BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kanker Paru 2.1.1.Definisi Kanker Paru Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun dari luar paru (metastasis di paru) (PDPI,2011) 2.1.2.Epidemiologi Kanker Paru Kanker paru masih menjadi salah satu penyakit keganasan dengan prevalensi yang tinggi yaitu berkisar 20% dari seluruh kasus kanker, pada laki-laki risiko terkena kanker paru adalah 1 dari 13 orang, dan 12% dari semua kasus kanker pada perempuan dengan risiko terkena 1 dari 23 orang. Di Inggris rata-rata 40.000 kasus baru dilaporkan setiap tahun. Perkiraan insidensi kanker paru pada laki-laki tahun 2005 di Amerika Serikat adalah 92.305 dengan rata-rata 91.537 orang meninggal karena kanker(Shah , 2007). American Cancer Society mengestimasikan kanker paru di Amerika Serikat pada tahun 2010 sebagai berikut: - Sekitar 222.520 kasus baru kanker paru akan terdiagnosis (116.750 orang laki-laki dan 105.770 orang perempuan). - Estimasi kematian karena kanker paru sekitar 157.300 kasus (86.220 pada laki-laki dan 71.080 pada perempuan), berkisar 28% dari semua kasus kematian karena kanker. Risiko terjadinya kanker paru sekitar 4 kali lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan dan risiko meningkat sesuai dengan usia: di Eropa insidensi kanker paru 7 dari 100.000 laki-laki dan 3 dari 100.000 perempuan pada usia 35 tahun, tetapi pada pasien >75 tahun, insidensi 440 pada laki-laki dan 72 pada perempuan. Variasi insidensi kanker paru secara geografik yang luas juga dilaporkan dan hal ini terutama berhubungan dengan kebiasaan merokok yang bervariasi di seluruh dunia(Shah, 2007). Universitas Sumatera Utara 2.1.3. Faktor Risiko dan Etiologi Kanker Paru Banyak penelitian menyatakan bahwa merokok merupakan penyebab utama kanker paru, dengan periode laten antara dimulainya merokok dengan terjadinya kanker paru adalah 15-50 tahun. Selain itu, jumlah pack rokok dalam 1 tahun yang dihabiskan dan usia dimulainya merokok, sangat erat dihubungkan dengan risiko terjadinya kanker paru. Variasi geografik dan pola dari insidensi kanker paru baik pada laki-laki maupun perempuan berhubungan dengan kebiasaan merokok. Di Asia kebiasaan merokok masih tinggi, tetapi angka kebiasaan merokok pada lakilaki berkurang. Angka kebiasaan merokok pada perempuan Asia masih rendah, tetapi sekarang semakin meningkat pada perempuan-perempuan usia muda(Maryska dan Janssen, 2006) Penyebab lain dari kanker paru adalah polusi udara, paparan terhadap arsen, asbestos, radon, chloromethyl ethers, chromium, mustard gas, penghalusan nikel, hidrokarbon polisiklik, beryllium, cadmium, dan vinyl chloride. Insidensi kanker paru yang lebih tinggi juga ditemukan pada industri-industri gas-batu bara, proses penghalusan logam. Predisposisi genetik juga memegang peranan dalam etiologi kanker paru(Shah P, 2007). 2.1.4. Klasifikasi Kanker Paru Kanker paru dibagi menjadi kanker paru sel kecil (small cell lung cancer, SCLC) dan kanker paru sel tidak kecil (non-small lung cancer, NSCLC). Klasifikasi ini digunakan untuk menentukan terapi. Termasuk didalam golongan kanker paru sel tidak kecil adalah epidermoid, adenokarsinoma, tipe-tipe sel besar, atau campuran dari ketiganya. Karsinoma sel skuamosa (epidermoid)merupakan tipe histologik kanker paru yang paling sering ditemukan, berasal dari permukaan epitel bronkus. Perubahan epitel termasuk metaplasia, atau displasia akibat merokok jangka panjang, secara khas mendahului timbulnya tumor. Karsinoma sel skuamosa biasanya terletak sentral di sekitar hilus, dan menonjol ke dalam bronki besar. Diameter tumor jarang melampaui beberapa sentimeter dan cenderung menyebar secara langsung ke kelenjar getah bening hilus, dinding dada, dan mediastinum. Karsinoma ini lebih sering pada laki-laki daripada perempuan (Wilson, 2005). Universitas Sumatera Utara Adenokarsinoma, memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat mengandung mukus. Kebanyakan jenis tumor ini timbul di bagian perifer segmen bronkus dan kadang-kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut lokal pada paru dan fibrosis interstisial kronik. Lesi sering kali meluas ke pembuluh darah dan limfe pada stadium dini dan sering bermetastasis jauh sebelum lesi primer menyebabkan gejala-gejala. Karsinoma bronkoalveolus dimasukkan sebagai subtipe adenokarsinoma dalam klasifikasi terbaru tumor paru dari WHO. Karsinoma ini adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat-tempat yang jauh. Karsinoma sel kecil umumnya tampak sebagai massa abu-abu pucat yang terletak di sentral dengan perluasan ke dalam parenkim paru dan keterlibatan dini kelenjar getah bening hilus dan mediastinum. Kanker ini terdiri atas sel tumor dengan bentuk bulat hingga lonjong, sedikit sitoplasma, dan kromatin granular. Gambaran mitotik sering ditemukan. Biasanya ditemukan nekrosis dan mungkin luas. Sel tumor sangat rapuh dan sering memperlihatkan fragmentasi dan “crush artifact” pada sediaan biopsi. Gambaran lain pada karsinoma sel kecil, yang paling jelas pada pemeriksaan sitologik, adalah berlipatnya nukleus akibat letak sel tumor dengan sedikit sitoplasma yang saling berdekatan (Kumar, 2007). Karsinoma sel besar adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-macam. Selsel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat-tempat yang jauh. Bentuk lain dari kanker paru primer adalah adenoma, sarkoma, dan mesotelioma bronkus. Walaupun jarang, tumor-tumor ini penting karena dapat menyerupai karsinoma bronkogenik dan mengancam jiwa (Wilson, 2005). Universitas Sumatera Utara 2.1.5. Gejala Klinis Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Gejalagejala dapat bersifat : • Lokal (tumor tumbuh setempat) : • Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis • Hemoptysis(batuk berdarah) • Mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran nafas • Kadang terdapat kavitas seperti abses paru • Ateletaksis • Invasi lokal : • Nyeri dada • Dispnea et causa efusi pleura • Invasi ke perikardium terjadi tamponade atau aritmia • Superior Vena Cava Syndrome • Horner Syndrome(ptosis, miosis, anhidrosis) • Suara serak, karena penekanan pada nervus laryngeal recurrent • Pancoas Syndrome, karena invasi pada pleksus brakhialis dan saraf simpatis servikalis • Gejala Penyakit Metastasis : • Pada otak, tulang, hati, adrenal • Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyertai metastasis) • Sindrom Paraneoplastik : terdapat 10% kanker paru dengan gejala : • Sistemik : penurunan berat badan, anoreksia, demam • Hematologi : leukositosis, anemia, hiperkoagulasi • Hipertrofi osteoartropati • Neurologik : dementia, ataksia, tremor, neuropati perifer • Neuromiopati • Endokrin : sekresi berlebihan hormon paratiroid (hiperkalsemia) • Dermatologik : eritema multiform, hiperkeratosis, jari tabuh • Renal : syndrome of inappropriate antidiuretic hormone Universitas Sumatera Utara • Asimtomatik dengan kelainan radiologis • Sering terdapat pada perokok dengan COPD yang terdeteksi secara radiologis (Amin, 2006). 2.1.6. Diagnosis 2.1.6.1. Anamnesis Anamnesis yang lengkap serta pemeriksaan fisik merupakan kunci untuk diagnosis tepat. Keluhan dan gejala klinis permulaan merupakan tanda awal penyakit kanker paru. Batuk disertai dahak yang banyak dan kadang-kadang bercampur darah, sesak nafas dengan suara mengi (wheezing), nyeri dada, lemah, berat badan menurun, dan anoreksia merupakan keadaan yang mendukung. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada pasien tersangka kanker paru adalah faktor usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok, dan terpapar zat karsinogen yang dapat menyebabkan nodul soliter paru. 2.1.6.2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan kelainan-kelainan berupa perubahan bentuk dinding toraks dan trakea, pembesaran kelenjar getah bening dan tanda-tanda obstruksi parsial, infiltrat dan pleuritis dengan cairan pleura dengan cara inspeksi, palpasi dan auskultasi. 2.1.6.3. Pemeriksaan Penunjang 1.Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk : a) Menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru. Kerusakan pada paru dapat dinilai dengan pemeriksaan faal paru atau pemeriksaan analisis gas. b) Menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru pada organorgan lainnya. c) Menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru pada jaringan tubuh baik oleh karena tumor primernya maupun oleh karena metastasis. Universitas Sumatera Utara 2.Radiologi Pemeriksaan radiologi adalah pemeriksaan yang paling utama dipergunakan untuk mendiagnosis kanker paru. Kanker paru memiliki gambaran radiologi yang bervariasi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan keganasan tumor dengan melihat ukuran tumor, kelenjar getah bening, dan metastasis ke organ lain. Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan metode tomografi komputer. Pada pemeriksaan tomografi komputer dapat dilihat hubungan kanker paru dengan dinding toraks, bronkus, dan pembuluh darah secara jelas. Keuntungan tomografi komputer tidak hanya memperlihatkan bronkus, tetapi juga struktur di sekitar lesi serta invasi tumor ke dinding toraks. Tomografi komputer juga mempunyai resolusi yang lebih tinggi, dapat mendeteksi lesi kecil dan tumor yang tersembunyi oleh struktur normal yang berdekatan. 3.Sitologi Sitologi merupakan metode pemeriksaan kanker paru yang mempunyai nilai diagnostik yang tinggi dengan komplikasi yang rendah. Pemeriksaan dilakukan dengan mempelajari sel pada jaringan. Pemeriksaan sitologi dapat menunjukkan gambaran perubahan sel, baik pada stadium prakanker maupun kanker. Selain itu dapat juga menunjukkan proses dan sebab peradangan. Pemeriksaan sputum adalah salah satu teknik pemeriksaan yang dipakai untuk mendapatkan bahan sitologik. Pemeriksaan sputum adalah pemeriksaan yang paling sederhana dan murah untuk mendeteksi kanker paru stadium preinvasif maupun invasif. Pemeriksaan ini akan memberi hasil yang baik terutama untuk kanker paru yang letaknya sentral. Pemeriksaan ini juga sering digunakan untuk skrining terhadap kanker paru pada golongan risiko tinggi. 4.Bronkoskopi Setiap pasien yang dicurigai menderita tumor bronkus merupakan indikasi untuk bronkoskopi. Dengan menggunakan bronkoskop fiber optik, perubahan mikroskopik mukosa bronkus dapat dilihat berupa nodul atau gumpalan daging. Bronkoskopi akan lebih mudah dilakukan pada tumor yang letaknya di sentral. Tumor yang letaknya di perifer sulit dicapai oleh ujung bronkoskop. Universitas Sumatera Utara 5.Biopsi Transtorakal Biopsi aspirasi jarum halus transtorakal banyak digunakan untuk mendiagnosis tumor pada paru terutama yang terletak di perifer. Dalam hal ini diperlukan peranan radiologi untuk menentukan ukuran dan letak, juga menuntun jarum mencapai massa tumor. Penentuan letak tumor bertujuan untuk memilih titik insersi jarum di dinding kulit toraks yang berdekatan dengan tumor. 6.Torakoskopi Torakoskopi adalah cara lain untuk mendapatkan bahan guna pemeriksaan histopatologik untuk kanker paru. Torakoskopi adalah pemeriksaan dengan alat torakoskop yang ditusukkan dari kulit dada ke dalam rongga dada untuk melihat dan mengambil sebahagian jaringan paru yang tampak. Pengambilan jaringan dapat juga dilakukan secara langsung ke dalam paru dengan menusukkan jarum yang lebih panjang dari jarum suntik biasa kemudian dilakukan pengisapan jaringan tumor yang ada (Soeroso, 1992). 2.1.7. Penatalaksanaan 2.1.7.1. Pembedahan Pembedahan pada kanker paru bertujuan untuk mengangkat tumor secara total berikut kelenjar getah bening disekitarnya. Hal ini biasanya dilakukan pada kanker paru yang tumbuh terbatas pada paru yaitu stadium I, kecuali pada kanker paru jenis SCLC. Luas reseksi atau pembedahan tergantung pada luasnya pertumbuhan tumor di paru. Pembedahan dapat juga dilakukan pada stadium lanjut, akan tetapi lebih bersifat paliatif. Pembedahan paliatif mereduksi tumor agar radioterapi dan kemoterapi lebih efektif, dengan demikian kualitas hidup penderita kanker paru dapat menjadi lebih baik. Pembedahan untuk mengobati kanker paru dapat dilakukan dengan cara : a) Wedge Resection, yaitu melakukan pengangkatan bagian paru yang berisi tumor, bersamaan dengan margin jaringan normal. b) Lobectomy, yaitu pengangkatan keseluruhan lobus dari satu paru. c) Pneumonectomy, yaitu pengangkatan paru secara keseluruhan. Hal ini dilakukan jika diperlukan dan jika pasien memang sanggup bernafas dengan satu paru. Universitas Sumatera Utara 2.1.7.2. Radioterapi Radioterapi dapat digunakan untuk tujuan pengobatan pada kanker paru dengan tumor yang tumbuh terbatas pada paru. Radioterapi dapat dilakukan pada NCLC stadium awal atau karena kondisi tertentu tidak dapat dilakukan pembedahan, misalnya tumor terletak pada bronkus utama sehingga teknik pembedahan sulit dilakukan dan keadaan umum pasien tidak mendukung untuk dilakukan pembedahan. Terapi radiasi dilakukan dengan menggunakan sinar X untuk membunuh sel kanker. Pada beberapa kasus, radiasi diberikan dari luar tubuh (eksternal). Tetapi ada juga radiasi yang diberikan secara internal dengan cara meletakkan senyawa radioaktif di dalam jarum, dengan menggunakan kateter dimasukkan ke dalam atau dekat paru-paru. Terapi radiasi banyak dipergunakan sebagai kombinasi dengan pembedahan atau kemoterapi (ASCO, 2010). 2.1.7.3. Kemoterapi Penatalaksanaan ini menggunakan obat-obatan (sitostatika) untuk membunuh sel kanker. Kombinasi pengobatan ini biasanya diberikan dalam satu seri pengobatan, dalam periode yang memakan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan agar kondisi tubuh penderita dapat pulih (ASCO, 2010). Kemoterapi adalah proses pemberian obat-obatan anti kanker dalam bentuk pil cair atau kapsul atau melalui infus yang bertujuan membunuh sel kanker. Tidak hanya sel kanker, tapi dapat memberi efek seluruh tubuh. Efek dari kemoterapi termasuk didalamnya yaitu mual dan muntah, serta rambut rontok (Calvagna, 2009). Regimen untuk kemoterapi lini pertama (first line) untuk kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil(KPKBSK) adalah: Paklitaksel + sisplatin atau karboplatin, siklus 3 mingguan paklitaksel 175 mg/BSA + sisplatin 60-80 mg/BSA Paklitaksel 175 mg/BSA + karboplatin AUC-5 Gemsitabin + sisplatin atau kabroplatin, siklus 3 mingguan Universitas Sumatera Utara Gemsitabin 1250 mg/BSA (hari1,8) + sisplatin 60-80mg/BSA Gemsitabin 1250mg/BSA(hari1,8) + karboplatin AUC-5 Dosetaksel + sisplatin atau karboplatin siklus 3 mingguan Dosetaksel 75 mg/BSA + sisplatin 60-80mg/BSA Dosetaksel 75 mg/BSA + karboplatin AUC-5 Vinorelbin + sisplatin atau karboplatin siklus 3 mingguan Vinorelbin 30mg/BSA(hari1,8) + sisplatin 60-80 mg/BSA(hari1) Vinorelbin 30mg/BSA(hari1,8) + karboplatin AUC-5 (hari 1) Pada pusat pelayanan tertentu dengan keterbatasan pengadaan obat dapat diberikan rejimen: CAP II (sisplatin, adriamisin, siklofosfamid), siklus 28 hari Cisplatin 60 mg/BSA + Adriamisin 40 mg/BSA + Siklofosfamid 400 mg/BSA PE (sisplatin atau karboplatin + etoposid), siklus 3 mingguan Sisplatin 60-80 mg/BSA (hari 1) + etoposid 100 mg/BSA (hari 1,2,3) . Karboplatin AUC-5 (hari 1), etoposid 100 mg/BSA (hari 1,2,3). Umumnya kemoterapi dapat diberikan sampai 4-6 siklus/sekuen, bila penderita menunjukkan respons yang memadai. Hasil pengobatan 4-6 siklus tidak berbeda secara signifikan tetapi pemberian 6 siklus dapat memperpanjang masa progresivitas penyakit (time to progression = TTP). Evaluasi respons terapi dilakukan dengan melihat perubahan ukuran tumor pada foto toraks PA setelah pemberian (siklus) kemoterapi ke-2 dan kalau memungkinkan menggunakanCTScan toraks setelah 3 kali pemberian (PDPI, 2011).Kemoterapi mempunyai berbagai efek samping, sehingga sebanyak 15,38% pasien mengalami gangguan cemas dan 16,23% mengalami depresi (Pandey et al., 2006). 2.2. Depresi 2.2.1. Definisi Depresi Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada Universitas Sumatera Utara pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Kaplan, 2010). Menurut Kaplan, depresi merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai oleh hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat. Mood adalah keadaan emosional internal yang meresap dari seseorang, dan bukan afek, yaitu ekspresi dari isi emosional saat itu (Kaplan, 2010). Depresi adalah suatu kondisi yang dapat disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu atau beberapa aminergik neurotransmiter (noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di sistem saraf pusat (terutama pada sistem limbik) (Maslim, 2002). 2.2.2 Etiologi Depresi Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial. a. Faktor biologi Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah. Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin berperan dalam patofisiologi depresi. Selain itu aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti Respirin, dan penyakit dimana konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson, adalah disertai gejala depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan bupropion, menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2010). Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat mengalami kehilangan secara selektif pada sel – sel saraf selama proses menua. Walaupun ada kehilangan sel saraf yang konstan pada seluruh otak selama rentang hidup, degenerasi neuronal korteks dan kehilangan yang lebih besar pada sel-sel di dalam lokus seroleus, substansia nigra, serebelum dan bulbus olfaktorius (Lesler, 2001). Bukti menunjukkan bahwa ada ketergantungan dengan umur tentang penurunan aktivitas dari noradrenergik, serotonergik, dan dopaminergik di dalam Universitas Sumatera Utara otak. Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun menjadi setengah pada umur 80an tahun dibandingkan dengan umur 60-an tahun (Kane. 1999). b. Faktor Genetik Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar monozigot (Davies, 1999). Oleh Lesler (2001), Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat individual, sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik. c. Faktor Psikososial Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksi sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang pada umumnya berhubungan dengan kehilangan. Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif (Kaplan, 2010) Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial meliputi penurunan percaya diri, kemampuan untuk mengadakan hubungan intim, penurunan jaringan sosial, kesepian, perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik (Kane, 1999). Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif dan dukungan sosial (Kaplan, 2010). Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor Universitas Sumatera Utara lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan pasangan (Kaplan, 2010). Stressor psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi (hardywinoto, 1999). Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada individu, seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid (kepribadian yang memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif) mempunyai resiko yang rendah (Kaplan, 2010). Faktor psikodinamika. Berdasarkan teori psikodinamika Freud, dinyatakan bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi (Kaplan, 2010). Dalam upaya untuk mengerti depresi, Sigmud Freud sebagaimana dikutip Kaplan (2010) mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal karena identifikasi dengan objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi mungkin merupakan cara satu-satunya bagi ego untuk melepaskan suatu objek, Freud membedakan melankolia atau depresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan orang yang berkabung tidak demikian. Kegagalan yang berulang. Dalam percobaan binatang yang dipapari kejutan listrik yang tidak bisa dihindari, secara berulang-ulang, binatang akhirnya menyerah tidak melakukan usaha lagi untuk menghindari. Disini terjadi proses belajar bahwa mereka tidak berdaya. Pada manusia yang menderita depresi juga ditemukan ketidakberdayaan yang mirip (Kaplan, 2010). Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu, menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang negatif tersebut menyebabkan perasaan depresi (Kaplan, 2010) Universitas Sumatera Utara 2.2.3. Klasifikasi Depresi Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III (PPDGJ-III) menyebutkan gejala depresi menjadi gejala utama (pada derajat ringan sedang, dan berat) dan gejala lainnya seperti yang akan terurai di bawah ini (Maslim, 2013). Gejala utama meliputi: - Afek depresif, - Kehilangan minat dan kegembiraan, dan - Berkurangnya energi yang menuju meningkatkannya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas. Gejala lainnya: - Konsentrasi dan perhatian berkurang; - Harga diri dan kepercayaan diri berkurang; - Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna; - Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis; - Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri; - Tidur terganggu; - Nafsu makan berkurang. Berpedoman pada PPDGJ-III, tingkat depresi dibedakan menjadi depresi ringan, sedang, dan berat. Episode Depresif Ringan - Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti disebut diatas; - Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya; - Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya; - Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu; - Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang bisa dilakukan. Episode Depresif Sedang - Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pasa episode ringan; - Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya; Universitas Sumatera Utara - Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu; - Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusan rumah tangga. Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik - Semua dari gejala depresi harus ada; - Ditambah sekurang-kurannya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat; - Penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan jika pasien menunjukkan gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok. - Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, tetapi jika gejala sangat berat dan beronset cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu. - Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas. Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik - Episode depresi berat yang memnuhi kriteria episode depresif berat tanpa gejala psikotik; - Disertai waham, halusinasi, atau stupor depresif. Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat. 2.2.4. Gambaran Klinis Depresi pada lansia adalah proses patoligis, bukan merupakan proses normal dalam kehidupan. Umumnya orang-orang akan menanggulanginya dengan mencari dan memenuhi rasa kebahagiaan. Bagaimanapun, lansia cenderung menyangkal bahwa dirinya mengalami depresi. Gejala umumnya, banyak diantara mereka muncul dengan menunjukkan sikap rendah diri, dan biasanya sulit untuk didiagnosis (Evans, 2000). Universitas Sumatera Utara a.Perubahan Fisik Penurunan nafsu makan. Gangguan tidur. Kelelahan dan kurang energy Agitasi. Nyeri, sakit kepala, otot keran dan nyeri, tanpa penyebab fisik. b.Perubahan Pikiran Merasa bingung, lambat dalam berfikir, penurunan konsentrasi dan sulit mengungat informasi. Sulit membuat keputusan dan selalu menghindar. Kurang percaya diri. Merasa bersalah dan tidak mau dikritik. Pada kasus berat sering dijumpai adanya halusinasi ataupun delusi. Adanya pikiran untuk bunuh diri. c.Perubahan Perasaan Penurunan ketertarikan dengan lawan jenis dan melakukan hubungan suami istri. Merasa bersalah, tak berdaya. Tidak adanya perasaan. Merasa sedih. Sering menangis tanpa alas an yang jelas. Iritabilitas, marah, dan terkadang agresif. d.Perubahan pada Kebiasaan Sehari-hari Menjauhkan diri dari lingkungan sosial, pekerjaan. Menghindari membuat keputusan. Menunda pekerjaan rumah. Penurunan aktivitas fisik dan latihan. Penurunan perhatian terhadap diri sendiri. Peningkatan konsumsi alcohol dan obat-obatan terlarang. Universitas Sumatera Utara 2.3.Beck Depression Inventory(BDI) Beck Depression Inventory (BDI), dibuat pada tahun 1961 oleh Dr. Aaron T. Beck, dan dikembangkan untuk menilai manifestasi depresi pada tingkah laku remaja dan orang dewasa. Dirancang untuk menstandarisasi penilaian keparahan depresi serta menggambarkan secara sederhana gejala depresi. Item-item BDI berasal dari observasi pasien-pasien depresi yang dibuat sselama perjalanan psikoanalisis atau psikoterapi. Sikap dan gejala depresi tampak spesifik pada kelompok pasien ini, kemudian BDI digambarkan oleh pernyataan-pernyataan, dan penilaian numerik pada masing-masing pernyataan(Beck et al, 2000). Selama bertahun-tahun, Beck Depression Inventory(BDI) menjadi salah satu instrumen yang digunakan secara mendunia untuk mengukur intensitas depresi daripada pasien dengan gangguan psikiatri (Piotrowski, Sherry & Keller, 1985), dan untuk mencari kemungkinan terjadinya depresi pada populasi masyarakat yang luas(Beck & Steer, 1984). BDI terdiri dari 21 pertanyaan yang sering digunakan pada penelitian depressi pasca stroke. BDI mempunyai cutoff point optimal dengan nilai 10, sensitivitas 81.0, dan spesifisitas 61.4 (Aben et al, 2002). Tabel 2.1. The Standard Cut-offs of depression Klassifikasi Jumlah Skor Tingkat Depressi Depresi Minimal 0-9 Minimal Depresi Ringan 10-16 Ringan Derpresi Sedang 17-29 Sedang Depresi Berat 30-63 Berat 2.4. Hubungan Kemoterapi Kanker Paru dengan Tingkat Depresi Pasien kanker mengalami beberapa stressor dan pergolakan emosi, ketakutan akan kematian, interupsi daripada rencana akan masa depan, perubahan gambaran tubuh dan kepercayaan diri, perubahan peran di dunia sosial dan gaya Universitas Sumatera Utara hidup, semuanya merupakan masalah penting yg harus dihadapi. Dimana hal ini bisa menyebabkan depresi. Selain itu , gangguan depresi dapat mempengaruhi jalannyapenyakit dan kepatuhan . Biaya, prevalensi, diagnostik danketidakpastian akan kesuksesan terapi menyebabkan gejala depresi di antara pasien kanker (Pasquini, 2007). Trask et al (2003) mengatakan bahwa 30%-50% daripada pasien kanker yang menjalani kemoterapi sudah menunjukkan gangguan emosional tingkat sedang dan tingkat tinggi. Miranda et al, (2002) mengevaluasi depressi pada pasien dengan kanker payudara dan serviks yang sedang menjalani kemoterapi dan tidak menemukan perbedaan proporsi dari depresi, tetapi jumlah pasien yang mengalami depresi meningkat setelah menjalani kemoterapi. Kemoterapi merupakan salah satu pengobatan kanker paru yang bersiklus dan intens, dimana pengobatan ini sering dihubungkan dengan berbagai efek samping seperti gangguan cemas dan depressi. Di India dilakukan penelitian untuk mengetahui prevalensi terjadinya depresi pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi, dari 117 pasien yang dievaluasi dengan menggunakan distress inventory for cancer, sebanyak 18 pasien mengalami gangguan ansietas, sedangkan 19 orang mengalami depresi. Pasien yang merespon terhadap tindakan kemoterapi lebih rentan terhadap depresi daripada pasien yang tidak merespon (Pandey, 2006). Universitas Sumatera Utara