Perlunya Perspektif Gender Masuk dalam Kebijakan

advertisement
Perlunya Perspektif Gender Masuk dalam Kebijakan
Pendidikan
Kamis, 19 Juni 2008 WIB, Oleh: Gusti
Yogya, KU
Kesetaraan dan keadilan gender telah berhasil menjadi arus utama dalam dokumen kebijakan
pendidikan, khususnya tertuang dalam program pemberdayaan perempuan sub bidang pendidikan,
baik pada dokumen perencanaan strategis maupun dokumen perencanaan operasional.
Demikian simpulan Disertasi Dra Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si berjudul “Kualitas dan
Dinamika Formulasi Kebijakan Pendidikan Berspektif Gender di Provinsi Jawa Tengah,” yang
disampaikan pada saat ujian program doktor UGM bidang Administrasi Negara, Kamis (19/6) di
Ruang Seminar Gedung Sekolah Pascasarjana UGM. Bertindak selaku promotor Prof. Dr. Warsito
Utomo dan ko-promotor Prof. Dr. Muhadjir Darwin serta Dr. Samodra Wibawa, M.Sc.
Hasil penelitian Dra Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si, menyatakan komponen kunci bagi berhasilnya
perspektif gender masuk dalam kebijakan pendidikan adalah pertama, kapasitas SDM yang paham
tentang gender, memiliki sensitivitas gender dan memiliki otoritas terkait dengan pembangunan
pendidikan.
“SDM tersebut tidak bekerja dalam ruang yang vakum, tetapi berinteraksi secara terus menerus
dengan faktor-faktor dari luar dirinya, sehingga memasukkan gender sebagai arus utama pada
kebijakan pendidikan,” katanya.
Kedua, capacity building dan advokasi pengarusutamaan gender yang dirancang dengan baik, sesuai
kebutuhan daerah dan kemudiaan ditaati. “Apabila desain capacity building dan advokai
dirancang dengan baik, sesuai kebutuhan daerah dan kemudian ditaati, maka integrasi kesetaraan
dan keadilan gender dalam kebijakan pendidikan relatif mudah dilakukan,” paparnya.
Ketiga, Budaya organisasi yang mengedepankan visi dan misi untuk mewujudkan kesetaraan dan
keadilan geneder. Menurutnya, budaya organisasi yang telah responsif akan menumbuhkan
kesadaran untuk memasukkan perspektif gender secara ekplisit pada dokumen kebijakan daerah
yang memiliki dasar hukum yang kuat dengan adanya peraturan daerah (Perda).
“Dengan landasan hukum daerah yang kuat bisa menjadi mekanisme pemaksa bagi pelaksanaan
pengarusutamaan gender di daerah, sehingga gender benar-benar dapat menjadi arus utama
pembangunan pendidikan,” kata doktor ke 957 dari UGM ini.
Keempat, jejaring serta kemitraan antara stakeholder pendidikan merupakan kekuatan utama dalam
membangun aliansi strategis untuk melakukan perubahan kebijakan dari netral dan bias gender
menjadi kebijakan responsif gender.
Diakui Dosen Ilmu Administrasi, Universitas Sebelas Maret Surakarta ini, memasukkan perspektif
gender dalam kebijakan-kebijakan pendidikan, bukanlah pekerjaan yang mudah, karena berbenturan
dengan berbagai kepentingan, nilai maupun keyakinan seseorang atau kelompok orang yang terlibat
dalam proses formulasi kebijakan pendidikan.
Padahal, imbuh wanita kelahiran purworejo ini, formulasi kebijakan pendidikan yang berlangsung
secara dinamis, semestinya melibatkan multi stakeholder, dan berlangsung dalam suasana yang
kadang-kadang memunculkan konflik karena perbedaan preferensi di antara stakeholders yang
terlibat.
“Resolusi konflik yang dipilih adalah mengintegrasikan berbagai kepentingan yang ada, bersedia
membantu serta membangun kompromi bersama,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Berita Terkait
●
●
●
●
●
Ideologi Gender Memengaruhi Lahirnya Karya Sastra
Sri Danti: Kesetaraan Gender Bukan Tujuan Akhir
19 Juni, PSW UGM Selenggarakan Workshop "Pemetaan dan Penguatan Kurikulum Gender di
Perguruan Tinggi"
PSW UGM Akan Selenggarakan Seminar Partisipasi Perempuan Solusi Bagi Permasalahan Bangsa
Membedah Gender dari Perspektif Lain
Download