BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Klasifikasi Hipertensi Hipertensi merupakan suatu kelainan, suatu gejala dari gangguan pada mekanisme regulasi tekanan darah. Menurut The Seventh Report of The Joint National Committe on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) tahun 2003, hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan diastolik ≥90 mmHg. Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII Klasifikasi Sistolit (mmHg) Diastolit (mmHg) Normal <120 <80 Prehipertensi 120-139 80-89 Hipertensi stage I 140-159 90-99 Hipertensi stage II >160 >100 Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah (Hart, dkk., 2009), antara lain: a. Kecepatan: jantung anda memompa darah ke dalam arteri dengan kecepatan yang bervariasi, bergantung pada apa yang dilakukan dan apa yang dipikirkan. b. Diameter: arteri yang lebih kecil mempunyai diameter yang bervariasi bergantung pada tekanan pada benang-benang otot yang mengelilinginya. Tekanan ini bergantung terutama pada sinyal dari otak dan berbagai bahan kimia dalam peredaran darah (hormon) yang dilepaskan oleh organ-organ lain dalam tubuh. c. Gesekan: gesekan sepanjang dinding-dinding arteri meningkat sewaktu arteri menjadi makin tua dan makin dipenuhi oleh plak seperti lilin yang terbuat dari bekuan darah dan kolesterol. Proses tersebut menaikkan tekanan darah dengan 6 Universitas Sumatera Utara cara menaikkan ketahanan terhadap aliran darah, sementara aliran akan dipercepat dengan tekanan yang meningkat, jadi terbentuk proses berantai. d. Viskositas dan Volume: baik viskositas maupun volume darah bervariasi, bergantung terutama pada asupan garam, efisiensi ginjal dan ukuran serta bentuk sel darah merah, yang dapat diubah oleh kadar zat besi yang rendah dalam darah atau kadar alkohol darah yang tinggi. Mekanisme yang berkaitan dengan pemelihara tekanan darah sangat kompleks. Tekanan darah terutama dikontrol oleh otak , sistem saraf otonom, ginjal, beberapa kelenjar endokrin, arteri dan jantung. Otak adalah pusat pengontrol tekanan darah didalam tubuh. Organ ini juga langsung mengatur berbagai organ lain dalam menanggapi permintaan dan keperluan tubuh. Ginjal adalah organ yang berfungsi mengatur fluida (campuran cairan gas) didalam tubuh. Ginjal juga memproduksi hormon yang disebut renin. Renin dari ginjal merangsang pembentukan angiotensin. Angiotensin menyebabkan pembuluh darah mengerut sehingga tekanan darah meningkat. Hormon dari beberapa organ juga dapat mempengaruhi darah. Pada bagian atas ginjal terdapat sebuah kelenjar kecil yang disebut kelenjar adrenal. Kelenjar ini mensekresikan beberapa hormon yang dapat meningkatkan tekanan darah, termasuk kortison, adrenalin dan aldosteron (Hayens, 2003). 2.2 Penyebab Hipertensi Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi hipertensi primer dan hipertensi sekunder (Ruhyanudin, 2006): a. Hipertensi primer atau hipertensi esensial adalah hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui. Terjadi pada sekitar 90% penderita hipertensi. Hipertensi 7 Universitas Sumatera Utara primer kemungkinan disebabkan oleh beberapa perubahan pada jantung dan pembuluh darah kemungkinan bersama-sama menyebabkan meningkatnya tekanan darah. b. Hipertensi sekunder adalah jika penyebabnya diketahui. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi penyebabnya adalah penyakit ginjal. 2.3 Diagnosis Hipertensi Hipertensi dapat didiagnosis melalui gejala klinik dan pemeriksaan tekanan darah. 2.3.1 Gejala Klinik Hipertensi tidak memberikan gejala khas, baru setelah beberapa tahun adakalanya pasien merasakan nyeri kepala pagi hari sebelum bangun tidur. Nyeri ini biasanya hilang setelah bangun. Gangguan hanya dapat dikenali dengan pengukuran tensi dan adakalanya melalui pemeriksaan tambahan terhadap ginjal dan pembuluh darah (Tan dan Kirana, 2010). 2.3.2 Pemeriksaan Tekanan Darah Dikatakan seseorang memiliki tekanan darah tinggi jika pada saat duduk tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih, atau tekanan distolik mencapai 90 mmHg atau lebih, atau keduanya. Pada tekanan darah tinggi, biasanya terjadi kenaikan tekanan sistolik dan diastolik. Tetapi diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan satu kali pengukuran (Ruhyanudin, 2006). Jika pada pengukuran pertama memberikan hasil yang tinggi, maka tekanan darah diukur kembali dan kemudian diukur sebanyak 2 kali pada 2 hari berikutnya untuk meyakinkan adanya hipertensi. Hasil pengukuran bukan hanya menentukan 8 Universitas Sumatera Utara adanya tekanan darah tinggi, tetapi juga digunakan untuk menggolongkan beratnya hipertensi (Ruhyanudin, 2006). 2.4. Penatalaksanaan Hipertensi Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah penurunan mortalitas dan morbiditas. Tujuan tersebut berhubugan dengan kerusakan organ target dan terjadi penurunan kejadian resiko penyakit kardiovaskular, serebrovaskular, dan penyakit ginjal (Depkes, RI., 2006). Tatalaksana terapi hipertensi berdasarkan pedoman teknis penemuan dan tatalaksana penyakit hipertensi tahun 2006, yaitu: a. Seseorang didiagnosis menderita hipertensi maka yang pertama dilakukan adalah mencari faktor resiko. Setelah ditemukan faktor resiko, dapat dilakukan terapi awal yaitu terapi non farmakologi dengan modifikasi gaya hidup. Bila penurunan tekanan darah tidak tercapai maka terapi non farmakologi dilakukan bersamaan dengan terapi farmakologi. b. Terapi farmakologi disesuaikan dengan tingkat hipertensi, adatidaknya komplikasi penyakit atau keadaan khusus seperti diabetes melitus dan kehamilan. c. Terapi farmakologi pilihan pertama yang digunakan adalah golongan tiazid, kedua golongan ACE Inhibitor, kemudian diikuti golongan antagonis kalsium. d. Bila terapi tunggal tidak berhasil, maka diberikan terapi kombinasi e. Bila tekanan darah target tidak dapat dicapai baik melalui modifikasi gaya hidup dan terapi kombinasi dilakukan sistem rujukan spesialis. 2.4.1 Non Farmakologi 9 Universitas Sumatera Utara Penatalaksanaan nonfarmakologi diartikan sebagai penatalaksanaan tanpa obat. Terapi nonfarmakologi terdiri dari beberapa modifikasi gaya hidup seperti: a. Menguruskan Badan Berat badan berlebihan (kegemukan) menyebabkan bertambahnya volumedarah dan perluasan sistem sirkulasi. Bila bobot ekstra dihilangkan tekanan darah dapat turun kurang lebih 0,7/0,5 mmHg setiap kg penurunan. Di anjurkan BMI antara 18,5-24,9 kg/m2 (Tan dan Kirana, 2010). b. Mengurangi Konsumsi Garam Bila kadar Na di filtrat glomeruli rendah, maka lebih banyak air akan dikeluarkan untuk menormalisasi kadar garam dalam darah. Akibat pengeluaran ekstra air tersebut, tekanan darah akan turun. Pengurangan setiap gram garam sehari dapat berefek penurunan tensi 1 mmHg. Maka untuk mencapai penurunan tekanan darah yang nyata, konsumsi garam harus dibatasi sampai <6 g sehari (Tan dan Kirana, 2010). c. Adaptasi Pengaturan Pola Makan Berdasarkan DASH Konsumsi makanan yang mengandung banyak buah dan sayur serta mengurangi asupan lemak atau yang mengandung lemak diperkirakan dapat menurunkan tekanan diastolik 8-14 mmHg (Chobanial, dkk., 2003). d. Aktivitas Fisik Aktifitas olahraga aerobik (jogging sekitar 30 menit setiap hari, atau lebih dari sekali dalam seminggu diperkirakan dapat menurunkan tekanan diastolik 4-9 mmHg (Chobanial, dkk., 2003). 10 Universitas Sumatera Utara e. Pengurangan Konsumsi Alkohol dan Berhenti Merokok Tembakau mengandung nikotin yang memperkuat kerja jantung dan menciutkan arteri kecil hingga sirkulasi darah berkurang dan tekanan darah meningkat (Tan dan Kirana, 2010). Konsumsi alkohol tidak lebih dari dua jenis minuman beralkohol atau bahkan penghentian penggunaan alkohol diperkirakan dapat menurunkan tekanan diastolik 2-4 mmHg (Chobanial, dkk., 2003). 2.4.2 Farmakologi Penatalaksanaan farmakologi hipertensi terdiri dari tujuh kelompok antihipertensi antara lain: 2.4.2.1 Diuretika Diuretika meningkatkan pengeluaran garam dan air oleh ginjal hingga volume darah dan tekanan darah menurun. Disamping itu, diperkirakan berpengaruh langsung terhadap dinding pembuluh, yakni penurunan kadar Na membuat dinding lebih kebal terhadap nor-adrenalin, hingga daya tahannya berkurang. Efek hipotensifnya relatif ringan. Diuretik thiazida dianggap sebagai obat hipertensi pilihan utama dan umumnya digunakan sebagai terapi awal bagi kebanyakan penderita tekanan darah tinggi, sebagai obat tunggal atau kombinasi (Tan dan Kirana, 2010). 2.4.2.2 Alfa-blockers Zat-zat ini memblok reseptor-alfa adrenergik, yang terdapat di otot polos pembuluh (dinding), khususnya di pembuluh kulit dan mukosa. Dapat dibedakan 2 jenis reseptor: α1 dan α2, yang berada di post-synaptis, dan α2 juga pre-synaptis. Alfa-blockers melawan antara lain vasokonstriksi tersebut akibat aktivasi dan dapat dibagi menjadi 3 kelompok (Tan dan Kirana, 2010), yaitu: 11 Universitas Sumatera Utara a. alfa-blockers tak selektif: fentolamin (Regitine), yang hanya digunakan i.v. pada krisis hipertensi tertentu. b. alfa-1- blockers selektif: memblok hanya reseptor-α1-adrenergik secara selektif, antara lain prazosin, terazosin, dan alfuzosin. c. alfa-2-blockers selektif: yohimbin. 2.4.2.3. Obat-obat Penyekat β-adrenoseptor Penyekat β menurunkan tekanan darah terutama mengurangi isi sekuncup jantung. Obat ini juga menurunkan aliran simpatik dari SSP dan menghambat pelepasan renin dari ginjal, karena itu mengurangi pembentukan angiotensin II dan sekresi aldosteron. Prototipe penyekat-β adalah propanolol, yang bekerja pada reseptor β1 dan β2. Obat-obat yang lebih baru seperti atenolol dan metoprolol selektif untuk β1. Obat-obat ini sering digunakan untuk penyakit-penyakit seperti asma, dan propanolol memiliki kontraindikasi karena mempunyai efek bronkokonstriksi yang diperantarai β2 (Mycek, dkk., 2001). 2.4.2.4 ACE Inhibitor ACE inhibitor menurunkan tekanan darah dengan mengurangi resistensi vaskular perifer tanpa meningkatkan curah jantung, kecepatan ataupun kontraktilitas. Obat-obat ini menghambat enzim pengkonversi angiotensin yang mengubah angiotensin I membentuk vasokonstriksi poten angiotensin II. Dengan menurunkan kadar angiotensin II yang beredar, ACE inhibitor juga menurunkan sekresi aldosteron, sehingga mengurangi retensi natrium dan air. Contoh obat: kaptopril (Mycek, dkk., 2001). 12 Universitas Sumatera Utara 2.4.2.5 Antagonis Angiotensin II Zat ini memblok reseptor AT II dengan efek vasodilatasi. Contoh obat: Losartan, Valsartan (Tan dan Kirana, 2010). 2.4.2.6 Penyekat Kanal Kalsium Konsentrasi kalsium intraseluler mempunyai peranan penting dalam mempertahankan tonus otot polos dan kontraksi miokard. Kalsium masuk sel-sel otot melalui kanal khusus kalsium yang sensitif voltase. Ini merangsang pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma dan mitokondria, yang selanjutnya meningkatkan kadar kalsium sitosol. Obat antagonis kanal kalsium menghambat gerakan pemasukan kalsium dengan cara terikat pada kanal kalsium tipe L di jantung dan otot polos koroner dan vaskular perifer. Ini menyebabkan otot polos vaskular beristirahat, mendilatasi terutama arteriol. Contoh obat: amlodipin, nifedipin, nikardipin (Mycek, dkk., 2001). 2.3.2.7. Vasodilator Vasodilator bekerja dengan cara merelaksasi otot polos vaskular, yang menurunkan resistensi dan karena itu mengurangi tekanan darah. Obat-obat ini menyebabkan stimulasi refleks jantung, menyebabkan gejala berpacu dari kontraksi miokard yang meningkat, nadi dan konsumsi oksigen. Vasodilator juga meningkatkan konsentrasi renin plasma, menyebabkan resistensi natrium dan air. Contoh obat: Hidralazin (Mycek, dkk., 2001). 2.5 Pengetahuan pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan 13 Universitas Sumatera Utara sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda (Notoatmodjo, 2010), yaitu: a. Tahu (know) Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan. b. Memahami (comprehension) Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekadar dapat menyebutkan tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. c. Aplikasi Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. d. Analisis Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila 14 Universitas Sumatera Utara orang tersebut telah dapat membedakan, memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut. e. Sintesis Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. f. Evaluasi Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau normanorma yang berlaku di masyarakat. Ada dua cara manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar yaitu melalui rasio dan pengalaman. Rasio adalah pengetahuan yang bersifat abstrak dan pra pengalaman yang didapatkan melalui penalaran manusia tidak memerlukan pengamatan fakta yang ada. Sementara pengalaman adalah jenis pengetahuan yang didapat dilihat oleh indera manusia berdasarkan pengalaman pribadi berupa fakta dan informasi yang konkrit dan memerlukan pembuktian lebih lanjut (Suriassumatri dan Jujun, 2005). Beberapa proses yang terjadi pada manusia sebelum mengadopsi perilaku baru berdasarkan pengetahuan (Notoatmodjo, 2007) yaitu: a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu. b. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus. 15 Universitas Sumatera Utara c. Evalution (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. d. Trial, orang telah mulai mencoba berperilaku baru. e. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Gultom (2012), berpendapat untuk dapat mengendalikan atau mengontrol penyakitnya, penderita harus melaui tahapan kesadaran, interest, evaluation, trial, dan adoption agar tercapai tujuan dan sasaran yaitu terkendalinya masalah penyakit dan mencegah komplikasi. 2.5.1. Pengetahuan tentang Kesehatan Pengetahuan tentang kesehatan adalah mencakup apa yang di ketahui oleh seseorang terhadap cara-cara memelihara kesehatan. Pengetahuan tentang caracara memelihara kesehatan meliputi: a. Pengetahuan tentang penyakit menular dan tidak menular (jenis penyakit dan tanda-tandanya atau gejalanya, penyebabnya, cara penularannya, cara pencegahannya, cara mengatasi atau menangani sementara). b. Pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi kesehatan antara lain: gizi makanan, sarana air bersih, perumahan sehat, dan lain sebagainya. c. Pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang profesional maupun yang tradisional. d. pengetahuan untuk menghindari kecelakaan baik kecelakaan rumah tangga, maupun kecelakaan lalu lintas, dan tempat-tempat umum. 16 Universitas Sumatera Utara 2.5.2 Pengaruh Pengetahuan Terhadap Keberhasilan Terapi Penelitian yang dilakukan Gultom (2012), menunjukkan bahwa dengan meningkatnya pengetahuan pasien meningkat juga kesadaran diri pasien dari segi kesehatan, merubah gaya hidup kearah yang lebih sehat, hidup lebih berkualitas dan patuh terhadap terapi. Sebagaimana yang dijelaskan L. Green (1997), bahwa adanya perubahan perilaku karena adanya pengetahuan, sikap, dan keterampilan terhadap norma-norma kesehatan yang secara jelas akan menunjukkan hasil terapi yang lebih baik. 2.5.3 Cara Mengukur Pengetahuan Untuk mengukur pengetahuan kesehatan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diukur atau diketahui dapat diselesaikan dengan tingkat-tingkat pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). 2.6 Kepatuhan Kepatuhan adalah suatu bentuk perilaku yang timbul akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga pasien mengerti rencana dengan segala konsekuensinya dan menyetujui rencana tersebut serta melaksanakannya (Kemenkes, RI., 2011). Dalam pelaksanaan target pengobatan diperlukan kepatuhan yang baik dari pasien. Sebesar 50% pasien yang diresepkan obat antihipertensi tidak meminum obat yang direkomendasikan sesuai yang dianjurkan oleh dokter (Depkes, RI., 2006). 17 Universitas Sumatera Utara 2.6.1 Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Kepatuhan Menurut Osterberg dan Terrence (2005), kepatuhan pasien terhadap pengobatan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, meliputi: a. Faktor demografi Faktor demografi seperti suku, status sosio-ekonomi yang rendah, dan tingkat pendidikan yang rendah dikaitkan dengan kepatuhan yang rendah terhadap regimen pengobatan. b. Faktor psikologi Faktor psikologi juga dikaitkan dengan kepatuhan terhadap regimen pengobatan. Kepercayaan terhadap pengobatan dapat meningkatkan kepatuhan. c. Faktor sosial Hubungan antara anggota keluarga dan masyarakat juga berperan penting dalam pengelolaan penyakit. Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan tingkat masalah atau konflik yang rendah dan pasien yang mendapat dukungan dan memiliki komunikasi yang baik antara keluarga dan masyarakat cenderung memiliki tingkat kepatuhan yang lebih baik. Dukungan sosial juga dapat menurunkan rasa depresi atau stres terhadap pengelolaan penyakit. d. Faktor yang berhubungan dengan penyakit dan medikasi Penyakit kronik yang diderita pasien, regimen obat yang kompleks, dan efek samping obat yang terjadi pada pasien dapat meningkatkan ketidakpatuhan pada pasien. 2.6.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan, antara lain (Rantucci, 2009): 18 Universitas Sumatera Utara a. Faktor pasien: i. merasa penyakitnya tidak serius ii. ketidakpuasan terhadap hasil terapi iii. merasa pengobatan tidak efektif iv. pandangan negatif dari keluarga dan teman atau kurangnya dukungan sosial b. Faktor komunikasi i. tingkat pengawasan medis rendah. ii. kurangnya penjelasan yang lengkap, tepat, dan jelas. iii. kurang informasi yang seimbang tentang risiko dan efek samping. iv. kurangnya strategi yang dilakukan oleh profesional kesehatan untuk mengubah sikap dan kepercayaan pasien. v. rendahnya kepuasan pasien dalam berinteraksi dengan profesional kesehatan vi. interaksi dengan profesional kesehatan sedikit atau tidak ada sama sekali. vii. profesional kesehatan dianggap tidak ramah dan kurang perhatian. viii. profesional kesehatan tidak membiarkan pasien terlibat dalam membuat keputusan. c. Perilaku i. Ingin menguji efikasi obat. ii. Pengalaman dengan pengobatan sedikit atau memiliki pengalaman buruk dengan pengobatan. iii. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit yang diderita. 2.6.3 Metode Pengukuran Tingkat Kepatuhan Menurut Osterberg dan Terrence (2005), tingkat kepatuhan terhadap pengobatan dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu: 19 Universitas Sumatera Utara a. Metode langsung Pengukuran kepatuhan melalui metode langsung dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti mengukur konsentrasi obat atau metabolit obat di dalam darah atau urin, mengukur atau mendeteksi petanda biologi di dalam tubuh. Metode ini umumnya mahal, memberatkan tenaga kesehatan, dan rentan terhadap penolakan pasien. b. Metode tidak langsung Pengukuran kepatuhan melalui metode tidak langsung dapat dilakukan dengan bertanya kepada pasien tentang penggunaan obat , menggunakan kuesioner, menilai respon klinik pasien, menghitung jumlah pil obat, dan menghitung tingkat pengambilan kembali resep. 2.6.4 Pengaruh Kepatuhan terhadap Keberhasilan Terapi Hipertensi Menurut Badan POM RI. (2006), kepatuhan pasien sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan terapi terutama pada terapi penyakit tidak menular, misalnya diabetes, hipertensi, asma, dan sebagainya. Menurut WHO (2003), hampir 75% pasien dengan diagnosis hipertensi gagal mencapai tekanan darah optimum dikarenakan rendahnya kepatuhan penggunaan obat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lailatushifah (2012), menunjukkan bahwa perilaku kepatuhan dalam mengkonsumsi obat harian merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat kesembuhan pasien yang menderita penyakit kronis. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Salem, dkk. (2011), juga menunjukkan bahwa keberhasilan terapi hipertensi tergantung pada tingkat kepatuhan pengobatan yang dilakukan oleh pasien. 20 Universitas Sumatera Utara