TEORI UMUM UNDERSTANDING DAN INTERPRETATION AL-QUR’AN DAN HADIS Susi Erika Jl. Ki Hajar Dewantara 15 A Iringmulyo Metro Timur 34111 Institut Agama Islam Negeri Metro E-Mail: [email protected] Abstrak Teori merupakan cara untuk menganalisa sesuatu dalam mengkaji Al-Qur’an ada istilah understanding dan interpretation, understanding digunakan sebagai pemahaman terhadap isi dari Al-Qur’an dan interpretation merupakan penafsiran terhadap isi Al-Qur’an. Banyak penafsiran yang telah ilakukan dari mulai zaman nabi muhammad SAW hingga saat ini dan memunculkan pemikiran beserta teori – teori yang di gunakan untuk mendasari penafsiran yang dilakukan dan juga di gunakan untuk mengkaji lebih dalam makna dari Al-Qur’an sehingga mudah untuk melakukan understanding (pemahaman) secara keseluruhan dan tidak menyimpang dari isi dan kaidah yang ada. Ada banyak tokoh yang melakukan penafsiran terhadap Al-Qur’an seperti : Mahmud Muhammad Thoha, Sahiron Syamsuddin, Nasr Hamid dan masih banyak lagi. Al-Qur’an merupakan kitab suci untuk seluruh umat khususnya Islam, bahasanya menggunakan bahasa langis yang indah dan keindahan ayat – ayatnya tidak ada yang bisa menandingi sampai membuat orang terperanga dan tertegun karena keunikan dan keistimewaannya. Salah satu keistimewaan yang ada pada Al- Qur’an adalah ayatnya turun sesuai dengan tempat dimana nabi Muhammad SAW sedang berada dan sama dengan keadaan yang sedang terjadi di zamannya. Tafsir sangat diperlukan dalam menelaah dan mengerti ajaran yang tertulis didalam ayat Al-Qur’an. Maka itu sampai sekarang teori dan ilmu tafsir belum juga menemui akhir dari penafsiran. Semakin lama penafsiran akan terus di gencarkan sebagai upaya pemurnian agama islam yang saat ini telah terkontaminasi unsur orientalis dari barat. Sebagai generasi penerus sebaiknya kita bisa memfilter informasi apa saja yang sedang naik kepermukaan dan mencuat kuat – kuat mungkin saja itu hanya gelombang dan hal yang digunakan untuk menggoncang islam. Kata Kunci: Teori, Tafsir, understanding, Al-Qur’an dan Hadis Abstract The theory is a way to analyze things in assessing the Qur'an there is a term understanding and interpretation, understanding is used as an understanding of the content of the Qur'an and interpretation is an interpretation of the contents of the Qur'an. Many interpretations have been ilakukan from the start time of the prophet muhammad SAW until today and kind of thinking, along with the theory - a theory that is used for the underlying interpretations and are also used to examine more deeply the meaning of the Qur'an so easy to make understanding ( understanding) as a whole and does not deviate from the contents and the existing rule. There are many leaders who did the interpretation of the Qur'an such as: Mahmud Muhammad Thoha, Sahiron Syamsuddin, Nasr Hamid and many more. The Qur'an is the holy book for all the people especially Islam, its language langis beautiful language and the beauty of verse - verse, nothing can match up to make people terperanga and was stunned because of the uniqueness and privileges. One of the privileges that exist in the Qur'an is the verse down according to the place where the Prophet Muhammad was and the same as it was happening in his day. Tafsir is indispensable in studying and understanding the teachings written in the Qur'an. So it was until now the theory and science of interpretation has not yet met the end of the interpretation. The longer the interpretation will continue in an effort Boost purification religion of Islam, which has been contaminated by elements of western orientalists. As the next generation we should be able to filter what information is being surfaced 1 and sticking strong - stronger maybe it is just the waves and things that used to unsettle Islam. Keywords: Theory, Interpretation, Understanding the Qur'an and the Hadith A. Pendahuluan Ajaran dalam islam yang dinamis dan progresif menghargai sains dan teknologi, bersikap balance untuk memenuhi kebutuhan marerial dan spiritual juga berbagai akhlak mulia. Pendekatan merupakan cara pandang yang dipergunakan sebagai pemahaman terhadap agama dengan keilmuan. Agama sering mendapat kritik karena pada kehidupan nyata orang beragama belum sepenuhnya berakhlak mulia bahkan agama hanya menjadi identitas semata tanpa diamalkan. Berlagak menunggangi agama dan menjadikannya topeng tebal yang sangat berpengaruh dalam pandangan masyarakat lainnya tanpa disadari bahwa yang diperbuatnya menciptakan kabut ilusi keagamaan yang membabi buta berdalih agama karena haus akan perdamaian yang sempurna. Yang nyatanya mereka sendiri tidak mengetahui bagaimana perdamaian yang di inginkan Rasulullah, mereka tersesat saat mencari jalan kebenaran kondisi seperti ini mendorong mereka untuk menemukan titik terang dari suatu peradaban namun mereka bukan nabi dan juga bukan rasul dan langkah yang mereka telusuri ternyata tidak kunjung menciptakan perdamaian. Dengan adanya pendekatan – pendekatan lebih lanjut terhadap agama dalam sudut pandang ilmu pengetahuan ini diharapkan pembaca bisa menjiwai makna agama Islam secara mendalam. Revormasi idealisme harus di lakukan dengan dua tingkatan yaitu tingkat wacana maupun kebijakan aksi.1 Hal itu bisa dilakukan melalui hal – hal praktis juga mudah untuk dilakukan, misalnya tidak terpengaruh terhadap dampak globalisasi yang sedang terjadi seperti pakaian orang barat, pergaulan juga idialisme orientalis yang berusaha mengkontaminasi ajaran agama islam. Terutama pada aspek teknologi, yang banyak memicu permasalah pada public karena masyarakat menganggap segala informasi dalam teknologi, internet misalnya lebih dominan kenegatifannya. Tapi dalam kenyataan informasi banyak yang positif bisa dicari dalam internet seperti sains dan perkembangan pada Negara lain yang mencangkup social biudaya maupun politik. Agama secara universal memiliki tiga dimensi pokok bahasan yaitu: mengenai aspek spiritual dalam arti menunjukkan hubungan makhluknya (manusia) dengan Allah (hablum minallah), sebagai contoh nyata ketika kita sholat karena sholat merupakan jalan untuk berinteraksi langsung dengan Allah. Aspek horizontal merupakan hubungan sesama makhluk (manusia dengan manusia) (hablum minannas), misalkan saat kita berintraksi dengan manusia lain dalam lingkungan yang ada disekitarnya. Dan makhluk (manusia) dengan segala isi didunia ini (hablum alam) termasuk semua hal yang berada didalamnya, seperti halnya kita harus menjaga kelestarian alam. Aspek spiritual (allah) berarti mewujudkan ikatan yang semestinya di akui dan dipatuhi oleh para penganutnya Achmad Ansori, “Rekontruksi Dan Reposisi Pendidikan Islam Di Indonesia Berbasis Pendekatan Pendidikan Multikultural”, Akademika, vol. 21, no. 1 (2016), p. 2. 1 2 (umat islam). Dalam aksi seperti beribadah berupa sholat, menunaikan rukun islam dan berbagai hal positif dalam kehidupan. Legalitas dari komponen spiritual terwujud dalam bantuk pengakuan keberadaan realitas mutlak dari sesuatu yang besar dan agung diluar kemampuan manusia. Sedangkan secara horizontal lebih memberikan acuan terhadap tolak ukur pada aspek social, sebagaimana manusia menjalin relasi positif dengan sesamanya. Ajaran islam utama ada iman, islam dan ihsan ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan, yang diterapkan umat muslim dari zaman Rasulullah hingga saat ini. Agama adalah hal murni dari hati terdalam yang dibutuhkan oleh semua manusia di dunia ini. Hal ini karena agama dirasakan secara batiniah, sehingga menghasilkan kepercayaan dan respon emosional yang sangat besar. Agama memiliki unsur khas, sehingga menciptakan kondisi batiniyah yang melibatkan kemampuan diluar nalar dan ilmu pengetahuan (sains). Keberadaan agama mencerminkan kondisi diluar prilaku dan fikiran manusia, yang bisa merasakannya adalah jiwa menggunakan mekanisme hati manusia. Identifikasi dari karakteristik agama diantaranya ada kepercayaan kepada kekuatan gaib (makhluk selain manusia seperti roh, setan, jin dan malaikat), kepercayaan kebahagiaan dari ridho Allah Swt. (dunia dan akhirat) dan ketenangan kalbu. Kepercayaan dari kekuatan gaib surat Al-Baqarah ayat 3, (yaitu) mereka yang beriman[13] kepada yang ghaib[14], yang mendirikan shalat[15], dan menafkahkan sebahagian rezki[16] yang Kami anugerahkan kepada mereka.2 Keberadaan agama di dunia sangat terkait dengan kekuatan gaib termasuk juga adanya kematian. Dinamika perkembangan agama pasti terkait kepercayaan dari kekuatan gaib, zaman sebelum manusia mengenal pajaran tauhid terlebih dulu mempercayai roh – roh nenek moyang kemudian mereka percayai benda yang bisa memberikan perlindungan dan keselamatan seperti gunung, pepohonan yang sangat teduh dan matahari ataupun benda – benda langit. Manusia ideal adalah manusia yang sempurna akhlaknya. Yang nampak dan sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad saw., yaitu menyempurnakan akhlak yang mulia. Allah menurunkan wahyu yang kemudian menjadi awal lahirnya agama hanyalah untuk manusia, makhluk sempurna yang memerlukan agama sebagai pedoman dan petunjuk dalam menjalani kehidupan. Agama Islam adalah agama universal yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan baik kehidupan yang sifatnya duniawi maupun yang sifatnya ukhrawi. 3 Islam sebagai agama universal memberikan pedoman hidup bagi manusia menuju kehidupan yang bahagia.4 Sebagai kitab suci ummat Islam, al-Qur’an, memiliki segenap mu’jizat 2 QS.Al-Baqarah Ayat 3. H. Subaidi, “Konsep Pendidikan Islam dengan Paradigma Humanis”, Nadwa | Jurnal Pendidikan Islam, vol. 10, no. 1 (2016), p. 20. 4 Ahmad Masrul Anwar, “Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam pada Masa Bani Ummayah”, Jurnal Tarbiyah, vol. 1, no. 1, p. 2015. 3 3 yang sungguh luar biasa. Ia diturunkan pada saat di mana masyarakat sangat gemar dan cenderung dengan sastera dan syair-syair Arab. Masyarakat Arab pada saat itu sangat kagum dan apresiatif terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang mampu untuk menggubah syair-syair indah. Perlombaan tahunan dilakukan untuk mencari siapa pujangga Arab yang paling mahir pada saat itu yang begitu dieluelukan. Di tengah eforia masyarakat Arab terhadap sastra pada saat itu turunlah alQur’an yang isinya sungguh luar biasa yang tidak bisa ditandingi oleh seorang pujanggapun pada saat itu bahkan hingga akhir zaman. Turunnya al-Qur’an membuat para pujangga Arab terkesima dan merasa kagum terhadap isinya yang belum pernah mereka temukan sebelumnya. Tidak sedikit dari mereka yang bertanya-tanya, ada apa dibalik kekaguman mereka. Sebagai agama wahyu yang terakhir, yang sempurna dan bersifat universal, maka Islam mesti hadir untuk segala tempat dan zaman, untuk merespon dan menjelaskan setiap perkembangan danperubahan yang muncul dalam panggung kehidupan . Sehingga terbukti secara praktis bahwa Islam adalah agama abadi dan aplikatif di sepanjang masa, cocok untuk segala situasi dan kondisi kehidupan umat manusia. Adalah salah satu keunikan al-Qur‘an sebagai sumber utama bagi Islam, bahwa bahasanya yang mengatur kehidupan manusia lebih menonjol dengan bentuk global, tidak rigit dan saklek, ada yang berbentuk ‘am dan khas, mutlaq dan muqayyad, muhkam dan mutasyabih, mujmal dan mufashshal. Semnetara itu, al-Sunnah sebagai yang menjelaskan alQur‘an, tidak selalu pula memberikan penjelasan yang detil bahkan tidak sedikit yang belum dijelaskan oleh sumber kedua ajaran Islam ini. Keadaan yang demikian memberi peluang dan wewenang kepada akal manusia untuk melakukan telaah yang lebih jauh dan mendalam, komprehensif, dan berkesinambungan. Pola bahasa dan sifat penjelasan al-Qur‘an dan al-Sunnah yang demikian, sudah barang tentu, dapat dipahami sebagai langkah antisipatif terhadap segala perkembangan dan perubahan yang terus pasti terjadi. Wahyu, al-Qur‘an, dan al-Sunnah sudah berakhir, tetapi perkembangan dan perubahan dalam kehidupan tidak pernah berakhir, terus terjadi di sepanjang peralihan masa dan generasi. Adalah kewajiban para mujtahid dari masa ke masa untuk membuktikan keabadian dan universalitas Islamdi muka bumi, bahwa Islam selalu hadir di setiap titik kehidupan manusia yang sarat dengan perubahan dalam berbagai kondisi dan keadaan. Jika tidak, maka aplikasi dan relevansi Islam menjadi pertanyaan dan dipertanyakan di era kekinian.5 Bagi mereka yang memperturutkan keingintahuan mereka, berusaha mencari apa sebenarnya alQur’an itu. Ternyata setelah mereka mengetahui al-Qur’an adalah firman Allah, baru mereka paham mengapa isi al-Qur’an itu demikian hebat dan agung. Hal inilah yang membuat sebagian besar mereka beriman dan mengikuti orang yang membawa al-Qur’an itu, yaitu nabi Muhammad SAW. Suryan A. Jamrah, “Ijtihad Kunci Relevansi Dan Aplikasi Islam”, An-Nida’ Jurnal Pemikiran Islam, vol. 40, no. 1 (2015), pp. 70–1. 5 4 Pasca al-Qur’an turun muncul beberapa persoalan, di antaranya adalah persoalan pemahaman terhadap ayat-ayatnya (tafsir). Persoalan-persoalan tersebut bila dibawakan pada pemahaman alQur’an, maka akan melahirkan pertanyaan bagaimana al-Qur’an bisa dipahami oleh umat sekarang yang tentunya berbeda dengan kondisi masyarakat Arab saat kitab suci ini diturunkan. 6 Semasa Nabi Muhammad masih hidup persoalan ini tidak terlalu mengemuka. Hal ini disebabkan oleh orang-orang di sekeliling beliau (para sahabat) selalu bertanya terhadap segala persoalan yang menyangkut dengan pemahaman terhadap ayat al-Qur’an. Di samping itu mereka juga menyaksikan proses turunnya dan para sahabat adalah orang-orang yang sangat paham dengan bahasa Arab itu sendiri. Namun seiring waktu berjalan, al-Qur’an tidak hanya dipahami oleh orang-orang Arab saja, tetapi ia juga mulai dipahami oleh orang-orang non-Arab (‘ajam) sehingga muncullah berbagai persoalan. Hal ini disebabkan oleh semakin jauh jarak antar satu generasi dengan generasi lainnya. Di samping itu penguasaan bahasa Arab antar para penafsir itu juga sangat beragam dan fluktuatif. Fenomena ini menyebabkan munculnya berbagai persoalanpersoalan seputar tafsir al- Qur’an. Upaya menafsirkan al-Qur’an juga terus berlangsung sampai saat ini. Seiring dengan perkembangan zaman yang dipenuhi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Al-Qur’an yang nota-benenya sesuai untuk segala masa dan tempat juga diinterpretasikan oleh para mufassir sesuai dengan perkembangan tersebut, sehingga al-Qur’an benar-benar menjadi solusi terhadap berbagai persoalan ummat manusia sejak dulu sampai sekarang dan pada masa yang akan datang.7 Harus diakui bahwa metode tafsir yang ada dan dikembangkan sekarang ini memiliki benyak kelebihan dan keistimewaan. Disamping itu, juga ada kekurangan dan kelemahan-kelemahan yang harus diperbaiki. Masing-masing dari metode itu tentunya digunakan sesuai dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai, karena metode merupakan cara, sarana, dan strategi dalam melaksanakan segala hal. Sebagaimana diungkapkan dalam al-Hadits bahwa“segala sesuatu itu ada metodenya dan metode masuk surga adalah dengan ilmu Begitu metode dalam mahami al-Qur’an atau Tafh im alQur’an, banyak kita temukan berbagai corak dan ragamnya. Apalagi dalam memahami kitab suci al- Qur’an, dimana kitab ini penuh dengan corak pemikiran, gaya bahasa, metode pemahaman, sampai pada keunikan sastra dan tingkat kemukjizatannya.8 Hubungan antara aspek kesejarahan dan pemahaman secara intrinsik menuntut suatu praksis tertentu. Gadamer melihat bahwa praksis bukan sesuatu yang eksternal, karena pemahaman sendiri dinilai sebagai suatu tindakan. Sehingga pemahaman itu sendiri pada dasarnya merupakan praksis. 6 Reflita, “Kontroversi Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir (Menimbang Penggunaan Hermeneutika dalam Penafsiran al-Qur’an)”, Jurnal ushuluddin, vol. 24, no. 2 (2016), p. 136. 7 Muhammad Amin, “Kontribusi Tafsir Kontemporer dalam Menjawab Persoalan Ummat dalam”, Jurnal Substantia, vol. 15, no. 1 (2013), pp. 1–2. 8 Ari Anshori, “Corak Tafhim Al-Qur’an Dengan Metode Manhaji”, Profetika, Jurnal Studi Islam, vol. 16, no. 1 (2015), p. 26. 5 Maka di samping pemahaman itu merupakan tindak reflektif, sekaligus juga historis. Memahami berarti menciptakan makna baru atau menafsirkan sedemikian rupa sehingga tindakan semacam ini akhirnya menjadi bagian dari sejarah atau tradisi yang akan diwariskan untuk generasi mendatang. Hubungan selanjutnya adalah bahwa karena pemahaman itu bersifat historis maka juga bercorak temporal dan mengandaikan suatu proses tertentu. Hal ini dapat dirujuk pada apa yang pernah diilustrasikan Herakleitos bahwa ‘kita’ tidak pernah identik secara total, karena kita selalu berkembang, termasuk proses pemahaman kita akan diri sendiri. ‘Sungai yang sama’ tidak pernah ada karena yang dulu ada dan sekarang ada selalu berbeda dan terus berubah9. Jika al-Quran yang “berbahasa langit” tidak terlepas dari dinamika budaya (muntaj al-ṡaqāfah),1 maka apalagi hadis yang jelas-jelas merupakan “bahasa bumi” dari Nabi atas peristiwa sosial pada masanya. Tentu saja ada keterikatan- kerikatan ruang-waktu yang membelenggunya. Itu sebabnya, dibutuhkan kreatifitas-negosiatif untuk “Menghidupkan” hadis dalam kehidupan kekinian. Kenyataan hadis yang tidak sama dengan al-Quran, baik pada tingkat kepastian hadirnya teks (qaṭ‘ī al-wurūdah) maupun pada taraf kepastian argumen (qaṭ‘ī al-dalālah), dihadapkan pada fakta tidak adanya “jaminan otentik” yang menjamin kepastian teks dan maknanya. Hadis bersifat ẓannī, tidak qaṭ‘ī sebagaimana al-Quran. Tidak adanya jaminan otentisitas ini memaksa disiplin ilmu hadis, melalui para pengkajinya, bersusah payah merumuskan secara swadaya (tanpa kepastian dari Tuhan) konsep yang bisa menjamin otentisitasnya, seperti rumusan untuk menguji sanad-nya, matan-nya, sebab hadirnya, berikut derivasinya. Akan tetapi, pembacaan sosio-historis terhadap masa pembukuan dan pembakuan hadis (yang “mematenkan” struktur bahasa dan periwayatan hadis) tampaknya belum mendapat kajian yang memadai. Itu sebabnya, demi menemukan otentisitas teks dan ketepatan maknanya, ruang kosong tersebut perlu mendapatkan “perhatian khusus”. Sebagaimana disebutkan di atas, sebuah pemahaman selalu didahului oleh muatan ideologis. Karenanya, yang menentukan horison pemahaman hadis adalah kepentingan sosial yang menyusup dalam kuasa penafsir (power of interpreter). Dengan penafsiran ini, hadis tidak hanya dipandang sebagai susunan teks saja, tetapi juga berusaha diselami kandungan makna literalnya, dari konteks budaya maupun tafsir transendensi.Upaya penghampiran manusia terhadap al-Qur’an merupakan sesuatu yang belum final atau bahkan mungkin tidak dapat menggapai kematangan. Entah karena ide yang terkandung di dalamnya memang bersifat universal dan global atau mungkin dia senantiasa dapat terkait dengan isu-isu kontemporer dari fenomena yang muncul. Karena itulah klaim adanya suatu kebenaran Islam yang ideal, esensial, dan terus bertahan sepanjang sejarah bahkan hingga sekarang adalah mitos belaka yang tidak ada hubungannya dengan Agus Darmaji, “Dasar-Dasar Ontologis Pemahaman Hermeneutik Hans-Georg Gadamer”, Refleksi, vol. 13, no. 4 (2013), p. 471. 9 6 realitas yang ada. Hal ini barangkali salah satu faktor yang menyebabkan dia senantiasa menarik untuk dibicarakan, tidak hanya oleh kalangan internal muslim namun juga non-muslim, tidak hanya oleh para oksidentalis namun juga oleh para orientalis. 10 enggunaan al-Qur’an sebagai sumber tafsir pada masa kontemporer mengalami pergeseran dibandingkan dengan masa sebelumnya.11 Dalam ranah publik, al-Qur’an bisa berfungsi sebagai pengusung perubahan, pembebas masyarakat tertindas, pencerah masyarakat dari kegelapan dan kejumudan, pendobrak sistem pemerintahan yang zalim dan amoral, penebar semangat emansipasi serta penggerak transformasi masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Sedangkan dalam ranah privat, al-Qur’an bisa menjadi shifa’ (obat, penawar, pemberi solusi) untuk pribadi yang tengah dirundung kesedihan, ditimpa musibah, serta didera persoalan hidup. Dalam hal ini, ayat-ayat al-Qur’an berfungsi sebagai terapi psikis, penawar dari persoalan hidup yang dialami seseorang. Jiwa yang sebelumnya resah dan gelisah menjadi tenang dan damai ketika membaca dan meresapi makna ayat-ayat tersebut. Di sisi lain, ada juga yang menjadikan surat atau ayat tertentu sebagai shifa’, atau obat dalam arti yang sesungguhnya, yaitu untuk mengobati penyakit fisik. Salah satu ayat yang diyakini dapat menjadi obat untuk me-ruqyah orang yang sakit adalah surat al-Fatihah.12 Untuk menguasai dan mengajarkannya kepada orang lain seorang harus mengetahui suatu metode menggunakan tekhnik – tekhnik khusus. 13 Metode yang biasanya digunakan dalam penelitian seperti metode penelitian kualitatif berbasis library reseacrh dengan analisis deskriptif kualitatif berusaha membuka dialog antara Islam dan Dunia barat, sebagai asimilasi keilmuan dalm islam. Kajian ini memfokuskan akan perlunya pemahaman agama Islam sebagai agama perdamaian dan agama yang sanggup hidup dalam berbagai budaya masyarakatnya,14 Metode riset survei yakni pengisian kuesioner oleh responden yang disebarkan secara langsung kepada pelaku usaha guna menjawab tujuan penelitian, hal ini berarti dilakukan secara langsung pada objek penelitian. 15 Biasanya untuk mnyempaikannya menggunakan konsep Learning revolution adalah sebuah konsep pembelajaran yang diperkenalkan oleh 2 orang ilmuan bernama Gordon Dryden dan Jeannette 10 Ani Umi Maslahah, “Al-Qur’an, Tafsir Dan Ta’wil Dalam Persepektif Sayyid Abu Al-A’la Al-Maududi”, Hermeneutik, vol. 9, no. 1 (2015), p. 22. 11 Nur Mahmudah, “Al-Qur’an Sebagai Sumber Tafsir Dalam Pemikiran Muhammad Shahrur”, Hermeunetik, vol. 8, no. 2 (2014), p. 259. 12 Didi Junaedi, “Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur’an (Studi Kasus di Pondok Pesantren As-Siroj Al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon)”, Journal of Qur’an and Hadisth Studies, vol. 4, no. 2 (2015), p. 170. 13 Dedi Wahyudi, Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Pendidikan Akhlak Dengan Program Prezi (Studi di SMP Muhammadiyah 2 Mlati Sleman Tahun Ajaran 2013-2014), p. 5. 14 Dedi Wahyudi, Rahayu Fitri AS, “Islam Dan DIalog Antar Kebudayaan (Studi Dinamika Islam Di Dunia Barat)”, Fikri, vol. 1, no. 2 (2016), p. 267. 15 Dedi Wahyudi, Lilik Noor Yuliati Hartoyo, “Analisis Kepuasan Dan Loyalitas Pelaku Usaha Terhadap Mutu Pelayanan Pengujian Alat Dan Mesin Pertanian Analysis Of Businesses Satisfaction And Loyalty To The Service Quality Of Agricultural Tools And Machinery Testing”, Widyariset, vol. 18, no. 2 (2015), p. 208. 7 Vos, 16 Konsep Multiple Intelligences yaitu kecerdasan yang beragam yang sudah dimiliki oleh seorang individu, 17 juga sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan pengembangan ilmu pengetahuan keislaman. B. Teori Umum 1. Teori naskh (Abrogation Theory) Dalam studi al-Qur’an, salah satu teori dasar yang populer di kalangan para ulama adalah teori naskh (abrogation theory). Sedemkian popular teori tersebut, hampir semua kitab Ulumul Qur’an dan Ushul Fiqh, baik klasik maupun modern-kontemporer selalu menyebutkan bâb al-nâsikh wal mansûkh. Namun sebenarnya teori tersebut masih menyisakan problem dan polemik di kalangan para ulama. Biasanya polemik tersebut berkisar tentang problem ontologis, apakah sebenarnya hakikat makna naskh itu? Apakah ia benar-benar ada dalam al-Qur’an? Jika memang ada, apakah hal itu tidak berarti Tuhan bersikap ‘inkonsisten’ dalam menetapkan suatu ketentuan hukum, sebab dalam suatu waktu Dia menetapkan hukum A, lalu dikemudian hari, Dia menasakhnya menjadi hukum B. Di sisi lain, jika dikatakan bahwa tidak ada naskh dalam al-Qur’an, mengapa di dalamnya terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan adanya nasikh-mansukh, bahkan juga ada ayat yang secara tegas menyebut kata “naskh”. Misalnya, ayat yang berbunyi: “106. ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? [81] Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.”18 Dan, ketika terdapat kesan ‘kontradiktif’ diantara ayat-ayat al-Qur’an yang dianggap tidak dapat dikompromikan, para ulama menjadikan teori naskh sebagai ‘senjata pamungkas’ untuk menyelesaikan problem tersebut. misalnya ayat tentang wasiat telah dinaskh oleh ayat tentang mawaris. Para ulama yang pro naskh berkata bahwa adanya naskh (pergantian atau penghapusan) menunjukkan bahwa al-Qur’an memang sangat akomodatif terhadap perubahan perkembangan sosial budaya masyarakat saat itu. Terlepas dari polemik tersebut, namun tampaknya faktor utama munculnya kontroversi tersebut adalah terjadinya perbedaan dalam memberikan pengertian istilah naskh itu sendiri. Sebagian ulama memberikan pengertian bahwa naskh itu sekedar takhshîsh al-‘âmm (memberi ketentuan khusus terhadap ketentuan hukum yang umum), ada pula yang menganggapnya sebagai tadarruj al-ahkâm Dedi Wahyudi, Habibatul Azizah, “Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Konsep Learning Revolution”, Attarbiyah, Vol. 26, No. 1 (2016), P. 3. 17 Dedi Wahyudi, Tuti Alafiah, “Studi Penerapan Strategi Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam”, Mudarrisa, Jurnal Kajian Pendidikan Islam, vol. 8, no. 2 (2016), p. 260. 18 QS. Al-Baqarah: 106. 16 8 (proses graduasi hukum). Sedang sebagian yang lain mengartikan naskh sebagai, izâlatul hukm atau ibthâl al- hukm (pembatalan ketentuan hukum yang dulu dengan ketentuan hukum yang baru). Salah satu gagasan yang cukup kontroversial mengenai teori naskh adalah apa yang dilontarkan oleh Mahmud Muhammad Thaha, guru dari Ahmed an-Na’im, yang mencoba membalik teori naskh. Jika selama ini para ulama umumnya berkata bahwa ayat-ayat madaniyah itu yang me- naskh ayat-ayat makkiyyah, maka tidak demikian halnya dengan teori naskh Mahamud Muhammad Thoha, yang menurunnya justru ayat-ayat makiyyah itulah yang me-naskh ayat-ayat madaniyyah.4 Ini menarik untuk diteliti lebih lanjut, untuk melihat bagaimana sebenarnya teori naskh ala Mahmud Muhammad Thoha dan implikasinya dalam perkembangan teori tafsir. Ada beberapa alasan akademik mengapa penulis memilih riset dengan tema Teori atao naskh dan mengapa tokoh Mahmud Muhammad Thaha yang dipilih dalam penelitian ini, bukan yang lain. Pertama, tema naskh dalam studi al-Qur’an merupakan tema yang kontroversial di kalangan para ulama, dan dipahami secara beragam mulai sejak zaman sahabat, hingga para ulama modernkontemporer, sehingga dengan penelitian ini diharapkan akan ada titik terang bagaimana perkembangan teori naskh dalam lintasan sejarah, change and continuity-nya. Kedua, pengetahuan tentang teori naskh oleh para ulama dijadikan salah satu syarat untuk menafsirkan al-Qur’an Hal itu didasarkan pada satu kisah, bahwa dulu ada seseorang yang berbicara tentang al-Qur’an di masjid Kufah, namun ternyata ketika ditanya oleh Sayyidina Ali; apakah kamu tahun tentang ilmu nasikhmansukh? Orang tersebut menjawab, “tidak tahu”. Maka Sayyidina Ali berkata: halakta wa ahlakta (kamu celaka dan membuat celaka orang lain).Ini artinya pemahaman yang baik mengenai teori naskh sangat penting untuk diketahui oleh para calon mufassir. Ketiga, teori naskh yang dipahami oleh Mahmud Muhammad Thaha relatif berbeda dengan ulama-ulama sebelumnya dan mempunyai implikasi yang signifikan dalam penafsiran al-Qur’an, terutama dalam rangka merespon perubahan sosial dan isu yang akual seperti isu gender dan pluralisme. Keempat, tokoh Mahmud Muhammad Thaha dengan teori naskh yang baru tersebut cenderung dipuji, hingga nyaris tidak ada kritik, bahkan sekarang teori tersebut menjadi “madzab baru” dan dijadikan landasan filosofis untuk merumuskan Ushul Fiqh baru atau teori tafsir baru dalam merespon isu-isu pluralisme yang cukup mengemuka. Para pengkaji tokoh ini umumnya cenderung memuji, padahal tidak ada sebuah teori yang punya kelebihan, tanpa kekurangan. Dalam hal ini penulis hendak melakukan kajian yang lebih kritis dan “objektif”, yakni dengan melihat plus-minus dari teori naskh tersebut dan implikasi-implikasi teoritisnya terutama dalam konteks panafsiran al-Qur’an.19 Abdul Mustaqim, “Model Penelitian Tokoh (Dalam Teori dan Aplikasi)”, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, vol. 15, no. 2 (2014), pp. 271–3. 19 9 2. Teori Penafsiran Ma’na -cum-Maghza Sahiron Syamsuddin membagi aliran hermeneutika dari segi pemaknaan terhadap obyek penafsiran menjadi tiga aliran, yaitu; aliran objektivis, aliran subjektivis, dan objektivis-cumsubjektivis. Menurutnya, dengan melihat kecenderungan dari aliran-aliran hermeneutika umum tersebut, ia berpendapat bahwa di sana terdapat kemiripan dengan aliran dalam penafsiran al-Qur’an saat ini. Sehingga, ia pun membagi tipologi penafsiran al-Qur’an kontemporer menjadi tiga, yaitu; pandangan kuasi-objektivis tradisionalis, pandangan kuasi-objektivis modernis, dan pandangan subjektivis. Dari ketiga pandangan di atas, menurut Sahiron, yang paling dapat diterima adalah pandangan kuasi-objektivis modernis, sebab di sana terdapat “keseimbangan hermeneutika”. Maksudnya, ia memberi perhatian yang sama terhadap makna asal literal (al- ma’na al-asli) dan pesan utama (signifikansi: maghza) di balik makna literal. Dengan memberikan penjelasan tambahan tentang signifikansi,48 kemudian ia mengistilahkan teori pembacaannya tersebut dengan pembacaan Ma’na -cum-Maghza. Jadi, teori penafsiran hermeneutika al-Qur’an yang paling sesuai adalah pembacaan ma’na-cummaghza yaitu, penafsiran yang menjadikan makna asal literal (makna historis, tersurat) sebagai pijakan awal untuk memahami pesan utama teks (signifikansi, makna terdalam, tersirat).49 Menurutnya, sesuatu yang dinamis dari penafsiran, bukan makna literal teks, karena ia monistik (satu), objektif, dan historis-statis. Sementara pemaknaan terhadap signifikansi teks, bersifat pluralis, subjektif (juga intersubjektif), dan historis-dinamis sepanjang peradaban manusia. Pendekatan seperti ini, menurut mereka merupakan gabungan antara wawasan teks dan wawasan penafsir, antara masa lalu dengan masa kini, dan antara aspek Ilahi dengan aspek manusiawi. Maka, menurut mereka, teori penafsiran yang didasarkan pada perhatian yang sama terhadap makna dan signifikansi (ma’na-cum-maghza) terdapat balanced hermeneutics (hermeneutika yang seimbang).50 Sahiron menegaskan bahwa teori penafsiran ma’na-cum- maghza ini, sejatinya merupakan elaborasi teori aplikasi (Anwendung) Gadamer.51 Menurutnya, teori penafsiran ini persis sebagaimana konsep al-Ghazali yang membedakan antara al-ma’na al-zhir (makna lahiriah) dan al-ma’na al-batin (makna batin). 3. Teori Double Movement Dalam teori tersebut, Rahman membedakan dua hal, yaitu “ideal moral” dan ketentuan “legal spesifik” al-Qur’an. Untuk menemukan dua hal tersebut, ia mengusulkan agar dalam memahami pesan al-Qur’an sebagai satu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang, sehingga ia dapat dipahami dalam konteks yang tepat Dalam teori gerak gandanya, Rahman menerangkan bahwa, gerakan pertama diawali dari pemahaman situasi sekarang menuju ke masa turunnya al-Qur’an, yakni memahami konteks mikro dan makro pada saat itu. Pemahaman tersebut akan dapat melahirkan makna original yang dikandung oleh wahyu di tengah-tengah konteks sosial10 moral era kenabian, sekaligus dapat menghasilkan gambaran situasi dunia yang lebih luas. Selanjutnya, pemahaman tersebut akan meng- hasilkan rumusan narasi atau ajaran al-Qur’an yang koheren tentang prinsip-prinsip umum dan sistemik serta nilai-nilai yang melandasi berbagai perintah-perintah yang bersifat normatif. Sedangkan langkah kedua adalah pemahaman dari masa turunnya al-Qur’an kembali ke masa kini untuk menerapkan prinsip-prinsip dan nilai- nilai sistematis dan umum dalam konteks pembaca al-Qur’an era kontemporer sekarang ini dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial modern dan humanitis kontemporer Dalam teori tersebut, Rahman membedakan dua hal, yaitu “ideal moral” dan ketentuan “legal spesifik” al-Qur’an. Untuk menemukan dua hal tersebut, ia mengusulkan agar dalam memahami pesan al-Qur’an sebagai satu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang, sehingga ia dapat dipahami dalam konteks yang tepat.20 Hadis adalah respon Ilahi melalui ingatan dan pikiran Nabi terhadap situasi moral-sosial Arab pada masa Nabi. “Gerakan yang pertama” dari dua gerakan di atas, dibagi ke dalam dua langkah; Pertama, orang harus memahami hadis sebagai jawaban atas situasi/problem historis. Sebelum mengkaji teks-teks spesifik dalam perspektif situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga, bahkan kehidupan secara menyeluruh, pembacaan pada situasi spesifik di Arab pada saat kehadiran Islam (dan khususnya di sekitar Mekah) harus dilakukan. Kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat disaring dari teks-teks spesifik dalam perspektif latar belakang sosio-historis dan rasional-logis. Sementara “gerakan yang kedua”, harus dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus di”tubuh”kan (embodied) dalam konteks sosio-historis yang konkrit di masa sekarang. Ini memerlukan kajian yang cermat atas situasi sekarang dan analisis berbagai unsur-unsur komponennya sehingga bisa menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi sekarang sejauh yang diperlukan, serta menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai hadis secara baru pula. 21 4. Teori Kesadaran Sejarah (Effective- Historical Conciousness) Secara umum dapat dijelaskan bahwa inti dari teori kesadaran sejarah tersebut dan teori prapemahaman adalah bahwa seorang penafsir harus hati-hati dalam menafsirkan teks dan tidak menafsirkannya sesuai dengan kehendaknya yang semata-mata berasal dari prapemahaman yang telah terpengaruh oleh sejarah (pengetahuan awal, pengalaman, dan lain-lain). Asep Setiawan, “Studi Kritis atas Teori Ma’na -cum-Maghza dalam Penafsiran al-Qur’an”, Jurnal Kalimah, vol. 14, no. 2 (2016), pp. 235–7. 21 N. Kholis Hauqola, “Hermeneutika Hadis: Upaya Memecah Kebekuan Teks”, Teologia, vol. 24, no. 1 (2013), pp. 2–14. 20 11 5. Teori The Fusion Of Horizons Menyatakan bahwa dalam proses penafsiran, terdapat dua horison utama yang harus diperhatikan dan diasimilisasi, yaitu horison teks dan horison penafsir. 6. Teori Aplikasi (Anwendung) Teori aplikasi (anwendung) adalah teori yang menegaskan bahwa setelah seorang penafsir menemukan makna yang dimaksud dari sebuah teks, ia lalu melakukan pengembangan penafsiran dengan tetap memerhatikan kesinambungan ‘makna baru’ dengan makna asal sebuah teks. Teori hermeneutika Gadamer ini, jika diaplikasikan untuk menafsirkan al-Qur’an, maka berimplikasi bahwa penafsiran akan selalu terbuka. Hal tersebut karena wawasan pemahaman tidaklah tetap, tetapi berubah untuk meraih persamaan paham. Selain itu, ia juga menyakini bahwa kesamaan pendapat dan pemahaman, bermakna ilmu pengetahuan. Pendapat tersebut tentunya tidak tepat karena meleburnya wawasan (the fusion of horizons), tidak identik dengan kebenaran. Penafsiran terhadap al-Qur’an dan dicampurkan dengan penafsiran tradisi (kesadaran sosial) yang akan menghasilkan berbagai warna Islam. Sebagai contoh Islam Kejawen, Islam Pribumi, Islam Indonesia, Islam UIN, Islam Jogja, dan lain-lain, yang semua itu tidaklah sesuai dengan pandangan dan akidah umat Islam yang universal. Di sisi lain, Hermeneutika Gadamer mensyaratkan agar hasil penafsiran bersifat relatif. Oleh karenanya, tafsir tersebut harus selalu direvisi. Implikasinya, ia akan menggugat hal-hal yang sudah mapan dalam penafsiran al-Qur’an. Ia menyatakan bahwa penafsir dan teks senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing. Penafsir tidak mungkin melakukan penafsiran dari sisi yang netral. Penafsiran menurutnya, merupakan reinterpretation, yakni me- mahami lagi teks secara baru dan dengan makna baru pula. Padahal, dalam sejarah perkembangan tafsir, terbukti bahwa para ulama tafsir tidak selamanya terpengaruh dengan tradisi, latar belakang sosial, dan budayanya. Fakta bahwa mufasir dari zaman ke zaman tetap memiliki kesamaan pendapat, menunjukkan re- fleksi mufasir menembus relativitas penafsiran. 7. Teori Takwil Nasr Hamid Abu Zayd Menurut Nasr Hamid, makna dari sebuah teks tidak berubah, yang berubah adalah signifikansinya. Makna adalah apa yang direpresentasikan oleh teks dan tanda- tanda. Sedangkan signifikansi adalah apa yang menamai sebuah hubungan antara makna itu dan seseorang atau persepsi, situasi, atau sesuatu yang bisa dibayangkan.71 Nashr Hamid mengenalkan studi alQur’annya dengan proposisi hubungan antara teks (nas) dan interpretasi (takwil). Menurutnya, selama ini ulama selalu memisahkan antara teks dan takwil. Takwil dianggap sebagai suatu yang tabu dan dilarang. Ini mengakibatkan teks menjadi tertutup dan makna-makna yang terkandung menjadi tidak bisa dicapai. Sehingga menurutnya, perlu untuk meninggalkan metode (yang menurutnya) tradisional, dengan meletakkan ‘konsep teks’ (mafhum al-nas) sebagai pusat 12 pengkajian, sehingga penggunaan teori hermeneutika menjadi keniscayaan. Dengan demikian dapat meminimalisasikan subjektivitas dan kepentingan-kepentingan ideologis dalam interpretasi Tentunya tuduhan Nashr Hamid tersebut tidak tepat. Mengingat selama ini penafsiran terhadap nas-nas al-Qur’an sudah tak terhitung jumlahnya. Apa yang ia sebut takwil sebagai interpretasi bukanlah hal yang dimaksud oleh para ulama. Karena takwil yang ditawarkan oleh Nashr Hamid adalah takwil yang hanya didasarkan oleh akal manusia sepenuhnya yang tentunya akan sangat bersifat relatif jika diterapkan dalam penafsiran al-Qur’an. Di samping itu, jika ulama menggunakan takwil pada ayat-ayat mutasya bihat saja, tapi Nashr Hamid menerapkannya pada ayat-ayat yang sebenarnya muhkamat. Ia meyakinkan bahwa metode yang ditawarkan adalah yang objektif, dan interpretasi ulama selama ini bersifat subjektif (talwin), karena telah dipengaruhi oleh ideologi atau kekuasaan tertentu.22 C. Understanding dan Interpretation Al-Qur’an Tafsir secara bahasa berarti menerangkan dan menjelaskan. 23 Manna’ Khalil al-Qatthan menjelaskan bahwa arti tafsir secara bahasa adalah menyingkap. Sedangkan menurut istilah tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, menjelaskan makna-maknanya, serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya. Abu Hayyan dalam alBahrul Muhith menjelaskan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara menjelaskan lafazh-lafazh al-Qur’an, maksud-maksudnya, berbagai hukumnya dan makna yang terkandung di dalamnya. Para penafsir (selanjutnya mufassirun [jamak], mufassir [tunggal]) al-Qur’ān yang akan dirujuk dalam tulisan ini dibedakan menjadi tiga kategori, yakni: mufassirun klasik, modern, dan Indonesia. Abu Jaʻfar Muhammad bin Jarir at-Tabari (selanjutnya at-Tabari) dan ʻImad al- Din Ismaʻil bin ʻUmar bin Kathir (selanjutnya Ibn Kathir) masuk dalam kategori mufassirun klasik At- Tabari merupakan salah satu peletak dasar tafsir al-Qur’ān. Sementara itu, Ibn Kathir merupakan mufassir klasik yang mengkaitkan tafsir al-Qur’ān dengan aspek hukum Islam, khususnya dari perspektif mazhab Hanbali. Kata modern yang penulis pakai sebagai kategori mufassirun kedua mengandung dua makna. Makna pertama sejalan dengan semangat pemurniaan Islam yang diawali oleh Asep Setiawan, “Studi Kritis atas Teori Ma’na -cum-Maghza dalam Penafsiran al-Qur’an”, Jurnal Kalimah, vol. 14, no. 2 (2016), pp. 235–40. 23 Muhammad Amin, “Kontribusi Tafsir Kontemporer Dalam Menjawab Persoalan Ummat dalam KH. Adib Bisri dan KH. Munawir AF, Al-Bisri Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), 568”, Jurnal Substantia, vol. 15, no. 1 (2013), p. 2. 22 13 Muhammad Abdul Wahab pada abad 18 Masehi, yaitu mengembalikan Islam sesuai dengan yang dinyatakan dalam sumber imannya (al-Qur’ān dan Sunnah). Mufassir Sayyid Qutb menjadi representasi dari golongan ini. Sementara itu, makna modern yang kedua lebih dekat pada menjadikan isu-isu kontemporer seperti pluralitas agama sebagai salah satu konteks yang diperhatikan dalam menafsirkan teks al-Qur’ān. Mufassir yang sesuai dengan kategori ini adalah Mahmoud Ayoub. Untuk kategori ketiga, m ufassirun Indonesia, penulis memilih dua ulama besar Indonesia yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah (selanjutnya Hamka) dan Quraish Shihab. Mengikuti periodisasi tafsir Indonesia dari Islah Gusmian, Hamka masuk dalam periode kedua, yaitu tahun 1970-an hingga 1980-an, tetapi ia masih dipengaruhi oleh para ahli tafsir periode pertama, yaitu awal abad ke-20 hingga tahun 1960-an24. Pembagian interpretasi dalam isu-isu yang lebih rinci telah mengakibatkan perberbedaan pemikiran oleh mazahab.25 Jika al-Quran yang “berbahasa langit” tidak terlepas dari dinamika budaya (muntaj al-ṡaqāfah), maka apalagi hadis yang jelas-jelas merupakan “bahasa bumi” dari Nabi atas peristiwa sosial pada masanya. Tentu saja ada keterikatan- kerikatan ruang-waktu yang membelenggunya. Itu sebabnya, dibutuhkan kreatifitas-negosiatif untuk “menghidupkan” hadis dalam kehidupan kekinian. Kenyataan hadis yang tidak sama dengan al-Quran, baik pada tingkat kepastian hadirnya teks (qaṭ‘iial-wurudah) maupun pada taraf kepastian argumen (qaṭ‘i al-dalalah), dihadapkan pada fakta tidak adanya “jaminan otentik” yang menjamin kepastian teks dan maknanya. Hadis bersifat ẓannī, tidak qaṭ‘i sebagaimana al-Quran. Tidak adanya jaminan otentisitas ini memaksa disiplin ilmu hadis, melalui para pengkajinya, bersusah payah merumuskan secara swadaya (tanpa kepastian dari Tuhan) konsep yang bisa menjamin otentisitasnya, seperti rumusan untuk menguji sanad-nya, matan-nya, sebab hadirnya, berikut derivasinya. Akan tetapi, pembacaan sosio-historis terhadap masa pembukuan dan pembakuan hadis (yang “mematenkan” struktur bahasa dan periwayatan hadis) tampaknya belum mendapat kajian yang memadai. Itu sebabnya, demi menemukan otentisitas teks dan ketepatan maknanya, ruang kosong tersebut perlu mendapatkan “perhatian khusus”. Sebagaimana disebutkan di atas, sebuah pemahaman selalu didahului oleh muatan ideologis. Karenanya, yang menentukan horison pemahaman hadis adalah kepentingan sosial yang menyusup dalam kuasa penafsir (power of interpreter). Dengan penafsiran ini, hadis tidak hanya dipandang sebagai susunan teks saja, tetapi juga berusaha diselami kandungan makna literalnya, dari konteks budaya maupun tafsir transendensi. Hermeneutik berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horison (cakrawala) yang melingkupi sebuah teks hadis, yaitu horison kebahasaan teks (linguistik dan Wahyu Nugroho, “Orang Kreisten Dalam AL-Qur’an Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah (2):62 dan AlMa’idah (5):82-83”, Gema Teologi, vol. 39, no. 2 (2015), pp. 206–7. 25 Syafaul Mudawam, “Syari’ah-Fiqih-Hukum Islam Studi tentang Konstruksi Pemikiran Kontemporer”, AsySyir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, vol. 46, no. II (2012), p. 413. 24 14 sosial), penggagas (kapasitas Nabi), dan pembaca (mukhārrij al-ḥadiṡ dan mufassir). Sebuah pengetahuan (termasuk penafsiran hadis) diciptakan melalui interaksi sosial tempat terkonstruksnya kebenaran-kebenaran bersama dan membandingkan apa yang benar dan apa yang salah. Dalam pandangan tertentu, beberapa bentuk tindakan menjadi alami, sedangkan bentuk-bentuk tindakan lain tidak bisa dipertimbangkan Sehingga, otentisitas sebuah hadis mungkin saja bisa terpelihara, akan tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi distorsi makna mengingat sebuah teks tidak bisa terlepas dari pengaruh subjektifitas pencerita, pembaca/ pendengar, dan konteks keduanya. Untuk itu, hermeneutik menganggap tidak adanya konsep kebenaran tunggal penafsiran, karena yang ada adalah relativisme penafsiran sesuai maksud dan tujuan manusia, serta meniscayakan berubah sesuai konteks yang berkembang. Bagi hermeneutik, semua orang adalah penafsir. Hal ini mengingat tujuan sang penafsir dalam menafsirkan teks adalah untuk menjembatani masa lalu dan masa sekarang demi kepentingan hidupnya. Selanjutnya, meminjam teori gerakan ganda (double movements) Fazlur Rahman. Asumsi bahwa al-Qur’an sallih li kuli zaman wa makan (relevan bagi segala ruang dan waktu) Dalam paradigma tafsir klasik, asumsi tersebut dipahami dengan cara memaksakan konteks apapun ke dalam teks al-Qur’an. Akibatnya, pemahaman yang muncul cenderung tekstualis dan literalis. Hal itu, menurutnya berbeda dengan paradigma tafsir kontemporer yang cenderung kontekstual dan bahkan liberal yang selalu berupaya mengkontekstualisasikan makna ayat tertentu dengan mengambil prinsip dan ide universalnya Ulumul Qur’an klasik, menurut mereka tidak punya variabel kontekstualisasi. Ia hanya memiliki kesadaran akan pentingnya konteks sebagai salah satu cara untuk menggali makna dari teks. Sehingga yang menjadi kelemahan besar dari kitab-kitab tafsir klasik adalah tidak adanya dialektika antara teks-konteks dan kontekstualisasi Dengan demikian, berbagai tawaran teori dan konsep pemahaman dari hermeneutika filosofis dan kritis, merupakan sumbangan paling berharga yang membawa sebuah perspektif baru dalam ilmu tafsir alQur’an. D. Simpulan Teori merupakan cara untuk menganalisa sesuatu dalam mengkaji Al-Qur’an ada istilah understanding dan interpretation, understanding digunakan sebagai pemahaman terhadap isi dari Al-Qur’an dan interpretation merupakan penafsiran terhadap isi Al-Qur’an. Sebagai agama wahyu yang terakhir, yang sempurna dan bersifat universal, maka Islam mesti hadir untuk segala tempat dan zaman, untuk merespon dan menjelaskan setiap perkembangan danperubahan yang muncul dalam panggung kehidupan . Sehingga terbukti secara praktis bahwa Islam adalah agama abadi dan aplikatif di sepanjang masa, cocok untuk segala situasi dan kondisi kehidupan umat manusia. Adalah salah satu keunikan al-Qur‘an sebagai sumber utama bagi Islam, bahwa bahasanya yang 15 mengatur kehidupan manusia lebih menonjol dengan bentuk global, tidak rigit dan saklek, ada yang berbentuk ‘am dan khas, mutlaq dan muqayyad, muhkam dan mutasyabih, mujmal dan mufashshal. Semnetara itu, al-Sunnah sebagai yang menjelaskan al-Qur‘an, tidak selalu pula memberikan penjelasan yang detil bahkan tidak sedikit yang belum dijelaskan oleh sumber kedua ajaran Islam ini. Keadaan yang demikian memberi peluang dan wewenang kepada akal manusia untuk melakukan telaah yang lebih jauh dan mendalam, komprehensif, dan berkesinambungan. Pola bahasa dan sifat penjelasan al-Qur‘an dan al-Sunnah yang demikian, sudah barang tentu, dapat dipahami sebagai langkah antisipatif terhadap segala perkembangan dan perubahan yang terus pasti terjadi. Wahyu, al-Qur‘an, dan al-Sunnah sudah berakhir, tetapi perkembangan dan perubahan dalam kehidupan tidak pernah berakhir, terus terjadi di sepanjang peralihan masa dan generasi. Adalah kewajiban para mujtahid dari masa ke masa untuk membuktikan keabadian dan metode masuk surga adalah dengan ilmu Begitu metode dalam mahami al-Qur’an atau Tafh im al-Qur’an, banyak kita temukan berbagai corak dan ragamnya. Apalagi dalam memahami kitab suci al- Qur’an, dimana kitab ini penuh dengan corak pemikiran, gaya bahasa, metode pemahaman, sampai pada keunikan sastra dan tingkat kemukjizatannya.26 Teori naskh (Abrogation Theory), dalam studi al-Qur’an, salah satu teori dasar yang populer di kalangan para ulama adalah teori naskh (abrogation theory). Sedemkian popular teori tersebut, hampir semua kitab Ulumul Qur’an dan Ushul Fiqh, baik klasik maupun modern-kontemporer selalu menyebutkan bâb al-nâsikh wal mansûkh. Namun sebenarnya teori tersebut masih menyisakan problem dan polemik di kalangan para ulama. Biasanya polemik tersebut berkisar tentang problem ontologis, apakah sebenarnya hakikat makna naskh itu? Apakah ia benar-benar ada dalam al-Qur’an? Jika memang ada, apakah hal itu tidak berarti Tuhan bersikap ‘inkonsisten’ dalam menetapkan suatu ketentuan hukum, sebab dalam suatu waktu Dia menetapkan hukum A, lalu dikemudian hari, Dia menasakhnya menjadi hukum B. Di sisi lain, jika dikatakan bahwa tidak ada naskh dalam al-Qur’an, mengapa di dalamnya terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan adanya nasikh-mansukh, bahkan juga ada ayat yang secara tegas menyebut kata “naskh”. Teori Penafsiran Ma’na -cum-Maghza, Sahiron Syamsuddin membagi aliran hermeneutika dari segi pemaknaan terhadap obyek penafsiran menjadi tiga aliran, yaitu; aliran objektivis, aliran subjektivis, dan objektivis-cum-subjektivis. Menurutnya, dengan melihat kecenderungan dari aliran-aliran hermeneutika umum tersebut, ia berpendapat bahwa di sana terdapat kemiripan dengan Ari Anshori, “Corak Tafhim Al-Qur’an Dengan Metode Manhaji”, Profetika, Jurnal Studi Islam, vol. 16, no. 1 (2015), p. 26. 26 16 aliran dalam penafsiran al-Qur’an saat ini. Sehingga, ia pun membagi tipologi penafsiran al-Qur’an kontemporer menjadi tiga, yaitu; pandangan kuasi-objektivis tradisionalis, pandangan kuasiobjektivis modernis, dan pandangan subjektivis. Dari ketiga pandangan di atas, menurut Sahiron, yang paling dapat diterima adalah pandangan kuasi-objektivis modernis, sebab di sana terdapat “keseimbangan hermeneutika”. Maksudnya, ia memberi perhatian yang sama terhadap makna asal literal (al- ma’na al-asli) dan pesan utama (signifikansi: maghza) di balik makna literal. Dengan memberikan penjelasan tambahan tentang signifikansi,48 kemudian ia mengistilahkan teori pembacaannya tersebut dengan pembacaan Ma’na -cum-Maghza. Teori Double Movement, Dalam teori tersebut, Rahman membedakan dua hal, yaitu “ideal moral” dan ketentuan “legal spesifik” al-Qur’an. Untuk menemukan dua hal tersebut, ia mengusulkan agar dalam memahami pesan al-Qur’an sebagai satu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang, sehingga ia dapat dipahami dalam konteks yang tepat Dalam teori gerak gandanya, Rahman menerangkan bahwa, gerakan pertama diawali dari pemahaman situasi sekarang menuju ke masa turunnya al-Qur’an, yakni memahami konteks mikro dan makro pada saat itu. Pemahaman tersebut akan dapat melahirkan makna original yang dikandung oleh wahyu di tengah-tengah konteks sosial-moral era kenabian, sekaligus dapat menghasilkan gambaran situasi dunia yang lebih luas. Selanjutnya, pemahaman tersebut akan meng- hasilkan rumusan narasi atau ajaran al-Qur’an yang koheren tentang prinsip-prinsip umum dan sistemik serta nilai-nilai yang melandasi berbagai perintah-perintah yang bersifat normatif. Sedangkan langkah kedua adalah pemahaman dari masa turunnya al-Qur’an kembali ke masa kini untuk menerapkan prinsip-prinsip dan nilai- nilai sistematis dan umum dalam konteks pembaca al-Qur’an era kontemporer sekarang ini dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial modern dan humanitis kontemporer Dalam teori tersebut, Rahman membedakan dua hal, yaitu “ideal moral” dan ketentuan “legal spesifik” al-Qur’an. Untuk menemukan dua hal tersebut, ia mengusulkan agar dalam memahami pesan al-Qur’an sebagai satu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang, sehingga ia dapat dipahami dalam konteks yang tepat.27 Teori Kesadaran Sejarah (Effective- Historical Conciousness), Secara umum dapat dijelaskan bahwa inti dari teori kesadaran sejarah tersebut dan teori prapemahaman adalah bahwa seorang penafsir harus hati-hati dalam menafsirkan teks dan tidak menafsirkannya sesuai dengan kehendaknya yang semata-mata berasal dari prapemahaman yang telah terpengaruh oleh sejarah (pengetahuan awal, pengalaman, dan lain-lain). Teori The Fusion Of Horizons, Menyatakan bahwa Asep Setiawan, “Studi Kritis atas Teori Ma’na -cum-Maghza dalam Penafsiran al-Qur’an”, Jurnal Kalimah, vol. 14, no. 2 (2016), pp. 235–7. 27 17 dalam proses penafsiran, terdapat dua horison utama yang harus diperhatikan dan diasimilisasi, yaitu horison teks dan horison penafsir. Teori Aplikasi (Anwendung), Teori aplikasi (anwendung) adalah teori yang menegaskan bahwa setelah seorang penafsir menemukan makna yang dimaksud dari sebuah teks, ia lalu melakukan pengembangan penafsiran dengan tetap memerhatikan kesinambungan ‘makna baru’ dengan makna asal sebuah teks. Teori hermeneutika Gadamer ini, jika diaplikasikan untuk menafsirkan al-Qur’an, maka berimplikasi bahwa penafsiran akan selalu terbuka. Hal tersebut karena wawasan pemahaman tidaklah tetap, tetapi berubah untuk meraih persamaan paham. Selain itu, ia juga menyakini bahwa kesamaan pendapat dan pemahaman, bermakna ilmu pengetahuan. Pendapat tersebut tentunya tidak tepat karena meleburnya wawasan (the fusion of horizons), tidak identik dengan kebenaran. Teori Takwil Nasr Hamid Abu Zayd, Menurut Nasr Hamid, makna dari sebuah teks tidak berubah, yang berubah adalah signifikansinya. Makna adalah apa yang direpresentasikan oleh teks dan tanda- tanda. Sedangkan signifikansi adalah apa yang menamai sebuah hubungan antara makna itu dan seseorang atau persepsi, situasi, atau sesuatu yang bisa dibayangkan.71 Nashr Hamid mengenalkan studi al-Qur’annya dengan proposisi hubungan antara teks (nas) dan interpretasi (takwil). Menurutnya, selama ini ulama selalu memisahkan antara teks dan takwil. Takwil dianggap sebagai suatu yang tabu dan dilarang. Ini mengakibatkan teks menjadi tertutup dan makna-makna yang terkandung menjadi tidak bisa dicapai. Sehingga menurutnya, perlu untuk meninggalkan metode (yang menurutnya) tradisional, dengan meletakkan ‘konsep teks’ (mafhum al-nas) sebagai pusat pengkajian, sehingga penggunaan teori hermeneutika menjadi keniscayaan. Dengan demikian dapat meminimalisasikan subjektivitas dan kepentingan-kepentingan ideologis dalam interpretasi Tentunya tuduhan Nashr Hamid tersebut tidak tepat. Tafsir secara bahasa berarti menerangkan dan menjelaskan. 28 Manna’ Khalil al-Qatthan menjelaskan bahwa arti tafsir secara bahasa adalah menyingkap. Sedangkan menurut istilah tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, menjelaskan makna-maknanya, serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya. Abu Hayyan dalam alBahrul Muhith menjelaskan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara menjelaskan lafazh-lafazh al-Qur’an, maksud-maksudnya, berbagai hukumnya dan makna yang terkandung di dalamnya. Asumsi bahwa al-Qur’an sallih li kuli zaman wa makan (relevan bagi segala ruang dan waktu) Dalam paradigma tafsir klasik, asumsi tersebut dipahami dengan cara memaksakan konteks apapun ke dalam teks al-Qur’an. Akibatnya, pemahaman yang muncul cenderung tekstualis dan literalis. Muhammad Amin, “Kontribusi Tafsir Kontemporer Dalam Menjawab Persoalan Ummat dalam KH. Adib Bisri dan KH. Munawir AF, Al-Bisri Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), 568”, Jurnal Substantia, vol. 15, no. 1 (2013), p. 2. 28 18 Hal itu, menurutnya berbeda dengan paradigma tafsir kontemporer yang cenderung kontekstual dan bahkan liberal yang selalu berupaya mengkontekstualisasikan makna ayat tertentu dengan mengambil prinsip dan ide universalnya Ulumul Qur’an klasik, menurut mereka tidak punya variabel kontekstualisasi. Ia hanya memiliki kesadaran akan pentingnya konteks sebagai salah satu cara untuk menggali makna dari teks. Sehingga yang menjadi kelemahan besar dari kitab-kitab tafsir klasik adalah tidak adanya dialektika antara teks-konteks dan kontekstualisasi Dengan demikian, berbagai tawaran teori dan konsep pemahaman dari hermeneutika filosofis dan kritis, merupakan sumbangan paling berharga yang membawa sebuah perspektif baru dalam ilmu tafsir alQur’an[.] REFERENSI Amin, Muhammad, “Kontribusi Tafsir Kontemporer dalam Menjawab Persoalan Ummat dalam”, Jurnal Substantia, vol. 15, no. 1, 2013, pp. 1–2. ----, “Kontribusi Tafsir Kontemporer Dalam Menjawab Persoalan Ummat dalam KH. Adib Bisri dan KH. Munawir AF, Al-Bisri Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), 568”, Jurnal Substantia, vol. 15, no. 1, 2013, p. 2. Anshori, Ari, “Corak Tafhim Al-Qur’an Dengan Metode Manhaji”, Profetika, Jurnal Studi Islam, vol. 16, no. 1, 2015, p. 25. Ansori, Achmad, “Rekontruksi Dan Reposisi Pendidikan Islam Di Indonesia Berbasis Pendekatan Pendidikan Multikultural”, Akademika, vol. 21, no. 1, 2016, p. 2. Anwar, Ahmad Masrul, “Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam pada Masa Bani Ummayah”, Jurnal Tarbiyah, vol. 1, no. 1, p. 2015. Darmaji, Agus, “Dasar-Dasar Ontologis Pemahaman Hermeneutik Hans-Georg Gadamer”, Refleksi, vol. 13, no. 4, 2013, p. 471. Habibatul Azizah, Dedi Wahyudi, “Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Konsep Learning Revolution”, Attarbiyah, vol. 26, no. 1, 2016, p. 3 [http://dx.doi.org/10.18326]. Hauqola, N. Kholis, “Hermeneutika Hadis: Upaya Memecah Kebekuan Teks”, Teologia, vol. 24, no. 1, 2013, pp. 2–14. Jamrah, Suryan A., “Ijtihad Kunci Relevansi Dan Aplikasi Islam”, An-Nida’ Jurnal Pemikiran Islam, vol. 40, no. 1, 2015, pp. 70–1. Junaedi, Didi, “Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur’an (Studi Kasus di Pondok Pesantren As-Siroj Al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon)”, Journal of Qur’an and Hadisth Studies, vol. 4, no. 2, 2015, p. 170. Lilik Noor Yuliati, Dedy Wahyudi, Hartoyo, “Analisis Kepuasan Dan Loyalitas Pelaku Usaha Terhadap Mutu Pelayanan Pengujian Alat Dan Mesin Pertanian Analysis Of Businesses Satisfaction And Loyalty To The Service Quality Of Agricultural Tools And Machinery Testing”, Widyariset, vol. 18, no. 2, 2015, p. 208. 19 Mahmudah, Nur, “Al-Qur’an Sebagai Sumber Tafsir Dalam Pemikiran Muhammad Shahrur”, Hermeunetik, vol. 8, no. 2, 2014, p. 259. Maslahah, Ani Umi, “Al-Qur’an, Tafsir Dan Ta’wil Dalam Persepektif Sayyid Abu Al-A’la AlMaududi”, Hermeneutik, vol. 9, no. 1, 2015, p. 22. Mudawam, Syafaul, “Syari’ah-Fiqih-Hukum Islam Studi tentang Konstruksi Pemikiran Kontemporer”, Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, vol. 46, no. II, 2012, p. 413. Mustaqim, Abdul, “Model Penelitian Tokoh (Dalam Teori dan Aplikasi)”, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, vol. 15, no. 2, 2014, pp. 271–3. Nugroho, Wahyu, “Orang Kreisten Dalam AL-Qur’an Belajar dari Tafsir Surah Al-Baqarah (2):62 dan Al-Ma’idah (5):82-83”, Gema Teologi, vol. 39, no. 2, 2015, pp. 206–7. QS. Al-Baqarah: 106. QS.Al-Baqarah Ayat 3. Rahayu Fitri AS, Dedi Wahyudi, “Islam Dan DIalog Antar Kebudayaan (Studi Dinamika Islam Di Dunia Barat)”, Fikri, vol. 1, no. 2, 2016, p. 267. Reflita, “Kontroversi Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir (Menimbang Penggunaan Hermeneutika dalam Penafsiran al-Qur’an)”, Jurnal ushuluddin, vol. 24, no. 2, 2016, p. 136. Setiawan, Asep, “Studi Kritis atas Teori Ma’na -cum-Maghza dalam Penafsiran al-Qur’an”, Jurnal Kalimah, vol. 14, no. 2, 2016, p. 228 [http://dx.doi.org/http://dx.doi.org/I 0.2 I I I I/klm/v/4i2.6I4]. ----, “Studi Kritis atas Teori Ma’na -cum-Maghza dalam Penafsiran al-Qur’an”, Jurnal Kalimah, vol. 14, no. 2, 2016, pp. 235–40 [http://dx.doi.org/http://dx.doi.org/I 0.2 I I I I/klm/v/4i2.6I4]. Subaidi, H., “Konsep Pendidikan Islam dengan Paradigma Humanis”, Nadwa | Jurnal Pendidikan Islam, vol. 10, no. 1, 2016, p. 20. Tuti Alafiah, Dedi Wahyudi, “Studi Penerapan Strategi Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam”, Mudarrisa, Jurnal Kajian Pendidikan Islam, vol. 8, no. 2, 2016, p. 260 [http://dx.doi.org/255-282]. Wahyudi, Dedi, Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Pendidikan Akhlak Dengan Program Prezi (Studi di SMP Muhammadiyah 2 Mlati Sleman Tahun Ajaran 2013-2014), p. 5. 20