11 PENDAHULUAN Latar Belakang Menopause adalah kondisi fisiologis pada wanita dimana menstruasi berhenti secara permanen akibat penurunan fungsi ovarium yang mengakibatkan penurunan produksi hormon estrogen (Cassidy 2006). Menopause dapat terjadi secara alami atau tidak alami, misalnya karena pengangkatan sel telur. Seorang wanita disebut memasuki masa menopause jika tidak mengalami menstruasi selama 12 bulan berturut-turut. Usia mulai menopause bervariasi dimulai sekitar 45 tahun hingga 55 tahun, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau melalui proses dimana menstruasi terjadi secara tidak teratur menjelang memasuki masa menopause. Turunnya produksi estrogen saat menopause juga dapat menyebabkan gangguan metabolisme lipid sehingga dapat memperburuk profil lipid darah dan oksidasi dalam tubuh. Masalah selanjutnya yang perlu mendapat perhatian sehubungan dengan menurunnya estrogen pada wanita adalah kemungkinan meningkatnya risiko penyakit jantung koroner (PJK) yang merupakan penyebab kematian utama pada wanita menopause (Teede et al. 2001; Dewell et al. 2002; Cuevas et al. 2003; Cassidy et al 2006). Faktor risiko PJK meliputi faktor risiko lipid (tinggi kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida dan rendah kolesterol HDL) serta faktor risiko non lipid (hipertensi, obesitas, diabetes mellitus, rokok, aktifitas fisik, konsumsi, stres, dan obat) (Schlenker et al. 2007). Perubahan profil lipid selain disebabkan karena faktor fisiologis seperti proses penuaan juga dapat disebabkan karena adanya perubahan gaya hidup bagi sebagian penduduk khususnya yang berada di perkotaan. Pola makan yang awalnya tinggi karbohidrat, serat, vitamin dan mineral saat ini banyak berubah menjadi tinggi lemak, garam, namun rendah serat, vitamin dan mineral. Perubahan pola makan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan atau transisi penyakit dan gizi. Jika dahulu masalah gizi lebih didominasi oleh masalah gizi kurang, seperti KEP (Kurang Energi Protein), KVA (Kurang Vitamin A), GAKY (Gangguan Akibat Kurang Yodium) dan AGB (Anemia Gizi Besi) namun saat ini, dimana masalah gizi kurang masih belum tuntas teratasi, juga terjadi peningkatan masalah gizi lebih terutama di wilayah perkotaan. Oleh karena itu Indonesia 12 mempunyai dua masalah gizi sekaligus (double burden), yang tentu saja memerlukan penanganan yang lebih spesifik tergantung pada target sasaran. Selain terjadinya transisi gizi, Indonesia juga mengalami transisi penyakit, jika dahulu didominasi oleh penyakit menular seperti ISPA dan diare, saat ini berubah menjadi penyakit tidak menular atau penyakit degeneratif, misalnya jantung koroner, diabetes mellitus, stroke, atherosklerosis. Peningkatan gizi lebih dan penyakit degeneratif menyebabkan terjadinya penurunan kualitas hidup manusia seperti penurunan produktivitas dan penurunan Usia Harapan Hidup (UHH). Seiring dengan meningkatnya usia, proses penuaan akan terjadi, termasuk bertambahnya senyawa radikal bebas di dalam tubuh. Radikal bebas adalah suatu molekul atau atom yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan, sehingga sangat labil dan reaktif menyerang molekul di sekitarnya dan dapat mengakibatkan kerusakan struktur sel dan fungsinya (Marks 2000). Radikal bebas bisa terjadi karena faktor di dalam tubuh (endogen) maupun dari luar tubuh (eksogen). Faktor dari tubuh terjadi dari proses metabolisme misalnya meningkatnya aktivitas oksidasi di dalam tubuh sedangkan faktor dari luar dapat disebabkan oleh pengaruh polusi atau makanan. Soeatmaji (1998) menyatakan bahwa lipid di dalam tubuh merupakan target utama radikal bebas. Senyawa radikal bebas dapat merusak lipid khususnya lipid pada kolesterol-low density lipoprotein (K-LDL). Terjadinya serangan radikal bebas pada K-LDL sering disebut dengan LDL teroksidasi (Ox-LDL). Kolesterol-LDL sangat mudah teroksidasi dibanding lipoprotein lain, karena komposisinya sebagian besar terdiri dari asam lemak tidak jenuh ganda atau PUFA (Gropper et al. 2005). Proses berkelanjutan dari radikal bebas khususnya pada jaringan lipid akan menyebabkan terbentuknya peroksidasi lipid yang selanjutnya akan menghasilkan produk akhir seperti misalnya malondialdehyde (MDA). Jumlah MDA dapat digunakan sebagai indikator adanya kerusakan akibat radikal bebas atau indikator keaktifan proses peroksidasi lipid. Berbagai literatur menyatakan bahwa ada hubungan antara MDA dalam darah dan atherosklerosis pada dinding arteri, sehingga tingginya kadar MDA dapat dikategorikan sebagai salah satu faktor risiko terjadinya PJK. 13 Tingginya radikal bebas dalam tubuh dapat disebabkan karena rendahnya aktivitas enzim antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa yang memberikan elektron atau reduktan sehingga dapat mencegah terjadinya radikal bebas melalui pencegahan reaksi oksidasi. eksogen. Antioksidan terdiri dari antioksidan endogen dan Antioksidan endogen disintesa di dalam tubuh seperti superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase. Enzim SOD merupakan pertahanan pertama terhadap proses oksidasi yang berlebihan di dalam tubuh dan aktifitasnya bergantung pada beberapa logam mineral seperti Zn, Cu, Fe dan Mn. Kedelai adalah bahan pangan sumber protein nabati. Selain sebagai sumber protein, kedelai juga merupakan sumber isoflavon yang dapat berfungsi untuk memperbaiki profil lipid. Konsumsi matriks protein kedelai atau protein kedelai dalam bentuk utuh diketahui lebih menguntungkan dibanding dalam bentuk konsentrat isoflavon saja (Potter et al. 1998; Steinberg et al. 2003). Meskipun peran setiap komponen yang terdapat dalam kedelai terhadap lemak belum sepenuhnya dimengerti, namun diperkirakan protein kedelai dapat mempengaruhi metabolisme hepatik dari kolesterol atau lipoprotein (Potter et al. 1998) atau pengaturan reseptor LDL (Anderson et al. 2003). Tempe merupakan produk olahan kedelai melalui proses fermentasi dengan penambahan Rhizopus oligosporus dan dikenal sebagai makanan tradisional yang sangat populer di Indonesia. Tempe dikonsumsi oleh lebih dari separuh penduduk di Indonesia dan menjadi lauk maupun makanan camilan yang sering dikonsumsi khususnya pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Selain itu tempe juga mudah diproduksi, harga relatif terjangkau, tersedia di pasar, serta mudah dimasak. Sebagai pangan tradisional, tempe mempunyai komposisi gizi dan non gizi yang lebih baik dibanding kedelai. Dasar pemikiran Saat ini Indonesia dihadapkan pada masalah gizi ganda, dimana masalah gizi kurang masih belum terselesaikan namun di sisi lain masalah gizi lebih mulai mengalami peningkatan yang cukup memprihatinkan. Masalah gizi lebih akan diikuti dengan munculnya penyakit degeneratif seperti atherosklerosis, diabetes mellitus, hipertensi, stroke, dan PJK. Peningkatan penyakit degeneratif dapat disebabkan antara lain karena perubahan gaya hidup, termasuk perubahan pola 14 makan, yaitu dari pola makanan tinggi serat dan karbohidrat menjadi tinggi lemak dan natrium namun rendah serat, vitamin dan mineral. Prevalensi PJK di Indonesia meningkat dalam sepuluh tahun terakhir, dari 16.0% pada tahun 1991 menjadi 26.4% pada tahun 2001. Penyakit tersebut menjadi penyebab kematian terbesar di Indonesia. Data terbaru hasil Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung sebesar 7.2%, diabetes mellitus 1.1%, hipertensi 29.8% dan stroke 0.8%. Sementara stroke merupakan penyebab kematian tertinggi untuk penyakit tidak menular, diikuti hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit jantung. Risiko penyakit akan semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Secara rinci data penyakit berdasar jenis kelamin belum tersedia di Indonesia, namun berdasar teori dan data epidemiologi menunjukkan bahwa wanita akan mengalami peningkatan khususnya PJK setelah mengalami menopause. Berkurangnya estrogen pada wanita menopause merupakan salah satu alasan penggunaan estrogen replacement therapy (ERT) yang mempunyai efek positif pada serum lipid sehingga mampu menurunkan risiko PJK (Chiechi et al. dkk, 2002). Namun terapi ini juga berisiko mengakibatkan terjadinya komplikasi tromboembolik dan ketidaknyamanan yang lain sehingga banyak wanita menopause beralih memilih menggunakan pendekatan alami (Glazier et al. 2001 dan Barnes et al. 2003). Protein kedelai, merupakan komponen penting dalam diet penduduk di wilayah dunia bagian timur dan diketahui merupakan salah satu faktor lingkungan yang menonjol dalam pencegahan PJK (Cuevas et al. 2003 dan Rimbach et al. 2008). Hasil penelitian di berbagai populasi di banyak negara menunjukkan bahwa protein kedelai menurunkan kolesterol plasma, triasilgliserol dan glukosa darah (Anderson et al. 1995; Griffin et al. 1999; Blair et al. 2006; Palanisamy et al. 2008) dan berperan sebagai antioksidan yang potensial (Lichtenstein et al. 1998). Konsumsi kedelai juga memperbaiki fungsi endothelial koroner (Mattan et al. 2007). Efek hipokolesterolemia dan antioksidan tersebut setidaknya merupakan bagian dari komponen dalam kedelai yang disebut isoflavon atau fitoestrogen (Cuevas et al. 2003). 15 Telah diketahui selama 60 tahun terakhir bahwa mengganti konsumsi hewani dengan protein dari kacang-kacangan dapat menurunkan hiperlipoproteinemia dan atherosklerosis. Dalam 10-12 tahun terakhir penelitian tentang hal tersebut semakin meningkat dan mendalam, dan membuktikan bahwa konsumsi protein nabati tidak saja memperbaiki beberapa aspek kesehatan pada wanita menopause tetapi juga memperbaiki kesehatan jantung (Clarkson et al. 2002). Isoflavon merupakan sub-klas flavonoid, adalah komponen non gizi pada tanaman dan sangat mirip struktur kimia dengan estrogen (Setchell & Adlercreuts 1988; Rimbach et al. 2007). Dalam tanaman, isoflavon terdiri dari empat bentuk isomer yaitu : 1) aglikon (unconjugates) dan glukosida (conjugates) yang terdiri dari 2) β-glucosides (genistin, daidzin, glycitin), 3) aceytyl-β-glycosides dan 4) malonyl-β-glycosides (Wang and Murphy 1994; Xu et al. 2000). Banyak studi tentang intervensi suplemen protein kedelai baik dalam bentuk isolat, makanan utuh maupun kombinasi keduanya terhadap serum kolesterol total (K-T), Kolesterol LDL (K-LDL), trigliserida dan Kolesterol HDL (K-HDL) yang telah dilakukan pada manusia dan hewan. Hasil meta analisis randomized controlled trial (RCT) menunjukkan bahwa suplementasi tersebut mampu menurunkan K-T, K-LDL dan trigliserida serta sedikit meningkatkan KHDL (Anderson et al. 1995; Reynolds et al. 2006; Hooper et al. 2008). Hasil meta analisis terbaru mengkonfirmasi efek berbagai kelas dalam flavonoid, dimana isolat protein kedelai signifikan menurunkan tekanan darah diastolik dan K-LDL (Hooper et al. 2008). Hasil penelitian tentang intervensi kedelai (isolat protein kedelai, isolat isoflavon kedelai maupun matrik kedelai dalam bentuk makanan) secara sistematik menguatkan berbagai meta analisis sebelumnya bahwa terdapat efek kedelai dan isoflavon pada faktor risiko PJK, yaitu menurunkan K-LDL tetapi tidak ada efek terhadap kenaikan K-HDL. Protein kedelai dapat menurunkan K-LDL sebesar 0.2 mmol/L, dan diperkirakan dapat menurunkan 3% semua kasus kematian dan 6% penurunan kematian karena PJK (Hooper et al. 2008). Tempe merupakan produk olahan kedelai melalui proses fermentasi sehingga menyebabkan peningkatan isoflavon total khususnya dari aglikon yang 16 jauh lebih tinggi dibanding kedelai (Wang and Murphy,1994). Saat ini tempe dipertimbangkan sebagai pangan fungsional (functional food) karena kandungan gizi dan substansi aktifnya. Selain itu tempe juga mudah diproduksi, harga relatif terjangkau, tersedia di pasar, dan mudah dimasak. Sebagai pangan tradisional, tempe mempunyai komposisi gizi yang lebih baik dibanding kedelai. Aktivitas lipase R. oligosporus menyebabkan level asam lemak bebas pada tempe lebih tinggi dibanding kedelai. Asam lemak bebas dilaporkan dapat menghambat beberapa enzim seperti: glikolitik, glikoneogenik, lipogenik proteolitik, dan menghambat sintesa asam lemak. Setelah fermentasi, kandungan vitamin B meningkat (kecuali thiamin). Vitamin A diproduksi oleh R.oligosporus dalam bentuk -carotene, sedangkan vitamin D diproduksi dalam bentuk ergosterol, dan vitamin E dalam bentuk tocopherol. berperan sebagai antioksidan (Pawiroharsono 1997). Vitamin tersebut juga Tempe mengandung asam amino bebas sekitar 3-10 kali lebih besar dibanding kedelai. Hal tersebut karena R. oligosporus akan menghidrolisa protein menjadi asam amino dan peptida. Asam amino seperti ornitin, lisin, arginin, dan histidin merupakan antioksidan yang kuat (Tamura et al. 1998). Aktivitas antioksidan tempe ada dalam bentuk tidak terikat yaitu aglikon seperti genistein, daidzein, glycetein dan faktor 2 yang lebih kuat dibanding bentuk glukosida seperti genistin dan daidzin (Pratt 1979; Kurzer et al. 1997). Genistein dan daidzein mampu mengikat reseptor β-estrogen yang ditemukan di sistem saraf pusat, tulang, dinding vaskular dan saluran urogenital (Nahas et al. 2006). Genistein merupakan inhibitor sangat kuat terhadap produksi hidrogen peroksida dan menghambat pembentukan anion superoksida. Genistein juga menunjukkan kemampuan meningkatkan aktivitas enzim yang berperan dalam antioksidan seperti SOD, katalase, glutathione peroksidase dan glutathione reductase (Wei et al. 1995), serta memakan radikal, mengikat logam dan menghambat tirosin kinase (Kiriakidis et al. 2005). Banyak studi menunjukkan hasil bahwa kedelai mempunyai potensi sebagai penangkal radikal yang lebih kuat dibanding sayuran lain seperti wortel, buncis, juice buah (Ou et al. 2002 dan Wu et al. 2004). Sejalan dengan hal tersebut peran antioksidan dalam tempe ternyata juga lebih kuat dibanding 17 tocopherol (Jha et al. 1997). Efek antioksidan pada tempe tampaknya merupakan efek sinergis dari tocopherol (terdapat dalam kedelai) dan asam amino yang dibebaskan selama fermentasi (Hoppe et al. 1997). Penelitian Arbai (1994) menunjukkan bahwa pemberian 150 gram tempe per hari selama 2 minggu pada laki-laki hiperkolesterol ternyata dapat menurunkan Kolesterol Total (K-T) sebesar 8.3%, K-LDL sebesar 8.29%, meningkatkan K-HDL sebesar 8.47% dan menurunkan rasio K-T:K-HDL sebesar 13.38%. Sementara itu penelitian Sugyarto (1990) yang memberikan 200 gram tempe selama 2 minggu pada laki-laki dan wanita juga menunjukkan efek yang baik pada perbaikan profil lipid. Astuti (1992) dan Kasaoka et al (1997) menguji distribusi Fe, Cu dan Zn pada sel tikus dan ternyata mineral tersebut jauh lebih tinggi pada tikus yang diberi tempe dibanding yang diberi kasein atau kedelai. Distribusi mineral dalam sel hati mengindikasikan bahwa mineral tersebut aktif pada berbagai reaksi intraselular termasuk membantu kerja enzim antioksidan. Selanjutnya Astuti (1993) dan Kasaoka et al (1997) memberikan perlakuan diet termasuk tempe pada tikus menyatakan bahwa MDA tikus yang diberi tempe hasilnya paling rendah dibanding yang diberi diet lain. Diperkirakan tempe mengandung substansi yang dapat meningkatkan SOD. Sejauh ini belum diketahui pengaruh tempe terhadap profil lipid, enzim antioksidan, LDL teroksidasi dan MDA pada wanita menopause. Sulit untuk meneliti pengaruh tempe pada penyakit jantung dan penyakit degeneratif lainnya kecuali pada binatang, sehingga pada manusia pada umumnya penelitian hanya melihat pengaruhnya terhadap faktor risiko penyakit. Mengingat kandungan lemak, protein, isoflavon dan beberapa vitamin serta mineral tempe jauh lebih baik dibanding kedelai, maka diperkirakan fungsi tempe sebagai pangan yang bermanfaat bagi kesehatan khususnya efek hipokolesterolemia dan antioksidan jauh lebih tinggi dibanding kedelai (Tabel 8). Namun penelitian intervensi pada kelompok rentan khususnya pada wanita menopause belum pernah dilakukan secara menyeluruh, sehingga perlu kajian secara khusus untuk melihat pengaruh konsumsi tempe terhadap profil lipid, radikal bebas dan enzim antioksidan pada wanita menopause. Jika hasil 18 penelitian ini dapat menjawab hipotesis maka diharapkan dapat menurunkan risiko penyakit jantung dan penyakit degeneratif lain, meningkatkan usia harapan hidup (UHH), meningkatkan produktivitas kerja dan menekan biaya kesehatan yang tinggi pada golongan usia dewasa lanjut atau manula. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi salah satu upaya pencegahan penyakit sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Masalah Penelitian Kebutuhan untuk memahami tentang kedelai dan PJK pada wanita adalah karena penyakit ini merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada wanita menopause (Clarkson et al. 2002). Risiko disebabkan karena penurunan produksi estrogen yang akan mempengaruhi metabolisme lipid, sehingga akan memperburuk profil lipid. Pernyataan bahwa semua wanita menopause membutuhkan ERT adalah sesuatu yang irrasional dan tidak menguntungkan (Nahas et al. 2006). Meskipun ERT mempunyai efek positif pada serum lipid dan mampu menurunkan risiko PJK (Chiechi et al. 2002), tetapi terapi ini juga berisiko mengakibatkan terjadinya beberapa keluhan dan komplikasi (Hulley et al. 2002). Di Indonesia diperkirakan hanya 5% wanita yang menggunakan ERT, dan tidak diketahui berapa persentase pengguna yang tidak melanjutkan terapi tersebut. Data di USA menunjukkan bahwa 70% pengguna ERT menghentikan terapi ini pada tahun pertama. Alasan penghentian adalah perdarahan, mastalgia, mual, migraine, odema dan ketakutan terhadap risiko kanker payudara (Glazier et al. 2001; Barnes et al. 2003). Alasan tersebut menyebabkan banyak wanita beralih menggunakan pendekatan alami, seperti meningkatkan frekuensi konsumsi makanan sumber fitoestrogen. Penelitian tentang manfaat mengganti konsumsi hewani dengan protein nabati telah berlangsung lebih dari enam dasawarsa dan hasilnya menunjukkan bahwa penggantian tersebut berpengaruh positif terhadap penurunan hiperlipoprotein dan atherosklerosis yang merupakan risiko penyakit jantung. Secara lebih spesifik berbagai studi tentang manfaaf kedelai dan komponen non gizi di dalamnya telah dimulai sejak tiga dasawarsa yang lalu, dan dalam sepuluh tahun terakhir diketahui bahwa kedelai dan fitoestrogen tidak saja mempunyai 19 efek potensial bagi kesehatan wanita menopause namun juga memperbaiki kesehatan jantung (Clarkson et al. 2002). Tempe dipilih sebagai bahan intervensi dengan beberapa pertimbangan. Pertimbangan dari sisi produsen tempe adalah: mudah mendapatkan kedelai sebagai bahan dasar, proses pengolahan sederhana, mudah dipasarkan, dan keuntungan membuat tempe tergolong cukup besar (sekitar 30%). Pertimbangan dari sisi konsumen, tempe merupakan pangan tradisional Indonesia yang harganya murah, mudah dijumpai di pasar, mudah diolah menjadi makanan. Namun demikian kuantitas konsumsi kedelai sebagai bahan dasar tempe sebenarnya masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan Jepang atau Cina. Tempe juga kaya akan zat gizi dan non gizi yaitu isoflavon sehingga sangat bermanfaat bagi wanita menopause. Kandungan gizi dan non gizi pada tempe melebihi kedelai. Salah satu efek isoflavon adalah hipokolesterolemia dan antioksidasi yang jika dikonsumsi akan mampu meningkatkan enzim antioksidan sehingga memperbaiki profil lipid darah. kesehatan Namun demikian, hingga saat ini belum terlalu popular di masyarakat. khasiat tempe untuk Mengingat harganya yang murah, tempe masih dipandang sebelah mata, status tempe sebagai makanan tergolong rendah, dan umumnya dianggap sebagai makanan bagi golongan masyarakat kelas bawah. Oleh sebab itu perlu dikaji lebih mendalam manfaat tempe bagi kesehatan khususnya terhadap profil lipid, enzim antioksidan (SOD), LDL teroksidasi dan MDA pada kelompok rentan seperti wanita menopause. Pertanyaan Penelitian Beberapa masalah penting berkaitan dengan pemberian tempe pada wanita menopause adalah sebagai berikut: 1. Apakah pemberian tempe pada wanita menopause akan memperbaiki profil lipid (menurunkan K-T, K-LDL dan trigliserida serta meningkatkan K-HDL)? 2. Apakah pemberian tempe pada wanita menopause akan meningkatkan enzim SOD? 3. Apakah pemberian tempe pada wanita menopause akan menurunkan OxLDL? 4. Apakah pemberian tempe pada wanita menopause akan menurunkan MDA? 20 Tujuan Penelitian Tujuan Umum: Mengkaji efek pemberian tempe terhadap profil lipid, enzim SOD, Ox-LDL, dan MDA pada wanita menopause. Tujuan Khusus: 1. Menguji kandungan asam amino tempe 2. Menguji kandungan asam lemak tempe. 3. Menguji kandungan isoflavon tempe berdasar frekuensi perebusan kedelai. 4. Menguji kandungan isoflavon tempe kukus dan membandingkan dengan metode pemasakan lain. 5. Menguji kadar profil lipid (K-total, K-LDL, K-HDL, trigliserida) sebelum dan setelah intervensi tempe. 6. Menguji kadar enzim SOD dan Seng sebelum dan setelah intervensi tempe. 7. Menguji kadar Ox-LDL sebelum dan setelah intervensi tempe. 8. Menguji kadar MDA sebelum dan setelah intervensi tempe. 9. Menguji pada kelompok mana intervensi tempe lebih bermanfaat. Manfaat Penelitian 1. Masyarakat: meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat tempe khususnya untuk menurunkan risiko terhadap penyakit jantung. Penurunan prevalensi kesakitan dan kematian akibat PJK akan membawa keuntungan, yaitu menghemat biaya pengobatan yang besar, meningkatkan produktivitas baik pada usia produktif maupun usia lanjut dan meningkatkan usia harapan hidup. 2. Pemerintah: menjadi acuan untuk sosialisasi dalam rangka meningkatkan gerakan makan tempe yang murah dan bergizi sebagai upaya pencegahan PJK. 3. Institusi Pendidikan: memberikan masukan ilmiah di bidang pangan, gizi dan kesehatan untuk pencegahan PJK dan penyakit degeneratif lainnya. 21 4. Lain-lain: penelitian ini juga diharapkan mengangkat status tempe sebagai makanan tradisional khas Indonesia yang mempunyai kemampuan sebagai pangan fungsional. Hipotesis Ho : Tidak ada perbedaan antara perlakuan intervensi tempe dan kontrol terhadap profil lipid (kolesterol total, K-LDL, K-HDL, trigliserida), aktivitas SOD, Ox-LDL dan MDA. H1 : Perlakuan intervensi tempe akan menyebabkan profil lipid lebih baik (kolesterol total, K-LDL, trigliserida lebih rendah dan K-HDL lebih tinggi), aktivitas SOD lebih tinggi serta Ox-LDL dan MDA yang lebih rendah dibanding kontrol.