BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengertian Manajemen SDM Menurut Dessler dalam bukunya “Human Resource Management” (2003,p15), mendefinisikan Manajemen SDM strategi sebagai berikut : “ Strategic Human Resource Management is the linking of Human Resource Management with strategic role and objectives in order to improve business performance and develop organizational cultures and foster innovation and flexibility”. Yang berarti bahwa para manajer harus mengaitkan strategi manajemen sumber daya manusia dengan aturan strategi dan sasaran untuk meningkatkan kinerja bisnis dan mengembangkan budaya korporasi yang mendukung penerapan inovasi dan fleksibilitas. Berdasarkan pendapat Veithzal Rivai (2004,p1), Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) merupakan salah satu bidang dari manajemen umum yang meliputi segi-segi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian. Proses ini terdapat dalam fungsi/bidang produksi, pemasaran, keuangan, maupun kepegawaian. Karena sumber daya manusia dianggap semakin penting perannya dalam pencapaian tujuan perusahaan, maka sebagai pengalaman dan hasil penelitian dalam bidang sumber daya manusia. Manajemen sumber daya manusia adalah pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian balas jasa, dan pengelolaan individu anggota organisasi/ 7 8 kelompok kerja agar efektif, dan efisien untuk membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat. Manajemen sumber daya manusia terbentuk dari beberapa kelompok aktivitas yang saling berhubungan dalam lingkungan perusahaan dan selama itu semua manajer yang bertanggung jawab dalam manajemen sumber daya manusia harus memperhitungkan kekuatan serta keadaan dari luar seperti hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi ketika menetapkan aktivitas tersebut. Kesimpulan dari manajemen sumber daya manusia adalah suatu ilmu yang mengatur proses pemanfaatan tenaga kerja agar dapat berjalan dengan baik sesuai dengan prosedur yang sudah ada agar menghasilkan kinerja yang baik, demi tercapainya tujuan perusahaan. 2.1.2 Kompensasi 2.1.2.1 Pengertian kompensasi Menurut S.P.Hasibuan Malayu (2003,p77), kompensasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang atau barang langsung atau tidak langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atas jasa yang diberikan kepada perusahaan. Menurut Veithzal Rivai (2004,p357), kompensasi merupakan sesuatu yang diterima karyawan sebagai pengganti kontribusi jasa mereka kepada perusahaan. Dapat disimpulkan bahwa kompensasi adalah penghargaan yang diberikan kepada karyawan dalam bentuk kompensasi langsung maupun tidak langsung sebagai balasan atas jasa yang telah diberikan oleh karyawan kepada perusahaan. 9 2.1.2.2 Jenis-jenis Kompensasi Menurut Mathis dan Jackson (2006,p419-420), jenis-jenis kompensasi dibedakan menjadi dua: 1. Kompensasi langsung (direct compensation) • Gaji • Upah • Insentif 2. Kompensasi tidak langsung (indirect compensation) • Asuransi Kesehatan/ jiwa • Cuti berbayar • Dana pensiun 2.1.2.2.1 Gaji Menurut Veithzal Rivai (2004,p379), gaji adalah balas jasa dalam bentuk uang yang diterima karyawan sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai seorang karyawan yang memberikan sumbangan tenaga dan pikiran dalam mencapai tujuan perusahaan. Atau dapat juga dikatakan sebagai bayaran tetap yang diterima seseorang dari keanggotaannya dalam sebuah perusahaan. 2.1.2.2.2 Upah Menurut Veithzal Rivai (2004,p375), upah merupakan imbalan finansial langsung yang dibayarkan kepada karyawan berdasarkan jam kerja, jumlah barang yang dihasilkan atau banyaknya pelayanan yang diberikan. Jadi tidak seperti gaji 10 yang jumlahnya relative tetap, besarnya upah dapat berubah-ubah tergantung pada keluaran yang dihasilkan. Penggolongan upah: a. Upah sistem waktu Dalam sistem waktu, besarnya upah ditetapkan berdasarkan standar waktu seperti jam, hari, minggu, atau bulan. Besarnya upah sistem waktu hanya didasarkan kepada lamanya bekerja bukan dikaitkan dengan prestasi kerjanya. b. Upah sistem hasil (output) Dalam sistem hasil, besarnya upah ditetapkan atas kesatuan unit yang dihasilkan pekerja, seperti per potong, meter, liter dan kilogram. Besarnya upah yang dibayar selalu didasarkan kepada banyaknya hasil yang dikerjakan bukan kepada lamanya waktu mengerjakannya. c. Upah sistem borongan Sistem borongan adalah salah cara pengupahan yang penetapan besarnya jasa didasarkan atas volume pekerjaan dan lama mengerjakannya. Penetapan besarnya balas jasa berdasarkan sistem borongan cukup rumit, lama mengerjakannya, serta banyak alat yang diperlukan untuk menyelesaikannya. 2.1.2.2.3 Insentif Menurut Veithzal Rivai (2004,p384), insentif merupakan imbalan langsung yang dibayarkan kepada karyawan karena kinerjanya melebihi standar yang ditentukan. Insentif merupakan bentuk lain dari upah langsung diluar upah dan 11 gaji yang merupakan kompensasi tetap, yang biasa disebut kompensasi berdasarkan kinerja. Menurut Gary Dessler (2005,p412), insentif finansial adalah ganjaran finansial yang diberikan kepada karyawan yang produksinya melampaui standar yang telah ditetapkan sebelumnya. Menurut Heidjraman dan Suad Husnan (2002,p161), mereka mengemukakan bahwa : Pengupahan insentif dimaksudkan untuk memberikan upah atau gaji yang berbeda karena memang perbedaan prestasi kerja, guna meningkatkan produktifitas karyawan yang berbeda-beda prestasinya untuk berada dalam perusahaan. Disimpulkan bahwa insentif adalah suatu alat yang dapat mendorong seorang karyawan agar dapat bekerja lebih giat sehingga menghasilkan prestasi kerja yang lebih baik. 2.1.2.2.3.1 Tujuan Pemberian Insentif Menurut T.Hani Handoko (2001,p156), menjelaskan tujuan insentif adalah: Memperoleh personalia yang berkualitas, mempertahankan karyawan yang ada sekarang, menjamin keadilan, menghargai perilaku yang diinginkan, dan mengendalikan biaya-biaya. Selain itu, tujuann pemberian insentif adalah memotivasi kinerja karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya. Budaya perusahaan untuk memberikan insentif membangkitkan minat dan ketertarikan karyawan terhadap tujuan perusahaan. 12 2.2.2.3.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemberian Insentif Menurut Heidjrachman dan Suad Husnan (2002,139) tinggi rendahnya tingkat insentif yang diberikan kepada karyawan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: 1. Penawaran dan permintaan tenaga kerja Meskipun hukum ekonomi tidaklah bisa ditetapkan secara mutlak dalam masalah tenaga kerja, tetapi tidak bisa diingkari bahwa hukum penawaran dan permintaan tetap memengaruhi. Pekerjaan yang membutuhkan keterampilan (skill) tinggi dan jumlah tenaga kerjanya langka, maka upah cenderung tinggi. 2. Organisasi buruh Ada tidaknya organisasi buruh serta lemah kuatnya organisasi buruh akan ikut mempengaruhi terbentuknya tingkat upah. 3. Kemampuan untuk membayar Kemungkinan serikat buruh dapat menuntut upah buruh yang tinggi, akan tetapi pada akhirnya realisasi pemberian upah akan tergantung pula pada kemampuan membayar dari perusahaan. Dalam perusahaan, upah merupakan salah satu komponen biaya produksi. Tingkat kenaikan upahnya menyebabkan naiknya biaya produksi sehingga mengurangi keuntungan. 4. Produktivitas Upah sebenarnya merupakan imbalan atas prestasi karyawan. Semakin tinggi prestasi karyawan seharusnya makin besar pula upah yang akan diterima. Prestasi demikian biasanya sebagai produktivitas. 5. Biaya hidup 13 Faktor lain yang perlu dipertimbangkan juga adalah biaya hidup. Di kotakota besar di mana biaya hidup tinggi demikian juga upah cenderung tinggi. 6. Pemerintah Pemerintah dengan peraturan-peraturannya juga memengaruhi tinggi rendahnya upah. Peraturan tetang upah minimum merupakan batas bawah dari tingkat upah yang akan dibayarkan. 2.1.3 Pelatihan (training) 2.1.3.1 Pengertian Pelatihan Sebelum mengetahui istilah yang tepat yang dipergunakan dalam pelatihan, maka terlebih dahulu perlu diketahui beberapa definisi dari pelatihan tersebut yang dikutip dari beberapa ahli. • Menurut Mathis, Robert dan Jackson (2006,p301), pelatihan adalah sebuah proses dimana orang mendapatkan kapabilitas untuk membantu pencapaian tujuan-tujuan organisasional. • Menurut Veithzal Rivai (2004,p226), pelatihan adalah proses secara sistematis mengubah tingkah laku pengawai untuk mencapai tujuan organisasi. • Menurut Dessler (2004,p216), pelatihan merupakan proses mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan karyawan untuk melakukan pekerjaannya. 14 2.1.3.2 Faktor-Faktor Yang Berperan Dalam Pelatihan Menurut Veithzal Rivai (2004,p240), dalam melaksanakan pelatihan ini ada beberapa faktor yang berperan yaitu instruktur, peserta, materi (bahan), metode, tujuan pelatihan dan lingkungan yang menunjang. Dalam menentukan teknikteknik pelatihan dan pengembangan, timbul masalah mengenai trade-off, oleh karena itu tidak ada teknik tunggal yang terbaik. Metode pelatihan terbaik tergantung dari beberapa faktor, ada faktor yang perlu dipertimbangkan dan berperan dalam pelatihan: 1. Cost-efectiveness (efektivitas biaya) 2. Materi program yang dibutuhkan 3. Prinsip-prinsip pembelajaran 4. Ketepatan dan kesesuaian fasilitas 5. Kemampuan dan preferensi peserta pelatihan 6. Kemampuan dan preferensi instruktur pelatihan 2.1.3.3 Manfaat Pelatihan Menurut Veithzal Rivai (2004,p231), manfaat pelatihan adalah: 1. Manfaat bagi karyawan • Membantu karyawan mengatasi stres, tekanan, dan konflik • Meningkatkan kepuasan kerja dan pengakuan • Membantu menghilangkan rasa takut melaksanakan tugas baru • Membantu karyawan dalam membuat keputusan dan pemecahan masalah yang lebih efektif 15 • Membantu mendorong dan mencapai pengembagan diri dan rasa percaya diri 2. Manfaat bagi perusahaan • Membantu mempersiapkan dan melaksanakan kebijakan perusahaan • Menciptakan iklim yang baik untuk pertumbuhan • Membantu menangani konflik sehingga terhindar dari stres dan tekanan kerja • Memperbaiki moral SDM • Memperbaiki pengetahuan kerja dan keahlian pada semua level perusahaan • Mengarahkan untuk meningkatkan profitabilitas atau sikap yang lebih positif terhadap orientasi profit. 2.1.3.4 Tujuan Pelatihan Menurut Veithzal Rivai (2004,p229), tujuan dari pelatihan adalah : • Untuk meningkatkan kuantitas output • Untuk meningkatkan kualitas output • Untuk menurunkan biaya limbah dan perawatan • Untuk menurunkan jumlah dan biaya terjadinya kecelakaan • Untuk menurunkan turnover, ketidakhadiran kerja serta meningkatkan kepuasan kerja • Untuk mencegah timbulnya antipati karyawan 16 2.1.3.5 Pelatihan Strategis Menurut Mathis, Robert dan Jackson (2006,p307) perusahaan perlu mengadakan pelatihan strategis kepada karyawan, dengan tujuan menambah nilai pada organisasi dengan menghubungkan strategi pelatihan pada tujuan dan strategi bisnis organisasional. Kerangka kerja untuk mengembangkan rencana pelatihan strategi mengandung 4 (empat) tingkatan pokok. 1. Mengatur strategi Manajer-manajer sumber daya manusia dan pelatihan harus lebih dahulu bekerja sama dengan manajemen untuk menentukan bagaimana pelatihan akan terhubung secara strategis pada rencana bisnis strategis, dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja karyawan dan organisasi. 2. Merencanakan Perencanaan harus terjadi dengan tujuan untuk menghadirkan pelatihan yang akan membawa hasil-hasil positif untuk organisasi dan karyawannya. Perencanaan, tujuan dan harapan dari pelatihan harus diidentifikasi serta diciptakan agar tujuan pembelajaran dapat diukur dan spesifik untuk melacak efektivitas pelatihan. 3. Mengorganisasi Pelatihan harus diorganisasi dengan memutuskan bagaimana pelatihan akan dilakukan, mendapat sumber-sumber daya yang dibutuhkan, dan mengembangkan intervensi-intervensi pelatihan. 4. Memberi pembenaran 17 Mengukur dan mengevaluasi pada tingkat mana pelatihan memenuhi tujuan akan mengesahkan usaha-usaha pelatihan. Kesalahan-kesalahan di masa lalu dalam pelatihan dapat secara eksplisit diidentifikasi dalam tahap ini. Belajar dari berbagai kesalahan selama masa pelatihan akan menghasilkan cara efektif untuk meningkatkan pelatihan di masa depan. 2.1.3.6 Langkah-langkah dalam proses pelatihan Menurut Dessler (2003,p217) Proses pelatihan terdiri dari 5 (lima) langkah. 1. Langkah analisis kebutuhan Untuk mengetahui keterampilan kerja spesifik yang dibutuhkan, menganalisis keterampilan dan kebutuhan calon yang akan dilatih, dan mengembangkan pengetahuan khusus yang terukur serta tujuan prestasi. 2. Langkah merangcang instruksi Untuk memutuskan, menyusun, dan menghasilkan isi program pelatihan, termasuk buku-buku kerja, latihan, dan aktivitas. 3. Langkah validasi Program pelatihan dengan menyajikannya kepada beberapa pemirsa yang bisa memiliki. 4. Langkah penerapan program Langkah ke empat, perusahaan melatih karyawan ditargetkan. 5. Langkah evaluasi Manajemen perusahaan menilai keberhasilan atau kegagalan pelatihan. 18 2.1.3.7 Teknik-teknik Pelatihan Menurut Davis, sebagaimana dikutip Fathoni (2006,p31) ada 2 (dua) teknik pelatihan, yaitu pelatihan ditempat kerja (on the job training), dan pelatihan di luar tempat kerja (off the job training). 1. Pelatihan di tempat kerja (on the job training) adalah metode yang bertujuan untuk memberikan kecakapan kepada karyawan baru tersebut setelah pelatihan berakhir. Pengawasan dan instruksi langsung diberikan kepada peserta pelatihan di tempat kerjanya, dengan demikian karyawan akan lebih mudah dalam menguasai pekerjaannya. Beberapa teknik yang bisa digunakan meliputi : • Job instruction training, proses belajar yang mencerminkan langkah urutan pekerjaan dimana petunjuk pekerjaan diberikan secara langsung dimana bantuan-bantuan instruktur biasanya digunakan untuk melatih karyawan tentang cara pelaksanaan pekerjaan saat ini. • Job rotation, teknik pengembangan yang dilakukan dengan cara memindahkan peserta dari suatu jabatan atau pekerjaan kejabatan atau ke pekerjaan lainnya secara periodik untuk menambahkan keahlian dan kecakapan karyawan pada setiap jabatan atau pekerjaan tertentu. Demikian dikatakan bahwa karyawan dapat mengetahui dan melaksanakan pekerjaannya pada tiap bagian yang berbeda. • Apprenticeship, proses belajar dari seseorang yang lebih berpengalaman dan biasanya dikenal dengan istilah magang. 19 • Coaching, teknik pelatihan dimana atasan memberikan bimbingan dan pengarahan kepada karyawan dalam melaksanakan pekerjaan rutin mereka. 2. Pelatihan di luar tempat kerja (off the job training) adalah pelatihan yang menggunakan situasi diluar pekerjaan. Teknik ini banyak digunakan bila banyak pekerjaan yang harus dilatih dengan cepat, seperti halnya bila perusahaan melakukan perluasan usaha dan bila pelatihan langsung pada pekerjaan tidak dapat dilakukan karena biaya sangat mahal. Beberapa teknik yang bisa digunakan meliputi: • Lecture, merupakan metode pelatihan yang memberikan kuliah dan kelemahan yang dimilikinya yaitu pelatihan partisipasi dan pasif. • Video presentation, metode ini biasanya dilakukan dengan presentasi melalui media televise, film, slide, dan sejenisnya, dimana bentuknya sama dengan metode lecture. • Vestibule training, merupakan metode pelatihan yang dilakukan pada suatu ruangan latihan yang khusus dan terpisah dari tempat kerja biasa dimana disediakan jenis peralatan yang sama seperti yang akan digunakan pada pekerjaan sebenarnya. • Role playing and behavior modeling, merupakan pelatihan dengan cara permainan peran dengan maksud menciptakan situasi realistis. • Case study, dalam pelatihan para peserta dihadapkan pada beberapa kasus tertulis dan memecahkan masalah-masalah tersebut. 20 • Simulation, merupakan situasi atau kejadian yang ditampilkan semirip mungkin dengan situasi yang sebenarnya, tetapi hanya merupakan tiruan saja dari peserta harus memberikan respon seperti dalam kejadian yang sebenarnya. Simulasi ini adalah suatu teknik untuk mencontoh semirip mungkin terhadap konsep sebenarnya dari apa yang dijumpai. • Self study, merupakan teknik yang menggunakan model tertulis, kaset dan video tape rekaman dan para pesertanya hanya mempelajari sendiri. • Programmed learning, pelatihan dilakukan dengan memberikan beberapa pertanyaan dan jawaban yang tersusun ada didalma materi pelatihan. • Laboratory training, merupakan jenis kelompok yang terutama digunakan untuk mengembangkan keterampilan antar pribadi. Salah satu bentuk latihan laboratorium yang terkenal adalah sensitifitas, dimana peserta belajar menjadi lebih sensitif terhadap perasaan orang lain dan lingkungan. Pelatihan ini juga berguna untuk mengembangkan berbagai perilaku serta tanggung jawab pekerjaan diwaktu yang akan datang. 2.1.4 Motivasi Kerja 2.1.4.1 Pengertian Motivasi Hasibuan (2003:95) mendefinisikan motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau bekerja sama, efektif dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasan. 21 Dari defenisi yang telah dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah kerelaan untuk melakukan usaha-usaha tingkat tinggi guna mencapai tujuan-tujuan organisasi, dipersyaratkan oleh kemampuan usaha untuk memuaskan kebutuhan individu tertentu. 2.1.4.2 Pengertian Kerja Menurut A.A Waskito (2009,p248), mendefinisikan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu pekerjaan dan juga dapat diartikan sesuatu yang yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Demikian menurut penulis bahwa kerja adalah sebuah kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. 2.1.4.3 Pengertian Motivasi Kerja Abraham Sperling (Mangkunegara, 2002, p93), mengemukakan bahwa motif didefinisikan sebagai suatu kecenderungan untuk beraktivitas, dimulai dari dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan penyesuaian diri, Penyesuaian diri dikatakan untuk memuaskan motif. William J. Stanton (Mangkunegara, 2002, p93), mendefinisikan bahwa motif adalah kebutuhan yang distimulasi dan berorientasi kepada tujuan idividu dalam mencapai rasa puas. Motivasi didefinisikan oleh Fillmore H. Stanford (Mangkunegara, 2002, p93), bahwa motivasi sebagai suatu kondisi yang mnggerakan manusia ke arah suatu tujuan tertentu. 22 Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa motif merupakan suatu dorongan kebutuhan dalam diri karyawan yang perlu dipenuhi agar karyawan tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, sedangkan motivasi adalah kondisi yang menggerakan karyawan agar mampu mencapai tujuan dari motifnya. Sedangkan motivasi dikatakan sebagai energi untuk membangkitkan dorongan dalam diri (drive arousal ). Dalam hubungannya dengan lingkungan kerja, Ernest L. Mcormick ( Mangkunegara, 2002: p94) mengemukakan bahwa motivasi kerja didefinisikan sebagai kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan mmemelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja. A. Teori kebutuhan (Maslow’s model) Model Maslow ini sering disebut dengan model hierarki kebutuhan. Karena menyangkut kebutuhan manusia, maka teori ini digunakan untuk menunjukan kebutuhan seserorang yang harus dipenuhi agar individu tersebut termotivasi untuk kerja. Menurut Maslow, pada umumnya terdapat hierarki kebutuhan manusia, yang dijelaskan sebagai berikut : 1) Fisiologis, yaitu makan, minum, tempat tinggal, dan sembuh dari rasa sakit; 2) Keamanan dan keselamatan, yaitu kebutuhan untuk kemerdekaan dari ancaman, yaitu keamanan dari kejadian atau lingkungan yang mengancam; 3) Rasa memiliki, sosial, dan kasih sayang, yaitu kebutuhan akan persahabatan, kelompok, interaksi, dan kasih sayang; 4) Penghargaan (esteem), yaitu kebutuhan atas harga diri (self esteem) dan penghargaan dari pihak lain; 23 5) Aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk memenuhi diri seseorang melalui memaksimukan penggunaan kemampuan, keahlian, dan potensi. B. Teori Penguatan (Rinforecement Theory ) Teori ini dapat dirumuskan sebagai berikut : M=f(R&C) M = Motivasi R = Reward (penghargaan ) – primer/sekunder C = Consequens (akibat) – positif/negatif Motivasi seseorang bekerja tergantung pada reward yang diterimanya dan punishment yang akan dialaminya nanti (Arep Ishak & Hendri Tanjung, 2003 p35-37). Penguatan adalah segala sesuatu yang digunakan seseorang pimpinan untuk meningkatkan atau mempertahankan tanggapan khusus individu. Jadi menurut teori ini, motivasi seseorang bekerja tergantung pada penghargaan yang diterimanya dan akibat dari yang akan dialaminya nanti. Teori ini menyebutkan bahwa perilaku seseorang di masa mendatang dibentuk oleh akibat dari perilakunya yang sekarang. C. Teori Harapan (Expectacy Theory) Teori ekspetasi menyatakan bahwa motivasi kerja dideterminasi oleh keyakinan – keyakinan individual sehubungan dengan hubungan upaya – kinerja, dan di dambakan berbagai macam hasil kerja, yang berkaitan dengan tingkat 24 kinerja yang berbeda – beda. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori tersebut berlandaskan logika: “ orang – orang akan melakukan apa yang dapat mereka lakukan, apabila mereka berkeinginan untuk melakukannya”. Vroom (Winardi, 2002, p109-110), berpendapat bahwa motivasi terhadap kerja merupakan hasil dari ekspetasi kali instrumentalitas, kali valensi. Hubungan multiplikatif tersebut berarti bahwa daya tarik motivasional jalur pekerjaan tertentu sangat berkurang apabila salah satu diantara hal berikut: ekspektansi, instrumentalitas, atau valensi mendekat nol. Sebaliknya agar imbalan tertentu memiliki sebuah dampak motivasional tinggi secara positif, sebagai hasil kerja, maka ekspentasi, instrumentalitas, dan valensi yang berkaitan dengan imbalan tersebut hambatan tinggi secara positif. Motivasi – Ekspektasi x Instrumen x Valensi (M = E x I x V) Hubungan antara motivasi seseorang melakukan suatu kegiatan dengan kinerja yang akan diperolehnya yakni apabila motivasinya rendah jangan berharap hasil kerjanya baik. Motivasi dipengarui oleh berbagai pertimbangan pribadi seperti rasa tertarik atau memperoleh harapan. D. Teori Penetapan Tujuan Locke Suprihanto (2003, p52-53), menyatakan bahwa teori penetapan tujuan (goalsetting theory) ini merupakan suatu teori yang menyatakan bahwa tujuan – tujuan yang sifatnya spesifik atau sulit cenderung menghasilkan kinerja yang lebih tinggi. Pencapaian tujuan dilakukan melalui usaha partisipasi. Meskipun demikian pencapaian tujuan belum tentu dilakukan oleh banyak orang. Dalam pencapaian 25 tujuan yang partisipatif mempunyai dampak positif berupa timbulnya penerimaan (accepetance), artinya sesulit apapun apabila orang telah menerima suatu pekerjaan maka akan dijalankan dengan baik. Sementara itu dalam pencapaian tujuan yang partsipatif dapat pula berdampak negatif yaitu timbulnya superioritas pada orang – orang yang memiliki kemampuan lebih tinggi. Teori penetapan tujuan Locke mengatakan bahwa tujuan dan maksud individu yang disadari adalah determinan utama perilaku. Perilaku seseorang akan terus berlangsung sampai perilaku itu mencapai tingkat prestasi yang lebih tinggi. Menurut teori ini, prestasi akan tergantung pada tingkat kesukaan tujuan, kerincian tujuan, dan komotmen seseorang terhadap tujuan. Tujuan yang lebih sukar akan membuat orang frustasi sehingga prestasinya juga rendah. Kerincian tujuan akan mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap terhadap tujuan seseorang lebih menyadari dan memahami tujuan akan berprestasi lebih baik. variabel komitmen terhadap tujuan menyangkut keterlibatan seseroang terhadap tujuan. Seseorang yang memiliki komitmen tinggi bisa diharapkan akan berprestasi lebih baik. 2.1.4.4 Faktor – Faktor yang Memengaruhi Motivasi Kerja Menurut Frederick Herzberg (dalam Masithoh, 2000, p20) mengembangkan teori hierarki kebutuhan Maslow menjadi teori dua faktor tentang motivasi. Dua faktor itu dinamakan faktor pemuas (motivation factor) yang disebut dengan satisfier atau intrinsic motivation dan faktor pemelihara (maintenance factor) yang disebut dengan disatisfier atau extrinsic motivation. 26 Faktor pemuas yang disebut juga motivator yang merupakan factor pendorong seseorang untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri seseorang tersebut (kondisi intrinsik) antara lain: 1. prestasi yang diraih 2. pengakuan orang lain 3. tanggung jawab 4. peluang untuk maju 5. kepuasan kerja itu sendiri 6. kemungkinan penembangan karir Berbeda dengan faktor pemeliharaan (maintenance factor) disebut juga hygine factor merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan untuk memelihara keberadaan karyawan sebagai manusia, pemeliharaan ketentraman dan kesehataan. Faktor ini juga disebut disatidfier ( sumber ketidak puasan) yang merupakan tempat pemenuhan kebutuhan tingkat rendah yang dikualifikasikan ke dalam faktor ekstrinsik, meliputi: 1. kompensasi 2. keamanaan dan keselamtan kerja 3. kondisi kerja 4. status 5. prosedur 6. mutu dari supervisi tekhnis dari hubungan interpersonal diantara teman sejawat, dengan atasan, dan dengan bawahan. 27 2.1.4.5 Tujuan dan Manfaat Motivasi Kerja Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga produktifits kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan orang – orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat. Maknanya adalah suatu pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang benar dan dalam skala waktu yang sudah ditentukan, maka karyawan yang melakukan pekerjaan tersebut merasa tidak terlalu dibebankan. Sesuatu yang dikerjakan karena ada motivasi yang mendorongnya akan membuat karyawan senang mengerjakannya. Karyawanpun akan merasa dihargai atau diakui, hal ini terjadi karena pekerjaannya itu betul – betul berharga bagi karyawan yang termotivasi, sehingga karyawan tersebut akan bekerja keras. Hal ini dimaklumi karena dorongan yang begitu tinggi menghasilkan output sesuai target yang mereka tetapkan. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi (Arep Ishak & Hendri Tanjung, 2003, p26-17). Tujuan dan manfaat dari motivasi menurut Sowatno (2001,p147), diantaranya sebagai berikut : • Mendorong gairah dan semangat kerja. • Meningkatkan moral dan kepuasan kerja pegawai. • Meningkatkan produktifitas kerja pegawai. • Mempertahankan loyalitas dan kestabilan pegawai perusahaan. • Meningkatkan kedisiplinan dan menurunkan tingkat absensi pegawai. • Mengefektifan pengadaan pegawai. 28 • Menciptakan hubungan kerja dan suasana yang baik. • Meningkatkan kreatifitas dan partisipasi pegawai. • Meningkatkan kesejahteraan pegawai. • Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugas-tugasnya. • Menigkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku, dan sebagainya. 2.1.5 Efektivitas Organisasi 2.1.5.1 Pengertian Efektivitas Pengertian efektivitas menurut Handoko (2001:p7) adalah merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat atas pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, menyangkut bagaimana melakukan pekerjaan yang benar. Efektivitas merupakan suatu ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh tujuan tercapai, baik secara kualitas maupun waktu, orientasinya pada keluaran yang dihasilkan. Menurut Yamit (2003,p14), Efektivitas dapat diartikan sebagai tingkat atau derajat pencapaian hasil yang diharapkan, semakin besar hasil yang diharapkan, semakin besar hasil yang dicapai maka akan berarti semakin efektif. 2.1.5.2 Pengertian Organisasi Menurut Robbins & Coulter (2009,p18), organisasi adalah pengaturan yang tersusun terhadap sejumlah orang untuk mencapai tujuan tertentu. Bemard (2009,p34) mendefinsikan organisasi adalah suatu sistem mengenai usaha – usaha kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. 29 Menurut Robbins & Judge (2009,p5), organisasi adalah sebuah unit sosial yang dikoordinasi secara sadar, terdiri dari dua orang atau lebih dan berfungsi dalam suatu dasar yang relatif terus menerus guna mencapai satu atau serangkaian tujuan bersama. Menurut Darmono (2009, p35), organisasi merupakan kumpulan manusia yang secara sadar ingin mencapai tujuan bersama, maka organisasi bersifat dinamis dan berkembang. Saat organisasi tidak berkembang, maka lama kelamaan organisasi tersebut akan mati dan tidak menunjukkan aktivitas sama sekali. Sebagai alat adminitrasi dan manajemen, organisasi dapat dilihat dari dua segi yakni : 1. Organisasi sebagai wadah Sebagai wadah, organisasi memiliki sifat yang relatif tetap dan pola dasar struktur organisasi yang relatif permanen. Namun demikian bukan berarti bahwa organisasi itu statis, tetapi organisasi itu harus dinamis. Dinamika ini menunjukkan bahwa organisasi tersebut tumbuh dan berkembang. 2. Organisasi sebagai proses interaksi Dalam prosesnya, organisasi menyoroti interaksi antar orang – orang didalamnya. Interaksi ini dapat menimbulkan formal dan informal sehingga tercipta organisasi formal dan organisasi informal. Hubungan formal antara orang – orang dalam organisasi telah diatur dalam dasar hukum rincian susunan organisasi dan hubungan yang bersifat hirarki. Hubungan informal tidak diatur dan tidak terlihat dalam struktur. 30 2.1.5.3 Pengertian Efektivitas Organisasi Georgopualos dan Tannebaum dalam Tangkilisan (2005,p139) mendefinisikan efektivitas organisasi sebagai “…the extent to which an organization as a social system, given certain resources and mean, fulfill it’s objective without incapacitating it’s means and resources and without placing strain upon it’s members.” Menurut Argriss dan Siliss dalam Tangkilisan, (2005,p139) mengatakan efektivitas organisasi adalah keseimbangan atau pendekatan secara optimal pada pencapaian tujuan, kemampuan, dan pemanfaatan tenaga kerja. Dapat disimpulkan bahwa efektivitas organisasi adalah tingkat sejauh mana organisasi berhasil memanfaatkan sumber daya yang ada seoptimal mungkin dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasarannya dengan tetap menghindari ketegangan seminimal mungkin di antara para anggotanya. Organisasi terdiri dari individu dan kelompok, karena itu efektivitas organisasi terdiri dari efektivitas individu dan kelompok. Organisasi mampu mendapatkan hasil kinerja untuk lebih tinggi tingkatannya daripada jumlah hasil kinerja setiap bagiannya. Efektivitas individual adalah harus merupakan sebab dari efektivitas kelompok, namun tidak dapat dikatakan bahwa efektivitas kelompok adalah jumlah dari efektivitas individu. Hubungan antara pandangan-pandangan tersebut berubahubah tergantung dari faktor-faktor seperti jenis organisasi, pekerjaan yang dilaksanakan, dan teknologi yang digunakan dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. 31 Organisasi memiliki dua kelompok besar, yaitu sumber manusia dan sumber alam. Manusia terdiri dari orang-orang yang bekerja diorganisasi karyawan operasional, staf, dan tenaga manajemen. Mereka menyumbangkan waktu dan tenaga mereka kepada organisasi dengan mendapatkan upah dan imbalan lain, baik berwujud maupun tak berwujud. Lain halnya dengan sumber alam yang terdiri dari input bukan manusia, yang akan diproses atau akan digunakan dalam kombinasi dengan unsur manusia untuk menghasilkan sumber lain. Fungsi efektif dari sebuah organisasi tergantung dari usaha karyawan yang melebihi persyaratan peran formal pekerjaannya, yang disebut dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB). Bukti yang didapat bahwa individu yang menunjukkan OCB memiliki kinerja lebih baik dan menerima evaluasi kinerja yang lebih tinggi. OCB juga berhubungan dengan kinerja dan keefektivan kelompok dan organisasi (Luthans, 2006,p251). Adapun pernyataan bahwa tingkat OCB yang lebih tinggi akan menghasilkan tingkat keefektifan yang lebih pula bagi organisasi dan membantu membawa sumber-sumber daya baru ke dalam organisasi. Perilaku OCB yang ditampilkan oleh karyawan seharusnya berdampak pada efektivitas organisasi. Setiap dimensi OCB memberikan pengaruh yang berbedabeda terhadap hubungan ini, namun berujung pada satu hasil, yaitu efektivitas organisasi. Altruism (membantu meringankan tugas rekan kerja) membuat sistem kerja lebih produktif karena satu pekerja dapat menggunakan waktu luangnya untuk membantu tugas lain yang lebih medesak. Perilaku civic virtue, seperti memberikan saran maupun ide-ide kepada manajemen, membawa perkembangan 32 bagi organisasi, yang secara langsung memengaruhi efisiensi. Karyawan yang memiliki dimensi conscientiousness, menghindari mengutamakan kepentingan pribadi dan perilaku negatif lainnya. Menaati kebijakan perusahaan dan mempertahankan jadwal kerja yang konsisten, akan meningkatkan reliabilitas karyawan. Saat reliabilitas meningkat, maka biaya pengerjaan ulang dapat dikurangi, sehingga membuat unit kerja lebih efisien. Dengan begitu, maka tujuan-tujuan organisasi dapat tercapai. 2.1.5.4 Pendekatan Efektivitas Organisasi Efektivitas organisasi dapat dievaluasi dengan melihat dua hal, yaitu pencapaian sasaran dan proses pelaksanaan organisasi, yang tercermin dalam perilaku organisasi (Hutapea dan Thoha, 2008,p59). Baik pencapaian sasaran maupun proses pelaksanaan organisasi memiliki peran yang sama penting bagi organisasi karena pencapaian sasaran yang tidak disertai dengan proses pelaksanaan yang baik akan mengakibatkan usaha pencapaian sasaran tidak dapat berlangsung lama. Demikian, proses organisasi yang buruk akan dapat menurunkan tingkat efisiensi yang berdampak pada menurunkan pencapaian sasaran pada periode berikutnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Tangkilisan (2005,p139) bahwa konsep tingkat efektivitas organisasi menyangkut dua aspek, yaitu tujuan organisasi dan pelaksanaan fungsi atau cara untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam Hutapea dan Thoha (2008,p59) Ivancevich dan Matteson pun menggunakan yang serupa untuk 33 mengukur efektivitas organisasi, yaitu Pendekatan Sasaran Organisasi (Goal Approach) dan Pendekatan Sistem (System Theory Approach). Berikut akan dibahas lebih lanjut mengenai kedua pendekatan tersebut. 1. Pendekatan Sasaran Organisasi Pendekatan tujuan berfokus pada tingkat dimana suatu organisasi mencapai tujuannya (Griffin, 2004, p88). Pendekatan ini telah lama digunakan oleh organisasi untuk mengetahui tingkat efektivitas organisasi, dan bahkan sampai saat ini masih tetap digunakan. Para pendukung pendekatan ini berargumentasi bahwa organisasi dibentuk dengan tujuan untuk mencapai sasaran sehingga untuk melihat tingkat efektivitas pelaksanaan organisasi mereka langsung menghubungkannya dengan pencapaian sasaran organisasi. Banyak perusahaan menggunakan pendekatan ini dan pada umumnya mereka menggunakan sasaran jangka pendek maupun jangka panjang untuk mengukur tingkat keberhasilan manajer dan karyawannya. Mereka menentukan sasaran kerja manajer dan bawahannya berdasarkan sasaran perusahaan. Atas dasar sasaran perusahaan tersebut dibuat sasaran departemen atau bagian, dan dari sasaran departemen atau bagian ditentukan sasaran setiap pekerjaan. Menurut Gibson dalam Tangkilisan (2005, p141), kejelasan tujuan yang hendak dicapai memang merupakan salah satu indikator pengukuran efektivitas organisasi. Pendekatan sasaran ini ditanggapi secara positif oleh banyak perusahaan karena penggunaan sasaran perusahaan dapat meningkatkan motivasi kerja karyawan untuk mencapai sasaran kerja yang telah ditetapkan. 34 2. Pendekatan sistem Pendekatan sistem tidak melihat efektivitas organisasi atas dasar sasaran yang dicapai, melakukan gambaran perilaku organisasi baik pada saat terjadi interaksi secara internal di organisasi maupun dari perilaku organisasi dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Hutapea dan Thoha, 2008,p61). Dijelaskan bahwa ada dua peran yang harus dilakukan oleh organisasi, yaitu peran internal dan peran eksternal. Dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan pendekatan proses secara internal, karena pengukuran efektivitas organisasi dalam hal ini dilakukan dari sudut pandang karyawan. Pendekatan proses internal berkaitan dengan mekanisme internal dari organisasi dan berfokus pada meminimalisasi ketegangan, mengintegrasikan individu dan organisasi, dan melaksanakan operasi secara lancar dan efisien (Griffin, 2004, p88). Sharma dalam Tangkilisan (2004,p140) juga menyebutkan tidak adanya ketegangan di dalam organisasi atau hambatan-hambatan konflik di antara bagian-bagian organisasi sebagai salah satu kriteria efektivitas organisasi. Kepuasan kerja juga merupakan indikator efektivitas organisasi berdasarkan Steers Sedangkan, Gibson (ITB,2003,p14) menyebutkan sistem pengawasan dan pengendalian sebagai ukuran efektivitas organisasi. Komunikasi vertikal dan horizontal yang lancar dalam organisasi dan adanya semangat kerja sama dan loyalitas organisasi juga merupakan kriteria dari pendekatan proses. 35 2.1.6 Analisis Jalur Analisis jalur yang dikenal dengan path analysis dikembangkan pertama pada tahun 1920-an oleh seorang ahli genetika, yaitu Sewall Wright. Model path analysis digunakan untuk menganalisis pola hubungan antar variabel dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh langsung maupun tidak langsung seperangkat variabel bebas (eksogen) terhadap variabel terikat (endogen). Teknik analisis jalur akan digunakan dalam menguji besarnya sumbangan (kontribusi) yang ditunjukkan oleh koefisien jalur pada setiap diagram jalur dari hubungan kausal antar variabel X1, X2, terhadap Y Riduwan dan Kuncoro,2008 dalam Sarjono Haryadi dan Julianita Winda (2011,p107). Analisis jalur merupakan model perluasan regresi yang digunakan untuk menguji keselarasan matriks korelasi dengan dua atau lebih model hubungan sebab-akibat yang dibandingkan oleh David Garson (2003). Kesimpulan dari definisi-definisi diatas bahwa sebenarnya analisis jalur merupakan kepanjangan dari analisis regresi berganda (dalam Sarwono, 2007, p1-2). Berdasarkan Mueller dalam Sugiarto (2006,p93), path analysis (analisis jalur) dikembangkan sebagai metode untuk mempelajari pengaruh (efek) secara langsung dan tidak langsung dari variabel bebas terhadap variabel tergantung. Analisis ini merupakan sejumlah variabel di dalam model. Analisis ini merupakan metode yang baik untuk menerangkan apabila terhadap seperangkat data yang besar untuk dianalisis dan mencari hubungan kausal. Menurut Sugiarto (2006,p93), analisis jalur digunakan untuk menelaah hubungan antara model kausal yang telah dirumuskan peneliti atas dasar 36 pertimbangan teoretis dan pengetahuan tertentu. Hubungan kausal selain didasarkan pada data, juga didasarkan pada pengetahuan, perumusan hipotesis, dan analisis logis, sehingga dapat dikatakan analisis jalur dapat digunakan untuk menguji seperangkat hipotesis kausal serta menafsirkan hubungan tersebut. 2.1.7 SPSS VS LISREL 2.1.7.1 SPSS Menurut Priyatno (2008,p13) dalam Sarjono Haryadi dan Julianita Winda, (2011,p113), SPSS adalah program atau software yang digunakan untuk olah data statistik. Banyaknya program olah data statistik lainnya, SPSS merupakan yang paling banyak digunakan. Dahulu SPSS adalah Statistical Package for the Social Sciences, tetapi seiring berjalannya waktu SPSS mengalami perkembangan dan penggunaannya semakin kompleks untuk berbagai ilmu seperti ilmu sosial, ekonomi, psikologi, pertanian, teknologi, industry, dan lain-lain sehingga kepanjangan SPSS adalah Statisticall Product and Service Solution. SPSS diciptakan oleh Norman Nie, seorang lulusan Falkutas Ilmu politik dari Stanford University. 2.1.7.2 LISREL (Linear Structural Relationship) Menurut Sugiarto (2006,p3) dalam Sarjono Haryadi dan Julianita Winda, 2011,p113), LISREL merupakan salah satu program komputer yang dapat mempermudah analisis untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh alat analisis yang konvensional. 37 LISTREL diperkenalkan oleh Kark Joreskog pada tahun 1970 dan sejauh ini telah dikembangkan serta digunakan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan sosial. Dalam versi yang lebih maju, penggunaan LISREL menjadi lebih interaktif, lebih mudah, banyak fitur statistik baru yang terkait dengan penanganan missing data, imputation data, serta multilevel data analisis. Terapannya pada persoalan ilmu sosial dan ilmu perilaku dapat kita temui secara luas dan sangat berguna sebagai acuan pengambilan keputusan dalam kondisi yang makin rumit. Sugiarto, (2006,p3-4) dalam Sarjono Haryadi dan Julianita Winda, (2011,p113). Menurut Sugiarto (2006,p4) dalam Sarjono Haryadi dan Julianita Winda,(2011,p114), secara umum analisis dalam LISREL dapat dipilah dalam dua bagian. Pertama, yang terkait dengan model pengukuran (measurement model) dan kedua yang terkait dengan model struktural (structural equation model). Model pengukuran adalah gambaran hubungan pokok yang ditunjukkan untuk mengukur dimensi-dimensi yang membentuk sebuah faktor atau variabel. Menurut Wijanto, (2008,p12) dalam Sarjono Haryadi dan Julianita Winda, (2011,p114) model struktural adalah model yang menggambarkan hubunganhubungan yang ada di antara variabel-variabel laten. Dengan menggunakan LISREL, peneliti dapat menganalisis struktur convariance (struktur yang menunjukkan hubungan linear antar variabel) yang rumit, variabel latin, saling ketergantungan antarvariabel, dan sebab akibat yang timbale balik di mana dapat ditangani dengan mudah dengan menggunakan model pengukuran dan persamaan terstruktur. Menurut Ghozali (2008,p5) dalam Sarjono 38 Haryadi dan Julianita Winda, (2011,p114) variabel laten adalah variabel yang tidak bisa diukur secara langsung dan memerlukan beberapa indikator. 2.1.8 Studi Empiris Tabel 2.1 Studi Empiris dari Jurnal No Judul Jurnal Nama Pengarang Variabel 1 Jurnal Aplikasi Manajemen Vol.2, No.1, Tahun 2004 “ Pengaruh Kompensasi dan Pelatihan Terhadap Motivasi, Kemampuan dan Kinerja Karyawan” Eko Agus Alfianto, H.Bambang Swasto dan Achmad Sudiro Kompensasi Terhadap Motivasi Kerja 2 Jurnal Aplikasi Manajemen Vol.2, No.1, Tahun 2004 “ Pengaruh Kompensasi dan Pelatihan Terhadap Motivasi, Kemampuan dan Kinerja Karyawan” Eko Agus Alfianto, H.Bambang Swasto dan Achmad Sudiro Pelatihan Terhadap Motivasi Kerja 3 Jurnal sosial - politik Vol.2, No.2, Tahun 2002 “Pengaruh motivasi dan prestasi kerja pegawai terhadap efektivitas.” Djumlani, Achmad Motivasi Kerja Terhadap Efektifitas Organisasi Keterangan - Hasil penelitian menyatakan bahwa ada pengaruh signifikan antara kompensasi terhadap motivasi kerja dengan nilai β = 0,320 dan p < 0,008. - Variabel kompensasi dengan nilai probabilitas t < α (0,008 < 0,05) dan variabel motivasi kerja dengan nilai probabilitas t < α (0,000 < 0,05). - Hasil penelitian menyatakan bahwa ada pengaruh signifikan antara pelatihan terhadap motivasi kerja dengan nilai β = 0,328 dan p < 0,007. - Variabel pelatihan dengan nilai probabilitas t < α (0,007 < 0,05) dan variabel motivasi kerja dengan nilai probabilitas t < α (0,000 < 0,05). Hasil penelitian menyatakan bahwa koefisien rank kendall adalah 0,452 dengan derajat signifikan 0,001 atau diatas tingkat kebenaran 39 95% sehingga dapat membuktikan hipotesis dimana semakin tinggi tingkat motivasi kerja akan semakin tinggi pula tingkat efektifitas organisasi. Tabel 2.2 Studi Empiris dari Buku N0 Judul Buku 4 Manajemen publik 2005,p151 PT. Grasindo, Jakarta 5 Perilaku dan Manajemen Organisasi 2005,p23 Penerbit Erlangga Nama Pengarang Tangklisan, Hessel Nogi S. John M. Ivancevich; Robert Konopaske; Michael T. Matteson Variabel Keterangan Kompensasi terhadap Efektivitas Organisasi Faktor-faktor efektivitas organisasi pada karakteristik lingkungan internal berorientasi pada imbalan Peletihan terhadap Efektivitas Organisasi Menyediakan kesempatan untuk pelatihan dan pembelajaran yang berkesinambungan 40 2.2 Kerangka Pemikiran Kompensasi (X1) : 1. 2. Kompensasi langsung Kompensasi tidak langsung Motivasi Kerja (Y): 1. 2. 3. 4. 5. Beban kerja Waktu kerja Pengaruh kepemimpinan Harapan prestasi Kesempatan berkembang Efektivitas Organisasi (Z): 1. 2. Sasaran Organisasi Proses Internal Pelatihan (X2) : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Instruktur Peserta Materi (bahan) Metode Tujuan penelitian Lingkungan yang menunjang Sumber : Pengelolaan Penulis, 2011 Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran 2.3 Hipotesis Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah: • T-1 Ho = variabel kompensasi (X1) dan pelatihan (X2) tidak berkontribusi secara signifikan terhadap motivasi kerja (Y) secara simultan dan parsial pada PT. Hero Supermarket. Tbk, Gatot Subroto, Kantor Pusat. 41 Ha = variabel kompensasi (X1) dan pelatihan (X2) berkontribusi secara signifikan terhadap motivasi kerja (Y) secara simultan dan parsial pada PT. Hero Supermarket. Tbk, Gatot Subroto, Kantor Pusat. • T-2 Ho = variabel kompensasi (X1) dan pelatihan (X2) tidak berkontribusi secara signifikan terhadap motivasi kerja (Y) dan dampaknya terhadap efektifitas organisasi (Z) secara simultan dan parsial pada PT. Hero Supermarket. Tbk, Gatot Subroto, Kantor Pusat berdasarkan pendekatan SPSS dan LISREL. Ha = variabel kompensasi(X1) dan pelatihan (X2) berkontribusi secara signifikan terhadap motivasi kerja (Y) dan dampaknya terhadap efektifitas organisasi (Z) secara simultan dan parsial pada PT. Hero Supermarket. Tbk, Gatot Subroto, Kantor Pusat berdasarkan pendekatan SPSS dan LISREL.