BAB IV Pendahuluan

advertisement
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lahan Pertanaman Jambu Biji
Desa Bantarsari dan Bantarjaya merupakan dua dari tujuh desa yang
termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Rancabungur, Bogor, Jawa Barat. Kedua
desa tersebut berbatasan langsung sehingga beberapa petani responden dari Desa
Bantarsari berusaha tani jambu biji di Desa Bantarsari sendiri dan sebagian besar
di lahan pertanian Desa Bantarjaya.
Kecamatan Rancabungur secara umum berada pada ketinggian 165 m dpl,
dengan curah hujan rata-rata 257,57 mm/tahun dan suhu udara rata-rata yaitu 30
sampai 34 °C. Data curah hujan harian selama penelitian diperoleh dari Badan
Metereologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor (Lampiran 1).
Bentuk wilayah Desa Bantarsari dan Bantarjaya rata-rata datar.
Jambu biji merupakan salah satu tanaman tahunan yang banyak ditanam
petani selain komoditas lainnya yaitu padi, terong, pepaya, kangkung, bayam,
mentimun, pare, oyong, jagung, ubi jalar, ubi kayu, katuk, bengkuang, kacang
tanah, kacang panjang, talas dan jati.
Ketiga lahan pertanaman jambu biji yang diamati setiap minggu terletak di
Desa Bantarjaya dengan jarak yang agak berjauhan antara lahan satu dengan yang
lainnya. Luas lahan pertanaman jambu biji dengan umur tanaman 4,5 bulan (lahan
1), 1,5 tahun (lahan 2), dan 4,5 tahun (lahan 3) berturut-turut sekitar 3000, 3000,
dan 1800 m2 dengan populasi tanaman jambu biji berturut-turut 82, 70 dan 55
tanaman serta jarak tanam berturut-turut 6 x 5 m, 6 x 6 m, dan 6 x 5 m. Pada
ketiga lahan tersebut jambu biji yang dibudidayakan adalah jambu biji merah.
Pada lahan dengan umur tanaman 4,5 bulan (Gambar 1A), tanaman jambu
biji ditanam dengan pola tumpang sari dengan tanaman bengkuang, setelah
bengkuang dipanen diganti dengan kacang tanah. Lahan tersebut cukup terawat
karena dengan pergantian tanaman yang berlanjut, tanah beberapa kali diolah dan
gulma selalu dibersihkan kecuali tanaman tumpang sari sudah mendekati masa
panen. Di sekitar lahan jambu biji muda terdapat lahan lain yang ditanami jagung,
ketela pohon, terong, katuk, dan jambu biji.
25
A
B
C
Gambar 1
Pertanaman jambu biji di Desa Bantarjaya Kecamatan Rancabungur:
(A) lahan pertanaman jambu biji 1 tahun (lahan 1), (B) lahan
pertanaman jambu biji 2 tahun (lahan 1), dan (C) lahan pertanaman
jambu biji 5 tahun (lahan 3).
26
Pada lahan dengan umur tanaman 1,5 tahun (Gambar 1B) jambu biji
ditanam dengan pola tumpang sari dengan tanaman ubi jalar, setelah ubi jalar
panen tanaman jambu biji ditanam secara monokultur. Lahan tidak diberi pagar
sampai akhir pengamatan, gulma yang sering dibersihkan hanya pada sekeliling
tanaman jambu biji sedangkan gulma lain dibiarkan tumbuh dan dibersihkan jika
gulma sudah cukup tinggi. Di dekat lahan tersebut terdapat lahan lain yang
ditanami ubi jalar dan ketela pohon.
Tanaman jambu biji yang berumur 4,5 tahun (Gambar 1C) ditanam secara
monokultur karena tajuk tanaman sudah menutupi lahan. Pada kedua lahan muda
dan tua bagian pinggir lahan diberi pagar yang terbuat dari bambu sekaligus
ditanami tanaman pagar antara lain pisang, puring, bunga sepatu, ketela pohon,
jarak pagar, dan ki hujan. Pisang ditanam bertujuan untuk diambil daunnya yang
nantinya akan digunakan sebagai bahan pengisi dalam pengepakan buah jambu
biji. Di sekitar lahan jambu biji tua terdapat lahan lain yang ditanami jagung,
jambu biji merah milik petani lain, kangkung, kacang tanah, dan katuk.
Organisme Pengganggu Tanaman yang Ditemukan
pada Tanaman Jambu Biji
Pada beberapa lahan jambu biji di Kecamatan Rancabungur dan kampus
IPB Darmaga dijumpai berbagai organisme pengganggu tanaman (OPT) yang
(sebagian atau seluruh) aktivitas hidupnya berasosiasi dengan tanaman jambu biji.
Lalat buah merupakan OPT yang telah dilaporkan di berbagai tempat merupakan
salah satu hama tanaman jambu biji yang merugikan. OPT lainnya yaitu
Helopeltis sp., A. dispersus, beberapa spesies kutu putih, Icerya seychellarum,
kutu perisai, Coccus viridis, kututempurung, kutudaun, Carpophilus dimidiatus,
A. atlas, Trabala spp., Valanga nigricornis, dan tungau merupakan hama
sekunder atau hama minor pada tanaman jambu biji (Gould & Raga 2002). OPT
tersebut dapat berpotensi menjadi hama penting jika populasinya meledak di
pertanaman.
27
Tabel 3 Organisme pengganggu tanaman pada tanaman jambu biji di Rancabungur dan kampus IPB Darmaga, Bogor
Ordo
Famili
OPT
Bagian tanaman yang diserang
Rancabungur
Lahan 1
Lahan 2
Lahan 3
IPB
Darmaga
Acarina
Tetranychidae
Tungau laba-laba meraha
daun muda dan tua
-
-
-
√
Acarina
Mycobatidae
Tungau kumbang
pucuk, daun, buah
√
√
√
√
Orthoptera
Acrididae
Valanga spp.
daun
√
√
√
√
Hemiptera
Coreidae
pangkal daun muda dekat
pucuk, daun tua, bunga
-
-
-
√
Hemiptera
Coreidae
Mictis longicornis Westw.
pangkal daun muda dekat
pucuk
-
-
-
√
Hemiptera
Coreidae
Physomeris grossipes (Fabr.)
ranting muda
-
-
-
√
Hemiptera
Miridae
Helopeltis sp.
ranting pucuk, buah
-
√
√
√
Hemiptera
Tessaratomidae
Pycanum alternatum (Lep. &
Serv.)
daun muda
-
-
-
√
Hemiptera
Tessaratomidae
Tessaratoma javanica
(Thnb.)
daun muda
-
-
-
√
Hemiptera
Flatidaea
daun, ranting, buah
-
-
-
√
√
√
Anoplocnemis phasiana
(Fabr.)
Lawana candida (Fabr.)
2
Hemiptera
Aleyrodidae
Aleurodicus dispersus Russel
daun tua
√
√
Hemiptera
Aleyrodidae
Aleuroclava sp. 1
daun tua
-
-
-
√
Hemiptera
Aleyrodidae
daun tua
√
-
-
√
Aleuroclava sp. 2
27
28
Tabel 3 Lanjutan.
Rancabungur
IPB
Lahan 1
Lahan 2
Lahan 3
Darmaga
daun pucuk
√
√
√
√
daun, tangkai buah
√
√
√
√
Coccus viridis (Green)
daun tua, ranting, buah
√
√
√
√
Coccidae
Kututempurung hitam
daun, ranting
√
√
√
√
Hemiptera
Diaspididae
Aspidiotus destructor Sign.
daun tua, buah
√
√
√
√
Hemiptera
Diaspididae
Kutu perisai spesies 1
daun tua
-
-
-
√
Hemiptera
Pseudococcidae
Ferrisia virgata Ckll.
daun muda dan tua,
buah, ranting muda
√
√
√
√
Hemiptera
Pseudococcidae
Maconellicoccus hirsutus
(Green)
ranting, daun muda dan
tua, buah
√
√
√
√
Hemiptera
Pseudococcidae
Paracoccus marginatus
Will. & Granara de Willink
pucuk, daun, ranting
-
-
-
√
Hemiptera
Pseudococcidae
Planococcus minor Mask.
daun muda dan tua,
bunga, buah, ranting
muda, tangkai bunga
dan buah
√
√
√
√
Hemiptera
Pseudococcidae
Rastrococcus jabadiu Will.
batang, ranting, daun,
bunga
-
-
-
√
Famili
OPT
Hemiptera
Aphididae
Aphis gossypii Glov.
Hemiptera
Margarodidae
Hemiptera
Coccidae
Hemiptera
Icerya seychellarum
(Westw.)
28
Bagian tanaman yang
diserang
Ordo
29
Tabel 3 Lanjutan.
Ordo
Famili
OPT
Hemiptera
Pseudococcidae
Rastrococcus invadens Will.
Hemiptera
Pseudococcidae
Rastrococcus spinosus
(Rob.)
Coleoptera
Curculionidae
Coleoptera
Bagian tanaman yang
diserang
Rancabungur
Lahan 1
Lahan 2
IPB
Lahan 3
Darmaga
daun tua
-
-
-
√
daun tua, daun muda
√
√
√
√
Kumbang moncong
daun
√
√
-
√
Nitidulidae
Carpophilus dimidiatus
(Fabr.)
buah
-
-
-
√
Coleoptera
Nitidulidae
Carpophilus sp. 1
buah
-
√
-
√
Coleoptera
Nitidulidae
Brachypeplus sp.
buah
-
-
-
√
Diptera
Tephritidae
Bactrocera carambolae
(Drew & Hancock)
buah
-
√
√
√
pucuk, daun muda,
ranting, buah
√1
√2
√
√
daun tua
√
√
√
√
daun
√
√
√
-
Lepidoptera
Ulat pucuk
Lepidoptera
Ulat penggulung daun
Lasiocampidae
Trabala spp.
Lepidoptera
Limacodidae
Ulat api spesies 1
daun tua
-
-
-
√
Lepidoptera
Limacodidae
Ulat api spesies 2
daun, ranting muda
-
-
-
√
Lepidoptera
Metarbelidae
Ulat penggerek batang
batang, ranting berkayu
√
√
√
√
29
Lepidoptera
30
Tabel 3 Lanjutan.
Ordo
Famili
OPT
IPB
Lahan 1
Lahan 2
Lahan 3
Darmaga
daun
-
-
√
√
Lepidoptera
Psychidae
Lepidoptera
Psychidae
Pteroma pendula Joann.
daun
√
√
√
√
Lepidoptera
Psychidae
Ulat kantung spesies 1
daun
√
√
√
√
Lepidoptera
Psychidae
Ulat kantung spesies 2
daun
-
√
√
-
Lepidoptera
Psychidae
Ulat kantung spesies 3
daun
√
√
√
√
Lepidoptera
Psychidae
Ulat kantung spesies 4
daun
√
√
√
√
Lepidoptera
Psychidae
Ulat kantung spesies 5
daun
√
√
√
√
Lepidoptera
Psychidae
Ulat kantung spesies 6
daun
√
√
√
√
Lepidoptera
Pyralidae
ulat penggerek buah
buah
√
√
√
-
Lepidoptera
Saturniidae
Attacus atlas Linn.
daun
-
√
√
-
Keterangan: (√) dijumpai
(-) tidak dijumpai
Pagodiella hekmeyeri (Heyl.)
Rancabungur
Bagian tanaman yang
diserang
(1) hama dominan pada lahan 1
(2) hama dominan pada lahan 2
(a) dijumpai di Rancabungur pada lahan lain
Keanekaragaman OPT tertinggi yaitu pada lahan kampus IPB Darmaga. OPT yang ditemukan di lahan kampus IPB tidak ditemukan
di Rancabungur yaitu tiga spesies kutu putih R. jabadiu, R. invadens, P. marginatus; kepik penghisap pucuk dan daun muda A. phasiana,
30
M. longicornis, P. grossipes, P. alternatum, T. javanica, dan kumbang penggerek buah Brachypeplus sp. (Tabel 3).
31
Pada lahan kampus IPB Darmaga, pengelolaan terhadap hama dan penyakit
tidak dilakukan secara intensif. Pembungkusan buah jambu biji terlambat
dilakukan dan aplikasi pestisida dilakukan jika ada biaya atau setelah hama mulai
banyak. Pada ketiga lahan di Rancabungur, pada lahan 1 dan 2 tingkat
kenaekaragamannya sama namun terdapat perbedaan jenis yang terdapat pada
masing-masing lahan. Pada pertanaman jambu biji 4,5 bulan (lahan 1),
kenaekaragamannya paling rendah. Pada lahan ini tanaman belum memasuki
masa generatif, hanya pada pengamatan terakhir buah jambu biji mulai muncul
pada dua tanaman contoh sehingga OPT yang hanya menyerang buah jambu biji
pada lahan ini tidak ditemukan.
Hama yang dominan pada ketiga lahan di Rancabungur juga berbeda-beda.
Pada lahan 1 hama dominan yang diamati adalah ulat pucuk, belalang, dan ulat
penggulung daun. Ketiga hama tersebut merupakan hama menggigit-mengunyah
yang menyerang daun sehingga diamati tingkat kerusakan tanamannya. Pada
lahan 2, hama yang dominan yaitu ulat pucuk, kutu putih, dan kutukebul. Pada
lahan 3 tingkat kerusakan yang diamati adalah akibat aktivitas makan hama
menggigit-mengunyah.
Hama Menggigit-Mengunyah yang Menyerang Daun
Hama menggigit-mengunyah selalu ditemukan pada saat pengamatan di
setiap lahan pertanaman jambu biji. Tingkat kerusakan tanaman pada ketiga lahan
pengamatan akibat hama menggigit-mengunyah berfluktuasi setiap minggunya
(Gambar 2). Pada lahan 1, tingkat kerusakan tertinggi yaitu pada minggu ke-3
Mei. Tingkat kerusakan tanaman pada setiap pengamatan cenderung mengalami
penurunan setelah sebelumnya meningkat karena petani melakukan aplikasi
insektisida jika populasi hama pada tanaman jambu biji di lahan tersebut terlihat
banyak. Pada lahan 2, tingkat kerusakan tertinggi yaitu pada mingu ke-1 dan ke-2
Mei (Gambar 2). Pada lahan ini tingkat kerusakan tanaman akibat hama
menggigit-mengunyah berkaitan dengan tingkat populasi ulat pucuk sebagai hama
menggigit-mengunyah yang utama. Pada lahan 3 tingkat kerusakan tanaman
mengalami kenaikan tajam sejak minggu pertama April dan puncaknya pada
minggu ke-3 April. Pada lahan ini pada ranting yang diamati cenderung lebih
32
banyak daun-daun yang tua yang terdapat bekas gerigitan hama menggigitmengunyah yang tetap ada. Pada saat daun tanaman berguguran dan serangan
hama tinggi, tingkat kerusakannya meningkat. Tanaman jambu biji memiliki daya
regenerasi yang tinggi (Rismunandar 1989). Pada kondisi lingkungan yang
mendukung, tanaman akan segera menghasilkan pucuk-pucuk baru lagi setelah
mengalami kerusakan sehingga tingkat kerusakan tanaman akan cenderung
Tingkat kerusakantanaman (%)
menurun jika pada bagian tanaman tersebut tidak diserang hama lagi.
24
20
16
12
8
lahan 1
lahan 2
lahan 3
4
0
2
3
Maret
4
1
2
3
4
April
1
2
3
Mei
Minggu pengamatan
Gambar 2
Tingkat kerusakan tanaman jambu biji oleh serangan hama
menggigit-mengunyah pada ketiga lahan.
Ulat Pucuk (Lepidoptera). Tingkat kerusakan tanaman akibat hama
menggigit-mengunyah berkorelasi dengan populasi hama penyebabnya. Pada
lahan 1 dan 2, ulat pucuk merupakan hama menggigit-mengunyah yang paling
dominan menyebabkan kerusakan pada daun. Pada lahan 1 tingkat kerusakan
tanaman terus meningkat sampai minggu ke-3 April, kemudian minggu-minggu
berikutnya mengalami penurunan lagi sampai pengamatan terakhir minggu ke-3
Mei (Gambar 3). Pada lahan 2, tingkat kerusakan tanaman sejak awal pengamatan
sudah cukup tinggi. Sejak minggu ke-2 April tingkat kerusakan tanaman
mengalami penigkatan tajam dan mencapai puncaknya pada minggu ke-4 April
(Gambar 3). Tingkat kerusakan rata-rata pada lahan jambu biji muda rata-rata
lebih rendah daripada lahan jambu biji sedang, karena jumlah pucuk yang
terbentuk belum banyak pada lahan jambu biji muda. Pada lahan 2, percabangan
sudah terbentuk dan banyak pucuk yang berkembang.
33
Tingkat kerusakan tanaman (%)
80
70
60
50
40
lahan 1
30
20
lahan 2
10
0
2
3
Maret
4
1
2
3
4
April
1
2
3
Mei
Minggu pengamatan
Gambar 3 Tingkat kerusakan tanaman jambu biji akibat serangan ulat pucuk di
lahan 1 dan 2.
Larva instar awal berukuran kecil panjang tubuh sekitar 2 mm menggerek
pucuk daun dan merekatkan daun pucuk di dekatnya dengan menggunakan sutera
yang dihasilkannya. Larva berwarna kehijauan transparan dengan kepala coklat
muda, ketika menjelang berpupa warna tubuh larva berwarna merah terang
panjang tubuh sekitar 12,5 mm (Gambar 4B). Larva hidup di dalam lipatan daun
sampai stadia pupa. Pupa dalam lipatan daun dilindungi kokon tipis berwarna
putih, pupa tipe obtekta berwarna coklat tua (Gambar 4C). Gejala yang
ditimbulkan hama ini selain pucuk mati karena digerek, larva juga memakan daun
muda dan ranting muda dari dalam lipatan hingga daun berlubang-lubang
(Gambar 4D-E). Jika tanaman jambu biji diserang pada fase generatif selain
menggerek pucuk dan daun muda, larva juga menggerek bunga yang belum mekar
(Gambar 4A).
Larva juga dapat menyerang buah muda, buah direkatkan dengan buah lain
yang berdekatan atau dengan daun menggunakan sutera (Gambar 4G). Larva
memakan buah pada bagian permukaan saja. Bekas gerigitan hama ini akan
mengering, dan akan tetap membekas sampai buah matang (Gambar 4H).. Bagian
dalam buah masih bisa dimakan tapi untuk pasar tertentu jambu ini tidak disukai
konsumen sehingga menurunkan nilai jual.
34
A
B
C
D
E
F
G
H
Gambar 4 Ulat pucuk dan gejala kerusakannya pada tanaman jambu biji: (A)
larva menggerek bunga, (B) larva menjelang berpupa, (C) pupa, (D)
pucuk dan daun muda dijalin, (E) daun dan ranting dijalin, (F) daun
muda dilipat dan berlubang-lubang, terdapat fras yang melekat pada
sutera, (G & H) permukaan buah terdapat bekas gerigitan larva yang
mengering.
35
(Orthoptera: Acrididae). Belalang
Belalang Kayu Valanga spp.
merupakan hama lain yang dominan pada lahan 1. Populasi belalang Valanga spp.
pada setiap minggunya berfluktuasi. Populasi belalang tertinggi yaitu pada
minggu ke-4 April (Gambar 5) sebanyak 15 belalang. Jumlah tersebut relatif
masih sedikit dibanding tanaman jambu biji yang banyak karena yang dihitung
hanya yang terdapat pada tanaman contoh sedangkan belalang pergerakannya
aktif dan di lahan sekitarnya terdapat komoditas lain yang merupakan inang dari
Jumlah individu pada semua
tanaman contoh
belalang yaitu jambu biji petani lain dan jagung.
20
16
12
8
4
0
2
3
Maret
4
1
2
3
4
April
1
2
3
Mei
Minggu pengamatan
Gambar 5 Populasi belalang Valanga spp. pada lahan 1.
Keberadaan belalang pada lahan ini dipengaruhi oleh umur tanaman jambu
biji yang saat itu berada pada fase vegetatif; pembentukan daun sedang
berlangsung. Belalang yang banyak ditemukan berupa nimfa brakhiptera.
Tanaman jambu biji yang belum terlalu tinggi pada lahan tersebut oleh belalang
digunakan sebagai tempat berlindung sekaligus sumber makanan. Belalang imago
(Gambar 6A) juga sering ditemukan namun aktivitas terbangnya lebih jauh
daripada nimfa. Belalang menyebabkan daun jambu biji sobek karena digerigiti
dari bagian pinggirnya (Gambar 6B). Populasi belalang pada lahan ini juga
dipengaruhi oleh keberadaan tanaman bengkuang sebagai tanaman tumpang sari.
Pada saat tanaman bengkuang pada masa vegetatif, populasi belalang meningkat.
Ulat Penggulung Daun. Larva hama ulat penggulung daun berukuran kecil
sekitar 2 mm, berwarna kekuningan (Gambar 7A). Pupa berwarna kuning terang
(Gambar 7B). Satu individu larva menggulung satu daun jambu biji (Gambar 7C).
36
A
B
Gambar 6 Belalang kayu Valanga nigricornis: (A) imago, (B) gejala gerigitan
pada daun.
A
B
C
Gambar 7 Ulat penggulung daun: (A) larva, (B) pupa, (C) daun digulung, larva
dan pupa hidup di dalam gulungan daun.
Larva makan dan berkembang di dalam gulungan daun, lama-kelamaan
daun mengering dimulai dari bagian dalam, menjadi rapuh dan seperti pasir pada
bagian dalamnya. Ulat penggulung daun jarang ditemukan pada lahan tanaman
jambu biji tua.
Ulat penggulung daun pada lahan 1 populasinya sedikit pada awal
pengamatan dan populasi tertinggi pada pengamatan terakhir (Gambar 8). Hama
ulat penggulung daun jika terdapat pada suatu tanaman untuk beberapa lama akan
tetap berada pada tanaman tersebut karena sejak larva sampai pupa hama terdapat
di dalam gulungan daun.
37
Jumlah individu pada semua
tanaman contoh
20
15
10
5
0
2
3
Maret
4
1
2
3
4
1
April
Minggu pengamatan
2
3
Mei
Gambar 8 Populasi ulat penggulung daun pada lahan 1.
Hama menggigit-mengunyah lain juga terdapat di pertanaman jambu biji.
Keberadaan hama ini menambah tingkat kerusakan pada tanaman jambu biji.
Sebagian besar hama menggigit-mengunyah pada jambu biji adalah dari ordo
Lepidoptera (Tabel 3), dan semuanya melakukan aktivitas makan daun tanaman
jambu biji pada fase larva.
Ulat Kantung (Lepidoptera: Psychidae). Ulat kantung dari famili ini
memiliki sekitar 1000 spesies, dimana seluruh perkembangan stadia larva terjadi
dalam kantung (Rhainds et al. 2009). Kantung-kantung yang dibuat berbeda
dalam ukuran dan bentuk sehingga bentuk ulat kantung ini dapat dibedakan dari
spesies satu dengan spesies lainnya. Ulat kantung membuat kantung dari partikel
daun, pasir, ranting dan partikel lain di sekitar ulat kantung tersebut yang
direkatkan oleh sutera yang dikeluarkan larva ulat kantung.
Terdapat 8 jenis ulat kantung yang berbeda yang ditemukan pada
pertanaman jambu biji di beberapa lahan di Rancabungur (Gambar 9). Perbedaan
spesies tersebut diidentifikasi berdasarkan pengamatan terhadap bentuk
kantungnya. Tujuh spesies di antaranya (P. hekmeyeri, P. pendula, 1-5, 7, dan 8)
telah dilaporkan terdapat pada pertanaman jambu biji di Kecamatan Leuwisadeng,
Dramaga, dan Sukaraja oleh Pravitasari (2009).
Ulat kantung P. hekmeyeri kantungnya berbentuk khas yaitu berbentuk
pagoda (Gambar 9A). Gejala yang disebabkan ulat kantung ini adalah window
panning, permukaan bawah daun dimakan dan disisakan epidermis atasnya.
38
A
D
G
Gambar 9
B
C
E
F
H
Berbagai spesies ulat kantung pada tanaman jambu biji: (A) P.
hekmeyeri, (B) P. pendula, (C) ulat kantung spesies 1, (D) ulat
kantung spesies 2, (E) ulat kantung spesies 3, (F) ulat kantung
spesies 4 (G) ulat kantung spesies 5, (H) ulat kantung spesies 6.
39
Sisa epidermis atas tersebut mengering dan akhirnya berlubang-lubang berbentuk
bundar. Menurut Kalshoven (1981) ulat kantung ini polifag, memakan berbagai
tanaman semak dan pohon antara lain daun teh.
Ulat kantung P. pendula, kantung terbuat dari potongan-potongan daun
jambu yang sangat kecil yang ditempelkan dengan rapi menggunakan sutera yang
dihasilkan larva, berwarna coklat (Gambar 9B). Setiap larva berganti instar,
eksuviumnya ditempelkan di bagian posterior kantung sehingga pada bagian
posterior kantung terdapat eksuvium kepala larva yang menempel (Pravitasari
2009; Suparno 2004).
Lama hidup ulat kantung dari telur sampai imago (jantan) sekitar 53 hari
(Suparno 2004). Lama stadia larva dalam penelitian di laboratorium selama 38,8
± 9,5 hari. Stadia larva ini merupakan stadia terlama.
Larva makan dari permukaan atas daun dan disisakan bagian epidermisnya,
sehingga bagian yang tersisa akan mengering dan akhirnya berlubang. Pada
populasi tinggi larva akan memakan daun pada bagian bawah dan atas dengan
rakus sehingga tersisa tulang daunnya saja.
P. pendula mempunyai kisaran inang yang luas dengan 16 famili tanaman yang
berbeda antara lain Fabaceae, Malvaceae, Oxalidaceae, Palmae, Solanaceae,
Sapindaceae, Rubiaceae, Anacardiaceae, dan Theaceae (Kamarudin et al. 1994
dalam Suparno 2004). Dalam percobaan preferensi inang P. pendula terhadap
enam daun tanaman yaitu jambu biji, jambu air, jeruk, mangga, belimbing, dan
palem botol, tanaman inang yang lebih disukai adalah jambu biji dan palem botol
(Suparno 2004).
Ulat kantung spesies 1, kantung terbuat dari potongan-potongan daun kecil
dengan ukuran berbeda dan ditempelkan tidak teratur (seperti bertumpuk-tumpuk)
pada sutera yang dihasilkan larva. Warna kantung coklat dan agak sedikit
kehitaman terutama jika terkena air (Gambar 9C). Larva makan daun dari bagian
pinggir atau tengah daun, dan hanya menyisakan tulang daunnya saja.
Ulat kantung spesies 2, kantungnya terbuat dari potongan daun jambu biji
yang ditempel kemudian dibungkus dengan daun yang masih utuh (Gambar 9D).
Larva makan dari bagian pinggir atau tengah daun, ada korelasi pertumbuhan
larva dengan banyaknya daun yang dimakan. Larva ini makan daun termasuk
40
tulang daunnya dan hanya disisakan rantingnya saja. Pada saat mau berpupa ulat
kantung menempelkan kantungnya dengan erat pada menggunakan sutera yang
dikeluarkan oleh larva pada ranting atau cabang (Pravitasari 2009).
Ulat kantung spesies 3, kantung terbuat dari kulit kayu tipis, ditemukan juga
plastik transparan tipis (Gambar 9E). Larva memakan daun dari bagian tengah
atau pinggir daun sehingga daun berlubang-lubang. Pada populasi tinggi daun
akan dimakan seluruhnya sampai tersisa tulang daunnya saja. Pada saat akan
berpupa,
larva
menutup
lubang
posterior
dan
anteriornya
kemudian
menggantungkan kantungnya pada permukaan bawah daun pada tulang daunnya
atau pada ranting.
Ulat kantung spesies 4, kantung terbuat dari sutera yang dihasilkan oleh
larva, yang dibentuk sedemikian rupa sehingga membentuk kerucut panjang.
Kantung berwarna putih kecoklatan (Gambar 9F). Cara makan dari bagian tengah
atau pinggir daun sehingga daun berlubang-lubang.
Ulat kantung spesies 5, kantung terbuat dari daun gulma yang kering yang
dilipat-lipat membentuk ketupat atau bulat dengan bagian tengah, kantung
berwarna kecoklatan (Gambar 9G). Kantung selalu menggantung pada bagian
permukaan bawah daun.
Ulat kantung spesies 6, kantung terbuat dari ranting pohon, satu atau lebih
ranting ditempel oleh larva dengan panjang yang berbeda, ada ranting yang lebih
panjang dari yang lainnya (Gambar 9H). Larva makan daun dari permukaan
bawah dan disisakan permukaan atasnya, sehingga bekasnya menjadi kering dan
akhirnya berlubang. Pada populasi tinggi daun disisakan tulang daunnya saja.
Pemencaran yang dilakukan ulat kantung yaitu dengan menggunakan sayap,
berjalan dengan tungkai atau bergelantungan dengan sutera. Pemencaran dengan
benang sutera dapat terjadi dengan bantuan angin.
Menurut Pravitasari (2009) musuh alami ulat kantung yaitu dari famili
Ichneumonidae, Braconidae, dan Eulophidae yang merupakan parasitoid larva.
Pengendalian ulat kantung di antaranya dengan menggunakan daun suren.
Perlakuan larutan daun suren terhadap ulat kantung pada uji di laboratorium
setelah hari ketujuh menunjukkan tingkat kematian 100%. Daun suren memiliki
41
bahan aktif yang bersifat menghambat daya makan larva ulat kantung sehingga
kematian tidak bersifat langsung (Suhaendah et al. 2008).
Pengendalian lain bisa dengan menggunakan pestisida berbahan aktif
organofosfat. Pada pengujian terhadap ulat kantung oleh Suhaendah et al. (2008)
kematian oleh organofosfat mencapai 50% pada hari pertama. Pestisida ini bekerja
cepat langsung membunuh hama ulat kantung. Namun penggunaan pestisida
kontak harus diperhatikan waktu dan cara aplikasi yang efektif karena pelindung
yang dimiliki ulat kantung ini mampu melindungi ulat yang berada di dalamnya.
Trabala spp. (Lepidoptera: Lasiocampidae). Trabala spp. adalah ulat
bulu yang umum terdapat tanaman jambu biji dan tanaman berkayu lain
(Kalshoven 1981). Ulat T. pallida pernah dilaporkan meledak populasinya pada
pertanaman jambu biji di Pasar Minggu Jakarta (Rismunandar 1989). Telur
berwarna abu-abu dan dilindungi oleh rambut-rambut untuk melindungi dari
serangan predator dan parasitoid (Gambar10A). Larva muda berwarna kuning
bergaris hitam dengan garis dorsal yang lebih terang dan titik berwarna biru pada
bagian lateral pada bagian ujung tubuhnya. Larva mu0da seringkali ditemukan
berkelompok pada permukaan atas daun jambu biji. Larva dewasa memiliki garis
memanjang berwarna kuning (Gambar 10C). Pupa dibungkus kokon yang
memiliki dua tonjolan (Gambar 10B). Larva makan daun muda dari bagian
pinggir daun hingga habis (Gambar 10D).
Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae). Larva A. atlas berwarna hijau
yang ditutupi tepung putih. A. atlas merupakan serangga polifag, sekitar 40
tanaman inang yang diketahui di Jawa antara lain teh, kina, dadap, mangga, jeruk,
alpukat, lada (Kalshoven 1981), kaliki, jarak, dan sirsak (Mulyani 2008). Larva
memakan daun muda dan tua, dari bagian pinggir atau tengah daun. Serangga ini
sering ditemukan pada pertanaman jambu biji namun populasinya sangat rendah.
Tanaman jambu biji yang telah mencapai ketinggian sekitar 2 m, maka larva akan
lebih menyukai pada tajuk tanaman yang tinggi. Larva merupakan stadia terlama
serangga ini. Kecepatan tumbuh larva bergantung pada temperatur dan
kelembaban. Pertumbuhan lebih cepat pada temperatur yang lebih tinggi (Mulyani
2008). Pupa dibungkus oleh kokon berwarna coklat keemasan, biasanya kokon
42
berada pada permukaan daun. Keberadaan serangga ini mudah dikenali karena
seringkali ditemukan imago yang berukuran besar di pertanaman (Gambar 11).
A
B
C
D
Gambar 10 Trabala sp.: (A) kelompok telur, (B) pupa, (C) larva, dan (D) gejala
gerigitan pada daun jambu biji; (E) imago Attacus atlas di
pertanaman jambu biji.
Gambar 11 Imago Attacus atlas di pertanaman jambu biji.
43
Ulat Api (Lepidoptera: Limacodidae). Ulat api spesies 1 memakan daun
jambu biji dari permukaan bawah daun disisakan epidermis atasnya sehingga
menghasilkan gejala window panning (Gambar 12A). Ulat api spesies 2 (Gambar
12B), makan daun jambu biji juga rantingnya menyebabkan sisa-sisa gerigitan
berwarna hitam. Kedua serangga ini terdapat pada lahan jambu biji kampus IPB
Darmaga dengan populasi yang sangat rendah.
A
B
Gambar 12 Ulat api: (A) spesies 1 dengan gejala window panning pada daun tua
jambu biji, (B) larva ulat api spesies 2.
Kumbang Moncong (Coleoptera: Curculionidae). Kumbang berwarna
merah dengan corak hitam, panjang tubuh sekitar 7,6 mm (Gambar 13). Kumbang
ini menyebabkan gejala gerigitan yang khas pada daun jambu biji yaitu daun
jambu dimakan dari bagian tengah disisakan tulang-tulang daunnya (Gambar 13).
Kumbang menyukai daun muda, sehingga ketika daun berkembang menjadi tua
bekas gerigitan masih tetap ada. Perilaku kumbang moncong ini jika diganggu
akan berpura-pura mati dan menjatuhkan dirinya ke tanah.
C
D
Gambar 13 Kumbang moncong: (A) imago, (B) daun berlubang-lubang disisakan
tulang daunnya.
44
Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae)
Aleurodicus dispersus. Kutukebul A. dispersus (Gambar 14) selalu
ditemukan pada setiap pertanaman jambu biji di Rancabungur. Kutukebul ini
merupakan hama polifag yang memiliki kisaran inang yang luas. Murgianto
(2010) melaporkan kutukebul ini menyerang 111 spesies tanaman dari 53 famili
meliputi tanaman hortikultura, perkebunan, gulma, dan kehutanan. Jambu biji
merupakan salah satu inang utamanya (Gungah et al. 2005). Kutukebul A.
dispersus menyerang daun-daun tua mengkolonisasi pada bagian permukaan
bawah daun (Gambar 14C). Kutukebul ini merupakan penghasil embun madu
yang baik, sehingga pada daun yang dikolonisasi kutukebul ini pada permukaan
atasnya akan terbentuk embun jelaga (Gambar 14D).
A
C
B
D
Gambar 14 Kutukebul A. dispersus: (A) pupa dan imago, (B) preparat pupa, (C)
koloni pada permukaan bawah daun tua jambu biji, menyebabkan (D)
embun jelaga pada permukaan atas daun.
45
Kutukebul A. dispersus merupakan salah satu hama dominan pada
pertanaman jambu biji 1,5 tahun (lahan 2). Intensitas serangannya berfluktuasi
pada setiap minggunya, pada awal pengamatan populasinya relatif rendah dan
mengalami penurunan sampai minggu ke-4 Maret (Gambar 15). Pada mingguminggu tersebut hujan hampir terjadi setiap hari. Populasi kutukebul ini
dipengaruhi (salah satunya) oleh hujan, karena ukuran tubuhnya yang kecil
sehingga dapat tersapu oleh air hujan. Namun kutukebul dapat tetap berada di
pertanaman karena hama tersebut terutama banyak terdapat pada permukaan
bawah daun yang terlindung dari hujan. Sehingga pada minggu-minggu
berikutnya ketika hujan sudah jarang terjadi populasinya meningkat kembali
dengan populasi tertinggi pada minggu ke-3 April (Gambar 15). Peningkatan
populasi ini juga dipengaruhi oleh
keberadaan daun-daun tua yang semakin
rimbun karena petani tidak melakukan perempelan daun.
Intensitas serangan (%)
12
10
8
6
4
2
0
2
3
Maret
4
1
2
3
4
April
Minggu pengamatan
1
2
3
Mei
Gambar 15 Intensitas serangan kutukebul pada tanaman jambu biji di lahan 2.
Kutukebul Aleuroclava sp. 1 dan Aleuroclava sp. 2. Kedua spesies
kutukebul ini terdapat pada permukaan bawah daun tua jambu biji, soliter dan
menyebar. Pada satu daun jambu biji kedua spesies ini kadang-kadang ditemukan
secara bersamaan. Aleuroclava sp. 2 menyebabkan daun klorotik dan permukaan
bawahnya tampak sebagai titik-titik kecil berwarna hitam (Gambar 16).
46
A
B
C
E
Gambar 16
D
F
Kutukebul Aleuroclava: (A) kutukebul menyebar pada permukaan
bawah daun tua jambu biji, (B) pupa dan kantung pupa, (C) kantung
pupa Aleuroclava sp. 1, (D) preparat kantung pupa Aleuroclava sp.
1, (E) pupa Aleuroclava sp. 2, (F) preparat pupa Aleuroclava sp. 2.
47
Kutu Putih (Hemiptera: Pseudococcidae) dan Kutukapuk (Hemiptera:
Margarodidae)
Kutu putih selalu dijumpai pada lahan pengamatan jambu biji di
Rancabungur dan kampus IPB Darmaga dengan keanekaragaman spesies paling
tinggi yaitu di lahan kampus IPB. Pada lahan pertanaman jambu biji 1,5 tahun
(lahan 2), kutu putih merupakan salah satu OPT yang dominan namun tingkat
kolonisasinya rata-rata masih rendah. Intensitas serangan kutu putih paling tinggi
yaitu minggu pertama Mei (Gambar 17). Perkembangan kolonisasi kutu putih
setiap minggunya cenderung tidak mengalami peningkatan yang tinggi, karena
kondisi hujan yang terus-menerus dapat menyebabkan populasi kutu putih
menurun. Meskipun luas kolonisasinya rendah, kutu putih ini berpotensi menjadi
hama penting karena kutu putih mampu mempertahankan keberadaaannya pada
Intensitas serangan (%)
pertanaman jambu biji meskipun dalam jumlah sedikit.
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
2
3
Maret
4
1
2
3
4
April
1
2
3
Mei
Minggu pengamatan
Gambar 17 Intensitas serangan kutu putih pada tanaman jambu biji di lahan 2.
Terdapat tujuh spesies kutu putih yang terdapat pada tanaman jambu biji di
Rancabungur dan Kampus IPB Darmaga yaitu Ferrisia virgata, Planococcus
minor (Gambar 18), Rastrococcus spinosus, Rastrococcus invadens (Gambar 19),
Rastrococcus jabadiu, Maconellicoccus hirsutus (pink mealybug) (Gambar 20),
dan Paracoccuss marginatus serta satu spesies kutukapuk Icerya seychellarum
(Gambar 21). Spesies kutu putih tersebut terdapat pada pertanaman jambu biji di
Rancabungur dan kampus IPB Darmaga, kecuali spesies R. invadens, R. jabadiu,
dan P. marginatus hanya ditemukan di lahan kampus IPB Darmaga.
48
Gambar 18
A.1
A.2
B.1
B.2
Kutu putih (1. spesimen hidup dan 2. preparat): (A) F. virgata dan
(B) P. minor.
49
A.1
B.1
A.2
B.2
Gambar 19 Kutu putih (1. spesimen hidup dan 2. preparat): (A) R. spinosus dan
(B) R. invadens.
1
50
A.1
A.2
B.1
B.2
Gambar 20 Kutu putih (1. spesimen hidup dan 2. preparat): (A) R. jabadiu dan
(B) M. hirsutus.
51
A.1
B.1
A.2
B.2
Gambar 21 Spesimen hidup (1) dan preparat (2): (A) kutu putih P. marginatus
dan (B) kutukapuk I. seychellarum.
52
Kutu putih dapat terdapat pada daun muda dan tua, ranting muda, bunga,
tangkai bunga atau tangkai buah, buah (sejak pentil sampai buah yang sudah
matang), berkelompok maupun soliter. Semua spesies kutu putih yang ditemukan
dapat menyerang daun tua, terutama pada bagian yang dekat tulang daun.
Persebaran kutu putih umumnya tidak merata pada setiap tanaman jambu
biji, terutama pada masing-masing spesies. Kutu putih yang seringkali
berkelompok seperti F. virgata, R. jabadiu, dan P. marginatus (Gambar 22A-C)
seringkali dominan pada satu tanaman atau ranting tertentu dan sedikit pada
tanaman contoh lainnya. Pada populasi tinggi dalam satu tanaman, kutu putih
mengkolonisasi dari cabang, ranting, hingga bagian dekat pucuk dan bunga.
Kutu putih menghisap cairan bagian bahan tanaman jambu biji, menutupi
permukaan bagian tanaman dengan lilinnya dan sebagian menghasilkan embun
madu. Kutu putih yang menghasilkan embun madu yang baik seperti P. minor, M.
hirsutus, dan P. marginatus biasanya berasosiasi dengan semut dan embun jelaga
(Gambar 22D-E). Kutu putih F. virgata dan R. spinosus tidak dikunjungi semut.
Semut memanfaatkan embun madu untuk makanannya, sehingga semut tersebut
membantu melindungi kutu putih dari serangan predator juga membantu
penyebarannya. Keberadaan semut bagi petani merupakan pengganggu ketika
buah akan dipanen. Embun jelaga menyebabkan permukaan daun menjadi hitam
dan permukaan daun tersebut terhalang dari sinar matahari langsung yang
menyebabkan proses fotosintesis terganggu.
Kutu putih dapat menyerang buah jambu biji. Jika buah jambu biji masih
kecil, bisa menyebabkan buah mati dan gugur (Gambar 22F). Serangan kutu putih
pada buah muda menyebabkan permukaan buah cekung dan mengering berwarna
coklat (Gambar 22G). Bercak tersebut akan tetap membekas sampai buah tersebut
matang. Kutu putih juga dapat tetap berada pada permukaan buah sejak buah
masih muda sampai buah tersebut matang. Kutu putih mengkolonisasi di
sekeliling permukaan buah menyebabkan cekungan berwarna hijau lebih tua
daripada bagian yang tidak terserang sehingga bentuk buah jambu biji tidak
sempurna (Gambar 22H). Kutu putih dan lilinnya tetap tertinggal pada permukaan
buah, dan jika ditumbuhi embun jelaga permukaan buah menjadi hitam (Gambar
22I). Pada satu bagian tanaman yang diserang bisa terdapat lebih dari satu spesies
53
kutu putih dan seringkali bersama dengan serangga lain seperti kutukebul A.
dispersus dan ulat pucuk. Kutu putih berlindung pada bagian lipatan daun atau di
antara buah yang direkatkan oleh larva sehingga pada buah tersebut menimbulkan
gejala kombinasi.
Pada koloni kutu putih juga sering ditemukan musuh alaminya seperti
predator dan parasitoid (Gambar 23). Musuh alami kutu putih yang telah diketahui
adalah predator dari famili Cecidomyidae (Diptera), famili Coccinellidae
(Coleoptera), dan famili Chrysopidae (Neuroptera); endoparasitoid dari ordo
Hymenoptera (Sartiami et al. 1999); dan cendawan Entomophthorales parasit kutu
putih pepaya P. marginatus (Shylena 2010). Predator dari familli Coccinellidae
antara lain Scymnus sp., Curinus sp. dan Cryptolaemus montrouzieri (Kalshoven
1981).
Kutu putih F. virgata dan P. minor sebelumnya telah dilaporkan oleh
Sartiami et al. (1999) ditemukan pada tanaman jambu biji di Bogor. Kutu putih R.
invadens, R. jabadiu, dan R. spinosus juga ditemukan pada tanaman buah-buahan
namun tidak dilaporkan terdapat pada jambu biji. P. marginatus yang dikenal
dengan sebutan kutu putih pepaya, di Indonesia belum pernah dilaporkan
menyerang tanaman jambu biji.
Lalat Buah Bactrocera carambolae (Diptera: Teprithidae)
Lalat buah B. carambolae ditemukan di lahan pengamatan di Desa
Bantarjaya, Desa Bantarsari, dan Kampus IPB Darmaga. Pada lahan lain di sekitar
lahan pengamatan, lalat buah merupakan hama dominan. Lalat buah merupakan
salah satu hama penting bagi petani. Imago lalat buah betina meletakkan telur
pada jaringan buah dengan menusukkan ovipositornya (Gambar 24A-B). Pada
bagian bekas tusukan kadang diikuti oleh infeksi cendawan atau bakteri sehingga
tampak bagian nekrotik dan berair pada bagian luar buah yang menunjukkan buah
tersebut busuk (Gambar 24C). Larva menetas dan berkembang di dalam buah,
memakan bagian dalam buah hingga pulpnya (Gambar 24D), menyebabkan buah
cepat membusuk, berair, dan berbau. Jika buah dibelah, di bagian dalamnya
terdapat larva lalat buah yang biasanya lebih dari satu larva.
54
G
A
B
D
E
H
C
F
I
Gambar 22 Kolonisasi dan gejala kutu putih pada tanaman jambu biji: (A) F.
virgata, (B) R. jabadiu, (C) P.marginatus, (D) P. minor pada bunga
berasosiasi dengan semut, (B) M. hirsutus pada ranting dan
permukaan bawah daun menyebabkan embun jelaga, (C) gugur buah,
(D) nekrotik pada permukaan buah muda, (E) permukaan dan warna
buah tidak merata pada buah matang, (F) buah pecah dan terdapat
embun jelaga pada kolonisasi kutu putih.
55
A
C
E
B
D
F
Gambar 23 Musuh alami kutu putih yang ditemukan di lapang: (A) imago R.
invadens yang terparasit, (B) predator R. invadens, (C) laba-laba
predator F. virgata, (D) predator P. marginatus, (E) Cryptolaemus
sp., (F) predator kutu putih.
56
A
B
C
D
E
Gambar 24 Lalat buah B. carambolae: (A) imago betina, (B) imago menusukkan
ovipositornya pada buah muda, (C) gejala tusukan disertai nekrosis
dan busuk pada jambu biji kristal, (D) bagian dalam membusuk
berwarna coklat, berbau busuk, (E) buah jambu biji dibungkus
menggunakan plastik dan kertas koran.
57
Larva lalat buah terdiri dari tiga instar dan butuh 1-2 minggu berada di
dalam buah sejak oviposisi. Larva akan manjatuhkan diri untuk berpupa di tanah.
Lamanya masa pupa sekitar 7-10 hari sampai menjadi lalat buah dewasa. Imago
lalat buah betina butuh beberapa hari sampai beberapa minggu untuk menjadi
dewasa dan bisa meletakkan telur (Gould & Raga 2002).
B. carambolae merupakan salah satu spesies kompleks lalat buah oriental di
Indonesia, Malaysia, dan Thailand bagian tenggara (Sauers-Muller 2005). Dalam
laporan Ginting (2009), Bactrocera carambolae merupakan spesies lalat buah
yang paling melimpah di Bogor, Depok dan Jakarta selain B . papayae. Lalat buah
ini selalu ada dan melimpah karena keberadaan tanaman inang yang selalu ada di
lokasi penelitian. Selain menyerang jambu biji, lalat buah ini menyerang berbagai
macam buah-buahan antara lain belimbing, kluwih, cabai, nangka, jambu bol,
tomat, mangga, badam dan pepaya (Siwi et al. 2006). Kelimpahan dan keragaman
inang lalat buah ini menjadikan lalat buah sulit dikendalikan.
Pengelolaan terhadap lalat buah pertama harus dilakukan monitoring
terhadap keberadaan dan tingkat populasi lalat buah. Untuk identifikasi dan
deteksi lalat buah bisa menggunakan perangkap yang dikombinasikan dengan
atraktan atau dengan menangkap langsung imago lalat buah di pertanaman.
Identifikasi dan deteksi lalat buah ini penting untuk mengetahui keberadaan jenis
dan perkiraan tingkat populasi lalat buah yang ada di lapangan. Kemungkinan
spesies lain terdapat pada lahan di sekitarnya tidak teridentifikasi. Atraktan yang
dapat digunakan antara lain metil eugenol, yang dapat menarik lalat buah jantan
spesies Bactrocera spp. tetapi tidak untuk subgenus Bactrocera (Zeugodacus) spp.
dan menarik beberapa spesies dari subgenus Ceratitis (Pardalapsus) serta tiga
spesies spesies Dacus spp. Atraktan lain yaitu cue lure, dapat menarik Bactrocera
spp. dan Dacus spp. (Siwi et al. 2006).
Pengendalian terhadap populasi lalat buah perlu dipertimbangkan skala
pengusahaan tanaman jambu biji. Untuk usahatani jambu biji skala kecil seperti
rata-rata petani di Rancabungur, pengelolaan lalat buah secara fisik dengan
melakukan pembungkusan terhadap buah jambu biji menggunakan plastik dan
koran (Gambar 24F) merupakan pengendalian yang cukup efisien.
58
Pengendalian yang ramah lingkungan adalah dengan menggunakan pestisida
dari bahan tanaman. Tanaman yang berpotensi dan telah diuji untuk dijadikan
bahan pestisida pengendali lalat buah adalah selasih (Cinamomum spp.) dan daun
wangi (Melaleuca bactreata). Produk atraktan yang dibuat dari kedua tanaman
tersebut telah dibuat (Kardinan 2003). Beberapa spesies selasih yang berpotensi
yaitu Ocimum sanctum, O. tenuiflorum, dan O. minimum. Selain dijadikan
penghasil atraktan dalam bentuk produk, tanaman tersebut dapat digunakan
sebagai tanaman perangkap. Musuh alami lalat buah B. carambolae antara lain
Biosteres vandenboschi (Hymenoptera: Braconidae) (Soesilohadi 2003).
Kumbang Penggerek Buah (Coleoptera: Nitidulidae)
Kumbang penggerek merupakan hama dominan pada lahan jambu biji
kampus IPB Damaga. Pada setiap tanaman jambu biji yang telah berbuah selalu
ditemukan buah yang terserang. Kumbang penggerek buah jambu biji yang
ditemukan yaitu C. dimidiatus, Carpophilus sp. 1, dan Brachypeplus sp. Kumbang
tersebut berukuran kecil, panjang tubuh imago C. dimidiatus, Carpophilus sp. 1,
dan Brachypeplus sp. berturut-turut sekitar 2,5 mm, 2,9 mm dan 3,8-4 mm
(Gambar 25A-C). Ketiga spesies serangga tersebut seringkali terdapat dalam satu
buah jambu biji secara bersamaan, juga kadang-kadang berasosiasi dengan lalat
buah sehingga mempercepat pembusukan buah jambu biji yang dimulai dari
bagian dalam buah. Di dalam jambu biji tidak hanya terdapat imago tetapi juga
larvanya.
Buah yang diserang pecah pada bagian ujungnya (Gambar 25D), terutama
jika bagian luar buah diseranga hama lain yang menyebabkan permukaan buah
mengering seperti kutu putih dan Helopeltis. Buah lama-kelamaan berubah warna
menjadi coklat, bagian dalam maupun luarnya, dan akhirnya menjadi kering,
kisut, keras dan berwarna hitam (Gambar 25E). Kumbang tersebut masih tetap
berada pada bagian dalam buah jambu biji sampai buah mengering. Dalam satu
buah jambu biji biasanya terdapat banyak kumbang bisa mencapai puluhan ekor.
Kerusakan pada tanaman jambu biji tidak hanya bersifat langsung.
Lama hidup C. dimidiatus dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban.
Kumbang dapat hidup pada suhi 20 sampai 32,5 oC. Perkembangan tercepat yaitu
59
pada suhu 30 °C, dengan kelembaban 90, 80 atau 70% (23,6–24,7 hari);
perkembangan optimal pada suhu 32,5 oC (Porter 1986).
Kumbang penggerek ini hanya ditemukan pada tanaman jambu biji di
kampus IPB Darmaga pada jambu biji Kristal. Pada lahan pengamatan, kumbang
tersebut terdapat pada setiap tanaman terutama pada buah yang tidak dibungkus.
Menurut Gould & Raga (2002), distribusi C. dimidiatus terbatas, sehingga jika
sudah terdapat di pertanaman akan menimbulkan masalah yang serius bagi petani.
Pengendalian kumbang ini adalah dengan melakukan penyemprotan insektisida
secara berjadwal. Imago betina C. dimidiatus menghasilkan feromon alami yaitu
(3E,
5E,
7E,
9E)-6,8-diethyl-4-methyl-3,5,7,9-dodecatetraene.
Penggunaan
feromon (tetraene) yang dikombinasikan dengan fermentasi adonan roti dapat
menarik C. dimidiatus 48,3 individu; relatif lebih banyak dibandingkan
penggunaan feromon secara tunggal, adonan secara tunggal, dan kontrol berturutturut 24,5, 0,02, and 0 (Bartelt et al. 1995).
A
B
D
Gambar 25
C
E
Kumbang penggerek buah pada tanaman jambu biji: (A) imago C.
dimidiatus, (B) imago Carpophilus sp. 1, (C) imago Brachypeplus
sp., (D) buah pecah, (E) buah keras, kisut, dan berwarna hitam
(bagian permukaan luar terinfeksi cendawan parasit lemah).
60
Hama Lainnya
Hama lain juga ditemukan pada ketiga lahan pengamatan namun
populasinya rendah sehingga tidak diamati perkembangan luas serangan dan
tingkat kerusakan tanaman/intensitas serangannya.
Ulat Penggerek Buah (Lepidoptera: Pyralidae). Ulat penggerek buah
menyebabkan buah muda gugur, pada buah matang terdapat lubang gerek dan di
seberang liang gerek terdapat fras (Gambar 26A-C). Sebagian besar bagian dalam
buah jambu biji dimakan, jika buah dibuka tampak bekas gerekan yang
menghitam karena mengering (Gambar 26D). Larva berwarna putih kecoklatan,
panjang tubuh 2,18 cm (Gambar 26E). Pada satu buah jambu biji bisa terdapat
larva lebih dari satu. Pengelolaan serangga bisa dilakukan dengan menyemprot
insektisida sebelum pembungkusan karena dikhawatirkan imago telah meletakkan
telur pada buah.
Helopeltis sp. (Hemiptera: Miridae). Helopeltis sp. menyerang berbagai
bagian tanaman jambu biji antara lain pucuk (Gambar 27A) dan buah. Bekas
tusukan pada buah menyebabkan bercak nekrotik hitam (Lampiran 27B) yang
akan membekas sampai buah tersebut berkembang menjadi matang yang
menurunkan nilai jual buah untuk pasar tertentu. Pada serangan berat pada buah
yang masih kecil dapat menyebabkan buah menghitam dan kering (Gambar 27C).
Kerusakan akibat kepik ini secara langsung tidak terlalu merugikan, namun karena
aktivitas makan dan pergerakannya yang baik serangga ini dapat berperan
memencarkan inokulum cendawan yang telah ada di pertanaman atau dari
pertanaman satu ke pertanaman lain. Kepik ini sering diasosiasikan dengan
penyakit kanker buah. Bekas tusukan kepik dapat menjadikan cendawan parasit
luka mudah menginfeksi buah, dan penyebarannya dibantu karena aktivitas
pergerakannya.
Ulat Penggerek Batang (Lepidoptera: Metarbelidae). Ulat penggerek
batang hidup dan membuat terowongan pada batang (Gambar 28A). Larva
berwarna ungu-kecoklatan gelap dan panjangnya sekitar 1,1-1,9 cm (Gambar
28A). Larva makan pada batang dan bagian pembuluh angkutnya sehingga gejala
yang tampak dari luar yaitu ujung ranting dan daun-daun layu (Gambar 28C)
61
A
B
C
D
E
Gambar 26 Gejala ulat penggerek buah: (A) buah muda gugur, (B) gejala lubang
gerekan pada buah, (C) kotoran larva ulat penggerek yang menutupi
lubang gerekan, (D) bekas gerekan yang mengering pada bagian
dalam buah, (E) larva hidup di dalam buah.
A
Gambar 27
B
C
Gejala serangan Helopeltis sp.: (A) pucuk keriting dan mengering,
(B) bercak bekas tusukan pada buah, (C) buah kecil mengering pada
serangan berat.
62
Pada batang dekat peracabangan terdapat lubang gerek, cabang akan mudah
dipatahkan karena isinya sudah kosong, cabang lama-kelamaan mengering dan
mati. Penggerek batang ini hidup pada batang sampai stadia pupa. Pengelolaan
hama ini yaitu dengan membuang cabang yang terdapat ulat penggerek di
dalamnya, atau bisa menggunakan air panas pada lubang gerek.
A
B
Gambar 28 Ulat penggerek batang: (A) larva membuat terowongan dalam
cabang dan hidup di dalamnya, (B) pucuk mati, daun layu.
Kepik Penghisap Pucuk (Hemiptera: Coreidae dan Tessaratomidae).
Kepik penghisap pucuk ditemukan pada lahan IPB Dramaga Bogor. Terdapat tiga
spesies dari famili Coreidae yang ditemukan yaitu A. phasiana (Gambar 29),
M. longicornis (Gambar 30), dan P. grossipes (Gambar 31). Serangga ini
menyerang sejak fase nimfa hingga dewasa. Serangga menusukkan alat mulutnya
ke dalam jaringan ranting tanaman atau tulang daun, kemudian menghisap cairan
bahan tanaman jambu biji tersebut (Gambar 29B). Daun muda menjadi berwarna
coklat kemudian nekrotik dan mati. Selain menyerang daun pucuk, A. phasiana
juga menyerang bunga (Gambar 29C) dan daun agak tua. Bekas tusukan pada
bunga berupa bercak nekrotik. Kepik P. grossipes menyerang ranting pucuk
tanaman.
63
A
B
C
Gambar 29 Anoplocnemis phasiana: (A) nimfa, (B) imago menghisap cairan
ranting pucuk dekat pangkal daun, (C) bercak hitam bekas tusukan
pada bunga.
A
Gambar 30
B
Mictis longicornis: (A) imago, (B) imago menghisap cairan ranting
pucuk menyebabkan daun nekrotik.
Gambar 31 Imago Physomeris grossipes.
64
Selain ketiga spesies tersebut, P. alternatum (Gambar 32A) dan T. javanica
(Gambar 33A) juga terdapat pada jambu biji. Imago P. alternatum berwarna
coklat, dengan corak hijau dengan panjang 2,65 cm. Kepik ini menghisap ranting
pucuk menyebabkan pucuk melengkung, kemudian menjadi nekrotik dan mati
(Gambar 32B). T. javanica menghisap tulang daun muda dekat pucuk pada
permukaan bawah daun dengan posisi kepala terbalik. Daun menjadi coklat pada
bagian ujungnya (Gambar 33B) dan kemudian berubah menjadi nekrotik pada
sebagian atau seluruh daun tersebut.
A
B
Gambar 32 Pycanum alternatum (Hemiptera: Tessaratomidae): (A) imago
menghisap cairan ranting pucuk tanaman, (B) gejala mati pucuk
pada jambu biji.
A
B
Gambar 33 Tessaratoma javanica: (A) nimfa, (B) ujung daun tanaman mengering.
65
Kelima serangga tersebut dalam Kalshoven (1981) tidak dilaporkan secara
spesifik menyerang tanaman jambu biji. Inang A. phasiana antara lain, kacangkacangan, pohon dadap, dan Desmodium. Kepik ini lebih sering ditemukan di
pinggir hutan daripada di area terbuka. Inang M. longicornis antara lain bungur,
soka, kakao, dan gambir. P. grossipes banyak ditemukan di pertanaman dan juga
ditemukan pada tanaman hias. P. alternatum di Sumatera ditemukan pada gambir,
T. javanica pada pucuk tanaman kesambi dan lerek (Kalshoven 1981).
Tungau (Acarina: Tetranychidae dan Mycobatidae). Terdapat dua jenis
tungau yang ditemukan yaitu tungau laba-laba merah famili Tetranichydae
(Gambar 34A-B) dan tungau kumbang famili Mycobatidae. Tungau laba-laba
merah ditemukan pada jambu biji merah dan jambu biji kristal. Pada ketiga lahan
pengamatan tanaman jambu biji merah, tungau tidak ditemukan pada saat
pengamatan. Tungau laba-laba merah menyebabkan daun memutih pada bagian
permukaan bawahnya, lama-kelamaan daun menguning dan gugur (Gambar 34C).
Tungau laba-laba merah dominan menyerang daun jambu biji tua, namun pada
populasi tinggi pada tanaman jambu biji kristal tungau ditemukan pada daun tua
sampai daun muda.
Tungau kumbang berwarna kehitaman dan mengkilat (Gambar 34D). Pada
permukaan bawah daun tungau ini ditemukan soliter maupun bergerombol,
terutama dekat tulang daun. Gejala pada daun tidak begitu jelas karena populasi
tungau ini cukup rendah. Tungau juga menyerang buah jambu biji, biasanya pada
bagian pangkal buah atau pada bagian bekas aktivitas makan serangga menusuk
menghisap lain. Permukaan buah yang diserang akan cekung, mengering pada
permukaannya yang akan terus membekas sampai buah matang (Gambar 34E).
Kutu Perisai (Hemiptera: Diaspididae). Kutu perisai yang terdapat pada
tanaman jambu biji yaitu A. destructor dan kutu perisai spesies 1 (Gambar 35).
Kutu perisai ini merupakan serangga polifagus, tanaman inangnya antara lain
kelapa sawit yang merupakan tanaman inang utama selain itu ditemukan pada
Bixa, kakao, gambir, mangga, dan karet (Kalshoven 1981). Hama ini terdapat
pada permukaan bawah daun jambu biji, menutupi sampai seluruh
66
A
B
C
D
E
Gambar 34 Tungau laba-laba merah dan tungau kumbang: (A & B)
imago
tungau laba-laba merah, (C) daun tampak pucat dan menguning, (D)
tungau kumbang, (E) lekukan pada buah bekas aktivitas makan
tungau.
67
permukaan daun (Gambar 35C). Pada permukaan atas daun tampak gejala klorotik
yang khas (Gambar 35D). Kutu perisai A. destructor dapat menyerang buah
sehingga permukaan buah menjadi tidak merata; cekung pada bagian yang
terdapat kutu perisainya. Kutu hanya menyerang bagian permukaan buah saja,
bagian dalamnya masih bagus tetapi penmpilan buah menjadi tidak menarik.
Hama ini tidak dapat dicuci dengan air, jika terbawa sampai ke tempat distribusi
akan tetap hidup menempel pada permukaan buah.
Kutu perisai spesies 1, sama seperti A. destructor terdapat pada permukaan
bawah daun tua namun lebih terkumpul pada bagian yang dekat tulang daun
(Gambar 35). Gejala pada permukaan atas daun juga hampir sama yaitu gejala
klorotik khas kutu perisai. Kutu perisai ini tidak terdapat pada buah jambu biji.
Kututempurung (Hemiptera: Coccidae). Kututempurung yang terdapat
pada jambu biji yaitu Coccus viridis dan kututempurung hitam yang belum
teridentifikasi sampai spesies (Gambar 36). Kututempurung hijau menyerang daun
tua terutama pada bagian yang dekat tulang daun. Kutu ini menghasilkan embun
madu sehingga berasosiasi dengan semut dan embun jelaga. C. viridis merupakan
serangga polifagus, penyebarannya di seluruh wilayah tropis dan subtropis
(Kalshoven 1981).
Kututempurung hitam terutama pada tulang daun, bersosiasi dengan semut.
Serangga ini melindungi telurnya dengan menggunakan tempurung sehingga sulit
dikendalikan dengan pestisida kontak.
Kutudaun (Hemiptera: Aphididae). Kutudaun yang ditemukan pada
tanaman jambu biji yaitu Aphis gossypii (Gambar 37). Kutudaun ini merupakan
serangga yang sangat polifag (Kalshoven 1981; Blackman & Eastop 2000).
Inangnya antara lain kapas, kapuk, wijen, kopi, jeruk, cabai, mentimun, dan
tanaman hias. Kutudaun terutama menyerang bagian pucuk tanaman (Gambar
37C). Pada populasi tinggi akan menyebabkan pucuk keriting. Kutudaun
seringkali ditemukan namun dalam jumlah populasi yang sedikit. Hal ini
disebabkan oleh adanya predator yang selalu ada di setiap pertanaman jambu biji
yaitu kumbang Coccinellidae (Gambar 37D-E). Kutudaun juga dapat menyerang
ranting dan buah (Gould & Raga 2002).
68
A
C
E
B
D
F
Gambar 35 Kutu perisai A. destructor: (A) imago betina, (B) preparat, (C) koloni
pada permukaan bawah daun tua, (D) gejala klorotik tampak dari
permukaan atas daun; Kutu perisai spesies 1: (E & F) koloni pada
permukaan bawah daun tua dekat tulang daun.
69
A
B
C
Gambar 36 Kututempurung: (A) spesimen hidup imago C. viridis, (B) preparat C.
viridis, (C) kututempurung hitam pada tulang daun permukaan bawah
daun tua.
A
B
D
C
E
Gambar 37 Kutudaun Aphis gossypii dan predatornya: (A) imago betina, (B)
preparat, (C) koloni kutudaun pada daun muda jambu biji, (D) larva
Coccinellidae memangsa nimfa kutudaun, (E) imago kumbang
Coccinellidae.
70
Semut dan Hama Mamalia. Semut menyebabkan kerugian secara
langsung dan tidak langsung pada tanaman jambu biji. Beberapa spesies semut
berasosiasi dengan kutu putih (Gambar 38A), kutukebul, kututempurung dan
kutudaun. Semut memanfaatkan embun madu dari serangga-serangga tersebut,
sehingga semut merugikan karena membantu melindungi serangga tersebut dari
serangan parasitoid dan predator juga membantu pemencarannya. Banyaknya
semut pada buah bagi petani sangat mengganggu pada saat panen.
Selain berasosiasi dengan serangga penghasil embun madu, beberapa
spesies menyebabkan kerugian secara langsung yaitu semut membuat sarang pada
buah (Gambar 38B) menyebabkan buah berlubang. Semut bersembunyi pada
bagian bekas kelopak bunga sehingga pada saat panen bisa terbawa ke tempat
penjualan.
Hama mamalia antara lain burung, memakan buah jambu biji yang telah
matang di pertanaman. Buah tidak seluruhnya dimakan, dan sisanya menyebabkan
datangnya serangga-serangga lain yang mengerubuti buah (Gambar 38C).
A
Gambar 38
B
C
Gejala oleh semut (Hymenoptera: Formicidae) dan mamalia: (A)
semut yang berasosiasi dengan kutu putih, (B) semut membuat
sarang pada buah jambu biji matang, (C) bekas gerigitan hama
mamalia.
Penyakit yang Ditemukan pada Tanaman Jambu Biji
Penyakit yang ditemukan pada beberapa lahan di Rancabungur dan kampus
IPB Darmaga meliputi penyakit yang disebabkan oleh cendawan, alga, dan
kerusakan fisik mekanis. Penyakit antraknosa merupakan salah satu penyakit
penting pada tanaman jambu biji yang telah tersebar luas (Misra 2004).
31
Tabel 4 Penyakit yang terdapat pada pertanaman jambu biji di Rancabungur dan lahan kampus IPB Darmaga, Bogor
Penyakit
Patogen
Rancabungur
Bagian tanaman yang
Lahan
1
Lahan 2 Lahan 3
bergejala
pucuk, daun muda, ranting, buah
muda, buah matang di
√
√
√
pertanaman, buah di penyimpanan
IPB
Darmaga
Antraknosa
Gloeosporium sp.
dan Colletotrichum
sp.
Kanker buah Pestalotia
Pestalotia sp.
buah muda
√
√
√
√
Bercak daun kelabu
Pestalotia sp.
daun tua
√
√
√
√
Karat merah
Cephaleuros spp.
daun muda, daun tua, ranting,
bunga, buah
√
√
√
√
Penyakit layua
Fusarium sp.
cabang terminal, daun, buah
-
-
-
√
Busuk buah kering
Botryodiplodia
Botryodiplodia sp.
buah
-
√
-
√
daun, ranting, buah
√
√
√
√
buah, batang
√
-
√
√
daun muda
√
√
-
√
Buah hitam terbakar
sinar matahari langsung
buah
√
√
√
-
Buah memar
buah
-
√
√
-
Embun jelaga
Kanker buah oleh fungi
askomiset
Bercak merah muda*
Keterangan:
(√) dijumpai
(-) tidak dijumpai
(a) dijumpai di Rancabungur pada lahan lain
√
(*) belum teridentifikasi
71
72
Pada lahan pengamatan tingkat keanekaragaman penyakit hampir sama.
Beberapa penyakit yaitu antraknosa, bercak daun kelabu, kanker buah Pestalotia,
embun jelaga, dan karat merah ditemukan pada setiap lahan pengamatan. Pada
ketiga lahan di Rancabungur tidak ditemukan gejala penyakit layu, penyakit ini
ditemukan pada lahan jambu biji lain di Rancabungur yaitu pada varietas kristal.
Pada lahan kampus IPB Darmaga kerusakan fisik mekanis berupa buah hitam
terbakar sinar matahari langsung dan buah memar tidak ditemukan. Jambu biji
kristal pada lahan ini memiliki daging buah yang tebal dan tidak lunak ketika
matang.
Pada lahan pertanaman jambu biji 4,5 bulan penyakit yang diamati adalah
antraknosa dan bercak kelabu. Pada lahan pertanaman jambu biji 1,5 tahun,
penyakit yang diamati adalah antraknosa, bercak merah pucuk, dan bercak kelabu.
Pada lahan 3 penyakit yang diamati adalah karat merah Cephaleuros sp.
Antraknosa
Penyakit antraknosa terdapat pada ketiga lahan pertanaman jambu biji di
Rancabungur dan kampus IPB Darmaga. Kejadian penyakit dan intensitas
penyakit paling tinggi yaitu pada lahan jambu biji 1,5 tahun. Pada lahan jambu biji
4,5 tahun gejala penyakit ini ditemui terutama pada buah yang telah matang
namun intensitasnya sangat rendah sehingga tidak diamati perkembangannya.
Pada lahan 1, perkembangan intensitas penyakit setiap minggunya tidak
berbeda jauh. Intensitas tertinggi yaitu pada minggu pertama Mei (Gambar 39).
Penyakit antraknosa pada lahan pertanaman jambu biji berumur 1,5 tahun, gejala
yang diamati terutama gejala nekrotik pada pucuk. Gejala gugur buah baru
muncul pada minggu ke-6 pengamatan. Pada lahan 2 intensitas di awal
pengamatan merupakan intensitas tertinggi (Gambar 39). Pada bulan Maret dan
awal April hujan terus-menerus menyebabkan intensitas penyakit ini tinggi karena
salah salah satu penyebaran patogen penyebabnya yaitu oleh percikan air
(Semangun 1994) dan berkembang baik pada kondisi basah (Lim & Manicom
2006). Penurunan intensitas pada minggu ke-4 Maret dikarenakan pucuk yang
mengalami nekrotik banyak yang gugur sehingga gejala pada ranting tidak begitu
jelas.
73
Sejak awal bulan April sampai terakhir pengamatan intensitasnya terusmenerus mengalami penurunan (Gambar 39). Pada pengamatan terakhir hanya
kejadian penyakitnya hanya 15%. Hal ini diduga karena hujan yang semakin
jarang terjadi terutama pada bulan April, namun ketika hujan kembali turun sejak
minggu ke-2 Mei intensitas penyakitnya tetap menurun.
Intensitas penyakit (%)
25
20
lahan 1
lahan 2
15
10
5
0
2
3
4
1
2
Maret
3
4
April
1
2
3
Mei
Minggu pengamatan
Gambar 39 Intensitas penyakit antraknosa pada tanaman jambu biji di lahan 1
dan 2.
Gejala yang terutama terlihat pada saat pengamatan adalah nekrotik pada
pucuk (Gambar 40A), gejala ini bisa berkembang ke bagian pangkal dan
menyebabkan mati ujung. Daun muda keriting dan nekrotik pada bagian ujungnya
(Gambar 40B).
Buah jambu biji yang terinfeksi ketika masih muda muncul bercak nekrotik
yang kemudian menyatu. Bercak terus berkembang hingga seluruh permukaan
buah tampak hitam (Gambar 40C). Buah selanjutnya akan mengering dengan
cepat dan menjadi keras (mumifikasi), dan seringkali retak. Cendawan
menginfeksi buah sampai ke bagian dalam. Bagian dalam buah tersebut
mengandung patogen (Gambar 40D).
Buah jambu biji muda yang terinfeksi tidak selalu menimbulkan gejala.
Cendawan penyebab antraknosa ini dapat dorman selam 3 bulan (Semangun
1994) dan menyebabkan pembusukan pada buah ketika buah matang (Gambar
40E-F). Buah yang terinfeksi dapat menularkan cendawan ke buah lainnya jika
terbawa ke penyimpanan. Buah yang sebelumnya terlihat sehat dapat
74
menunjukkan gejala busuk setelah penyimpanan beberapa hari. Gejala yang pada
buah matang yaitu pada buah terbentuk bercak coklat berbatas jelas dan
mengendap (Gambar 39G). Buah jambu biji terkena antraknosa secara berangsur
menurun kandungan gizinya (Amusa et al. 2006).
Penyebab penyakit antraknosa yaitu cendawan Gloeosporium sp. (Gambar
40H) dan Colletotrichum sp. (Gambar 40I). Pada kondisi lembab, pada buah yang
terinfeksi cendawan membentuk spora (konidia) dalam jumlah banyak yang
terikat dalam masa miselia berwarna merah jambu terang yang memenuhi
permukaan buah.
Cendawan ini Colletotrichum sp. terutama dipencarkan oleh percikan air
(Lim & Manicom 2006; Semangun 1994) dan serangga (Semangun 1994).
Menurut Amusa et al. (2006) cendawan Colletotrichum spp. dapat dipencarkan
antara lain oleh lalat buah. Penyebaran penyakit paling tinggi dalam kondisi
basah. Pada buah, bercak berkembang pada berbagai stadia perkembangan buah
dan perkembangan sangat cepat terjadi pada suhu 30 °C.
Penyakit antraknosa merupakan penyakit umum di pertanaman jambu biji.
Penyakit ini telah menyebar ke berbagai negara, terutama yang membudidayakan
jambu biji secara intensif seperti India. Di India, antraknosa merupakan salah satu
penyakit penting sehingga penelitian dan perancangan terhadap varietas tahan
terhadap penyakit ini telah banyak dilakukan (Misra 2004).
Pengelolaan penyakit ini antara lain dengan melakukan sanitasi
yaitu
membuang ranting dan buah dan bagian tanaman sakit lain, karena pada kondisi
lembab pada bagian tanaman yang sakit cendawan akan mudah berkembang dan
bisa menjadi inokulum sumber infeksi. Selain itu dengan cara mengurangi
kelembaban mikro tanaman jambu biji dengan mengatur jarak tanam yang tidak
terlalu rapat, melakukan pemangkasan agar tanaman jambu biji tidak terlalu
rimbun, membiarkan sebagian gulma pada lahan sekeliling tanaman untuk
menahan percikan air hujan. Pengendalian menggunakan pestisida dapat
dilakukan dengan aplikasi pestisida berbahan aktif benomil dan karbendazim pada
pertanaman maupun pada buah yang telah dipanen dengan dicampur air panas
(Lim & Manicom 2003).
75
A
B
E
D
F
H.1
I.1
Gambar 40
C
G
H.2
I.2
Gejala dan penyebab penyakit antraknosa pada tanaman jambu biji:
(A) mati pucuk, (B) bercak nekrotik pada daun muda, (C) bercak
nekrotik yang meluas pada buah muda, (D) kanker buah
(mumifikasi) pada buah muda, cendawan menginfeksi buah muda
sampai ke bagian dalam buah, (E & F) gejala busuk buah pada buah
matang di pertanaman, (G) bercak nekrotik cekung pada buah di
penyimpanan, (H) Cendawan Gloeosporium sp. (1. konidiofor dan
konidia; 2. konidia), (I) Cendawan Colletotrichum sp. dari buah
matang (1. Bagian dari aservulus; 2. konidia).
76
Kanker Buah Pestalotia dan Bercak Daun Kelabu
Kanker buah umum ditemukan di pertanaman jambu biji di Kecamatan
Rancabungur dan Kampus IPB Darmaga, terutama pada pertanaman jambu biji
yang sedang memasuki masa generatif. Pada ketiga lahan pengamatan gejala yang
diamati yaitu bercak daun kelabu. Penyakit ini juga dikenal dengan sebutan
nekrosis buah, kanker buah Pestalotia, dan kanker buah berkudis (Lim &
Manicom 2003). Pada lahan 1 dan 2 penyakit ini sering ditemui sehingga diamati
perkembangan intensitasnya. Pada lahan 3 bercak jarang ditemui.
Intensitas penyakit pada kedua lahan relatif rendah karena umumnya hanya
terdapat satu atau dua bercak pada daun-daun tua. Namun keberadaan patogen ini
dapat menjadi sumber inokulum yang dapat menyebabkan kanker buah pada saat
jambu biji memasuki masa generatif. Pada lahan 1 intensitas penyakit pada
awalnya mengalami peningkatan dan paling tinggi pada minggu pertama April
(Gambar 41). Intensitas penyakit menurun kembali setelahnya. Pada lahan 2
intensitas penyakit di awal pengamatan yaitu pada minggu kedua Maret paling
tinggi. Pada minggu berikutnya cenderung menurun kemudian meningkat lagi
Intensitas penyakit (%)
pada minggu pertama Mei (Gambar 41).
2
lahan 1
lahan 2
1.5
1
0.5
0
2
3
Maret
4
1
2
3
4
April
Minggu pengamatan
1
2
Mei
3
Gambar 41 Intensitas penyakit bercak daun kelabu pada tanaman jambu biji di
lahan 1 dan 2.
Pada daun gejalanya berupa bercak kelabu berbatas jelas (Gambar 42A).
Pada infeksi awal, mula-mula pada buah yang masih hijau terdapat bercak gelap,
kecil, yang membesar, berwarna coklat tua, yang terdiri dari jaringan mati. Lama
kelamaan bercak meluas ke seluruh permukaan buah, buah mengering dan terjadi
77
mumifikasi (Gambar 42B), pada bercak kadang-kadang terbentuk retakan. Pada
kondisi lembab pada buah yang sakit, cendawan membentuk miselium putih
kelabu. Buah yang telah mengeras pada tanaman seringkali sulit dibedakan
penyebabnya dengan antraknosa. Cendawan juga menginfeksi ujung ranting
tanaman yang sebelumnya telah diserang oleh serangga.
A
Gambar 42
B
C
Gejala dan penyebab penyakit bercak kelabu dan kanker buah
Pestalotia:
(A) bercak kelabu pada daun tua, (B) mati ujung,
(C) kanker buah pada buah kecil yang terkena gerekan serangga,
(D) konidia Pestalotia sp.
Penyebab penyakit ini adalah Pestalotia sp. (Gambar 42C). Cendawan ini
merupakan parasit luka, sehingga penyakit ini berasosiasi dengan aktivitas makan
serangga antara lain Helopeltis sp. dan infeksi cendawan lain. Cendawan ini
sering ditemukan berasosiasi dengan cendawan lain yaitu dengan Gloeosporium
penyebab antraknosa atau cendawan parasit luka lainnya yaitu Botryodiplodia.
Perkembang penyakit maksimum pada suhu 25-30 °C dengan kelembaban tinggi
(Kaushik et al., 1972 dalam Misra 2004). Cendawan dapat berkembang baik pada
suhu 15-30 °C. Pertumbuhan terbaik dan sporulasi terjadi pada suhu 26 °C. Pada
penelitian di laboratorium perkecambahan spora maksimum pada suhu 30 °C dan
pada suhu di bawah 15 °C atau di atas 40 °C, cendawan tidak berkecambah
(Ramaswamy et al. 1984 dalam Misra 2004). Medium terbaik unutk
perkecambahan adalah ekstrak buah jambu biji, optimum pH optimum untuk
pertumbuhan cendawan adalah 3,9-4,9 dan pertumbuhan maksimum pada pH 4,9
(Misra 2004).
Pengelolaan penyakit ini bisa dilakukan dengan mengendalikan serangga
yang dapat menyebabkan penyebaran cendawan, membuang buah dan daun yang
sakit kemudian dipendam atau dibakar untuk mengurangi sumber infeksi (Lim et
78
al. 1986 dalam Semangun 1994). Penggunaan ekstrak daun Occimum sanctum
dapat menghambat perkecambahan spora cendawan (Misra 2004). Pengelolaan
secara kultur teknis dapat dilakukan dengan menaikkan pH tanah jika tanah dalam
kondisi asam.
Karat Merah
Karat merah merupakan penyakit yang disebabkan oleh alga Cephaleuros
spp. Alga menyebabkan bercak pada daun, bunga, dan buah. Bercak daun yang
disebabkan oleh alga hampir selalu ditemukan pada setiap lahan pertanaman
jambu biji di Kecamatan Rancabungur dan kampus IPB Darmaga. Pada lahan 3
(umur tanaman tua), bercak ini tampak dominan karena bercak telah menginfeksi
lama sebelum pengamatan dan pada tanaman jambu biji tersebut sudah banyak
daun-daun tua. Intensitas penyakit karat merah tinggi pada awal pengamatan dan
pada minggu ke-3 April sampai Mei. Intensitas penyakit tertinggi yaitu pada
minggu pertama Mei (Gambar 43). Intensitas penyakit yang tinggi pada bulan
April karena minggu-minggu sebelumnya hujan terjadi terus-menerus. Menurut
Marlatt & Campbell (1980), patogen Cephaleuros sp. bersporulasi selama periode
curah hujan tinggi. Selama hujan patogen mengalami sporulasi dan memperluas
serangan pada tanaman jambu biji. Bagian tanaman jambu biji terutama daun
yang terinfeksi, akan tetap bergejala pada minggu pengamatan berikutnya.
Pada lahan tanaman jambu biji muda (lahan 1), gejala oleh infeksi alga ini
telah muncul namun hanya beberapa daun, sedangkan pada lahan jambu biji
dengan umur tanaman 1,5 tahun (lahan 2) karat merah hanya terdapat pada daundaun tua pada cabang bawah sehingga tidak diamati intensitasnya.
Berdasarkan pengamatan, gejala awal alga pada daun ada dua macam.
Pertama gejala awal ditunjukan dengan adanya bercak berwarna coklat tua pada
daun, terutama daun tua. Pada sekeliling bercak daun menjadi klorotik. Bercak
bisa menyatu menjadi bercak yang besar dengan bentuk tidak teratur. Bercak pada
daun ukurannya bervariasi mulai dari yang hanya berupa bintik-bintik kecil
sampai bercak besar (Gambar 44A).
79
Intensitas Penyakit
28.0
24.0
20.0
16.0
12.0
8.0
4.0
0.0
2
3
Maret
4
1
2
3
4
April
1
2
3
Mei
Minggu pengamatan
Gambar 43 Intensitas penyakit karat merah pada tanaman jambu biji 4,5 tahun
(lahan 3).
Gejala awal yang kedua, bercak muncul pada daun muda maupun tua.
Bercak berwarna kehitaman (pada daun muda)
(Gambar 44B) atau merah
kecoklatan (pada daun tua) dengan batas jelas. Bercak ini jika mengering
berwarna abu-abu pada bagian tengahnya dan bagian tepi tetap berwarna merah
kecoklatan. Pada sekeliling bercak, terbentuk klorotik namun tidak begitu jelas.
Beberapa daun yang bergejala diikuti gejala keriting. Bercak tipe kedua ini
ditemukan pada jambu biji varietas Kristal. Bercak tersebut tersebar atau penuh,
pada ujung daun, tepi daun, atau lebih sering terdapat pada bagian yang dekat
dengan tulang daun. Pada kondisi lembab, pada bercak tersebut tumbuh talus yang
muncul pada permukaan atas, permukaan bawah daun, atau talus menembus
tumbuh sekaligus pada permukaan bawah dan permukaan atas daun.
Bunga yang terbentuk pada cabang yang terinfeksi, menunjukkan gejala
bercak kehitaman. Pada buah muda yang terinfeksi, gejala bercak kehitaman
cenderung cekung. Kadang-kadang timbul retakan pada bercak yang sudah lama
seiring dengan pembesaran buah. Penetrasi patogen pada buah terbatas pada
lapisan sel di bawah epidermis. Patogen dapat menginfeksi jaringan angkut pada
ranting muda sehingga ranting sulit tumbuh memanjang dan tidak terbentuk buah,
jika buah sudah terbentuk buah menjadi kering dan mati (Gambar 44C).
Keberadaan bercak pada daun tersebut mengurangi luas permukaan proses
fotosintesis tanaman. Selain itu, infeksi alga ini dapat menyebabkan perubahan
80
A
B
D
Gambar 44
E
Gejala dan penyebab penyakit karat merah (Cephaleuros spp.): (A)
gejala awal 1 berupa bercak coklat kecil atau menyatu, (B) gejala
awal 2 berupa bercak kehitaman pada daun muda, (C) buah mati
karena jaringan pengangkut mati, (D) talus terbentuk pada bercak,
seperti beludru berwarna oranye, (D) sporangium Cephaleuros sp.
A
Gambar 45
C
B
Alga yang berasosiasi dengan Cephaleuros sp.: (A) bercak kelabu
seperti kerak pada permukaan atas daun jambu biji tua, (B) struktur
mikroskopik.
81
fisiologi tanaman dengan berkurangnya kandungan yang terdapat dalam daun
jambu biji (Misra 2004).
Alga Cephaleuros spp. menyebar antara kutikula dan epidermis dan
mempenetrasi sel epidermis. Sel yang terinfeksi akhirnya mati (Misra 2004).
Penyakit ini sering disebut dengan karat merah karena pada permukaan atas daun
ditumbuhi talus yang tegak, dengan filamen berwarna kuning hingga merah
dengan badan buah (Misra 2004). Kumpulan filamen dari alga nampak seperti
beludru berwarna orange (Gambar 44D). Talus tersebut rata, pendek, rapat dan
penuh dengan filamen yang bercabang. Di bawahnya terdapat rizoid bercabang
yang tidak teratur. Filamen tumbuh mulai dari tepi bercak kemudian memenuhi
seluruh permukaan bercak. Sebagian besar badan buah (terlihat) jelas yang terdiri
dari 1-8
filamen multiseluler yang tegak lurus (Misra 2004). Setiap pedisel
menghasilkan sporangium berbentuk buah pir atau hampir bulat (Gambar 44E)
yang akhirnya akan memencarkan 8-32 spora motil biflagelat.
Bercak menyebar melalui seluruh lamina segera setelah talus muncul dan
sporulasi terjadi pada permukaan bercak pada permukaan bawah, atas atau pada
keduanya sekaligus. Berbeda dengan laporan Marlatt dan Campbell (1980) yang
menyatakan pada jambu biji sporulasi hanya terjadi di permukaan bawah daun.
Pada permukaan daun tanaman tua seringkali terdapat bercak keperti kerak
berwarna abu-abu kusam (Gambar 45). Bercak berupa bercak-bercak kecil yang
tidak menyatu, dalam jumlah banyak bercak akan menutupi hampir seluruh
permukaan atas daun. Bercak ini seringkali berada pada permukaan daun bersama
dengan alga hijau Cephaleuros spp.
Busuk Buah Botryodiplodia
Buah jambu biji yang terinfeksi menunjukkan gejala seperti kanker, namun
buah jambu biji ini tidak terlalu keras seperti kanker buah (Gambar 46A).
Penyebab penyakit ini adalah cendawan Botryodiplodia sp. (Gambar 46B).
Konidia cendawan teridentifikasi dari permukaan buah muda yang kering.
Cendawan Botriodiplodia merupakan cendawan parasit lemah atau parasit
luka, menginfeksi bagian tanaman yang terdapat bekas aktivitas serangga atau
pada bagian tanaman yang telah terinfeksi patogen lain. Pada tanaman pathogen
82
ini ditemukan berasossiasi dengan Gloeosporium sp. dan Pestalotia sp. penyebab
kanker buah .
Menurut Semangun (1994), cendawan ini dapat menginfeksi buah jambu
biji sejak di pertanaman maupun di penyimpanan. Cendawan menyebabkan busuk
basah pada jambu biji yang sudah matang.
Penyakit Layu
Penyakit layu ditemukan pada tanaman jambu biji varietas kristal di
Rancabungur dan Kampus IPB Darmaga. Penyakit ini selama pengamatan pada
ketiga lahan (jambu biji merah) tidak ditemukan. Semangun (1994) menyatakan
penyakit layu merupakan penyakit penting di India, dan berbagai laporan dalam
Gupta et al. (2010) penyakit layu juga terdapat di negara-negara lain yaitu Florida,
Taiwan, Kuba, Afrika Selatan, Brazil, Pakistan, Banglades, dan Australia. Di
India sampai saat ini penyebaran penyakit layu semakin meluas dan laporan dari
berbagai varietas jambu biji pun semakin bertambah. Varietas jambu biji di India
tidak ada yang tidak terinfeksi penyakit ini (Gupta et al. 2010).
Bagian tanaman yang terinfeksi menunjukkan gejala perubahan warna
menjadi kuning,
daun sedikit mengeriting pada pangkal cabang, menjadi
kemerahan, kemudian diikuti dengan rontoknya daun-daun pada cabang tersebut.
Ranting cabang menjadi gundul, dan sulit untuk menghasilkan daun baru atau
bunga dan akhirnya mengering (Gambar 47A). Buah yang telah terbentuk pada
ranting yang terinfeksi tidak berkembang, berwarna hitam, dan menjadi keras.
Setelah mengering buah ini kemudian rontok. Gejala penyakit layu yang diamati
menunjukan gejala layu parsial. Di berbagai negara, penyakit layu menyebabkan
kematian seluruh tanaman sehingga dapat memusnahkan pertanaman jambu biji.
Penyebab penyakit layu yang teridentifikasi yaitu cendawan Fusarium sp.
(Gambar 47B).
Cendawan Fusarium merupakan patogen penyebarannya ke
seluruh dunia. Cendawan ini paling banyak menyebabkan penyakit layu pada
berbagai tanaman (Naik et al. 2008). Dari berbagai laporan, spesies Fusarium
yang pernah dilaporkan berasosiasi dengan penyakit layu antara lain Fusarium
oxysporum, Fusarium oxysporum f. sp. psidii, dan F. solani, (Gupta et al. 2010).
83
Sebagai cendawan tular tanah, Fusarium cukup sulit untuk dikendalikan.
Terutama jika pengelolaan ini menggunakan pestisida yang diaplikasikan pada
tanaman yang berada di atas permukaan saja. Pengelolaan terhadap penyakit layu
harus dilakukan sejak persiapan untuk penanaman. Lubang tanam diberi fungisida
dan ditutup selama 3 hari, kemudian dibuka dan dibiarkan. Bibit jambu biji
ditanam minimal 2 minggu setelahnya. Bagian yang berpenyakit dibuang dan
dibakar dijauhkan dari pertanaman. Pemberian bahan organik dapat mengurangi
perkembangan penyakit layu karena penyakit berkembang pada tanaman yang
kekurangan nitrogen (Gupta et al. 2010).
Pengedalian menggunakan pestisida dari bahan tanaman merupakan
pengendalian yang ramah lingkungan. Tanaman yang berpotensi untuk
mengendalikan Fusarium antara lain Azadirachta indica, Ocimum sanctum, dan
Curucuma longa (Gupta et al. 2010).
Embun Jelaga
Embun jelaga merupakan cendawan saprofit yang menyebabkan kerugian
tidak langsung. Cendawan hidup pada daun, batang, sampai buah jambu biji
membentuk tenunan padat sehingga menutupi permukaan bagian tanaman jambu
biji. Cendawan ini berasosiasi dengan serangga penghasil embun madu seperti
beberapa spesies kutu putih, kutukebul, kututempurung dan kutudaun. Keberadaan
cendawan ini seringkali sebagai penanda keberadaan serangga tersebut.
Gejala kolonisasi embun jelaga yaitu pada permukaan atas daun tertutupi
oleh koloni berwarna hitam. Penutupan pada daun ini menyebabkan berkurangnya
luasan daun untuk proses fotosintesis dan permukaan daun menjadi kotor.
Cendawan tidak hanya terdapat pada daun, tetapi juga pada ranting dan buah.
Buah yang tertutup oleh embun jelaga menjadi tidak menarik (Gambar 48A ).
Penyebab embun jelaga yang teridentifikasi yaitu cendawan Triposporium
sp. (Gambar 48B). Cendawan ini berasosiasi dengan kutukebul A. dispersus dan
kutu putih M. hirsutus.
84
A
Gambar 46
B
Gejala dan patogen penyebab busuk buah kering Botryodiplodia:
(A) buah muda kering seperti gejala kanker, (B) konidia
Botryodiplodia sp.
A
B
Gambar 47 Gejala dan penyebab penyakit layu pada tanaman jambu biji: (A)
tunas pinggir tanaman layu dan mengering, (B) konidia Fusarium sp.
A
B
Gambar 48 Gejala dan penyebab penyakit embun jelaga: (A) embun jelaga
hitam
menutupi permukaan daun dan buah, (B)
konidia
Triposporium sp.
85
Kanker Buah oleh Fungi Askomiset
Kanker buah oleh fungi askomiset ini mudah dikenali karena pada
permukaan buah yang terinfeksi terlihat struktur berwarna oranye menutupi
permukaan buah (Gambar 49). Buah yang terinfeksi yaitu buah-buah yang masih
kecil. Buah berwarna coklat gelap dan menjadi keras. Selain pada buah, pathogen
juga ditemukan pada batang jambu biji kering.
Bercak Merah
Pada daun muda tanaman jambu biji pada lahan 1 dan 2 seringkali
ditemukan gejala bercak merah (Gambar 50). Bercak hanya pada daun muda,
tidak pada pucuk yang belum membuka. Bercak ini akan berubah menjadi pudar
atau cenderung tidak terlihat jika daun tanaman yang bergejala menua. Penyakit
ini selalu ada pada lahan jambu biji sedang, dengan intensitas berkisar antara 4,3
sampai 21,3% (Lampiran 4). Selain berpengaruh pada pengurangan luas
permukaan fotosisentesis tanaman, penyakit bercak merah ini asosiasi dan
kerugian lanjutnya belum diketahui.
Kerusakan Fisik dan Mekanis
Buah jambu biji yang dibungkus jika menggunakan plastik yang tipis akan
menyebabkan plastik menempel pada buah jambu biji. Pada saat terkena sinar
matahari langsung, buah akan terbakar. Pada bagian luar buah berwarna hitam dan
rasa buah jambu biji berubah. Pada gejala yang berat buah tidak dapat
berkembang sempurna, hitam dan mengering sampai ke bagian dalamnya
(Gambar 51A). Penggunaan koran pada pembungkusan dapat mencegah buah
terbakar langsung.
Panen buah jambu biji di Rancabungur dilakukan secara berjadwal karena
ditangani oleh tengkulak. Seringkali ada beberapa buah yang terlambat panen
sehingga terlalu matang. Selama distribusi buah ini akan memar (Gambar 51B)
dan semakin mempercepat pembusukan sehingga buah tidak dapat dipasarkan.
86
A
Gambar 49
B
Gejala dan penyebab kanker buah oleh fungi askomiset: (A) buah
kecil mengering dan ditumbuhi fungi askomiset pada
permukaannya, (B) struktur mikroskopik.
Gambar 50 Gejala bercak merah pada daun muda jambu biji.
A
B
Gambar 51 Gejala kerusakan fisik mekanis pada buah jambu biji: (A) buah
jambu biji hitam terbakar matahari, (B) buah memar.
87
Karakteristik Petani Tanaman Jambu Biji di Rancabungur
Terdapat variasi umur dari petani jambu biji responden. Sebagian besar
petani responden adalah berusia pertengahan (31-50), yaitu 45%, generasi muda
sebanyak 5%, tidak ada petani yang berusia di bawah 20 tahun, dan 25% berusia
lebih dari 60 tahun (Tabel 5). Petani merupakan mata pencaharian paling banyak
di Desa Bantarsari (41,4%) dan Bantarjaya (53%), 75% petani responden
mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian utama, dan 25% menjadikan
pertanian sebagai sampingan selain bekerja sebagai guru, pedagang, wiraswasta,
pengelola ojeg, ibu rumah tangga maupun mahasiswa.
Sebagian besar petani responden merupakan lulusan dari Sekolah Dasar
(35%). Petani yang mendapat pendidikan dasar sembilan tahun yaitu lulus SLTP
20%, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas 30%, dan 15% merupakan lulusan
Perguruan Tinggi. Namun, tidak ada yang mendapat pendidikan formal dari
bidang pertanian sehingga dalam usaha tani yang paling utama adalah berdasarkan
pengalaman yang turun temurun, atau pengalaman mereka sendiri dan petani lain
di lapangan dan kadang-kadang mendapat pelatihan dari lembaga pemerintah
maupun lembaga pendidikan pertanian.
Jambu biji bukan merupakan tanaman baru di Kecamatan Rancabungur ini,
namun usaha tani jambu biji dalam skala komersial belum lama dikembangkan.
Rata-rata petani memiliki pengalaman pertama dalam usaha tani jambu sehingga
umur tanaman jambu biji sekarang adalah lama pengalaman usaha tani jambu
mereka. Petani responden memiliki pengalaman usaha tani jambu biji paling lama
selama 7 tahun, 80% memiliki pengalaman 1-6 tahun, dan beberapa petani baru
memulai menanam jambu biji (kurang dari 1 tahun) (Tabel 5).
Status Kepemilikan dan Luas Pengusahaan Lahan Jambu Biji Petani
di Rancabungur
Petani responden di desa Bantarsari dan Bantarjaya menanam jambu dalam
petak-petak lahan yang tidak begitu luas, sebagian besar menanam pada lahan
seluas 0,1 sampai 0,5 ha (60%), 25% pada lahan antara 0,5 sampai 1 ha, dan
hanya 5% yang menanam jambu biji mencapai luas lebih dari 1 hektar (Tabel 6).
88
Tabel 5
Karakteristik petani jambu biji yang diwawancara di Kecamatan
Rancabungur, 2010
Karakteristik
Jumlah petani (orang)
Persentase
≤ 20
0
0
21-30
1
5
31-40
3
15
41-50
6
30
51-60
5
25
> 60
5
25
Tidak sekolah
0
0
SD
7
35
SLTA
6
30
PT
3
15
Utama
15
75
Sampingan
5
25
≤1
2
10
1< x ≤ 3
10
50
3<x≤6
6
30
>6
2
10
Kelas umur (tahun)
Pendidikan
Pekerjaan petani sebagai pekerjaan
Pengalaman bertani jambu biji
(tahun)
Petani umumnya menanam jambu biji tidak dalam satu luasan lahan yang
menyatu melainkan pada beberapa petak lahan yang tempatnya terpisah-pisah.
Hal ini berhubungan dengan kepemilikan lahan dimana dalam satu luasan areal
pertanian di Desa Bantarjaya adalah merupakan milik beberapa petani. Meskipun
sebanyak 80% petani responden membudidayakan jambu biji pada lahan sendiri,
namun hanya dalam lahan yang sempit sehingga 25% petani responden yang
menanam jambu pada lahan sendiri sekaligus menyewa dari pemilik lahan lain,
89
5% menanam pada lahan sendiri sekaligus sebagai penggarap pada lahan petani,
15% petani responden hanya sebagai penggarap pada lahan pertanaman jambu biji
orang lain (Tabel 6).
Tabel 6 Kepemilikan lahan dan luas pengusahaan lahan jambu biji oleh petani
responden
Lahan
Jumlah petani
Persentase
Milik sendiri
9
45
Milik sendiri dan sewa
5
25
Milik sendiri dan penggarap
1
5
Sewa
2
10
Penggarap
3
15
≤ 0,1 ha
2
10
0,1 ha < x ≤ 0,5 ha
12
60
0,5 ha < x ≤ 1 ha
5
25
>1 ha
1
5
Status kepemilikan
Luas pengusahaan
Petani di desa Bantarjaya dan Bantarsari umumnya menanam sayuran,
palawija, dan tanaman pepaya. Penanaman sayuran dilakukan secara terus
menerus dengan teknik budidaya yang intensif menggunakan pestisida kimiawi,
akibatnya permasalahan hama dan penyakit pada beberapa komoditas semakin
sulit diatasi atau bahkan sampai gagal panen, sedangkan biaya operasional untuk
pembelian pestisida semakin meningkat karena aplikasinya yang terus-menerus.
Tanaman pepaya varietas kalifornia pada awalnya banyak dibudidayakan.
Meskipun membutuhkan biaya operasional yang tinggi untuk pemupukan dan
pestisida, tetapi karena pemasaran buah pepaya lebih terjamin (ke supermarket)
dengan harga tetap dan relatif tinggi daripada harga jual ke pasar lokal. Pada
tahun 2009 terjadi ledakan populasi kutu putih Paracoccus marginatus yang sulit
diatasi dan menyebabkan kehilangan hasil. Selain itu, penyakit antraknosa dan
busuk batang yang disebabkan oleh bakteri juga menyebabkan pertanaman pepaya
90
habis. Beberapa petani menjadikan tanaman jambu biji sebagai alternatif
pengganti pepaya atau komoditas sayuran lainnya.
Tanaman
jambu
biji
dipilih
sebagai
alternatif
karena
beberapa
keunggulannya antara lain pemeliharan jambu biji relatif lebih mudah, harga jual
relatif tinggi pada saat awal-awal penanaman dengan modal yang relatif lebih
sedikit dibandingkan modal untuk budidaya tanaman pepaya. Modal yang relatif
sedikit ini dikarenakan sebagai tanaman tahunan jambu biji membutuhkan modal
yang paling banyak hanya pada saat awal penanaman saja antara lain untuk
pembelian bibit, lahan, pupuk, dan biaya tenaga kerja untuk pengolahan lahan.
Sedangkan untuk perawatan selanjutnya biasanya dikerjakan sendiri oleh
petaninya sehingga mengurangi biaya untuk tenaga kerja. Pemupukan hanya
dilakukan setahun dua kali bahkan sebagian petani tidak mengaplikasikan
pemupukan setelah tanaman tumbuh, dan biaya untuk pestisida lebih murah
karena permasalahan hama dan penyakit tanaman jambu biji masih dianggap
ringan dan tidak terlalu merugikan secara ekonomi.
Keunggulan lain dari jambu biji yaitu buah jambu biji dipanen kurang lebih
2 kali dalam seminggu dan dapat berbuah sepanjang tahun jika kondisi lingkungan
mendukung. Bibit yang digunakan berasal dari cangkok sehingga tanaman jambu
biji sudah dapat mengahasilkan buah ketika umur tanaman baru mencapai 6
bulan-1 tahun.
Keberhasilan petani lain dalam usaha tani jambu biji, juga menjadi salah
satu pendorong ketertarikan petani responden (35%). Petani yang dijadikan
contoh tersebut yaitu petani yang berada di sekitarnya dan petani di tempat-tempat
lain yang lebih dulu mengembangkan jambu biji secara komersial dan luas seperti
di Desa Cilebut, Tajur Halang, dan Bojong Gede.
Alasan lainnya yaitu karena faktor dari petaninya sendiri seperti faktor usia
dan pekerjaan, dengan budidaya yang relatif mudah beberapa petani responden
yang telah berumur lebih dari 60 tahun atau memiliki pekerjaan utama lain
mengisi waktu luang dengan menanam jambu biji, atau untuk petani yang hanya
sebagai penggarap mengikuti saran pemilik yang lahannya dipercayakan pada
petani tersebut.
91
Budidaya Tanaman Jambu Biji oleh Petani
Bibit
Untuk bibit cangkokan jambu biji merah semua petani responden
memperoleh bibit dengan membeli dari petani lain (100%). Petani yang
berpengalaman setelah umur tanaman mencapai tahunan, menambah lahan
penanaman jambu biji berikutnya dengan membibitkan sendiri (5%). Sebagian
petani membeli bibit dari petani lain sekaligus membeli dari proyek ICDF-IPB
(35%) (Tabel 7).
Tabel 7 Asal bibit jambu biji petani responden
Asal bibit
Membeli dari petani lain
Jumlah petani
12
Persentase
60
7
35
1
5
Membeli dari petani lain dan membeli dari
proyek
Membeli dari petani lain dan membibitkan
sendiri
Bibit yang diperoleh dari petani lain ada yang berasal dari dalam satu desa
atau tetangga dan ada juga yang berasal dari beberapa desa yang merupakan
sentra pertanaman jambu biji seperti Cilebut, Tajur Halang, Bojong Gede,
Citayem, Cendali, dan Kayu Manis. Desa asal bibit tersebut misalnya Cilebut para
petaninya sudah lebih dulu mengembangkan jambu biji sebagai komoditas
pertanian. Hampir semua tanaman jambu biji yang ditanam petani responden
diperbanyak dengan cara mencangkok, kecuali untuk varietas Kristal yang berasal
dari proyek diperbanyak dengan cara okulasi. Perbanyakan jambu biji dengan cara
cangkok atau okulasi merupakan perbanyakan secara vegetatif, keturunannya akan
memiliki sifat yang sama dengan induknya (Sujiprihati 1985), dan sudah dapat
menghasilkan buah pertama relatif lebih cepat (6 bulan - 1 tahun setelah tanam)
daripada tanaman jambu biji yang diperbanyak dengan cara generatif melalui biji
(sekitar setelah umur tanaman jambu biji mencapai 2 tahun).
Varietas jambu biji yang banyak dibudidayakan oleh petani di Rancabungur
adalah jambu biji merah, yaitu sebanyak 90% petani responden. Umumnya petani
92
menggunakan lebih dari satu macam varietas jambu biji. Petani yang menanam
jambu biji juga membudidayakan varietas lain yaitu jambu biji Kristal (35%),
jambu biji Merah Getas (10%), jambu biji Bangkok (15%), dan jambu biji apel
(10%) (Tabel 8).
Tabel 8 Penggunaan varietas jambu biji oleh petani responden
Varietas jambu biji
Jumlah petani
Persentase
Jambu biji merah
18
90
Jambu biji merah getas
2
10
Jambu biji Bangkok
3
15
Jambu biji apel
1
5
Jambu biji Kristal
7
35
Jambu biji merah menjadi pilihan petani untuk dibudidayakan karena
permintaan pasar dianggap cukup baik pada saat itu, selain itu jambu biji merah
memiliki interval panen yang lebih cepat dibandingkan jambu biji Bangkok
maupun jambu biji susu. Jambu biji Bangkok dapat dipanen 5-6 bulan setelah
bunga mekar (Sujiprihati 1985). Jambu biji merah yang dibudidayakan oleh petani
responden memiliki ciri-ciri buah jambu biji yang ukurannya relatif lebih besar
dari jambu biji merah lokal dengan bobot buah mencapai 440 gram. Buah
berbentuk bulat, berbentuk buah pir, permukaan buah tidak merata, berwarna
hijau muda ketika matang, dan menjadi kuning merata setelah buah masak
sempurna. Daun berbentuk oval panjang dengan warna daun pucuk hijau
kemerahan dan menjadi hijau tua setelah daun menjadi tua. Jambu biji kristal juga
banyak ditanam petani dan merupakan varietas yang baru di Kecamatan
Rancabungur. Varietas Kristal merupakan varietas jambu biji unggul yang berbiji
sedikit dengan daging buah berwarna putih. Daging buah tanpa biji (mesokarp)
sangat tebal dari jambu biji yang berdiameter 10,5 cm, bagian pulpnya hanya
sekitar 1 cm.
Pola Tanam yang Dilakukan oleh Petani
Sebanyak 75% petani melakukan pola tanam rotasi sebelum menanam
jambu biji dan sekaligus tumpang sari pada saat menanam jambu biji (Tabel 7).
93
Rotasi bertujuan mengurangi serangan hama dan penyakit akibat pola tanam yang
terus-menerus.
Tanaman jambu biji yang ditanam dengan pola tumpangsari
dengan tanaman bengkuang, kacang panjang, terong, bayam, kangkung, kacang
tanah, timun suri, ubi jalar, singkong, jagung, pepaya, dan jati. Tanaman tumpang
sari ini ditanam bersamaan dengan jambu biji. Jika telah panen diganti dengan
tanaman lain. Petani responden umumnya melakukan tumpang sari hanya sampai
umur tanaman jambu biji 1 sampai 2 tahun saja. Karena setelah dua tahun tajuk
tanaman jambu biji sudah mulai rimbun sehingga kanopinya menghalangi sinar
matahari untuk sampai langsung ke tanah. Pola tanam tumpang sari ini selain
menguntungkan karena memberi hasil tambahan juga untuk menjaga agar
tanaman jambu biji tetap terawat. Petani yang menanam jambu biji dengan pola
terus-menerus hanya sedikit sebanyak 5%. Sebanyak 20% petani responden
menanamnya dengan monokultur karena jambu biji ditanam pada lahan sempit
(Tabel 9).
Tabel 9 Pola tanam yang dilakukan oleh petani jambu biji di Rancabungur
Pola tanam
Jumlah petani
Persentase
Terus menerus
1
5
Rotasi sekaligus tumpang sari
15
75
Monokultur
4
20
Pengolahan Tanah dan Penanaman
Pengolahan dilakukan dalam beberapa tahapan, tanah digemburkan dan
dibersihkan gulma dan sampah. Pada tanaman jambu biji yang ditanam dengan
tumpang sari, tanah dibuat guludan terlebih dahulu atau disesuaikan dengan
komoditas tanaman yang akan ditanam sebagai tanaman tumpang sari. Jarak
tanam jambu biji yang digunakan oleh petani jambu biji cukup beragam yaitu 2,5
x 2,5; 2 x 3; 3 x 3; 3,5 x 3; 4 x 4; 2,5 x 5; 5 x 5; 5 x 6; 6 x 4; 6 x 6 m. Populasi
tanaman jambu biji per hektar antara 233,3 sampai 1200 tanaman per hektar. Jarak
tanam yang cukup rapat 2,5 x 2,5 m sampai 3 x 3 m umumnya untuk tanaman
jambu biji varietas kristal atau petani yang menanam pada lahan yang sempit.
94
Sebagian petani responden (65%) membuat lubang tanam dan 35% petani
responden tidak membuat lubang tanam tertentu. Pada tempat yang akan ditanami
dicangkul secukupnya kemudian dibumbun dengan tanah di sekelilingnya agar
bibit tidak rebah. Ukuran lubang tanam yang dibuat cukup beragam yaitu 20 x 20
cm; 30 x 30 cm; 40 x 30 cm; 40 x 40 cm; 50 x 50 cm; 60 x 60 cm; 60 x 70 cm;
dan 100 x 100 cm dengan kedalaman sekitar 20-60 cm. Lubang tanam dibuat
sekitar 2 minggu sampai 1 bulan sebelum tanam atau petani membuat lubang
tanam dan langsung menanam jambu biji. Tanah hasil galian dibagi menjadi dua,
lapisan bawah dibiarkan selama satu minggu sampai 15 hari agar terkena sinar
matahari untuk menghilangkan bibit penyakit (Soedarya 2010) sekaligus
mengurangi sifat asam pada tanah tersebut. Tanah kemudian dicampur dengan
pupuk kandang berupa kotoran kambing dengan dosis 3 sampai 40 kg per lubang
tanam, dibiarkan selama satu minggu kemudian tanaman jambu biji segera
ditanam. Beberapa petani responden (30%) mengaplikasikan insektisida berbahan
aktif karbofuran pada lubang tanam, atau menebarkan garam di sekitar tanaman
untuk mencegah serangan rayap dan ulat tanah.
Perawatan Tanaman Jambu Biji pada Awal Penanaman
Tanaman jambu biji yang telah ditanam disiram setiap 2 kali sehari, pagi
dan sore jika tidak ada hujan. Petani yang menanam jambu biji dengan lubang
tanam rendah melakukan pembumbunan agar tanaman tidak roboh oleh angin.
Sebanyak 75% petani melakukan penyulaman tanaman jambu biji yang mati.
Tanaman jambu biji mati disebabkan antara lain oleh rayap, kekeringan, ulat
penggerek, busuk akar yang disebabkan cendawan, rebah karena angin, dan
pencurian.
Pemupukan
Pemupukan yang dilakukan petani yaitu menggunakan pupuk organik dan
anorganik. Semua petani responden melakukan pemupukan dengan menggunakan
pupuk organik menggunakan kotoran kambing atau domba. Selain itu petani ada
yang menggunakan kotoran kambing sekaligus kotoran ayam (5%) atau kotoran
sapi (5%).
95
Dosis yang digunakan antara 20 sampai 60 kg per tanaman dengan aplikasi
sekitar 3 bulan sekali sampai tanaman berumur 1 tahun. Setelah itu aplikasi
dilakukan setiap 6 bulan sekali. Pupuk diaplikasikan beberapa sentimeter di
sekeliling tanaman jambu biji untuk menghindari rayap. Dosis dan aplikasi
pemupukan oleh petani responden bergantung pada umur tanaman dan varietas
jambu biji serta pada kondisi ekonomi petani.
Sebagian petani juga mengaplikasikan pupuk anorganik antara lain urea,
ZA, KCl, TSP, SP 36, NPK, dan Phonska (pupuk majemuk yang mengandung
unsur N, P, K, dan S) (Tabel 10).
Tabel 10 Penggunaan pupuk anoraganik pada tanaman jambu biji oleh petani di
Rancabungur
Jenis pupuk
Penggunaan oleh petani (%)
Frekuensi aplikasi
Urea
15
5 bulan sekali
ZA
30
3-5 bulan sekali
TSP
20
5 bulan -1 tahun sekali
KCl
25
5 bulan -1 tahun sekali
NPK
25
5 bulan -1 tahun sekali
Phonska
20
1 tahun sekali
Petani mengaplikasikan pupuk secara tunggal maupun dicampur. Pupuk
majemuk seperti NPK dan Phonska diaplikasikan secara tunggal, pupuk Urea, ZA,
TSP, dan KCl diaplikasikan secara tunggal maupun dicampur. Dosis yang
diaplikasikan beragam, urea 100 sampai 500 gram per tanaman atau 250 sampai
312 kg per ha. Pupuk ZA 7, 403, dan 500 gram per tanaman atau 23,3, 83,3, 125
dan 312 kg per ha; pupuk TSP 7, 312, 403, dan 500 gram per tanaman atau 33,3,
125 dan 138,9 kg per ha; pupuk KCl 5,25, 7, 125, dan 500 gram per tanaman atau
20, 33,3, dan 136,67 kg per ha; pupuk NPK 40, 50, 138,9, dan 312 kg per ha;
pupuk Phonska 66,7, 233,3, 312, 613 kg per ha. Petani juga menggunakan pupuk
cair antara lain Bayfolan (10%), Gandasil B (50%), Gandasil D (5%), Plant
Catalyst (5%), dan Super KCl (5%). Gandasil B banyak digunakan oleh petani
karena tujuan penggunaannya adalah untuk merangsang pembentukan buah.
96
Pengendalian Gulma
Pada pertanaman jambu biji yang ditanam secara tumpangsari pengendalian
gulma dilakukan dengan intensif. Untuk persiapan lahan pada awal penanaman
95% petani menggunakan herbisida berbahan aktif isopropil amina glifosat dan
5% secara manual dilakukan sekaligus pada saat menggemburkan tanah
menggunakan garu. Selama masa pertumbuhan 90% petani mengendalikan gulma
dengan cara disiangi menggunakan arit atau dicabut jika memungkinkan dan 10%
petani mengkombinasikannya dengan tetap menggunakan herbisida (Tabel 11).
Penyiangan gulma pada pertanaman jambu biji yang sudah mencapai umur
1 tahunan atau lebih, gulma tidak dibabat sampai habis kecuali pada sekeliling
tanaman. Penyiangan gulma biasanya dilakukan oleh pekerja perempuan.
Pengendalian gulma tidak dijadwalkan, karena pertumbuhan gulma yang berbeda
pada setiap masa pertumbuhan jambu biji. Jika gulma sudah terlihat tinggi dan
mengganggu maka pengendalian segera dilakukan. Pengendalian dengan
menggunakan hesbisida oleh petani pada masa pertanaman dilakukan dengan
interval 2 bulan sekali.
Tabel 11 Pengendalian gulma yang dilakukan oleh petani responden
Pengendalian gulma
Jumlah petani Persentase
Sebelum tanam
Menggunakan herbisida
19
95
Manual
1
5
18
90
2
10
Masa pertumbuhan tanaman
Disiangi secara manual
Disiangi secara manual dan kadang-kadang
dengan herbisida
Penggunaan Mulsa
Sebanyak 50% petani responden menggunakan mulsa jerami untuk tanaman
jambu biji, hanya 15% petani yang melakukannya secara rutin setiap 3-6 bulan
sekali. Penggunaan mulsa berfungsi untuk menjaga kelembaban tanah saat musim
kemarau, menghambat pertumbuhan gulma, dan menambah kesuburan tanah dan
kegemburan tanah karena jika sudah terurai akan menambah bahan organik pada
97
tanah. Selain jerami, serasah daun dan daun yang dibuang ketika perempelan serta
gulma yang telah disiangi digunakan juga sebagai mulsa dan pupuk hijau. Mulsa
diaplikasikan di sekeliling tanaman.
Pemangkasan Tanaman
Petani responden di Rancabungur tidak melakukan pemangkasan yang
sistematis dalam pemeliharaan tanaman jambu biji. Beberapa petani melakukan
pemangkasan (25%), hanya untuk membuang ranting-ranting kering dan
berpenyakit, atau tanaman rebah dan cabang patah karena tajuk terlalu rimbun dan
tidak seimbang.
Pada budidaya jambu biji untuk produksi buah, pemangkasan memiliki
beberapa tujuan dan manfaat antara lain: (1) mengurangi tajuk tanaman agar tidak
terlalu rimbun sehingga cahaya matahari tidak menghalangi bagian tanaman
jambu biji yang berada di bawahnya. Cahaya matahari dapat merangsang
terbentuknya tunas baru, sehingga produksi buah tinggi (Nakasone & Paull 1999;
Agromedia 2009); (2) mengatur produksi dan umur produksi tanaman (3)
membentuk tajuk seimbang sehingga tanaman kokoh; (4) membentuk tanaman
sehingga memudahkan pemanenan (menghemat waktu, biaya, dan tenaga); (5)
menjaga ukuran buah (semakin jauh dari batang utama, ukuran buah akan
semakin kecil karena aliran hara dari akar akan semakin jauh) (Utami 2008).
Pemangkasan dilakukan saat tanaman telah berumur 2 tahun (Agromedia
2009). Pemangkasan berikutnya dilakukan sesuai keadaan tanaman, menurut
Rismunandar (1989) dapat dilakukan 2-3 tahun sekali atau 8-9 bulan sekali
(Nakasone & Paull 1999). Dalam percobaan Respatie (2007) interaksi tinggi
pangkasan dan dosis pemupukan urea berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan
tinggi tanaman pada 6 MST, diameter batang pada 16-18 MST, dan jumlah
cabang pada 8 MST hasil terbaik yaitu pemangkasan dengan panjang 50 cm dan
pemupukan 90 g/tanaman dibandingkan kombinasi pemangkasan 75 dan 100 cm
dan dosis pupuk urea 0 dan 180 g/tanaman. Pemangkasan juga perlu dilakukan
setelah masa panen buah berakhir dengan harapan segera muncul tunas-tunas
baru, disusul bunga baru pada musim berikutnya.
98
Pemangkasan dalam untuk tanaman jambu biji dapat dilakukan jika
pertumbuhan tinggi tanaman sudah tidak ekonomis lagi, sehingga menyulitkan
dalam perawatan dan pemanenan buah, produksi buah sudah menurun baik jumlah
maupun ukurannya, tanaman sudah tampak merana (banyak buah yang tumbuh
dari ranting yang pendek-pendek), dan setelah mengalami kerusakan hebat,
misalnya akibat kerusakan hama ulat (Rismunandar 1989).
Perempelan Daun dan Pengurutan Ranting
Perempelan daun terhadap daun-daun tua dilakukan secara manual
menggunakan tangan, setiap selesai panen buah jambu biji. Menurut Nakasone &
Paull (1999), perempelan daun bisa digunakan cara kimiawi yaitu dengan
menggunakan larutan urea. Larutan urea 15-25% dapat menyebabkan 90% daun
gugur.
Setelah
perempelan
daun
dilakukan
pengurutan
ranting,
untuk
mengarahkan pertumbuhan ranting tersebut.
Perempelan daun dan pengurutan ranting berfungsi untuk merangsang
pembungaan. Setelah perempelan akan muncul daun baru pada tunas baru sekitar
3-4 minggu kemudian. Puncak pembungaan akan terjadi 9-12 minggu setelah
perempelan (Nakasone & Paull 1999).
Penjarangan dan Pembungkusan Buah
Setelah tanaman jambu biji berumur sekitar 6 bulan setelah tanam, jambu
biji akan segera berbuah. Untuk mencegah dari serangan hama dan penyakit
terutama lalat buah, petani melakukan pembungkusan pada buah ketika buah itu
masih kecil (100%), diameter buah sekitar 2 sampai 3,5 cm atau sekitar 1,5 bulan
setelah bunga mekar. Semua petani menggunakan kombinasi plastik dan koran
untuk pembungkusan buah (100%), dan 10% petani responden selain
menggunakan plastik dan koran juga menggunakan jaring sterofom khusus untuk
pembungkusan buah jambu biji kristal. Plastik dan koran merupakan bahan yang
murah dan mudah didapat. Plastik yang digunakan antara lain berukuran 16 x 20
cm, 17 x 35 cm, dan 20 x 35 cm (jambu putih). Di dalamnya diberi koran untuk
menghindari terpaan panas matahari langsung pada buah. Sebelum pembungkusan
buah beberapa petani melakukan penyemprotan buah dengan pestisida. Petani
99
tidak melakukan penjarangan buah terhadap buah-buah yang muncul lebih dari
satu, semua buah dibiarkan berkembang sampai panen sehingga ukuran buah tidak
maksimal. Penjarangan buah menurut petani dapat mengurangi jumlah panen.
Permasalahan dalam Usahatani Tanaman Jambu Biji
Tanaman jambu biji pada awal petani membudidayakan jambu biji harga
buah relatif tinggi sekitar Rp 6000,00/kg. Dengan semakin meningkatnya
produksi jambu biji karena semakin banyak petani yang membudidayakan jambu
biji harganya menjadi tidak stabil. Pada musim panen raya jambu biji harga buah
jambu biji hanya sekitar Rp 500,00/kg. Dengan harga yang tidak stabil tersebut
55% petani responden menganggap harga yang rendah merupakan permasalahan
utama dalam usahatani jambu biji (Tabel 12).
Tabel 12 Permasalahan usahatani jambu biji
Permasalahan usahatani
Jumlah petani
Persentase
Hama dan penyakit
3
15
Modal
1
5
Air/irigasi
1
5
Cuaca
3
15
Pemasaran (harga)
11
55
Gangguan manusia
1
5
Harga yang relatif rendah dan permasalahan hama dan penyakit yang
dianggap tidak terlalu merugikan menyebabkan pengelolaan petani terhadap
jambu biji tidak dilakukan secara maksimal.
Panen dan Pemasaran
Tanaman jambu biji telah berbuah sejak 7 bulan sampai 1 tahun setelah
penanaman. Pada awal tanaman berbuah, hasilnya masih sedikit karena tanaman
baru belajar berbuah dan beberapa petani membuang buah-buah pertama tersebut.
Pada umur tanaman 1 tahun setelah tanam, hasil panen buah jambu biji mulai
banyak. Panen dilakukan dua kali dalam satu minggu, dan basanya ditangani oleh
tengkulak. Produksi buah jambu biji juga dipengaruhi oleh curah hujan. Data
100
produksi jambu biji petani responden pada tabel 13. Data panen tersebut hanya
pada tanaman jambu biji petani yang berumur di atas 1 tahun.
Tabel 13 Produksi jambu biji petani responden di Rancabungur
Populasi
tanaman
per ha
kurang dari
250
Produksi per 1 kali panen (kg)
Petani
(%)
per tanaman
per ha
rata-rata maksimum
rata-rata
maksimum
2-3
5
400-1200
2000
5
250-500
1,25-4,41
5-15
333,33-1363,64
1200-3500
60
500-750
1,28
4,49
800
2800
5
750-1000
1-1,2
3,2
833,33-2000
3000
10
Data produksi petani per tahun tidak diketahui karena panen rata-rata
ditangani oleh tengkulak sehingga petani responden tidak mengingat secara
keseluruhan berapa banyak produksi jambu biji pada setiap kali panen. Petani
menjual jambu bijinya ke pada tengkulak (90%), hanya 10% yang memasarkan
buah jambu bijinya sendiri. Jambu biji oleh tengkulak dipasarkan ke pasar induk
yang ada di Jakarta dan Tangerang.
Pengelolaan Hama dan Penyakit oleh Petani
Pengamatan Hama dan Penyakit
Sebagian besar petani melakukan pengamatan hama dan penyakit pada
tanaman jambu bijinya (70%), namun hanya 10% yang melakukan pengamatan
secara rutin setiap hari dan 15% satu atau dua kali setiap seminggu. Petani
biasanya tidak hanya menanam jambu biji saja tetapi membudidayakan komoditas
lain juga pada lahan yang berbeda.
Berdasarkan pengamatan petani hama penting pada jambu biji adalah lalat
buah (100%), ulat pucuk (30%), ulat penggerek buah (10%), kutukebul dan kutu
putih (35%), semut (20%), ulat tanah (5%) dan ulat kantung (5%). Kehilangan
hasil yang diakibatkan hama dan penyakit pada saat panen sekitar 0,3 sampai
10%. Perhitungan kehilangan hasil ini hanya terhadap buah-buah yang telah
dipanen. Kehilangan hasil karena lalat buah dianggap paling tinggi di antara
hama lain karena buah yang terinfestasi lalat buah tidak dapat dijual atau
101
dikonsumsi. Sedangkan kerusakan karena hama lain seperti kutu putih, buah yang
menunjukan gejala tidak parah masih bisa dijual ke pasar lokal.
Pengelolaan Hama dan Penyakit oleh Petani
Pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan petani antara lain melaui
teknik budidaya yaitu memberi pupuk organik secara rutin, menutup permukaan
tanah di sekeliling tanaman dengan mulsa jerami, pembuangan buah yang
terserang lalat buah, membuang ranting atau bagian tanaman yang terkena
penyakit, ulat penggerek, memberi suplemen pada tanaman jambu, dan
perempelan daun sekaligus membuang daun tua yang terserang kutukebul.
Pengendalian fisik juga dilakukan yaitu dengan melakukan pembungkusan buah,
memagari pertanaman dengan pagar bambu, dan menanam tanaman pagar.
Beberapa petani membiarkan sisa-sisa buah jambu biji yang tidak dapat dijual
karena rusak oleh serangan hama atau terinfeksi penyakit membusuk di
pertanaman.
Pengendalian yang intensif dilakukan oleh petani yaitu pembungkusan buah.
Buah dibungkus sejak masih kecil sebelum buah jambu biji dapat diinfestasi oleh
lalat buah. Cara pengelolaan ini cukup efektif mengendalikan lalat buah karena
rata-rata petani memiliki lahan jambu biji tidak dalam skala luas.
Petani juga melakukan pengendalian dengan menggunakan pestisida kimia
sintetik (95%) yang dilakukan sejak tanaman belum berbuah dengan tujuan
mencegah hama tersebut sebelum muncul. Aplikasi selanjutnya dilakukan
berdasarkan status hama (60%) atau secara rutin (15%) setiap satu minggu satu
kali (10%) atau dua minggu satu kali (10%). Aplikasi pestisida juga bergantung
pada keadaan ekonomi petani. Sebanyak 20% petani melakukan penyemprotan
pada buah jambu biji sebelum dibungkus, 50% petani mengangap aplikasi pada
buah berbahaya bagi konsumen dan 50% menganggap tidak berbahaya karena
aplikasi penyemprotan buah dilakukan pada saat buah masih muda. Petani
mengaplikan pestisida umumnya ditujukan secara umum untuk semua hama yang
terdapat di pertanamannya, oleh karena itu pestisida yang dipilih adalah pestisida
berspektrum luas antara lain pestisida berbahan aktif karbaril, deltametrin,
sipermetrin, dan klorpirifos. Pestisida lain yang digunakan adalah yang berbahan
102
aktif imidakloprid (untuk hama menusuk menghisap), karbofuran, diazinon,
fipronil, dan boric acide 0,01% (untuk semut). Hanya sedikit petani yang
menggunakan fungisida, yaitu yang berbahan aktif mankozeb (5%) dan
klorotalonil (15%) (Tabel 14). Pestisida diaplikasikan secara tunggal maupun
dicampur pestisida satu dengan yang lainnya. Hal ini dituujukan untuk
menghemat biaya tenaga kerja.
Tabel 14 Penggunaan pestisida oleh petani responden
Bahan aktif
Persentase penggunaan
oleh petani responden
Confidor 200 SL
imidakloprid
25
Confidor 5 WP
imidakloprid
10
Diazinon 60 EC
diazinon
5
Decis 2,5 EC
deltametrin
35
Dursban 20 EC
klorpirifos
5
Furadan 3 G
karbofuran
35
Regent 50 SC
fipronil
5
Rizotin 40 WP
sipermetrin
35
karbaril
40
Sidamethrin 50 EC
sipermetrin
10
Sipermethrin 25 EC
sipermetrin
5
boric acide 0,01%
5
imidaklorpid
5
Nama dagang
Insektisida
Sevin 85 S
Bagus Kapur Ajaib 0,6 ST
CALEB-TSAN 28 EC
5
Fungisida
Daconil 75 WP (500 F)
klorotalonil
5
Dithane M-45 80 WP
mankozeb
15
isopropil amina glifosat
45
sereh wangi*
30
Herbisida
Roudup 486 AS
Pestisida organik
Cindoya
Keterangan: (*) bahan pestisida
Download