Efek intervensi tempe terhadap profil lipid

advertisement
11
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menopause adalah kondisi fisiologis pada wanita dimana menstruasi
berhenti secara permanen akibat penurunan fungsi ovarium yang mengakibatkan
penurunan produksi hormon estrogen (Cassidy 2006). Menopause dapat terjadi
secara alami atau tidak alami, misalnya karena pengangkatan sel telur. Seorang
wanita disebut memasuki masa menopause jika tidak mengalami menstruasi
selama 12 bulan berturut-turut. Usia mulai menopause bervariasi dimulai sekitar
45 tahun hingga 55 tahun, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau melalui proses
dimana menstruasi terjadi secara tidak teratur menjelang memasuki masa
menopause.
Turunnya produksi estrogen saat menopause juga dapat menyebabkan
gangguan metabolisme lipid sehingga dapat memperburuk profil lipid darah dan
oksidasi dalam tubuh. Masalah selanjutnya yang perlu mendapat perhatian
sehubungan dengan menurunnya estrogen pada wanita adalah kemungkinan
meningkatnya risiko penyakit jantung koroner (PJK) yang merupakan penyebab
kematian utama pada wanita menopause (Teede et al. 2001; Dewell et al. 2002;
Cuevas et al. 2003; Cassidy et al 2006). Faktor risiko PJK meliputi faktor risiko
lipid (tinggi kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida dan rendah kolesterol
HDL) serta faktor risiko non lipid (hipertensi, obesitas, diabetes mellitus, rokok,
aktifitas fisik, konsumsi, stres, dan obat) (Schlenker et al. 2007).
Perubahan profil lipid selain disebabkan karena faktor fisiologis seperti
proses penuaan juga dapat disebabkan karena adanya perubahan gaya hidup bagi
sebagian
penduduk khususnya yang berada di perkotaan. Pola makan yang
awalnya tinggi karbohidrat, serat, vitamin dan mineral saat ini banyak berubah
menjadi tinggi lemak, garam, namun rendah serat, vitamin dan mineral.
Perubahan pola makan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan atau transisi
penyakit dan gizi. Jika dahulu masalah gizi lebih didominasi oleh masalah gizi
kurang, seperti KEP (Kurang Energi Protein), KVA (Kurang Vitamin A), GAKY
(Gangguan Akibat Kurang Yodium) dan AGB (Anemia Gizi Besi) namun saat ini,
dimana masalah gizi kurang masih belum tuntas teratasi, juga terjadi peningkatan
masalah gizi lebih terutama di wilayah perkotaan. Oleh karena itu Indonesia
12
mempunyai dua masalah gizi sekaligus (double burden), yang tentu saja
memerlukan penanganan yang lebih spesifik tergantung pada target sasaran.
Selain terjadinya transisi gizi, Indonesia juga mengalami transisi penyakit, jika
dahulu didominasi oleh penyakit menular seperti ISPA dan diare, saat ini berubah
menjadi penyakit tidak menular atau penyakit degeneratif, misalnya jantung
koroner, diabetes mellitus, stroke, atherosklerosis. Peningkatan gizi lebih dan
penyakit degeneratif menyebabkan terjadinya penurunan kualitas hidup manusia
seperti penurunan produktivitas dan penurunan Usia Harapan Hidup (UHH).
Seiring dengan meningkatnya usia, proses penuaan akan terjadi, termasuk
bertambahnya senyawa radikal bebas di dalam tubuh. Radikal bebas adalah suatu
molekul atau atom yang memiliki satu atau lebih
elektron yang tidak
berpasangan, sehingga sangat labil dan reaktif menyerang molekul di sekitarnya
dan dapat mengakibatkan kerusakan struktur sel dan fungsinya (Marks 2000).
Radikal bebas bisa terjadi karena faktor di dalam tubuh (endogen) maupun dari
luar tubuh (eksogen). Faktor dari tubuh terjadi dari proses metabolisme misalnya
meningkatnya aktivitas oksidasi di dalam tubuh sedangkan faktor dari luar dapat
disebabkan oleh pengaruh polusi atau makanan.
Soeatmaji (1998) menyatakan bahwa lipid di dalam tubuh merupakan
target utama radikal bebas. Senyawa radikal bebas dapat merusak lipid khususnya
lipid pada kolesterol-low density lipoprotein (K-LDL). Terjadinya serangan
radikal bebas pada K-LDL sering disebut dengan LDL teroksidasi (Ox-LDL).
Kolesterol-LDL sangat mudah teroksidasi dibanding lipoprotein lain, karena
komposisinya sebagian besar terdiri dari asam lemak tidak jenuh ganda atau
PUFA (Gropper et al. 2005). Proses berkelanjutan dari radikal bebas khususnya
pada jaringan lipid akan menyebabkan terbentuknya peroksidasi lipid yang
selanjutnya akan menghasilkan produk akhir seperti misalnya malondialdehyde
(MDA).
Jumlah MDA dapat digunakan sebagai indikator adanya kerusakan
akibat radikal bebas atau indikator keaktifan proses peroksidasi lipid. Berbagai
literatur menyatakan bahwa ada hubungan antara MDA dalam darah dan
atherosklerosis pada dinding arteri, sehingga tingginya kadar MDA dapat
dikategorikan sebagai salah satu faktor risiko terjadinya PJK.
13
Tingginya radikal bebas dalam tubuh dapat disebabkan karena rendahnya
aktivitas enzim antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa yang memberikan
elektron atau reduktan sehingga dapat mencegah terjadinya radikal bebas melalui
pencegahan reaksi oksidasi.
eksogen.
Antioksidan terdiri dari antioksidan endogen dan
Antioksidan endogen disintesa di dalam tubuh seperti superoksida
dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase. Enzim SOD merupakan
pertahanan pertama terhadap proses oksidasi yang berlebihan di dalam tubuh dan
aktifitasnya bergantung pada beberapa logam mineral seperti Zn, Cu, Fe dan Mn.
Kedelai adalah bahan pangan sumber protein nabati.
Selain sebagai
sumber protein, kedelai juga merupakan sumber isoflavon yang dapat berfungsi
untuk memperbaiki profil lipid. Konsumsi matriks protein kedelai atau protein
kedelai dalam bentuk utuh diketahui lebih menguntungkan dibanding dalam
bentuk konsentrat isoflavon saja (Potter et al. 1998; Steinberg et al. 2003).
Meskipun peran setiap komponen yang terdapat dalam kedelai terhadap lemak
belum sepenuhnya dimengerti, namun diperkirakan protein kedelai dapat
mempengaruhi metabolisme hepatik dari kolesterol atau lipoprotein (Potter et al.
1998) atau pengaturan reseptor LDL (Anderson et al. 2003).
Tempe merupakan produk olahan kedelai melalui proses fermentasi
dengan penambahan Rhizopus oligosporus dan dikenal sebagai makanan
tradisional yang sangat populer di Indonesia. Tempe dikonsumsi oleh lebih dari
separuh penduduk di Indonesia dan menjadi lauk maupun makanan camilan yang
sering dikonsumsi khususnya pada masyarakat kelas menengah ke bawah.
Selain itu tempe juga mudah diproduksi, harga relatif terjangkau, tersedia di pasar,
serta mudah dimasak. Sebagai pangan tradisional, tempe mempunyai komposisi
gizi dan non gizi yang lebih baik dibanding kedelai.
Dasar pemikiran
Saat ini Indonesia dihadapkan pada masalah gizi ganda, dimana masalah
gizi kurang masih belum terselesaikan namun di sisi lain masalah gizi lebih mulai
mengalami peningkatan yang cukup memprihatinkan. Masalah gizi lebih akan
diikuti dengan munculnya penyakit degeneratif seperti atherosklerosis, diabetes
mellitus, hipertensi, stroke, dan PJK. Peningkatan penyakit degeneratif dapat
disebabkan antara lain karena perubahan gaya hidup, termasuk perubahan pola
14
makan, yaitu dari pola makanan tinggi serat dan karbohidrat menjadi tinggi lemak
dan natrium namun rendah serat, vitamin dan mineral.
Prevalensi PJK di Indonesia meningkat dalam sepuluh tahun terakhir, dari
16.0% pada tahun 1991 menjadi 26.4% pada tahun 2001.
Penyakit tersebut
menjadi penyebab kematian terbesar di Indonesia. Data terbaru hasil Riskesdas
2007 menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung sebesar 7.2%, diabetes
mellitus 1.1%, hipertensi 29.8% dan stroke 0.8%. Sementara stroke merupakan
penyebab kematian tertinggi untuk penyakit tidak menular, diikuti hipertensi,
diabetes mellitus dan penyakit jantung. Risiko penyakit akan semakin meningkat
dengan bertambahnya usia. Secara rinci data penyakit berdasar jenis kelamin
belum tersedia di Indonesia, namun berdasar teori dan data epidemiologi
menunjukkan bahwa wanita akan mengalami peningkatan khususnya PJK setelah
mengalami menopause.
Berkurangnya estrogen pada wanita menopause merupakan salah satu
alasan penggunaan estrogen replacement therapy (ERT) yang mempunyai efek
positif pada serum lipid sehingga mampu menurunkan risiko PJK (Chiechi et al.
dkk, 2002). Namun terapi ini juga berisiko mengakibatkan terjadinya komplikasi
tromboembolik dan ketidaknyamanan yang lain sehingga banyak wanita
menopause beralih memilih menggunakan pendekatan alami (Glazier et al. 2001
dan Barnes et al. 2003).
Protein kedelai, merupakan komponen penting dalam diet penduduk di
wilayah dunia bagian timur dan diketahui merupakan salah satu faktor lingkungan
yang menonjol dalam pencegahan PJK (Cuevas et al. 2003 dan Rimbach et al.
2008).
Hasil penelitian di berbagai populasi di banyak negara menunjukkan
bahwa protein kedelai menurunkan kolesterol plasma, triasilgliserol dan glukosa
darah (Anderson et al. 1995; Griffin et al. 1999; Blair et al. 2006; Palanisamy et
al. 2008) dan berperan sebagai antioksidan yang potensial (Lichtenstein et al.
1998).
Konsumsi kedelai juga memperbaiki fungsi endothelial koroner (Mattan
et al. 2007). Efek hipokolesterolemia dan antioksidan tersebut setidaknya
merupakan bagian dari komponen dalam kedelai yang disebut isoflavon atau
fitoestrogen (Cuevas et al. 2003).
15
Telah diketahui selama 60 tahun terakhir bahwa mengganti konsumsi
hewani
dengan
protein
dari
kacang-kacangan
dapat
menurunkan
hiperlipoproteinemia dan atherosklerosis. Dalam 10-12 tahun terakhir penelitian
tentang hal tersebut semakin meningkat dan mendalam, dan membuktikan bahwa
konsumsi protein nabati tidak saja memperbaiki beberapa aspek kesehatan pada
wanita menopause tetapi juga memperbaiki kesehatan jantung (Clarkson et al.
2002).
Isoflavon merupakan sub-klas flavonoid, adalah komponen non gizi pada
tanaman dan sangat mirip struktur kimia dengan estrogen (Setchell & Adlercreuts
1988; Rimbach et al. 2007). Dalam tanaman, isoflavon terdiri dari empat bentuk
isomer yaitu : 1) aglikon (unconjugates) dan glukosida (conjugates) yang terdiri
dari 2) β-glucosides (genistin, daidzin, glycitin), 3) aceytyl-β-glycosides dan 4)
malonyl-β-glycosides (Wang and Murphy 1994; Xu et al. 2000).
Banyak studi tentang intervensi suplemen protein kedelai baik dalam
bentuk isolat, makanan utuh maupun kombinasi keduanya terhadap serum
kolesterol total (K-T), Kolesterol LDL (K-LDL), trigliserida dan Kolesterol HDL
(K-HDL) yang telah dilakukan pada manusia dan hewan. Hasil meta analisis
randomized controlled trial (RCT) menunjukkan bahwa suplementasi tersebut
mampu menurunkan K-T, K-LDL dan trigliserida serta sedikit meningkatkan KHDL (Anderson et al. 1995; Reynolds et al. 2006; Hooper et al. 2008).
Hasil meta analisis terbaru mengkonfirmasi efek berbagai kelas dalam
flavonoid, dimana isolat protein kedelai signifikan menurunkan tekanan darah
diastolik dan K-LDL (Hooper et al. 2008). Hasil penelitian tentang intervensi
kedelai (isolat protein kedelai, isolat isoflavon kedelai maupun matrik kedelai
dalam bentuk makanan) secara sistematik menguatkan berbagai meta analisis
sebelumnya bahwa terdapat efek kedelai dan isoflavon pada faktor risiko PJK,
yaitu menurunkan K-LDL tetapi tidak ada efek terhadap kenaikan K-HDL.
Protein kedelai dapat menurunkan K-LDL sebesar 0.2 mmol/L, dan diperkirakan
dapat menurunkan 3% semua kasus kematian dan 6% penurunan kematian karena
PJK (Hooper et al. 2008).
Tempe merupakan produk olahan kedelai melalui proses fermentasi
sehingga menyebabkan peningkatan isoflavon total khususnya dari aglikon yang
16
jauh lebih tinggi dibanding kedelai (Wang and Murphy,1994).
Saat ini tempe
dipertimbangkan sebagai pangan fungsional (functional food) karena kandungan
gizi dan substansi aktifnya. Selain itu tempe juga mudah diproduksi, harga relatif
terjangkau, tersedia di pasar, dan mudah dimasak. Sebagai pangan tradisional,
tempe mempunyai komposisi gizi yang lebih baik dibanding kedelai.
Aktivitas lipase R. oligosporus menyebabkan level asam lemak bebas pada
tempe lebih tinggi dibanding kedelai. Asam lemak bebas dilaporkan dapat
menghambat beberapa enzim seperti: glikolitik, glikoneogenik, lipogenik
proteolitik, dan menghambat sintesa asam lemak. Setelah fermentasi, kandungan
vitamin B meningkat (kecuali thiamin). Vitamin A diproduksi oleh R.oligosporus
dalam bentuk -carotene, sedangkan vitamin D diproduksi dalam bentuk
ergosterol, dan vitamin E dalam bentuk tocopherol.
berperan sebagai antioksidan (Pawiroharsono 1997).
Vitamin tersebut juga
Tempe mengandung asam
amino bebas sekitar 3-10 kali lebih besar dibanding kedelai. Hal tersebut karena
R. oligosporus akan menghidrolisa protein menjadi asam amino dan peptida.
Asam amino seperti ornitin, lisin, arginin, dan histidin merupakan antioksidan
yang kuat (Tamura et al. 1998).
Aktivitas antioksidan tempe ada dalam bentuk tidak terikat yaitu aglikon
seperti genistein, daidzein, glycetein dan faktor 2 yang lebih kuat dibanding
bentuk glukosida seperti genistin dan daidzin (Pratt 1979; Kurzer et al. 1997).
Genistein dan daidzein mampu mengikat reseptor β-estrogen yang ditemukan di
sistem saraf pusat, tulang, dinding vaskular dan saluran urogenital (Nahas et al.
2006).
Genistein merupakan inhibitor sangat kuat terhadap produksi hidrogen
peroksida dan menghambat pembentukan anion superoksida. Genistein juga
menunjukkan kemampuan meningkatkan aktivitas enzim yang berperan dalam
antioksidan seperti SOD, katalase, glutathione peroksidase dan glutathione
reductase
(Wei et al. 1995), serta memakan radikal, mengikat logam dan
menghambat tirosin kinase (Kiriakidis et al. 2005).
Banyak studi menunjukkan hasil bahwa kedelai mempunyai potensi
sebagai penangkal radikal yang lebih kuat dibanding sayuran lain seperti wortel,
buncis, juice buah (Ou et al. 2002 dan Wu et al. 2004).
Sejalan dengan hal
tersebut peran antioksidan dalam tempe ternyata juga lebih kuat dibanding
17
tocopherol (Jha et al. 1997). Efek antioksidan pada tempe tampaknya merupakan
efek sinergis dari tocopherol (terdapat dalam kedelai) dan asam amino yang
dibebaskan selama fermentasi (Hoppe et al. 1997).
Penelitian Arbai (1994) menunjukkan bahwa pemberian 150 gram tempe
per hari selama 2 minggu pada laki-laki hiperkolesterol ternyata dapat
menurunkan Kolesterol Total (K-T) sebesar 8.3%, K-LDL sebesar 8.29%,
meningkatkan K-HDL sebesar 8.47% dan menurunkan rasio K-T:K-HDL sebesar
13.38%. Sementara itu penelitian Sugyarto (1990) yang memberikan 200 gram
tempe selama 2 minggu pada laki-laki dan wanita juga menunjukkan efek yang
baik pada perbaikan profil lipid.
Astuti (1992) dan Kasaoka et al (1997) menguji distribusi Fe, Cu dan Zn
pada sel tikus dan ternyata mineral tersebut jauh lebih tinggi pada tikus yang
diberi tempe dibanding yang diberi kasein atau kedelai. Distribusi mineral dalam
sel hati mengindikasikan bahwa mineral tersebut aktif pada berbagai reaksi
intraselular termasuk membantu kerja enzim antioksidan.
Selanjutnya Astuti
(1993) dan Kasaoka et al (1997) memberikan perlakuan diet termasuk tempe
pada tikus menyatakan bahwa MDA tikus yang diberi tempe hasilnya paling
rendah dibanding yang diberi diet lain.
Diperkirakan tempe mengandung
substansi yang dapat meningkatkan SOD. Sejauh ini belum diketahui pengaruh
tempe terhadap profil lipid, enzim antioksidan, LDL teroksidasi dan MDA pada
wanita menopause.
Sulit untuk meneliti pengaruh tempe pada penyakit jantung dan penyakit
degeneratif lainnya kecuali pada binatang, sehingga pada manusia pada umumnya
penelitian hanya melihat pengaruhnya terhadap faktor risiko penyakit.
Mengingat kandungan lemak, protein, isoflavon dan beberapa vitamin
serta mineral tempe jauh lebih baik dibanding kedelai, maka diperkirakan fungsi
tempe sebagai pangan yang bermanfaat bagi kesehatan khususnya efek
hipokolesterolemia dan antioksidan jauh lebih tinggi dibanding kedelai (Tabel 8).
Namun penelitian intervensi pada kelompok rentan khususnya pada wanita
menopause belum pernah dilakukan secara menyeluruh, sehingga perlu kajian
secara khusus untuk melihat pengaruh konsumsi tempe terhadap profil lipid,
radikal bebas dan enzim antioksidan
pada wanita menopause.
Jika hasil
18
penelitian ini dapat menjawab hipotesis maka diharapkan dapat menurunkan
risiko penyakit jantung dan penyakit degeneratif lain, meningkatkan usia harapan
hidup (UHH), meningkatkan produktivitas kerja dan menekan biaya kesehatan
yang tinggi pada golongan usia dewasa lanjut atau manula. Hasil penelitian
diharapkan dapat menjadi salah satu upaya pencegahan penyakit sehingga dapat
meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.
Masalah Penelitian
Kebutuhan untuk memahami tentang kedelai dan PJK pada wanita adalah
karena penyakit ini merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada
wanita menopause (Clarkson et al. 2002). Risiko disebabkan karena penurunan
produksi estrogen yang akan mempengaruhi metabolisme lipid, sehingga akan
memperburuk profil lipid.
Pernyataan bahwa semua wanita menopause
membutuhkan ERT adalah sesuatu yang irrasional dan tidak menguntungkan
(Nahas et al. 2006). Meskipun ERT mempunyai efek positif pada serum lipid dan
mampu menurunkan risiko PJK (Chiechi et al. 2002), tetapi terapi ini juga
berisiko mengakibatkan terjadinya beberapa keluhan dan komplikasi (Hulley et al.
2002).
Di Indonesia diperkirakan hanya 5% wanita yang menggunakan ERT, dan
tidak diketahui berapa persentase pengguna yang tidak melanjutkan terapi
tersebut. Data di USA menunjukkan bahwa 70% pengguna ERT menghentikan
terapi ini pada tahun pertama. Alasan penghentian adalah perdarahan, mastalgia,
mual, migraine, odema dan ketakutan terhadap risiko kanker payudara (Glazier et
al. 2001; Barnes et al. 2003).
Alasan tersebut menyebabkan banyak wanita
beralih menggunakan pendekatan alami, seperti meningkatkan frekuensi konsumsi
makanan sumber fitoestrogen.
Penelitian tentang manfaat mengganti konsumsi hewani dengan protein
nabati telah berlangsung lebih dari enam dasawarsa dan hasilnya menunjukkan
bahwa
penggantian
tersebut
berpengaruh
positif
terhadap
penurunan
hiperlipoprotein dan atherosklerosis yang merupakan risiko penyakit jantung.
Secara lebih spesifik berbagai studi tentang manfaaf kedelai dan komponen non
gizi di dalamnya telah dimulai sejak tiga dasawarsa yang lalu, dan dalam sepuluh
tahun terakhir diketahui bahwa kedelai dan fitoestrogen tidak saja mempunyai
19
efek potensial bagi kesehatan wanita menopause namun juga memperbaiki
kesehatan jantung (Clarkson et al. 2002).
Tempe dipilih sebagai bahan intervensi dengan beberapa pertimbangan.
Pertimbangan dari sisi produsen tempe adalah: mudah mendapatkan kedelai
sebagai bahan dasar, proses pengolahan sederhana, mudah dipasarkan, dan
keuntungan membuat tempe tergolong cukup besar (sekitar 30%). Pertimbangan
dari sisi konsumen, tempe merupakan pangan tradisional Indonesia yang harganya
murah, mudah dijumpai di pasar, mudah diolah menjadi makanan.
Namun
demikian kuantitas konsumsi kedelai sebagai bahan dasar tempe sebenarnya
masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan Jepang atau Cina. Tempe juga
kaya akan zat gizi dan non gizi yaitu isoflavon
sehingga sangat bermanfaat bagi
wanita menopause. Kandungan gizi dan non gizi pada tempe melebihi kedelai.
Salah satu efek isoflavon adalah hipokolesterolemia dan antioksidasi yang jika
dikonsumsi akan mampu meningkatkan enzim antioksidan sehingga memperbaiki
profil lipid darah.
kesehatan
Namun demikian, hingga saat ini
belum terlalu popular di masyarakat.
khasiat tempe untuk
Mengingat harganya yang
murah, tempe masih dipandang sebelah mata, status tempe sebagai makanan
tergolong rendah, dan umumnya dianggap sebagai makanan bagi golongan
masyarakat kelas bawah. Oleh sebab itu perlu dikaji lebih mendalam manfaat
tempe bagi kesehatan khususnya terhadap profil lipid, enzim antioksidan (SOD),
LDL teroksidasi dan MDA pada kelompok rentan seperti wanita menopause.
Pertanyaan Penelitian
Beberapa masalah penting berkaitan dengan pemberian tempe pada wanita
menopause adalah sebagai berikut:
1. Apakah pemberian tempe pada wanita menopause akan memperbaiki profil
lipid (menurunkan K-T, K-LDL dan trigliserida serta meningkatkan K-HDL)?
2. Apakah pemberian tempe pada wanita menopause akan meningkatkan enzim
SOD?
3. Apakah pemberian tempe pada wanita menopause akan menurunkan OxLDL?
4. Apakah pemberian tempe pada wanita menopause akan menurunkan MDA?
20
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum:
Mengkaji efek pemberian tempe terhadap profil lipid, enzim SOD, Ox-LDL, dan
MDA pada wanita menopause.
Tujuan Khusus:
1. Menguji kandungan asam amino tempe
2. Menguji kandungan asam lemak tempe.
3. Menguji kandungan isoflavon tempe berdasar frekuensi perebusan kedelai.
4. Menguji kandungan isoflavon tempe kukus dan membandingkan dengan
metode pemasakan lain.
5. Menguji kadar profil lipid (K-total, K-LDL, K-HDL, trigliserida) sebelum
dan setelah intervensi tempe.
6. Menguji kadar enzim SOD dan Seng sebelum dan setelah intervensi
tempe.
7. Menguji kadar Ox-LDL sebelum dan setelah intervensi tempe.
8. Menguji kadar MDA sebelum dan setelah intervensi tempe.
9. Menguji pada kelompok mana intervensi tempe lebih bermanfaat.
Manfaat Penelitian
1. Masyarakat: meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat
tempe khususnya untuk menurunkan risiko terhadap penyakit jantung.
Penurunan prevalensi kesakitan dan kematian akibat PJK akan membawa
keuntungan, yaitu menghemat biaya pengobatan yang besar, meningkatkan
produktivitas baik pada
usia produktif maupun usia lanjut dan
meningkatkan usia harapan hidup.
2. Pemerintah: menjadi acuan untuk sosialisasi dalam rangka meningkatkan
gerakan makan tempe yang murah dan bergizi sebagai upaya pencegahan
PJK.
3. Institusi Pendidikan: memberikan masukan ilmiah di bidang pangan, gizi
dan kesehatan untuk pencegahan PJK dan penyakit degeneratif lainnya.
21
4. Lain-lain: penelitian ini juga diharapkan mengangkat status tempe sebagai
makanan tradisional khas Indonesia yang mempunyai kemampuan sebagai
pangan fungsional.
Hipotesis
Ho : Tidak ada perbedaan antara perlakuan intervensi tempe dan kontrol terhadap
profil
lipid (kolesterol total, K-LDL, K-HDL, trigliserida), aktivitas
SOD, Ox-LDL dan MDA.
H1 : Perlakuan intervensi tempe akan menyebabkan profil lipid lebih baik
(kolesterol total, K-LDL, trigliserida lebih rendah dan K-HDL lebih tinggi),
aktivitas SOD lebih tinggi serta Ox-LDL dan MDA yang lebih rendah
dibanding kontrol.
Download