KRISIS GLOBAL Bursa Saham Dunia Semakin Tersungkur Aviliani, Pengamat Ekonomi Suara Karya : Rabu, 8 Oktober 2008 JAKARTA (Suara Karya): Kepanikan pasar global terus berlanjut. Bursa saham di berbagai belahan dunia, kemarin, kembali bertumbangan. Program talangan (bailout) yang dicanangkan pemerintah AS untuk menyelamatkan industri keuangan mereka dengan menyiapkan dana senilai 700 miliar dolar AS tampaknya tetap tidak membuat pasar merasa tenang. Karena itu, aksi jual saham terus melanda bursa di seluruh dunia, dari Tokyo di Jepang hingga Wall Street di AS. Indeks Dow Jones Industrial Average dalam perdagangan kemarin tercatat turun hingga 800 poin menjadi di bawah level psikologis 10.000. Itu pertama kali terjadi sejak 2004. Indeks Dow Jones akhirnya ditutup turun 369,35 poin (3,58 persen) di posisi 9.955,50. Indeks komposit Nasdaq juga merosot 4,34 persen, sementara indeks Standard & Poor`s 500 terkoreksi 3,85 persen. Bursa saham di Eropa tak terkecuali mencatat rekor penurunan. Harga sahamsaham di Eropa terutama tergerus oleh hasil pertemuan pemimpin Prancis, Inggris, Jerman, dan Italia, akhir pekan lalu, yang gagal menelurkan paket bersama penyelamatan finansial Eropa. Di London, indeks FTSE 100 kemarin rontok 7,86 persen menjadi 4.589,19 poin. Sementara di Paris, indeks CAC 40 merosot 9,04 persen menjadi 3.711,98 poin, suatu penurunan harian terbesar sejak 1988. Di Frankfurt, indeks DAX turun 7,07 persen menjadi 5.387,01 poin. Sedang di Dublin, bursa saham utama Irlandia, indeks ISEQ turun 9,59 persen menjadi 3.565,54. Di Asia, berbagai bursa saham juga makin keteteran menghadapi demam krisis finansial global ini. Pasar saham di Jepang, Korsel, Taiwan, dan Singapura langsung lunglai begitu perdagangan Selasa kemarin dibuka. Indeks Nikkei-225 di bursa saham Jepang ditutup turun 556,88 poin atau 5,32 persen menjadi 9.916,21. Ini merupakan terendah sejak Desember 2003. Di sisi lain, indeks Taiwan turun 2,8 persen atau 152,80 poin ke posisi 5.352,90 dalam pembukaan perdagangan. Sementara indeks Straits Times di bursa saham Singapura melorot 30,21 poin atau 1,39 persen menjadi 2.138,11. Bursa Indonesia sendiri, dengan indeks harga saham gabungan (IHSG), semakin terpuruk. IHSG di lantai Bursa Efek Indonesia (BEI) kemarin ditutup anjlok 29,018 poin ke level 1.619,721. Menurut pengamat ekonomi Aviliani, program bailout yang disiapkan pemerintah dinilai pemain pesar sudah terlambat. Selain itu, dana talangan sebesar 700 miliar dolar AS juga dinilai tidak cukup untuk mengatasi kerugian yang diderita sejumlah lembaga keuangan yang bermasalah. "Kerugian yang harus diatasi mencapai 2 triliun dolar AS," katanya. Senada dengan Aviliani, ekonom Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan menyebutkan, pelaku pasar dilanda trauma. "Mereka menjual saham dan surat berharga pemerintah. Dananya mereka alihkan ke pasar komoditas. Tetapi, masalahnya, saat ini harga komoditas anjlok seiring dengan penurunan harga minyak dunia," ujarnya. Harga komoditas mengalami tekanan berat, menyusul penurunan harga minyak mentah dunia dari semula 147 dolar AS pada Juli silam menjadi sekitar 90 dolar AS per barel sekarang ini. Fauzi mengatakan, pelaku pasar belum menentukan sikap karena kondisi pasar finansial belum kondusif. Pelaku pasar terus memperhatikan perkembangan menyangkut kondisi finansial AS. "Mereka akan kembali ke pasar jika telah mendapat informasi seputar kejelasan krisis finansial AS. Jika sudah beroleh kejelasan, mereka dapat menghitung dampak kerugian yang mereka derita dan kemudian mulai bertransaksi kembali," ujarnya. Aviliani meminta agar pelaku pasar tidak panik. Investor domestik jangan ikut-ikutan dengan melepas sahamnya. "Kepanikan tersebut menyebabkan banyak dana-dana yang ke luar sehingga rupiah tertekan," kata Aviliani. Dia juga meminta agar pemerintah tidak memberikan pernyataan-pernyataan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Yang terpenting menurutnya adalah bagaimana agar kebijakan fiskal tidak tertinggal dari kebijakan moneter. Pada kesempatan terpisah, ekonom dari UGM Sri Adiningsih juga meminta agar pelaku pasar maupun masyarakat tidak panik dalam menghadapi ancaman dampak krisis ekonomi Amerika Serikat. Tindakan ini dinilai sangat penting guna menghindari terjadinya krisis ekonomi moneter seperti yang pernah terjadi 1998 lalu dan depresi ekonomi global di tahun 1930. Dia juga mengungkapkan agar pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus mengambil kebijakan yang serba cepat dan tepat. "Serta perlunya memberikan keyakinan pada pelaku ekonomi agar tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat dan pasar," kata Sri Adiningsih. Sementara itu, Islandia menasionalisasi bank terbesar kedua di negeri itu, Landsbanki, di bawah undang-undang darurat, Selasa. Islandia tengah melakukan negosiasi pinjaman senilai 4 miliar euro dari Rusia untuk mengatasi dampak krisis keuangan. "Seperti diumumkan oleh pemerintah bahwa semua simpanan domestik dijamin penuh," demikian diumumkan Otoritas Pengawas Keuangan. "Kantor cabang domestik Landsbanki, call center, mesin penarik tunai (ATM), dan operasional internet akan tetap buka seperti biasa," ungkapnya lagi. Beberapa jam setelah pemerintah mengumumkan nasionalisasi tersebut, Samson Holding Company, yang memiliki 41 persen saham di Landsbanki, segera maju ke pengadilan untuk meminta proteksi. Bank sentral Islandia mengemukakan dalam pernyataannya bahwa Duta Besar Rusia Victor I Tatarintsev telah menginformasikan pihaknya akan memberikan pinjaman senilai 4 miliar euro dan ini telah dikonfirmasi oleh Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin. Namun kantor berita Rusia RIA-Novosti mengutip Deputi Menteri Keuangan Dmitry Pankin mengatakan tidak ada pendekatan formal yang dilakukan Islandia dan sejauh ini belum ada keputusan yang dibuat. Pinjaman ini akan membantu upaya pemerintah Islandia untuk mengendalikan situasi keuangan, setelah pekan lalu menyelamatkan bank terbesar ketiga Glitnir. Perdana Menteri Geir H Haarde mengingatkan bahwa tekanan yang tinggi di sektor perbankan akan meningkatkan ancaman terjadinya kebangkrutan nasional. (Agus/Sabpri/AP/Hasyim)