BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketika Christopher Columbus mendarat pertama kali tahun 1482 di Kepulauan Karibia, dia melihat upacara ritual suku Indian yang menghirup asap dari tumpukan daun tembakau lewat sebuah pipa. Mengisap asap tembakau, kala itu bagi orang Indian menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan. Konon, asap itu berkhasiat dan dapat memberi semangat. Dari sinilah kemudian Columbus mengutus anak buahnya mencari tahu dari mana mereka mendapatkan tumbuhan tembakau. Sebagai seorang utusan raja Spanyol, tentu saja dia berpikir ini mungkin akan menjadi komoditas menarik di masa depan. Belakangan kita tahu, perkembangan dari kebiasaan orang Indian menghirup asap, menjadi tradisi kaum Barok di abadabad setelah itu. Sekitar tahun 1800-an di Kuba ada kegiatan masyarakat di Quelta Abajo yang membuat rokok dari daun tembakau yang digulung, untuk dijadikan barang dagangan yang paling dicari. Dari sinilah cerutu berkembang hingga kini. Kuba yang memulainya, dan sampai sekarang negara tersebut tak tergoyahkan sebagai negeri penghasil cerutu bermutu. Setelah Kuba yang menduduki papan atas, menyusul Dominika, Brasil, Meksiko, Equador, Jamaica, Kepuluan Canary, Filipina dan Amerika Serikat. Saat ini cerutu telah menjadi bagian dari tingkat kesuksesan konsumennya. Aficionado, julukan untuk penikmat cerutu mempunyai perkumpulan dan tempat sendiri untuk menikmati kekhasan dari tiap cerutu. Dahulu cerutu hanya dapat dinikmati kalangan tua atau hanya mereka yang mempunyai tingkat kekayaan di atas rata – rata penduduk, namun kini bisa dinikmati secara luas sebagai bagian dari gaya hidup. Begitu juga halnya di Indonesia. Para penjual cerutu kini tidak hanya menjual cerutunya saja dalam strategi pemasaran mereka, namun mereka juga menyediakan tempat untuk ‘nyigar’ atau disebut juga dengan “Cigar Lounge”, dimana di tempat tersebut dibuat sedemikian nyaman bagi para konsumen untuk “nyigar”. 1