BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tidak dapat

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya perusahaan memberikan keuntungan
bagi masyarakat. Dengan adanya perusahaan membuka lapangan pekerjaan dan
menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Akan tetapi,
peran perusahaan di tengah masyarakat juga melahirkan sejumlah kritik karena
menciptakan masalah sosial, polusi, limbah, mutu produk, hak dan status tenaga
kerja, serta kerusakan hutan dan lingkungan (Sembiring, 2005).
Aksi boikot terhadap produk sepatu Nike oleh masyarakat di negara Eropa
dan Amerika Serikat dikarenakan pabrik pembuat sepatu Nike di Asia dan Afrika
memperkerjakan anak di bawah umur (Wahyudi dan Azheri, 2008). Limbah dari
sejumlah perusahaan seperti PT Asahimas Flat Glass (industri kaca), PT Charoen
Pokphan Indonesia (industri makanan ternak), PT Nippon Paint (industri cat) telah
menyebabkan kematian ikan di perairan Teluk Jakarta pada bulan Mei 2004
(Apriwenni, 2009). Dua kasus tersebut menjadi contoh negatif perusahaan
manufaktur yang tidak memperhatikan kondisi lingkungan dan sosial dalam
menjalankan aktivitas bisnisnya.
Masyarakat saat ini semakin kritis dan mampu melakukan kontrol sosial
terhadap dunia usaha. Hal ini menuntut para pelaku bisnis menjalankan usahanya
dengan semakin bertanggung jawab. Pelaku bisnis tidak hanya mengejar
keuntungan, tetapi juga diminta untuk memberikan kontribusi positif terhadap
1
lingkungan sosial.
memunculkan
Perubahan pada
pentingnya
corporate
social
tingkat
kesadaran masyarakat
responsibility
(CSR).
CSR
memberikan pedoman bahwa perusahaan bukan lagi sebagai entitas yang
mementingkan diri sendiri sehingga mengasingkan diri dari lingkungan
masyarakat di tempat mereka beroperasi, melainkan sebuah entitas usaha yang
beradaptasi dengan lingkungan sosialnya (Hasan, 2007).
Harahap (2001) juga menyatakan bahwa tidak ada suatu perusahaan yang
hidup sendiri dan mati sendiri. Setiap perusahaan adalah unsur yang tidak
terpisahkan dari masyarakat, perusahaan dapat dikatakan baik apabila baik untuk
masyarakat dan perusahaan adalah penduduk dan harus menjadi penduduk yang
baik.
Corporate Social Responsibility (CSR) diperkenalkan oleh Howard Bowen
pada tahun 1953 yang mengacu pada kewajiban pelaku bisnis untuk membuat dan
melaksanakan kebijakan, keputusan, dan berbagai tindakan yang harus mengikuti
tujuan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Corporate social responsibility
semakin populer pada tahun 1997 setelah John Elkington mengemukakan konsep
3P yang terdiri dari profit, planet, dan people. Perusahaan tidak hanya mencari
profit, tetapi peduli terhadap masyarakat (people) dan lingkungan (planet)
(Wahyudi dan Azheri, 2008).
CSR menurut Business Actions for Sustainable Development (BASD) yang
sebelumnya bernama World Business Council for Sustainable Development
(WBCSD) mendefinisikan CSR sebagai komitmen berkesinambungan dari
kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberi kontribusi bagi pembangunan
2
ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya
serta komunitas lokal, dan masyarakat pada umumnya (Suharto, 2010).
Sejak kemunculannya, penerapan corporate social responsibility tidak lepas
dari pro dan kontra. Pihak yang tidak setuju dengan CSR berpendapat bahwa
keterlibatan perusahaan dalam kegiatan sosial memerlukan dana yang besar
diantaranya pembelian fasilitas produksi yang lebih ramah lingkungan. Selain itu,
manajer sebagai agen dari pemegang saham dan memiliki tugas khusus untuk
memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Jika manajer menggunakan
kekayaan pemegang saham untuk mengejar kepentingan publik dan menjalankan
CSR, maka tindakan tersebut mirip dengan tindakan pencurian (Chen dan Wang,
2011). Namun, bagi pihak yang mendukung CSR beranggapan bahwa dengan
adanya CSR akan memberikan manfaat bagi perusahaan diantaranya memelihara
dan meningkatkan citra perusahaan, membentuk hubungan yang baik dengan
masyarakat, dan untuk memperoleh loyalitas konsumen dan karyawan (Majalah
Swa edisi 19 Desember 2005-11 Januari 2006).
Terlepas dari pro dan kontra yang mewarnai CSR, beragam survei
membuktikan CSR semakin memiliki peran penting bagi perusahaan. Dalam
Suharto (2010) menyebutkan bahwa tiga lembaga internasional independen yakni
Environics International (Kanada), Conference Board (AS), dan Prince of Wales
Business Leader Forum (Inggris) melakukan survei tentang hubungan antara CSR
dan citra perusahaan. Survei yang dilakukan terhadap 25 ribu konsumen di 23
negara yang dituangkan dalam The Millenium Poll on CSR dilaksanakan pada
tahun 1999. Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas responden (60%)
3
menyatakan bahwa CSR seperti etika bisnis, praktik sehat terhadap karyawan,
dampak terhadap lingkungan, merupakan unsur utama dalam menilai baik atau
tidaknya suatu perusahaan. Faktor fundamental bisnis, seperti kinerja keuangan,
ukuran perusahaan, strategi perusahaan atau manajemen, hanya dipilih oleh 30%
responden. Sebanyak 40% responden bahkan mengancam akan “menghukum”
perusahaan yang tidak mau membeli produk perusahaan yang mengabaikan CSR.
Lebih jauh lagi mereka akan merekomendasikan hal ini kepada konsumen lain.
Survei lain yang menunjukkan pentingnya CSR bagi korporasi dilakukan
oleh Price Water House Cooper’s pada awal tahun 2002, membuktikan bahwa
70% dari global chief executives percaya bahwa CSR penting bagi profitabilitas
perusahaan (Khan, 2010). Survei yang dilakukan oleh Majalah Swa pada tahun
2005 membuktikan bahwa 80% dari responden mengatakan bahwa CSR sebagai
hal yang sangat penting.
Penelitian yang dilakukan oleh Hill pada tahun 2007 seperti yang
diungkapkan dalam Hasan (2007) terhadap beberapa perusahaan di Amerika
Serikat, Eropa, dan Asia yang melakukan praktik CSR lalu menghubungkannya
dengan nilai perusahaan yang diukur dari nilai saham perusahaan-perusahaan
membuktikan bahwa dalam jangka pendek (3-5 tahun) nilai saham tidak
mengalami kenaikan yang signifikan namun dalam jangka panjang (10 tahun)
perusahaan-perusahaan yang berkomitmen terhadap CSR mengalami kenaikan
nilai saham yang signifikan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang
tidak melakukan praktik CSR.
4
CSR di Indonesia semakin marak setelah munculnya regulasi yang
mengatur pelaksanaan CSR di Indonesia. CSR diatur di dalam Undang-undang
No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas di dalam pasal 66 ayat (2) bagian c
dan di dalam pasal 74 (Budiarta, 2008).
Di Indonesia sendiri, sejak 8 Juni 2009 telah diluncurkan Indeks SRIKehati. Indeks SRI-Kehati ini berisikan 25 saham perusahaan publik yang peduli
terhadap lingkungan. Perusahaan publik yang masuk ke dalam indeks SRI-Kehati
periode Mei 2012-Oktober 2012 terdiri dari sektor manufaktur, sektor perbankan,
dan sektor jasa memicu pelaksanaan CSR di bidang pasar modal. Pelaksanaan
CSR di bidang pasar modal telah dipelopori oleh bursa saham Eropa dan Amerika
yang telah memiliki indeks CSR sejak awal tahun 2000 (Majalah SWA edisi 19
Desember – 11 Januari 2006).
Adanya beberapa penghargaan bagi perusahaan yang telah melaksanakan
CSR semakin mendorong perkembangan CSR di Indonesia. Tahun 2012 lalu,
Harian Seputar Indonesia memberikan apresiasi bagi tujuh belas perusahaan yang
telah melaksanakan CSR (http://jakarta.okezone.com diakses tanggal 27 Mei
2013). Selain itu, melalui PROPER (Program Peringkat Kinerja Perusahaan) yang
digagas oleh Kementrian Lingkungan Hidup juga mendorong perusahaanperusahaan di Indonesia untuk lebih memperhatikan aspek lingkungan hidup
ketika menjalankan kegiatan operasional perusahaan (www.menlh.go.id diakses
tangal 27 Mei 2013).
Korporasi berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan para lingkungan
sosialnya melalui berbagai media, baik media eksternal maupun media internal
5
termasuk laporan tahunan. Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan
sebagai sarana komunikasi aktivitas sosial perusahaan dan untuk memperoleh
legitimasi dari para stakeholder. Melalui pengungkapan CSR, stakeholders dapat
mengevaluasi pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh perusahaan (Anggitasari dan
Mutmaimanah, 2012). Sembiring (2005) menyatakan bahwa salah satu informasi
yang sering diminta untuk diungkapkan perusahaan saat ini adalah informasi
mengenai CSR.
Perusahaan-perusahaan berskala besar cenderung untuk mengungkapkan
informasi CSR yang lebih banyak dibandingkan dengan perusahaan berskala
kecil. Perusahaan besar lebih banyak mendapat sorotan media dan cenderung
memiliki produk yang lebih bervariasi serta jangkauan pemasaran produk yang
lebih luas sehingga memiliki stakeholder yang lebih beragam (Hussainey et al.,
2011).
Tingkat profitabilitas yang tinggi akan memberi kesempatan yang lebih bagi
manajer untuk melaksanakan CSR dan mengungkapkan CSR di dalam laporan
tahunan perusahaan dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki tingkat
profitabilitas yang lebih rendah (Nur dan Priantinah, 2012).
Semakin besar kepemilikan manajemen di dalam perusahaan, akan semakin
produktif kinerja manajer dan manajer akan mengungkapkan informasi sosial
untuk meningkatkan reputasi perusahaan (Rahman dan Widyasari, 2008).
Kepemilikan saham oleh publik membuat aktivitas dan keadaan perusahaan
harus diketahui dan dilaporkan kepada publik dan diprediksi akan meningkatkan
6
jumlah informasi CSR yang diungkapkan oleh perusahaan (Nur dan Priantinah,
2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Hackston dan Milne (1996) menemukan
bahwa ukuran perusahaan dan tipe industri berpengaruh dengan pengungkapan
CSR sedangkan profitabilitas tidak berpengaruh dengan pengungkapan CSR.
Anggraini (2006) menemukan bahwa kepemilikan manajemen dan tipe
industri berpengaruh terhadap pengungkapan CSR, tetapi ukuran perusahaan,
profitabilitas, dan leverage tidak berpengaruh terhadap CSR.
Penelitian Rahman dan Widyasari (2008) menunjukkan bahwa profile
perusahaan berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR. Kepemilikan
manajemen, leverage, ukuran perusahaan, dan profitabilitas perusahaan tidak
berpengaruh terhadap pengungkapan CSR.
Saputri (2011) menemukan bahwa profitabilitas, ukuran perusahaan, dan
kepemilikan saham publik berpengaruh terhadap pengungkapan CSR sedangkan
leverage tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR.
Penelitian yang dilakukan oleh Nur dan Priantinah (2012) membuktikan
bahwa profitabilitas, kepemilikan saham publik, dan pengungkapan media tidak
berpengaruh terhadap pengungkapan CSR, sedangkan ukuran perusahaan
berpengaruh terhadap pengungkapan CSR.
Penelitian mengenai pengungkapan di dalam laporan tahunan penting untuk
dilakukan karena akan memberikan gambaran tentang sifat perbedaan keluasan
pengungkapan antarperusahaan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya dan
memberikan petunjuk tentang kondisi perusahaan pada suatu masa pelaporan
7
(Almilia dan Retrinasari, 2007). Dari penelitian-penelitan terdahulu tergambar
bahwa hasil penelitian mengenai pengungkapan CSR masih menunjukkan hasil
yang beragam. Masih adanya keragaman hasil penelitian menyebabkan penelitian
ini menarik untuk dilakukan. Oleh sebab itu, peneliti menguji kembali pengaruh
variabel ukuran perusahaan, profitabilitas, kepemilikan manajemen, dan
kepemilikan saham publik terhadap pengungkapan corporate social responsibility
di dalam laporan tahunan perusahaan.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah di dalam penelitian ini secara spesifik dijabarkan dalam
pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan CSR?
2. Apakah profitabilitas berpengaruh terhadap pengungkapan CSR?
3. Apakah kepemilikan manajemen berpengaruh terhadap pengungkapan CSR?
4. Apakah kepemilikan saham publik berpengaruh terhadap pengungkapan CSR?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan:
1. Pengaruh ukuran perusahaan terhadap pengungkapan CSR.
2. Pengaruh profitabilitas terhadap pengungkapan CSR.
3. Pengaruh kepemilikan manajemen terhadap pengungkapan CSR.
4. Pengaruh kepemilikan saham publik terhadap pengungkapan CSR.
8
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk
penelitian selanjutnya terkait dengan pengungkapan corporate social
responsibility.
2. Bagi perusahaan, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk
pengambilan keputusan terkait pengungkapan corporate social responsibility.
3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi
untuk penyusunan standar mengenai pengungkapan
corporate social
responsibility.
1.5.
Batasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia. Perusahaan manufaktur dipilih karena berkaitan dengan masalahmasalah seperti limbah, polusi, tingkat keamanan produk, dan tenaga kerja.
Perusahaan manufaktur menghasilkan limbah dan berdampak pada pencemaran
lingkungan. Proses produksi menyebabkan perusahaan manufaktur harus
memperhatikan keselamatan tenaga kerja. Produk yang dihasilkan oleh
perusahaan manufaktur juga harus aman digunakan oleh konsumen sehingga halhal tersebut menjadi penting untuk diungkapkan oleh perusahaan (Permana dan
Raharja, 2012).
9
1.6. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Bab ini berisi uraian latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, batasan penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Landasan Teori
Bab ini berisi landasan teori, hasil-hasil penelitian sebelumnya, model
penelitian, dan hipotesis yang digunakan dalam penelitian.
Bab III Metode Penelitian
Bab ini berisi variabel penelitian, populasi dan sampel, jenis dan sumber
data, metode pengumpulan data, serta metode analisis data yang digunakan
dalam penelitian.
Bab IV Hasil dan Pembahasan
Bab ini berisi mengenai analisis dan pembahasan penelitian secara
keseluruhan. Hasil-hasil analisis yang diperoleh digunakan untuk menguji
hipotesis penelitian.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan, keterbatasan
penelitian, dan saran untuk memperbaiki penelitian ini.
10
Download