besar petani melakukan pengamatan hama dan penyakit pada tanaman jambu bijinya (70%), namun hanya 10% yang melakukan pengamatan secara rutin setiap hari dan 15% satu atau dua kali setiap seminggu. Petani biasanya tidak hanya menanam jambu biji saja tetapi membudidayakan komoditas lain juga pada lahan yang berbeda. Berdasarkan pengamatan petani hama penting pada jambu biji adalah lalat buah (100%), ulat pucuk (30%), ulat penggerek buah (10%), kutukebul dan kutu putih (35%), semut (20%), ulat tanah (5%) dan ulat kantung (5%). Kehilangan hasil yang diakibatkan hama dan penyakit pada saat panen sekitar 0,3 sampai 10%. Perhitungan kehilangan hasil ini hanya terhadap buah-buah yang telah dipanen. Kehilangan hasil karena lalat buah dianggap paling tinggi di antara hama lain karena buah yang terinfestasi lalat buah tidak dapat dijual atau 101 dikonsumsi. Sedangkan kerusakan karena hama lain seperti kutu putih, buah yang menunjukan gejala tidak parah masih bisa dijual ke pasar lokal. Pengelolaan Hama dan Penyakit oleh Petani Pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan petani antara lain melaui teknik budidaya yaitu memberi pupuk organik secara rutin, menutup permukaan tanah di sekeliling tanaman dengan mulsa jerami, pembuangan buah yang terserang lalat buah, membuang ranting atau bagian tanaman yang terkena penyakit, ulat penggerek, memberi suplemen pada tanaman jambu, dan perempelan daun sekaligus membuang daun tua yang terserang kutukebul. Pengendalian fisik juga dilakukan yaitu dengan melakukan pembungkusan buah, memagari pertanaman dengan pagar bambu, dan menanam tanaman pagar. Beberapa petani membiarkan sisa-sisa buah jambu biji yang tidak dapat dijual karena rusak oleh serangan hama atau terinfeksi penyakit membusuk di pertanaman. Pengendalian yang intensif dilakukan oleh petani yaitu pembungkusan buah. Buah dibungkus sejak masih kecil sebelum buah jambu biji dapat diinfestasi oleh lalat buah. Cara pengelolaan ini cukup efektif mengendalikan lalat buah karena rata-rata petani memiliki lahan jambu biji tidak dalam skala luas. Petani juga melakukan pengendalian dengan menggunakan pestisida kimia sintetik (95%) yang dilakukan sejak tanaman belum berbuah dengan tujuan mencegah hama tersebut sebelum muncul. Aplikasi selanjutnya dilakukan berdasarkan status hama (60%) atau secara rutin (15%) setiap satu minggu satu kali (10%) atau dua minggu satu kali (10%). Aplikasi pestisida juga bergantung pada keadaan ekonomi petani. Sebanyak 20% petani melakukan penyemprotan pada buah jambu biji sebelum dibungkus, 50% petani mengangap aplikasi pada buah berbahaya bagi konsumen dan 50% menganggap tidak berbahaya karena aplikasi penyemprotan buah dilakukan pada saat buah masih muda. Petani mengaplikan pestisida umumnya ditujukan secara umum untuk semua hama yang terdapat di pertanamannya, oleh karena itu pestisida yang dipilih adalah pestisida berspektrum luas antara lain pestisida berbahan aktif karbaril, deltametrin, sipermetrin, dan klorpirifos. Pestisida lain yang digunakan adalah yang berbahan 102 aktif imidakloprid (untuk hama menusuk menghisap), karbofuran, diazinon, fipronil, dan boric acide 0,01% (untuk semut). Hanya sedikit petani yang menggunakan fungisida, yaitu yang berbahan aktif mankozeb (5%) dan klorotalonil (15%) (Tabel 14). Pestisida diaplikasikan secara tunggal maupun dicampur pestisida satu dengan yang lainnya. Hal ini dituujukan untuk menghemat biaya tenaga kerja. Tabel 14 Penggunaan pestisida oleh petani responden Bahan aktif Persentase penggunaan oleh petani responden Confidor 200 SL imidakloprid 25 Confidor 5 WP imidakloprid 10 Diazinon 60 EC diazinon 5 Decis 2,5 EC deltametrin 35 Dursban 20 EC klorpirifos 5 Furadan 3 G karbofuran 35 Regent 50 SC fipronil 5 Rizotin 40 WP sipermetrin 35 karbaril 40 Sidamethrin 50 EC sipermetrin 10 Sipermethrin 25 EC sipermetrin 5 boric acide 0,01% 5 imidaklorpid 5 Nama dagang Insektisida Sevin 85 S Bagus Kapur Ajaib 0,6 ST CALEB-TSAN 28 EC 5 Fungisida Daconil 75 WP (500 F) klorotalonil 5 Dithane M-45 80 WP mankozeb 15 isopropil amina glifosat 45 sereh wangi* 30 Herbisida Roudup 486 AS Pestisida organik Cindoya Keterangan: (*) bahan pestisida