II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Ikan Lele Sangkuriang Ikan lele Sangkuriang merupakan hasil perbaikan genetika lele Dumbo melalui silang balik (backcross), sehingga klasifikasinya sama dengan lele Dumbo. Meskipun induk awal lele Sangkuriang berasal dari ikan lele Dumbo, antara keduanya tetap memiliki perbedaan. Secara umum morfologi ikan lele Sangkuriang tidak memiliki banyak perbedaan dengan ikan lele Dumbo. Hal tersebut terjadi karena ikan lele Sangkuriang sendiri merupakan hasil silang dari induk lele Dumbo. Tubuh ikan lele Sangkuriang mempunyai bentuk tubuh memanjang, berkulit licin, berlendir, dan tidak bersisik. Bentuk kepala menggepeng (depress), dengan mulut yang relatif lebar, mempunyai empat pasang sungut. Ikan lele Sangkuriang memiliki tiga sirip tunggal yaitu sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur. Sementara itu sirip yang berpasangan ada dua yaitu sirip dada dan sirip perut. Pada sirip dada terdapat sepasang patil atau duri keras yang dapat digunakaan untuk mempertahankan diri dan kadang-kadang dapat dipakai untuk berjalan dipermukaan tanah. Pada bagian atas ruangan rongga insang terdapat alat pernapasan tambahan yang berbentuk seperti batang pohon yang penuh dengan kapiler-kapiler darah. Lukito (2002) menyatakan ikan lele Sangkuriang dapat hidup di lingkungan yang kualitas airnya sangat jelek. Kualitas air yang baik untuk pertumbuhan yaitu kandungan oksigen sekitar 6 ppm, karbondioksida kurang dari 12 ppm, suhu antara 24°C-26°C, NH3 kurang dari 1 ppm dan cahaya tembus matahari ke dalam air maksimum 30 cm. Ikan lele dikenal aktif pada malam hari. Pada siang hari, ikan lele lebih suka berdiam di dalam lubang atau tempat yang tenang dan aliran air tidak terlalu keras. Ikan lele memiliki kebiasaan mengaduk-aduk lumpur dasar untuk mencari binatang-binatang kecil yang terletak di dasar perairan (Simanjuntak 1989). 2.2. Kajian Penelitian Terdahulu Pada kajian penelitian terdahulu, peneliti mengambil tinjauan beberapa penelitian yang terkait dengan topik penelitian yaitu kelayakan usaha, baik pada 9 sektor budidaya komoditas maupun pada perusahaan. Terdapat tinjauan penelitian terdahulu dalam kajian ini yang membahas mengenai kelayakan usaha pembenihan dan pembesaran ikan lele. Penelitian Anggraini (2008), Kemala (2010), Rohmawati (2010), Rubiana (2010), Sari Sulaiman (2010), dan Surahmat (2009) memiliki tujuan yang sama, yakni menganalisis kelayakan usaha dilihat dari aspek finansial dan non finansial aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek lingkungan dan sosial ekonomi serta menganalisis sensitivitas kelayakan usaha. Namun dalam Rubiana (2010) menambahkan aspek hukum pada analisis non finansial. Perbedaan ini dipicu akibat sudah atau belum adanya perijinan resmi legalitas (seperti SIUP) yang ada dalam perusahaan tempat penelitian terkait. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian Anggraini (2008), Kemala (2010), Rohmawati (2010), Rubiana (2010), Sari Sulaiman (2010), dan Surahmat (2009) adalah metode analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif untuk mengkaji aspek non finansial yakni aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek hukum, aspek lingkungan dan sosial ekonomi. Analisis kuantitatif untuk mengkaji aspek finansial berdasarkan kriteria kelayakan investasi yakni Net Present Value (NPV), Internal Rate Return (IRR), Net Benefit Cost (Net B/C Ratio), Payback Period, dan analisis sensitivitas switching value. Data yang diperoleh diolah secara manual dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel. Hal yang membedakan penelitian Anggraini (2008), Kemala (2010), Rohmawati (2010), Rubiana (2010), Sari Sulaiman (2010), dan Surahmat (2009) adalah pada komoditi yang diteliti. Pada Anggaraini (2008) ) melakukan penelitian kelayakan pada komoditi ikan mas, Kemala (2010) dan Sari Sulaiman (2010) melakukan penelitian kelayakan pada komoditi ikan bawal air tawar, Rohmawati (2010) melakukan penelitian kelayakan pada komoditi ikan hias air tawar, Rubiana (2010) melakukan penelitian kelayakan pada komoditi ikan bandeng. Rubiana (2010) melakukan analisis sensitivitas switching value menunjukkan usaha pembesaran ikan bandeng dengan KJA yang menggunakan dua skenario yakni Skenario I menggunakan modal sendiri dan Skenario II 10 menggunakan modal pinjaman dimana kedua Skenario memiliki kepekaan tinggi jika dilihat dari parameter penurunan harga jual ikan bandeng, sedangkan parameter pengingkatan harga pakan dan penurunan produksi dinilai tidak sensitif. Namun dalam penelitian Kemala (2010) kenaikan harga (10 persen) tidak menunjukkan perubahan yang signifikan pada Skenario I (Usaha pembenihan ikan bawal air tawar), Skenario II (Usaha pembenihan dan pendederan ikan bawal air tawar), dan III (Usaha pembenihan, pendederan, pembesaran ikan bawal air tawar). Namun kenaikan harga pakan tersebut berpengaruh sangat sensitif pada Skenario IV (Usaha pembesaran ikan bawal air tawar). Nur (2012) dalam penelitiannya menyatakan kriteria kelayakan dari aspek non finansial yakni aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial ekonomi dan budaya. Pada aspek pasar yakni permintaan akan produk melebihi penawaran yang ada di pasar dan strategi pemasaran yang diterapkan baik dari harga, produk, promosi, dan distribusi menjadikan produk dapat diterima dan bersaing di pasar. Pada aspek teknis yakni secara keseluruhan tidak terdapat kendala atau permasalahan yang menghambat jalannya usaha. Pemilihan lokasi usaha, skala usaha, proses produksi, tata letak, dan pemilihan teknologi mampu menghasilkan produk secara optimal dan mendukung untuk dilakukan pengembangan usaha. Pada aspek manajemen dan hukum yakni pelaksanaan fungsi manjemen terlaksana dengan baik dan benar tidak menentang hukum dan izin usaha dari pihak RT dan Desa sudah dimiliki oleh Cahya Mandiri. Usaha ini juga telah memiliki izin usaha resmi berupa SIUP dan TDP. Pada aspek sosial ekonomi budaya yakni tidak menghasilkan limbah, dapat meningkatkan pendapatan keluarga pekerja, dan tidak bertentangan dengan kebiasaan masyarakat sekitar baik dari segi agama, nilai sosial, dan norma sosial masyarakat. Lestari (2011) melakukan penelitian kelayakan usaha pembenihan pada komoditi ikan lele Sangkuriang di Usaha Bapak Endang, Desa Gadog Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor Jawa Barat. Dari hasil analisis finansial didapatkan bahwa usaha Bapak ending menghasilkan nilai NPV sebesar Rp 364.446.022,00, IRR sebesar 32,25 persen, Net B/C sebesar 2,20 dan payback period selama 3,97 tahun. Kemudian dilakukan analisis pengembangan dengan 11 menggunakan lahan sewa dan modal sendiri menghasilkan nilai NPV sebesar rp 861.543.234,00, IRR sebesar 78,78 persen, Net B/C sebesar 4,20 dan payback period selama 1,89 tahun. Penelitian tersebut menitikberatkan pada pengembangan usaha. Hal inilah yang membedakan penelitian sekarang dengan penelitian terdahulu, Lestari (2011). Ini terjadi karena adanya perbedaan umur usaha dan skala ekonomis antara penelitian Lestari (2011) dengan penelitian sekaran di Perusahaan Parakbada, Kelurahan Katulampa, Bogor. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, persamaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian terdahulu yaitu terletak pada kriteria analisis kelayakan usaha yaitu menggunakan alat analsis data seperti Net Present Value (NPV), Net B/C, Internal Rate of Return (IRR), dan analisis Switching value. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah mengambil topik dan komoditi yang berbeda yaitu analisis kelayakan usaha pembenihan dan pembesaran ikan lele dan tempat yang berbeda dengan sebelumnya. Dalam menentukan periode pengembalian, penelitian ini tidak menggunakan Payback Period namun menggunakan Discounted Payback Period (DPP). 12