7 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN

advertisement
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pengertian Manajemen SDM
Menurut Dessler dalam bukunya “Human Resource Management” (2003,p15),
mendefinisikan Manajemen SDM strategi sebagai berikut : “ Strategic Human
Resource Management is the linking of Human Resource Management with
strategic role and objectives in order to improve business performance and
develop organizational cultures and foster innovation and flexibility”. Yang
berarti bahwa para manajer harus mengaitkan strategi manajemen sumber daya
manusia dengan aturan strategi dan sasaran untuk meningkatkan kinerja bisnis dan
mengembangkan budaya korporasi yang mendukung penerapan inovasi dan
fleksibilitas.
Berdasarkan pendapat Veithzal Rivai (2004,p1), Manajemen Sumber Daya
Manusia (MSDM) merupakan salah satu bidang dari manajemen umum yang
meliputi segi-segi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian.
Proses ini terdapat dalam fungsi/bidang produksi, pemasaran, keuangan, maupun
kepegawaian. Karena sumber daya manusia dianggap semakin penting perannya
dalam pencapaian tujuan perusahaan, maka sebagai pengalaman dan hasil
penelitian dalam bidang sumber daya manusia.
Manajemen sumber daya manusia adalah pendayagunaan, pengembangan,
penilaian, pemberian balas jasa, dan pengelolaan individu anggota organisasi/
7
8
kelompok kerja agar efektif, dan efisien untuk membantu terwujudnya tujuan
perusahaan, karyawan, dan masyarakat.
Manajemen sumber daya manusia terbentuk dari beberapa kelompok aktivitas
yang saling berhubungan dalam lingkungan perusahaan dan selama itu semua
manajer yang bertanggung jawab dalam manajemen sumber daya manusia harus
memperhitungkan kekuatan serta keadaan dari luar seperti hukum, politik,
ekonomi, sosial, budaya dan teknologi ketika menetapkan aktivitas tersebut.
Kesimpulan dari manajemen sumber daya manusia adalah suatu ilmu yang
mengatur proses pemanfaatan tenaga kerja agar dapat berjalan dengan baik sesuai
dengan prosedur yang sudah ada agar menghasilkan kinerja yang baik, demi
tercapainya tujuan perusahaan.
2.1.2 Kompensasi
2.1.2.1 Pengertian kompensasi
Menurut S.P.Hasibuan Malayu (2003,p77), kompensasi adalah semua
pendapatan yang berbentuk uang atau barang langsung atau tidak langsung yang
diterima karyawan sebagai imbalan atas jasa yang diberikan kepada perusahaan.
Menurut Veithzal Rivai (2004,p357), kompensasi merupakan sesuatu yang
diterima karyawan sebagai pengganti kontribusi jasa mereka kepada perusahaan.
Dapat disimpulkan bahwa kompensasi adalah penghargaan yang diberikan
kepada karyawan dalam bentuk kompensasi langsung maupun tidak langsung
sebagai balasan atas jasa yang telah diberikan oleh karyawan kepada perusahaan.
9
2.1.2.2 Jenis-jenis Kompensasi
Menurut Mathis dan Jackson (2006,p419-420), jenis-jenis kompensasi
dibedakan menjadi dua:
1. Kompensasi langsung (direct compensation)
•
Gaji
•
Upah
•
Insentif
2. Kompensasi tidak langsung (indirect compensation)
•
Asuransi Kesehatan/ jiwa
•
Cuti berbayar
•
Dana pensiun
2.1.2.2.1 Gaji
Menurut Veithzal Rivai (2004,p379), gaji adalah balas jasa dalam bentuk uang
yang diterima karyawan sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai seorang
karyawan yang memberikan sumbangan tenaga dan pikiran dalam mencapai
tujuan perusahaan. Atau dapat juga dikatakan sebagai bayaran tetap yang diterima
seseorang dari keanggotaannya dalam sebuah perusahaan.
2.1.2.2.2 Upah
Menurut Veithzal Rivai (2004,p375), upah merupakan imbalan finansial
langsung yang dibayarkan kepada karyawan berdasarkan jam kerja, jumlah barang
yang dihasilkan atau banyaknya pelayanan yang diberikan. Jadi tidak seperti gaji
10
yang jumlahnya relative tetap, besarnya upah dapat berubah-ubah tergantung pada
keluaran yang dihasilkan.
Penggolongan upah:
a. Upah sistem waktu
Dalam sistem waktu, besarnya upah ditetapkan berdasarkan standar waktu
seperti jam, hari, minggu, atau bulan. Besarnya upah sistem waktu hanya
didasarkan kepada lamanya bekerja bukan dikaitkan dengan prestasi kerjanya.
b. Upah sistem hasil (output)
Dalam sistem hasil, besarnya upah ditetapkan atas kesatuan unit yang
dihasilkan pekerja, seperti per potong, meter, liter dan kilogram. Besarnya
upah yang dibayar selalu didasarkan kepada banyaknya hasil yang dikerjakan
bukan kepada lamanya waktu mengerjakannya.
c. Upah sistem borongan
Sistem borongan adalah salah cara pengupahan yang penetapan besarnya
jasa didasarkan atas volume pekerjaan dan lama mengerjakannya. Penetapan
besarnya balas jasa berdasarkan sistem borongan cukup rumit, lama
mengerjakannya, serta banyak alat yang diperlukan untuk menyelesaikannya.
2.1.2.2.3 Insentif
Menurut Veithzal Rivai (2004,p384), insentif merupakan imbalan langsung
yang dibayarkan kepada karyawan karena kinerjanya melebihi standar yang
ditentukan. Insentif merupakan bentuk lain dari upah langsung diluar upah dan
11
gaji yang merupakan kompensasi tetap, yang biasa disebut kompensasi
berdasarkan kinerja.
Menurut Gary Dessler (2005,p412), insentif finansial adalah ganjaran finansial
yang diberikan kepada karyawan yang produksinya melampaui standar yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Menurut Heidjraman dan Suad Husnan (2002,p161), mereka mengemukakan
bahwa : Pengupahan insentif dimaksudkan untuk memberikan upah atau gaji yang
berbeda karena memang perbedaan prestasi kerja, guna meningkatkan
produktifitas karyawan yang berbeda-beda prestasinya untuk berada dalam
perusahaan.
Disimpulkan bahwa insentif adalah suatu alat yang dapat mendorong seorang
karyawan agar dapat bekerja lebih giat sehingga menghasilkan prestasi kerja yang
lebih baik.
2.1.2.2.3.1 Tujuan Pemberian Insentif
Menurut T.Hani Handoko (2001,p156), menjelaskan tujuan insentif adalah:
Memperoleh personalia yang berkualitas, mempertahankan karyawan yang ada
sekarang, menjamin keadilan, menghargai perilaku yang diinginkan, dan
mengendalikan biaya-biaya.
Selain itu, tujuann pemberian insentif adalah memotivasi kinerja karyawan
dalam melaksanakan pekerjaannya. Budaya perusahaan untuk memberikan
insentif membangkitkan minat dan ketertarikan karyawan terhadap tujuan
perusahaan.
12
2.2.2.3.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemberian Insentif
Menurut Heidjrachman dan Suad Husnan (2002,139) tinggi rendahnya tingkat
insentif yang diberikan kepada karyawan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti:
1. Penawaran dan permintaan tenaga kerja
Meskipun hukum ekonomi tidaklah bisa ditetapkan secara mutlak dalam
masalah tenaga kerja, tetapi tidak bisa diingkari bahwa hukum penawaran dan
permintaan tetap memengaruhi. Pekerjaan yang membutuhkan keterampilan
(skill) tinggi dan jumlah tenaga kerjanya langka, maka upah cenderung tinggi.
2. Organisasi buruh
Ada tidaknya organisasi buruh serta lemah kuatnya organisasi buruh akan
ikut mempengaruhi terbentuknya tingkat upah.
3. Kemampuan untuk membayar
Kemungkinan serikat buruh dapat menuntut upah buruh yang tinggi, akan
tetapi pada akhirnya realisasi pemberian upah akan tergantung pula pada
kemampuan membayar dari perusahaan. Dalam perusahaan, upah merupakan
salah
satu
komponen
biaya
produksi.
Tingkat
kenaikan
upahnya
menyebabkan naiknya biaya produksi sehingga mengurangi keuntungan.
4. Produktivitas
Upah sebenarnya merupakan imbalan atas prestasi karyawan. Semakin
tinggi prestasi karyawan seharusnya makin besar pula upah yang akan
diterima. Prestasi demikian biasanya sebagai produktivitas.
5. Biaya hidup
13
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan juga adalah biaya hidup. Di kotakota besar di mana biaya hidup tinggi demikian juga upah cenderung tinggi.
6. Pemerintah
Pemerintah dengan peraturan-peraturannya juga memengaruhi tinggi
rendahnya upah. Peraturan tetang upah minimum merupakan batas bawah
dari tingkat upah yang akan dibayarkan.
2.1.3 Pelatihan (training)
2.1.3.1 Pengertian Pelatihan
Sebelum mengetahui istilah yang tepat yang dipergunakan dalam pelatihan,
maka terlebih dahulu perlu diketahui beberapa definisi dari pelatihan tersebut
yang dikutip dari beberapa ahli.
•
Menurut Mathis, Robert dan Jackson (2006,p301), pelatihan adalah sebuah
proses dimana orang mendapatkan kapabilitas untuk membantu pencapaian
tujuan-tujuan organisasional.
•
Menurut Veithzal Rivai (2004,p226), pelatihan adalah proses secara
sistematis mengubah tingkah laku pengawai untuk mencapai tujuan
organisasi.
•
Menurut Dessler (2004,p216), pelatihan merupakan proses mengajarkan
keterampilan yang dibutuhkan karyawan untuk melakukan pekerjaannya.
14
2.1.3.2 Faktor-Faktor Yang Berperan Dalam Pelatihan
Menurut Veithzal Rivai (2004,p240), dalam melaksanakan pelatihan ini ada
beberapa faktor yang berperan yaitu instruktur, peserta, materi (bahan), metode,
tujuan pelatihan dan lingkungan yang menunjang. Dalam menentukan teknikteknik pelatihan dan pengembangan, timbul masalah mengenai trade-off, oleh
karena itu tidak ada teknik tunggal yang terbaik. Metode pelatihan terbaik
tergantung dari beberapa faktor, ada faktor yang perlu dipertimbangkan dan
berperan dalam pelatihan:
1. Cost-efectiveness (efektivitas biaya)
2. Materi program yang dibutuhkan
3. Prinsip-prinsip pembelajaran
4. Ketepatan dan kesesuaian fasilitas
5. Kemampuan dan preferensi peserta pelatihan
6. Kemampuan dan preferensi instruktur pelatihan
2.1.3.3 Manfaat Pelatihan
Menurut Veithzal Rivai (2004,p231), manfaat pelatihan adalah:
1. Manfaat bagi karyawan
•
Membantu karyawan mengatasi stres, tekanan, dan konflik
•
Meningkatkan kepuasan kerja dan pengakuan
•
Membantu menghilangkan rasa takut melaksanakan tugas baru
•
Membantu karyawan dalam membuat keputusan dan pemecahan masalah
yang lebih efektif
15
•
Membantu mendorong dan mencapai pengembagan diri dan rasa percaya
diri
2. Manfaat bagi perusahaan
•
Membantu mempersiapkan dan melaksanakan kebijakan perusahaan
•
Menciptakan iklim yang baik untuk pertumbuhan
•
Membantu menangani konflik sehingga terhindar dari stres dan tekanan
kerja
•
Memperbaiki moral SDM
•
Memperbaiki pengetahuan kerja dan keahlian pada semua level
perusahaan
•
Mengarahkan untuk meningkatkan profitabilitas atau sikap yang lebih
positif terhadap orientasi profit.
2.1.3.4 Tujuan Pelatihan
Menurut Veithzal Rivai (2004,p229), tujuan dari pelatihan adalah :
•
Untuk meningkatkan kuantitas output
•
Untuk meningkatkan kualitas output
•
Untuk menurunkan biaya limbah dan perawatan
•
Untuk menurunkan jumlah dan biaya terjadinya kecelakaan
•
Untuk menurunkan turnover, ketidakhadiran kerja serta meningkatkan
kepuasan kerja
•
Untuk mencegah timbulnya antipati karyawan
16
2.1.3.5 Pelatihan Strategis
Menurut Mathis, Robert dan Jackson (2006,p307) perusahaan perlu
mengadakan pelatihan strategis kepada karyawan, dengan tujuan menambah nilai
pada organisasi dengan menghubungkan strategi pelatihan pada tujuan dan
strategi bisnis organisasional.
Kerangka kerja untuk mengembangkan rencana pelatihan strategi mengandung
4 (empat) tingkatan pokok.
1. Mengatur strategi
Manajer-manajer sumber daya manusia dan pelatihan harus lebih dahulu
bekerja sama dengan manajemen untuk menentukan bagaimana pelatihan
akan terhubung secara strategis pada rencana bisnis strategis, dengan tujuan
untuk meningkatkan kinerja karyawan dan organisasi.
2. Merencanakan
Perencanaan harus terjadi dengan tujuan untuk menghadirkan pelatihan
yang akan membawa hasil-hasil positif untuk organisasi dan karyawannya.
Perencanaan, tujuan dan harapan dari pelatihan harus diidentifikasi serta
diciptakan agar tujuan pembelajaran dapat diukur dan spesifik untuk melacak
efektivitas pelatihan.
3. Mengorganisasi
Pelatihan harus diorganisasi dengan memutuskan bagaimana pelatihan
akan dilakukan, mendapat sumber-sumber daya yang dibutuhkan, dan
mengembangkan intervensi-intervensi pelatihan.
4. Memberi pembenaran
17
Mengukur dan mengevaluasi pada tingkat mana pelatihan memenuhi
tujuan akan mengesahkan usaha-usaha pelatihan. Kesalahan-kesalahan di
masa lalu dalam pelatihan dapat secara eksplisit diidentifikasi dalam tahap
ini. Belajar dari berbagai kesalahan selama masa pelatihan akan
menghasilkan cara efektif untuk meningkatkan pelatihan di masa depan.
2.1.3.6 Langkah-langkah dalam proses pelatihan
Menurut Dessler (2003,p217) Proses pelatihan terdiri dari 5 (lima) langkah.
1. Langkah analisis kebutuhan
Untuk mengetahui keterampilan kerja spesifik yang dibutuhkan,
menganalisis keterampilan dan kebutuhan calon yang akan dilatih, dan
mengembangkan pengetahuan khusus yang terukur serta tujuan prestasi.
2. Langkah merangcang instruksi
Untuk memutuskan, menyusun, dan menghasilkan isi program pelatihan,
termasuk buku-buku kerja, latihan, dan aktivitas.
3. Langkah validasi
Program pelatihan dengan menyajikannya kepada beberapa pemirsa yang
bisa memiliki.
4. Langkah penerapan program
Langkah ke empat, perusahaan melatih karyawan ditargetkan.
5. Langkah evaluasi
Manajemen perusahaan menilai keberhasilan atau kegagalan pelatihan.
18
2.1.3.7 Teknik-teknik Pelatihan
Menurut Davis, sebagaimana dikutip Fathoni (2006,p31) ada 2 (dua) teknik
pelatihan, yaitu pelatihan ditempat kerja (on the job training), dan pelatihan di
luar tempat kerja (off the job training).
1. Pelatihan di tempat kerja (on the job training) adalah metode yang bertujuan
untuk memberikan kecakapan kepada karyawan baru tersebut setelah
pelatihan berakhir. Pengawasan dan instruksi langsung diberikan kepada
peserta pelatihan di tempat kerjanya, dengan demikian karyawan akan lebih
mudah dalam menguasai pekerjaannya.
Beberapa teknik yang bisa digunakan meliputi :
•
Job instruction training, proses belajar yang mencerminkan langkah
urutan pekerjaan dimana petunjuk pekerjaan diberikan secara langsung
dimana bantuan-bantuan instruktur biasanya digunakan untuk melatih
karyawan tentang cara pelaksanaan pekerjaan saat ini.
•
Job rotation, teknik pengembangan yang dilakukan dengan cara
memindahkan peserta dari suatu jabatan atau pekerjaan kejabatan atau ke
pekerjaan lainnya secara periodik untuk menambahkan keahlian dan
kecakapan karyawan pada setiap jabatan atau pekerjaan tertentu.
Demikian
dikatakan
bahwa
karyawan
dapat
mengetahui
dan
melaksanakan pekerjaannya pada tiap bagian yang berbeda.
•
Apprenticeship, proses belajar dari seseorang yang lebih berpengalaman
dan biasanya dikenal dengan istilah magang.
19
•
Coaching, teknik pelatihan dimana atasan memberikan bimbingan dan
pengarahan kepada karyawan dalam melaksanakan pekerjaan rutin
mereka.
2. Pelatihan di luar tempat kerja (off the job training) adalah pelatihan yang
menggunakan situasi diluar pekerjaan. Teknik ini banyak digunakan bila
banyak pekerjaan yang harus dilatih dengan cepat, seperti halnya bila
perusahaan melakukan perluasan usaha dan bila pelatihan langsung pada
pekerjaan tidak dapat dilakukan karena biaya sangat mahal.
Beberapa teknik yang bisa digunakan meliputi:
•
Lecture, merupakan metode pelatihan yang memberikan kuliah dan
kelemahan yang dimilikinya yaitu pelatihan partisipasi dan pasif.
•
Video presentation, metode ini biasanya dilakukan dengan presentasi
melalui media televise, film, slide, dan sejenisnya, dimana bentuknya
sama dengan metode lecture.
•
Vestibule training, merupakan metode pelatihan yang dilakukan pada
suatu ruangan latihan yang khusus dan terpisah dari tempat kerja biasa
dimana disediakan jenis peralatan yang sama seperti yang akan
digunakan pada pekerjaan sebenarnya.
•
Role playing and behavior modeling, merupakan pelatihan dengan cara
permainan peran dengan maksud menciptakan situasi realistis.
•
Case study, dalam pelatihan para peserta dihadapkan pada beberapa
kasus tertulis dan memecahkan masalah-masalah tersebut.
20
•
Simulation, merupakan situasi atau kejadian yang ditampilkan semirip
mungkin dengan situasi yang sebenarnya, tetapi hanya merupakan tiruan
saja dari peserta harus memberikan respon seperti dalam kejadian yang
sebenarnya. Simulasi ini adalah suatu teknik untuk mencontoh semirip
mungkin terhadap konsep sebenarnya dari apa yang dijumpai.
•
Self study, merupakan teknik yang menggunakan model tertulis, kaset
dan video tape rekaman dan para pesertanya hanya mempelajari sendiri.
•
Programmed learning, pelatihan dilakukan dengan memberikan beberapa
pertanyaan dan jawaban yang tersusun ada didalma materi pelatihan.
•
Laboratory training, merupakan jenis kelompok yang terutama
digunakan untuk mengembangkan keterampilan antar pribadi. Salah satu
bentuk latihan laboratorium yang terkenal adalah sensitifitas, dimana
peserta belajar menjadi lebih sensitif terhadap perasaan orang lain dan
lingkungan. Pelatihan ini juga berguna untuk mengembangkan berbagai
perilaku serta tanggung jawab pekerjaan diwaktu yang akan datang.
2.1.4 Motivasi Kerja
2.1.4.1 Pengertian Motivasi
Hasibuan (2003:95) mendefinisikan motivasi adalah pemberian daya
penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau
bekerja sama, efektif dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai
kepuasan.
21
Dari defenisi yang telah dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
motivasi adalah kerelaan untuk melakukan usaha-usaha tingkat tinggi guna
mencapai tujuan-tujuan organisasi, dipersyaratkan oleh kemampuan usaha untuk
memuaskan kebutuhan individu tertentu.
2.1.4.2 Pengertian Kerja
Menurut A.A Waskito (2009,p248), mendefinisikan bahwa kerja adalah
perbuatan melakukan sesuatu pekerjaan dan juga dapat diartikan sesuatu yang
yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan.
Demikian menurut penulis bahwa kerja adalah sebuah kegiatan yang
dilakukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
2.1.4.3 Pengertian Motivasi Kerja
Abraham Sperling (Mangkunegara, 2002, p93), mengemukakan bahwa motif
didefinisikan sebagai suatu kecenderungan untuk beraktivitas, dimulai dari
dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan penyesuaian diri, Penyesuaian
diri dikatakan untuk memuaskan motif.
William J. Stanton (Mangkunegara, 2002, p93), mendefinisikan bahwa motif
adalah kebutuhan yang distimulasi dan berorientasi kepada tujuan idividu dalam
mencapai rasa puas.
Motivasi didefinisikan oleh Fillmore H. Stanford (Mangkunegara, 2002, p93),
bahwa motivasi sebagai suatu kondisi yang mnggerakan manusia ke arah suatu
tujuan tertentu.
22
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa motif
merupakan suatu dorongan kebutuhan dalam diri karyawan yang perlu dipenuhi
agar karyawan tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya,
sedangkan motivasi adalah kondisi yang menggerakan karyawan agar mampu
mencapai tujuan dari motifnya. Sedangkan motivasi dikatakan sebagai energi
untuk membangkitkan dorongan dalam diri (drive arousal ).
Dalam hubungannya dengan lingkungan kerja, Ernest L. Mcormick (
Mangkunegara, 2002: p94) mengemukakan bahwa motivasi kerja didefinisikan
sebagai
kondisi
yang
berpengaruh
membangkitkan,
mengarahkan
dan
mmemelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja.
A. Teori kebutuhan (Maslow’s model)
Model Maslow ini sering disebut dengan model hierarki kebutuhan. Karena
menyangkut kebutuhan manusia, maka teori ini digunakan untuk menunjukan
kebutuhan seserorang yang harus dipenuhi agar individu tersebut termotivasi
untuk kerja. Menurut Maslow, pada umumnya terdapat hierarki kebutuhan
manusia, yang dijelaskan sebagai berikut :
1) Fisiologis, yaitu makan, minum, tempat tinggal, dan sembuh dari rasa sakit;
2) Keamanan dan keselamatan, yaitu kebutuhan untuk kemerdekaan dari
ancaman, yaitu keamanan dari kejadian atau lingkungan yang mengancam;
3) Rasa memiliki, sosial, dan kasih sayang, yaitu kebutuhan akan persahabatan,
kelompok, interaksi, dan kasih sayang;
4) Penghargaan (esteem), yaitu kebutuhan atas harga diri (self esteem) dan
penghargaan dari pihak lain;
23
5) Aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk memenuhi diri seseorang melalui
memaksimukan penggunaan kemampuan, keahlian, dan potensi.
B. Teori Penguatan (Rinforecement Theory )
Teori ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
M=f(R&C)
M = Motivasi
R = Reward (penghargaan ) – primer/sekunder
C = Consequens (akibat) – positif/negatif
Motivasi seseorang bekerja tergantung pada reward yang diterimanya dan
punishment yang akan dialaminya nanti (Arep Ishak & Hendri Tanjung, 2003
p35-37).
Penguatan adalah segala sesuatu yang digunakan seseorang pimpinan untuk
meningkatkan atau mempertahankan tanggapan khusus individu. Jadi menurut
teori ini, motivasi seseorang bekerja tergantung pada penghargaan yang
diterimanya dan akibat dari yang akan dialaminya nanti. Teori ini menyebutkan
bahwa perilaku seseorang di masa mendatang dibentuk oleh akibat dari
perilakunya yang sekarang.
C. Teori Harapan (Expectacy Theory)
Teori ekspetasi menyatakan bahwa motivasi kerja dideterminasi oleh
keyakinan – keyakinan individual sehubungan dengan hubungan upaya – kinerja,
dan di dambakan berbagai macam hasil kerja, yang berkaitan dengan tingkat
24
kinerja yang berbeda – beda. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori
tersebut berlandaskan logika: “ orang – orang akan melakukan apa yang dapat
mereka lakukan, apabila mereka berkeinginan untuk melakukannya”.
Vroom (Winardi, 2002, p109-110), berpendapat bahwa motivasi terhadap kerja
merupakan hasil dari ekspetasi kali instrumentalitas, kali valensi.
Hubungan multiplikatif tersebut berarti bahwa daya tarik motivasional jalur
pekerjaan tertentu sangat berkurang apabila salah satu diantara hal
berikut:
ekspektansi, instrumentalitas, atau valensi mendekat nol. Sebaliknya agar imbalan
tertentu memiliki sebuah dampak motivasional tinggi secara positif, sebagai hasil
kerja, maka ekspentasi, instrumentalitas, dan valensi yang berkaitan dengan
imbalan tersebut hambatan tinggi secara positif.
Motivasi – Ekspektasi x Instrumen x Valensi (M = E x I x V) Hubungan antara
motivasi seseorang melakukan suatu kegiatan dengan kinerja yang akan
diperolehnya yakni apabila motivasinya rendah jangan berharap hasil kerjanya
baik. Motivasi dipengarui oleh berbagai pertimbangan pribadi seperti rasa tertarik
atau memperoleh harapan.
D. Teori Penetapan Tujuan Locke
Suprihanto (2003, p52-53), menyatakan bahwa teori penetapan tujuan (goalsetting theory) ini merupakan suatu teori yang menyatakan bahwa tujuan – tujuan
yang sifatnya spesifik atau sulit cenderung menghasilkan kinerja yang lebih
tinggi. Pencapaian tujuan dilakukan melalui usaha partisipasi. Meskipun demikian
pencapaian tujuan belum tentu dilakukan oleh banyak orang. Dalam pencapaian
25
tujuan yang partisipatif mempunyai dampak positif berupa timbulnya penerimaan
(accepetance), artinya sesulit apapun apabila orang telah menerima suatu
pekerjaan maka akan dijalankan dengan baik. Sementara itu dalam pencapaian
tujuan yang partsipatif dapat pula berdampak negatif yaitu timbulnya superioritas
pada orang – orang yang memiliki kemampuan lebih tinggi.
Teori penetapan tujuan Locke mengatakan bahwa tujuan dan maksud individu
yang disadari adalah determinan utama perilaku. Perilaku seseorang akan terus
berlangsung sampai perilaku itu mencapai tingkat prestasi yang lebih tinggi.
Menurut teori ini, prestasi akan tergantung pada tingkat kesukaan tujuan,
kerincian tujuan, dan komotmen seseorang terhadap tujuan. Tujuan yang lebih
sukar akan membuat orang frustasi sehingga prestasinya juga rendah. Kerincian
tujuan akan mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap terhadap tujuan
seseorang lebih menyadari dan memahami tujuan akan berprestasi lebih baik.
variabel komitmen terhadap tujuan menyangkut keterlibatan seseroang terhadap
tujuan. Seseorang yang memiliki komitmen tinggi bisa diharapkan akan
berprestasi lebih baik.
2.1.4.4 Faktor – Faktor yang Memengaruhi Motivasi Kerja
Menurut Frederick Herzberg (dalam Masithoh, 2000, p20) mengembangkan
teori hierarki kebutuhan Maslow menjadi teori dua faktor tentang motivasi. Dua
faktor itu dinamakan faktor pemuas (motivation factor) yang disebut dengan
satisfier atau intrinsic motivation dan faktor pemelihara (maintenance factor)
yang disebut dengan disatisfier atau extrinsic motivation.
26
Faktor pemuas yang disebut juga motivator yang merupakan factor pendorong
seseorang untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri seseorang tersebut
(kondisi intrinsik) antara lain:
1. prestasi yang diraih
2. pengakuan orang lain
3. tanggung jawab
4. peluang untuk maju
5. kepuasan kerja itu sendiri
6. kemungkinan penembangan karir
Berbeda dengan faktor pemeliharaan (maintenance factor) disebut juga hygine
factor merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan untuk
memelihara keberadaan karyawan sebagai manusia, pemeliharaan ketentraman
dan kesehataan. Faktor ini juga disebut disatidfier ( sumber ketidak puasan) yang
merupakan tempat pemenuhan kebutuhan tingkat rendah yang dikualifikasikan ke
dalam faktor ekstrinsik, meliputi:
1. kompensasi
2. keamanaan dan keselamtan kerja
3. kondisi kerja
4. status
5. prosedur
6. mutu dari supervisi tekhnis dari hubungan interpersonal diantara teman
sejawat, dengan atasan, dan dengan bawahan.
27
2.1.4.5 Tujuan dan Manfaat Motivasi Kerja
Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga
produktifits kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang diperoleh karena
bekerja dengan orang – orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat
diselesaikan dengan tepat. Maknanya adalah suatu pekerjaan diselesaikan sesuai
standar yang benar dan dalam skala waktu yang sudah ditentukan, maka karyawan
yang melakukan pekerjaan tersebut merasa tidak terlalu dibebankan. Sesuatu yang
dikerjakan karena ada motivasi yang mendorongnya akan membuat karyawan
senang mengerjakannya. Karyawanpun akan merasa dihargai atau diakui, hal ini
terjadi karena pekerjaannya itu betul – betul berharga bagi karyawan yang
termotivasi, sehingga karyawan tersebut akan bekerja keras. Hal ini dimaklumi
karena dorongan yang begitu tinggi menghasilkan output sesuai target yang
mereka tetapkan. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan
tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat juangnya
akan tinggi (Arep Ishak & Hendri Tanjung, 2003, p26-17).
Tujuan dan manfaat dari motivasi menurut Sowatno (2001,p147), diantaranya
sebagai berikut :
•
Mendorong gairah dan semangat kerja.
•
Meningkatkan moral dan kepuasan kerja pegawai.
•
Meningkatkan produktifitas kerja pegawai.
•
Mempertahankan loyalitas dan kestabilan pegawai perusahaan.
•
Meningkatkan kedisiplinan dan menurunkan tingkat absensi pegawai.
•
Mengefektifan pengadaan pegawai.
28
•
Menciptakan hubungan kerja dan suasana yang baik.
•
Meningkatkan kreatifitas dan partisipasi pegawai.
•
Meningkatkan kesejahteraan pegawai.
•
Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugas-tugasnya.
•
Menigkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku, dan sebagainya.
2.1.5 Efektivitas Organisasi
2.1.5.1 Pengertian Efektivitas
Pengertian efektivitas menurut Handoko (2001:p7) adalah merupakan
kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat
atas pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, menyangkut bagaimana
melakukan pekerjaan yang benar. Efektivitas merupakan suatu ukuran yang
memberikan gambaran seberapa jauh tujuan tercapai, baik secara kualitas maupun
waktu, orientasinya pada keluaran yang dihasilkan.
Menurut Yamit (2003,p14), Efektivitas dapat diartikan sebagai tingkat atau
derajat pencapaian hasil yang diharapkan, semakin besar hasil yang diharapkan,
semakin besar hasil yang dicapai maka akan berarti semakin efektif.
2.1.5.2 Pengertian Organisasi
Menurut Robbins & Coulter (2009,p18), organisasi adalah pengaturan yang
tersusun terhadap sejumlah orang untuk mencapai tujuan tertentu. Bemard
(2009,p34) mendefinsikan organisasi adalah suatu sistem mengenai usaha – usaha
kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih.
29
Menurut Robbins & Judge (2009,p5), organisasi adalah sebuah unit sosial yang
dikoordinasi secara sadar, terdiri dari dua orang atau lebih dan berfungsi dalam
suatu dasar yang relatif terus menerus guna mencapai satu atau serangkaian tujuan
bersama.
Menurut Darmono (2009, p35), organisasi merupakan kumpulan manusia yang
secara sadar ingin mencapai tujuan bersama, maka organisasi bersifat dinamis dan
berkembang. Saat organisasi tidak berkembang, maka lama kelamaan organisasi
tersebut akan mati dan tidak menunjukkan aktivitas sama sekali. Sebagai alat
adminitrasi dan manajemen, organisasi dapat dilihat dari dua segi yakni :
1. Organisasi sebagai wadah
Sebagai wadah, organisasi memiliki sifat yang relatif tetap dan pola dasar
struktur organisasi yang relatif permanen. Namun demikian bukan berarti
bahwa organisasi itu statis, tetapi organisasi itu harus dinamis. Dinamika ini
menunjukkan bahwa organisasi tersebut tumbuh dan berkembang.
2. Organisasi sebagai proses interaksi
Dalam prosesnya, organisasi menyoroti interaksi antar orang – orang
didalamnya. Interaksi ini dapat menimbulkan formal dan informal sehingga
tercipta organisasi formal dan organisasi informal. Hubungan formal antara
orang – orang dalam organisasi telah diatur dalam dasar hukum rincian
susunan organisasi dan hubungan yang bersifat hirarki. Hubungan informal
tidak diatur dan tidak terlihat dalam struktur.
30
2.1.5.3 Pengertian Efektivitas Organisasi
Georgopualos dan Tannebaum dalam Tangkilisan (2005,p139) mendefinisikan
efektivitas organisasi sebagai “…the extent to which an organization as a social
system, given certain resources and mean, fulfill it’s objective without
incapacitating it’s means and resources and without placing strain upon it’s
members.”
Menurut Argriss dan Siliss dalam Tangkilisan, (2005,p139) mengatakan
efektivitas organisasi adalah keseimbangan atau pendekatan secara optimal pada
pencapaian tujuan, kemampuan, dan pemanfaatan tenaga kerja.
Dapat disimpulkan bahwa efektivitas organisasi adalah tingkat sejauh mana
organisasi berhasil memanfaatkan sumber daya yang ada seoptimal mungkin
dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasarannya dengan tetap menghindari
ketegangan seminimal mungkin di antara para anggotanya.
Organisasi terdiri dari individu dan kelompok, karena itu efektivitas organisasi
terdiri dari efektivitas individu dan kelompok. Organisasi mampu mendapatkan
hasil kinerja untuk lebih tinggi tingkatannya daripada jumlah hasil kinerja setiap
bagiannya.
Efektivitas individual adalah harus merupakan sebab dari efektivitas kelompok,
namun tidak dapat dikatakan bahwa efektivitas kelompok adalah jumlah dari
efektivitas individu. Hubungan antara pandangan-pandangan tersebut berubahubah tergantung dari faktor-faktor seperti jenis organisasi, pekerjaan yang
dilaksanakan, dan teknologi yang digunakan dalam melaksanakan pekerjaan
tersebut.
31
Organisasi memiliki dua kelompok besar, yaitu sumber manusia dan sumber
alam. Manusia terdiri dari orang-orang yang bekerja diorganisasi karyawan
operasional, staf, dan tenaga manajemen. Mereka menyumbangkan waktu dan
tenaga mereka kepada organisasi dengan mendapatkan upah dan imbalan lain,
baik berwujud maupun tak berwujud. Lain halnya dengan sumber alam yang
terdiri dari input bukan manusia, yang akan diproses atau akan digunakan dalam
kombinasi dengan unsur manusia untuk menghasilkan sumber lain.
Fungsi efektif dari sebuah organisasi tergantung dari usaha karyawan yang
melebihi persyaratan peran formal pekerjaannya, yang disebut dengan
Organizational Citizenship Behavior (OCB). Bukti yang didapat bahwa individu
yang menunjukkan OCB memiliki kinerja lebih baik dan menerima evaluasi
kinerja yang lebih tinggi. OCB juga berhubungan dengan kinerja dan keefektivan
kelompok dan organisasi (Luthans, 2006,p251). Adapun pernyataan bahwa
tingkat OCB yang lebih tinggi akan menghasilkan tingkat keefektifan yang lebih
pula bagi organisasi dan membantu membawa sumber-sumber daya baru ke dalam
organisasi.
Perilaku OCB yang ditampilkan oleh karyawan seharusnya berdampak pada
efektivitas organisasi. Setiap dimensi OCB memberikan pengaruh yang berbedabeda terhadap hubungan ini, namun berujung pada satu hasil, yaitu efektivitas
organisasi. Altruism (membantu meringankan tugas rekan kerja) membuat sistem
kerja lebih produktif karena satu pekerja dapat menggunakan waktu luangnya
untuk membantu tugas lain yang lebih medesak. Perilaku civic virtue, seperti
memberikan saran maupun ide-ide kepada manajemen, membawa perkembangan
32
bagi organisasi, yang secara langsung memengaruhi efisiensi. Karyawan yang
memiliki dimensi conscientiousness, menghindari mengutamakan kepentingan
pribadi dan perilaku negatif lainnya. Menaati kebijakan perusahaan dan
mempertahankan jadwal kerja yang konsisten, akan meningkatkan reliabilitas
karyawan. Saat reliabilitas meningkat, maka biaya pengerjaan ulang dapat
dikurangi, sehingga membuat unit kerja lebih efisien. Dengan begitu, maka
tujuan-tujuan organisasi dapat tercapai.
2.1.5.4 Pendekatan Efektivitas Organisasi
Efektivitas organisasi dapat dievaluasi dengan melihat dua hal, yaitu
pencapaian sasaran dan proses pelaksanaan organisasi, yang tercermin dalam
perilaku organisasi (Hutapea dan Thoha, 2008,p59). Baik pencapaian sasaran
maupun proses pelaksanaan organisasi memiliki peran yang sama penting bagi
organisasi karena pencapaian sasaran yang tidak disertai dengan proses
pelaksanaan yang baik akan mengakibatkan usaha pencapaian sasaran tidak dapat
berlangsung lama. Demikian, proses organisasi yang buruk akan dapat
menurunkan tingkat efisiensi yang berdampak pada menurunkan pencapaian
sasaran pada periode berikutnya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Tangkilisan (2005,p139) bahwa konsep
tingkat efektivitas organisasi menyangkut dua aspek, yaitu tujuan organisasi dan
pelaksanaan fungsi atau cara untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam Hutapea dan
Thoha (2008,p59) Ivancevich dan Matteson pun menggunakan yang serupa untuk
33
mengukur efektivitas organisasi, yaitu Pendekatan Sasaran Organisasi (Goal
Approach) dan Pendekatan Sistem (System Theory Approach).
Berikut akan dibahas lebih lanjut mengenai kedua pendekatan tersebut.
1. Pendekatan Sasaran Organisasi
Pendekatan tujuan berfokus pada tingkat dimana suatu organisasi
mencapai tujuannya (Griffin, 2004, p88). Pendekatan ini telah lama
digunakan oleh organisasi untuk mengetahui tingkat efektivitas organisasi,
dan bahkan sampai saat ini masih tetap digunakan. Para pendukung
pendekatan ini berargumentasi bahwa organisasi dibentuk dengan tujuan
untuk mencapai sasaran sehingga untuk melihat tingkat efektivitas
pelaksanaan organisasi mereka langsung menghubungkannya dengan
pencapaian sasaran organisasi. Banyak perusahaan menggunakan pendekatan
ini dan pada umumnya mereka menggunakan sasaran jangka pendek maupun
jangka panjang untuk mengukur tingkat keberhasilan manajer dan
karyawannya. Mereka menentukan sasaran kerja manajer dan bawahannya
berdasarkan sasaran perusahaan. Atas dasar sasaran perusahaan tersebut
dibuat sasaran departemen atau bagian, dan dari sasaran departemen atau
bagian ditentukan sasaran setiap pekerjaan. Menurut Gibson dalam
Tangkilisan (2005, p141), kejelasan tujuan yang hendak dicapai memang
merupakan salah satu indikator pengukuran efektivitas organisasi. Pendekatan
sasaran ini ditanggapi secara positif oleh banyak perusahaan karena
penggunaan sasaran perusahaan dapat meningkatkan motivasi kerja karyawan
untuk mencapai sasaran kerja yang telah ditetapkan.
34
2. Pendekatan sistem
Pendekatan sistem tidak melihat efektivitas organisasi atas dasar sasaran
yang dicapai, melakukan gambaran perilaku organisasi baik pada saat terjadi
interaksi secara internal di organisasi maupun dari perilaku organisasi dalam
rangka menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Hutapea dan Thoha,
2008,p61). Dijelaskan bahwa ada dua peran yang harus dilakukan oleh
organisasi, yaitu peran internal dan peran eksternal. Dalam penelitian ini
penulis hanya menggunakan pendekatan proses secara internal, karena
pengukuran efektivitas organisasi dalam hal ini dilakukan dari sudut pandang
karyawan. Pendekatan proses internal berkaitan dengan mekanisme internal
dari
organisasi
dan
berfokus
pada
meminimalisasi
ketegangan,
mengintegrasikan individu dan organisasi, dan melaksanakan operasi secara
lancar dan efisien (Griffin, 2004, p88). Sharma dalam Tangkilisan
(2004,p140) juga menyebutkan tidak adanya ketegangan di dalam organisasi
atau hambatan-hambatan konflik di antara bagian-bagian organisasi sebagai
salah satu kriteria efektivitas organisasi. Kepuasan kerja juga merupakan
indikator efektivitas organisasi berdasarkan Steers Sedangkan, Gibson
(ITB,2003,p14) menyebutkan sistem pengawasan dan pengendalian sebagai
ukuran efektivitas organisasi. Komunikasi vertikal dan horizontal yang lancar
dalam organisasi dan adanya semangat kerja sama dan loyalitas organisasi
juga merupakan kriteria dari pendekatan proses.
35
2.1.6 Analisis Jalur
Analisis jalur yang dikenal dengan path analysis dikembangkan pertama pada
tahun 1920-an oleh seorang ahli genetika, yaitu Sewall Wright. Model path
analysis digunakan untuk menganalisis pola hubungan antar variabel dengan
tujuan untuk mengetahui pengaruh langsung maupun tidak langsung seperangkat
variabel bebas (eksogen) terhadap variabel terikat (endogen). Teknik analisis jalur
akan digunakan dalam menguji besarnya sumbangan (kontribusi) yang
ditunjukkan oleh koefisien jalur pada setiap diagram jalur dari hubungan kausal
antar variabel X1, X2, terhadap Y Riduwan dan Kuncoro,2008 dalam Sarjono
Haryadi dan Julianita Winda (2011,p107).
Analisis jalur merupakan model perluasan regresi yang digunakan untuk
menguji keselarasan matriks korelasi dengan dua atau lebih model hubungan
sebab-akibat yang dibandingkan oleh David Garson (2003). Kesimpulan dari
definisi-definisi diatas bahwa sebenarnya analisis jalur merupakan kepanjangan
dari analisis regresi berganda (dalam Sarwono, 2007, p1-2).
Berdasarkan Mueller dalam Sugiarto (2006,p93), path analysis (analisis jalur)
dikembangkan sebagai metode untuk mempelajari pengaruh (efek) secara
langsung dan tidak langsung dari variabel bebas terhadap variabel tergantung.
Analisis ini merupakan sejumlah variabel di dalam model. Analisis ini merupakan
metode yang baik untuk menerangkan apabila terhadap seperangkat data yang
besar untuk dianalisis dan mencari hubungan kausal.
Menurut Sugiarto (2006,p93), analisis jalur digunakan untuk menelaah
hubungan antara model kausal yang telah dirumuskan peneliti atas dasar
36
pertimbangan teoretis dan pengetahuan tertentu. Hubungan kausal selain
didasarkan pada data, juga didasarkan pada pengetahuan, perumusan hipotesis,
dan analisis logis, sehingga dapat dikatakan analisis jalur dapat digunakan untuk
menguji seperangkat hipotesis kausal serta menafsirkan hubungan tersebut.
2.1.7 SPSS VS LISREL
2.1.7.1 SPSS
Menurut Priyatno (2008,p13) dalam Sarjono Haryadi dan Julianita Winda,
(2011,p113), SPSS adalah program atau software yang digunakan untuk olah data
statistik. Banyaknya program olah data statistik lainnya, SPSS merupakan yang
paling banyak digunakan. Dahulu SPSS adalah Statistical Package for the Social
Sciences, tetapi seiring berjalannya waktu SPSS mengalami perkembangan dan
penggunaannya semakin kompleks untuk berbagai ilmu seperti ilmu sosial,
ekonomi, psikologi, pertanian, teknologi, industry, dan lain-lain sehingga
kepanjangan SPSS adalah Statisticall Product and Service Solution. SPSS
diciptakan oleh Norman Nie, seorang lulusan Falkutas Ilmu politik dari Stanford
University.
2.1.7.2 LISREL (Linear Structural Relationship)
Menurut Sugiarto (2006,p3) dalam Sarjono Haryadi dan Julianita Winda,
2011,p113), LISREL merupakan salah satu program komputer yang dapat
mempermudah analisis untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tidak dapat
diselesaikan oleh alat analisis yang konvensional.
37
LISTREL diperkenalkan oleh Kark Joreskog pada tahun 1970 dan sejauh ini
telah dikembangkan serta digunakan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan
sosial. Dalam versi yang lebih maju, penggunaan LISREL menjadi lebih
interaktif, lebih mudah, banyak fitur statistik baru yang terkait dengan penanganan
missing data, imputation data, serta multilevel data analisis. Terapannya pada
persoalan ilmu sosial dan ilmu perilaku dapat kita temui secara luas dan sangat
berguna sebagai acuan pengambilan keputusan dalam kondisi yang makin rumit.
Sugiarto, (2006,p3-4) dalam Sarjono Haryadi dan Julianita Winda, (2011,p113).
Menurut
Sugiarto
(2006,p4)
dalam
Sarjono
Haryadi
dan
Julianita
Winda,(2011,p114), secara umum analisis dalam LISREL dapat dipilah dalam dua
bagian. Pertama, yang terkait dengan model pengukuran (measurement model)
dan kedua yang terkait dengan model struktural (structural equation model).
Model pengukuran adalah gambaran hubungan pokok yang ditunjukkan untuk
mengukur dimensi-dimensi yang membentuk sebuah faktor atau variabel.
Menurut Wijanto, (2008,p12) dalam Sarjono Haryadi dan Julianita Winda,
(2011,p114) model struktural adalah model yang menggambarkan hubunganhubungan yang ada di antara variabel-variabel laten.
Dengan
menggunakan LISREL, peneliti dapat menganalisis struktur
convariance (struktur yang menunjukkan hubungan linear antar variabel) yang
rumit, variabel latin, saling ketergantungan antarvariabel, dan sebab akibat yang
timbale balik di mana dapat ditangani dengan mudah dengan menggunakan model
pengukuran dan persamaan terstruktur. Menurut Ghozali (2008,p5) dalam Sarjono
38
Haryadi dan Julianita Winda, (2011,p114) variabel laten adalah variabel yang
tidak bisa diukur secara langsung dan memerlukan beberapa indikator.
2.1.8 Studi Empiris
Tabel 2.1
Studi Empiris dari Jurnal
No
Judul Jurnal
Nama
Pengarang
Variabel
1
Jurnal Aplikasi Manajemen
Vol.2, No.1, Tahun 2004
“ Pengaruh Kompensasi dan
Pelatihan Terhadap Motivasi,
Kemampuan dan Kinerja
Karyawan”
Eko Agus
Alfianto,
H.Bambang
Swasto dan
Achmad
Sudiro
Kompensasi
Terhadap
Motivasi Kerja
2
Jurnal Aplikasi Manajemen
Vol.2, No.1, Tahun 2004
“ Pengaruh Kompensasi dan
Pelatihan Terhadap Motivasi,
Kemampuan dan Kinerja
Karyawan”
Eko Agus
Alfianto,
H.Bambang
Swasto dan
Achmad
Sudiro
Pelatihan
Terhadap
Motivasi Kerja
3
Jurnal sosial - politik
Vol.2, No.2, Tahun 2002
“Pengaruh motivasi dan
prestasi kerja pegawai terhadap
efektivitas.”
Djumlani,
Achmad
Motivasi Kerja
Terhadap
Efektifitas
Organisasi
Keterangan
- Hasil penelitian
menyatakan bahwa ada
pengaruh signifikan
antara kompensasi
terhadap motivasi kerja
dengan nilai β = 0,320
dan p < 0,008.
- Variabel kompensasi
dengan nilai probabilitas
t < α (0,008 < 0,05) dan
variabel motivasi kerja
dengan nilai probabilitas
t < α (0,000 < 0,05).
- Hasil penelitian
menyatakan bahwa ada
pengaruh signifikan
antara pelatihan terhadap
motivasi kerja dengan
nilai β = 0,328 dan p <
0,007.
- Variabel pelatihan
dengan nilai probabilitas
t < α (0,007 < 0,05) dan
variabel motivasi kerja
dengan nilai probabilitas
t < α (0,000 < 0,05).
Hasil penelitian menyatakan
bahwa
koefisien
rank
kendall adalah 0,452 dengan
derajat signifikan 0,001 atau
diatas tingkat kebenaran
39
95%
sehingga
dapat
membuktikan
hipotesis
dimana semakin tinggi
tingkat motivasi kerja akan
semakin tinggi pula tingkat
efektifitas organisasi.
Tabel 2.2
Studi Empiris dari Buku
N0
Judul Buku
4
Manajemen publik
2005,p151
PT. Grasindo, Jakarta
5
Perilaku dan Manajemen
Organisasi
2005,p23
Penerbit Erlangga
Nama
Pengarang
Tangklisan,
Hessel Nogi
S.
John M.
Ivancevich;
Robert
Konopaske;
Michael T.
Matteson
Variabel
Keterangan
Kompensasi
terhadap
Efektivitas
Organisasi
Faktor-faktor
efektivitas
organisasi pada karakteristik
lingkungan
internal
berorientasi pada imbalan
Peletihan
terhadap
Efektivitas
Organisasi
Menyediakan kesempatan
untuk
pelatihan
dan
pembelajaran
yang
berkesinambungan
40
2.2
Kerangka Pemikiran
Kompensasi (X1) :
1.
2.
Kompensasi langsung
Kompensasi tidak
langsung
Motivasi Kerja (Y):
1.
2.
3.
4.
5.
Beban kerja
Waktu kerja
Pengaruh
kepemimpinan
Harapan prestasi
Kesempatan
berkembang
Efektivitas
Organisasi (Z):
1.
2.
Sasaran
Organisasi
Proses
Internal
Pelatihan (X2) :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Instruktur
Peserta
Materi (bahan)
Metode
Tujuan penelitian
Lingkungan yang
menunjang
Sumber : Pengelolaan Penulis, 2011
Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran
2.3
Hipotesis
Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah:
•
T-1
Ho = variabel kompensasi (X1) dan pelatihan (X2) tidak berkontribusi secara
signifikan terhadap motivasi kerja (Y) secara simultan dan parsial
pada PT. Hero Supermarket. Tbk, Gatot Subroto, Kantor Pusat.
41
Ha = variabel kompensasi (X1) dan pelatihan (X2) berkontribusi secara
signifikan terhadap motivasi kerja (Y) secara simultan dan parsial
pada PT. Hero Supermarket. Tbk, Gatot Subroto, Kantor Pusat.
•
T-2
Ho = variabel kompensasi (X1) dan pelatihan (X2) tidak berkontribusi secara
signifikan terhadap motivasi kerja (Y) dan dampaknya terhadap
efektifitas organisasi (Z) secara simultan dan parsial pada PT. Hero
Supermarket. Tbk, Gatot Subroto, Kantor Pusat berdasarkan pendekatan
SPSS dan LISREL.
Ha = variabel kompensasi(X1) dan pelatihan (X2) berkontribusi secara
signifikan terhadap motivasi kerja (Y) dan dampaknya terhadap
efektifitas organisasi (Z) secara simultan dan parsial pada PT. Hero
Supermarket. Tbk, Gatot Subroto, Kantor Pusat berdasarkan pendekatan
SPSS dan LISREL.
Download